Anda di halaman 1dari 34

1

BAB II

HIV-AIDS

2.1 DEFINISI

Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah kumpulan gejala atau


penyakit yang diakibatkan karena penurunan kekebalan tubuh akibat adanya
infeksi oleh Human Imunodeficiency Virus (HIV) yang termasuk famili
retroviridae. AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV1.

2.2 EPIDEMIOLOGI

Laporan UNAIDS-WHO menunjukkan bahwa AIDS telah merenggut lebih


dari 25 juta jiwa sejak pertama kali dilaporkan pada tahun 1981. Peningkatan
jumlah orang hidup dengan HIV sungguh mengesankan. Pada tahun 1990, jumlah
ODHA baru berkisar pada angka delapan juta sedangkan tahun 2009, jumlah
ODHA diperkirakan mencapai 33,3 juta orang, dengan sebangian besar
penderitanya adalah usia produktif , 15,9 juta penderita adalah perempuan dan 2,5
juta adalah anak-anak. Dengan jumlah kasus baru HIV sebanyak 2.6 juta jiwa.
Dari jumlah kasus baru tersebut, sekitar 370 ribu di antaranya terjadi pada anak-
anak. Pada tahun yang sama, lebih dari dua juta orang meninggal karena AIDS3.

Sejak 1985 sampai tahun 1996 kasus AIDS masih jarang ditemukan di
Indonesia. Sebagian ODHA pada periode itu berasal dari kalangan homoseksual.
Kemudian jumlah kasus baru HIV/AIDS semakin meningkat dan sejak
pertengahan tahun 1999 mulai terlihat peningkatan tajam yang terutama
disebabkan akibat penularan melalui narkotika suntik1.

Saat ini, perkembangan epidemi HIV di Indonesia termasuk yang tercepat di


Asia. Sebagian besar infeksi baru diperkirakan terjadi pada beberapa sub-populasi
berisiko tinggi (dengan prevalensi > 5%), seperti pengguna narkotika suntik
(penasun), wanita penjaja seks (WPS), dan waria. Di beberapa propinsi seperti
DKI Jakarta, Riau, Bali, Jabar dan Jawa Timur telah tergolong sebagai daerah
dengan tingkat epidemi terkonsentrasi (concentrated level of epidemic). Sedang
tanah Papua sudah memasuki tingkat epidemi meluas (generalized epidemic)5.

Dari jumlah kumulatif 8.747 kasus AIDS yang dilaporkan pada Desember
2012, sekitar 54% adalah laki-laki, 29% adalah perempuan, dan 17% tidak
melaporkan jenis kelamin. Berdasarkan cara penularan, dilaporkan 61,5% pada
heteroseksual; 15,2% pada pengguna narkotika suntik; 2,4% pada homoseksual
dan 2,7% pada transmisi perinatal. Hal ini menunjukkan adanya pergeseran dari
dominasi kelompok homoseksual ke kelompok heteroseksual dan penasun.
Kumulatif kasus AIDS tertinggi dilaporkan pada kelompok usia 20–29 tahun
(32,9%), disusul kelompok usia 30–39 tahun (28,5)6.

Dari 33 propinsi seluruh Indonesia yang melaporkan, peringkat pertama


jumlah kumulatif kasus AIDS berasal dari propinsi Papua sebesar 10.184 kasus,
disusul Jawa Timur dengan 8.976 kasus, kemudian diikuti oleh DKI Jakarta
dengan 7.477 kasus, Bali dan Jawa Barat dengan masing-masing jumlah kasus
secara berurutan sebesar 4.261 kasus dan 4191 kasus AIDS6.

2.3 ETIOLOGI

AIDS disebabkan oleh infeksi HIV. HIV adalah suatu virus RNA berbentuk
sferis yang termasuk retrovirus dari famili Lentivirus. (Gambar 1). Strukturnya
tersusun atas beberapa lapisan dimana lapisan terluar (envelop) berupa
glikoprotein gp120 yang melekat pada glikoprotein gp41. Selubung glikoprotein
ini berafinitas tinggi terhadap molekul CD4 pada permukaan T-helper lymphosit
dan monosit atau makrofag. Lapisan kedua di bagian dalam terdiri dari protein
p17. Inti HIV dibentuk oleh protein p24. Di dalam inti ini terdapat dua rantai
RNA dan enzim transkriptase reverse (reverse transcriptase enzyme)7.
Gambar 1: struktur virus HIV-1
Ada dua tipe HIV yang dikenal yakni HIV-1 dan HIV-2. Epidemi HIV global
terutama disebabkan oleh HIV-1 sedangkan tipe HIV-2 tidak terlalu luas
penyebarannya. Tipe yang terakhir ini hanya terdapat di Afrika Barat dan
beberapa negara Eropa yang berhubungan erat dengan Afrika Barat7.

2.4 PATOGENESIS

Limfosit CD4+ (sel T helper atau Th) merupakan target utama infeksi HIV
karena virus mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4. Limfosit
CD4+ berfungsi mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yang penting
sehingga bila terjadi kehilangan fungsi tersebut maka dapat menyebabkan
gangguan imun yang progresif1.

Namun beberapa sel lainnya yang dapat terinfeksi yang ditemukan secara in
vitro dan invivo adalah megakariosit, epidermal langerhans, peripheral dendritik,
folikular dendritik, mukosa rectal, mukosa saluran cerna, sel serviks, mikrogilia,
astrosit, sel trofoblast, limfosit CD8, sel retina dan epitel ginjal7.

Infeksi HIV terjadi melalui molekul CD4 yang merupakan reseptor utama
HIV dengan bantuan ko-reseptor kemokin pada sel T atau monosit, atau melalui
kompleks molekul adhesi pada sel dendrit. Kompleks molekul adhesi ini dikenal
sebagai dendritic-cell specific intercellular adhesion molecule-grabbing
nonintegrin (DC-SIGN). Akhir-akhir ini diketahui bahwa selain molekul CD4 dan
ko-reseptor kemokin, terdapat integrin 47 sebagai reseptor penting lainnya
untuk HIV. Antigen gp120 yang berada pada permukaan HIV akan berikatan
dengan CD4 serta ko-reseptor kemokin CXCR4 dan CCR5, dan dengan mediasi
antigen gp41 virus, akan terjadi fusi dan internalisasi HIV. Di dalam sel CD4,
sampul HIV akan terbuka dan RNA yang muncul akan membuat salinan DNA
dengan bantuan enzim transkriptase reversi. Selanjutnya salinan DNA ini akan
berintegrasi dengan DNA pejamu dengan bantuan enzim integrase. DNA virus
yang terintegrasi ini disebut sebagai provirus. Setelah terjadi integrasi, provirus
ini akan melakukan transkripsi dengan bantuan enzim polimerasi sel host menjadi
mRNA untuk selanjutnya mengadakan transkripsi dengan protein-protein struktur
sampai terbentuk protein. mRNA akan memproduksi semua protein virus.
Genomik RNA dan protein virus ini akan membentuk partikel virus yang
nantinya akan menempel pada bagian luar sel. Melalui proses budding pada
permukaan membran sel, virion akan dikeluarkan dari sel inang dalam keadaan
matang. Sebagian besar replikasi HIV terjadi di kelenjar getah bening, bukan di
peredaran darah tepi1.

Siklus replikasi virus HIV digambarkan secara ringkas melalui gambar 2


Gambar 2 : Visualisasi siklus HIV

Pada pemeriksaan laboratorium yang umum dilakukan untuk melihat


defisiensi imun, akan terlihat gambaran penurunan hitung sel CD4, inverse rasio
CD4-CD8 dan hipergammaglobulinemia. Respon imun humoral terhadap virus
HIV dibentuk terhada berbagai antigen HIV seperti antigen inti (p24) dan sampul
virus (gp21, gp41). Antibodi muncul di sirkulasi dalam beberapa minggu setelah
infeksi. Secara umum dapat dideteksi pertama kali sejak 2 minggu hingga 3 bulan
setelah terinfeksi HIV. Masa tersebut disebut masa jendela. Antigen gp120 dan
bagian eksternal gp21 akan dikenal oleh sistem imun yang dapat membentuk
antibodi netralisasi terhadap HIV. Namun, aktivitas netralisasi antibodi tersebut
tidak dapat mematikan virus dan hanya berlangsung dalam masa yang pendek.
Sedangkan respon imun selular yang terjadi berupa reaksi cepat sel CTL (sel T
sitolitik yang sebagian besar adalah sel T CD8). Walaupun jumlah dan aktivitas
sel T CD8 ini tinggi tapi ternyata tidak dapat menahan terus laju replikasi HIV1.
Perjalanan penyakit infeksi HIV disebabkan adanya gangguan fungsi dan
kerusakan progresif populasi sel T CD4. Hal ini meyebabkan terjadinya deplesi
sel T CD4. Selain itu, terjadi juga disregulasi repsons imun sel T CD4 dan
proliferasi CD4 jarang terlihat pada pasien HIV yang tidak mendapat pengobatan
antiretrovirus1.

2.5 PENULARAN

Infeksi HIV terjadi melalui tiga jalur transmisi utama yakni transmisi melalui
mukosa genital (hubungan seksual) transmisi langsung ke peredaran darah melalui
jarum suntik yang terkontaminasi atau melalui komponen darah yang
terkontaminasi, dan transmisi vertikal dari ibu ke janin. CDC pernah melaporkan
adanya penularan HIV pada petugas kesehatan.

Risiko tinggi Risiko masih sulit Risiko rendah selama


ditentukan tidak terkontaminasi
darah
Darah, serum Cairan amnion Mukosa seriks
Semen Cairan serebrospinal Muntah
Sputum Cairan pleura Feses
Sekresi vagina Cairan peritoneal Saliva
Cairan perikardial Keringat
Cairan synovial Air mata
Urin
Tabel 1 : Risiko penularan HIV dari cairan tubuh

Sebenarnya risiko penularan HIV melalui tusukan jarum maupun percikan


cairan darah sangat rendah. Risiko penularan melalui perlukaan kulit (misal akibat
tusukan jarum atau luka karena benda tajam yang tercemar HIV) hanya sekitar
0,3% sedangkan risiko penularan akibat terpercik cairan tubuh yang tercemar HIV
pada mukosa sebesar 0,09%4.

2.6 PATOFISIOLOGIS

Dalam tubuh ODHA, partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien,
sehingga satu kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap terinfeksi.
Sebagian berkembang masuk tahap AIDS pada 3 tahun pertama, 50%
berkembang menjadi pasien AIDS sesudah 10 tahun, dan sesudah 13 tahun
hampir semua orang yang terinfeksi HIV menunjukkan gejala AIDS, dan
kemudian meninggal. Perjalanan penyakit tersebut menunjukkan gambaran
penyakit yang kronis, sesuai dengan perusakan sistem kekebalan tubuh yang juga
bertahap1.

Dari semua orang yang terinfeksi HIV, lebih dari separuh akan menunjukkan
gejala infeksi primer yang timbul beberapa hari setelah infeksi dan berlangsung
selama 2-6 minggu. Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri menelan,
pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare, atau batuk dan gejala-gejala ini
akan membaik dengan atau tanpa pengobatan1.

Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimtomatik (tanpa gejala) yang
berlangsung selama 8-10 tahun. Tetapi ada sekelompok kecil orang yang
perjalanan penyakitnya amat cepat, dapat hanya sekitar 2 tahun, dan ada pula
perjalanannya lambat (non-progessor). Sejalan dengan memburuknya kekebalan
tubuh, ODHA mulai menampakkan gejala-gejala akibat infeksi oportunistik
seperti berat badan menurun, demam lama, rasa lemah, pembesaran kelenjar getah
bening, diare, tuberkulosis, infeksi jamur, herpes dan lain-lainnya.

Kelompok Gejala Kekerapan (%)


Umum Demam 90
Nyeri otot 54
Nyeri sendi -
Rasa lemah -
Mukokutan Ruam kulit 70
Ulkus di mulut 12
Limfadenopati 74
Neurologi Nyeri kepala 32
Nyeri belakang mata -
Fotofobia -
Depresi -
Meningitis 12
Saluran cerna Anoreksia -
Nausea -
Diare 32
Jamur di mulut 12

Tabel 2. Gejala klinis infeksi primer HIV

Tanpa pengobatan ARV, sistem kekebalan tubuh orang yang terinfeksi HIV
akan memburuk bertahap meski selama beberapa tahun tidak bergejala. Pada
akhirnya, ODHA akan menunjukkan gejala klinik yang makin berat. Hal ini
berarti telah masuk ke tahap AIDS. Terjadinya gejala-gejala AIDS biasanya
didahului oleh akselerasi penurunan jumlah limfosit CD4. Perubahan ini diikuti
oleh gejala klinis menghilangnya gejala limfadenopati generalisata yang
disebabkan hilangnya kemampuan respon imun seluler untuk melawan turnover
HIV dalam kelenjar limfe Karena manifestasi awal kerusakan dari sistem imun
tubuh adalah kerusakan mikroarsitektur folikel kelenjar getah bening dan infeksi
HIV meluas ke jaringan limfoid, yang dapat diketahui dari pemeriksaan hibridasi
insitu. Sebagian replikasi HIV terjadi di kelenjar getah bening, bukan di peredaran
darah tepi1.

Pada waktu orang dengan infeksi HIV masih merasa sehat, klinis tidak
menunjukkan gejala, pada waktu itu terjadi replikasi HIV yang tinggi, 10 partikel
setiap hari. Replikasi yang cepat ini disertai dengan mutasi HIV dan seleksi,
muncul HIV yang resisten. Bersamaan dengan replikasi HIV, terjadi kehancuran
limfosit CD4 yang tinggi, untungnya tubuh masih bisa mengkompensasi dengan
memproduksi limfosit CD4 sekitar 10 miliar sel setiap hari1.

Pejalanan penyakit lebih progresif pada pengguna narkotika. Lebih dari 80%
pengguna narkotika terinfeksi virus hepatitis C. Infeksi pada katup jantung juga
adalah penyakit yang dijumpai pada ODHA pengguna narkotika dan biasanya
tidak ditemukan pada ODHA yang tertular dengan cara lain. Lamanya pengguna
jarum suntik berbanding lurus dengan infeksi pneumonia dan tuberkulosis. Makin
lama seseorang menggunkan narkotika suntikan, makin mudah ia terkena
pneumonia dan tuberkulosis. Infeksi secara bersamaan ini akan menimbulkan efek
yang buruk. Infeksi oleh kuman penyakit lain akan menyebabkan virus HIV
membelah dengan lebih cepat sehingga jumlahnya akan meningkat pesat. Selain
itu juga dapat menyebabkan reaktivasi virus di dalam limfosit T. Akibatnya
perjalanan penyakitnya biasanya lebih progresif1.

Secara ringkas, perjalanan alamiah penyakit HIV/AIDS dikaitkan dengan


hubungan antara jumlah RNA virus dalam plasma dan jumlah limfosit CD4+
ditampilkan dalam gambar 3.

Gambaran perjalanan alamiah infeksi HIV. Dalam periode infeksi primer,


HIV menyebar luas di dalam tubuh; menyebabkan deplesi sel T CD4 yang terlihat
pada pemeriksaan darah tepi. Reaksi imun terjadi sebagai respon terhadap HIV,
ditandai dengan penurunan viremia. Selanjutnya terjadi periode laten dan
penurunan jumlah sel T CD4 terus terjadi hingga mencapai di bawah batas kritis
yang akan memungkinkan terjadinya infeksi oportunistik.

Gambar 3: perjalanan alamiah infeksi HIV


2.7 DIAGNOSIS

2.7.1. Anamnesis

Anamnesis yang lengkap termasuk risiko pajanan HIV , pemeriksaan fisik,


pemeriksaan laboratorium, dan konseling perlu dilakukan pada setiap ODHA saat
kunjungan pertama kali ke sarana kesehatan. Hal ini dimaksudkan untuk
menegakkan diagnosis, diperolehnya data dasar mengenai pemeriksaan fisik dan
laboratorium, memastikan pasien memahami tentang infeksi HIV, dan untuk
menentukan tata laksana selanjutnya. Dari Anamnesis, perlu digali faktor resiko
HIV AIDS, Berikut ini mencantumkan, daftar tilik riwayat penyakit pasien
dengan tersangka ODHA (tabel 3 dan tabel 4).

- Penjaja seks laki-laki atau perempuan


- Pengguna napza suntik (dahulu atau sekarang)
- Laki-laki yang berhubungan seks dengan sesama laki-laki (LSL) dan
transgender (waria)
- Pernah berhubungan seks tanpa pelindung dengan penjaja seks komersial
- Pernah atau sedang mengidap penyakit infeksi menular seksual (IMS)
- Pernah mendapatkan transfusi darah atau resipient produk darah
- Suntikan, tato, tindik, dengan menggunakan alat non steril.

Tabel 3. Faktor risiko infeksi HIV


Tabel 4: Daftar tilik riwayat pasien

2.7.2 Pemeriksaan fisik

Daftar tilik pemeriksaan fisik pada pasien dengan kecurigaan infeksi HIV
dapat dilihat pada tabel 6
Tabel 6 : Daftar tilik pemeriksaan fisik

Gambaran klinis yang terjadi umumnya akibat adanya infeksi oportunistik


atau kanker yang terkait dengan AIDS seperti sarkoma Kaposi, limfoma
malignum dan karsinoma serviks invasif. Daftar tilik pemeriksaan fisik pada
pasien dengan kecurigaan infeksi HIV dapat dilihat pada tabel 6. Di RS Dr. Cipto
Mangkusumo (RSCM) Jakarta, gejala klinis yang sering ditemukan pada odha
umumnya berupa demam lama, batuk, adanya penurunan berat badan, sariawan,
dan diare, seperti pada tabel 5 .

Gejala Frekuensi
Demam lama 100 %
Batuk 90,3 %
Penurunan berat badan 80,7 %
Sariawan dan nyeri menelan 78,8 %
Diare 69,2 %
Sesak napas 40,4 %
Pembesaran kelenjar getah bening 28,8 %
Penurunan kesadaran 17,3 %
Gangguan penglihatan 15,3 %
Neuropati 3,8 %
Ensefalopati 4,5 %

Tabel 5. Gejala AIDS di RS. Dr. Cipto Mangunkusumo

2.7.3 Pemeriksaan penunjang

Untuk memastikan diagnosis terinfeksi HIV, dilakukan dengan pemeriksaan


laboratorium yang tepat. Pemeriksaan dapat dilakukan antara lain dengan
pemeriksaan antibodi terhadap HIV, deteksi virus atau komponen virus HIV
(umumnya DNA atau RNA virus) di dalam tubuh yakni melalui pemeriksaan PCR
untuk menentukan viral load, dan tes hitung jumlah limfosit. Sedangkan untuk
kepentingan surveilans, diagnosis HIV ditegakkan apabila terdapat infeksi
oportunistik atau limfosit CD4+ kurang dari 200 sel/mm3 6.

Tes antibodi terhadap HIV (AI); RNA plasma (viral load)


Tes Hitung
(AI); jumlah sel T CD4 T (AI); HIV

kimia, SGOT, SGPT, BUN dan kreatinin, urinalisis, tes mantux, serologi hepatitis A, B, dan C, anti- Toxoplasma gondii IgG, dan
rofil lipid pada pasien dengan risiko penyakit kardiovaskular dan sebagai penilaian awal sebelum inisasi kombinasi terapi (A

Tabel 7. Anjuran pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan pada ODHA


Pemeriksaan anti HIV dilakukan setelah dilakukan konseling pra-tes dan
biasanya dilakukan jika ada riwayat perilaku risiko (terutama hubungan seks yang
tidak aman atau penggunaan narkotika suntikan). Tes HIV juga dapat ditawarkan
pada mereka dengan infeksi menular seksual, hamil, mengalami tuberkulosis
aktif, serta gejala dan tanda yang mengarah adanya infeksi HIV. Hasil
pemeriksaan pada akhirnya akan diberitahukan, untuk itu, konseling pasca tes
juga diperlukan. Jadi, pemeriksaan HIV sebaiknya dilakukan dengan memenuhi
3C yakni confidential (rahasia), disertai dengan counselling (konseling), dan
hanya dilakukan dengan informed consent1.

Tes penyaring standar anti-HIV menggunakan metode ELISA yang memiliki


sensitivitas tinggi (> 99%). Jika pemeriksaan penyaring ini menyatakan hasil yang
reaktif, maka pemeriksaan dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan konfirmasi
untuk memastikan adanya infeksi oleh HIV. Uji konfirmasi yang sering dilakukan
saat ini adalah dengan teknik Western Blot (WB). Hasil tes positif palsu dapat
disebabkan adanya otoantibodi, penerima vaksin HIV, dan kesalahan teknik
pemeriksaan. Hasil tes positif pada bayi yang lahir dari ibu HIV positif belum
tentu berarti tertular mengingat adanya IgG terhadap HIV yang berasal dari darah
ibu. IgG ini dapat bertahan selama 18 bulan sehingga pada kondisi ini, tes perlu
diulang pada usia anak > 18 bulan1.

Hasil tes dinyatakan positif bila tes penyaring dua kali positif ditambah
dengan tes konfirmasi dengan WB positif. Di negara-negara berkembang
termasuk Indonesia, pemeriksaan WB masih relatif mahal sehingga tidak
mungkin dilakukan secara rutin. WHO menganjurkan strategi pemeriksaan
dengan kombinasi dari pemeriksaan penyaring yang tidak melibatkan
pemeriksaan WB sebagai konfirmasi. Di Indonesia, kombinasi yang digunakan
adalah tiga kali positif pemeriksaan penyaring dengan menggunakan strategi 3.
Bila hasil tes tidak sama missal hasil tes pertama reaktif, tes kedua reaktif, dan
yang ketiga non-reaktif atau apabila hasil tes pertama reaktif, kedua dan ketiga
non-reaktif, maka keadaan ini disebut sebagai indeterminate dengan catatan orang
tersebut memiliki riwayat pajanan atau berisiko tinggi tertular HIV. Bila orang
tersebut tanpa riwayat pajanan atau tidak memiliki risiko tertular, maka hasil
pemeriksaan dilaporkan sebagai non-reaktif1.

Tabel 8 : Alogaritma pemeriksaan HIV

2.7.4 Penilaian Klinis

Penilaian klinis yang perlu dilakukan setelah diagnosis HIV ditegakkan


meliputi penentuan stadium klinis infeksi HIV, mengidentifikasi penyakit yang
berhubungan dengan HIV di masa lalu, mengidentifikasi penyakit yang terkait
dengan HIV saat ini yang membutuhkan pengobatan, mengidentifikasi kebutuhan
terapi ARV dan infeksi oportunistik, serta mengidentifikasi pengobatan lain yang
sedang dijalani yang dapat mempengaruhi pemilihan terapi4.

2.7.5 Stadium Klinis

WHO membagi HIV/AIDS menjadi empat stadium klinis yakni stadium I


(asimtomatik), stadium II (sakit ringan), stadium III (sakit sedang), dan stadium
IV (sakit berat atau AIDS), lihat table 9. Bersama dengan hasil pemeriksaan
jumlah sel T CD4, stadium klinis ini dapat dijadikan sebagai panduan untuk
memulai terapi profilaksis infeksi oportunistik dan memulai atau mengubah terapi
ARV.

AIDS merupakan manifestasi lanjutan HIV. Selama stadium individu bisa


saja merasa sehat dan tidak curiga bahwa mereka penderita penyakit. Pada
stadium lanjut, system imun individu tidak mampu lagi menghadapi infeksi
Opportunistik dan mereka terus menerus menderita penyakit minor dan mayor
Karen tubuhnya tidak mampu memberikan pelayanan.

Angka infeksi pada bayi sekitar 1 dalam 6 bayi. Pada awal terinfeksi,
memang tidak memperlihatkan gejala-gejala khusus. Namun beberapa minggu
kemudian orang tua yang terinfeksi HIV akan terserang penyakit ringan sehari-
hari seperti flu dan diare. Penderita AIDS dari luar tampak sehat. Pada tahun ke 3-
4 penderita tidak memperlihatkan gejala yang khas. Sesudah tahun ke 5-6 mulai
timbul diare berulang, penurunan berat badan secara mendadak, sering sariawan di
mulut dan terjadi pembengkakan didaerah kelenjar getah bening. Jika diuraikan
tanpa penanganan medis, gejala PMS akan berakibat fatal.

Infeksi HIV memberikan gambaran klinik yang tidak spesifik dengan


spectrum yang lebar, mulai dari infeksi tanpa gejala (asimtomatif) pada stadium
awal sampai dengan gejala-gejala yang berat pada stadium yang lebih lanjut.
Perjalanan penyakit lambat dan gejala-gejala AIDS rata-rata baru timbul 10 tahun
sesudah infeksi, bahkan dapat lebih lama lagi.

Faktor-faktor yang mempengaruhi berkembangnya HIV menjadi AIDS belum


diketahui jelas. Diperkirakan infeksi HIV yang berulang – ulang dan pemaparan
terhadap infeksi-infeksi lain mempengaruhi perkembangan kearah AIDS.
Menurunnya hitungan sel CDA di bawah 200/ml menunjukkan perkembangan
yang semakin buruk. Keadaan yang buruk juga ditunjukkan oleh peningkatan B2
mikro globulin dan juga peningkatan I9A.

Perjalan klinik infeksi HIV telah ditemukan beberapa klasifikasi yaitu :


a. Infeksi Akut : CD4 : 750 – 1000

Gejala infeksi akut biasanya timbul sedudah masa inkubasi selama 1-3 bulan.
Gejala yang timbul umumnya seperti influenza, demam, atralgia, anereksia,
malaise, gejala kulit (bercak-bercak merah, urtikarta), gejala syaraf (sakit kepada,
nyeri retrobulber, gangguan kognitif danapektif), gangguan gas trointestinal
(nausea, diare). Pada fase ini penyakit tersebut sangat menular karena terjadi
viremia. Gejala tersebut diatas merupakan reaksi tubuh terhadap masuknya unis
yang berlangsung kira-kira 1-2 minggu.

b. Infeksi Kronis Asimtomatik : CD4 > 500/ml

Setelah infeksi akut berlalu maka selama bertahun-tahun kemudian,


umumnya sekitar 5 tahun, keadaan penderita tampak baik saja, meskipun
sebenarnya terjadi replikasi virus secara lambat di dalam tubuh. Beberapa
penderita mengalami pembengkakan kelenjar lomfe menyeluruh, disebut limfa
denopatio (LEP), meskipun ini bukanlah hal yang bersifat prognostic dan tidak
terpengaruh bagi hidup penderita. Saat ini sudah mulai terjadi penurunan jumlah
sel CD4 sebagai petunjuk menurunnya kekebalan tubuh penderita, tetapi masih
pada tingkat 500/ml.

c. Infeksi Kronis Simtomatik

Fase ini dimulai rata-rata sesudah 5 tahun terkena infeksi HIV. Berbagai
gejala penyakit ringan atau lebih berat timbul pada fase ini, tergantung pada
tingkat imunitas penderita:

1. Penurunan Imunitas sedang : CD4 200 – 500


Pada awal sub-fase ini timbul penyakit-penyakit yang lebih ringan
misalnya reaktivasi dari herpes zoster atau herpes simpleks. Namun dapat
sembuh total atau hanya dengan pengobatan biasa. Keganasan juga dapat
timbul pada fase yang lebih lanjut dari sub-fase ini dan dapat berlanjut ke sub
fase berikutnya, demikian juga yang disebut AIDS-Related (ARC).
2. Penurunan Imunitas berat : CD4 < 200
Pada sub fase ini terjadi infeksi oportunistik berat yang sering mengancam
jiwa penderita. Keganasan juga timbul pada sub fase ini, meskipun sering pada
fase yang lebih awal. Viremia terjadi untuk kedua kalinya dan telah dikatakan
tubuh sudah dalam kehilangan kekebalannya.
Sindrom klinis stadium simptomatik yang utama:
 Limfadenopati Generalisata yang menetap
 Gejala konstutional: Demam yang menetap > 1 bulan, penurunan BB
involunter > 10% dari nilai basal, dan diare >1 bulan tanpa penyebab
jelas.
 Kelainan neurologis: Ensefalopati HIV, limfoma SSP primer,
meningitis aseptik, mielopati, neuropati perifer, miopati.
 Penyakit infeksiosa sekunder: pneumonia, Candida albicans, M.
Tuberculosis, Cryptococcus neoformans, Toxxoplasma gondii, Virus
Herpes simpleks
 Neoplasma Sekunder: Sarkoma Kaposi (kulit dan viseral), neoplasma
limfoid
 Kelainan lain: Sindrom spesifik organ sebagai manifestasi prmer
penderita TB atau komplikasi
Untuk memastikan apakah seseorang kemasukan virus HIV, ia harus
memeriksakan darahnya dengan tes khusus dan berkonsultasi dengan dokter. Jika
dia positif mengidap AIDS, maka akan timbul gejala-gejala yang disebut dengan
ARC (AIDS Relative Complex) Adapun gejala-gejala yang biasa nampak pada
penderita AIDS adalah:
a. Dicurigai AIDS pada orang dewasa bila ada paling sedikit dua gejala mayor
dan satu gejala minor dan tidak ada sebab-sebab imunosupresi yang lain
seperti kanker,malnutrisi berat atau pemakaian kortikosteroid yang lama.
1. Gejala Mayor
Penurunan berat badan lebih dari 10%
Diare kronik lebih dari satu bulan
Demam lebih dari satu bulan
2. Gejala Minor
Batuk lebih dari satu bulan
Dermatitis preuritik umum
Herpes zoster recurrens
Kandidiasis orofaring
Limfadenopati generalisata
Herpes simplek diseminata yang kronik progresif

b. Dicurigai AIDS pada anak. Bila terdapat palinh sedikit dua gejala mayor dan
dua gejala minor, dan tidak terdapat sebab – sebab imunosupresi yang lain
seperti kanker, malnutrisi berat, pemakaian kortikosteroid yang lama atau
etiologi lain.
1. Gejala Mayor
Penurunan berat badan atau pertmbuhan yang lambat dan abnormal
Diare kronik lebih dari 1bulan
Demam lebih dari1bulan
2. Gejala minor
Limfadenopati generalisata
Kandidiasis oro-faring
Infeksi umum yang berulang
Batuk parsisten
Dermatitis
2.7.6 Penilaian Imunologi

Tes hitung jumlah sel T CD4 merupakan cara yang terpercaya dalam menilai
status imunitas odha dan memudahkan kita untuk mengambil keputusan dalam
memberikan pengobatan ARV. Tes CD4 ini juga digunakan sebagai pemantau
respon terapi ARV. Namun yang penting diingat bahwa meski tes CD4
dianjurkan, bilamana tidak tersedia, hal ini tidak boleh menjadi penghalang atau
menunda pemberian terapi ARV. CD4 juga digunakan sebagai pemantau respon
terapi ARV. Pemeriksaan jumlah limfosit total (Total Lymphocyte Count – TLC)
dapat digunakan sebagai indikator fungsi imunitas jika tes CD4 tidak tersedia
namun TLC tidak dianjurkan untuk menilai respon terapi ARV atau sebagai dasar
menentukan kegagalan terapi ARV6.
Stadium 1 Asimptomatik
Tidak ada penurunan berat badan
Tidak ada gejala atau hanya : Limfadenopati Generalisata Persisten

Stadium 2 Sakit ringan


Penurunan BB 5-10%
ISPA berulang, misalnya sinusitis atau otitis
Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir
Luka di sekitar bibir (keilitis angularis)
Ulkus mulut berulang
Ruam kulit yang gatal (seboroik atau prurigo -PPE)
Dermatitis seboroik
Infeksi jamur kuku

Stadium 3 Sakit sedang


Penurunan berat badan > 10%
Diare, Demam yang tidak diketahui penyebabnya, lebih dari 1 bulan
Kandidosis oral atau vaginal
Oral hairy leukoplakia
TB Paru dalam 1 tahun terakhir
Infeksi bakterial yang berat (pneumoni, piomiositis, dll)
TB limfadenopati
Gingivitis/Periodontitis ulseratif nekrotikan akut
Anemia (Hb <8 g%), netropenia (<5000/ml), trombositopeni kronis
(<50.000/ml)

Stadium 4 Sakit berat (AIDS)


Sindroma wasting HIV
Pneumonia pnemosistis*, Pnemoni bakterial yang berat berulang
Herpes Simpleks ulseratif lebih dari satu bulan.
Kandidosis esophageal
TB Extraparu*
Sarkoma kaposi
Retinitis CMV*
Abses otak Toksoplasmosis*
Encefalopati HIV
Meningitis Kriptokokus*
Infeksi mikobakteria non-TB meluas

Tabel 9. Stadium klinis HIV


2.8 TATALAKSANA

HIV/AIDS sampai saat ini memang belum dapat disembuhkan secara total.
Namun data selam 8 tahun terakhir menunjukkan bukti yang amat meyakinkan
bahwa pengobatan dengan menggunakan kombinasi beberapa obat anti HIV
bermanfaat untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas dini akibat infeksi HIV1.

Secara umum, penatalaksanaan ODHA terdiri atas beberapa jenis, yaitu:

a) Pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat antiretroviral


(ARV).
b) Pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker yang
menyertai infeksi HIV/AIDS, seperti jamur, tuberkulosis, hepatitis,
toksoplasmosis, sarkoma kaposi, limfoma, kanker serviks.
c) Pengobatan suportif, yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang lebih
baik dan pengobatan pendukung lain seperti dukungan psikososial dan
dukungan agama serta juga tidur yang cukup dan perlu menjaga kebersihan.
Dengan pengobatan yang lengkap tersebut, angka kematian dapat ditekan,
harapan hidup lebih baik dan kejadian infeksi oportunistik amat berkurang.

2.8.1 Terapi Antiretroviral (ARV)


Secara umum, obat ARV dapat dibagi dalam 3 kelompok besar yakni4:

 Kelompok nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NRTI) seperti:


zidovudin, zalsitabin, stavudin, lamivudin, didanosin, abakavir
 Kelompok non-nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NNRTI) seperti
evafirens dan nevirapin
 Kelompok protease inhibitors (PI) seperti sakuinavir, ritonavir, nelvinavir,
amprenavir.

Waktu memulai terapi ARV harus dipertimbangkan dengan seksama karena


obat antiretroviral akan diberikan dalam jangka panjang. Proses memulai terapi
ARV meliputi penilaian terhadap kesiapan pasien untuk memulai terapi ARV dan
pemahaman tentang tanggung jawab selanjutnya (terapi seumur hidup, adherence,
toksisitas). Jangkauan pada dukungan gizi dan psikososial, dukungan keluarga
atau sebaya juga menjadi hal penting yang tidak boleh dilupakan ketika membuat
keputusan untuk memulai terapi ARV6.

Dalam hal tidak tersedia tes CD4, semua pasien dengan stadium 3 dan 4 harus
memulai terapi ARV. Pasien dengan stadium klinis 1 dan 2 harus dipantau secara
seksama, setidaknya setiap 3 bulan sekali untuk pemeriksaan medis lengkap atau
manakala timbul gejala atau tanda klinis yang baru.Adapun terapi HIV-AIDS
berdasarkan stadiumnya seperti pada tabel 106.

Stadium Jika tidak tersedia


Bila tersedia pemeriksaan CD4
Klinis pemeriksaan CD4
Terapi ARV tidak
1
Terapi antiretroviral dimulai bila CD4 diberikan
<200 Bila jumlah total limfosit
2
<1200
Jumlah CD4 200 – 350/mm3,
pertimbangkan terapi sebelum CD4
<200/mm3.
Pada kehamilan atau TB: Terapi ARV dimulai
3  Mulai terapi ARV pada semua ibu tanpa memandang jumlah
hamil dengan CD4 350 limfosit total
 Mulai terapi ARV pada semua ODHA
dengan CD4 <350 dengan TB paru
atau infeksi bakterial berat
Terapi ARV dimulai tanpa memandang
4
jumlah CD4
Tabel 10. Terapi pada ODHA dewasa

1. CD4 dianjurkan digunakan untuk membantu menentukan mulainya terapi.


Contoh, TB paru dapat muncul kapan saja pada nilai CD4 berapapun dan
kondisi lain yang menyerupai penyakit yang bukan disebabkan oleh HIV
(misal, diare kronis, demam berkepanjangan).
2. Nilai yang tepat dari CD4 di atas 200/mm3 di mana terapi ARV harus dimulai
belum dapat ditentukan.
3. Jumlah limfosit total ≤1200/mm3 dapat dipakai sebagai pengganti bila
pemeriksaan CD4 tidak dapat dilaksanakan dan terdapat gejala yang berkaitan
dengan HIV (Stadium II atau III). Hal ini tidak dapat dimanfaatkan pada
ODHA asimtomatik. Maka, bila tidak ada pemeriksaan CD4, ODHA
asimtomatik (Stadium I) tidak boleh diterapi karena pada saat ini belum ada
petanda lain yang terpercaya di daerah dengan sumber daya terbatas.
Bila terdapat tes untuk hitung CD4, saat yang paling tepat untuk memulai
terapi ARV adalah sebelum pasien jatuh sakit atau munculnya IO yang pertama.
Perkembangan penyakit akan lebih cepat apabila terapi ARV dimulai pada saat
CD4 < 200/mm3 dibandingkan bila terapi dimulai pada CD4 di atas jumlah
tersebut. Apabila tersedia sarana tes CD4 maka terapi ARV sebaiknya dimulai
sebelum CD4 kurang dari 200/mm3. Waktu yang paling optimum untuk memulai
terapi ARV pada tingkat CD4 antara 200- 350/mm3 masih belum diketahui, dan
pasien dengan jumlah CD4 tersebut perlu pemantauan teratur secara klinis
maupun imunologis. Terapi ARV dianjurkan pada pasien dengan TB paru atau
infeksi bakterial berat dan CD4 < 350/mm3. Juga pada ibu hamil stadium klinis
manapun dengan CD4 < 350 / mm3. Keputusan untuk memulai terapi ARV pada
ODHA dewasa dan remaja didasarkan pada pemeriksaan klinis dan imunologis.
Namun Pada keadaan tertentu maka penilaian klinis saja dapat memandu
keputusan memulai terapi ARV. Mengukur kadar virus dalam darah (viral load)
tidak dianjurkan sebagai pemandu keputusan memulai terapi6.
Terapi ARV sebaiknya jangan dimulai bila terdapat keadaan infeksi
oportunistik yang aktif. Pada prinsipnya, IO harus diobati atau diredakan dulu.
Namun pada kondisi-kondisi dimana tidak ada lagi terapi yang efektif selain
perbaikan fungsi kekebalan dengan ARV maka pemberian ARV sebaiknya
diberikan sesegera mungkin (AIII). Contohnya pada kriptosporidiosis,
mikrosporidiosis, demensia terkait HIV. Keadaan lainnya, misal pada infeksi
M.tuberculosis, penundaan pemberian ARV 2 hingga 8 minggu setelah terapi TB
dianjurkan untuk menghindari bias dalam menilai efek samping obat dan juga
untuk mencegah atau meminimalisir sindrom restorasi imun atau IRIS6.
2.8.2 Panduan Kombinasi Obat ARV
Kombinasi tiga obat antiretroviral merupakan regimen pengobatan ARV yang
dianjurkan oleh WHO, yang dikenal sebagai Highly Active AntiRetroviral
Therapy atau HAART. Kombinasi ini dinyatakan bermanfaat dalam terapi infeksi
HIV. Semula, terapi HIV menggunakan monoterapi dengan AZT dan duo (AZT
dan 3TC) namun hanya memberikan manfaat sementara yang akan segera diikuti
oleh resistensi8.

WHO merekomendasikan penggunaan obat ARV lini pertama berupa


kombinasi 2 NRTI dan 1 NNRTI. Obat ARV lini pertama di Indonesia yang
termasuk NRTI adalah AZT, lamivudin (3TC) dan stavudin (d4T). Sedangkan
yang termasuk NNRTI adalah nevirapin (NVP) dan efavirenz (EFZ). Adapun
terapi kombinasi untuk HIV/AIDS seperti pada tabel 116.

Tabel 11 : Terapi ARV


Di Indonesia, pilihan utama kombinasi obat ARV lini pertama adalah AZT +
3TC + NVP. Pemantauan hemoglobin dianjurkan pada pemberian AZT karena
dapat menimbulkan anemia. Pada kondisi ini, kombinasi alternatif yang bisa
digunakan adalah d4T + 3TC + NVP. Namun AZT lebih disukai dari pada
stavudin (d4T) oleh karena adanya efek toksik d4T seperti lipodistrofi, asidosis
laktat, dan neuropati perifer. Kombinasi AZT + 3TC + EFZ dapat digunakan bila
NVP tidak dapat digunakan. Namun, perlu kehati-hatian pada perempuan hamil
karena EFZ tidak boleh diberikan. Pemilihan ARV golongan NRTI tentunya
dengan mempertimbangkan keuntungan dan kekurangan masing-masing obat.
Adapun kombinasi terapi ARV yang tidak dianjurkan seperti pada tabel 126.

Tabel 12. Pilihan obat ARV golongan NR

Tabel 13 mencoba menampilkan ringkasan mengenai keuntungan dan kerugian


obat ARV golongan ini.
Tabel 13 : Kombinasi ARV
PI tidak direkomendasikan sebagai paduan lini pertama karena penggunaa PI
pada awal terapi akan menghilangkan kesempatan pilihan lini kedua di Indoneesia
di mana sumber dayanya masih sangat terbatas. PI hanya dapat digunakan sebagai
paduan lini pertama (bersama kombinasi standar 2 NRTI) pada terapi infeksi HIV-
2, pada perempuan dengan CD4>250/ mm3 yang mendapat ART dan tidak bisa
menerima EFV, atau pasien dengan intoleransi NNRTI.

2.8.3 Sindrom Pemulihan Imunitas (immun reconstitution syndrome = IRIS)


Kumpulan tanda dan gejala akibat dari pulihnya system kekebalan tubuh
selama terapi ARV. Merupakan reaksi paradoksal dalam melawan antigen asing
(hidup atau mati) dari pasien yang baru memulai terapi ARV dan mengalami
pemulihan respon imun terhadap antigen tersebut. M. tuberkulosi merupakan
sepertiga dari seluruh kasus IRIS. Frekuensinya 10% dari seluruh pasien yang
mulai terapi ARV dan 25% dari pasien yang mulai terapi ARV dengan CD4 <50 /
mm3. Berikut tabel pedoman tatalaksana IRIS di Indonesia, seperti pada tabel 14.

Tabel 14: pedoman tatalaksana IRIS

2.8.3 Penatalaksanaan Infeksi Opurtunistik


Infeksi oportunistik (IO) adalah infeksi yang timbul akibat penurunan
kekebalan tubuh. Infeksi ini dapat timbul karena mikroba (bakteri, jamur, virus)
yang berasal dari luar tubuh, maupun yang sudah ada dalam tubuh manusia
namun dalam keadaan normal terkendali oleh kekebalan tubuh8.
Infeksi oportunistik dapat dihubungkan dengan tingkat kekebalan tubuh yang
ditandai dengan jumlah CD4 dan dapat terjadi pada jumlah CD4 < 200 sel/ L
ataupun > 200 sel/ L. Sebagian besar infeksi oportunistik dapat diobati namun
apabila kekebalan tubuh tetap rendah maka infeksi oportunistik mudah kambuh
kembali atau juga dapat timbul oportunistik yang lain. Pada umumnya kematian
pada ODHA disebabkan oleh infeksi oportunistik sehingga infeksi ini perlu
dikenal dan diobati. Dengan penggunaan ARV peningkatan kekebalan tubuh
( CD4 ) dapat dicapai sehingga risiko infeksi oportunistik dapat dikurangi.
Terdapat banyak penyakit yang digolongkan infeksi oportunistik seperti terlihat
pada tabel 15.
Cytomegalovirus (CMV) selain hati, limpa, atau kelenjar getah bening
CMV, retinitis (dengan penurunan fungsi penglihatan)
Ensefalopati HIV a
Herpes simpleks, ulkus kronik (lebih dari 1 bulan), bronchitis, pneumonitis, atau
esofagitis
Histoplasmosis, diseminata atau ekstraparu
Isosporiasis, dengan diare kronis (> 1 bulan)
Kandidiasis bronkus, trakea, atau paru
Kandidiasis esophagus
Kanker serviks invasif
Koksidioidomikosis, diseminata, atau ekstraparu
Kriptokokosis, ekstraparu
Kriptokosporidiosis, dengan diare kronis (> 1 bulan)
Leukoensefalopati multifocal progresif
Limfoma Burkitt
Limfoma imunoblastik
Limfoma primer pada otak
Mycobacterium avium complex atau M. kansasii, diseminata atau ekstraparu
Mycobacteriumi tuberculosis, di paru atau ekstraparu
Mycobacteriumi spesies lain atau tak teridentifikasi, di paru atau ekstraparu
Pneumonia Pneumocystis carinii
Pneumonia rekuren b
Sarkoma Kaposi
Septikemia Salmonella rekuren
Toksoplasmosis otak
Wasting syndrome c
a
Terdapat gejala klinis gangguan kognitif atau disfungsi motorik yang
mengganggu kerja atau aktivitas sehari-hari, tanpa dapat dijelaskan oleh penyebab
lain selain infeksi HIV. Untuk menyingkirkan penyakit lain dilakukan
pemeriksaan lumbal pungsi dan pemeriksaan pencitraan otak (CT scan atau MRI)
b
Berulang lebih dari satu episode dalam 1 tahun
c
Terdapat penurunan berat badan lebih dari 10% ditambah diare kronik (minimal
2 kali selama > 30 hari), atau kelemahan kronik dan demam lama (>30 hari,
intermiten, atau konstan) tanpa dapat dijelaskan oleh penyakit/ kondisi lain
(missal kanker, tuberkulosis, enteritis spesifik) selain HIV.
Tabel 15. Infeksi Oportunistik/ Kondisi yang Sesuai dengan Kriteria Diagnosis
AIDS

2.8.3.1 Tuberkulosis
Tuberkulosis (TB) merupakan infeksi oportunistik terbanyak pada ODHA di
Indonesia. TB mempercepat progesivitas infeksi HIV dengan meningkatkan
replikasi HIV dan juga menjadi penyebab kematian tersering pada ODHA8.
TB paru merupakan jenis yang paling sering dijumpai dan muncul pada
infeksi HIV awal dengan jumlah median CD4 > 300 sel/ L sedangkan TB
ekstraparu atau diseminata dijumpai pada odha dengan jumlah CD4 yang lebih
rendah8.
Gejala TB paru yang paling sering adalah batuk kronik lebih dari 3 minggu,
demam, penurunan berat badan, penurunan nafsu makan, rasa letih, berkeringat
pada waktu malam, nyeri dada, dan batuk darah. Sedangkan pada TB ekstra paru
yang tersering adalah limfadenopati asimetris, perikarditis, efusi pleura dan
osteomielitis. Sayangnya, gambaran klinis TB pada ODHA seringkali tidak khas
dan sangat bervariasi sehingga menegakkan diagnosis menjadi lebih sulit8.
Cara penegakan diagnosis TB pada ODHA tidak berbeda dengan yang bukan
ODHA. Namun, sensitivitas untuk pemeriksaan sputum BTA pada ODHA sekitar
50% dan tes tuberkulin hanya positif pada 30-50% ODHA. Pada foto toraks,
gambaran TB paru pada ODHA dengan CD4>200 sel/µL tidak berbeda dengan
non – HIV berupa infiltrat pada lobus atas, kavitas, atau efusi pleura. Pada ODHA
dengan CD < 200 sel/µL, gambaran yang lebih sering tampak adalah
limfadenopati mediastinum dan infiltrat di lobus bawah. Diagnosis definitif TB
pada ODHA adalah dengan ditemukannya M.tuberculosis pada kultur jaringan
atau spesimen sedangkan diagnosis presumtifnya berdasarkan ditemukannya BTA
pada specimen dengan gejala sesuai TB atau perbaikan gejala setelah terapi
kombinasi OAT8.
Regimen pengobatan TB tidak berbeda dengan regimen pengobatan TB pada
kasus non-HIV dengan lama pengobatan 6 bulan seperti tercantum pada tabel 16.
Terapi ARV direkomendasikan untuk semua ODHA yang menderita TB dengan
CD4 < 200/mm3, dan perlu dipertimbangkan bila CD4 > 350/mm3. Bila tidak
tersedia pemeriksaan CD4, maka terapi ARV direkomendasikan untuk semua
ODHA dengan TB. Pemberian OAT sebaiknya tidak dimulai bersama-sama
dengan ARV dengan tujuan untuk mengurangi kemungkinan interaksi obat, dan
ketidakpatuhan minum obat8.
Klasifikasi Regimen Obat
Kasus TB baru 2HRZE / 6 HE (DOTS)
TB kambuh/ pengobatan ulang 2SHRZE / HRZE / 5H3R3E3 (DOTS)
Tabel 16. Obat yang dipakai dan lama pengobatan

Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada ODHA dengan terapi ARV dan
OAT adalah kemungkinan adanya efek samping dan resistensi OAT. Tatacara
terapi berdasarkan jumlah CD4 seperti tercantum pada tabel 17. Untuk itu, perlu
dilakukan tes resistensi BTA pada odha yang mengalami TB8.

CD4 Paduan yang dianjurkan Keterangan


CD4 <200/ Mulai terapi TB. Mulai terapi ARV Saat mulai ART pada 2 – 8
mm3 segera setelah terapi TB dapat minggu setelah OAT
ditoleransi (antara 2 minggu hingga 2
bulan)
Paduan yang mengandung EFV (AZT
atau d4T) + 3TC + EFV (600 atau
800 mg/hari).
Setelah OAT selesai maka bila perlu
EFV dapat diganti dengan NVP.
Bila NVP terpaksa harus digunakan
disamping OAT, maka dapat
dilakukan dengan melakukan
pemantauan fungsi hati
(SGOT/SGPT) secara ketat

CD4 200-350/ Mulai terapi TB Setelah 8 minggu terapi


mm3 TB
CD4 >350/ Mulai terapi TB Tunda terapi ARV , evaluai
mm3 kembali pada saat minggu
ke 8 terapi TB dan setelah
terapi TB lengkap
CD4 tidak Mulai terapi TB Pertimbangkan terapi ARV
mungkin mulai 2 – 8 minggu setelah
diperiksa terapi TB dimulai
Tabel 17. Terapi ARV untuk pasien koinfeksi TB-HIV

2.8.4 Pencegahan Infeksi Oportunistik

Pencegahan infeksi oportunistik atau profilaksis dapat dibagi dalam dua


kelompok besar yakni4:

1. Pencegahan primer, yakni upaya untuk mencegah infeksi sebelum infeksi


terjadi. Misalnya pemberian kotrimoksazol pada penderita yang CD4 <
200/mm3 untuk mencegah Pneumocystis carinii pneumonia (PCP).
Pencegahan ini dapat mengurangi risiko PCP.
2. Pencegahan sekunder, yaitu pemberian obat pencegahan setelah infeksi
terjadi. Contohnya setelah terapi PCP dengan kotrimoksazol diperlukan obat
pencegahan (dalam dosis yang lebih rendah) untuk mencegahan kekambuhan
PCP yang telah sembuh.

Jika kekebalan tubuh dengan indikator nilai CD4 meningkat maka risiko terkena
infeksi oportunistik berkurang sehingga obat pencegahan infeksi oportunistik
dapat dihentikan. Namun bila kekebalan menurun kembali obat infeksi
oportunistik harus diberikan lagi. Tabel berikut menampilkan secara ringkas
pencegahan terhadap beberapa bentuk infeksi oportunistik. Beberapa upaya
profilaksis hanya dianjurkan bila penderita mampu seperti vaksinasi pneumokok,
hepatitis B dan hepatitis A4.

Penyakit Mulai Obat yang digunakan


PCP 1 o
CD4 < 200, sariawan, TMP.SMX 1 DS/hari
pertimbangkan bila CD4 < 250 TMP.SMX 1 SS/ hari
atau CD4 % < 14
INH 300mg/hari +
TB PPD > 5 ml Piridoksin
Kontak Positif

T. Gondii CD4 < 100 TMP.SMX 1 DS/hari


IGG Toksoplasma aviditas rendah

S. pneumoniae CD4 > 200 Vaksinasi pneumovax

Hepatitis B Anti HBs (-) Vaksinasi Hepatitis B


HBs Ag(-)

Hepatitis A Anti HAV (-) Vaksinasi Hepatitis A


Risiko paparan tinggi (IDU,
MSM, dll)
Tabel 18. Pencegahan infeksi oportunistik
DAFTAR PUSTAKA

1. Djoerban Z, Djauzi S. HIV/AIDS di Indonesia. In: Sudoyo AW,


Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. 4th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI 2006

2. Laporan statistik HIV/AIDS di Indonesia. 2014 [cited 2017 Sept 21].


Available at url:
http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/Infodatin
%20AIDS.pdf

3. UNAIDS-WHO. Report on the global HIV/AIDS epidemic 2010:


executive summary. Geneva. 2010.

4. Djauzi S, Djoerban Z. Penatalaksanaan HIV/AIDS di pelayanan kesehatan


dasar. Jakarta: Balai Penerbit FKUI 2002.

5. Mustikawati DE. Epidemiologi dan pengendalian HIV/AIDS. In: Akib


AA, Munasir Z, Windiastuti E, Endyarni B, Muktiarti D, editors. HIV
infection in infants and children in Indonesia: current challenges in
management. Jakarta: Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM
2009

6. Fauci AS, Lane HC. Human Immunodeficiency Virus Disease: AIDS and
related disorders. In: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E,
Hause SL, Jameson JL. editors. Harrison’s Principles of Internal
Medicine. 17th ed. The United States of America: McGraw-Hill

7. Merati TP, Djauzi S. Respon imun infeksi HIV. In: Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. 4th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI 2006

8. Kelompok Studi Khusus AIDS FKUI. In: Yunihastuti E, Djauzi S,


Djoerban Z, editors. Infeksi oportunistik pada AIDS. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI 2005.

9. Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral. “Panduan Tatalaksana Klinis


Infeksi HIV pada orang Dewasa dan Remaja” edisi ke-2, Departemen
Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit
dan Penyehatan Lingkungan 2007

10. Yayasan Spiritia. Sejarah HIV di Indonesia. 2009 [cited 2017 Sept 21];
Available from: http://spiritia.or.id/art/bacaart.php?artno=1040

Anda mungkin juga menyukai