Kelompok 1 :
Yolanda Komimbim
Monica wowiling
Christianto Tumbelaka
Jeisy Talumantak
Patrix Wojongan
Vincent Nenge
MK : Etika Terapan
Dosen :
Pdt. Dr. Denny A. Tarumingi, M.Teol, M.Pd.K
Gilligan adalah orang yang sangat terkenal melakukan studi empiris tentang gender dan
moralitas. Dalam sekumpulan tulisannya akhir-akhir ini, ditemukan sebuah pembahasan tentang
dua anak. Satu laki-laki dan satu perempuan yang menafsirkan dilema moral dengan cara yang
sangat berbeda, melukiskan apa yang dipikirkan Giligan adalah perbedaan suara-suara moral
yang berhubungan dengan perbedaan gender. Marilyn Friedman membahas sarana-sarana peran
tradisional laki-laki yang mengakibatkan kejahatan terhadap perempuan. Peran gender
tradisional dalam hubungan seksualitas selanjutnya memberi kontribusi terhadap hilangnya
kontrol perempuan ditindas, ditekan atau dirayu secara seksual dihadapan hilangnya kontrol
mereka. Proyek feminis untuk memperjelas kembali peranan gender dimaksudkan untuk
memperkuat perempuan dalam menghilangkan subordinasi mereka atas laki-laki.
Joel Anderson menolak argumentasi Blankhorn dengan menegaskan bahwa “orang tua
yang tak sadar gender (genderless parenting)” tidak memunculkan problema “Kerusakan
keluarga”, karena hal itu hanyalah tuntutan agar kita membuka akses peran sosial yang sama
antara ayah dan ibu. Anderson menjelaskan bahwa asumsi tradisonal tentang peran gender
merusak klaim perempuan dalam memperoleh hak yang sama. Anderson menjelaskan untuk
memajukan stabilitas keluarga sesuai dengan komitmen persamaan gender.
M. Annette Jaimes dan Theresa Halsey membahas tentang mitos bahwa perempuan
Amerika keturunan indian selalu tersubordinasi oleh laki-laki sukunya. Halsey dan James
menentang bahwa pemisahan tanggung jawab moral diniscayakan oleh sifat psikologis kita
sendiri, sehingga mereka berdua menampilkan contoh-contoh tentang perbedaan kultur suku
Indian Amerika dimana kekuasaan dibagi dan tidak mendefinisikan gender. Helsey dan Jaimes
menjelaskan bahwa pembebasan status kekuasaan wanita Amerika keturunan Indian dalam
kebudayaan merupakan kesengajaan dan penguatan suku-suku oleh para kolonialis Eropa.
Pada 1914, Freud melacak perkembangan kapasitas cinta, yang dia samakan dengan
kedewasaan dan kesehatan fisik, dia menempatkan fondasi perbedaan antara cinta kepada ibu
dengan cinta pada diri sendiri. Dengan memisahkan dunia cinta kedalam narsisisme dan objek
hubungan, dia menemukan bahwa sementara perkembangan laki-laki lebih jelas, sedangkan
perkembangan perempuan menjadi buram.
Problem interpretasi yang membayangi pemahaman tentang perkembangan perempuan
berasal dari perbedaan dalam mengamati pengalaman hubungan mereka. Bagi Freud, meskipun
kehidupan dikelilingi oleh perempuan dan yang lain melihat begitu banyak dan begitu baik
hubungan itu, hubungan perempuan tampaknya cenderung misterius, sulit untuk dilihat dan sulit
untuk digambarkan.
Dua anak tersebut adalah pastisipan studi tentang hak dan kewajiban, yang dirancang
untuk mengeksplorasi perbedaan konsepsi-konsepsi tentang moralitas dan diri. Permyataan
moral mereka semula agaknya mengesankan bahwa batas perkembangan moral anak perempuan
selama awal-awal tahun memberikan jalan pubertas dengan peningkatan logika pemikiran formal
anak laki-laki.
Dilema umur-umur 11 tahun yang diputuskan itu adalah satu dari serangkaian yang di
rencanakan oleh kohlberg untuk mengukur perkembangan moral masa remaha dengan
menampilkan konflik norma-norma moral dan eksplorasi logika resolusinya. Anak laki-laki
dengan mengkontruksi dilema, seperti kohlberg lakukan, sebagai konflik antara nilai-nilai hak
milik dan kehidupan, dia melihat Prioritas logika kehidupan.
Kekuatan logika anak laki-laki sangat kuat, ia menempatkan kebenaran dalam ukuran
ilmu pasti yang kata dia “satu-satunya yang secara total logis”. Dengan menganggap dilema
moral sebagai “sejenis problem yang pasti bagi manusia”. Maka ia menyusun hal tersebut secara
sama dan terus untuk memecahkan solusi. Karena solusi ini diturunkan secara rasional dia
mengasumsikan bahwa setiap orang mengikuti alasan yang akan tiba pada kesimpulan yang
sama. Teori-teori tentang psikologis perkembangan menjelaskan dengan baik posisi anak ini,
berdiri pada titik waktu masa anak-anak dan masa remaja, pada apa yang piaget gambarkan
sebagai puncak intelegensia masa anak-anak dan awal pemikiran untuk menemukan
kemungkinan alam yang lebih luas. Masa pra remaja Mampu berpikir formal, mampu berpikir
tentang pemikiran dan alasan sesuatu hal dengan cara yang logis, maka membebaskan dirinya
dari ketergantungan pada suatu otoritas dan memperbolehkannya untuk menemukan sendiri
solusi-solusi atas problem yang dihadapi.
Sebaliknya respons anak perempuan terhadap dilema membawakan impresi yang sangat
berbeda, sebuah citra tentang perkembangan yang terhalang oleh kesalahan logika, kemampuan
untuk memikirkan dirinya sendiri. Dengan melihat dilema tidak dalam problem yang pasti bagi
manusia, tetapi suatu hubungan yang naratif yang memperluas masa lalu. Dengan gagalnya
melihat dilema sebagai problem diri yang terkandung dalam logika moral, dia tidak melihat
struktur internal dari pemecahannya; karena dia mengkonstruk masalah diri sendiri secara
berbeda, maka konsepsi Kohlberg seluruhnya terelakkan dari dirinya.
Sebuah sistem seks/gender, biasanya terdiri dari beberapa aspek sistem sosial yang
membedakan seseorang berdasarkan seks atau gendernya. Perbedaan-perbedaan pada gilirannya
mencakup secara signifikan identitas-identitas, peran-peran, norma-norma, cita-cita, harapan-
harapan, kesempatan-kesempatan dan hambatan-hambatan yang terkait dengan seseorang itu.
Kaum feminis umumnya percaya bahwa sistem seks/gender di Amerika Serikat melibatkan
dominasi laki-laki dan subordinasi perempuan yang teramat luas.
Para komentator sosial yang menghargai “nilai-nilai keluarga” biasanya mempertahankan nilai
yang dinamakan “keluarga tradisional”. Sebuah keluarga tradisional merupakan pusat keluarga
yang terdiri atas bersatunya perkawinan heteroseksual dan anak-anak mereka secara legal.
Sebuah keluarga secara umum adalah sekelompok orang yang membentuk rumah tangga
secara bersama-sama berdasarkan, paling tidak sebagian, pada sejenis komitmen interpersonal
yang abadi. Konsep rumah tangga yang abadi menangkap inti gagasan tentang kehidupan
keluarga dan memiliki kredibilitas.
Dengan mendefinisikan keluarga secara umum sebagai sebuah rumah tangga berdasarkan
komitmen interpersonal, mengizinkan kita untuk mengakui kekeluargaan dari semua jenis
hubungan domestik. Kita telah mengetahui bahwa keluarga-keluarga dengan adopsi merupakan
keluarga-keluarga yang murni dan, karenanya ikatan biologis antara orang tua dengan anak tidak
diperlukan dalam kehidupan keluarga. Sekarang ini adalah saat yang tepat untuk memberi
pengakuan sosial dan dukungan kepada keluarga-keluarga yang terdiri dari pasangan
heteroseksual tidak berdasarkan perkawinan (dengan atau tanpa anak), pasangan heteroseksual
yang tidak tunduk pada peran tradisional gender dalam tugas-tugas domestik atau membesarkan
anak, pasangan lesbian atau gay (dengan atau tanpa anak), dan orang tua tunggal bersama
anaknya.
Setiap hubungan domestik yang stabil dan non-opreaif akan menjadikan lingkungan
keluarga lebih baik yang pada gilirannya melenggangkan perasaan hormat serta mendukung
komunitas yang memberikan seluruh keistimewaan kehidupan keluarga. Dengan mendukung
keluarga-keluarga non-tradisional, kaum feminis memajukan kehidupan keluarga yang lebih
ekstensif dan menyeluruh.
Kaum feminis mengkritik kehidupan keluarga yang biasanya memajukan dan
memperkuat dominasi laki-laki dan ketergantungan Perempuan. Anggapan tentang keluarga
tradisional adalah ambigu. Perkawinan-perkawinan heteroseksual dalam satu hal adalah
tradisional, yaitu suami yang satu-satunya pemberi nafkah dan istri bertanggung jawab pekerjaan
dirumah. Perkawinan tradisonal heteroseksual tidak menyetujui suami menjadi dominan dalam
kehidupan keluarga. Dalam bentuk dominasi laki-laki yang paling ringan, suami/para ayah
mencintai dan melindungi istri-istri dan anak-anaknya dengan kebijaksanaan dan kebaikan hati.
Dominasi laki-laki yang ringan adalah paternalisme yang bijak. Bentuk dominasi yang jahat
adalah para suami yang memukuli istri-istri dan anak-anaknya serta umumnya bersikap tiran atas
rumah tangganya.
Seorang perempuan yang menciptakan cinta dan mendukung kehidupan rumah tangga
untuk anggota-anggota keluarganya memberi hadiah moral dan material kepada mereka. Seorang
perempuan yang memilih seluruh waktunya untuk melakukan pekerjaan rumah tangga dan
menjadi ibu adalah salah satu pilihan pekerjaan berharga yang sekarang bisa diterima oleh
perempuan. Tidak ada alasan seorang perempuan yang melakukan pekerjaan rumah dan
mengasuh anak menyerahkan otonomi dirinya kepada suaminya.
Selalu ada beberapa perempuan yang kuat dan cukup independen untuk menahan suaminya
karena pandangan-pandangan dan nilai-nilai yang dipeganginya. Juga ada mujurnya laki-laki
yang tidak menggunakan kekuasaannya sebagai pebcari nafkah dan cita-cita maskulin yang
dilegitimasi. Dengan kata lain ada laki-laki yang pada dasarnya naik. Tetapi lelaki semacam itu
mengalami resiko yang secara sosial diatigmatisasikan sebagai wimps (berwajah perempuan).
2. SEKS
Ditenga-tengah seluruh kekacauan seksual ini, anggapan antiseptik dan usang tentang
informed consent menawarkan beberapa bimbingan individual dan lokal kepada perempuan.
Informed consent merupakan hak perlindungan diri seorang terhadap resiko serius yang
diakibatkan oleh hubungan seksusa.
Terlepas dari persoalan hak perempuan untuk melindungi diri sendiri terhadap resiko
hubungan seksual, ide bahwa kita menikmati dominasi seksual adalah membingungkan. Ini
adalah keanehan psikologi yang tidak melihat kebutuhan untuk menjelaskan mengapa seseorang
menikmati keadaan yang didominasi atau hina. Kondisi-kondisi kemasyarakatan yang bisa
memajukan dan menjelaskan masokhisme seksual perempuan, tidak terlalu sulit untuk
ditemukan.
Bukan hanya perempuan tetapi juga laki-laki yang hasrat-hasratnya dipengaruhi oleh
sosialisasi dan citra-citra kultural. Media melukiskan heteroseksual yang menyokong,
merutinkan dan mengerotiskan dominasi laki-laki terhadap perempuan, serta perbedaan antara
perempuan dengan laki-laki sebagai kunci masalah.
Ketika seks dapat menyebabkan kehamilan yang tak diinginkan atau penyakit yang fatal,
maka harus dijelaskan kepada setiap orang bahwa tidak seorang pun hatus ditekan dan tidak
seorang pun harus diabaikan akan informasi pemahaman mengenai apa yang terjadi. Perempuan
hatus sepenuhnya dan benar-benar mengontrol seksualitas. Ketika perempuan terkunci dalam
rangkulan laki-laki, mungkin dia digerakkan oleh ikatan-ikatan cinta dan ingin melanjutkan
hubungan seksual. Urgensi ketergesaan hasrat seksual tidak dengan sendirinya memberi alasan
untuk mempercayai jaminan laki-laki ketika itu. Kemungkinan bahwa beberapa perempuan
menyukai dominasi seksual laki-laki. Sebagai perempuan tetap dapat mempertanyakan diri
sendiri apakah ingin terus mendukung kemuliaan kultural mengenai keadaan perempuan yang
dipaksa, ditekan, atau dirayu kedalam hasrat-hasrat seksual mereka lakukan tanpa kontrol.
Seks tidak lagi hanya permainan masa lalu dan sarana-sarana reproduksi; seks telah menjadi
persoalan hidup dan mati. Citra seksual (demikian pula citra non-seksual) laki-laki yang
mendominasi perempuan dan kepasrahan perempuan kepada laki-laki selalu mengecilkan arti
perempuan.
3. KEBENCIAN TERHADAP LAKI-LAKI
Agar perempuan memfokuskan energi, cinta dan loyalitasnya pada perempuan yang lain
maka mereka harus selalu menghubungkan kembali beberapa perhatiannya dan mendukung
untuk lepas dari laki-laki. Perempuan kadang-kadang marah kepada laki-laki yang menolak
kemajuan-kemajuan perempuan dalam kehidupan.
Ketika perempuan acuh tak acuh atau marah kepada laki-laki, mengkritik dominasi laki-laki
atau menentang otoritas dan kekuasaan laki-laki, tidaklah mengherankan bila laki-laki akan
merasakan reaksi ini sebagai permusuhan dan kebencian terhadap mereka.
Kebencian adalah rasa marah dan sakit yang sebenarnya atau fantasi dan luka-luka yang
salah. Sakit seringkali tanpa emosi, seperti benci atau iri hati dan mungkin melukai sebagian
besar orang yang merasakannya.
John Stuart Mill menganggap kebencian dan hasrat untuk membalas dendam terhadap apa
yang merugikan kita sebagai perasaan alamiah. Tindakan ini adalah moral yang tepat bila
diilhami oleh kepedulian sosial. Kebencian terhadap laki-laki dilakukam tergantung pada
kesalahan-kesalahan apa yang telah diperbuat atau dibebankan laki-laki terhadap perempuan.
Perempuan dibenarkan membeci lelaki ketika terjadi agresi seksual laki-laki yang tak diinginkan
(perkosaan, perzinahan, pelecehan seksual, dsb), kekerasan laki-laki terhadap perempuan,
kuatnya kekuasaan laki-laki yang meminimalkan partisipasi perempuan dan lain-lain. Tidaklah
butuh syarat banyak penalaran untuk melihat bahwa perempuan setidaknya kadang-kadang
disalahkan oleh laki-laki.
Hal mengenai ayah yang efektif mengisyaratkan konskripsi kultural. Sebagaimana sebuah
peran sosial, tujuan terdalam dari keayahan adalah mensosialisasikan kewajiban mereka terhadap
anakıya. Pada gilirannya, keberhasilan ayah tergantung secara fundamental atas keberhasilan
kulturalnya. Kewajiban para ayah terhadap anaknya kurang menjadi persoalan biologi daripada
persoalan kultural. Dibandingkan dengan ibu, ayah tidak melahirkan. Sebagaimana sebuah peran
sosial, keayahan kurang begitu berakibat pada penyatuan seksual dari pada penciptaan norma-
norma kultural yang mudah.
Hampir tidak mungkin untuk menemukan kultur di mana sejumlah besar ibu dengan
sukarela meninggalkan anaknya. Tetapi untuk menemukan kultur di mana sejumlah besar ayah
meninggalkan anaknya, kita semua perlu mencarinya. Hanya untuk alasan ini, kisah keayahan
dalam sebuah masyarakat, memberi sebuah pemahaman tentang apakah artinya seorang laki-laki.
memiliki anak tentunya hampir menjadi indikator utama masyarakat tentang bagaimana
kebanyakan anak diasuh oleh ayah, dan karena itu mungkin determinan masyarakat paling
penting dalam mensejahterakan seluruh anak.
Dalam pengertian yang lebih luas, kisah keayahan tidak dapat menggantikan basis
imperatif sebuah kultur yang paling penting: sosialisasi laki-laki. Lebih dari invensi kultural
yang lain, keayahan membimbing manusia keluar dari kekerasan dengan mengikat tingkah laku
mereka untuk tujuan sosial yang fundamental. Konsepsi keayahan yang sekarang menyebar luas
ini merupakan premis filosofis yang menyatukan hampir semua arus argumentasi yang
ditampikan tentang laki-laki, maskulinitas, dan keayahan. Para pendukungnya menjustilikasi
bermacam-macam ideologinya baik secara kemasyarakatan maupun personal.
Pandangan ini dipegangi secara luas di antara para ahli. Dalam Fathers and Families,
Henry B. Biller menjelaskan basis perubahan identitas gender untuk para ayah. Mereka menjadi
lebih sensitif, kurang kuat, dan lebih fleksibel. Mereka "memperluas identitas-identitas
personalnya." Mereka mengabaikan "konsepsi-konsepsi yang ketat tentang maskulinitas. Mereka
"merenggangkan beberapa stereotipe gender. Mereka "keluar dari miskonsepsi yang mengitar
keayahan." Hanya jika mereka mengimplementasikan perubahan-perubahan identitas ini, mereka
akan mampu "berbagi tanggung jawab mengasuh anak.
"Bisakah laki-laki dan perempuan menjadi ibu secara bersama-sama?" Jawaban dasar dia adalah
bisa, bila mereka mencobanya dengan sangat tekun.
Untuk studinya, Ehrensaft mewancarai empat puluh ayah yang didedikasikan untuk
"persamaan menjadi orang tua" atau "menjadi ibu secara bersama." Kesimpulan dia mengenai
para ayah ini sangat menakjubkan. Dia menemukan bahwa "inti dari filsafat mengasuh anak
mereka sendiri adalah pengingkaran terhadap ekspektasi-ekspektasi gender." Mengapa? Karena
yang terpenting bagi lelaki ini "bukanlah merasakan kesesuaiannya dengan kultur laki-laki yang
mereka tumbuhkan atau yang hidup sekarang ini. Dia menemukan bahwa"para ayah ini
menyeringai tentang kelelakian. Dia melaporkan: "Bila keadaan laki-laki berarti avah
sebagaimana yang ayah mereka lakukan, mereka tidak ingin apapun darinya. Mereka bahkan
akan menjadi laki-laki yang berfungsi sebagai ibu."
Sebagai akibat dari pandangan tentang orang tua ini, "seorang ayah dalam contoh tersebut
tidak mengekspresikan hasrat seks yang sama untuk anak, tidak ada keinginan menciptakan
kembali dirinya. Jadi, "banyak ayah berharap memiliki anak perempuan dan tidak begitu
berharap memiliki anak laki-laki."Ehrersaft dengan kuat mendorong model keayahan ini. Dia
sedang berusaha menunjukkan persetujuannya terhadap para ayah yang tidak berharap
mempunyai anak laki-laki, karena hal itu menyoroti etos yang lebih besar yang tidak mungkin
mengabaikan banyaknya literatur kontemporer tentang keayahan: Sebuah etos kedengkian
terhadap laki-laki. Beberapa dari Pertimbangan inilah yang digunakan baik oleh kelompok Old
Father mau pun New Father, Dalam kasus para penulis dari kelompok Old Father, kedengkian ini
adalah eksplisit; banyak darinya adalah terang dan bergairah.
Sesuatu yang sangat erat dengan hasrat untuk menolak keturunan laki-laki adalah hasrat
untuk menggerakan sifat-sifat maskulin dari keturunan laki-laki Dalam satu hal, bertujuan
mengeliminasi problem kelakian dengan menyangkal lahirnya anak laki-laki. Dalam hal yang
lain, bertujuan meminimalisir problem kelakian dengan mentransformasikan identitas seksual
anak Jaki-laki Konsekuensinya, tema pokok dari seluruh literatur New Father adalah kebutuhan
mendesak untuk mensosialisasikan kembali anak laki-laki. Sebagaimana Letty Cottin Pogrebin
katakan: "masa anak-anak adalah tempat keayahan harus diubah.
Model New Father adalah imperatif konvergensi peran gender. Esensi imperatif ini
adalah penghapusan peran laki laki dan perempuan yang secara sosial didefinisikan dari
kehidupan keluarga. Peran semacam itu harus diganti dengan dua ide. Pertama adalah importansi
moral dari pilihan pribadi, kepercayaan bahwa pilihan bebas di antara perilaku keluarga bukan
semata-mata sarana yang mungkin untuk sesuatu kebaikan tetap pada artinya sendiri adalah
sesuatu yang baik Kedua adalah cita-cita perkembangan manusia berdasarkan penolakan nilai
nilai gender--khususnya nilai-nilai yang diasosiasikan dengan maskulinitas tradisional dan
menganut nilai-nilai kemanusiaan yang netral dari gender. Sebagian impertif konvergensi peran
ini hanya mendorong reduksi atau eliminas spesialisasi seks dalam keluarga. Tetapi dalam
pengertian yang lebih luas, imperatif mengingatkan bahwa setiap ide yang secara Sosial
mendefiriskan peran untuk keberadaan manusia mengandung penindasan dan secara sosial
merupakan pembatasan yang tidak perlu atas seluruh munculnya potensi manusia Benjamin
Spock, yang barangkali lebih berpengaruh pada para orang tua Amerika ketimbang orang lain di
abad ini, secara substansial memperbaiki karva terbaiknya, Baby and Child Care, pada 1985
untuk menyatukan imperative konvergensi peran gender ini.
Lawrence Kubie menyebut keinginan yang kekanak-kanakan sebagai salah satu kecenderungan
sifat manusia yang paling dalam. Tetapi karena mengatur kesempunaan manusia, androgini dan
konvergensi peran gender merefleksikan kemenangan individualisme radikal sebagai filsafat
kehidupan. Memang, androgini mengandung sebagian besar konsepsi radikal tentang ekspresi
individualisme yang bisa membayangkan suatu masyarakat. Hal ter sebut adalah suatu
kepercayaan, cukup sederhana, bahwa kesempunaan manusia tergantung pada tindakan sendiri.
Kepercayaan ini menegaskan bahwa jalan kebahagiaan manusia terletak pada transendensi
perwujudan polaritas-polaritas seksual kuno agar setiap individu laki-laki dan perempuan dapat
merangkul dan mengekspresikan seluruh potensi kemanusiaan dalam dirinya sendiri.
Apapun yang secara sistematis merusak kemungkinan kehidupan keluarga yang sehat dan stabil,
juga harus dieliminasi. Secara positif, sebuah masyarakat yang baik haruslah pro persamaan
sekaligus pro keluarga. Berdasarkan hal itu, maka posisinya juga tidak kontroversial.
Memperlakukan perempuan secara inferior terhadap laki-laki jelas menafikan martabat dan
kebaikan moral mereka. Selama penghargaan masyarakat sebagian besar pada laki-laki semata
mata karena seksnya, maka perempuan adalah korban dari ketakadilan. Demikian pula, institusi-
institusi yang jelas mengokohkan arti penting perkawinan dan keluarga-keluarga yang stabil,
selamat dan saling mengharga.
Kalau orang mengasumsikan bahwa struktur terentu untuk kehidupan bersama ditentukan
oleh Tuhan atau biologi adalah terbuka pertanyaan apakah meningkatnya rumah tangga dengan
orang tua tunggal atau perkawinan yang biasa mewakili persoalan merupakan perkembangan
yang mengancam terampasnya pengertian dan tujuan kehidupani keluarga Jika, misalnya, poin
keluarga yang terpenting adalah menyediakan konteks dimana anggota-anggota keluarga
terpelihara, terjamin, tersosialisasi, dsb., maka kurangnya kontak di antara angeota-angrota
keluarga mewakili kemunduran keluarga. Dalam pengertian ini, sebuah keluarga dapat tercabik-
cabik bahkan tanpa sebuah perceraian. Jadi, keadaan keluarga yang tercabik-cabik juga
merupakan persoalan. Tetapi, sekali lagi, apa yang menjadi problematis bukanlah bentuk
partikular dari rumah tangga yang mengalami kemunduran, namun bahwa orang-orang
mengalami kesulitan mempertahankan komitmen interpersonal yang menyelamatkan mereka
secara mendalam. Pada pemahaman yang luas diasumsikan ini, hancurnya pasangan tanpa nikah
dapat menegaskan disintegrasi keluarga.
Menurut kritik feminisme egalitarian, pengakuan ini merupakan tiga alasan yang penting.
Pertama, bila kita mengeliminasi perbedaan-perbedaan antara apa yang diartikan sebagai ayah
dan apa yang diartikan sebagai ibu, maka kita akan kehilangan manfaat-manfaat dari model-
model perbedaan peran dalam keluarga.
Misalnya, Blankenhorn mengutip studi-studi yang menunjukkan bahwa laki-laki cenderung
mengilhami kepetualangan, ketegasan, dan mengambil risiko pada anaknya, sementara
perempuan cenderung lebih menolak risiko dan protektif. Bila, anak perlu mempelajari
keseimbangan antara dua bentuk perilaku ini agaknya masuk akal, maka hal itu akan benar-benar
hilang bila deversitas ini dieliminasi Kedua, seperi halnya banyak organisasi sosial, keluarga
yang mengambi keuntungan dari deferensiasi fungsional berasal dari diversitas peran-peran dan
fungsi-fungsi yang komplementer satu sama lain ketimbang dari setiap orang yang menjalankan
peran-peran yang sama. Atas dasar inilah kaum neotradisionalis berpendapat, misalnya bahwa
anak paling baik berada dalam situasi di mana figur otoritas ayah berseberangan dengan ibu yang
simpatik. Ketiga, kaum neotradisionalis menjelaskan bahwa dengan mengatakan lakilaki harus
memikirkan dirinya sendiri sebagai ibu-ibu rumah tangga, maka para pendukung persamaan
gender lebih memperburuk perpecahan keiuarga karena meninggalkan perasaan laki-laki bahwa
mereka tidak memiliki apapun yang secara spesial untuk memberi kontribusi. Tanpa perasaan
kebanggaan maskulin yang berasal dari keadaan sebagai pemberi yang baik dan model peran
yang kuat dalam keluarga, keikutsertaan laki-laki pada tanggung jawab keayahan telah di
turunkan. Jadi, orang tua yang tidak sadar gender menyangkal perasaan harga diri laki-laki.
Seluruh argumen neotradisionalis ini berupaya menghubungkan fungsi orang tua yang tak sadar
gender dengan menipisnya sumber-sumber krusial keluarga yang sehat. Meskipun kritik ini
mungkin hilang selama klaim bahwa ini sarana-sarana tradisional yang harus kita kembalikan
lagi, yakni model normal laki-laki sebagai pencari nafkah /perempuan sebagai ibu rumah tangga.
Untuk memahami posisi egalitarian, yang terbaik adalah dengan memfokuskan pada
keputusan-keputusan sulit yang mau tak mau dihadapi keluarga, karena di sana perbedaan-
perbedaan halus pada negosiasi posisi seseorang bisa berdampak sangat besar.
(1) Dalam beberapa keluarga, negosiasi posisi kira-kira akan sama. Ketika para
suami/istri harus memilih sesuatu yang membahayakan kesempatan meningkatnya
karier mereka dan independensi finansial di masa depan, maka pengorbanan
dilakukan secara sama; beberapa rencana ditempatkan untuk menjamin bahwa baik
suami maupun istri tidak akan mengakhiri keuntungan secara finansial dari sebuah
perceraian;
(2) Dalam keluarga-keluarga yang sebenarmya mengeksploitasi kekuasaa yang tidak
sama, maka muncul isu yang berbeda seperti apakah mempertahan kan keluarga
secara bersama-sama sebenarnya merupakan opsi yang terbaik Saya katakan sejak
awal bahwa perpecahan keluarga biasanya merupakan sesuatu yang tak diinginkan
orang, dan merupakan sesuatu yang buruk karena alasan itu-tetapi tidak selalu. Jika
kita memelihara martabat dan otonomi manusia, maka kita harus mengakui bahwa
hanya orang yang menyadari munculnva kemungkinan tanggung jawab dalam
hubungannya dengan mereka yang memiliki kesempatan memperbaiki situasi adalah
orang mengambil keuntungan darinya.
(3) Keberatan neotradisionalis barangkali terbesar berpijak pada kasus di mana ada
negosiasi persamaan pasisi, tetapi suami/istri yang lebih berkuasa tidak
mengeksploitasi pasangannya. Bila imbalansi kekuasaan bersifat sementara
katakanlah, ika orang tua kehilangan pekerjaan maka hal itu mungkin saia hanyalah
persoalan kebutuhan anggota-anggota keluarga untuk memperoleh pandangan jangka
panjang dan mempercayai bahwa keseimbangan akan teriadi setiap saat. Dalam
situasi ketimpangan yang terus menerus dan struktural.
Laki-laki mungkin lebih mudah memasuki dunia perempuan daripada sebaliknya, tetapi
laki-laki yang melakukannya tidak dianggap mengancam seksual maupun juga figur otoritas.
Mereka adalah kerabat muda dari laki-laki dan anggota-anggota rumah tangga yang berstatus
rendah dalam komunitas. Sebenarnya, interaksi antara seorang laki-laki dengan perempuan
melingkar dari keakraban yang santai hingga penyangkalan formal secara ekstrem, yang ditandai
dengan pemakaian kerudung dan keengganan perempuan menatap Iaki-laki. Hubungan famili
relatif berumur dan status sosial menentukan bentuk interaksi. Anak Iaki-laki, keponakan, dan
sanak yang lebih muda disambut dengan hangat dan me!akukan percakapan yang bersemangat.
para ayah, paman-paman dari pihak ayah, atau bapak mertua mentransformasikan secara radikal
atmosfer dunia perempuan; percampuran mereka menciptakan keheningan sesaat terhadap
omelan perempuan yang memenuhi ruangan dan ramainya anak-anak. Laki-laki yang bukan
kerabatnya, khususnya mereka yang berstatus tinggi, tidak akan pernah mendekati wilayah di
mana sekelołnpęk perempuan berkumpul.
Komunitas ini terdiri dari individu perempuan, yang seluruhnya secara ekonomi
tergantung dan masing-masing mengambil haknya untuk mendukung melalui hubungan dengan
kerabat atau suami atau keduanya. Dalam hal ini, perempuan tidak banyak berbeda dari
ketergantungan orang lain, termasuk orangorang miskin dan anak-anak muda. Di kalangan
Awlad ‘Ali, orang tua dari setiap keturunan mengontrol sumber-sumber dan bertanggung jawab
untuk mendukung kerabat laki-laki dan perempuan. Ketergantungan itu menghadapi pembatasan
yang serius atas otonomi mereka dalam pembuatan keputusan. Famili tertua memutuskan
perkawinan bagi anak perempuan (atau anak laki-laki) dan dapat membatalkan perkawinan
kerabat perempuan, misalnya, bila keturunannya dan suanłinya bermusuhan. Perempuan yang
ingin bercerai tergantung pada kerja sanła kerabat laki-laki atau perempuan tertua untuk
mengambil paksa peran kerabat. Atas dasar fakta-fakta ini tidaklah mengejutkan bahwa ikatan
keluarga dapat dibebankan secara efektif. Dalam arti yang sebenarnya, kepentingan perempuan
merupakan bagian dari kepentingan kelompok keluarganya, seperti situasi dan statusnya yang
dikaitkan dengan kepentingan-kepentingan itu.
Ketika orang membalik perhatiannya dari konsen struktural kepada aktivitas perempuan
sehari-hari dan pengalaman-pengalaman hidupnya bersama masyarakat perempuan Awlad 'Ali,
maka komunitas perempuan itu tampil lebih independen. Sebuah komunitas yang mengatur
urusan-urusan internal mereka sendiri bebas dari campur tangan dan sering sepengetahuan laki-
laki. Segregasi seksual juga merupakan sumber otonomi personal bagi perempuan. Ketimbang
merasa dihilangkan atau dikeluarkan dari dunia laki-laki, perempuan berorientasi pada setiap
yang lain berkaitan dengan penjagaan batas-batas dunia eksklusif mereka. Campur tangan laki-
laki dewasa jarang terjadi dan kebanyakan tidak diterima; perempuan selalu cemas untuk
melepaskan diri dari suami dan tamu laki-laki.
Dalam analisisnya tentang perempuan urban Maroco, Daisy Dwyer mencatat bahwa
dukungan perempuan atas penolakan laki-laki terhadap mereka sebagian karena dukungan itu
menawarkan kesempatan untuk independen dan berbeda kepada perempuan. Perempuan Bedouin
menghargai aspek segregasi seksual ini dengan baik. Ketika tidak ada laki-laki, perempuan dapat
melakukan aktivitas yang tak diperbolehkan ketika ada laki-laki dan para perempuan yang lain
menutupinya bila suami atau keluarga laki-laki kembali sebelum waktunya.
Pemisahan dunia laki-laki dan perempuan mengakui perempuan lebih dari kebebasan
untuk menurutkan tentangan-tentangan kecil terhadap sistem dan kontrol laki-laki. Pemisahan itu
memunculkan berkembangnya tanggung jawab sosial. Dalam komunitas mereka, perempuan
menjalankan urusan mereka sendiri sehari-hari. Mereka mengatur rumah tangga sendiri dengan
sedikit campur tangan laki-laki, memisahkan tugas-tugas dan menunjukkan bahwa inilah kerja
yang perlu yang merupakan wewenang perempuan untuk melakukannya setiap hari.
Asumsi tentang kontrol sosial oleh perempuan, khususnya oleh perempuan tua, dapat
dianggap sebagai sebuah ekspresi kesalahan kesadaran. Orang mungkin dapat berdalih bahwa
ketika perempuan memperkuat standard-standard kemasyarakatan yang mendukung status-quo
dominasi laki-laki, maka mereka bantu mempertahankan sistem yang mensubordinasi mereka.
Di sisi lain, dengan mengatur urusan-urusan mereka sendiri daripada membiarkan laki-laki
melakukannya, maka mereka mengabaikan pengalaman subordinasi dan dependensi mereka
sendiri secara langsung. Dengan sama-sama berpartisipasi dalam mempertahankan cita-cita
kultural dan standard-standard moral, maka perempuan merasa bertanggung jawab terhadap
moral yang ada, bukan sebuah pion yang lemah dan hanya mengharapkan keuntungan atas dasar
manipulasi dan subversi. Mereka dapat penghargaan dan menuntut keadilan sebagaimana laki-
laki lakukan. Dan di dalam hilangnya pengawasan diri mereka sendiri dan arena otonomi, maka
pengaturan urusan-urusan mereka sendiri mengizinkan perempuan untuk mengembangkan
kompetensi sekaligus harga diri.
PERKEMBANGAN KEPRIBADIAN
Hal ini berkaitan dengan perasaan terhadap kesopanan seksual yang mengindikasikan
penghormatan terhadap sistem sosial yang diancam oleh pertalian seksual dan oleh mereka yang
bertanggung jawab atas bertahannya sistem semacam itu (sanak kadang atau sesepuh). Jadi,
kesederhanaan merupakan respons spontan dan pas untuk menolak status superior dan
merupakan jalan untuk menghargai kelemahan secara sosial.
KESIMPULAN
Perempuan Awlad 'Ali tidak tinggal di harem-harem, tidak juga dalam khalssat. Tetapi
seperti saudara mereka dalam masyarakat-masyarakat atau kelas-kelas yang dapat memberikan
penjagaan perempuan dalam rumah, mereka tingeal dalam dunia di mana ada prinsip
umum„ tentang struktur segregasi seksual kehidupan sosial.
Namun segregasi seksual bukan keburukan yang inheren untuk peremnpuan.Dalam kasus
ini, tampak jelas bahwa pemisahan dunia dapat mengurangi efek-efek negatif kataksamaan
seksual dan ketergantungan perernpuan. Dengan memperoleh tanggung jawab untuk mengatur
urusan-urusan mereka sendiri sesuai dengan norma-norma sosial dan dengan menolak
penyatuan mereka dengan laki-laki yang memiliki otoritas terhadap mereka, perempuan
mengeluarkan pengalaman subordinasinya secara langsung dan memperoleh keuntungan sesuai
dengan mereka yang menegakkan tatanan sosial.
komunitas perempuan Bedouin, yang terpenting, adalah scbuah dunia yang sangat
tertutup, intim dan berbagi pengalaman. Karèna kekuasaan dan otoritas jarang menjadi persoalan
dalam hubungan di antara perempuan, dunia mereka secara informal santai, akrab dan tentunya
sederhana. Sekalipun tidak menghasilkan kesadaran separatisme feminin atau dengan sengaja
membantu tumbuhnya ikatan persaudaraan, gaung, intensitas dan kedekatan hubangan dalam
komunitas perempuan Bedouin mendekati apa yang diidealkan oleh kaum feminis. Namun
dengan demikian. sentimen-sentimen keintiman perempuan melalui puisi menyatakan dimensi
pengalaman yang Iain. Bagi orang-orang Bedouin Awlad 'Ali, batas-batas keperempuanan yang
menyatukan dunia perempuan banyak hal berkaitan dengan penderitaan yang dialami dan
kerinduan akan apa yang ada di luar koinunitas mereka.
Dua penggalan kutipan yang membentuk epigrap bab ini dikumpulkan untuk
nienampilkan pola konstan tentang realitas kehidupan orang pribumi Amerika Utara. sejak dulu.
Yakni, bahwa perempuan selalu menjadi tulang punggung bangsa-bangsa pribumi di benua ini.
Berbeda dengän Citra perempuan yang lemah, tunduk dan tersubordinasi oleh laki-laki yang
dilukiskan secara tipikal oleh buku-buku dan gambar-gambar dari kultur dominan, antropologi
dan para ideolog politik baik dari wacana Kanan maupun dari wacana Kiri, perempuan Indian
adalah perempuan yang membentuk pusat resistensi pribumi terhadap pembasmian dan
kolonisasi sejak pertama munculnya konflik antara orang-orang Indian dengan para penjajah.
Ini mungkin karena kanyataan bahwa, bagaimana peneliti Laguna, Paula Gunn Alllen terpaksa
menunjukkan dalam bukunya, bahwa masyarakat tradisional tak pernah "didominasi laki-laki"
dan tidak ada sebutan yang pas untuk kultur “pejuang” sebelum infasi orang-orang Eropa. Tidak
ada satupun catatan masyarakat Indian Amerika, bahkan setelah invasi, mensyaratkan laki-laki
untuk membunuh dalam sebuah peperangan sebelum dia menikah. Sebaliknya, aktivitas militer
termasuk pejuang sungguhan tidak pernah merupakan wilayah laki-laki diusahakan secara
eksklusif.
Yang lebih penting daripada partisipasi langsung mereka dalam aktivitasaktivitas militer
adalah peran perempuan pribumi dalam membuat keputusan kunci, bukan saja mengenai
persoalan tentang peperangan dan perdamaian, tetapi dalam semua aspek sosioekonomi yang
ada. Meskipun kesimpulan Gunn Allen bahwa masyarakat pribumi tradisional menjumlahkan
"gynocracies" tak diragukan berlebih-lebihan dan menyesatkan, ini bukan untuk mengatakan
perelnpuan pribumi Amerika secara politik tidak berkuasa. Creek Mary bukan satu-satunya
jenderal, tetapi kepala negara yang berpengaruh dalam Konfederasi Creek. Statusnya adalah
"Beloved Women"(perempuan yang dicintai), sebuah posisi yang sepintas lebih baik dikaitkan
dengan sistem pemerintahan Yang berkembang di antara orang-orang Creek di wilayah Creek
utara.
Kekuasaan perempuan dalam masyarakat Indian tradisional juga dapat ditemukan dalam
hal yang lain. Sementara ada kultur-kultur patrilineal/ patriachal, sebagian besar peradaban asli
Amerika Utara difangsikan berdasarkan matrilineage dan matrilokalitas. Selama struktur
keluarga berpusat pada identitas-identitas istri daripada suami --laki-laki bergabung dengan
keluarga-keluarga perempuan, bukannya cara yan lain-- dan karena laki-laki biasanya
mengharapkan pindah untuk bergabung dengan perempuan yang mereka kawin, maka konteks
kehidupan sosial pribumi secara radikal berbeda dari apa yang dihidupkan (dan tumbuh) dalam
kultur-kultur Eropa dan turunan kultur Eropa,
Penguatan kembali status perempuan pribumi tumbuh dari tradisi-tradisi spiritual dari
sebagian besar kultur asli Amerika Utara. Pertama, berbeda dengan mitos orang-orang Eropa-
Amerika bahwa para pemimpin spiritual Indian tanpa kecuali adalah "ahli pengobatan," dalam
hal ini perempuan selalu memegang posisi penting.
Yang lebih penting lagi, pada akhirnya seluruh agama pribumi di benua ini mengenalkan
hadirnya unsur-unsur perempuan yang berlimpah-ruah dalam kosmologinya. Bila dibandingkan
dengan maskulinitas dewa-dewa hegemonik yang dianut oleh agama-agama dunia seperti
Judaisme, Kristen dan Islam --dan menghubungkan ciri-ciri supremasisme laki-laki yang ditaati
masyarakat-masyarakat ini-- maka konsep-konsep signifikan yang riil seperti Mother Earth
(universal), Spider Woman (Hopi dan Dine), White Buffalo Calf Woman (Lakota), Grandmother
Turtle (Iroquois), Hard Beings Woman dan Sand Altar Woman (Hopi), First Woman (Abanaki),
Thought Woman (Laguna), Corn Woman (Cherokee), dan Changing Woman (Dine) menjadi
lebih jelas. Jadi , status perempuan lebih banyak yang riil daripada mitos dalam kehidupan
tradisional orang Amerika utara. Memang, seperti artis Dine, Mary Morez, katakan, "Dalam
masyarakat (kami), perempuan adalah figur dominan yang menyadarkan masa lalu orang. Anda
tahu, ini adalah masyarakat (matrilineal/matrilokal). Tetapi perempuan Navajo tak pernah
menuntut statusnya. Dia merasakan, mendengarkan, menyempurnakannya melalui pendewasaan.
Bahwa proses pendewasaan bersifat psikologis. Ini berkaitaa dengan -perasaan seseorang atas
tanah dan keadaan bagian dari keseluruhan putaran alam. Ini sulit untuk digambarkan kepada
orang non-Indian,
Bea Medicine, seorang ilmuan Hunkpapa Lakota, sependapat, bahwa "kekuasaan kami
adalah jelas. Perempuanlah yang mensosialisasikan anak kami. Kebudayaan ditransmisikan
terutama melalui ibu. Ibu mengajarkan bahasa, sikap-sikap, kepercayaan-kepercayaan, pola-pola
perilaku, dsb." penulis Anishinabe dan aktivis Winona LaDuke menyimpulkan, "Secara
tradisional, Perempuan Indian tidak pernah mensubordinasi laki-laki. Atau sebaliknya. Apa yang
masyarakat pribumi selalu ingin capai adalah keseimbangan dalam segala hal , hubungan-
hubungan gender tidak dikenal. Tidak seorang pun yang perlu mengajarkan kami bagaimana
melakukannya. Kami telah memiliki semua jalan keluar untuk seribu tahun, dan, tinggalkan pada
kami pemisah-pemisah kami sendiri, yakni bagaimana menghidupkan hak kami sekarang ini
dengan tepat.” Atau, sebagaimana dikatakan Priscilla K. Buffalohead, seorang sarjana
Anishinabe yang lain: ”(Kami) berasal dari kultur tradisi-tradisi egalitarian. Tradisi-tradisi ini
paling kurang berkaitan dengan persamaan seks-seks dan lebih-lebih dengan martabat individu
serta hak yang ada pada mereka --apakah mereka itu perempuan, laki-laki atau anak-anak-- untuk
membuat pilihan-pilihan dan ke. putusan-keputusan mereka sendiri.
PENGURANGAN KEKUASAAN
Penurunan status perempuan dalam suku-suku pribumi adalah prioritas utama dari para
kolonialis Eropa yang ingin sekali melemahkan dan mendistabilkan masyarakat-masyarakat yang
ditargetkan. Mengenai Montagnais dan Naskapi of the St. Lawrence River—Valley, misalnya,
Perancis yang pertama kali memasuki daerah ini pada 1550-an, menghadapi masyarakat yang
perempuannya memiliki kekuasaan besar...Seorang laki-laki mungkin menjanjikan anda sesuatu
dan bila dia tidak bisa memenuhi janjinya itu, maka dia cukup meminta maaf ketika dia
mengatakan kepada anda bahwa istrinya tidak menginginkan hal itu. Sejak 1633, mereka
direspons dengan mengirimkan missionaris Jesuit untuk menunjukkan masyarakat pribumi ''cara
yang lebih baik dan lebih tercerahkan” yang mereka bawakan sendiri, sebuah cara yang dengan
baik dikronikkan oleh orang alim, Paul Le Jeune:
Yang paling mirip adalah program Jesuit yang disebarkan di mana-mana yang
menjelaskan tujuan kolonialisasi untuk tidak mengurangi ekonomi tradisional Montagnais-
Naskapi, menggantikannya dengan sebuah sistem yang jauh lebih bersandar pada perangkap bulu
binatang dan perdagangan di sebagian abad ke- 17. Karena independensi mereka terhadap para
kolonialis meningkat, maka orang-orang Indian kian lama terpaksa menerima ''moralitas” orang-
orang Eropa. Para Jesuit memaksakan bentuk monogami yang menolak perceraian, menerapkan
sistem kewajiban pendidikan Katholik, dan menolak siapa pun yang lain daripada ”representasi”
laki-laki yang diseleksi dari Montagnais dan Naskapi dalam urusan-urusan politik dan ekonomi
(jadi, di balik pengakuan tersebut telah merusak struktur pemerintahan Indian).
Di antara orang Haudenosaunee, yang tidak mengalami kekalahan militer hingga setelah
Revolusi Amerika, perubahan semacam itu tidak terjadi. Tidak terjadi hingga awal abad ke-19
yang, dalam usaha untuk menyempurnakan keberadaan subordinasi yang baru Amerika Serikat,
Seneca nabi Handsome Lake mengumumkan peraturan hukum dan organisasi sosial baru yang
menggantikan "pemerintahan petticoat" lama mereka dengan model yang berpusat pada laki-laki
yang lebih dapat diterima oleh para kolonialis. Dalam usaha untuk menggantikan kekuasaan
"campur tangan perempuan" dalam masyarakat Iroquois,
Di daerah selatan, Inggris bekerja keras untuk mengurangi kekuasaan perempuan dalam
persoalan Cherokee. Mereka mengirimkan laki-laki Cherokee ke Inggris dan mendidik mereka
dengan cara-cara orang-orang Eropa. Laki-laki ini kembali ke negara Cherokee dan
menggunakan pengaruh yang besar atas nama Inggris di wilayah ini. Perkawinan antarsuku juga
dihadapi dengan memberikan perlakuan khusus yang luar biasa, menurut keturunan
percampurandarah dari kesatuan-kesatuan tersebut dengan para kolonialis Inggris. Saat itu,
ketika dikombinasikan dengan meningkatnya ketergantungan Cherokee pada perdagangan
Inggris, maka keuntungan-keuntungan ini menghasilkan situasi di mana "laki-laki dengan sedikit
darah Cherokee (dan bahkan hilang loyalitasnya) memegang kekuasaan yang berpengaruh
terhadap kebijakan-kebijakan suku. Dengan menyeimbangkan kepentingan Inggris, maka
kepemimpinan laki-laki yang baru ini merancang untuk membangun ekonomi perkebunan yang
dicurahkan pada pertumbuhan Cotton dan tembakau.
Tentu saja situasi ini melemahkan Bangsa Cherokee, menciptakan pemisahan yang jelas
di mana tidak ada yang bisa disembuhkan dengan sempurna bahkan hingga sekarang ini. Di
samping itu, hal ini menyebabkan orang-orang Eroamerika menguasai wilayah bukan saja tanah
Cherokee, tetapi juga usaha-usaha pengobatan yang menguntungkan yang dibangun oleh kasta
laki-laki berdarah campuran. Ini merupakan insentif kekuasaan untuk Amerika Serkat, untuk
menjalankan tanggung jawab memindahkan suku Cherokee dan suku-suku asli dari Timur
Mississippi ke Barat selama pertengahan pertama abad ke-19. Reaksi asimilasi Cherokee adalah
sebuah upaya untuk menunjukkan ”nilai” mereka dengan menjadikan Eropanisasi yang bahkan
lebih pura-pura.
Sekalipun banyak permohonan Oleh "para pengkhianat,” perintah Andrew Jakson untuk
memindahkan orang-orang Cherokee, --serta orang-orang Creek, Chockaw dan Seminole--
dimulai tahun 1832. Pada 1839, ”Trail of Tears” disempurnakan, yang menimbulkan bencara
besar musnahnya bangsa-banga pribumi. Pada tahap selanjutnya, orang-orang Cherokee
tradisional menguasai sanksi terhadap pembunuhan anggota-anggota suku Iain dalam upaya
pemisahan untuk memperbaiki beberapa kemiripan perintah dalam suku mereka: Mayor Ridge,
anak tertuanya, John, dan Elias Boudinot dibunuh pada 22 Juni 1839.
Di seluruh benua ini, dalam beberapa hal kisahnya sama. Bukan hanya satu dari lebih 370
perjanjian yang diratiflkasi dan mungkin 300 perjanjian yang tidak diratifikasi dinegosiasikan
Oleh Amerika Serikat dengan bangsa-bangsa pribunni sebagai kesediaan pemerintah federal
untuk memperbolehkan partisipasi perempuan pribumi. Tidak satu pun dari beribu-ribu
kesepakatan non-pakta yang dicapai antara Amerika Serikat dengan bagsa-bangsa yang sama ini
sebagai representasi faderal yang dipersiapkan untuk mendiskusikan apapun yang berkaitan
dengan perempuan. Tak ada contoh Amerika Serikat membuka pengakuan terhadap perempuan
sebagai representasi kepentingan-kepentingan masyarakatnya ketika ia mengurusi perlindungan
kekuatan inti orang-orang Indian Annerika; laki-laki selalu dibutuhkan untuk melakukan apa
yang perlu untuk menjamin pengiriman bangsa-bangsa, mendesak hak-hak tanah air, dan seluruh
sandaran. Sementara itu kepemimpinan mendesak laki-laki pribumi yang terbaik dan patriotis.---
seperti Tecumseh, Osceola, Crazy Horse, dan Sitting Bull-dibunuh secara sistematis atau dikirim
jauh ke penjara untuk waktu-waktu yang lama. Kepeminnpinan laki-laki dari resistensi pribumi
kemudian digantikan dengan laki-laki yang diseleksi berdasarkan kesediaan mereka bekerja
sama dengan para penindasnya. Bagaimana perempuan pribumi menanggulangi perubahan
keadaannya yang pas, dan perubahan maSyarakatnya yang lebih umum masih merupakan
misteri.
Realitas-realitas praktis ini dipaksakan menjadi uniform oleh para penakluk yang
diperkuat oleh misionaris resmi dan pendidikan wajib dalam sekolah-sekolah yang lebih luas,
proses-proses yang dirancang untuk menanamkan anggapan bahwa berkurangnya kekuasaan
perempuan Indian dan musnahnya laki-laki "keras kepala" semacam itu adalah "alamiah, benar
dan harus terjadi. "
Diskriminasi rasial dan etnis merupakan sebuah kenyataan hidup untuk banyak orang. Di
Amerika Serikat, secara ekonomi masih ada upah yang tak sama. Pada 1992, perempuan dan
kelompok minoritas mendapat upah rata-rata 75 sen untuk setiap dolar upah yang diterima oleh
laki-laki untuk pekerjaan yang sama. Selanjutnya banyak pekerjaan yang diinginkan masih tanpa
tenaga kerja dari kelompok minoritas atau perempuan. Upah rendah terutama merupakan cara
yang efektif untuk memelihara kelompok-kelompok orang tetap pada posisi kemasyarakatan
yang lebih rendah dan menghalangi akses mereka yang sama terhadap kekuasaan politik, sosial
dan ekonomi.
Ada kesepakatan luas bahwa diskriminasi terhadap perempuan dan kelompok minoritas
yang didasarkan pada karakteristik gender atau etnis, secara moral adalah salah. Praktek-praktek
diskriminasi ini memperkosa prinsip persamaan. Meskipun tidak diterima secara universal,
prinsip ini mengharuskan hal-hal yang sama diperlakukan secara sama, dan hal-hal yang tidak
sama juga diperlakukan secara tidak sama.
Namun demikian, tidak ada kesepakatan luas tentang bagaimana membenarkan praktek-
praktek masa lalu dan sekarang yang secara sistematis mendiskriminasi perempuan dan
kelompok minoritas. Sebuah prinsip persamaan mensyaratkan hal-hal yang sama diperlakukan
secara sama dan urusan kontrak, promosi dan upah. Bila prinsip persamaan membawakan
kebenaran moral, maka para pekerja secara moral diwajibkan untuk tidak melanggar prinsip ini.
Selanjutnya, ada kewajiban hukum di Amerika Serikat yang tidak mendiskriminasi berdasarkan
ciri-ciri tidak relevan seperti ras dan etnis. Namun, apakah bisnis untuk bukan yang harus
menanggung kewajiban ini dan mengadopsi kebijakan yang menghargai kelompok minoritas
atau perempuan secara aktif adalah hal yang kontroversial. Affirmative action adalah salah satu
dari kebijakan itu.
Program-program affirmative action jauh dari rekruetmen minoritas dan perempuan yang
berkualitas secara aktif, meskipun para pelamar dari kelompok minoritas dan perempuan
dikualifikasi secara tak sama, untuk menciptakan sistem kuota kontrak dari sejumlah minoritas
dan perempuan. Affirmatif action sering dikritik sebagai melestarikan kerusakan yang harusnya
dicegah, dan karena alasan ini beberapa penentangnya menyebut affirmative action “melakukan
diskriminasi.” Para pendukung affirmatif action menjelaskan bahwa program itu adalah fair dan
konsisten, serta perlu untuk mengkoreksi ketakadilan masa lalu. Para pendukungnya juga
menjelaskan bahwa tanpa intervensi aktif, para pelamar kerja dari kelompok minoritas tidak akan
dapat mengakses pekerjaan yang berharga secara fair dalam masyarakat. Di Amerika Serikat,
kuota tetap telah diatur secara tak konstitusional; namun, berkurangnya minoritas dalam berbagai
profesi barangkali merupakan “pemaksaan kepentingan negara,” dan rekruetmen aktif untuk
mengkoreksi ketakseimbangan ini akan diterima secara legal.
Bernard Boxill berbicara pemaksaan kepentingan itu dan menjelaskan sesuai dengan
kebijakan-kebijakan kesadaran-kulit berwarna semacam affirmative action. Boxill menjelaskan
perlunya minoritas terwakili dalam profesi. Dia berpendirian bahwa kebijakan buta warna
melibatkan harga diri yang terlalu mahal, lantaran kebijakan itu mengimplikasikan bahwa orang
harus tidak diperlakukan secara berbeda hanya karena mereka dilahirkan dengan kualitas-
kualitas seperti berkulit hitam. Mengenai penerimaan orang-orang kulit hitam terhadap
konsiderasi yang fair, dia mengusulkan sebuah bentuk kebijakan kesadaran-warna yang baik di
mana perbedaan-perbedaan dan ciri bawaan dibebankan secara sama.
Selby Steele menjelaskan bahwa affirmative action tidak tepat karena kebijakan itu
menghina seseorang. Steele mengatakan bahwa para penerima affirmative action ini bukan saja
melihat diri mereka jahat tetapi juga menanamkan status jahatnya supaya menerima posisi-posisi
tertentu. Tambahan, dia menjelaskan bahwa preferensi-preferensi affirmative action bagi kulit
hitam mengimplikasikan bahwa mereka hanya diberikan posisi karena kulit hitamnya bukan
karena kemampuannya. Pada akhirnya, Steele menjelaskan bahwa affirmative action
mengabaikan kebutuhan kerja yang mahal, sulit dan secara moral memberikan kesempatan
otentik yang sama melalui perkembangan pendidikan dan ekonomi, dan mengakhiri seluruh
diskriminasi rasial, gender dan etnis.
PRINSIP BUTA WARNA (Bernard Boxill)
“I Didn’t Notice” Orang Liberal
Dalam bukunya, Second Wind, Bill Russel Kembali menyatakan bagaimana dia
menggunakan perilaku yang dia namakan “I didn’t notice” orang liberal secara mengagumkan.
Inilah individu-individu yang mengklaim tidak memaklumatkan warna orang. Jika mereka
menyebut seorang Russel yang tidak dapat tempat, dan Russel menanyakan apakah dia berkulit
putih atau hitam, mereka akan menjawab “I didn’t notice/saya tidak memaklumatkan.” Manis
dan tanpa dosa,” Russel nyatakan kembali “ kadangkala merupakan sedikit kebanggaan.”
RASISME
Kwame Anthony Appiah dilahirkan d Ghana dan dia adalah seorang profesor bidang
filsafat serta studi-studi Afrika-Amerika pada Harvard University Dia telah mengarang beberapa
buku, antara lain, In My Father's Haouse (1992). Belakangan ini dia sedang mengedit The
Oxford Book of African Literature.
Appiah membedakan berbagai aspek rasisme, termasuk rasialisme serta rasisme inrinsik
dan rasisme ekstrinsik. Rasialisme adalah sebuah pandangan bahwa ada sifat-sifat bawaan dan
tendensi-tendensi dari setiap ras yang tidak sama-sama ditanggung oleh anggota-anggota ras
yang lain, dan memberi kesempatan kepada kita untuk membedakan orang ke dalam ras yang
berbeda. Rasisme Ekstrinstik adalah sebuah pandangan bahwa ras-ras secara inheren memlihat
perbedaan esensi-esensi yang mencakup perbedaan ciri-ciri bawaan yang relevan secara moral.
Rasisme intrinsik adalah sebuah sandungan bahwa diferensiasi moral di antara ras dapat
dibenarkan karena setiap ras memiliki perbedaan status moral terlepas dari esensi rasialnya
Pembagian yang dia namakan “prasangka rasial” merupakan tendensi yang menyumbangkan
kesalahan moral dan proposisi teoretis tentang ras-ras. Appiah menegaskan bahwa rasialisme
adalah salah dari kedua jenis rasisme itu secara teoritis maupun secara moral adalah salah
Rasis intrinsik adalah orang yang berbeda secara moral antara anggota-anggota dari ras-
ras yang berbeda karena mereka percaya bahwa setiap ras memiliki status moral yang berbeda
benar-benar independen dari karakterisik moral yang diperlukan oleh esensi rasial.
Laurence Thomas
Laurance Thomas merupakan professor filsafat di Universitas Syracuse New York. Dia
adalah pengarang Living Morally: A Psycology of Moral Character (1989).
Laurence Thomas mempersoalkan asumsi yang biasa dipegangi bahwa rasisme dan
seksisme adalah sama. Meski pun perempuan dan kelompok minoritas diperlakukan secara sama,
dia mengatakan ada perbedaan konseptual yang fundamental antara rasisme dan seksisme. Satu
contoh yang Thomas munculkan adalah bahwa karena perempuan diperlukan untuk melanjutkan
keturunan, laki-laki tidak akan menarik diri sepenuhnya dari perempuan, tetapi tidak ada basis
natural semacam itu bagi kulit putih untuk bertahan di sekitar kulit hitam.
Vine Deloria, Jr
Vine Deloria adalah seorang professor American Indian studies, political science, and
law pada university of Colorado di Boulder. Deloria mengkritik tradisi memandang isu-isu hak-
hak warga Negara hanya seperti diterapkan pada orang-orang Amerika keturunan Afrika. Dia
menyatakan bahwa orang-orang Indian Amerika memerlukan pengakuan hubungan legal
diantara berbagai suku dari pemerintah, sementara orang-orang Amerika keturunan Afrika butuh
bekerja dengan pemerintah pada hubungan-hubungan sosioekonomi. Deloria menjelaskan bahwa
inti pemahaman dan solusi atas persoalan rasial yang terkait dengan mayoritas kulit putih harus
menguji masa lalu dan menyadari bahwa mereka telah menciptakan dilema rasisme dan
bertanggung jawab untuk menghentikan proyeksi ketakutan dan jalan hidupnya di atas ras-ras
lain.
Hak-hak warga Negara menjadi hal terpenting, paling tidak memahami pergerakan
generasi kita. Selama beberapa tahun, gerakan untuk memberikan hak-hak orang kulit hitam
yang sama dengan tetangga kulit putihnya dinamakan Relasi-relasi Ras. Bagi orang Indian,
agaknya cukup tidak adil bila gereja dan agen-agen pemerintah mengkonsentrasikan usahanya
terutama kepada kulit hitam. Dengan mendefinisikan masalah sebagai salah satu ras dan
penciptaan ras hanya merujuk pada kulit hitam, berarti tidak mempertimbangkan orang Indian
secara sistematis. Apapun program atau kebijakan yang digariskan dari gereja-gereja nasional
terhadap pengikut dan jemaahnya, pada umumnya adalah program-program berorientasi kepada
kulit hitam yang disesuaikan untuk melibatkan orang-orang Indian. Dibanyak Negara bagian
dekade terakhir, orang-orang Indian telah diklasifikasikan sebagai kulit putih oleh hukum yang
mengesahkan pengekangan orang-orang kulit hitam. Jadi, ada sebuah konotasi bahwa orang-
orang indian dalam beberapa hal sama seperti orang-orang kulit putih. Tetapi dalam bidang-
bidang lain, khususnya dalam hukum perkawinan, orang-orang Indian diklasifikasikan seperti
kulit hitam dan konotasi ini sebenarnya menentukan peran kulit putih dalam memperkuat kulit
merah. Akibatnya, sejauh menyangkut Relasi-relasi Ras, orang-orang Indian diklasifikasikan
sebagai non kulit putih.
Inilah saatnya bagi kulit hitam dan kulit merah untuk memahami cara-cara orang kulit
putih, kulit putih mencari tanah-tanah dan sumber-sumber alam Indian. Karena orang-orang
Indian terus berpikir tentang konflik dasar mereka dengan orang kulit putih secara kultural
merupakan kebodohan terbesar. Problemnya adalah selalu merupakan penyesuaian hubungan
legal antara suku-suku Indian dengan pemerintah federal. Kulit hitam harus memahami bahwa
kulit putih ditentukan untuk mempertahankan masyarakat mereka. Adalah kebodohan yang
terbesar bagi kulit hitam untuk bergantung pada hukum agar mereka diterima oleh kulit putih.
Ketika kulit hitam mencari perubahan perannya dengan menyesuaikan hukum-hukum negara, dia
hanya memunculkan harapan bahwa kemajuan telah dilakukan. Tetapi kemajuan bagi mayoritas
kulit hitam tidak pernah dilakukan. Orang yang mampu memperolehnya, pada umumnya adalah
yang terbaik. Penyesuaian sosioekonomi ketimbang hukum seharusnya menjadi tujuan.
Tetapi pemahaman mengenai persoalan rasial tidak mesti melibatkan pemahaman oleh
orang-orang kulit hitam maupun orang-orang Indian, yang dilibatkan adalah orang kulit putih
sendiri. Dia harus menguji masa lalunya, dia harus menghadapi masalah-masalah yang telah dia
ciptakan dalam dirinya sendiri dan dalam diri orang lain. sebelum orang kulit putih dapat
berhubungan dengan orang lain, dia harus melepaskan kenyamanan pendefinisian mereka. Orang
kulit putih harus belajar untuk menghentikan memandang sejarah sebagai sebuah rencana
terhadap dirinya sendiri.
Deloria menggambarkan kebanyakan orang Amerika serikat melanggar hak-hak asasi
orang-orang Indian, persoalan yang melibatkan kedaulatan, sementara persoalan-persoalan orang
Amerika keturunan Afrika pada dasarnya merupakan persoalan sosioekonomi.
Deloria melihat bahwa orang-orang Amerika keturunan Afrika diabaikan dengan secara
sistematis diasingkan dari masyarakat, sementara orang-orang Amerika keturunan Indian
diperkuat untuk diasimilasikan. Deloria juga menegaskan bahwa pemecahan masalah rasial
mensyaratkan pemahaman dan tanggung jawab orang kulit putih atas masa lalu dengan
menghadapkan rasisme sebagai masalah yang telah dia ciptakan dalam dirinya sendiri dan dalam
diri orang lain.
Lary May
Lary May adalah seorang Profesor filsafat pada Washington University di St. Louis. May
meneyelidiki legitimasi tuntutan konseptual bahwa orang sama-sama memikul tanggung jawab
atas kerugian yang tidak secara langsung dia sebabkan, khususnya kerugian-kerugian yang
terkait dengan sikap-sikap yang dipegangi Bersama dengan mereka yang menyebabkan kerugian.
Sikap-sikap, kata May, bukan hanya keadaan kognitif tetapi juga mempengaruhi bagaimana
kelakuan seseorang. Sikap-sikap kita sering memberikan kontribusi terhadap atmosfer kejahatan-
kejahatan yang lebih mungkin terjadi, may menjelaskan bahwa tanggung jawab moral atas
kejahatan-kejahatan rasial dipikul oleh semua anggota suatu komunitas yang memegangi sikap-
sikap rasis, bahkan oleh mereka yang tidak secara langsung melakukan kejahatan. Orang-orang
memegangi sikap-sikap rasis sama seperti orang yang memberikan risiko kejahatan dengan
memegang pistol yang terisi peluru.
Pada 4 februari 1948 Steven Beering, Presiden Purde University, mengeluarkan pernyataan
public yang isinya antara lain: “Insiden yang memanas di Pusat Kultural Kulit Hitam (Black
Cultural Center) adalah menyakitkan dan menyedihkan. Ia menyebabkan tanggung jawab
seseorang yang memalukan, namun harus tidak memperbolehkan menjadi penyebab kemaluan
komunitas. Ini adalah respon yang biasa terhadap berbagai peristiwa rasisme di Amerika.
Individu-individu yang secara langsung melakukan Tindakan membahayakan dikenakan
tanggung jawab merupakan kemaluan yang sepantasnya, tetapi anggota-anggota komunitas yang
banyakan berbagi memikul sikap-sikap para pelaku, tidak dikenakan tanggung jawab. Lary May
mau melacak legitimasi klaim konseptual bahwa seseorang memikul tanggung jawab atas
kejahatan yang tidak secara lansung dia sebabkan, khususnya kejahatan yang terkait dengan
jenis-jenis sikap tertentu.
Kelalian yang sembrono berkaitan dengan sesuatu hal memperbolehkan terlepasnya kewajiban
seseorang yang harus dilakukan. Ketika kelalaian seseorang yang sembrono menghasilkan efek
yang membahayakan , maka masuk akal untuk menganggap bahwa orang itu bertanggung jawab
atas kerugian. Kelalian pada umumnya menciptakan resiko, karena tidak ada kepedulian untuk
mencegah kerugian. Kelalaian yang sembrono merupakan sejenis perilaku yang berbahaya.
Lary May berpendirian bahwa mereka yang mengetahui risiko kerugian pada orang lain bahkan
Ketika perilakunya tidak secara langsung menyebabkan setiap kerugian, bertanggung jawab atas
kerugian yang disebabkan oleh mereka yang sama-sama bertindak secara langsung menimbulkan
kerugian itu.
Mereka yang memegangi sikap-skap rasis mungkin berpartisipasi dalam kekerasan rasial
dengan memberi kontribusi sebab-akibat terhadap lingkungan yang mempengaruhi orang lain
menyebabkan kerugian.
Mengambil tanggung jawab terhadap sikap-sikap rasis seseorang merupakan satu pangkal
tolak dalam memahami persoalan rasial. Lary May menegaskan bahwa iklim rasis
meningkatkan kemungkinan kerusakan yang dimotivasi secara rasial. Iklim ini diciptakan oleh
orang yang berprilaku rasis, dan meskipun orang ini bukanlah penyebab langsung kejahatan
rasial, sikap-sikap mereka sering andil dalam kerja sama dimana semua anggota berbagi
tanggung jawab moral atas kerusakan itu. May menjelaskan bahwa terus menerus memegangi
sikap-sikap rasis yang jelas memberi kontribusi terhadap iklim moral yang memperbolehkan
penyakit rasial merupakan bentuk kesembronoan tingkah laku. Orang yang memamerkan tingkah
laku serampangan berbagi tanggung jawab atas risiko kerusakan yang terjadi. Meskipun perilaku
yang sebenarnya menyebabkan kerusakan secara legal adalah salah, tanggung jawab moral
seseorang terhadap rasisme mensyaratkan orang mengambil Langkah pembatasan sikap-sikap
rasis seseorang dan menolak andil dalam iklim rasis. May mengungkapkan bahwa mereka yang
memegangi sikap-sikap rasis berada dalam bahaya rasial. Bahkan jika mereka tidak
berpartisipasi secara langsung dalam bahaya ini.
KESIMPULAN