Anda di halaman 1dari 5

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Angka kematian dan kesakitan di Indonesia dan negara berkembang masih
menjadi masalah kesehatan yang cukup besar, khususnya angka kematian bayi dan
balita yang masih cukup tinggi. Pada masa bayi dan balita daya tahan atau antibodi
masih dalam keadaan yang belum cukup kuat, sehingga dapat menimbulkan risiko
terjadinya penyakit atau infeksi sangat tinggi. Infeksi Saluran Pernafasan Akut
(ISPA) merupakan salah satu penyakit yang menyumbang prevalensi kematian yang
tinggi pada balita1.
ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) adalah salah satu infeksi akut yang
menyerang saluran pernafasan yang di mulai dari hidung sampai alveoli termasuk
adneksanya seperti sinus, rongga telinga bagian tengah dan pleura yang dapat
berlangsung 14 hari. Penyakit ISPA yang diawali dengan panas pada tubuh disertai
oleh satu gejala atau lebih seperti tenggorokan sakit/nyeri, batuk kering/berdahak dan
pilek. Period prevalence penyakit ISPA dapat dihitung dengan kurun waktu dalam 1
bulan terakhir2.
Penyakit ISPA paling banyak terjadi di Negara-negara berkembang. Populasi
penduduk yang terus bertambah dan tidak terkendali mengakibatkan kepadatan
penduduk di suatu wilayah yang tidak tertara baik dari segi aspek sosial, budaya dan
kesehatan. Kondisi ini akan bertambah buruk dengan status social ekonomi keluarga
yang rendah atau berada dibawah garis kemiskinan karena tidak dapat memenuhi
asupan gizi yang baik dan sehat untuk balita ditambah dengan kondisi fisik rumah
yang tidak layak tinggal4.
Menurut WHO (World Health Organization) (2016), angka kematian banyak
terjadi di negara berkembang seperti Asia dan Afrika yang tiap tahunnya meninggal
sebanyak ± 13 juta anak, seperti: India (48%), Indonesia (38%), Ethiopia (4,4%),
Pakistan (4,3%), China (3,5%), Sudan (1,5%), dan Nepal (0,3%). Tiap tahunnya
sekitar 4 juta dari 13 juta anak yang yang meninggal akibat ISPA sebagai penyebab
utama. Tahun 2016 laporan yang disampaikan WHO mengenai ISPA yang
menyebabkan kematian terhadap balita sebanyak 16% yang disampaikan oleh Nastiti
Kaswandani Ketua Unit Kerja Koordinasi Respitatory (IDAI) 3.
Berdasarkan data Riskesdas, pada tahun 2007 prevalensi ISPA di Indonesia
adalah 25,5%, tidak jauh berbeda dengan tahun 2013 dengan prevalensi ISPA yaitu
25,0%. Karakteristik penduduk dengan ISPA yang tertinggi terjadi pada kelompok
umur 1-4 tahun (25,8%). Menurut jenis kelamin, tidak berbeda antara laki-laki dan
perempuan. Namun berdasarkan hasil riskesdas 2018, prevalensi ISPA di indonesia
menurun menjadi 12,8%5.
Berdasarkan profil Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Barat, pada tahun 2015
penyakit ISPA menduduki peringkat pertama dari 10 penyakit terbanyak yaitu
438.610 kasus dengan prevalensi 34,08%. Sedangkan pada tahun 2017 penyakit ISPA
masih menduduki peringkat pertama dan mengalami peningkatan dengan prevalensi
39,2%. Akan tetapi menurut menurun pada tahun 2018 dengan prevalensi 12.8%.
Menurut Risekesdas Sumatera Barat 2018, prevalensi ISPA pada balita di Kab Agam
tahun 2018 yaitu 9,10%6.
Secara umum ada 3 (tiga) faktor risiko terjadinya ISPA yaitu faktor lingkungan,
faktor individu anak, serta faktor perilaku. Faktor lingkungan meliputi pencemaran
udara rumah, kondisi fisik rumah, dan kepadatan hunian rumah. Faktor individu anak
meliputi umur anak, berat badan lahir, status gizi, vitamin A, dan status imunisasi.
Sedangkan faktor perilaku berhubungan dengan pencegahan dan penanggulangan
penyakit ISPA pada bayi dan balita dalam hal ini adalah praktek penanganan ISPA di
keluarga baik yang dilakukan oleh ibu ataupun anggota keluarga lainnya7.
Status gizi menjadi salah satu penyebab kejadian penyakit ISPA pada balita,
karena kekurangan gizi akan menyebabkan beberapa efek serius seperti kegagalan
dalam pertumbuhan fisik serta tidak optimalnya perkembangan dan kecerdasan.
Balita yang mengalami kekurangan gizi akan berpengaruh terhadap kekuatan daya
tahan tubuh dan respons imunologis terhadap penyakit dan keracunan8. Menurut
penelitian Crista Lorensa dkk, sebanyak 31,4% terkena ISPA, 18,6% gizi kurang, dan
12,9% berada pada gizi baik. Pada balita status gizi memliki hubungan dengan
kejadian ISPA memiliki analisis hubungan variabel secara statistik yang bermakna9.
Selain itu, penyakit ISPA juga bisa disebabkan oleh pengetahuan ibu, karena
pengetahuan merupakan komponen yang penting walaupun peningkatan pengetahuan
tidak selalu menyebabkan terjadinya kejadian ISPA tetapi peningkatan pengetahuan
mempunyai hubungan yang positif dengan terjadinya kejadian ISPA. Pada penelitian
Indah dkk (2018) ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan orang tua tentang
ISPA dengan kejadian ISPA pada balita10.
Faktor merokok juga merupakan salah satu penyebab dari penyakit ISPA. Asap
rokok sangat berbahaya bagi balita karena belum kuatnya paru-paru terpapar asap
berbahaya. Selain itu, asap rokok juga dapat membuat sistem imun balita menjadi
rusak. Oleh karena itu, seluruh anggota keluarga yang memiliki balita harus bekerja
sama untuk tidak merokok di rumah atau di sekitar balita. Penelitian yang dilakukan
oleh Lina (2016) menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara kebiasaan
merokok dengan kasus ISPA pada balita11.
Faktor lainnya yang menyebabkan ISPA adalah Kepadatan Hunian Rumah,
daya tahan tubuh yang menurun dalam penghuni rumah yang disebabkan oleh
bangunan yang tidak sesuai dengan jumlah penghuni menyebabkan oksigen di dalam
rumah berkurang. Toto Harto (2020) menjelaskan dalam penelitiannya bahwa
ditemukan hubungan yang terjadi antara kondisi ventilasi dan padatnya hunian
dengan kejadian penyakit ISPA12. Safrizal (2017) menjelaskan adanya hubungan
yang terjadi pada kejadian ISPA pada balita di Blang Muko dengan ventilasi, lantai,
dinding, dan atap13.
Berdasarkan Data Puskesmas Manggopoh tahun 2019 kejadian ISPA termasuk
dalam 10 penyakit terbanyak. Penyakit ISPA yang ada diperingkat teratas sebanyak
11.005 kasus dengan prevalensi (33,2%). Untuk jumlah kasus ISPA pada balita
sebanyak 537 kasus. Hal tersebut mendorong peneliti untuk melakukan penelitian
mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian infeksi saluran pernafasan
akut pada balita di Puskesmas Manggopoh Kabupaten Agam Tahun 2020.

1.2 Rumusan Penelitian


Dari uraian latar belakang di atas maka yang menjadi rumusan masalah pada
penelitian ini yaitu “Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian ISPA pada
balita di Puskesmas Manggopoh Kabupaten Agam Tahun 2020”.

1.3 Tujuan Penelitian


1.1.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian ISPA
pada balita di Puskesmas Manggopoh Kabupaten Agam Tahun 2020

1.1.2 Tujuan Khusus


1) Mengetahui distribusi frekuensi kejadian ISPA dan status gizi,
pengetahuan ibu, kepadatan hunian rumah, kebiasaan anggota
keluarga merokok pada balita di Puskesmas Manggopoh Kabupaten
Agam Tahun 2020.
2) Menganalisis hubungan antara status gizi dengan kejadian ISPA
pada balita di Puskesmas Manggopoh Kabupaten Agam Tahun
2020.
3) Menganalisis hubungan antara pengetahuan ibu dengan kejadian
ISPA pada balita di Puskesmas Manggopoh Kabupaten Agam
Tahun 2020.
4) Menganalisis hubungan antara kepadatan hunian rumah dengan
kejadian ISPA pada balita di Puskesmas Manggopoh Kabupaten
Agam Tahun 2020.
5) Menganalisis hubungan kebiasaan anggota keluarga yang merokok
dengan kejadian ISPA pada balita di Puskesmas Manggopoh
Kabupaten Agam Tahun 2020.
1.4 Manfaat Penelitian
1) Bagi Peneliti
Diharapkan bisa memperbanyak wawasan serta pemahaman yang lebih
luas mengenai Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian ISPA pada
balita.
2) Bagi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Jambi
Sebagai bahan masukan dan bahan tambahan referensi mengenai
hubungan yang berkaitan dengan penyakit ISPA, sehingga menjadi acuan untuk
dapat dikembangkan dalam penelitian selanjutnya.
3) Bagi Puskesmas
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan
masukan terkait dengan permasalahan ISPA, Dapat memberikan informasi bagi
penyusunan program kesehatan kedepannya yang berguna untuk mengurangi
prevalensi angka kesakitan karena ISPA.
4) Bagi Masyarakat Umum
Diharapkan penelitian ini bisa menjadi suatu informasi untuk masyarakat
baik penderita ISPA maupun yang bukan penderita ISPA, sehingga dapat
melakukan upaya-upaya sebagai bentuk pencegahan dan pengendaliannya
sedini mungkin baik secara individu maupun komunitas.

Anda mungkin juga menyukai