Anda di halaman 1dari 140

Kontrak perkuliahan

1. Kehadiran (>75%)
2. Masuk link kuliah sesuai jadwal, toleransi keterlambatan yang diizinkan 5 menit setelah
link dibuka
3. Penilaian
- 10 % kehadiran
- 10% tugas
- 20% keaktifan
- 20% kuis
- 40% UTS
Capaian Pembelajaran Mata Kuliah

1. Memiliki keterampilan umum berupa kemampuan mencari dan menyeleksi


sumber pustaka, membuat presentasi powerpoint dan menyajikan.
2. Mahasiswa mampu memahami tentang sifat fisikokimia obat dan kaitannya
dengan formula obat yang efektif dan aman, ketersediaan hayati obat dan
kinetika pelepasan obat dari sediaan dan BA=BE.
3. Mahasiswa mampu memahami tentang dasar-dasar farmakokinetika, dapat
menjelaskan kurva profil kadar obat dalam darah mengikuti model
kompartemen satu, dua dan tiga, dapat membedakan rute dan cara
pemberian obat, mekanisme dan kinetika absorbsi, distribusi, eksresi dan
metabolisme, farmakokinetika linear dan non linier.
4. Mahasiswa memiliki hard skill terkait materi yang diberikan.
5. Mahasiswa diharapkan memiliki soft skill interpersonal dan intrapersonal.
Deskripsi Mata Kuliah

 Mata kuliah ini menjelaskan tentang nasib perjalanan


obat didalam tubuh, teori pelepasan obat, pelarutan,
absorbsi, tahapan absorbsi, faktor farmasetik dan faktor
anatomi fisiologi yang mempengaruhi absorbsi, kajian
biofarmasi berdasarkan rute pemberian, bioavailabilitas
dan bioekivalensi, farmakokinetika absorbsi,
distribusi,dan metabolisme obat, model kompartemen
satu terbuka, model kompartemen ganda dan
kompartemen tiga, dan farmakokinetika non linier.
MATERI PERKULIAHAN

1. Kontrak perkuliahan dan pendahuluan


2. Fase biofarmasetik
3. Liberasi dan disolusi obat
4. Absorbsi
5. Faktor fisiologi yang mempengaruhi absorbsi
6. Bioavailabilitas
7. Bioekivalensi
8. UTS
9. Pengantar farmakokinetika
10. Pemodelan farmakokinetika
11. Farmakokinetika absorbs obat
12. Distribusi obat
13. Metabolisme obat
14. Ekskresi obat
15. Farmakokinetika non linier
16. UAS
References

 Aïache, J. M., dan Devissaquet. J, diterjemahkan oleh


Widji, S. (1993): Farmasetika 2-Biofarmasi, Airlangga
University Press, Surabaya.
 Shargel, L. & Yu, A. (2016). Applied Biopharmaceutics &
Pharmacokinetics. 4th Ed. New York: Appleton & Lange.
 Paradkar, A.R. & Bakliwal, S.R. (2008). Biopharmaceutics
& Pharmacokinetics.
 Wagner, J.G. (2008). Biopharmaceutics and Relevant
Pharmacokinetics. Drug Intelligen Publications.
 Related articles in several journals
Pendahuluan

 Biofarmasetika adalah salah satu cabang dari ilmu


Pharmaceutical sciences yang mempelajari hubungan antara
sifat-sifat fisikokimia obat atau bahan obat dengan absorpsinya,
dan bioavailabilitasnya
 Biofarmasetika : ilmu yang mempelajari hubungan sifat fisikokimia-
formulasi obat terhadap bioavailabilitas obat (in vitro in vivo) dan
sistem penghantaran obat dalam tubuh pada kondisi normal
maupun kondisi patologis.
 Biofarmasi ilmu yang mempelajari hubungan antara :
(1) sifat fisiko-kimia zat aktif,
(2) faktor formulasi sediaan obat (dosage form) dan
(3) faktor teknologi pembuatan sediaan obat,

Dengan berbagai proses yang dialami obat dalam tubuh


sampai zat aktif masuk ke dalam sistem peredaran darah:
liberasi, disolusi, difusi, transfer, absorpsi.
APLIKASI

 mendapatkan sediaan obat (drug dosage form) yang memiliki :


kinerja (performance)
✓efektif, cepat bekerja
✓menghindari terjadinya efek samping
✓bekerja dalam jangka waktu yang diinginkan
✓dosis efisien
Proses Biofarmasetika

 Aktivitas terapetik dipengaruhi oleh rangkaian kejadian setelah pemberian obat.

 Di dalam tubuh obat akan mengalami fase biofarmasetik, fase farmakokinetika,


dan fase farmakodinamik.

 Fase biofarmasetik melibatkan seluruh unsur-unsur yang terkait mulai saat


pemberian obat hingga terjadinya penyerapan zat aktif.

 Fase biofarmasetik obat meliputi proses pelepasan (liberasi), proses pelarutan


(disolusi) proses difusi, proses perpindahan (transfer), dan proses absorpsi
Nasib obat di dalam tubuh dapat dibagi
dalam beberapa fase

Obat

• Liberasi
Fase Biofarmasetika • Disolusi
• Absorpsi

Fase Farmakokinetik • ADME

Fase
Farmakodinamik
 Fase Biofarmasetika dipengaruhi oleh:
•Sifat fisikokimia zat aktif
•Dosis dan frekuensi pemberian obat
•Rute pemberian obat
•Bentuk sediaan
Sifat fisikokimia obat
 Kelarutan
BCS
(Biopharmaceutical Classification System)
 Permeabilitas
 Ukuran partikel
 Bentuk asam, basa, garam
 Bentuk kristal
 Koefisien partisi (Log P)
 dll
Physicochemical Properties for Consideration in
Product Design
pKa & pH Necessary for optimum stability & solubility of
profile the final product

Particle Size May affect the solubility of the drug & therefore
the dissolution rate of the product

Polymorphism The ability of a drug to exist in various crystal


forms may change the solubility of the drug. The
stability of each form is important, because
polymorphs may convert from one to another.
Hygroscopicity Moisture absorption may affect the physical
structure as well as stability of the product.
Physicochemical Properties for
Consideration in Product Design

Partition Give some indication of the relative affinity of the


Coefficient drug for oil & water. A drug that has high affinity for
oil may have poor release & dissolution

Excipient Compatibility of the excipients with the drug


Interaction Sometime trace elements in excipients may affect the
stability of the product. Specification is important

pH Stability Stability of solutions is often affected by the pH of


Profile vehicle. pH in the stomach & gut is different, know-
ledge of stability would help to avoid degradation
Solubility, pH, & Absorption

 pH environment of the GIT varies from acidic in


the stomach to slightly alkaline in the small
intestine
 A basic drug is more soluble in an acidic
medium
 Solubility may be improved with the addition of
an acidic or basic excipient
 Buffering agent may be added to slow or
modify the release rate of a fast dissolving drug
 Controlled release drug product must be a non
disintegrating dosage form.
Stability, pH, & Absorption

 If drug decomposition occurs by acid or


based catalysis, some prediction for
degradation of the drug in GIT may be made

 Erythromycin decomposition occurs rapidly In


acidic medium. It has to be enteric coated to
protect against acid degradation in the
stomach
Particle Size & Absorption

 Surface area of the drug is increase


enormously by a reduction in the particle size.
The greater the surface area the more rapid
the rate of dissolution.

 Particle size & distribution studies are


important for drug that have low water
solubility. Many hydrophobic drugs are very
active IV-ly but are not very effective orally
due to poor absorption.
Particle Size & Absorption

 Griseofulvin, nitrofurantoin & many steroids are


drug with low aqueous solubility; micronized form
has improved absorption.
 Smaller particle size results in an increase in the
surface area, enhances water penetration, an
increases the dissolution rates.
 A disintegrant may be added to the formulation
to ensure rapid disintegration
 Surface-active may increase wetting & solubility
Polymorphic Crystals, Solvates, &
Absorption
 Polymorphism (drug in various crystal forms). Same
chemical structure but different physical
properties
 Crystals have lower solubility than the amorphous
 Chloramphenicol, has several crystal forms, when
given as a suspension, the conc is dependent on
% of β-polymorph. β-form is more soluble & better
absorbed
 Crystal form has the lowest free energy is the most
stable. A drug that exists as an amorphous form,
dissolves more rapidly than rigid crystalline form
Polymorphic Crystals, Solvates, &
Absorption

 Some polymorphs are metastable, a


change in crystal form may cause problems
in manufacturing. A change in the crystal
structure may cause cracking in a tablet.
 Some drugs interact with solvent to form a
crystal called solvate.
 Water may form a special crystal called
hydrates. Erythromycin hydrates have
different solubility compared to the
anhydrous form.
 Ampicillin 3H2O was reported to be less
absorbed than the anhydrous forms.
BIOAFARMASETIKA &
FARMAKOKINETIKA
DR. apt. Wira NOVIANA SUHERY, M. FARM
▪ BCS merupakan pendekatan prediktif yang
berkaitan dengan karakteristik fisikokimia obat
dan produk obat terhadap bioavailabilitas in vivo.
▪ BCS dikategorikan berdasarkan 2 parameter
BCS fisikokimia utama yaitu :
(Biopharmaceutics ▪ Solubility (Kelarutan)
Classification ▪ Permeability (Permeabilitas)
System) ▪ 2 factor utama ini dipilih karena umumnya obat
diberikan secara oral yang diabsorpsi secara
difusi pasif melalui usus halus.
▪ Sebagian besar absorpsi oral dipengaruhi oleh
permeabilitas membrane dan kelarutan obat.
Klasifikasi BCS
▪ Kelas 1 (Permeabilitas tinggi, Kelarutan Tinggi)
▪ Kelas 1 ini menunjukkan sejumlah obat berdaya
serap yang tinggi dan sejumlah pelarutan yang
tinggi.
BCS Kelas 1 ▪ Studi disolusi in vitro untuk obat-obat BCS kelas 1
dapat menyediakan informasi yang cukup untuk
menjamin performance in vivo, sehingga studi BA-
BE tidak begitu penting.
▪ Kelas 2 (Permeabilitas tinggi , Kelarutan Rendah )
▪ Kelas II ini menunjukkan sejumlah obat berdaya
serap yang tinggi dan sejumlah pelarutan yang
rendah.
▪ Kelarutan/disolusi merupakan “rate limiting step”
untuk absorpsi oral obat BCS kelas 2.
▪ Sistem yang dikembangkan untuk obat kelas II
BCS Kelas 2 didasarkan berbagai upaya/Teknik untuk
meningkatkan kelarutan/pelarutan obat, seperti
pengecilan ukuran partikel (mikronisasi,
nanonisasi), formulasi berbasis lipid (system
emulsi, liposom, solid lipid nanopartikel/SLN,
nanopartikel lipid carrier/NLC), kompleks inklusi,
modifikasi kristal, dll
▪ Kelas 3 (Permeabilitas rendah, Kelarutan Tinggi)
▪ Obat ini menunjukkan variasi yang tinggi
dalam tingkat penyerapan obat.
▪ Penyerapan rendah karena tingkat permeabilitas
yang terbatas namun memiliki tingkat kelarutan
BCS Kelas 3 yang besar dan terjadi sangat cepat.
▪ Obat kelas III memerlukan teknologi untuk
memperbaiki keterbatasan permeabilitas absolut.
▪ Teknologi untuk meningkatan permebilitas
adalah : prodrug, permeation enhancer
▪ Kelas 4 (Permeabilitas rendah, Kelarutan Rendah)
▪ Kelas 4 merupakan senyawa yang memiliki
bioavailabilitas rendah.
▪ Senyawa ini sering menunjukkan permeabilitas
yang terbatas di mukosa GI.
▪ Obat kelas IV menyajikan sebuah tantangan besar
BCS Kelas 4 bagi pengembangan sistem penghantaran obat
dan rute pemberian yang disarankan adalah obat
parenteral dengan formulasi yang dapat
mempercepat kelarutan.
▪ Kombinasi teknologi BCS kelas 2 dan 3 dapat
digunakan untuk BCS kelas 4 ini.
▪ “High soluble drug” adalah obat dalam dosis
tertinggi sepenuhnya larut dalam 250 mL medium
dengan pH 1-7,5 pada 37C.
▪ Sebaliknya jika tidak memenuhi ketentuan
tersebut, maka obat dianggap kurang larut
Pedoman FDA (poorly soluble).
▪ Obat dianggap “highly permeable” jika
banyaknya obat yang diserap secara oral lebih
besar dari 90%.
Fase
Biofarmasetik
▪ LIBERASI (PELEPASAN)
▪ Setelah pemberian obat, jika obat tidak dalam
bentuk larutan, maka obat akan mengalami
pelepasan dari bentuk sediaannya yang diikuti
dengan proses disolusi, difusi atau kombinasi
LIBERASI keduanya.
▪ Ada 2 tahap pelepasan, yaitu desintegrasi dan
deagregasi
▪ Pelepasan dapat terjadi apabila ada kontak antara
bentuk sediaan dengan cairan saluran cerna
▪ DISOLUSI (PELARUTAN)
▪ Setelah terjadi pelepasan yang bersifat setempat, maka tahap
kedua adalah pelarutan zat aktif yang terjadi secara progresif,
yaitu pembentukan dispersi molekuler dalam air.

▪ Disolusi merupakan syarat utama agar selanjutnya terjadi


penyerapan (absorpsi).
▪ Disolusi terjadi jika zat aktif dalam keadaan tidak terlarut
dalam sediaan, atau proses pelarutan terjadi dalam pembawa
DISOLUSI sediaan atau setelah lepas dari sediaan.
▪ Proses pelarutan diawali dari melarutnya bagian terluar yang
selanjutnya memasuki cairan pelarutan.

▪ Kelarutan bertambah besar jika ukuran partikel dasar semakin


kecil.
▪ Semua zat aktif yang dapat diabsorpsi, laju disolusinya
merupakan salah satu faktor penentu pada proses absorpsi
▪ Parameter-parameter yang mempengaruhi proses disolusi
dinyatakan dalam persamaan Noyes dan Whitney berikut ini:

dW D  A
= (Cs − C )
dt h

A = Luas permukaan senyawa yang belum terlarut


DISOLUSI D = Koefisien difusi zat aktif yang terlarut dalam pelarut (nilainya

tergantung pada suhu dan pengadukan)

C = Jumlah zat aktif terlarut dalam waktu t dan dalam volume total
pelarut

Cs = Konsentrasi jenuh zat aktif

h = Tebal lapisan pelarut


▪ DIFUSI/TRANSFER
▪ Perpindahan zat terjadi dalam suatu medium dalam keadaan
zat aktif terlarut dalam medium.
▪ Proses perpindahan (transfer) terjadi dari suatu medium ke
medium lain berdasarkan perbedaan konsentrasi (konsentrasi
tinggi ke konsentrasi rendah) dan koefisien partisi.
▪ Koefisin partisi didefinisikan sebagai perbandingan antara
konsentrasi dalam fase lemak dengan konsentrasi dalam fase
DIFUSI/TRANSFER air.
▪ Bila molekul semakin larut lemak, maka koefisien partisinya
semakin besar dan difusi transmembran terjadi lebih mudah.

▪ Namun karena membran terdiri dari fase lemak dan air, maka
nilai koefisien partisi sangat tinggi ataupun sangat rendah
maka hal tersebut merupakan hambatan pada proses difusi zat
aktif
▪ Proses difusi merupakan tahap awal perlintasan
membran.
▪ Molekul zat aktif akan bergerak akibat adanya
perbedaan konsentrasi, yang menyebabkan terjadinya
perpindahan (transfer) molekul ke sisi yang lain.

▪ Pada sistem dispersi emulsi, terjadi difusi zat aktif fase


dalam (terdispersi) menuju fase luar (pendispersi), dan
difusi fraksi zat aktif yang terlarut dalam fase luar dan

TRANSFER/ melintasi membran biologik.


▪ Pada sistem dipersi suspensi proses perpindahan zat
PERPINDAHAN aktif dari suatu medium pembawa obat/sediaan yang
jenuh dengan zat aktif ke medium lain (cairan tubuh
tempat pemberian obat) berdasarkan perbedaan
konsentrasi dan koefisien partisi.
▪ Perpindahan terjadi pada antar-permukaan.
▪ Terjadinya perpindahan ke medium lain diikuti proses
pelarutan zat aktif dan proses difusi dalam medium
pembawa
▪ ABSORPSI
▪ Absorpsi obat terjadi ketika obat yang terlarut bergerak
melintasi barrier epitel dan masuk ke dalam aliran darah.
▪ Proses dasar yang menentukan absorpsi oral obat adalah
disolusi dan permeasi.
▪ Setelah proses disolusi, obat akan melintasi dinding
intestinal dari cairan GIT masuk ke dalam vena porta.
▪ Obat yang dibawa dari vena porta akan menuju hati
ABSORPSI sebelum mencapai sirkulasi sistemik.
▪ Untuk molekul obat dengan sistem lipid, jalur absorpsi
tidak melintasi hati, namun akan masuk ke jalur limfatik.
▪ Proses absorpsi suatu obat dipengaruhi oleh beberapa
aspek yang meliputi, karakteristik fisikokimia obat, sifat
produk obat, anatomi dan fisiologi tempat absorpsi obat
(GIT)
Difusi pasif

▪ Difusi pasif merupakan proses molekul berdifusi secara spontan dari suatu daerah
konsentrasi tinggi ke suatu daerah konsentrasi rendah.

▪ Proses adalah pasif karena tidak ada energi eksternal yang dikeluarkan. Difusi pasif
merupakan proses absorpsi utama untuk sebagian besar obat. Menurut hukum difusi
Fiks, molekul obat berdifusi dari daerah dengan konsentrasi obat tinggi ke daerah
konsentrasi obat rendah

▪ Obat yang terionisasi mengandung suatu muatan dan lebih larut air dibandingkan
dengan obat tak terionisasi yang lebih larut lipid.

Transport aktif
Mekanisme ▪ Transport aktif adalah proses transmembran yang diperantarai oleh pembawa.

Absorpsi ▪ Transpor obat ditandai dengan transpor obat melawan perbedaan konsentrasi
(seperti dari daerah dengan konsentrasi obat yang rendah ke daerah dengan
konsentrasi obat yang tinggi). Oleh karena itu proses ini memerlukan energi.

▪ Pada proses ini molekul pembawa akan mengikat dan membentuk kompleks
dengan obat dan membawa obat melewati membran dan kemudian melepaskan
obat di sisi lain dari membrane.

▪ Molekul pembawa bersifat sangat selektif terhadap molekul obat.


▪ Oleh karena itu obat-obat yang menyerupai struktur serupa dapat berebut pembawa
pada tempat absorpsi. Proses ini bisa menjadi jenuh jika konsentrasi obat tinggi,
sementara hanya sejumlah tertentu pembawa yang tersedia
Difusi yang dipermudah

▪ Pada proses ini obat bergerak oleh karena perbedaan konsentrasi dari
daerah dengan konsentrasi tinggi ke daerah dengan konsentrasi rendah.

▪ Sistem ini tidak memerlukan masukan energi, dan dapat menjadi jenuh, dan
secara struktur selektif bagi obat tertentu

Transpor vesikular

▪ Transpor vesikuler meliputi pinositosis dan fagositosis.


▪ Pinositosis merujuk pada pencaplokan molekul kecil atau cair, sedangkan
fagositosis merujuk pada pencaplokan partikel besar atau makromolekul
pada umumnya oleh makrofag

Transpor lewat pori

▪ Molekul-molekul yang sangat kecil (seperti air, urea, gula) dapat melintasi
membran sel secara cepat, jika membran mempunyai celah atau pori.

▪ Molekul-molekul kecil termasuk obat bergerak melalui kanal dengan difusi


yang lebih cepat dibanding pada bagian lain membran

Pembentukan pasangan ion

▪ Bila obat terion dihubungkan dengan suatu ion dengan muatan yang
berlawanan, maka terbentuk pasangan ion yang membentuk kompleks
netral.

▪ Kompleks obat netral ini berdifusi dengan lebih mudah lewat


BIOFARMASETIKA DAN FARMAKOKINETIKA

Dr. Apt. Wira Noviana Suhery, M. Farm


PROSES BIOFARMASETIK

I. Proses pelepasan (liberation)


II. Proses pelarutan (dissolution)
III. Proses difusi (diffusion)
IV. Proses transfer
V. Proses absorpsi
I. PROSES PELEPASAN (LIBERATION)

Mekanisme yang terjadi tergantung keadaan zat


aktif dalam sediaan:
❑Zat aktif tercampur secara fisik (bentuk
sediaan padat: tablet)
❑Zat aktif terlarut dalam pembawa
(supositoria, salep)
❑Zat aktif terdispersi (suspensi, emulsi)
Pelepasan dari sediaan TABLET

TABLET SALUT
PELARUTAN PENYALUT

TABLET INTI (TIDAK BERSALUT)

DISINTEGRATION I

GRANUL

DISINTEGRATION II (LIBERATION)
POWDER (DRUG AND EXIPIENT)
Mekanisme penghancuran Tablet

❑Pengembangan bahan penghancur


❑Reaksi kimia (pembebasan gas CO 2 )
❑Pengikisan
❑Dll
Pelepasan dari supositoria

❑Hancurnya pembawa (meleleh atau melarut)


❑Partisi dari pembawa ke cairan rektal diikuti
proses difusi dalam pembawa ( jika terlarut
dalam pembawa untuk kasus pembawa
supositoria basis lemak seperti oleum cacao)
dan dalam cairan rektal dari konsentrasi
tinggi ke konsentrasi rendah
Mekanisme hancurnya supositoria

❑Meleleh pada suhu tubuh (pembawa


lemak, seperti ol. Cacao)
❑Melarut dalam cairan rektal (seperti basis
PEG)
Pelepasan dari sistem dispersi emulsi
(zat aktif terlarut dalam fase internal)

❑Terjadi perpindahan zat aktif dari fase eksternal


ke cairan tubuh tempat pemberian obat
berdasarkan perbedaan konsentrasi dan koefisien
partisi.
❑Terjadinya perpindahan zat aktif ke medium lain
diikuti proses perpindahan/difusi molekul zat
aktif dalam medium pembawa dari kadar tinggi ke
kadar rendah.
Pelepasan dari sistem dispersi suspensi
❑Perpindahan zat aktif dari suatu medium
pembawa obat/sediaan yang jenuh dengan
zat aktif ke medium lain (cairan tubuh pada
tempat pemberian obat) berdasarkan
perbedaan konsentrasi dan koefisien partisi.
❑Perpindahan terjadi pada antar-permukaan.
❑Terjadinya perpindahan ke medium lain
diikuti proses pelarutan zat aktif dan proses
difusi dalam medium pembawa.
Faktor-faktor yang mempengaruhi liberasi
1. Faktor Formulasi
◦ Bentuk sediaan (dosage form)
◦ Waktu hancur tablet
◦ Pengaruh pelarut atau bahan tambahan
◦ Kelarutan
◦ pH obat
◦ Konsentrasi (dosis)
2. Faktor fisiologi
- Permukaan absorpsi
- Aliran darah
- pH
- Penyakit
- Interaksi dengan makanan atau obat
BERBAGAI FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
PROSES BIOFARMASETIK

➢ Sifat fisiko-kimia bahan baku dan senyawa


obat/zat aktif
➢ Faktor formulasi
➢ Faktor teknologi
➢ Faktor lingkungan/fisiologi organ tempat
pemberian obat
FAKTOR FORMULASI (BAHAN PEMBANTU)

Contoh untuk sediaan tablet :


Bahan penyalut
Bahan pengisi
Bahan penghancur
Bahan pengikat
Bahan pelincir
Bahan tambahan tertentu/khusus
FAKTOR FORMULASI (BAHAN PEMBANTU)

Contoh untuk sediaan supositoria :


Pembawa : kelarutan, titik leleh, viskositas, kemampuan
melarutkan zat aktif
Senyawa lain yang ditambahkan
FAKTOR FORMULASI (BAHAN PEMBANTU)

Contoh untuk sediaan kulit :


- Pembawa : viskositas, kemampuan melarutkan zat aktif
- Senyawa lain yang ditambahkan
Eksipien (Bahan tambahan)
1. Dapat meningkatkan kelarutan dan meningkatkan kecepatan
disolusi dan absorpsi obat
2. Dapat meningkatkan waktu tinggal obat di GIT, sehingga dapat
meningkatkan absorpsi obat
3. Beberapa bahan pembawa dapat meningkatkan difusi obat
melintasi membrane usus, dan ada beberapa eksipien
memperlambat disolusi dan absorpsi obat
4. Beberapa eksipien secara farmakodinamik bersifat inert, namun
secara fungsi dapat meningkatkan obat dan bentuk sediaan
5. Tablet: bahan pengisi (laktosa); bahan penghancur (pati); bahan
pelincir (Mg stearat). Jika digunakan secara tidak benar dapat
mempengaruhi jumlah dan kecepatan absorpsi
Beberapa eksipien yang dapat mempengaruhi disolusi obat

1. NaHCO3 dapat mengubah pH medium. Aspirin, asam lemah bila


diformulasikan dengan NaHCO3 akan membentuk garam yang larut dalam air,
dimana obat cepat larut.
2. Eksipien dalam formulasi dapat berinteraksi langsung dengan obat untuk
membentuk kompleks yang larut dalam air/tidak larut.
>> Jika tetrasiklin diformulasikan dengan CaCO3, kompleks tak larut dari Ca
tetrasiklin terbentuk yang memiliki laju disolusi yang lambat & buruknya
penyerapan
>> Kompleks inklusi : - siklodekstrin >>> Meningkatkan kelarutan obat
3. Mg stearat, dapat menghalangi masuknya air & menurunkan
disolusi bila digunakan dalam jumlah banyak.
4. Konsentrasi surfaktan yang rendah dapat menurunkan tegangan
permukaan & meningkatkan laju disolusi obat. Namun jika
konsentrasi surfaktan yang lebih tinggi cenderung membentuk misel
dengan obat & mengurangi tingkat disolusi.
5. Kompresi tablet yang tinggi tanpa bahan penghancur yang cukup
dapat menyebabkan disintegrasi yang buruk.
FAKTOR TEKNOLOGI

Contoh untuk sediaan tablet :


- Cara pembuatan: cetak langsung atau granulasi
- Kekuatan pencetakan
- Bentuk sediaan (luas permukaan)
FAKTOR TEKNOLOGI

Contoh untuk sediaan krim :


Kekuatan pengadukan (ukuran fase dalam)
FAKTOR PATO-FISIOLOGI ORGAN

>> Kapasitas cairan tubuh


>> Karakteristik cairan tubuh (pH, viskositas/ konsistensi, kandungan senyawa
endogen, dll.)
>> Luas permukaan absorpsi
>> Kondisi penyakit tertentu
>> Waktu kontak antara obat dengan tempat absorpsi
>> Gerakan yang ada
>> Vaskularisasi
>> Mekanisme absorpsi yang dapat terjadi
Kinetika Pelepasan Obat
1. Orde 0
2. Orde 1
3. Higuchi
4. Hixson Crowell
5. Korsmeyer Peppas
Orde Nol
Orde Nol merupakan model yang ideal pelepasan obat dalam rangka mencapai
aksi farmakologis berkepanjangan.
Qt = Qo + Ko t
Dimana Qt merupakan jumlah obat dalam waktu t, Qo sebagai jumlah awal obat
dalam larutan dan Ko adalah konstanta pelepasan orde nol.
Sediaan memiliki pelepasan orde nol akan melepaskan zat aktif dengan
kecepatan konstan. Model orde nol dapat digunakan untuk menggambarkan
disolusi obat dari beberapa jenis modifikasi bentuk pelepasan sediaan obat,
seperti beberapa sistem transdermal, matriks tablet dengan obat yang kelarutan
rendah, sistem osmotik, dll
Plot Persen obat terdisolusi (dilepaskan) vs waktu
Orde Satu
Wagner mengasumsikan bahwa luas permukaan terpapar dari tablet menurun
secara eksponensial dengan waktu selama proses disolusi yang menunjukkan
bahwa pelepasan obat dari sebagian besar tablet lepas lambat dapat dijelaskan
oleh kinetika orde Satu.
Persamaan yang menggambarkan kinetika orde satu adalah :
log Qt = logQ0 + (K1/2,303).t
Dimana, Q adalah fraksi obat yang dilepaskan pada waktu t dan k1 adalah
konstanta pelepasan obat orde pertama.
Plot logaritma fraksi obat yang tertinggal terhadap waktu akan linear jika
pelepasan memenuhi kinetika pelepasan orde satu
Model Higuchi
Kinetika pelepasan obat yang diselidiki oleh T. Higuchi sering disebut orde
Higuchi.
Model Higuchi mendefinisikan ketergantungan linear dari fraksi aktif yang
dilepaskan per unit (Q) dari akar kuadrat waktu.
Q = K2t½
Dimana, K2 adalah konstanta laju pelepasan. Plot fraksi obat yang dilepaskan
terhadap akar kuadrat waktu akan linear jika pelepasan mengikuti persamaan
Higuchi.
Persamaan ini menjelaskan pelepasan obat sebagai proses difusi berdasarkan
hukum Fick
Model Hixson-Crowell

Hixson-Crowell (1931) memahami bahwa luas permukaan partikel


sebanding dengan akar kubik volume yang berasal dari persamaan
yang dijelaskan dengan cara berikut:
Qo1/3 - Qt1/3 = Ks t
Dimana Qo adalah jumlah awal obat dalam bentuk sediaan farmasi.
Qt adalah jumlah sisa obat bentuk sediaan farmasi pada waktu t. Ks
adalah konstanta menggabungkan hubungan volume permukaan.
Plot akar pangkat tiga fraksi obat yang tersisa terhadap waktu akan
linear jika pelepasan mengikuti persamaan Hixson-Crowell
Model Korsmeyer Peppas
Korsemeyer et al. (1983) menurunkan hubungan yang menggambarkan
pelepasan obat dari sistem polimer dengan persamaan sebagai berikut
Qt/Qo = Ktn
Dimana Qt/Qo adalah fraksi obat yang dilepaskan pada waktu t, K adalah
konstan kinetik yang dilengkapi karakteristik struktural dan geometris sistem
penyampaian. n adalah eksponen difusi yang menunjukkan mekanisme
transportasi obat melalui polimer.
Eksponen pelepasan n ≤ 0,5 untuk Fickian difusi dilepaskan dari slab (matriks
non swellable); 0,5 < n < 1.0 untuk pelepasan non-Fickian (anomali), ini berarti
bahwa pelepasan obat diikuti kedua difusi dan dikendalikan mekanisme erosi
dan n = 1 untuk pelepasan orde nol.
Untuk mempelajari kinetika pelepasan, data yang diperoleh dari penelitian in
vitro pelepasan obat yang diplot sebagai log persentase kumulatif pelepasan
obat terhadap log waktu
Model Kurva
BIOFARMASETIKA DAN
FARMAKOKINETIKA

Dr. apt. Wira Noviana Suhery, M. Farm


ABSORPSI : IONISASI
 Derajat ionisasi obat-obat yang bersifat asam lemah dan basa
lemah tergantung derajat disosiasi (pKa) dan pH larutan >>>
Pers. Henderson-Hasselbach

 Obat asam : Log (terion/tak terion) = pH – pKa


 Obat basa : Log (tak terion/terion) = pH - pKa
 Molekul akan menjadi kurang bermuatan (tidak terionisasi)
apabila berada pada suasana pH yang sama, dan akan lebih
bermuatan jika berada pada pH yang berbeda
 Semakin bermuatan maka suatu molekul akan semakin sulit
menembus membran, dan sebaliknya
Absorpsi Obat Pada Pemberian Enteral

>>> Pemberian Obat Per Oral


- Rongga mulut
- Lambung
- Usus halus
>>> Pemberian Per Rektal
Absorpsi Obat Pada Rongga Mulut
(Sublingual dan Bukal)

 Tempat absorpsi di rongga mulut


 Tidak ada pengaruh cairan saluran pencernaan (pH saluran cerna)
 Dapat terhindar dari enzim dan flora bakteri, serta kemungkinan
pembentukan kompleks dengan makanan)
 Obat tidak melewati hati
 Khusus untuk obat yang mudah terabsorpsi
 Tidak semua obat dapat diberikan melalui pemberian ini, karena
rasa senyawa obat dapat menjadi penghambat
Absorpsi Obat Pada Pemberian Lambung

 Vaskularisasi pada bagian permukaan


penyerapan terbatas, jika dibandingkan
penyerapan di usus
 Penyerapan obat di lambung tergantung
pada keadaan lambung yang penuh atau
kosong
 Saat saluran cerna berada dalam
keadaan istirahat spincter pylorus agak
membuka dan senyawa yang diberikan
per oral dapat melintasi celah tersebut
dengan mudah dan akan diserap di usus
halus
Absorpsi Obat Pada Pemberian Usus Halus

 Karakteristik anatomi dan fisiologi usus (makrovili dan mikrovili) lebih


menguntungkan untuk penyerapan obat
 Gerakan usus dan Gerakan vili usus di sepanjang saluran cerna akan
mendorong terjadinya penembusan menuju pembuluh darah
 Adanya getah empedu dan getah pancreas yang dapat melarutkan lemak
akan mempermudah penyerapannya.
 Terjadinya difusi pasif, transport aktif dan pinositosis terjadi di usus halus
Absorpsi Obat Pada Pemberian Per Rektal

 Cairan rektal dapat mengurangi pengaruh pH lambung atau enzim-enzim


lambung yang dapat merusak zat aktif
 Mencegah first pass effect metabolism
 Obat diserap menuju vena cava dan Sebagian besar oleh vena
haemorroides superior menuju vena porta dan hati
 Pemberian rektal dapat dilakukan bila pemberian per oral tidak
memungkinkan
Absorpsi Obat Pada Pemberian Parenteral
1. Pemberian Intra Vena dan Intra Arteri (i.v dan i.a)
Pemberian i.v dan i.a menghilangkan semua masalah absorpsi, karena zat aktif
langsung masuk ke dalam peredaran darah.
2. Pemberian Intra Muskuler dan Subkutan (i.m dan s.c)
- Cara i.m dan s.c menunjukkan karakterisasi yang mirip, namun absorpsi zat
aktif terjadi lebih cepat jika obat disuntikkan secara i.m dibandingkan jika
disuntikkan secara s.c
- Perbedaan kecepatan tersebut disebabkan sebelum mencapai kapiler darah,
obat harus berdifusi ke dalam senyawa dasar penyusun jaringan penghubung
- Faktor penentu lainnya yang mempengaruhi laju absorpsi adalah perfusi
jaringan (Vaskularisasi jaringan muskuler lebih baik dibandingkan dengan
vaskularisasi jaringan subkutan)
3. Pemberian per inhalasi
- Pemberian secara inhalasi bertujuan untuk mendapatkan efek sistemik
- Besarnya kemampuan penyerapan dari epitel paru dan intensitas
vaskularisasi paru menyebabkan peningkatan fungsi permukaan membrane
kapiler alveolus
- Ukuran partikel sediaan yang diberikan secara inhalasi (aerosol) dapat
mempengaruhi pencapaian zat aktif ke alveoli sehingga menimbulkan efek
sistemik
Interaksi Obat >>>> Absorpsi
Obat – Makanan
 Kemungkinan-kemungkinan yang menyebabkan dapat terjadinya
interaksi obat dengan makanan adalah :
- Perubahan motilitas lambung dan usus, terutama kecepatan
pengosongan lambung dari saat masuknya makanan.
- Perubahan pH, sekresi asam serta produksi empedu
- Perubahan suplai darah di daerah di mukosa saluran cerna
- Dipengaruhinya absorpsi obat oleh proses absorpsi dan
pembentukan kompleks
- Dipengaruhinya proses transport aktif obat oleh makanan
- Perubahan biotransformasi dan eliminasi.
Interaksi Obat >>> Absorpsi

 Obat dengan Obat


 Interaksi langsung secara fisika atau kimia antar obat di dalam lumen GI
sebelum obat diserap
 Terbentuk kompleks senyawa yang tidak bisa diserap, sehingga dapat
menurunkan jumlah obat yang diserap
 Contoh : Tetrasiklin dengan kation kovalen (Ca, Mg, Al, Fe)
Kompleks Digoksin, Digitoksin dengan adsorbensia (Carbo
adsorben, Kaolin)
Solusi : Mengatur jarak pemberian obat
BIOFARMASETIKA DAN
FARMAKOKINETIKA

Dr. apt. Wira Noviana Suhery, M. Farm


BAGIAN pH WAKTU TRANSIT

Mulut 6,7 - 7 2-10 detik


Oesofagus

Lambung 1-2 (puasa) 10 mn – 1 jam (puasa)


1-8 jam (isi makanan)

Duodenum 4–6 5-15 mn

Jejunum 6–7 2 j - 3,5 jam

Ileum 7-8 3 - 6 jam

Kolon (usus 7-8 K.menaik: 1 j


besar) K.mendatar: 3-4 j
K.menurun: 3 j
K.pinggul: sampai 18 j
MULUT

 Kapasitas relatif kecil


 Cairan: air liur (0,5-1 l/hari) dengan enzim ptialin, pH 6,7-7,0
 Di bawah lidah ada pembuluh darah cukup besar: vena lingualis
yang bergabung dengan vena raninus
 Waktu transit umumnya pendek, kecuali ditahan seperti sub-
lingual
OESOFAGUS

 Tidak bermakna dalam penyerapan obat


LAMBUNG

 Volume: 1 – 1,5 liter


 Ada kantong udara
 Cairan: bersifat asam, mengandung enzim pepsin, katepsin, kimosin, lipase
 Mengandung mukus yang melindungi mukosa
 Mukoprotein termolabil (faktor intrinsik) yang memfasilitasi penyerapan
vit. B12
 Gerakan lemah (gelombang kontraksi)
 Ada pilorus yang menutup dan membuka
 Debit darah 250 ml/menit menuju hati
KEASAMAN LAMBUNG

Kondisi pH rata-rata Rentang pH


Normal 1,9 0,5 – 5
Tukak usus 1,7 0,6 – 1,9
Tukak lambung 4,1 1,9 – 6,8
Gastritis 5 2,5 – 5,7
WAKTU PENGOSONGAN LAMBUNG

Diperlambat oleh Dipercepat oleh


Volume Kebasaan
Konsistensi Gas CO2
Keasaman Posisi tidur pada sisi kiri
Kandungan bahan Keadaan berjalan
berlemak
Hipertonisitas
Emosi
Posisi tidur pada sisi kanan
USUS HALUS

 Duodenum (usus 12 jari)


 Jejunum
 Ileum (panjang dengan jejunum 6 meter)

 Terdiri dari 3 lapisan: otot, mukosa dan mukus


 Mengandung lipatan dan vili (luas 40-50 m2)
 Getah: pankreas, empedu, getah usus
JONJOT USUS
USUS HALUS

 Mengandung banyak enzim (amilase, lipase, enzim proteolitik)


 Mengandung getah empedu (musin dan garam empedu)
 Garam empedu bersifat sebagai surfaktant
 Musin dapat membentuk kompleks dengan berbagai senyawa
dan memfasilitasi penyerapannya
 pH 3,5 – 8 (ada pengeluaran karbonat)
 Konsistensi: cair sampai pasta lunak
 Gerakan: macam-macam
GERAKAN PADA USUS HALUS

➢ Gerakan segmentasi
➢ Gerakan peristaltik
➢ Gerakan penduler (pada lengkungan usus)
USUS BESAR (KOLON)

 Usus besar menaik


 Usus besar mendatar
 Usus besar menurun
 Colon ileocaecal

Fungsi lebih banyak untuk resorpsi air.


Untuk penyerapan obat kurang
bermakna
USUS BESAR (LANJUTAN)

 Penggetahan: kurang
 Konsistensi: sangat kental sampai pasta
 pH: 7,5 – 8
 Mengandung flora yang mengasilkan penisilinase dan zat-zat
yang dapat meningkatkan absorpsi vitamin tertentu.
FAKTOR-FAKTOR FISIOLOGIYANG
MEMPENGARUHI ABSORPSI OBAT (ORAL)
1. Fisiologi GIT
- Lambung mempunyai luas permukaan absorpsi yang lebih kecil
dibandingkan dengan usus halus
- Mukosa lambung dapat menyerap obat yang diberikan secara per oral, dan
tergantung keadaan, lama kontak terjadinya absorpsi, dan bentuk tak
terion
- Usus halus mempunyai permukaan absorpsi 40-50 m2.
- Penyerapan pasif dapat terjadi secara kuat pada daerah tertentu tanpa
mengabaikan peranan pH
2. Lingkungan dalam luminal
a. pH GIT
pH GIT dapat mempengaruhi absorpsi obat dengan cara :
(1) mempengaruhi stabilitas kimia obat dalam lumen, contohnya penisilin G dan
eritromisin.
(2) mempengaruhi disolusi dan absorpsi obat, misalnya obat-obat yang bersifat eletrolit
lemah
b. Enzim-enzim luminal
Enzim utama yang ditemukan dalam cairan lambung adalah lipase, amilase, protease
yang dikeluarkan dari pancreas ke dalam usus halus.
>> Protein dan protease bertanggung jawab untuk mencernakan obat-obat protein dan
peptide di dalam lumen
>> Lipase dapat mempengaruhi pelepasan obat/bentuk sediaan yang mengandung lemak
>> Enzim-enzim yang dikeluarkan oleh bakteri yang terdapat pada usus besar dapat
mengaktivasi prodrug menjadi bentuk aktif nya, contohnya sulfasalazin
 3. Adanya penyakit dan kerusakan fisiologi
 - Penyakit lokal pada saluran cerna dapat mempengaruhi pH
lambung yang akan mempengaruhi stabilitas, disolusi, dan absorpsi
obat
 - Gastrektomi parsial atau total dapat menghasilkan obat mencapai
duodenum lebih cepat dibandingkan dengan individu normal,
sehingga akan meningkatkan kecepatan absorpsi obat yang diserap
di usus halus
 4. Waktu pengosongan lambung
>>Yaitu waktu yang dibutuhkan obat untuk melintasi lambung
>> Disebut juga dengan istilah gastric residence time, gastric emptying
time or gastric emptying rate
>> Umumnya obat diserap lebih baik di usus halus (karena luas
permukaannya lebih besar) daripada di lambung, oleh karena itu
semakin cepat waktu pengosongan lambung akan meningkatkan
penyerapan obat.
>> Misalnya, korelasi yang baik telah ditemukan antara waktu
pengosongan lambung dan konsentrasi plasma puncak untuk
asetaminofen. Semakin cepat pengosongan lambung (waktu
pengosongan lambung lebih pendek) semakin tinggi konsentrasi
plasma
>> Pengosongan lambung yang lebih lambat juga dapat menyebabkan
peningkatan degradasi obat di bagian lambung (pH yang lebih
rendah), contohnya L-dopa.
FAKTOR-FACTOR YANG MEMPENGARUHI
WAKTU PENGOSONGAN LAMBUNG
1. Viskositas
Laju pengosongan lebih besar untuk larutan yang kurang kental
2. Keadaan emosi
- Keadaan emosional yang stres meningkatkan kontraksi dan laju
pengosongan lambung
- Depresi mengurangi kontraksi dan pengosongan lambung
3.Keadaan penyakit
- Laju pengosongan lambung berkurang dalam: Beberapa pasien diabetes,
hipotiroidisme
- Kecepatan pengosongan meningkat pada: hipertiroidisme
4. Jenis makanan
Makanan berlemak, karbohidrat dapat menurunkan waktu
pengosongan lambung
5. Obat-obatan
Narkotik, antikolinergik, analgesic dapat menurunkan waktu
pengosongan lambung
5. Usia
- Saluran cerna pada bayi dan anak-anak, sebagian
system enzimnya belum berfungsi sempurna sehingga
dapat terjadi dosis-lebih pada zat aktif tertentu akibat
penyerapan yang tidak sempurna
- Pada pasien lansia, terjadinya penurunan penyerapan
dan kecendrungan menurunnya HCl lambung sehingga
mengurangi penyerapan asam lemah
BIOFARMASETIKA
DAN
FARMAKOKINETIKA
Dr. apt. Wira Noviana Suhery, M. Farm
PENGARUH PENYAKIT PADA ABSORPSI
OBAT
• Absorpsi obat dapat dipengaruhi oleh beberapa penyakit yang
menyebabkan perubahan pada :
1. Aliran darah intestinal
2. Motilitas saluran cerna
3. Perubahan dalam waktu pengosongan lambung
4. pH lambung yang mempengaruhi kelarutan obat
5. pH lambung yang mempengaruhi tingkat ionisasi
6. Permeabilitas dinding usus
7. Sekresi empedu
8. Sekresi enzim pencernaan
9. Perubahan flora normal GI
• Penelitian farmakokinetika yang membandingkan subjek dengan dan
tanpa penyakit pada umumnya perlu untuk menetapkan pengaruh
penyakit pada absorpsi obat.
• Beberapa contoh pengaruh penyakit terhadap absorpsi obat
1. Penyakit Parkinson : Menurunkan motilitas pencernaan >> absorpsi
buruk
2. Pasien dengan antidepresan trisiklik (imipramine, amitriptilin, dan
nortriptilin) dan obat antipsikotik (fenotiazin) >> efek samping
antikolinergik >> penurunan motilitas saluran cerna atau bahkan
obstruksi intestinal >> penundaan absorpsi obat
3. Pasien akhlorhidria >> tidak mempunyai produksi asam lambung
yang memadai >> HCl lambung penting untuk kelarutan basa
bebas yang tidak larut
4. Pasien HIV/AIDS >> rentan terhadap gangguan saluran
cerna
5. Pasien gagal jantung kongestif (CHF) dengan edema
tetap >> mengalami penurunan aliran darah
splanchnis dan mengalami edema pada dinding
perut. Disamping itu terjadinya penurunan aliran
darah ke usus dan penurunan motilitas intestinal >>
penurunan absorpsi obat
6. Penyakit Crohn (peradangan dari usus halus distal dan
kolon) >> penebalan dindng usus >> penurunan luas
permukaan absorpsi
BIOAVAILABILITAS
• Kemanjuran obat secara klinik sukar untuk ditentukan
secara kuantitatif karena variasi respon yang diberikan oleh
pasien sangat besar sehingga diperlukan jumlah pasien
yang sangat banyak dan biaya yang sangat besar

• Uji klinik biasanya dilakukan pada saat obat pertama kali


diperkenalkan.
• Intensitas efek farmakologik dan toksik suatu obat
berhubungan dengan konsentrasi obat di dalam
reseptor yang terdapat dalam sel suatu jaringan.

• Karena sel suatu jaringan pada umumnya kaya


akan perfusi oleh cairan atau plasma maka level
plasma seringkali dapat digunakan memonitor efek
terapi suatu obat.
• Uji bioavailabilitas yang menggunakan data kadar obat utuh atau
metabolitnya dalam darah atau yang diekskresikan melalui urin bila
dirancang dengan baik dapat digunakan untuk menilai potensi suatu
obat
• Pada obat yang bekerja secara tidak reversibel pada reseptor
pengukuran level plasma tidak dapat memprediksi secara akurat
respon farmakologik obat.
• Adakalanya pengukuran respon farmakodinamika obat lebih
penting. Misalnya:
- Digoksin : perlu dilakukan pengukuran elektrofisiologi dari
jantung
- Dikumarol : perlu pengukuran waktu pembekuan protrombin
BIOAVAILABILITAS

• Bioavailabilitas (ketersediaan hayati) adalah persentase


dan kecepatan zat aktif dalam suatu produk obat yang
mencapai/ tersedia dalam sirkulasi sistemik dalam bentuk
utuh/aktif setelah pemberian produk obat tersebut

• Bioavailabilitas diukur dari kadarnya dalam darah terhadap


waktu atau dari ekskresinya dalam urin.

• Bioavailabilitas mencakup laju dan intensitas (rate and


extent)
• Laju relatif obat yang mencapai sistem peredaran darah
(laju absorbsi) dapat ditentukan dari konstanta laju
absorbsi, sedangkan jumlah relatif obat yang terabsorbsi
dapat ditentukan dari availabilitas absolut atau availabilitas
relatif.
• Manfaat dari biavailabilitas diantaranya adalah dapat
diketahui waktu yang dibutuhkan suatu obat agar dapat
memberikan efek terapi dan seberapa banyak obat
tersebut dapat terserap oleh tubuh.
• Parameter untuk menilai bioavailabilitas adalah nilai area di
bawah kurva konsentrasi obat vs waktu (AUC = area under
curve)
• Area di bawah kurva konsentrasi obat vs waktu berguna
sebagai ukuran dari jumlah total obat yang utuh yang
mencapai sirkulasi sistemik.

𝐹𝐷
AUC =
𝐾𝑉𝑑

• FD = Jumlah total obat yang tersedia


•K = Tetapan laju eliminasi
• Vd = Volume distribusi
Bioavailabilitas ada 2 yaitu :

• Bioavailabilitas absolut : Bioavailabilitas zat aktif


yang mencapai sirkulasi sistemik dari suatu bentuk
sediaan obat dibandingkan dengan bioavailabilitas
zat tersebut yang diberikan secara i.v

• Bioavailabilitas relatif: Bioavailabilitas zat aktif yang


mencapai siskulasi sistemik dari suatu bentuk
sediaan obat dibandingkan dengan bentuk
sediaan lain selain i.v
Bioavailabilitas absolut Bioavailabilitas relatif
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
BIOAVAILABILITAS OBAT

• Faktor obat
• Faktor subjek
• Faktor rute pemberian
• Faktor interaksi obat/makanan
• Metode untuk penilaian bioavailabilitas
1. Konsentrasi obat dalam plasma
- tmaks
- Cmaks
- AUC
2. Eksresi obat melalui urin
- Du (Jumlah kumulatif obat yang diekskresikan dalam urin
- dDu/dt (Laju eksresi obat dalam urin)
- t (Waktu untuk terjadi ekskresi obat maksimum dalam urin)
3. Efek farmakodinamik akut
4. Pengamatan klinis
5. Studi in vitro (Uji disolusi)
CONTOH SOAL
• Bioavailabilitas suatu obat yang baru diteliti dipelajari pada 12
sukarelawan. Tiap sukarelawan menerima satu tablet oral
mengandung 200 mg obat. 5 mL larutan air murni mengandung 200
mg obat, atau injeksi i.v bolus tunggal mengandung 50 mg obat.
Sampel plasma diperoleh secara berkala sampai 48 jam setelah
pemberian obat, kemudian ditetapkan konsentrasinya. AUC rata-rata
(0-48 jam) dinyatakan dalam table dibawah ini. Dari data ini hitunglah
: (a) bioavailabilitas relative tablet dibandingkan dengan larutan oral,
dan (b) bioavailabilitas absolut obat dari tablet.
Produk obat Dosis (mg) AUC (g jam/mL) Simpangan baku

Tablet oral 200 89,5 19,7

Larutan oral 200 86,1 18,1

Injeksi i.v bolus 50 37,8 5,7


• Tiga produk obat berbeda yang mengandung antibiotic sama
diberikan kepada 12 sukarelawan pria dewasa (19-28 tahun, berat
rata-rata 73 kg). Sukarelawan dipuasakan 12 jam sebelum pemberian
produk obat. Sampel urin dikumpulkan sampai 72 jam setelah
pemberian obat untuk memperoleh ekskresi maksimum Du-∞. Data
disajikan dalam table berikut. (a) Berapakah bioavailabilitas absolut
tablet? (b) Berapakah bioavailabilitas relative kapsul dibandingkan
tablet?
Produk obat Dosis (mg/kg) Ekskresi obat dalam urin
kumulatif 0-72 jam (Du-∞)
Tablet oral 4 340

Kapsul oral 4 360

Larutan IV 0,2 20
T Cp AUC0-t
0 0
0,5 54 13,5
1 62 29
2 42 52
3 23 32,5
4 10 16,5
6 6 16
AUC0-6 159,5
AUC AUC0-t
AUC0-1 62,5
AUC1-2 117,5
AUC2-3 103
AUC3-4 90,5
AUC4-6 151
AUC6-9 166,5
AUC9-12 114
AUC12-15 78,75
AUC0-15 883,75
Kurva laju ekskresi obat dalam urin vs waktu
BIOAFARMASETIKA DAN
FARMAKOKINETIKA
Dr. apt. Wira Noviana Suhery
BIOEKIVALENSI

❑Uji Ekivalensi adalah uji untuk menentukan ekivalensi antara


obat generik dan obat komparator yang dilakukan melalui uji in
vivo dan/atau in vitro.
❑ Uji Bioekivalensi adalah Uji Ekivalensi in vivo pada manusia
untuk membandingkan bioavailabilitas atau farmakodinamik
antara obat uji dan obat komparator.
❑ Uji Disolusi Terbanding atau Uji Ekivalensi in vitro yang
selanjutnya disebut Uji Disolusi Terbanding adalah uji disolusi
komparatif yang dilakukan untuk menunjukkan similaritas profil
disolusi antara obat uji dengan obat komparator.
• Dua produk obat disebut bioekivalen jika keduanya
mempunyai ekivalensi farmaseutik atau merupakan alternatif
farmaseutik dan pada pemberian dengan dosis molar yang
sama akan menghasilkan biovailabilitas yang sebanding
sehingga efeknya akan sama, dalam hal efikasi maupun
keamanan.
• Ekivalensi farmaseutik : Dua produk obat mempunyai
ekivalensi farmaseutik jika keduanya mengandung zat aktif
yang sama dalam jumlah yang sama dan bentuk sediaan
yang sama
• Alternatif farmaseutik : Dua produk obat merupakan
alternatif farmaseutik jika keduanya mengandung zat aktif
yang sama tetapi berbeda dalam bentuk kimia (garam,
ester, dsb.) atau bentuk sediaan atau kekuatan
• Studibioekivalensi dilakukan untuk membandingkan
bioavailabilitas produk obat uji terhadap produk
komparator (produk copy vs produk innovator, atau
produk generic vs produk bermerk.
• Pada studi bioekivalensi, produk obat uji dan
pembanding harus mengandung ekivalensi farmasetik
dan diberikan melalui rute pemakaian yang sama
Rancang bangun dan penilaian studi bioekivalensi
• Unsur-unsur protokol studi bioavailabilitas
1. Judul
a. Peneliti utama
b. Nomor dan tanggal proyek
2. Tujuan penelitian
3. Rancangan penelitian
a. Rancangan
b. Produk obat
1. Produk uji
2. Produk pembanding
c. Aturan pendosisan
d. Jadwal pengumpulan sampel
e. Tempat percobaan
f. Jadwal puasa/makan
g. Metode analitik
4. Populasi studi
a. Subyek
b. Pemilihan subyek
1. Riwayat Kesehatan
2. Pemeriksaan fisik
3. Uji laboratorium

c. Kriteria inklusi/eksklusi
d. Batasan/larangan
5. Prosedur klinik
a. Dosis dan pemakaian obat
b. Jadwal pengambilan sampel dan prosedur penanganan
c. Aktivitas subyek
6. Pertimbangan etik
a. Prinsip dasar
b. Dewan peninjau ulang institusional
c. Informed consent
d. Indikasi subyek terputus
e. Reaksi merugikan dan prosedur darurat
7. Fasilitas
8. Analisis data
a. Prosedur validasi analitik
b. Perlakukan statistic pada data
9. Pertanggungjawaban obat
10. Apendiks
Metode analitik

• Metode analitik yang digunakan dalam studi BE untuk mengukur


konsentrasi bahan obat aktif atau metabolit aktif dalam tubuh atau produk
ekskresi atau metode yang digunakan untuk mengukur efek farmakologis
akut, harus teliti/akurat dan cukup peka dengan presisi yang cukup
(tervalidasi)
• Sebelum memulai studi BE, total kandungan bahan obat aktif
dalam produk uji harus masuk dalam 5% dari produk
pembanding
• Perlu dilakukan uji disolusi terbanding dengan produk
pembanding dan dinyatakan similar
Desain studi BE

• Studi dalam kondisi puasa (fasted)


• Studi dengan adanya intervensi makanan (fed)
Menggunakan kondisi makan yang memberikan pengaruh yang
besar pada fisiologis saluran cerna sehinggan akan
mempengaruhi bioavailabilitas secara maksimal.
• Studi dosis ganda (keadaan tunak)
• Desain acak silang (crossover)
• Desain paralell
Crossover
Replicate crossover

• Digunakan untuk penentuan BE individual, untuk


memperkirakan variasi subyek untuk produk uji dan
pembanding, dan untuk memperkirakan variasi subyek-
formulasi
• Produk
pembanding yang sama dan produk uji yang
sama masing-masing diberikan 2 kali pada subyek yang
sama
Paralel desain
Analisa Statistik

• Parameter utama bioekivalensi AUC0-t , AUC0-∞, Cmaks dan Tmaks harus


dibandingkan secara statistik .
• Data AUC dan Cmaks harus ditransformasikan dulu ke dalam bentuk
logaritme, baru dihitung dengan ANOVA dengan batas kebermaknaan 5%.
• Untuk ketiga data tersebut dihitung 90% confidence intervals, median,
minimum dan maksimum.
Kriteria Bioekivalen

Produk uji (test = T) dan produk pembanding (reference = R) dikatakan bioekivalen jika :
a. Rasio nilai rata-rata geometrik (AUC)T/(AUC)R*=1.00
dengan 90% CI =80-125%
Untuk obat- obat dengan indeks terapi yang sempit, nilai 90% CI = 90-111%
b. Rasio nilai rata-rata geometrik (Cmax)T/(Cmax)R juga = 1.00
dengan 90% CI = 80-125%.
Oleh karena Cmax, lebih bervariasi dibanding AUC, maka interval yang lebih lebar misal
75-133% atau 70- 143% (untuk obat-obat dengan variabilitas tinggi)
c. Perbandingan tmax dilakukan hanya jika ada claim yang relevan secara klinik mengenai
pelepasan atau kerja yang cepat atau adanya tanda-tanda yang berhubungan dengan
efek samping obat
Data Tmaks biasanya dilakukan uji Wilcoxon berpasangan dari data asli dengan batas
kebermaknaan 5%.

Anda mungkin juga menyukai