BAB II
HIV-AIDS
2.1 DEFINISI
2.2 EPIDEMIOLOGI
Sejak 1985 sampai tahun 1996 kasus AIDS masih jarang ditemukan di
Indonesia. Sebagian ODHA pada periode itu berasal dari kalangan homoseksual.
Kemudian jumlah kasus baru HIV/AIDS semakin meningkat dan sejak
pertengahan tahun 1999 mulai terlihat peningkatan tajam yang terutama
disebabkan akibat penularan melalui narkotika suntik1.
Dari jumlah kumulatif 8.747 kasus AIDS yang dilaporkan pada Desember
2012, sekitar 54% adalah laki-laki, 29% adalah perempuan, dan 17% tidak
melaporkan jenis kelamin. Berdasarkan cara penularan, dilaporkan 61,5% pada
heteroseksual; 15,2% pada pengguna narkotika suntik; 2,4% pada homoseksual
dan 2,7% pada transmisi perinatal. Hal ini menunjukkan adanya pergeseran dari
dominasi kelompok homoseksual ke kelompok heteroseksual dan penasun.
Kumulatif kasus AIDS tertinggi dilaporkan pada kelompok usia 20–29 tahun
(32,9%), disusul kelompok usia 30–39 tahun (28,5)6.
2.3 ETIOLOGI
AIDS disebabkan oleh infeksi HIV. HIV adalah suatu virus RNA berbentuk
sferis yang termasuk retrovirus dari famili Lentivirus. (Gambar 1). Strukturnya
tersusun atas beberapa lapisan dimana lapisan terluar (envelop) berupa
glikoprotein gp120 yang melekat pada glikoprotein gp41. Selubung glikoprotein
ini berafinitas tinggi terhadap molekul CD4 pada permukaan T-helper lymphosit
dan monosit atau makrofag. Lapisan kedua di bagian dalam terdiri dari protein
p17. Inti HIV dibentuk oleh protein p24. Di dalam inti ini terdapat dua rantai
RNA dan enzim transkriptase reverse (reverse transcriptase enzyme)7.
Gambar 1: struktur virus HIV-1
Ada dua tipe HIV yang dikenal yakni HIV-1 dan HIV-2. Epidemi HIV global
terutama disebabkan oleh HIV-1 sedangkan tipe HIV-2 tidak terlalu luas
penyebarannya. Tipe yang terakhir ini hanya terdapat di Afrika Barat dan
beberapa negara Eropa yang berhubungan erat dengan Afrika Barat7.
2.4 PATOGENESIS
Limfosit CD4+ (sel T helper atau Th) merupakan target utama infeksi HIV
karena virus mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4. Limfosit
CD4+ berfungsi mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yang penting
sehingga bila terjadi kehilangan fungsi tersebut maka dapat menyebabkan
gangguan imun yang progresif1.
Namun beberapa sel lainnya yang dapat terinfeksi yang ditemukan secara in
vitro dan invivo adalah megakariosit, epidermal langerhans, peripheral dendritik,
folikular dendritik, mukosa rectal, mukosa saluran cerna, sel serviks, mikrogilia,
astrosit, sel trofoblast, limfosit CD8, sel retina dan epitel ginjal7.
Infeksi HIV terjadi melalui molekul CD4 yang merupakan reseptor utama
HIV dengan bantuan ko-reseptor kemokin pada sel T atau monosit, atau melalui
kompleks molekul adhesi pada sel dendrit. Kompleks molekul adhesi ini dikenal
sebagai dendritic-cell specific intercellular adhesion molecule-grabbing
nonintegrin (DC-SIGN). Akhir-akhir ini diketahui bahwa selain molekul CD4 dan
ko-reseptor kemokin, terdapat integrin 47 sebagai reseptor penting lainnya
untuk HIV. Antigen gp120 yang berada pada permukaan HIV akan berikatan
dengan CD4 serta ko-reseptor kemokin CXCR4 dan CCR5, dan dengan mediasi
antigen gp41 virus, akan terjadi fusi dan internalisasi HIV. Di dalam sel CD4,
sampul HIV akan terbuka dan RNA yang muncul akan membuat salinan DNA
dengan bantuan enzim transkriptase reversi. Selanjutnya salinan DNA ini akan
berintegrasi dengan DNA pejamu dengan bantuan enzim integrase. DNA virus
yang terintegrasi ini disebut sebagai provirus. Setelah terjadi integrasi, provirus
ini akan melakukan transkripsi dengan bantuan enzim polimerasi sel host menjadi
mRNA untuk selanjutnya mengadakan transkripsi dengan protein-protein struktur
sampai terbentuk protein. mRNA akan memproduksi semua protein virus.
Genomik RNA dan protein virus ini akan membentuk partikel virus yang
nantinya akan menempel pada bagian luar sel. Melalui proses budding pada
permukaan membran sel, virion akan dikeluarkan dari sel inang dalam keadaan
matang. Sebagian besar replikasi HIV terjadi di kelenjar getah bening, bukan di
peredaran darah tepi1.
2.5 PENULARAN
Infeksi HIV terjadi melalui tiga jalur transmisi utama yakni transmisi melalui
mukosa genital (hubungan seksual) transmisi langsung ke peredaran darah melalui
jarum suntik yang terkontaminasi atau melalui komponen darah yang
terkontaminasi, dan transmisi vertikal dari ibu ke janin. CDC pernah melaporkan
adanya penularan HIV pada petugas kesehatan.
2.6 PATOFISIOLOGIS
Dalam tubuh ODHA, partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien,
sehingga satu kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap terinfeksi.
Sebagian berkembang masuk tahap AIDS pada 3 tahun pertama, 50%
berkembang menjadi pasien AIDS sesudah 10 tahun, dan sesudah 13 tahun
hampir semua orang yang terinfeksi HIV menunjukkan gejala AIDS, dan
kemudian meninggal. Perjalanan penyakit tersebut menunjukkan gambaran
penyakit yang kronis, sesuai dengan perusakan sistem kekebalan tubuh yang juga
bertahap1.
Dari semua orang yang terinfeksi HIV, lebih dari separuh akan menunjukkan
gejala infeksi primer yang timbul beberapa hari setelah infeksi dan berlangsung
selama 2-6 minggu. Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri menelan,
pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare, atau batuk dan gejala-gejala ini
akan membaik dengan atau tanpa pengobatan1.
Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimtomatik (tanpa gejala) yang
berlangsung selama 8-10 tahun. Tetapi ada sekelompok kecil orang yang
perjalanan penyakitnya amat cepat, dapat hanya sekitar 2 tahun, dan ada pula
perjalanannya lambat (non-progessor). Sejalan dengan memburuknya kekebalan
tubuh, ODHA mulai menampakkan gejala-gejala akibat infeksi oportunistik
seperti berat badan menurun, demam lama, rasa lemah, pembesaran kelenjar getah
bening, diare, tuberkulosis, infeksi jamur, herpes dan lain-lainnya.
Tanpa pengobatan ARV, sistem kekebalan tubuh orang yang terinfeksi HIV
akan memburuk bertahap meski selama beberapa tahun tidak bergejala. Pada
akhirnya, ODHA akan menunjukkan gejala klinik yang makin berat. Hal ini
berarti telah masuk ke tahap AIDS. Terjadinya gejala-gejala AIDS biasanya
didahului oleh akselerasi penurunan jumlah limfosit CD4. Perubahan ini diikuti
oleh gejala klinis menghilangnya gejala limfadenopati generalisata yang
disebabkan hilangnya kemampuan respon imun seluler untuk melawan turnover
HIV dalam kelenjar limfe Karena manifestasi awal kerusakan dari sistem imun
tubuh adalah kerusakan mikroarsitektur folikel kelenjar getah bening dan infeksi
HIV meluas ke jaringan limfoid, yang dapat diketahui dari pemeriksaan hibridasi
insitu. Sebagian replikasi HIV terjadi di kelenjar getah bening, bukan di peredaran
darah tepi1.
Pada waktu orang dengan infeksi HIV masih merasa sehat, klinis tidak
menunjukkan gejala, pada waktu itu terjadi replikasi HIV yang tinggi, 10 partikel
setiap hari. Replikasi yang cepat ini disertai dengan mutasi HIV dan seleksi,
muncul HIV yang resisten. Bersamaan dengan replikasi HIV, terjadi kehancuran
limfosit CD4 yang tinggi, untungnya tubuh masih bisa mengkompensasi dengan
memproduksi limfosit CD4 sekitar 10 miliar sel setiap hari1.
Pejalanan penyakit lebih progresif pada pengguna narkotika. Lebih dari 80%
pengguna narkotika terinfeksi virus hepatitis C. Infeksi pada katup jantung juga
adalah penyakit yang dijumpai pada ODHA pengguna narkotika dan biasanya
tidak ditemukan pada ODHA yang tertular dengan cara lain. Lamanya pengguna
jarum suntik berbanding lurus dengan infeksi pneumonia dan tuberkulosis. Makin
lama seseorang menggunkan narkotika suntikan, makin mudah ia terkena
pneumonia dan tuberkulosis. Infeksi secara bersamaan ini akan menimbulkan efek
yang buruk. Infeksi oleh kuman penyakit lain akan menyebabkan virus HIV
membelah dengan lebih cepat sehingga jumlahnya akan meningkat pesat. Selain
itu juga dapat menyebabkan reaktivasi virus di dalam limfosit T. Akibatnya
perjalanan penyakitnya biasanya lebih progresif1.
2.7.1. Anamnesis
Daftar tilik pemeriksaan fisik pada pasien dengan kecurigaan infeksi HIV
dapat dilihat pada tabel 6
Tabel 6 : Daftar tilik pemeriksaan fisik
Gejala Frekuensi
Demam lama 100 %
Batuk 90,3 %
Penurunan berat badan 80,7 %
Sariawan dan nyeri menelan 78,8 %
Diare 69,2 %
Sesak napas 40,4 %
Pembesaran kelenjar getah bening 28,8 %
Penurunan kesadaran 17,3 %
Gangguan penglihatan 15,3 %
Neuropati 3,8 %
Ensefalopati 4,5 %
kimia, SGOT, SGPT, BUN dan kreatinin, urinalisis, tes mantux, serologi hepatitis A, B, dan C, anti- Toxoplasma gondii IgG, dan
rofil lipid pada pasien dengan risiko penyakit kardiovaskular dan sebagai penilaian awal sebelum inisasi kombinasi terapi (A
Hasil tes dinyatakan positif bila tes penyaring dua kali positif ditambah
dengan tes konfirmasi dengan WB positif. Di negara-negara berkembang
termasuk Indonesia, pemeriksaan WB masih relatif mahal sehingga tidak
mungkin dilakukan secara rutin. WHO menganjurkan strategi pemeriksaan
dengan kombinasi dari pemeriksaan penyaring yang tidak melibatkan
pemeriksaan WB sebagai konfirmasi. Di Indonesia, kombinasi yang digunakan
adalah tiga kali positif pemeriksaan penyaring dengan menggunakan strategi 3.
Bila hasil tes tidak sama missal hasil tes pertama reaktif, tes kedua reaktif, dan
yang ketiga non-reaktif atau apabila hasil tes pertama reaktif, kedua dan ketiga
non-reaktif, maka keadaan ini disebut sebagai indeterminate dengan catatan orang
tersebut memiliki riwayat pajanan atau berisiko tinggi tertular HIV. Bila orang
tersebut tanpa riwayat pajanan atau tidak memiliki risiko tertular, maka hasil
pemeriksaan dilaporkan sebagai non-reaktif1.
Angka infeksi pada bayi sekitar 1 dalam 6 bayi. Pada awal terinfeksi,
memang tidak memperlihatkan gejala-gejala khusus. Namun beberapa minggu
kemudian orang tua yang terinfeksi HIV akan terserang penyakit ringan sehari-
hari seperti flu dan diare. Penderita AIDS dari luar tampak sehat. Pada tahun ke 3-
4 penderita tidak memperlihatkan gejala yang khas. Sesudah tahun ke 5-6 mulai
timbul diare berulang, penurunan berat badan secara mendadak, sering sariawan di
mulut dan terjadi pembengkakan didaerah kelenjar getah bening. Jika diuraikan
tanpa penanganan medis, gejala PMS akan berakibat fatal.
Gejala infeksi akut biasanya timbul sedudah masa inkubasi selama 1-3 bulan.
Gejala yang timbul umumnya seperti influenza, demam, atralgia, anereksia,
malaise, gejala kulit (bercak-bercak merah, urtikarta), gejala syaraf (sakit kepada,
nyeri retrobulber, gangguan kognitif danapektif), gangguan gas trointestinal
(nausea, diare). Pada fase ini penyakit tersebut sangat menular karena terjadi
viremia. Gejala tersebut diatas merupakan reaksi tubuh terhadap masuknya unis
yang berlangsung kira-kira 1-2 minggu.
Fase ini dimulai rata-rata sesudah 5 tahun terkena infeksi HIV. Berbagai
gejala penyakit ringan atau lebih berat timbul pada fase ini, tergantung pada
tingkat imunitas penderita:
b. Dicurigai AIDS pada anak. Bila terdapat palinh sedikit dua gejala mayor dan
dua gejala minor, dan tidak terdapat sebab – sebab imunosupresi yang lain
seperti kanker, malnutrisi berat, pemakaian kortikosteroid yang lama atau
etiologi lain.
1. Gejala Mayor
Penurunan berat badan atau pertmbuhan yang lambat dan abnormal
Diare kronik lebih dari 1bulan
Demam lebih dari1bulan
2. Gejala minor
Limfadenopati generalisata
Kandidiasis oro-faring
Infeksi umum yang berulang
Batuk parsisten
Dermatitis
2.7.6 Penilaian Imunologi
Tes hitung jumlah sel T CD4 merupakan cara yang terpercaya dalam menilai
status imunitas odha dan memudahkan kita untuk mengambil keputusan dalam
memberikan pengobatan ARV. Tes CD4 ini juga digunakan sebagai pemantau
respon terapi ARV. Namun yang penting diingat bahwa meski tes CD4
dianjurkan, bilamana tidak tersedia, hal ini tidak boleh menjadi penghalang atau
menunda pemberian terapi ARV. CD4 juga digunakan sebagai pemantau respon
terapi ARV. Pemeriksaan jumlah limfosit total (Total Lymphocyte Count – TLC)
dapat digunakan sebagai indikator fungsi imunitas jika tes CD4 tidak tersedia
namun TLC tidak dianjurkan untuk menilai respon terapi ARV atau sebagai dasar
menentukan kegagalan terapi ARV6.
Stadium 1 Asimptomatik
Tidak ada penurunan berat badan
Tidak ada gejala atau hanya : Limfadenopati Generalisata Persisten
HIV/AIDS sampai saat ini memang belum dapat disembuhkan secara total.
Namun data selam 8 tahun terakhir menunjukkan bukti yang amat meyakinkan
bahwa pengobatan dengan menggunakan kombinasi beberapa obat anti HIV
bermanfaat untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas dini akibat infeksi HIV1.
Dalam hal tidak tersedia tes CD4, semua pasien dengan stadium 3 dan 4 harus
memulai terapi ARV. Pasien dengan stadium klinis 1 dan 2 harus dipantau secara
seksama, setidaknya setiap 3 bulan sekali untuk pemeriksaan medis lengkap atau
manakala timbul gejala atau tanda klinis yang baru.Adapun terapi HIV-AIDS
berdasarkan stadiumnya seperti pada tabel 106.
2.8.3.1 Tuberkulosis
Tuberkulosis (TB) merupakan infeksi oportunistik terbanyak pada ODHA di
Indonesia. TB mempercepat progesivitas infeksi HIV dengan meningkatkan
replikasi HIV dan juga menjadi penyebab kematian tersering pada ODHA8.
TB paru merupakan jenis yang paling sering dijumpai dan muncul pada
infeksi HIV awal dengan jumlah median CD4 > 300 sel/ L sedangkan TB
ekstraparu atau diseminata dijumpai pada odha dengan jumlah CD4 yang lebih
rendah8.
Gejala TB paru yang paling sering adalah batuk kronik lebih dari 3 minggu,
demam, penurunan berat badan, penurunan nafsu makan, rasa letih, berkeringat
pada waktu malam, nyeri dada, dan batuk darah. Sedangkan pada TB ekstra paru
yang tersering adalah limfadenopati asimetris, perikarditis, efusi pleura dan
osteomielitis. Sayangnya, gambaran klinis TB pada ODHA seringkali tidak khas
dan sangat bervariasi sehingga menegakkan diagnosis menjadi lebih sulit8.
Cara penegakan diagnosis TB pada ODHA tidak berbeda dengan yang bukan
ODHA. Namun, sensitivitas untuk pemeriksaan sputum BTA pada ODHA sekitar
50% dan tes tuberkulin hanya positif pada 30-50% ODHA. Pada foto toraks,
gambaran TB paru pada ODHA dengan CD4>200 sel/µL tidak berbeda dengan
non – HIV berupa infiltrat pada lobus atas, kavitas, atau efusi pleura. Pada ODHA
dengan CD < 200 sel/µL, gambaran yang lebih sering tampak adalah
limfadenopati mediastinum dan infiltrat di lobus bawah. Diagnosis definitif TB
pada ODHA adalah dengan ditemukannya M.tuberculosis pada kultur jaringan
atau spesimen sedangkan diagnosis presumtifnya berdasarkan ditemukannya BTA
pada specimen dengan gejala sesuai TB atau perbaikan gejala setelah terapi
kombinasi OAT8.
Regimen pengobatan TB tidak berbeda dengan regimen pengobatan TB pada
kasus non-HIV dengan lama pengobatan 6 bulan seperti tercantum pada tabel 16.
Terapi ARV direkomendasikan untuk semua ODHA yang menderita TB dengan
CD4 < 200/mm3, dan perlu dipertimbangkan bila CD4 > 350/mm3. Bila tidak
tersedia pemeriksaan CD4, maka terapi ARV direkomendasikan untuk semua
ODHA dengan TB. Pemberian OAT sebaiknya tidak dimulai bersama-sama
dengan ARV dengan tujuan untuk mengurangi kemungkinan interaksi obat, dan
ketidakpatuhan minum obat8.
Klasifikasi Regimen Obat
Kasus TB baru 2HRZE / 6 HE (DOTS)
TB kambuh/ pengobatan ulang 2SHRZE / HRZE / 5H3R3E3 (DOTS)
Tabel 16. Obat yang dipakai dan lama pengobatan
Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada ODHA dengan terapi ARV dan
OAT adalah kemungkinan adanya efek samping dan resistensi OAT. Tatacara
terapi berdasarkan jumlah CD4 seperti tercantum pada tabel 17. Untuk itu, perlu
dilakukan tes resistensi BTA pada odha yang mengalami TB8.
Jika kekebalan tubuh dengan indikator nilai CD4 meningkat maka risiko terkena
infeksi oportunistik berkurang sehingga obat pencegahan infeksi oportunistik
dapat dihentikan. Namun bila kekebalan menurun kembali obat infeksi
oportunistik harus diberikan lagi. Tabel berikut menampilkan secara ringkas
pencegahan terhadap beberapa bentuk infeksi oportunistik. Beberapa upaya
profilaksis hanya dianjurkan bila penderita mampu seperti vaksinasi pneumokok,
hepatitis B dan hepatitis A4.
6. Fauci AS, Lane HC. Human Immunodeficiency Virus Disease: AIDS and
related disorders. In: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E,
Hause SL, Jameson JL. editors. Harrison’s Principles of Internal
Medicine. 17th ed. The United States of America: McGraw-Hill
7. Merati TP, Djauzi S. Respon imun infeksi HIV. In: Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. 4th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI 2006
10. Yayasan Spiritia. Sejarah HIV di Indonesia. 2009 [cited 2017 Sept 21];
Available from: http://spiritia.or.id/art/bacaart.php?artno=1040