Anda di halaman 1dari 17

KARYA TULIS ILMIAH KEPERAWATAN HIV/AIDS

PERILAKU BERESIKO TERTULAR DAN DAMPAK HIV/AIDS

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah keperawatan HIV dan AIDS
dengan dosen pengampu M. Nur Khamid, S.KM., M.Kes.

Oleh:
Kelompok 1 Kelas C 2018
Silvia Deres 182310101101
Ahmad Faiz R. 182310101108
Afifah Nandirotul Ummah 182310101109

PROGAM STUDI SARJANA ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2021

i
PRAKATA
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan rahmat-Nya
sehingga karya tulis ilmiah ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa kami juga
mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dari berbagai pihak yang telah
berkontribusi baik materi, buah pemikiran, maupun tenaga.
Harapan kami semoga karya tulis ilmiah ini dapat meningkatkan pengetahuan,
pengalaman, serta inspirasi baru bagi pembaca, Untuk waktu mendatang dapat
memperbaiki bentuk maupun menambah isi karya tulis ilmiah agar menjadi lebih baik
lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman, masih banyak
kekurangan dalam penyusunan karya tulis ilmiah ini. Oleh karena itu kami sangat
mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan
karya tulis ilmiah ini.

Jember, 25 Februari 2021

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

PRAKATA .................................................................................................................................... ii

DAFTAR ISI .................................................................................................................................iii

BAB 1. PENDAHULUAN ........................................................................................................... 1

1.1. Latar Belakang .............................................................................................................. 1


1.2. Rumusan Masalah ......................................................................................................... 2
BAB 2. ANALISIS LITERATUR ................................................................................................ 3

2.1. Populasi Kunci .............................................................................................................. 3


2.2. Populasi berisiko pada Remaja ..................................................................................... 7
2.3. Dampak HIV AIDS pada Aspek Bio-psiko-sosial-spiritual.......................................... 8
2.4. Dampak Perkembangan Budaya dan Perilaku Terhadap Epidemi HIV ........................ 9
BAB 3. PENUTUP...................................................................................................................... 11

3.1. Simpulan ..................................................................................................................... 11


3.2. Saran............................................................................................................................ 11

iii
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Secara global, HIV telah menjangkiti seluruh penjuru dunia. Tidak ada negara yang
dapat terlepas dari kasus mematikan ini. Namun, hasil kemajuan dalam akses terapi
antiroviral (ART) dapat membuat ODHA hidup lebih lama dan sehat. HIV dengan
AIDS itu berbeda. HIV atau Human Immunodeficiency Virus merupakan virus yang
menyerang sistem kekebalan tubuh manusia. Sedangkan, AIDS atau Acquired
Immunodeficiency Syndrome merupakan kumpulan gejala penyakit yang ditimbulkan
akibat sistem imun melemah karena terinfeksi HIV. Seseorang yang terinfeksi HIV
belum tentu ia mengidap AIDS. Sesorang dapat dikatakan menderita AIDS jika
memenuhi beberapa kriteria, diantaranya ditemukan kadar sel CD4. Sel CD4
mengandung protein dan merupakan bagian sel terpenting dari sistem imun.

Setelah kasus pertama kali ditemukan pada tahun 1981, HIV/AIDS menjadi
perhatian dunia karena angka mortalitas dan mordibilitas kian melonjak. Menurut WHO
(2020), HIV/AIDS menjadi tantangan kesehatan masyarakat dunia terutama negara
yang mempunyai tingkat penghasilan menengah ke bawah. WHO telah mengonfirmasi
sekitar 67% dari 38juta orang hidup dengan HIV dan telah menerima ART.

Kasus pertama kali ditemukan pada warga negara Belanda yang tinggal di Pulau
Bali tahun 1987 dan terus berkembang menjadi epidemi. Menurut laporan
perkembangan HIV/AIDS dan PIMS triwulan III tahun 2020 bahwa sebanyak 418
kabupaten/kota telah melaporkan kasus HIV/AIDS periode Januari-September 2020.
Untuk jumlah kumulatif kasus HIV yang dilaporkan mencapai 409.857 orang.
Sedangkan, jumlah kumulatif kasus AIDS yang dilaporkan sampai September 2020
mencapai 127.873 orang. Jateng menduduki posisi pertama dengan kasus HIV sebesar
1.334 orang pada periode Juli-September 2020. Sedangkan, kasus AIDS tertinggi
berada di Papua Barat sebesar 447 orang periode Juli-September 2020.

Banyak dampak yang ditimbulkan jika seseorang mengidap AIDS baik dampak
fisik, psikis, sosial, dan budaya. Selain itu, dampak infeksi HIV/AIDS dalam konteks
individu, keluarga, komunitas, dan nasional. Dalam konteks komunitas akan muncul

1
sebuah penolakan, penelantaran, diskriminasi, dan bullying. Hal ini tidak menutup
kemnungkinan akan muncul stigma negatif dari masyarakat. Oleh karena itu,
pentingnya pengetahuan terkait HIV/AIDS seperti menghindari perilaku berisiko
tertular HIV, melawan stigma yang berkembang di masyarakat, dan pentingnya deteksi
dini untuk mengetahui seseorang pengidap AIDS atau tidak.

1.2. Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan Populasi Kunci ?
2. Apa yang dimaksud dengan populasi berisiko pada remaja?
3. Bagaimana dampak HIV AIDS pada aspek bio-psiko-sosio-spiritual ?
4. Bagaimana dampak perkembangan budaya dan perilaku terhadap epidemic HIV ?

2
BAB 2. ANALISIS LITERATUR

2.1. Populasi Kunci


Epidemi kasus HIV/AIDS masih terfokus pada kelompok populasi berisiko atau
biasa disebut “Populasi Kunci”. Populasi kunci adalah mereka yang berisiko tinggi
tertular HIV. Populasi kunci antara lain pekerja seks dan pelanggannya, Pengguna
Napza Suntik (penasun), Lelaki Seks dengan Lelaki (LSL), dan waria.

1. Pekerja Seks Komersial

Pekerja seks di industri seks komersial sangat marak dijumpai oleh masyarakat.
Pekerja seks komersial (PSK) merupakan seseorang yang menjual jasa untuk
melakukan hubungan seksual. Terdapat beberapa alasan masyarakat bekerja menjadi
PSK antara lain faktor ekonomi atau kondisi kemiskinan rumah tangga PSK,
pandangan terkait seksualitas, dan faktor paksaan serta kekerasan. Maraknya
pengiriman anak-anak dan perempuan di industri seks serta prostitusi online juga
menjadi faktor semakin eksisnya jumlah PSK.

Sebagian buruh migran yang dikirimkan ke luar negeri turut andil berisiko
diperdagangkan untuk eksploitasi seksual. Perempuan yang ingin bekerja di luar
negeri sebagai asisten rumah tangga justru dipaksa untuk terjun di dunia prostitusi di
negara tersebut. Budaya bermigrasi ke daerah atau luar negeri memiliki modus yang
sama seperti bujukan mendapat gaji yang besar, diberi pekerjaan menjadi Tenaga
Kerja Wanita (TKW), dan akhirnya mereka dipekerjakan menjadi PSK.

Hal tersebut membuat pekerja seks berpeluang sangat tinggi tertular dan
menularkan HIV melalui hubungan seks yang tidak aman atau bergonta-ganti
pasangan baik secara anal, oral, dan vaginal. Bisa dibayangkan jika para pekerja seks
memiliki suami dan mereka menularkan kepada suaminya. Para pelanggan PSK juga
dapat tertular dan menularkan kepada pasangan mereka di rumah sehingga kasus
HIV semakin meluas. Perlu diketahui bahwa HIV tidak ditularkan melalui ciuman,
jabat tangan, berpelukan, memakai alat makan dan jamban yang sama, tinggal
serumah, dan gigitan nyamuk (Ikhsan, Rachmadi, and Mariana 2018).

2. Pengguna Napza Suntik (Penasun)

3
Napza yang sering kita dengar merupakan singkatan dari Narkotika,
Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya. Napza merupakan zat kimia berbahaya yang
masuk ke dalam tubuh melalui berbagai cara, baik dihirup, dihisap, diminum atau
disuntikkan dan dapat mempengaruhi psikologi atau kejiwaan seseorang baik
pikiran, perasaan, dan perilaku. Dalam medis, Napza memiliki keuntungan sebagai
obat penenang atau penghilang rasa sakit. Apabila seseorang menyalahgunakan
napza secara terus-menerus maka otak akan beradaptasi dengan dosis dopamine yang
tinggi sehingga berakibat kecanduan dengan zat terlarang ini (Tambunan et al. 2010).

Menurut laporan perkembangan HIV/AIDS dan PIMS triwulan III tahun 2020
bahwa penularan HIV melalui jarum suntik yang digunakan secara bergantian di
kalangan pengguna Napza sebesar 7,5%. Sedangkan faktor risiko kasus AIDS
sebesar 0,7% pada penasun. Kelompok ini bukan hanya memiliki risiko tingi
terinfeksi HIV melalui bergantian jarum suntik, tetapi juga pola hubungan seksual
yang bergantian pasangan serta tidak memakai kondom (Inggariwati and Sudarto
2018).

a. Narkotika

Narkotika merupakan jenis zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
dari tanaman baik sintesis maupun semi sintesis. Narkotika dapat menghilangkan
nyeri, menurunkan kesadaran, dan menimbulkan ketergantungan. Adapun menurut
UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Narkotika memiliki tiga golongan antara
lain:

1. Narkotika Golongan I: Narkotika golongan ini digunakan untuk kepentingan


ilmu pengetahuan dan teknologi dan tidak dipergunakan untuk terapi karena
berisiko tinggi menimbulkan efek kecanduan. Contoh: Heroin, Opium,
Ganja, dan tanaman Koka.

2. Narkotika Golongan II: Narkotika golongan II dapat dimanfaatkan sebagai


terapi maupun pengobatan sesuai dengan resep dokter. Golongan ini juga
memiliki efek samping kecanduan sangat tinggi. Jenis golongan ini kurang
lebih terdapat 85 jenis. Beberapa diantaranya seperti Petidin dan Morfin.

4
3. Narkotika Golongan III: Narkotika golongan ini memiliki ketergantungan
sangat ringan dan dipergunakan untuk pengobatan dan terapi seperti Kodein.

b. Psikotropika

Psikotropika merupakan jenis zat atau obat, baik alami maupun sintesis bukan
narkotika. Psikotropika memiliki efek samping menekan susunan saraf pusat yang
menyebabkan perubahan perilaku dan mental. Menurut UU Nomor 5 Tahun 1997
tentang Psikotropika, Psikotropika terbagi menjadi empat golongan antara lain:

1. Psikotropika Golongan I: Psikotropika golongan ini hanya dimanfaatkan


untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan tidak dipergunakan
untuk terapi obat-obatan karena memiliki sindrom ketergantungan yang kuat
seperti Extasi.

2. Psikotropika Golongan II: Psikotropika golongan ini dapat dimanfaatkan


sebagai terapi dan pengobatan. Namun, psikotropika golongan II memiliki efek
ketergantungan kuat seperti Amphetamine.

3. Psikotropika Golongan III: Psikotropika yang dimanfaatkan untuk pengobatan


dan terapi. Jenis ini memiliki sindrom ketergantungan sedang seperti
Phenobarbital.

4. Psikotropika Golongan IV: Psikotropika yang digunakan untuk terapi dan


pengobatan serta memiliki sindrom ketergantungan ringan seperti Nitrazepam
dan Diazepam.

c. Zat Adiktif

Zat adiktif merupakan suatu zat yang apabila digunakan secara terus menerus
dapat mengakibatkna kecanduan. Zat adiktif yaitu zat yang berpengaruh psikoaktif
diluar narkotika dan psikotropika seperti minuman beralkohol, inhalasi (gas hirup
dan solven), dan tembakau.

3. Lelaki Seks dengan Lelaki (LSL)

5
LSL dalam bahasa Inggris disebut men who have sex with men (MSM)
merupakan perilaku seksual laki-laki dengan laki-laki tanpa memandang orientasi
seksual (identitas jenis kelaminn). Sebagian perspektif masyarakat masih menganggap
LSL dengan waria itu sama. LSL dengan waria itu berbeda. Jika LSL, mereka tidak
perlu berdandan seperti seorang perempuan dan dalam berhubungan seksual, mereka
bisa bertindak sebagai laki-laki atau perempuan. Sedangkan, waria bertindak hanya
sebagai perempuan (Novrindo et al. 2017).

Hubungan seksual yang dilakukan LSL sama dengan waria yaitu secara oral dan
anal. Dalam penelitian seks anal dilakukan tanpa menggunakan kondom lebih berisiko
tertular HIV daripada menggunakan kondom (Novrindo et al. 2017). Bila dilihat dari
populasi kunci, lelaki seks dengan lelaki atau LSL berkontribusi paling besar untuk
kasus HIV dengan presentase 25,1%. Untuk presentase HIV pada homoseksual sebesar
22% (Kemenkes RI 2020).

4. Waria

Kelompok berisiko HIV/AIDS diantaranya adalah kelompok homoseksual


seperti LSL dan waria. Waria adalah sebutan untuk lelaki yang memiliki tampilan atau
merasa dirinya sebagai perempuan dengan atau tanpa operasi ganti kelamin
(transgender). Waria terbagi menjadi dua kelompok yaitu waria mangkal dan waria non
mangkal. Waria mangkal umumnya hanya memiliki satu pekerjaan yaitu pekerja seks.
Sedangkan, waria non mangkal memiliki pekerjaan lain non pekerja seks seperti
entertainment, pekerja salon, guru, dan karyawan (Maskuniawan and Muhammad
2018). Sebenarnya mereka mengetahui bahwa anatomi tubuhnya berjenis kelamin laki-
laki, tetapi sejak dini ia merasa dirinya adalah perempuan.

Laki-laki yang homoseksual lebih berisiko tertular HIV/AIDS dibandingkan


dengan laki-laki heteroseksual, khususnya melalui hubungan seksual berisiko.
Perilaku seksual berisiko seperti sering berganti pasangan dan seks anal. Berbagai
teknik hubungan seksual seperti oral dan anal dapat menyebabkan penyakit
kelamin termasuk terinfeksi HIV. Dalam berhubungan seksual secara anal,
mukosa rectum sangatlah tipis dan rentan terjadi perdarahan apalagi jika
menggunakan dengan tangan (fitting) sehingga terjadi kontak langsung antara

6
cairan mani dengan darah. Begitu pula hubungan seksual dengan oral. Gigi dan
gusi sangat rentan terjadi perdarahan karena adanya goresan serta robekan
(Maskuniawan and Muhammad 2018).

2.2. Populasi berisiko pada Remaja


Remaja merupakan populasi yang berisiko tertular HIV/AIDS karena remaja
adalah masa dimana seseorang mencari jati diri mereka. Mereka banyak menghabiskan
waktu dengan teman sebayanya daripada keluarga. Lingkungan sangat mempengaruhi
pergaulan pada remaja. Lingkungan yang positif dan baik berbanding lurus dengan
remaja yang baik pula. Sebaliknya, remaja yang memiliki pergaulan yang buruk akan
terpengaruh dan terjerumus pada seks bebas, penggunaan narkoba, dan kenakalan
remaja. Hal ini perlu dihindarkan agar remaja, sebagai generasi penerus bangsa
terhindar dari HIV/AIDS.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Yulianingsih (2015) bahwa kurangnya


informasi terkait pendidikan kesehatan reproduksi berisiko 3,6 kali tertular HIV
daripada remaja yang memiliki pengetahuan yang baik. Kurangnya informasi terkait
HIV/AIDS juga memicu remaja salah persepsi tentang HIV. Pemberian informasi
kepada remaja perlu melibatkan peran orang tua dan teman sebaya. Orang tua sebagai
ujung tombak membentuk kepribadian. Sedangkan, teman sebaya adalah lingkungan
yang paling berpengaruh terhadap kehidupan sosial remaja (Yulianingsih 2015).

Selain itu, ditemukan terdapat hubungan antara sikap negatif remaja terhadap
tindakan berisiko tertular HIV/AIDS. Dari penelitian yang dilakukan sikap negatif
berisiko 5,7 kali dibandingkan dengan remaja yang memiliki sikap positif. Sikap negatif
remaja dipengaruhi beberapa faktor antara lain pengetahuan, religiusitas, peran orang
tua, dan teman sebaya. Beberapa faktor tersebut dapat menentukan sikap yang dapat
diambil oleh remaja karena berdasarkan pengalaman mereka dalam mengamati dan
dipengaruhi oleh lingkungan.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Abdi dkk (2019) bahwa terdapat
hubungan antara jenis kelamin dengan perilaku berisiko tertular HIV/AIDS. Remaja
yang berjenis kelamin laki-laki berpeluang 28 kali berisiko dibandingan dengan remaja
perempuan. Hal ini dikarenakan remaja laki-laki lebih sering berada diluar rumah serta

7
memiliki pergaulan yang luas (Abdi et al. 2019).

Hal ini mengindikasi remaja laki-laki dengan mudah terjerumus kedalam pengaruh
yang buruk. Menurut laporan perkembangan HIV/AIDS dan PIMS triwulan III tahun
2020 bahwa presentase kasus HIV berjenis kelamin laki-laki lebih besar daripada
perempuan. Jenis kelamin laki-laki berjumlah 67% dan perempuan berjumlah 33%.

Selain jenis kelamin, tempat tinggal juga berisiko tertular HIV. Terdapat
hubungan yang signifikan antara lingkungan tempat tinggal dengan perilaku berisiko
tertular HIV. Remaja yang tinggal di perkotaan memiliki pengetahuan yang baik
terhadap HIV/AIDS. Namun, paling berisiko terhadap perilaku HIV/AIDS. Hal ini
dikarenakan tersedianya tempat-tempat yang berisiko terjadi penularan HIV seperti
tempat karaoke, hotel, tempat hiburan, dan industri seks komersial.

2.3. Dampak HIV AIDS pada Aspek Bio-psiko-sosial-spiritual


Penyakit HIV/AIDS dapat menyebabkan masalah biologis dan psikologis pada
penderitanya. Dampak psikologis dapat berupa perasaan depresi, shock, penyangkalan,
tidak percaya, depresi, kesepian, rasa putus asa akan kesembuhannya, sedih, mudah
emosi, dan ketakutan.

Data Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku tahun 2007-2015 menyebutkan


bahwasanya pria lebih beresiko tinggi terkena HIV dan juga didominasi oleh status
dengan perkawinan. Hal ini didasari oleh keinginan seksualitas tinggi yang berbanding
terbalik dengan pengetahuan dan pendidikan seks yang sangat rendah.

Kondisi biologis pasien HIV sangat buruk, mereka sangat beresiko terkena
infeksi dan peradangan sepert psoriasis, rheumatoid arthritis, dan kolitis ulserativa. Pada
penderita HIV yang lebih berbahaya adalah kondisi psikolohis, dari data penelitian,
deperesi mampu meningkatkan viral load HIV dan menurunkan CD4 juga mempercepat
AIDS dan meningkatkan resiko kematian. Depresi juga dapat mengurangi keefektifan
antiretrovial therapy (ART) dan melemahkan efek terapeutiknya.

Komorbiditas HIV dan depresi dapat menghasilkan efek depresi berkelanjutan


dan menimbulkan gejala yang sangat parah, seperti stress, kehilangan kepercayaan diri,
nafsu makan menurun, pengurangan kualitas tidur, dan gejala depresi lainnya. Dan dari

8
hasil penelitian pasien depresi memiliki tingkat resiko AIDS tiga kali lipat lebih tinggi
daripada pasien HIV tanpa gejala depresi.

Pasien HIV di Indonesia menjadi masalah yang serius dan dan menjadi
tantangan bagi tenaga kesehatan (Biondi, 2001). Hal ini dikarenakan pasien dengan
diagnosis HIV positif mengalami gangguan respon adaptasi biopsikologis yang
diperparah denganstigma masyarakat bahwa penyakit HIV adalah penyakit dari
perbuatan yang tidak baik, penyakit yang menular dan sangat berbahaya.

Stress psikososial pasien HIV yang berkelanjutan akan mempercepat kejadian


AIDS dan meningkatkan resiko kematian. Menurut Maramis (2003) jika stress
mencapai tingkat exhausted stage dapat menimbulkan kegagalan sistem imun yang
memperparah keadaan pasien dan penurunan sistem imun. Keadaan tersebut dapat
mempengaruhi penurunan CD4 hingga mencapai 180 cell/µL dalam setahun yang
menyebabkan pasien rentan terkena infeksi. Penurunan IFNy dapat menyebabkan
infeksi sekunder seperti herpes zooster dan simplek sehingga dapat membahayakan
kondisi pasien karena dapat mempercepat AIDS serta kematian.

2.4. Dampak Perkembangan Budaya dan Perilaku Terhadap Epidemi HIV


Budaya dan perilaku di negara berkembang seperti Zimbabwe mempengaruhi
peningkatakan epidemic HIV. Peningkatan epidemi HIV di negara tersebut selaras
dengan faktor epidemiologi, sosial, ekonomi dan politik yang melekat. Perilaku
menyebarkan informasi yang kurang tepat di Zimbabwe menyebabkan kepanikan
masyarakat setempat. Klaim terlalu dini bahwa negara Zimbabwe telah berhasil
memerangi HIV juga menjadikan prevalensi HIV di negara tersebut semakin
meningkat(Chingwaru and Vidmar 2018).

Budaya dan perilaku tentu mempengaruhi perkembangan epidemi HIV


khusunya di negara berkembang seperti Indonesia. Perilaku negative seperti memakai
tindik dan narkoba berdampak terhadap kasus HIV hal ini selaras dengan penelitian Tuti
dkk, dimana pemakaian narkoba dan tindik menjadi faktor risiko yang terbukti
berpengaruh terhadap kejadian HIV dan AIDS (Susilowati et al. 2019).

Banyak daerah yang melarang prostitusi karena dianggap sebagai perbuatan


hina. Akan tetapi kenyataannya mata pencaharian model prostitusi tetap ada, bahkan

9
seperti tidak mungkin diberantas dari muka bumi. Terlebih selama nafsu seks yang
lepas dari kendali dan hati-nurani. Oleh karenanya persoalan prostitusi diangap gejala
patologis. Hal yang sama juga terjadi di Kabupaten Banyuwangi Provinsi Jawa Timur,
dimana memiliki 14 titik prostitusi yang terlokalisi. Selain bertempat di beberapa lokasi
warung remangremang, cafe serta salon, salah satu yang terkenal adalah Lokalisasi
Padang Bulan di Kecamatan Singojuruh. Namun pada pertengahan 2014 Bupati
Banyuwangi mengeluarkan surat edaran tetang penutupan lokalisasi. Namun
kenyataannya surat edaran tersebut hanya terksan sebagai formalitas saja(Priyanto
2020).
Budaya asing seperti LGBT sangat berpengaruh terhadap epidemic HIV di
Indonesia. Latar budaya masyarakat Banyuwangi cenderung memaklumi adanya gay di
tengah masyarakat, hal ini berhubungan dengan adanya sejarah gandung lanang di
Banyuwangi. Selain itu perkembangan media social juga menjadikan gay di
Banyuwangi mudah berinteraksi dengan sesame gay, hal ini dibuktikan dengan adanya
komunitas online seperti pelangi laros, boy friend seluruh Banyuwangi, New Brondong,
dan Boy Banyuwangi. Hal tersebut membuat komunitas LGBT semakin meningkat
yang menyebabkan peningkatakan risiko terhadap kasus HIV(Sri 2017).

Kapupaten Jember (Kecamatan Puger Wetan, Puger Kulon dan Ambulu)


memiliki kelembagaan sosial lokal pada komunitas nelayan yang meliputi kelompok
pengajian, kelompok arisan dan paguyuban nelayan dirasa efektif untuk mencegah
penularan HIV/AIDS dibuktikan dengan meningkatnya pengetahuan (sebagai dampak
pelaksanaan program Penyuluhan/KIE) para nelayan tentang HIV/AIDS. Budaya
pengajian memiliki dampak yang cukup besar dalam mencegah HIV/AIDS dikarenakan
berhubungan dengan religious sehingga dapat menekan epidemic HIV di Kabupaten
Jember (Rohmawati and Indrianti 2018).
Selain itu, kebijakan Pemerintah kabupaten Jember dalam Peraturan Bupati
Jember Nomor 2 Tahun 2014 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS di
Kabupaten Jember memberikan dampak yang positif bagi kualitas hidup masyarakat
Jember terutama dalam penanggulangan HIV dan AIDS(Gani 2015).

10
BAB 3. PENUTUP

3.1. Simpulan
Human Immunodeficiency Virus/Aquired Immunodeficiency Syndrome
(HIV/AIDS) merupakan penyakit defisiensi imun sekunder yang paling umum di dunia
dan merupakan masalah epidemik dunia yang serius. Secara global, kasus HIV
merupakan masalah kesehatan yang sangat serius dan harus ditangani. Penyakit HIV
tidak hanya berdampak pada penderitanya saja, akantetapi berdampak pada stigma
negatif akan penyakit dan juga penderita tersebut. Sehingga perlunya pendidikan
tentang seksdan penyakit seks serta pengertian tentang Hiv sangat diperlukan untuk
memotong stigma negatif serta mengurangi populasi penderita HIV/AIDS.

3.2. Saran
Sebagai seorang tenaga medis kita sudah seharusnya memberikan edukasi tentang
apa itu HIV/AIDS kepada masyarakat serta bahaya dan cara mencegah kejadian baru
maupun penularan HIV. Selain itu kita juga perlu memberikan motivasi serta dukungan
kepada penderita HIV/AIDS agar mampu pulih dan mencegah terjadinya depresi yang
mampu mempercepat terjadinya AIDS pada pasen terdeteksi HIV.

11
DAFTAR PUSTAKA

Abdi, Guspratiwi S, Toha Muhaimin, Syamsul Bahri, and Muhammad Muzakir Fahmi.
2019. “Perilaku Berisiko HIV / AIDS Pada Remaja Sma Di Wilayah Kerja UPTD
Puskesmas Harapan Raya Pekanbaru Tahun 2018.” 9(2): 246–57.
Chingwaru, Walter, and Jerneja Vidmar. 2018. “Culture, Myths and Panic: Three
Decades and beyond with an HIV/AIDS Epidemic in Zimbabwe.” Global
PublicHealth13(2):249–64. http://dx.doi.org/10.1080/17441692.2016.1215485.
Gani, Husni Abdul. 2015. “Analisis Kebijakan Peraturan Bupati Jember Nomor 2 Tahun
2014 Tentang Pencegahan Dan Penanggulangan HIV/AIDS Di Kabupaten
Jember.” Jurnal Stomatognatic 12(2): 54–60.
Ikhsan, Muhammad, Agus Rachmadi, and Evi Mariana. 2018. “Gambaran Pengetahuan
Pekerja Seks Komersial Tentang Pencegahan Penularan HIV/AIDS Dilokalisasi
Pembantuan Wilayah Kerja Puskesmas Guntung Payung Kota Banjarbaru.”
(0511): 57–64.
Inggariwati, and Ronoatmodjo Sudarto. 2018. “Faktor Risiko Yang Berhubungan
Dengan Infeksi HIV Pada Pengguna Napza Suntik ( Penasun ) DKI Jakarta Tahun
2013 – 2014 Risk Factor Which Related to HIV Infection in Injected Drug Users.”
Jurnal Epidemiologi Kesehatan Indonesia 2(2): 35–42.
Kemenkes RI. 2020. “Laporan Perkembangan HIV AIDS & Penyakit Infeksi Menular
Seksual (PIMS) Triwulan III Tahun 2020.” Penyakit, Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian.
Maskuniawan, and Azinar Muhammad. 2018. “Faktor-Faktor Yang Berhubungan
Denga Praktik Tes HIV Pada Waria Pekerja Seks Di Kota Semarang.” Journal of
Health education 3(1): 7–16.
Novrindo, Forman, Henry Setyawan, Muchlis AU, and Suharyo Hadisaputro. 2017.
“Lelaki Seks Lelaki, HIV/AIDS Dan Perilaku Seksualnya Di Semarang.” Jurnal
Kesehatan Reproduksi 8(2): 131–42.
Priyanto, Hary. 2020. “Tinjauan Peraturan Bupati Nomor: 45 Tahun 2015 Tentang
Tatacara Pencegahan Dan Penanggulangan HIV/AIDS Terhadap Perkembangan
Prostitusi Kabupaten Banyuwangi.” Welfare : Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial
9(1): 53–77.
Rohmawati, Rina, and Deditiani Tri Indrianti. 2018. “Modal Sosial Perempuan Pesisir

v
Dan Upaya Pencegahan HIV/AIDS Di Kabupaten Jember.” CULTURE 5(1): 26–
44.
Sri, DMY. 2017. “Pengungkapan Diri Gay Di Media Sosial Kabupaten Banyuwangi.”
Skripsi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Jember.
Susilowati, Tuti et al. 2019. “Faktor Risiko Yang Mempengaruhi Kejadian HIV/AIDS
Di Magelang.” PROSIDING: SEMINAR NASIONAL REKAM MEDIS &
INFORMASI KESEHATAN (1): 85–95.
Tambunan, Raymond, Octavery Kamil, Ignatius Praptoraharjo, and Hosael Erlan. 2010.
Jaringan Seksual Dan Penggunaan Napza Pada Pengguna Napza Suntik Di 6
Propinsi. Jakarta: Mandaka Mitra Media.
Yulianingsih, Endah. 2015. “Faktor – Faktor Yang Berhubungan Dengan Tindakan
Berisiko Tertular HIV / AIDS Pada Siswa SMA Negeri Di Kota Gorontalo Factors
Correlated with Risk Measures Infected with HIV / AIDS in the Senior High
School Students In Gorontalo.” 5(2): 311–21.
Xuan, Bach Tran., Roger C. M. Ho., Cyrus S. H. Ho,. et all. Depression among Patients
with HIV/AIDS: Research Development and Effective Interventions. Int. J.
Environ. Res. Public Health 2019, 16, 1772

Fekete, E.M.; Williams, S.L.; Skinta, M.D. Internalised HIV-stigma, loneliness,


depressive symptoms and sleep quality in people living with HIV. Psychol.
Health 2018, 33, 398–415.

Nursalam, & Kurniawati, N.D. 2007. Asuhan keperawatan pada Pasien terinfeksi HIV.
Jakarta: Salemba Medika

Penzak, S.R.; Reddy, Y.S.; Grimsley, S.R. Depression in patients with HIV infection.
Am. J. Health Syst. Pharm.2000, 57, 376–386

Potter & Perry. 2005. Fundamental Keperawatan volume 1. Jakarta: EGC Stewart, G.,
1997. Managing HIV. Sydney: MJA Publisher

vi
Suseno, T. 2004. Pemenuhan kebutuhan dasar manusia: kehilangan, kematian dan
berduka dan proses keperawatan. Jakarta: Sagung Seto

vii

Anda mungkin juga menyukai