Anda di halaman 1dari 9

FILSAFAT ILMU

“WAHYU DALAM PRESPEKTIF TEOLOGI”

Dosen : Prof. Dr. Jacob J. Terry, M.Pd.K

Kelas : C

Kelompok 2 :

Vinka Sompie, Indryani Pelealu, Eunike Mamarimbing

Christianto Tumbelaka, Ryanda Ota, Stela Sigar

Christy Rumengan, Naralatasya Nelwan,

Jewlin Rombon, Patrix Wojongan

Yayasan GMIM Ds. A. Z. R. Wenas

Universitas Kristen Indonesia Tomohon

Pascasarjana Fakultas Teologi

2021
A. TEOLOGI

Istilah “teologi” berasal dari bahasa Yunani yaitu theos dan logos. Theos artinya Allah dan
Logos artinya perkataan atau firman. Jadi, arti dari Teologi adalah perkataan/firman mengenai
Allah. Istilah ini dipakai oleh orang Yunani jauh sebelum munculnya Kekristenan untuk
menunjuk pada ilmu mengenai hal-hal ilahi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, teologi
dirumuskan sebagai pengetahuan ketuhanan.1

Dalam buku “Teologi Lintas Budaya” karangan Daniel J. Adams, mengatakan bahwa definisi
dari Teologi adalah; pengtahuan tentang Allah dimana seorang teolog adalah anggota masyarakat
orang percaya dan karena itu ia mulai memperteguh imannya. Keyakinan ini pertama-tama
menandaskan bahwa alam semesta ini adalah kosmos keteraturan, bukan khaos kekacauan. Ada
banyak definisi yang tepat tentang Allah, namun bagaimanapun definisi itu, semua berdasarkan
atas definisi teologi : pengetahuan tentang Allah atau percakapan mengenai Allah. Upaya yang
dilakukan untuk memahami teologi yaitu dengan analisis, kritik dan penyusunan kembali dari
konsepsi tentang Allah.2

B. WAHYU

Wahyu atau pewahyuan yang dalam bahasa Inggris revelation berasal dari bahasa Latin
revelare yang kemudain menjadi revelasi dan dengan arti penyingkapan dan kemudian
disejajarkan dengan kata3 wahyu yang berasal dari kata kerja bahasa Arab ‫( َو َحى‬waḥā) yang
berarti memberi wangsit, mengungkap, atau memberi inspirasi.4 Wahyu ialah pernyataan Allah.5
Wahyu ialah pernyataan diri Allah yang mempersatukan kita dengan-Nya. Maka dari itu wahyu
dalam arti tepat dan penuh di mana terjadi persatuan penuh Allah dan manusia.

Beberapa prafaham yang harus direfleksikan kritis :

1
B.F Drewes, Julianus Mojau, Apa itu Teologi?: pengantar ke dalam ilmu Teologi, (Jakarta, 2007 BPK Gunung
Mulia), 16
2
Daniel J. Adams, Teologi lintas budaya : refleksi barat di Asia,(Jakarta, 1992 BPK GunungMulia), 6
3
Dr. Yakobus Ndona, Horizon iman : Hal-Ihwal iman Katolik,(Jakarta, 2021 Yayasan Kita Menulis), 24
4
https://id.wikipedia.org/wiki/Wahyu, diakses 13 Oktober 2021 15.05 PM
5
J.B Banawiratma, WAHYU IMAN KEBATINAN (Yogyakarta: KANISUS, 1986), 13
2
- Wahyu tidak dapat terjadi dalam peristiwa-peristiwa yang “normal”, tetapi harus bersifat
khusus, menyolok, luar biasa bahkan gaib.

- Wahyu tidak dapat terjadi tanpa ada kesadaran jelas pada manusia

- Wahyu hanya dapat terjadi dalam bangsaku, atau: dalam lingkungan agamaku; atau,
kalau ada wahyu di luarnya, isinya harus sama

- Wahyu harus bersifat berita/ajaran, maka harus terjadi dalam bentuk “yang diturunkan
oleh Allah”

- Allah adalah yang tak terfahami, maka wahyu hanya dapat berisikan petunjuk mengenai
dunia ciptaan. Misalnya, mengenai hidup akhirat atau moral yang tepat

- Allah adalah superpersonal atau nonpersonal, maka wahyu harus terjadi dalam bentuk
“jiwa manusia lebur dalam ilahni”

- Allah adalah tumpuan harapanku, maka wahyu harus memberikan rasa bersatu dengan
Allah dan rasa bahagia.

Tepat-tidaknya faham-faham itu perlu diperiksa kritis. Manusia tidak dapat menentukan
apriori, apa yang dapat atau harus dibuat Allah. Maka satu-satunya patokan yang dapat
diandalkan ialah wahyu Allah sendiri, bukan anggapan atau harapan manusia.6

a) Wahyu umum: peran alam

Agama-agama Timur, secara keseluruhan, berbeda dari agama-agama Barat dalam hal
mereka kurang menekankan pada wahyu khusus atau eksklusif yang diterima oleh "umat pilihan"
dan lebih berbicara tentang manifestasi Yang Mutlak melalui tatanan alam yang umum. Akan
tetapi, tidak ada pertentangan yang tidak dapat didamaikan antara wahyu umum dan wahyu
khusus. Hinduisme dan Buddha Vedanta, bahkan jika mereka tidak berbicara tentang wahyu
khusus, percaya bahwa buku-buku dan tradisi-tradisi agama mereka memiliki nilai unik untuk
menyampaikan pengetahuan kebenaran yang menyelamatkan. Alkitab dan Al-Qur'an,
sebaliknya, menyatakan bahwa meskipun Tuhan secara khusus memanifestasikan dirinya kepada

6
J.B Banawiratma, 14-15
3
orang-orang alkitabiah, ia juga membuat dirinya dikenal melalui tatanan alam. Kegagalan
beberapa negara untuk mengakui satu-satunya Tuhan yang benar tidak disebabkan oleh
kegagalan Tuhan untuk mengungkapkan diri-Nya, tetapi lebih karena efek dosa yang
melemahkan daya pemahaman manusia.

b) Wahyu khusus: peran sejarah

Agama-agama Barat agak berbeda di antara mereka sendiri dalam cara mereka memahami
bagaimana wahyu khusus terjadi. Beberapa hanya berfokus pada ilham langsung dari para nabi
pilihan ilahi. Akan tetapi, tradisi Yahudi-Kristen secara khas memandang para nabi sebagai saksi
dan penafsir tentang apa yang sedang dilakukan Allah dalam sejarah. Wahyu melalui perbuatan
dipahami lebih mendasar daripada wahyu melalui kata-kata, meskipun kata-kata para nabi
dianggap perlu untuk memperjelas makna peristiwa. Karena istilah Ibrani untuk "kata" (davar)
berarti juga "perbuatan" atau "benda", tidak ada garis penanda yang jelas antara wahyu-kata dan
wahyu-perbuatan dalam Alkitab Ibrani. Para penulis Alkitab memandang kekayaan nasional
Israel sebagai wahyu dari kasih Allah yang penuh belas kasihan, kesetiaan-Nya pada janji-janji-
Nya, kuasa-Nya yang tidak pernah gagal, keadilan-Nya yang menuntut, dan kesiapan-Nya untuk
mengampuni orang berdosa yang bertobat. Pengungkapan penuh makna sejarah, bagi banyak
penulis Alkitab, hanya akan terjadi pada akhir zaman, ketika wahyu akan diberikan kepada
semua orang dengan sangat jelas. Gagasan Yahudi-Kristen tentang sejarah sebagai wahyu
progresif telah memunculkan berbagai interpretasi teologis tentang sejarah dunia, dari St.
Augustine (354–430) hingga G.W.F. Hegel (1770-1831) dan pemikir modern lainnya.

c) Wahyu dan kitab suci

Dalam agama-agama yang mencari bimbingan ke masa lalu kuno, sangat penting melekat
pada buku-buku suci. Buddhisme Theravada, meskipun tidak menganut doktrin inspirasi, telah
menyusun kanon yang ketat (kitab suci standar atau otoritatif)—Tipitaka dalam bahasa Pali—
untuk mempertahankan apa yang diyakini sebagai tradisi paling orisinal dan andal tentang
Buddha tetap hidup ( lihat juga sastra Pali). Buddhisme Mahayana, meskipun tidak memiliki
kanon yang begitu ketat, menganggap bahwa semua penganutnya harus menerima otoritas sutra
4
(ajaran dasar yang ditulis dalam kata-kata mutiara). Buddhisme Zen, sebuah cabang pemikiran
Mahayana yang populer di Asia Timur, kadang-kadang sampai pada titik menolak otoritas
tertulis semacam itu.

Banyak agama memandang kitab suci mereka sebagai kitab yang diilhami dan tidak salah.
Menurut tradisi Hindu yang sangat kuno, orang bijak di masa lalu menyusun Veda melalui jenis
inspirasi impersonal melalui getaran kosmik; Veda dengan demikian dianggap sebagai Shruti
("Mendengar"). Yudaisme, di sisi lain, memandang Alkitab sebagai sesuatu yang diilhami secara
ilahi oleh Allah yang berpribadi. Gagasan dikte verbal dari Tuhan, yang muncul di sana-sini
dalam Alkitab, diterapkan oleh beberapa rabi pada Pentateukh, yang diyakini telah ditulis oleh
Musa di bawah ilham verbal, dan bahkan ke seluruh Alkitab. Kekristenan, yang secara umum
menerima baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru sebagai yang dalam arti tertentu
diilhami, kadang-kadang menyetujui teori dikte verbal. Menurut orang Mormon, Kitab Mormon
disusun di surga dan disampaikan pada loh-loh emas kepada Joseph Smith. Islam berpendapat
bahwa Al-Qur'an, sebuah buku surgawi abadi, didiktekan kata demi kata kepada Muhammad.
Para sahabat Nabi bersaksi bahwa dia sering menjadi merah atau pucat, berkeringat banyak, dan
jatuh kesurupan saat menerima wahyu.

d) Wahyu dan tradisi

Agama-agama besar sering membuat perbedaan antara kitab suci yang berisi wahyu awal dan
lainnya, di pinggiran luar kanon, yang berisi komentar otoritatif. Dalam agama Hindu, empat
Veda dan tiga koleksi kuno lainnya—Brahmana, Aranyaka, dan Upanishad—adalah Shruti
(yaitu, wahyu konstitutif); tulisan suci lainnya (sutra; buku hukum; Purana; epos besar
Mahabharata dan Ramayana; dan Bhagavadgita, atau "Nyanyian Tuhan," sebuah puisi panjang
yang merupakan bagian dari Mahabharata tetapi sering diperlakukan sebagai teks terpisah)
adalah Smriti ("Diingat"; yaitu, tradisi). Yudaisme kemudian, sementara mengakui tempat unik
dari Alkitab sebagai sumber tertulis wahyu, memberikan otoritas yang sama dengan Talmud
sebagai komentar tradisional. Di antara orang Kristen, Katolik Roma dan Ortodoks Timur
percaya bahwa wahyu dapat ditemukan tidak hanya dalam Alkitab tetapi juga, dengan hak yang

5
sama, dalam tradisi kerasulan. Orang-orang Protestan menekankan kecukupan obyektif dari
Kitab Suci sebagai sumber wahyu, tetapi banyak orang Protestan saat ini dengan hati-hati
menambahkan bahwa Kitab Suci harus selalu dibaca dalam terang tradisi gereja agar pesan yang
benar dapat dipahami dengan benar. Islam berpendapat bahwa Al-Qur'an saja mengandung
wahyu dalam arti sempit (way), tetapi menerima tradisi (Hadits) sebagai sumber tambahan
hukum Islam (Syariah). Signifikansi khusus melekat pada praktik (Sunnah) Nabi sendiri dan
tradisi yang diturunkan oleh para sahabat langsungnya.

e) Wahyu dan pengalaman

Di sebagian besar agama, komunikasi nonverbal memainkan peran penting dalam transmisi
wahyu. Hal ini dapat terjadi dalam seni (terutama dalam ikon, patung, dan berhala), dalam musik
sakral, dalam liturgi, dan dalam drama populer, seperti drama misteri yang umum di Eropa abad
pertengahan atau yang masih dilakukan di desa-desa India. Untuk inisiasi yang lebih dalam ke
dalam wahyu, diyakini perlu untuk hidup di bawah pengawasan seorang guru (lihat juga Guru),
biksu, atau orang suci. Sejauh wahyu diidentifikasikan dengan pengalaman pribadi yang
mendalam dan mengubahkan, persiapan spiritual subjek dengan doa dan asketisme ditekankan.
Di antara agama-agama besar yang hidup di dunia, ada kesepakatan luas bahwa wahyu tidak
dapat sepenuhnya dikomunikasikan melalui buku dan khotbah, tetapi hanya melalui pengalaman
suprarasional yang tak terlukiskan. Dalam agama Hindu, Upanishad menekankan
ketersembunyian Tuhan. Meninggalkan semua analogi yang diciptakan, orang yang mahir
dibawa ke titik di mana dia datang untuk memuji Tuhan dalam keheningan memuja yang lebih
mulia daripada ucapan. Buddhisme Mahayana, khususnya varietas Zen-nya, juga menganjurkan
perenungan gembira.

Para mistikus Timur di sini sangat dekat dengan asidim Yahudi (para ahli mistik), dengan
para Sufi Islam, dan dengan para mistikus besar Kristen, seperti Pseudo-Dionysius the
Areopagite, Meister Eckhart, dan St. John of the Cross. Banyak teolog dalam Yudaisme
(misalnya, Maimonides) dan Kekristenan Timur (misalnya, St. John Chrysostom dan St. John of
Damascus) berpendapat bahwa Tuhan paling dikenal melalui teologi negatif, atau "apofatik,"
yang tidak membuat pernyataan positif tentang Tuhan. . Gagasan ini, yang tidak pernah absen
dari tradisi Skolastik (intelektualis) abad pertengahan, baru saja ditekankan oleh Martin Luther,
yang bersikeras bahwa Tuhan yang diwahyukan (Deus revelatus) tetaplah Tuhan yang
6
tersembunyi (Deus absconditus), yang di hadapannya manusia harus berdiri dengan rasa kagum.
Para teolog Katolik Roma modern, seperti Karl Rahner, berpendapat bahwa bahkan di surga,
Tuhan tidak akan berhenti, bagi pikiran manusia yang terbatas, sebuah misteri yang tak terduga.
Wahyu membuat manusia terus-menerus lebih sadar akan kedalaman ketidakjelasan ilahi.

f) Hubungan wahyu

Dalam bentuk-bentuk mistisisme tertentu, khususnya yang lazim dalam agama-agama Timur,
tujuan yang dibayangkan adalah penyerapan ke dalam yang ilahi, yang melibatkan hilangnya
kesadaran individu. Dalam agama-agama Barat dan dalam Hinduisme Bhakti, perbedaan yang
menetap dari kepribadian individu ditegaskan. Ortodoksi Islam, yang memandang wahyu sebagai
pernyataan kehendak ilahi, tidak terlalu menekankan persekutuan umat manusia dengan Tuhan,
melainkan kepatuhan manusia yang patuh kepada Sang Pencipta. Sufism, bagaimanapun,
menyerupai Hasidisme dan Kristen dalam aspirasinya untuk persatuan pribadi dengan Tuhan.
Bagi banyak pemikir agama modern, seperti filsuf Yahudi Martin Buber dan filsuf Katolik Roma
Gabriel Marcel, wahyu melibatkan saling memberi diri antara si pengungkap dan orang percaya
dalam interaksi pribadi. Menurut Karl Rahner, wahyu terutama dan pada dasarnya terdiri dari
komunikasi rahmat Allah tentang kehidupan ilahi-Nya sendiri kepada manusia sebagai roh
pribadi. Dalam pandangannya, artikulasi wahyu dalam kitab suci dan akidah adalah tahap kedua,
mengandaikan perjumpaan pengalaman dengan yang ilahi. Akan tetapi, fase sekunder ini
dipandang perlu agar individu dapat menyadari dirinya dalam kemanusiaannya sebagai seorang
mukmin dan mencapai solidaritas dengan rekan-rekan seimannya. Secara umum, agama-agama
Barat cenderung lebih mementingkan gagasan komunitas iman daripada agama-agama Timur.
Wahyu dalam pandangan alkitabiah dan Islam ditujukan bukan kepada individu-individu seperti
itu tetapi kepada seluruh umat, yang mencapai identitasnya, sebagian, dengan mengartikulasikan
imannya dalam tulisan-tulisan yang diakui sebagai ekspresi otentik dari apa yang telah
diturunkan Allah.

g) Wahyu dan alasan

7
Masalah hubungan antara wahyu dan akal muncul, di satu sisi, karena wahyu melampaui
kategori pemikiran rasional biasa dan, di sisi lain, karena wahyu umumnya ditransmisikan
melalui catatan otoritatif, yang isinya tidak dapat diverifikasi. oleh orang percaya. Buddhisme,
karena tidak mengaitkan inspirasi atau ineransi dengan sumber-sumber kanoniknya,
memungkinkan beberapa ruang lingkup untuk alasan individu untuk mengkritik tulisan-tulisan
otoritatif, tetapi, seperti agama-agama lain, ia harus menghadapi tuduhan bahwa iluminasi yang
dicita-citakannya mungkin ilusi. Orang-orang Hindu Ortodoks, yang memberikan otoritas penuh
kepada Veda, berpendapat bahwa akal manusia salah kapan pun, berdasarkan pengalaman
persepsi, yang mempersoalkan tulisan suci. Namun, agama Hindu memberikan kebebasan yang
besar dalam penafsiran (penafsiran) kitab-kitab sucinya, beberapa di antaranya lebih puitis
daripada doktrinal.

Ketegangan antara iman dan akal telah sangat akut dalam agama-agama Barat, yang
menemukan wahyu tidak hanya dalam kitab-kitab suci tetapi dalam kata-kata kenabian yang
menyerukan persetujuan pasti dan sering memerintahkan tindakan yang tepat. Ambiguitas kitab
suci dalam agama-agama ini sering dijernihkan oleh kredo dan dogma masyarakat, yang
menyerukan persetujuan dari orang-orang percaya yang sejati. Selain itu, Yudaisme, Kristen, dan
Islam, bersentuhan erat dengan budaya Helenistik, yang menjunjung tinggi ideal pengetahuan
yang disertifikasi secara rasional sebagai dasar bagi kehidupan yang baik. Oleh karena itu,
mereka harus menghadapi masalah: Bisakah persetujuan terhadap wahyu yang otoritatif
dibenarkan di depan batas nalar? Beberapa teolog mengambil posisi “fideis” (berbasis iman),
mempertahankan bahwa akal dalam segala hal harus tunduk pada tuntutan wahyu. Lainnya,
seperti filsuf Arab Averroës dan para pengikutnya (baik Muslim maupun Kristen), menerima
keunggulan akal. Mereka menafsirkan kembali isi wahyu sehingga sejalan dengan ilmu
pengetahuan dan filsafat. Aliran ketiga, di mana filsuf Yahudi abad pertengahan Maimonides dan
teolog Skolastik Kristen abad pertengahan Thomas Aquinas dapat dimasukkan, berusaha untuk
mempertahankan keunggulan iman tanpa mengorbankan martabat akal. Menurut teori Thomist,
akal manusia dapat membedakan kredibilitas wahyu karena tanda-tanda eksternal yang
dengannya Allah telah mengautentikasinya (terutama nubuatan dan mukjizat). Alasan, apalagi,
memungkinkan orang percaya untuk memahami, dalam ukuran tertentu, misteri yang
diwahyukan. Posisi intelektualis ini terus menarik bagi banyak orang Kristen, tetapi beberapa
berpendapat bahwa itu mengabaikan perbedaan kualitatif antara iman—sebagai persetujuan
8
transrasional terhadap misteri—dan pengetahuan ilmiah, yang beroperasi dalam kategori nalar
yang objektif.7

C. KESIMPULAN

Dalalm pemahaman terhadap teologi sebagi ilmu yang mempelajari iman manusia kepada
Tuhan, maka wahyu yang merupakan salah satu perwujudan dari interaksi yang teralami antara
manusia dan Tuhan merupakan suatu subjek yang sangat penting untuk memahami fenomena
iman manusia kepada Tuhan. Dapat dilihat juga walaupun terdapat perbedaan yang besar antara
masing-masing agama tentang bagaimana mereka menghayati iman dalam pengajaran agama dan
tradisi, namun tidak dapat dipungkiri bahwa fenomena supranatural yang teralami dalam wahyu
atau pewahyuan serentak menjelasakan bahwa adanya penyataan dari Tuhan kepada manusia.
baik berupa penglihatan, pengetahuan, petunjuk yang bersifat interaktif antara Tuhan dan
manusia yang semuanya tercatat dalam kitab suci dari masing-masing agama. Pengalaman-
penglaman ini sangat jelas sehingga memberikan pemahaman kongkrit dari masing-masing
pengajaran di tiap agama. Maka dari itu teologi hadir sebagi bidang yang mengamati gejala-
gejala iman yang nampak dari fenomena wahyu sehingga memperteguh iman kepada Tuhan
yang hadir dalam kehidupan manusia serta menjadi dan turut berperan penting di sejarah
manusia.

7
https://www.britannica.com/topic/revelation/Themes-and-functions, di akses 18 oktober 2021
9

Anda mungkin juga menyukai