Anda di halaman 1dari 20

KONSEP PENDIDIKAN KARAKTER DALAM

AL-QUR`AN DAN SUNNAH


Oleh: Dr. Ahmad Kosasih, M.Ag

I. PENDAHULUAN
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, dan keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (U.U
Sisdiknas Ps.1 ayat 1). Berdasarkan pengertian ini, pendidikan harus dapat menyentuh dan
menumbuhkan kelima kekuatan yang terdapat dalam diri setiap manusia yaitu: (1) kekuatan
spiritual keagamaan (2) pengendalian diri (3) kepribadian (4) kecerdasan (5) akhlak mulia,
dan (6) keterampilan.
Pendidikan yang hanya berorientasi pada kecerdasan intelektual menjadi salah faktor
penyebab kegagalan dunia pndidikan membawa manusia kepada fungsi dan perannya sebagai
khalifah di muka bumi (khlifah fil ardh). Sebab, pendidikan yang pada intinya adalah
memuliakan kemanusiaan manusia (MKM) harus dapat menggali potensi-potensi yang ada
dalam diri manusia itu yaitu daya berpikir, daya merasa dan daya kehendak/kemauan yang
menurut istilah tokoh pendidikan Indonesia, K.Hajar Dewantara, ialah cipta, rasa dan karsa.
Cipta adalah daya fikir yang bersumber dari akal dan secara fisik bertempat di otak (kepala)
yang sering disebut aqlu. Rasa adalah daya perasaan yang secara fisik berada di hati (dada)
yang sering disebut qalbu, sedangkan karsa adalah daya kehendak atau kemauan yang secara
pisik berada di perut dan sedikit di bawahnya yang sering disebut syahwat atau nafsu, baik
nafsu makan maupun nafsu seksual.
Pendidikan Agama Islam merupakan bagian dari pendidikan Islam yang tujuan
utamanya adalah membina dan mendasari kehidupan anak didik dengan nilai-nilai Agama
sekaligus mengajarkan Ilmu Agama Islam, sehingga ia mampu mengamalkan syariat Islam


Makalah disampaikan dalam acara “Seminar Nasional Peran Dosen dan Guru PAI dalam Penanaman Karakter
kepada Peserta Didik”, di Padang tanggal 17 Maret 2012.

 
Ahmad Kosasih adalah Dosen PAI dan Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Agama Universitas
Negeri Padang.

1
secara benar sesuai pengetahuan agama (Muzayyin Arifin, 2008:6). Pendidikan Agama Islam
tidak hanya menekankan kepada apek kognitif dan psikomotorik yaitu penguasaan
pengetahuan dan keterampilan tetapi juga aspek afektif, yaitu pengamalan nilai-nilai yang
dikandung dalam ajaran Islam. Karena itu, sebagaimana dikemukakan oleh Mastuhu
(1994:17) bahwa pendidikan Islam berbeda dengan pendidikan dalam aliran nativisme
dimana peran peserta didik sangat besar dan pendidik hanya berperan sebagai fasilitator
dalam pembentukan dan pengembangan peserta didik. Di dalam pandangan Pendidikan
Islam, pendidik bukan hanya sekedar unsur pembantu tetapi bertanggungjawab akan
terbentuknya keperibadian muslim pada anak didik.
Khusus pada Perguruan Tinggi Umum (PTU), Pendidikan Agama secara operasional
diatur melalui SK. Direktur Jenderal PTU DIKTI No.43 tahun 2006 yang menyebutkan
bahwa Pendidikan Agama termasuk dalam kelompok Mata kuliah Pengembangan
Keperibadian (MPK). Kemudian dalam Kepmediknas No.232/U/2000 ayat 2 disebutkan
bahwa MPK bertujuan “mengembangkan manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa dan berbudi pekerti yang luhur, berkeperibadian yang mantap dan mandiri
seta punya rasa tanggung jawab kemayarakatan dan kebangsaan”. Berdasarkan ini tidak
diragukan lagi bahwa PAI pada peguruan tinggi umum memiliki peran yang amat strategis
dalam pembinaan karakter mahasiswa.

II. PERMASALAH
Permasalahan yang bakal diungkap dalam makalah ini adalah, bagaimana Al-Qur`an
dan sunnah membimbing manusia kepada karakter yang baik dan nilai-nilai apa saja yang
ditawarkan di dalam Al-Qur`an dan sunnah untuk memperbaiki akhlak/karakter tersebut.

III. PEMBAHASAN
A. Pegertian Karakter dan kaitannya dengan Akhlak
Kata “karakter” berasal dari character (bahasa Inggris) yang mengandung beberapa
pengertian antara lain: watak atau sifat (John M.Echols dan Hassan Shadaly, 1993:107).
Sementara itu, James Drever (1988:53) mengemukakan, di bidang psikologis, character
digunakan kepada integrasi kebiasaan, sentimen dan ideal yang membuat tindakan
seseorang relatif stabil dan dapat diramalkan”. Sedangkan Prayitno (2011:8)
mengemukakan, “karakter adalah sifat pribadi yang relatif stabil pada diri individu yang
menjadi landasan bagi penampilan perilaku dalam standar nilai dan norma yang tinggi”.
Dengan merujuk kepada pengertian diatas, dipahami bahwa karakter bercirikan antara lain:

2
(1) intergrasi dari kebiasaan, sentimen dan ideal (2) menjadi sifat yang sudah tetap dan relatif
stabil dalam diri (3) melandasi perbuatan atau tindakan-tindakan yang positif tapi tidak
tertutup kemungkinan juga tindakan negatif bagi yang berkarakter buruk.
Maka pendidikan itu sebagaimana diungkapkan oleh Dr.Martin Luther King, tokoh
spiritual kulit hitam di Amerika Serikat, bertujuan untuk melahirkan insan cerdas dan
berkarakter kuat, atau intellegence plus character. ”That is the goal of true education”.
Itulah sebabnya, ada sekolah yang memilih ENAM PILAR yang akan menjadi penekanan
dalam pelaksanaan pendidikannya, misalnya digambarkan sebagai berikut:

Sumber: http://www.fisdk12.net/ww/faculty/mrsgruener.html

Dalam gambar tersebut, terlihat enam pilar karakter yang harus dikembangkan, yaitu:

1. Rasa percaya diri (trustworthiness)


2. Rasa hormat (respect)
3. Rasa tanggung jawab (responsibility)
4. Rasa kepedulian (caring)
5. Rasa kebangsaan (citizenship)
6. Rasa keadilan (fairness)

3
Sementara itu Prof. Suyanto, Ph.D menyebutkan sembilan pilar karakter yang berasal
dari nilai-nilai luhur universal manusia, yaitu: (1) cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya (2)
kemandirian dan tanggungjawab (3) kejujuran/amanah (4) hormat dan santun (5) dermawan,
suka tolong-menolong dan gotong royong/kerjasama (6) percaya diri dan pekerja keras (7)
kepemimpinan dan keadilan (8) baik dan rendah hati, dan (9) toleransi, kedamaian, dan
kesatuan. Pengertian karakter ini kelihatannya banyak dikaitkan dengan pengertian budi
pekerti, akhlak mulia, moral, dan bahkan dengan kecerdasan ganda (multiple intelligence).
Berdasarkan pilar yang disebutkan di atas, maka karakter itu kelihatannya terkait erat dengan
akhlak karena akhlak juga berbicara tentang baik dan buruknya tingkah laku seorang
individu. Bila diamati dengan cermat tingkah laku seseorang tidak dapat dilepaskan dari
empat pilar-pilar kecerdasan yang dimilikinya yaitu (1) kecerdasan intelektual (2) kecerdasan
spiritual (3) kecerdasan emosional, dan (4) kecerdasan sosial. Kecerdasan intelektual sering
pula disebut dengan kecerdasan yang berdiri sendiri, lebih dikenal dalam pengertian cerdas
pada umumnya, dengan ukuran baku internasional yang populer dengan istilah IQ
(intellegence quotion). Sementara kecerdasan yang lainnya belum atau tidak memiliki ukuran
matematis sebagaimana kecerdasan intelektual namun dapat dirasakan dengan kekuatan
spiritual dan moral. Kecerdasan di luar kecerdasan intelektual inilah yang lebih dekat dengan
pengertian karakter pada umumnya. Adapun karakter yang dimaksud dan ingin kita bahas
disini adalah karakter yang disejajarkan pengertiannya dengan akhlak dalam kontek ajaran
agam Islam.
Akhlak berasal dari kata khuluq yang berarti tingkh laku, perangai atau tabiat. Akhlak
adalah perbuatan yang muncul secara spontan dari dalam jiwa dan menjadi kebiasaan. Selain
itu juga dikenal istilah moral yang berasal dari bahasa Latin mores, berarti adat kebiasaan
dan menjadi standar untuk menentukan baik dan buruknya suatu perbuatan. Kesadaran moral
itu, menurut Drijarkara SJ (1978:13), adalah “kesadaran tentang diri sendiri di dalam mana
kita melihat diri kita sendiri sebagai berhadapan dengan baik buruk”. Disamping itu ada kata
etika yang menunjuk kepada sebuah tatanan perilaku berdasarkan suatu sistem tata nilai suatu
masyarakat tertentu. Di dalam Webster’s New World Dictionary of Thd American Language
seperti dikutip Nurcholish Madjid (1992:411), kata etos atau etika berasal dari bahasa
Yunani yang bermakna watak atau karakter. Baik kata khuluq/akhlaq maupun moral dan
etika memiliki kandungan makna yang sama yakni tingkah laku atau perbuatan individu
yang objek kajiannya adalah tentang baik dan buruk. Perbedaan yang mendasar dari ketiga
kata itu terlihat dari standar nilai baik dan burukya sesuatu perbuatan. Standar akhlak adalah
nilai-nilai yang terkandung di dalam Al-Qur`an dan hadis, sedangkan standar moral atau etika

4
adalah akal pikiran dan perasaan yang disepakati dalam suatu masyarakat. Dengan demikian
nampaklah benang merah antara pendidikan karakter dan pendidikan budi pekerti atau akhlak
mulia.

B. Indikator Manusia Berkarakter


Sehubungan dengan pengertian karakter yang telah dikemukakan di atas, maka
indikator manusia yang berkarakter dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Iman dan takwa,


2. Pengendalian diri,
3. Disiplin dan hemat
4. Kerja keras dan ulet,
5. Bertanggung jawab dan jujur,
6. Membela kebenaran, kepatutan, kesopanan, dan
kesantunan,
7. Ketaatan pada peraturan dan konsisten
8. Loyal, demokratis dan musyawarah
9. Sikap kebersamaan,
10. Sikap kegotong-royongan,
11. Toleran,
12. Tertib, damai
13. Anti kekerasan
Terlihat Indikator-indikator ini semua implisit di dalam nilai-nilai ajaran Islam.
Bukankah Islam mengajarkan kepada umatnya agar bersifat benar/jujur (shiddiq)?
Bukankah Islam mengajarkan kepada umatnya agar bersifat amanah sehingga melahirkan

5
sikap tanggungjwab? Bukankah Islam mengajarkan kepada umatnya agar bekerja keras,
tolong menolong serta sikap toleransi sehingga terwujud mayarakat yang tertib dan damai?
Persoalannya sekarang, bagaimana mengimplementasikan nilai-nilai tersebut di dalam
aktivitas sehari-hari di berbagai wilayah dan bidang kehidupan. Di samping itu, nilai-nilai
dimaksud harus pula tercermin di dalam proses pembelajaran PAI. Misalnya, ketika
membahas materi tentang “Sunnah”, hendaknya dikaitkan dengan contoh-contoh sifat
Rasulullah seperti shiddiq, amanah, fathanah, dan tabligh. Ketika membahas materi tentang
“Islam dan Iptek” hendaknya dikaitkan dengan contoh-contoh tentang tingginya etos
keilmuan para ulama-ulama terdahulu semisal Imam Bukhari, Al-Gazali, Al-KiIndi, Al-Farabi,
Ibnu Sina sehingga mendorong peserta didik atau mahasiswa menghindari praktek-praktek
curang semisal menyontet, plagiat alias copet (copy, paste dan edit) dsb. Para tokoh itu
selain taat beragama juga memiliki etos keilmuan yang sangat kuat yang ditandai dengan
kerja keras (ijtihad) dan sikap rendah hati, jauh dari sifat angkuh, sombong serta mersa
benar sendiri. Sikap semacam inilah yang mendorong, munculnya toleransi dan saling
menghargai antar sesama mereka.

C. Nilai-Nilai Pendidikan Karakter dalam Al-Qur`an dan Sunnah


Tidak diragukan lagi bahwa Al-Qur`an adalah pedoman hidup umat Islam yang dapat
mengarahkan, menuntun dan membimbing manusia kepada jalan yang paling benar
(Q.S.17:9). Dalam kapasitasnya sebagai pedoman hidup, Al-Qur`an memberikan hudan
(petunjuk), bayyinat (bukti-bukti) dan furqan (pembeda) (Q.S.2:185), sehingga manusia
dapat mengetahui serta memahami perbedaan-pebedaan antara baik dan buruk, benar (al-
haq) dan salah (al-bathil) serta manfaat dan mudarat dalam menjalani kehidupannya.
Petunjuk dalam pengertian hudan yang terdapat di dalam Al-Qur`an dapat diakses oleh
siapa saja yang mengimani disertai kesungguhan menggali dan menyelami isi
kandungannya. Kandungan kitab suci Al-Qur`an selain berisi ajaran tentang keyakinan hidup
(aqidah) dan peraturan-peraturan (syari’ah) juga penuh dengan ajaran moral (akhlaq) yang
menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sebagai hamba dan khalifah di muka bumi
(Q.S.2:30). Pemaparan Al-Qur`an tentang nilai-nilai moral atau karakter adakalanya dalam
bentuk norma-norma yang berisi tuntutan dan adakalanya dalam bentuk contoh-contoh
yang dituangkan ke dalam kisah-kisah teladan yang mudah diserap oleh manusia sebagai
tuntunan hidup.

6
Sunnah yang makna harfiahnya adalah kebiasan atau tradisi yang melekat pada diri
Rasulullah SAW meliputi ucapan, tindakan/perbuatan dan sikap diamnya. Kemudian, ketika
sunnah itu diberitakan atau dilaporkan maka ia disebut hadis. Sunnah berfungsi sebagai
penafsir isi kandungan Al-Qur`an dan menambahkan aturan-aturan Allah yang tidak
dicantumkan di dalamnya. Dengan fungsinya sebagai penafsir itu, mustahil adanya
pertentangan antara kedua Al-Qur`an dan Sunnah. Hal ini diakui oleh pernyataan Al-Qur`an,
“Katakanlah, taatilah Allah dan Rasulnya-Nya, jika kamu berpaling, maka sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang kafir” (Q.S.3:32), “Taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya
serta Ulil Amri (pemimpin) dari kalangan kamu” (Q.s.4:59) dan “Tingkah lakunya
merupakan panutan terbaik bagi mereka yang mengharapkan rahmat Allah dan
keselamatan di hari akhirat” (Q.S.33:21). Ayat-ayat tersebut, menurut Quraish Shihab
(1992:128), “mengisyaratkan bahwa perintah-perintah Nabi Muhammad SAW harus diikuti,
baik yang bersumber langsung dari Allah (Al-Qur`an) maupun perintah-perintahnya berupa
kebijakan”. Al-Qur`an dan sunnah banyak berisi nilai-nilai moral dan karakter yang
pemaparannya adakalanya dalam bentuk norma-norma yang berisi tuntutan dan
adakalanya dalam bentuk contoh-contoh yang dituangkan ke dalam kisah-kisah yang mudah
diserap oleh manusia sebagai tuntunan hidup. Nilai-nilai tersebut antara lain:

1. Pengendalian diri
Konsep pengendalian diri menurut Al-Qur`an terkandung dalam kata sabar (al-shabr)
misalnya: “Berilah khabar gembira kepada orang-orang yang sabar, yaitu orang-orang yang
apabila ditimpakan kepada mereka musibah berkata bahwa sesungguhnya kami adalah
milik Allah dan kepada Nya lah kami akan dikembalikan” (Q.S.2:156). Bahkan sikap sabar
digunakan tidak dalam kontek musibah saja. Sabar itu meliputi tiga hal yaitu, dalam
meninggalkan segala yang haram dan dosa-dosa, sabar dalam mengerjakan ketaatan dan
sabar ketika ditimpa oleh musibah (Ibnu Katsir I, 2002:115). Perbandingan antara kesabaran
dan ketidaksabaran itu diilustrasikan oleh Al-Qur`an ke dalam sikap tentara-tentara Raja
Thalut yang dipimpin oleh Panglima Daud dalam pertempuran melawan balatentara Raja
Jalut. Allah sudah memperingatkan kepada mereka agar tidak banyak meminum air ketika
menyeberangi sebuah sungai. Lalu sebagian mereka melanggar peringatan tersebut dengan
meminum air sungai itu sepuas-puasnya hingga perut mereka gembung dan tidak sanggup
lagi berperang. Sedangkan bagi yang meminum sekedarnya sanggup berperang

7
mengalahkan musuhnya (Q.S.2:249-250). Ilustrasi itu memberikan pelajaran kepada
manusia tentang pentingnya pengendalian diri dalam perjuangan menuju cita-cita yang
mulia. Bahwa keserakahan dan tipisnya pengendalian diri terhadap nikmat dapat membawa
seseorang kepada kegagalan dalam mempertahankan harkat kemanusiaannya yang
berujung dengan kekecewaan. Karena, bila tidak pandai menyikapi nikmat Tuhan, maka
nikmat itu dapat berubah menjadi laknat atau kesengsaraan.

2. Disiplin dan hemat


Ajaran kedisiplinan di dalam Al-Qur`an dapat ditelusuri dalam ayat-ayat yang berkaitan
dengan perintah untuk menghargai waktu. Misalnya: “Sesungguhnya manusia itu dalam
keadaan merugi, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, saling
berpesen kepada kebaikan dan saling berpesan tentang kesabaran” (Q.S.103:1-3) dan
“Janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu, dan jangan pula kamu
mengulurkannya karena itu kamu jadi tercela dan menyesal” (Q.S.17:29). Ayat yang
pertama ini memberikan pendidikan kepada manusia supaya menghargai waktu dan
mengisinya dengan perbuatan-perbuatan yang positif. Karena kelalaian dalam
menggunakan waktu akan berakibat kerugian, apalagi di tengah-tengah persaingan hidup
yang semakin ketat saat ini. Sedangkan ayat yang keduanya memberikan pendidikan kepada
manusia tentang pentingnya sikap hemat dan menjauhi pemborosan atau konsumerisme.

3. Kerja keras dan Ulet


Di dalam Al-Qur`an banyak sekali ayat-ayat yang mendorong manusia untuk bekerja
secara ulet dan tekun dengan penuh rasa tanggungjawab. Misalnya: “Barangsiapa
yangmngrjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman,
maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya
akan Kami beri balasan kepada mereka degan pahala yang lebih baik dari apa yang telah
mereka kerjakan” (Q.S.16:97). Menurut Al-Maraghi (2001:175), yang dimaksud amal saleh
dalam ayat ini adalah pekerjaan-pekerjaan yang dikerjakan secara baik dengan menunaikan
segala ketentuan-ketentun yang telah ditetapkan Allah atas pekerjaan tersebut (man ‘amila
shalihal a’mal wa adda faraidha llahil lati awjabaha ‘alaiha). Hal ini diperkuat dengan hadis
Nabi SAW, riwayat Muslim: “Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu agar berlaku ihsan
dalam segala hal. Apabila kamu menyembelih maka hendaklah bersikap ihsan, hendaklah

8
kamu tajamkan pisaumu dan tenangkan hewan sembelihanmu itu” (CD Rom, Al-Hadits al-
Syarif, Hadis No.3615). Perintah ihsan seperti menajamkan pisau itu, menurut cendekiawan
Muslim, Nurcholish Madjid, mengandung makna etos kerja. Lebih lanjut ia mengomentari,
“... maka ihsan itu berarti optimalisasi hasil kerja dengan jalan melakukan pekerjaan itu
sebaik mungkin bahkan sesempurna mungkin.... penajaman pisau untuk menyembelih itu
merupakan isyarat kepada efisiensi dan daya guna yang setinggi-tingginya” (Nurcholish
Madjid, 1992:416).
4. Bertanggungjawab dan Jujur
Kejujuran akan melahirkan rasa tanggungjawab, maka orang-orang yang jujur
biasanya memilki rasa tanggungjawab yang tinggi dalam bekerja. Sikap tanggungjawab itu
terkandung dalam makna amanah. Sehubungan dengan itu Allah SWT menegaskan dalam
firmannya: “Kemudian kamu pasti akan ditanya tentang kenikmatan (yang kamu megah-
megahkan di dunia itu) (Q.S.102:8) dan “Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan
berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap
apa yang dahulu mereka usahakan” (Q.S.36:65) dan “Dan janganlah kamu mengikuti apa
yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran,
penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya” (Q.S.17:36).
Ayat-ayat ini menyiratkan sebuah perintah agar seseorang bertanggungjawab atas
perbuatannya. Karenanya seseorang tidak boleh melakukan pekerjaan yang diamanahkan
kepadanya secara asal-asalan tetapi harus dikerjakan secara profesional bedasarkan
keahlian dalam bidang pekerjaan itu. Karena itu Rasulullah SAW, melalui riwayat Bukhari,
mengingatkan: “Apabila amanah sudah disia-siakan maka tunggulah kehancuran,
seseorang bertanya, bagaimana amanah itu disia-siakan orang wahai Rasulullah? Beliau
berkata: “apabila sesuatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah
kehancuran” (CD Rom Al-Hadits al-Syarif, Hadis No.57).

4. Hormat dan Santun


Sikap hormat dan santun adalah salah satu ciri dari manusia yang berkarakter
sebagaimana. Ajaran untuk saling menghormati antar sesama manusia diungkap Al-Qur`an
melalui lewat terma ukhuwah, sebagaimana firman Allah: “Hai orang-orang yang beriman
janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang
diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula wanita-wanita

9
(mengolok-olok) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-
olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu
sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-
buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak
bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. Hai orang-orang yang beriman,
jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa
dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu
menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan
daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha
Penyayang” (Q.S.49:11-12). Melalui ayat ini Allah mengajarkan sikap yang harus diterapkan
dalam rangka memelihara ukhuwah sekaligus cerminan karakter seorang muslim yang baik,
yaitu: (1) tidak melecehkan orang lain (2) tidak mencela (3) tidak memanggil orang dengan
gelaran yang buruk (4) tidak berprasangka negatif (5) tidak mengungkit-ungkit kelemahan
(‘aib) seseorang, dan (6) tidak berbuat ghibah (menggosip). Sedangkan ajaran tentang
kesantunan tercermin dalam butir-butir nasihat Lukman kepada putranya: “Dan janganlah
kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan
di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
sombong lagi membanggakan diri. Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan
lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai” (Q.S.31:18-
19). Terdapat beberapa nilai-nilai pendidikan karakter di dalam ayat ini, yaitu: (1) menjauhi
sikap sombong dan angkuh terhadap manusia (2) sikap sederhana dalam berjalan, dan (3)
sikap santun dalam berbicara.
Kesantunan dalam bebicara merupakan salah satu karakter yang harus dimiliki
seorang muslim dan merupakan salah satu asma` dan sifat Allah “ra`uf” yang dilimpahkan
kepada Nabi SAW. Sebagaimana firman-Nya: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu
berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar,
tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma`afkanlah mereka,
mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan
itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya” (Q.S.3:159).
Ayat ini berkaitan dengan situasi genting yang dialami oleh Rasulullah dalam pertempuran

10
Uhud. Dalam situasi yang sangat gawat itu Rasulullah masih sanggup bersikap tenang, tanpa
kehilangan kontrol diri, dan berkata lemah lembut kepada sahabat-sahabatnya (Al-Maraghi
Jld. II, 2002:64). Kelembutan dalam berbicara merupakan salah satu nasihat yang
ditekankan Allah kepada nabi Musa untuk menghadap Fir’un, sang Penguasa yang terkenal
sangat kejam. Sebagaimana firman-Nya: “Pergilah kamu berdua kepada Fir`aun,
sesungguhnya dia telah melampaui batas (thagha); maka berbicaralah kamu berdua
kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut".
(Q.S.20:43-44).

5. Membela kebenaran, kepatutan, kesopanan, dan kesantunan,


Karakter yang baik tidak hanya terlihat pada sikap benar tapi juga berani membela
kebenaran dengan tetap memelihara kesantunan. Hal ini tercermin dalam sikap berani para
pemuda Ash-habul Kahfi saat dipaksa oleh Rajanya untuk menyembah berhala. Sikap
tersebut ia tegaskan lewat ucapannya seperti direkam dalam Al-Qur`an: “(Ingatlah) tatkala
pemuda-pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua lalu mereka berdo`a: Wahai
Tuhan kami berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami
petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)” (Q.S.18:10). Maksudnya, ketika pemuda-
pemuda itu menghindar dari penguasa negerinya dan menyingkir kedalam sebuah gua
untuk mencari tempat berlindung yang aman dari penindasan, intimidasi dan kekerasan
agama lainnya demi menyelamatkan Akidah mereka, mereka bermunajat kepada Allah
untuk memohon petunjuk-Nya. Menurut Quraish Shihab, Kata min ladunka di dalam bahasa
Arab berarti “dari sisi Mu (ya Allah)” biasanya digunakan untuk meminta hal-hal yang diluar
kemampuan manusia, yaitu bantuan Ilahi yang berada di luar hukum kausalitas (Tafsir Al-
Mishbah, Vol.7, hlm.251). Atas dasar ini pulalah, mufassir Thabathaba`i, mengatakan bahwa
pemuda itu mengasingkan diri ke dalam gua setelah melakukan berbagai upaya untuk
menyelamatkan akidah dan nyawanya sehingga tidak tersisa lagi daya kecuali hanya
pertolongan dari Yang Maha Kuasa. Sungguhpun mereka menentang kebiasaan buruk yang
dilakukan oleh masyarakat waktu itu, mereka tidak menaruh rasa benci dan dendam. Hal ini
tergambar dari ucapannya yang santun: “Mereka itu adalah kaum kami yang telah
menjadikan selain Dia sebagai tuhan-tuhan (untuk di sembah)” (Q.S.18:15).

11
Membela kebenaran adalah suatu sikap yang perlu ditanamkan ke dalam diri anak
bangsa sedini mungkin dalam rangka membangun karakter bangsa (character building).
Rasulullah SAW pernah ditegur oleh Allah atas kealfaannya dalam menyikapi pengaduan
palsu dari keluarga Thu’mah bin Ubairiq yang telah menggelapkan sehelai baju besi yang
tertinggal di medan peperangan, di rumah salah seorang Yahudi. Lalu keluarga Thu’mah
tersebut segera melobi Rasulullah supaya mengeluarkan pernyataan di depan publik bahwa
Thu’mah tidak bersalah. Ketika Rasulullah akan menaiki mimbar untuk menyampaikan
pidatonya, turunlah ayat 105-106 surat An-Nisa`: “Sesungguhnya Kami telah menurunkan
Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia
dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang
(orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat, dan mohonlah
ampun kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. Ayat
ini mengandung nilai-nilai pendidikan karakter pembelaan terhadap kebenaran serta
bersikap adil dalam memutuskan perkara. Bagaimanapun, seseorang yang bersalah harus
dihukum, dan yang tidak bersalah harus segera direhabilitasi nama baiknya. Kebenaran tidak
boleh ditutup-tutupi atau disembunyikan dan kebatilan atau pengkhianatan harus ditumpas
dengan penegakan hukum secara adil dan benar.

6. Ketaatan pada Peraturan dan Konsisten


Ketaatan merupakan terjemahan dari kata tha’at yang berarti patuh, sedangkan
konsisten dapat dipadankan dengan kata istiqamah. Baik kata tha’at maupun istiqamah
merupakan kata yang tidak asing lagi dalam konsep ajaran Islam dan keduanya dapat
ditelusuri di dalam Al-Qur`an. Bahkan kata islam itu sendiri secara generik berarti
“kepatuhan atau ketundukan (al-khudhu’ wa al-inqiyad) secara lahir dan batin terhadap
semua yang dibawa oleh Rasulullah SAW” (Al-Jasr, T.t.:7). Hal ini diilustrasikan dalam sikap
ketaatan dan kepatuhan Nabi Ibrahim dan putranya Imail saat diperintah oleh Allah untuk
berkorban: “Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas
pelipis (nya), (nyatalah kesabaran keduanya). dan Kami panggillah dia: "Hai Ibrahim,
sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu, sesungguhnya demikianlah Kami
memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar
suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar”
(Q.S.37:103-107). Sehubungan dengan ketaatan pada aturan, Al-Qur`an sangat menekankan

12
keteladanan (qudwah) dan oleh karenanya diperlukan figur keteladanan seperti telah
dicontohkan oleh Rasulullah SAW dalam mendidik dan mengkader para sahabat. Islam
sangat mengecam seseorang yang hanya mampu memerintah/menganjurkan tetapi tidak
memberikan contoh (Q.S.2:44; Q.S.61:2). Di dalam konteks kehidupan bermasyarakat,
kepatuhan kepada aturan-aturan yang disepakati sekaligus menunjukkan kepedulian kepada
orang lain. Sebab, ketika seseorang melakukan pelanggaran -misalnya terhadap aturan
berlalu lintas- berarti ia telah melanggar hak-hak orang lain. Oleh karena itu ciri manusia
berkarakter selanjutnya adalah sikap peduli.
7. Peduli
Sikap peduli adalah suatu sikap perhatian atau berempati terhadap kesulitan yang
dialami orang lain serta berusaha membantu mengatasinya. Di dalam Al-Qur`an dilukiskan
pada karakter Rasulullah salah satunya sikap empati yang diungkapkan dalam kalimat
“’azizun ‘alaihi ma ‘anittum” (Q.S.9:128) maksunya turut merasakan berat terhadap
kesusahan orang lain. Atau setidaknya, tidak melanggar atau merampas hak-hak orang lain
dengan membiasakan budaya antri menunggu. Ketidaksabaran sebagian orang dapat
merusak sistem kehidupan sosial yang amat membahayakan. Hal ini dilukiskan dalam salah
satu hadis: “Perumpamaan orang yang memtuhi peraturan-peraturan Allah dan orang yang
melanggarnya adalah seperti segolongan orang yang berebut naik kapal hingga sebagian
beroleh tempat dibagian atas, dan sebagian lagi dibagian bawahnya. Orang-orang yang
menempati bagian bawahnya jika hendak mengambil air terpaksa melewati orang-orang
yang sebelah atas. Kata mereka: Bagaimana kalau aku tembus saja bagian diding yang
didekat lantai ini hingga kita tak perlu lagi menyusahkan orang-orang yang di atas. Jika
orang yang diatas tadi membiarkan rncana itu, celakaah mereka, dan jika mereka
mencegahnya, akan tertolonglah mereka hingga semua isi kapal akan selamat” (H.R.
Bukhari). Sikap semacam inilah yang oleh, antropolog Indonesia, Kuntjaraningrat (1978:45-
46) disebutnya dengan “mentalits menerabas”, yakni mentalitas yang bernafsu untuk
mencapai tujuannya secepat-cepatnya tanpa banyak kerelaan berusaha dari permulaan
secara langkah demi selangkah. Sifat tersebut sejalan pula dengan sifat-sifat negatif lainnya,
seperti tidak berdisiplin murni, suka mengabaikan tugas, mengabaikan tanggungjawab, dan
meremehkan mutu. Dalam konteks kekinian, mungkin dapat diamati pada perilaku sebagian
para elit politik dan elit kekuasaan yang cenderung kepada sikap oportunistik, mencari-

13
mencari kesempatan dan keuntungan, yang terkadang dengan merugikan bahkan
“mengorbankan” kepentingan orang lain.
8. Toleransi
Toleransi adalah sifat atau sikap menenggang, menghargai, membiarkan,
membolehkan pendirian, pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan atau kelakuan
orang lain yang bertentangan dengan pendirian sendiri (Poerwadarminta, 2002:1084).
Toleransi menunjukkan kesanggupan menahan diri dengan mengalah serta kerelaan
berkorban untuk kepetingan orang lain. Toleransi sebenarnya erat kaitannya dengan sikap
sabar sebagimana dieterangkan di atas. Manusia sebagai makhluk sosial yang berada di
tengah-tengah pergaulan dengan manusia lain setiap saat dihadapkan kepada sikap dan
perbuatan orang lain yang kadang-kadang bertetangan dengan keinginan sendiri. Pada saat
itulah dibutuhkan sikap toleransi serta sabar dalam menghadapi orang lain. Sikap sabar itu
direalisasikan dalam bentuk antara lain seperti dikemukakan oleh Muslim Nurdin, dkk
(1995:241-242), yaitu (1) tidak melayani ajakan permusuhan atau pertengkaran dengan cara
diam (2) menerima konsekuensi dari suatu perbatan yang dilakukan dan menyikapinya
secara bijaksana tanpa emosional (3) memaafkanperilaku orang lain. Didalam Al-Qur`an
sikap toleransi itu dilukiskan dalam firman-Nya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila
dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majelis", maka lapangkanlah, niscaya
Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu, maka
berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan
orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui
apa yang kamu kerjakan (Q.S.58:11).

Upaya mencapai Karakter/akhlak yang baik


Imam Al-Gazali menyebutkan 3 upaya untuk mencapai akhlak yang baik itu yakni
petama, melalui pemupukan fitrah, kedua, melalui mujahadah (menahan diri), dan ketiga,
melalui riyadhah (latihan spiritual) (Hamdan Mansoer dkk, 2000:86). Sehubungan dengan
fitrah, Rasulullah menegaskan: “Setiap anak lahir dalam keadaan fitrah, maka kedua orang
tuanyalah (ibu-bapak) yang menjadikannya Yahudi atau Nasrani atau Majusi”. Dari
pernyataan Rasulullah tersebut dapat dipahami bahwa manusia itu pada dasarnya lahir
dalam keadaan suci dalam arti belum terkontaminasi oleh pengaruh apapun, dan peran
kedua orang tua sangat kuat dalam pembentukan karakter anaknya. Pertanyaannya ialah,

14
apakah semua orang tua sanggup menjalankan peran tersebut? Jawabannya adalah tidak,
karena hal itu terkait pula dengan beberapa faktor antara lain; latar belakang pendidikan,
waktu dan juga sikap keberagamaan. Berdasarkan kenyataan tersebut, lembaga pendidikan
memiliki peranan penting dalam penanaman nilai-nilai karakter dalam diri seorang anak.
Dengan demikian, pembinaan karakter terhadap peserta didik di setiap jenjang pendidikan
mutlak dilaksanakan.
Melalui mujahadah, seorang dilatih untuk memiliki pengendalian diri yang kuat
sehingga tidak mudah tergoda kepada perbuatan-perbuatan melawan aturan dan hukum
yang berlaku yang akan menjatuhkan martabatnya sebagai hamba dan khalifah.
Mujahadah sejalan dengan makna jihad yaitu kerja keras dan sungguh-sungguh dalam
rangka melawan dorongan-dorongan yang bersifat negatif dan destruktif, anti kebenaran.
Sebab, jiwa manusia sepanjang pengalaman yang dijalaninya juga punya potensi menerima
energi positif dan negatif (Q.S. 91:7-8). Manusia yang sukses/menang adalah yang mau
membersihkan jiwanya sehingga mampu melawan godaan-godaan tersebut. Sebaliknya,
mereka akan mengalami celaka bila tidak mau membersihkan enerji negatif itu sehingga
terjerembab di dalam perbuatan-perbuatan nista. Sebagai contoh untuk yang terakhir ini,
adalah para koruptor dan politisi Balon (Bajing Loncat).
Untuk tercapainya upaya mujahadah diperlukan riyadhah, yaitu latihan-latihan
seperti memperbanyak ibadah, zikir dan amal shalih lainnya. Zikir, selain untuk
menciptakan ketenangan hati juga akan menangkal fikiran-fikiran kotor (fiktor) yang
cenderung menyesatkan. Baik zikir lisan, zikir hati, maupun zikir melalui perbuatan nyata.
Kalau zikir hanya sebatas lisan sambil memutar-mutar “buah tasbih” sementara hati jauh
dari mengingat Allah, akan melahirkan sikap STMJ (Shalatnya Tekun, Maksiatnya Jalan
terus), suatu sikap yang tidak jarang kita saksikan di sebagian umat Islam akhir-akhir ini.
Inilah salah satu bentuk formalisme/simbolisme keberagamaan dimana agama hanya
sebatas simbol tapi jauh dari isi atau substansinya. Maka tidak heran mengapa kemaksiatan,
dan kecurangan dalam berbagai bidang seperti politik, ekonomi, pemerintahan, penegakan
hukum bahkan dunia pendidikan kian marak di tengah-tengah kuatnya simbol-simbol
keberagamaan seperti busana muslim/ah, meningkatnya jumlah jemaah haji dari tahun-
ketahun serta maraknya kegiatan zikir dan asma`ul husna dsb. Ini tentu sebuah bentuk
paradoksal berpikir yang sulit dipahami oleh kalangan generasi muda.

15
III. PENUTUP
Pendidikan karakter yang sedang diupayakan oleh pemerintah melalui lembaga-
lembaga pendidikan kelihatannya dipicu oleh terjadinya degradasi moral di kalangan anak
bangsa Indonesia saat ini. Hal itu ditandai oleh perilaku-perilaku negatif yang muncul di
dalam masyarakat, semisal kekerasan, penindasan, pemaksaan kehendak dan tindakan
anarkis lainnya. Sementara itu di pihak penyelenggara negara muncul oknum-oknum yang
memperlihatkan perilaku tak terpuji semisal korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
Penegakan hukum yang belum mencerminkan rasa keadilan masyarakat, aparat keamanan
yang bertindak secara tak wajar dan membabi buta terhadap rakyat. Salah satu solusinya
adalah meberdayakan para pendidik (guru atau dosen) untuk menanamkan karakter kepada
peserta didiknya. Pendidikan karakter yang dimaksud adalah pendidikan watak dan
kepribadian serta akhlak yang mulia (al-akhlaqulkarimah). Al-Qur`an dan Sunnah adalah
kitab yang penuh dengan nilai-nilai pendidikan karakter (akhlak) yang dapat dijadikan
sebagai sumber rujukan bersifat universal. Karenanya, jalan yang terbaik untuk menciptakan
generasi yang berkarakter adalah mendorong peserta didik untuk kembali memahami dan
mengamalkan ajaran Agama Islam.

16
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Musthafa al-Maraghi. (2001). Tafsir Al-Maraghi, Jld. V. Beirut: Darul Fikri.

Al-Jasr, al-Sayyid Husein Afandi. T.t. Al-Hushun al-Hamidiyyah li al-Muhafazhah ‘Ala


al-‘Aqaid al-Islamiyyah, Ditashih oleh Ridhwan Muhammad Ridhwan. Surabaya:
Al-Maktabah Al-Tsaqafah.
Drijarkara SJ. (1978). Percikan Filsafat. Jakarta: PT. Pembangunan Jakarta.

Ib nu Katsir, Hafizh ‘Imaduddin Abi al-Fida` Imail. (2002). Mukhtashar Tafsir Ibnu Katsir, JuzI.
Beirut: al-Maktabah al-‘Ashriyyah.

James Drever. (1988). The Penguin of Psychology (Terj. Nancy Simanjuntak). Jakarta: P.T.Bina
Aksara.

John M.Echols dan Hassan Shadaly. (1993). Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta: P.T. Gramedia
Pustaka Utama.

Koentjaraningrat. (2002). Kebudayaan Mntalitas dan Pembangunan, Cet.ke-20. Jakarta:


Penerbit PT. Gramedia.

Mastuhu. 1994. Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren: Suatu Kajian tentang Unsur dan
Nilai Pendidikan Pesantren. Jakarta-Leiden: INIS.

Muslim Nurdin, Dkk. (1995). Moral dan Kognisi Islam, Edisi ke-2. Bandung: CV. Alfabeta.

Muzayyin Arifin. (2008). Kapita Selekta Pendidikan Islam. Edisi Revisi (Ed. A.Syafe’i). Jakarta:
Bumi Aksara.

Nurcholish Madjid, (1992). Islam Doktrin dan Pradaban. Jakarta: Yayasan Wakaf
Paramadina.

Prayitno. (2011). Materi Karakter Cerdas dalam Pembelajaran. Padang: UNP Press.

Quraish Shihab, (1992). Membumikan Al-Qur`an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat. Bandung: Penerbit Mizan.

17
-------------- .(2002).Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur`an, Vol.7. Jakarta:
Lentera Hati.

Toto Suryana dkk. (1996). Pendidikan Agama Islam. Bandung: Tiga Mutiara.

W.J.S. Poerwadharminta. (2002). Kamus Umum Bahasa Indonesia, Cet. ke-17. Jakarta: Balai
Pustaka.
Zakiah Daradjat dkk, (1986), Dasar-Dasar Agama Islam. Jakarta: Depag RI.

1.Pengendalian Internal
2.Pengendalian Eksternal

18
ADIKKU MELANGGAR HUKUM
AKU YANG MENJADI SAKSI
PAMAN PENUNTUT UMUM
AYAH YANG MENGADILI
WALAUPUN IBU GIGIH MEMBELA
YANG SALAH DIPUTUS SALAH

(Nasyidaria keadilan)

Keadilan:
1. Distributif
2. Proporsional

A = Arogan
19
I = Iri/dengki
D= Dendam
S = Serakah aids (asal itu
duit sikat saja)

20

Anda mungkin juga menyukai