Anda di halaman 1dari 5

Pernikahan

Adat pernikahan sangat beragam, akan tetapi maksud dan tujuan pernikahan sepanjang sejarah dan
yang ada diseluruh pelosok dunia sepakat bahwa pernikahan adalah untuk memenuhu kebutuhan
dasar. Monogami adalah pola pernikahan paling umum dan merupakan norma sebagian besar
masyarakat berkembang yaitu menikah dengan satu pasangan. Sedangkan Poligami adalah pernikahan
dimana seorang pria menikahi lebih dari satu wanita dalam satu waktu. Hal ini merupakan hal yang
umum di negara Islam, masyarakat Afrika, dan bagian dari Asia. Dalam masyarakat Poliyandrus,
dimana wanita biasanya memiliki beberapa suami- bahkan dibeberapa negara bagian pegunungan
Himalaya, menguasai sekumpulan saudara laki-laki (Gardiner et al, 1998 ; Kottak, 1994)
Pada mayoritas masyarakat, pernikahan dianggap cara terbaik menjamin keteraturan dalam
membesarkan anak. Pernikahan memungkinkan pembagian dalam hal konsumsi dan pekerjaan.
Idealnya, pernikahan menawarkan intimasi, komitmen, persahabat, kasih saying, pemuasan seksual,
pendampingan dan peluang bagi pertumbuhan emosional serta identitas dan kepercayaan diri yang
baru (Gardiner, et al.,1998; Myers, 2000).
Pada saat ini manfaat pernikahan, seperti seks, intimasi dan keamanan ekonomis, tidak
terbatas bagi ikatan perkawinan. Akan tetapi, banyak survey di Amerika Utara dan Eropa yang
menunjukkan bahwa orang-orang yang menikah lebih bahagia dibandingkan orang-orang yang tidak
menikah walaupun mereka yang berada dalam pernikahan yang tidak bahagia memiliki tingkat
kebahagiaan yang lebih rendah dibandingkan mereka yang tidak menikah atau bercerai. Mereka yang
menikah dan langgeng, khusunya wanita, akan mengumpulkan kekayaan yang lebih besar
dibandingkan mereka yang tidak menikah atau bercerai (Wlmoth & Koso, 2002).

Memasuki Ikatan Pernikahan.


Secara sejarah dan lintas kultur, cara paling umum memilih pasangan adalah melalui
perjodohan, baik oleh orang tua maupun oleh “mak comblang” professional. Terkadang pertunangan
terjadi pada masa kanak-kanak dan baru akan bertemu pada hari pernikahan mereka.
Usia menikah masih bervariasi antarkultur. Di bagian Barat Eropa, orang-orang cenderung
menikah di bawah dua puluh. Akan tetapi di negara indusrial, terdapat tren penundaan pernikahan
ketika para dewasa awal mengejar gelar dan target karier atau untuk mengeksplorasi pertemanan
(Bianchi & Spain, 1986).
Transisi kepada kehidupan rumah tangga membawa perubahan besar dalam fungsi seksual,
rencana hidup, hak dan tanggungjawab, keterikatan, dan loyalitas.

Aktivitas seksual Setelah Menikah.


Orang yang telah menikah lebih sering melakukannya ketimbang orang yang masih melajang,
walaupun tidak sesering orang yang hidup bersama diluar pernikahan. Akan tetapi pasangan yang
menikah melaporkan kepuasan emosional dari hubungan seksual yang lebih besar keimbang pasangan
hidup bersama atau orang lajang yang melakukan hubungan seks ( Waite & Joyner, 2000). Frekuensi
hubungan seksual dalam pernikahan menurun tajam setelah bulan-bulan pertama dan kemudian secara
perlahan semakin menurun seiring dengan waktu.
Beberapa orang yang telah menikah mencoba mencari intimasi diluar pernikahan (selingkuh),
terutama setelah beberapa tahun pertama, ketika kegairahan seks terhadap pasangan mulai menguap
atau masalah dalam perkawinan mulai mengemuka.

Beberapa Faktor Kesuksesan atau Kegagalan Pernikahan.


Salah satu faktor terpenting kesuksesan pernikahan adalah perasaan akan adanya komitmen.
Kesuksesan dalam pernikahan amat berkaitan dengan cara pasangan tersebut berkomunikasi,
membuat keputusan, dan mengatasi konflik (Brubaker, 1983, 1993). Bertengkar dan mengekspresikan
kemarahan secara terbuka tampaknya merupakan hal yang baik bagi pernikahan. Merengek, defensi,
keras kepala dan menarik diri merupakan sebuah sinyal masalah (Gottman & Krokoff, 1989).
Usia pada saat menikah merupakan preditor utama apakah ikatan tersebut akan langgeng atau
tidak. Lulusan perguruan tinggi dan pasangan dengan pendapatan yang tinggi berkecenderungan lebih
rendah mengakhiri pernikahan mereka (Btamlett & Mosher, 2001, 2002). Hidup Bersama sebelum
menikah dan orang tua yang pernah bercerai juga dapat dijadikan predictor perceraian, begitu pula
hamil atau memiliki anak sebelum menikah, tidak mempunyai anak, dan memiliki anak tiri di rumah.
Orang yang taat beragama berkecenderungan lebih rendah mengalami kegagalan pernikahan
(Bramlett & Mosher, 2002).
Kesulitan ekonomi dapat memberikan tekanan emosional pada pernikahan. Dengan melihat
beberapa factor penyebab kegagalan pernikahan, alasan yang paling sering dikemukakan adalah
ketidakcakapan dan kurangnya dukungan emosional, kurangnya dukungan pada karir dan yang ketiga
adalah pelecehan pasangan yang berupa kekerasan dalam rumah tangga baik fisik maupun verbal.

Menghadapi Kekerasan Domestik


Kekerasan domestic ( kekerasan dalam rumah tangga- KDRT) atau pelecehan pasangan,
adalah penganiayaan fisik yang dilakukan oleh pasangan, mantan pasangan atau teman intim dengan
tujuan mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan atau kontrol.
Pelecehan terhadap pasangan terjadi pada setiap level masyarakat, pada semua kelompok
pendapatan, akan tetapi wanita yang beresiko paling tinggi mengalaminya.
Pelecehan terhadap pasangan lebih sering terjadi dalam pernikahan di mana pria berusaha
mengontrol atau mendominasi (Yllo, 1984, 1993). Delapan dari sepuluh pria yang menganiaya istri
mereka secara fisik melihat ayah mereka melakukan hal tersebut kepada ibu mereka (Reiss & Roth,
1994).
Efek dari kekerasan dalam rumah tangga seringkali meluas ke luar dari pasangan tersebut.
Anak, khususnya anak laki-laki, seringkali dilecehkan oleh kedua orangtua (Jouriles & Norwood,
1995) dan anak yang dilecehkan cenderung tumbuh menjadi peleceh juga (Walker, 1999).
Mengapa wanita masih terus bertahan Bersama pria yang melecehkannya? Sebagaian dari
mereka tidak berani menghadapi dan mengakui apa yang terjadi. Sebagian yang lain memiliki harga
diri yang rendah dan merasa layak dipukul. Caci maki terus menerus, kritik, ancaman, hukuman an
manipulasi psikologis bisa jadi menghancurkan kepercayaan diri mereka dan membuat mereka amat
ragu.
Dalam beberapa kasus, terapi perkawinan atau keluarga dapat menghentikan pelecehan ringan
sampai menengah sebelum hal tersebut terus meningkat (Gelles & Maynard, 1987; Holztworth-
Munroe & Stuart, 1994; walker, 1999).
Dalam jangka panjang, harapan terbaik menghilangkan pelecehan yang dilakukan pasangan
adalah dengan “ mengubah pola sosialisasi pasangan sehingga kekuasaan atas wanita tidak lagi
menjadi bagian yang harus ada dari definisi menjadi pria sejati dan dengan menegosiasikan ulang
keseimbangan kekuatan antara pria dan wanita pada setiap level masyarakat (Walker, 1999, hlm, 25,
26).

Faktor halus yang mendasari konflik dan kegagalan perkawinan bisa jadi adalah perbedaan
antara pria dan wanita dalam apa yang diharapkan dari perkawinan. Bagi banyak wanita, intimasi
pernikahan menuntut berbagai perasaan dan kepercayaan. Pria cenderung mengekspresikan intimasi
melalui seks, bantuan praktis, pendampingan, dan aktivitas yang dilakukan bersama (Thompson &
Walker, 1989).

Parenthood
Walaupun institusi keluarga bersifat universal (Kotak, 1994), keluarga "tradisional"suami,
istri, dan anak biologis mereka–tidak demikian. Dalam banyak kultur Afrika, Asia, dan Amerika
Latin, rumah tangga keluarga besar merupakan bentuk tradisional. Dalam negara industrialis Barat,
ukuran keluarga, komposisi, struktur, dan pembagian kerja telah berubah secara drastis. Mayoritas
para ibu pada saat ini bekerja, baik di luar maupun di dalam rumah, dan terdapat peningkatan jumlah
para ayah yang menjadi pengasuh utama.
Pada sisi lain, pasangan yang memilih untuk tidak memiliki anak juga semakin meningkat
(Seccombe, 1991).

Menjadi orang tua


Walaupun anak laki-laki lebih diharapkan ketimbang anak perempuan, jumlahnya bahkan tidak
diharapkan sebesar masa lalu.
Dalam masyarakat agraris pra-industrial, keluarga besar merupakan keharusan: anak-anak
membantu pekerjaan keluarga dan pada akhirnya akan mengurus orang tua mereka yang lanjut usia.
Pada saat ini, tingkat harapan hidup bayi dan anak-anak telah meningkat dengan pesat, dan, di negara
industri, keluarga besar tidak lagi menjadi aset ekonomi. Di negara berkembang, di mana masalah
utamanya adalah kelebihan jumlah penduduk dan kelaparan, terdapat kesadaran untuk membatasi
jumlah keluarga dan memberi jarak yang jauh antara satu anak dengan anak berikutnya.

Parenthood sebagai Pengalaman Perkembangan


Bayi pertama menandai perubahan besar dalam kehidupan orang tua. Sosok baru yang amat
tergantung orang lain secara penuh ini mengubah individu dan hubungannya. Ketika si anak
berkembang, orang tua juga berkembang.

Keterlibatan Pria dan Wanita dalam Parenthood.


Baik pria dan wanita memiliki perasaan bercampur aduk saat menjadi orang tua. Bersama dengan
kegairahan, mereka mungkin merasakan kecemasan akan tanggung jawab membesarkan anak dan
komitmen waktu serta energi yang dituntut.

Bagaimana Parenthood Memengaruhi Kepuasan Pernikahan.


Kepuasan perkawinan bisa menurun sepanjang tahun-tahun membesarkan anak . Pasangan yang
memiliki anak, khususnya yang menjadi orang tua pada tahun awal perkawinan mereka, dan yang
memiliki banyak anak, menunjukkan penurunan yang lebih tajam dalam hal perceraian.

Keluarga dengan Kedua Orang Tua yang Bekerja


Hampir dua dari tiga keluarga A.S yang terdiri pasangan suami istri dengan anak berusia di bawah 18
merupakan keluarga dengan dua sumber pemasukan (Bureau of Labor Statistics, 1999a).
Mengapa begitu banyak wanita yang bekerja? Banyak faktor memainkan peran di dalamnya-
meningkatnya biaya hidup; perubahan dalam perceraian, keamanan sosial, dan peraturan perpajakan;
perubahan sikap terhadap peran jender; ketersediaan tabungan pekerja untuk peralatan rumah tangga;
dan mengurangi jurang pendapatan antara pekerja pria dan wanita. Sebagian wanita hanya ingin
penghasilan tambahan (Jones, McGrattan, & Manuelli, 2002).

Keuntungan dan Kerugian Gaya Hidup Suami Istri Bekerja.


Pernikahan dengan pasangan yang sama-sama bekerja menghadirkan peluang sekaligus tantangan.
Sisi positifnya, pemasukan kedua meningkatkan beberapa keluarga dari status keluarga miskin
menjadi keluarga berpenghasilan menengah dan kekayaan lainnya. Keuntungan yang lebih halus lagi
mencakup relasi yang lebih setara antara suami dan istri, kesehatan yang lebih baik bagi mereka
berdua, harga diri yang lebih besar bagi keduanya, dan relasi yang lebih rapat antara ayah dengan
anak-anaknya (Gilbert, 1994).
Di sisi lain, pasangan yang bekerja menghadapi tuntutan ekstra dalam waktu dan energi,
konflik antara pekerjaan dan keluarga, kemungkinan rivalitas antar pasangan, dan kecemasan serta
rasa bersalah berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan anak.

Pembagian Pekerjaan Domestik dan Efek Terhadap Perkawinan.


Dalam hampir semua masyarakat, wanita-bahkan jika mereka bekerja penuh waktu-memiliki
tanggung jawab utama atas rumah tangga dan pengasuhan anak (Gardiner et al., 1998). Akan tetapi,
cara pasangan membagi tugas pengasuhan dan pekerjaan rumah tangga, serta efek psikologis dari
keputusan tersebut, bervariasi.
Elek keluarga dengan pemasukan ganda terhadap perkawinan amat tergantung kepada
bagaimana suami dan istri memandang peran mereka. Peran yang tidak seimbang harus dipandang
sebagai ketidakpantasan, dan bisa jadi persepsi adanya ketidakadilan inilah yang menyebabkan
mayoritas ketidakstabilan pernikahan.

Ketika Pernikahan Berakhir


Film paling populer pada 1950-an adalah The Seven Years Itch. Film tersebut masih
merefleksikan realitas: di AS.,bahwa rata-rata perkawinan yang berakhir dengan perceraian berusia
tujuh sampai delapan tahun (Kreider & Fields, 2002). Tingginya tỉngkat perceraian menunjukkan
betapa sulitnya mencapai tujuan perkawinan yang diinginkan.

Perceraian
Amerika Serikat adalah salah satu negara yang memiliki tingkat tertinggi di dunia: pada 2000 dan
2001. Hampir setengah (43 persen) pernikahan pertama berakhir dengan perceraian atau bercerai
dalam lima belas tahun. Angka perceraian juga terus meroket di banyak negara berkembang lainnya
(Burns, 1992).

Mengapa Perceraian Bisa Meningkat?


Peningkatan dalam perceraian telah diiringi dengan diluluskannya undang-undang perceraian yang
lebih liberal, yang mengeliminasi keharusan mencari kesalahan pasangan. Dan, dengan meningkatnya
jumlah pasangan yang tidak memiliki anak, akan lebih mudah untuk kembali melajang
(Eisenberg,1995).
Konflik antara harapan pria dan wanita bisa jadi menghasilkan ketegangan. Akhirnya,
perceraian melahirkan lebih banyak perceraian. Orang dewasa dengan orang tua yang bercerai
berkecenderungan lebih besar bercerai dibandingkan dengan yang orang tua mereka tetap bersama
(Shulman, Scharf, Lumer, & Maurer, 2001).

Penyesuaian Terhadap Perceraian.


Perceraian bukanlah sebuah peristiwa tunggal. Perceraian adalah sebuah proses rangkaian pengalaman
berpotensi menekan yang dimulai sebelum perpisahan fisik dan terus berlangsung setelah terjadinya
perpisahan tersebut" (Morrison & Cherlin, 1995, hlm. 801). Bahkan mengakhiri perkawinan yang
tidak bahagia bisa jadi menyakitkan, terutama jika ada anak dalam perkawinan tersebut.
Walaupun sebagian orang tampaknya menyesuaikan diri lebih cepat dari yang lain, perceraian
cenderung mengurangi kebahagian jangka panjang, terutama bagi pihak yang tidak memulai
perceraian atau tidak menikah kembali.
Faktor penting dalam penyesuaian adalah pelepasan emosional dari mantan pasangan.

Menikah Kembali dan Orang Tua Tiri


Menikah kembali, kata esais Samuel Johnson, “adalah kemenangan harapan di atas
pengalaman". Tingginya tingkat perceraian bukan merupakan sinyal bahwa orang-orang tidak ingin
menikah. Sebaliknya, hal tersebut seringkali merefleksikan hasrat terhadap pernikahan bahagia dan
keyakinan bahwa perceraian tersebut seperti pembedahan-menyakitkan dan traumatis, tapi sebuah
keniscayaan untuk kehidupan yang lebih baik.
Dibandingkan pernikahan pertama, pernikahan berikutnya berkecenderungan lebih besar
terhadap perceraian di lima tahun pertama, terutama apabila ada anak tiri dalam perkawinan tersebut
(Parke & Buriel, 1998). Pasangan yang menikah kembali memiliki tingkat kemiripan minat dan nilai
yang lebih rendah dibandingkan pasangan pertama. Dan, setelah pernah bercerai, mereka lebih
cenderung memandang perceraian sebagai solusi masalah pernikahan (Booth & Edwards, 1992).
Ditambah lagi, penyesuaian hidup di keluarga tiri dapat menjadi tekanan bagi orang dewasa dan anak-
anak.
Menjadi orang tua tiri bisa menjadi sangat menantang bagi wanita. Orang tua tiri kurang
mampu memisahkan perasaan mereka tentang pernikahan dari perasaan mereka akan kesuksesan
sebagai orang tua tiri dibandingkan yang bisa mereka lakukan dengan hubungan mereka dengan
biologis (Fine & Kurdek, 1995). Ketika masalah muncul dalam membesarkan anak tiri, orang tua tiri
cenderung menyalahkan orang tua biologis (misalnya, karena memihak sang anak ketika terjadi
perdebatan).
Walaupun demikian, bagi orang-orang yang telah terluka oleh kehilangan, keluarga campuran
tersebut memiliki potensi dalam memberikan rasa hangat, atmosfer mengayomi, sebagaimana yang
dilakukan setiap keluarga yang peduli dengan anggotanya.
Ikatan yang terjalin pada masa dewasa awal dengan teman, kekasih, pasangan, dan anak
seringkali bertahan seumur hidup dan memengaruhi perkembangan di masa dewasa pertengahan dan
akhir. Perubahan yang dialami orang-orang dalam tahun-tahun lebih lanjut juga memengaruhi
hubungan mereka dengan orang lain.

Anda mungkin juga menyukai