Anda di halaman 1dari 4

1. A. Waris timbul karena adanya peristiwa kematian.

Peristiwa kematian ini terjadi


pada seorang anggota keluarga, misalnya ayah, ibu, atau anak. Apabila orang yang
telah meninggal tersebut memiliki harta kekayaan, maka yang menjadi pokok
bukanlah peristiwa kematian itu, melainkan harta kekayaan yang ditinggalkan.
Artinya siapa saja yang berhak atas harta kekayaan yang ditinggalkan oleh orang yang
meninggal tersebut. Dengan demikian jelaslah bahwa waris itu di satu sisi berakar
pada keluarga dan di sisi lain berakar pada harta kekayaan. Jika dirumuskan, maka
hukum waris adalah segala peraturan hukum yang mengatur tentang beralihnya harta
warisan dari pewaris karena kematian kepada ahli waris atau orang yang ditunjuk.
Dari rumusan tersebut dapat diketahui unsur-unsur yang terdapat dalam pengertian
hukum waris sebagai berikut:
1. Subjek hukum waris yaitu pewaris, ahli waris, dan orang yang ditunjuk berdasarkan
wasiat;
2. Peristiwa hukum waris yaitu meninggalnya pewaris;
3. Hubungan hukum waris yaitu hak dan kewajiban ahli waris;
4. Objek hukum waris yaitu harta peninggalan almarhum. Dalam hukum waris
terdapat istilah-istilah yang dapat digunakan sebagai penjelasan.
Adapun istilah-istilah dalam unsur hukum waris tersebut dapat dijabarkan sebagai
berikut:
1. Pewaris, adalah orang yang meninggal dunia dan meninggalkan harta kekayaan
pada orang yang masih hidup.
2. Ahli waris, adalah setiap orang yang berhak atas harta peninggalan pewaris dan
berkewajiban menyelesaikan hutang-hutangnya.
3. Harta warisan, adalah segala harta kekayaan yang ditinggalkan oleh pewaris setelah
dikurangi dengan semua hutangnya.
4. Surat wasiat, suatu akta yang memuat pernyataan seseorang tentang apa yang
dikehendakinya akan terjadi setelah ia meninggal dunia, dan yang olehnya dapat
dicabut kembali.
5. Proses pewarisan, istilah ini mempunyai pengertian atau dua makna, yaitu:
a) Berarti penunjukan atau penerusan para ahli waris ketika pewaris masih hidup.
b) Berarti pembagian harta warisan terjadi setelah pewaris meninggal dunia.
Janin dalam kaitannya dengan waris-mewarisi statusnya adalah menggantikan
kedudukan si yang meninggal dunia dalam memiliki harta bendanya, artinya dalam
hal ini janin sebagai ahli warisnya manakala kerabatnya ada yang meninggal dunia,
dan apabila yang meninggal dunia tidak memiliki ahli waris lain kecuali janin yang
dalam kandungan tersebut. Maka janin tersebut sebagai ahli waris utama. Sekiranya
janin tersebut belum berwujud dan tidak ada pergantian yang dimaksud sebelumnya.
Karena syarat menjadi ahli waris adalah minimal seorang pengganti yang harus
berwujud, sekalipun masih dalam kandungan ibunya. Sebab sperma yang berada
didalam rahim itu, selagi tidak hancur mempunyai zat hidup, karenanya ia dihukumi
dengan hidup. Hal senada dalam hukum perdata yang menempatkan kedudukan janin
menggantikan ahli waris untuk mendapatkan warisan, yang didasarkan pada beberapa
alasan yang ditentukan dalam pasal KUHperdata. Anak dalam kandungan atau janin
menurut KUHPerdata memiliki hak atas kepentingan yang berlaku kepadanya.Oleh
sebab itu, anak yang masih dalam kandungan dapat dianggap telah lahir. Pernyataan
tersebut tertulis dalam KUHPerdata pasal 2 yang menyatakan: “Anak yang ada dalam
kandungan seorang perempuan dianggap sebagai telah lahir, bilamana juga
kepentingan si anak menghendakinya, mati sewaktu dilahirkannya, dianggaplah ia tak
pernah ada.” KUHperdata, secara tidak langsung memiliki maksud bahwa meskipun
masih dalam kandungan ibunya, seorang anak tidak akan kehilangan hak-hak yang
berhubungan dengan kepentingan anak. Meski demikian, apabila kemudian anak
tersebut terlahir mati, maka segala sesuatu yang telah diputuskan yang berhubungan
dengan kepentingan anak saat dalam kandungan dianggap tidak pernah ada atau tidak
memiliki kekuatan hukum. Salah satu kepentingan anak dalam kandungan adalah hal-
hal yang berkaitan dengan warisan. Menurut KUHPerdata, anak yang berada dalam
kandungan dianggap telah memiliki hak untuk mewarisi. Sebagaimana pada pasal 836
KUHPerdata sebagai berikut: “Supaya dapat bertindak sebagai ahli waris seseorang
harus telah ada pada saat warisan itu terbuka, dengan mengingat akan ketentuan
dalam pasal 2 kitab ini.” Keadaan anak dalam kandungan sebagaimana disebutkan
dalam KUHPerdata pasal 2, pasal 836 sebagai keadaan telah dianggap ada dan
memiliki hak untuk mewarisi pada saat warisan tersebut dibuka (dibagi). Selain itu
juga agar lebih jelas dan memperkuat kedudukan anak dalam kandungan sebagai ahli
waris harus dilihat dari status perkawinan orang tua anak dalam kandungan tersebut.
Berdasarkan dari status perkawinan orang tua anak dalam kandungan dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu:
a. Anak dalam kandungan dari perkawinan yang sah, maka anak dalam kandungan
yang memperoleh warisan adalah anak dalam kandungan yang lahir dari perkawinan
yang sah menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 pasal 2 yang menyatakan:
(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agama
dan kepercayaannya.
(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangan yang berlaku. 15
Apabila perkawinan dilakukan secara sah menurut hukum, maka status anak dalam
kandungan tersebut berhak mendapatkan warisan sebagaimana dimaksud dalam pasal
836 KUHPerdata.

b. Anak dalam kandungan di luar perkawinan


Maksud dari anak kandungan di luar perkawinan adalah anak yang pembenihannya
tidak dilakukan melalui proses perkawinan yang sah menurut hukum perundang-
undangan yang berlaku. menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 pasal 43 ayat (1)
dijelaskan bahwa “anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”. Kemudian pasal tersebut diuji
materinya, sehingga keluar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-IX Tahun
2011 yang bunyinya sebagai berikut: “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-
laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan
teknologi dan/atau alat bukti lainnya yang menurut hukum mempunyai hubungan
darah, termasuk hubungan perdata dengan ayahnya.”. Jadi anak di luar perkawinan
mempunyai hubungan keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya, mempunyai
hubungan keperdataannya dengan ayah biologisnya dengan bukti berdasarkan ilmu
pengetahuan dan teknologi dan/atau bukti lainnya menurut hukum mempunyai
hubungan darah.

B. Pada dasarnya semua orang sebagai subjek hukum mempunyai hak, namun tidak
semua orang mempunyai kewenangan hukum (hak dan kewajiban). Orang yang
berwenang untuk melakukan perbuatan hukum adalah orang yang sudah dewasa dan
tidak dilarang oleh undang-undang. Dewasa menurut KUHPer Pasal 330 apabila telah
mencapai usia 21 tahun.

2. A. Sifat konsensuil dari jual beli tersebut ditegaskan dalam pasal 1458 yang berbunyi:
"Jual-beli dianggap sudah terjadi antara kedua belah pihak seketika setelah mereka
mencapai sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang itu belum diserahkan
maupun harganya belum dibayar". Sebagaimana diketahui, hukum perjanjian dari
B.W. menganut asas konsensualitas. Artinya ialah: hukum perjanjian dari B.W. itu
menganut suatu asas bahwa untuk melahirkan perjanjian dengan sepakat saja dan
bahwa perjanjian itu (dan dengan demikian "perikatan" yang ditimbulkan karenanya)
sudah dilahirkan. ada saat atau detik tercapainya konsensus sebagaimana
dimaksudkan di atas.

B. Terkait dengan wanprestasi, saya menyarankan terlebih khusus untuk mereka yang
melakukan perjanjian jual beli sekiranya sebelum melakukan perjanjian jual beli harus
pelajari terlebih dahulu terkait hal-hal yang diatur dalam hukum perjanjian khususnya
dalam hal perjanjian jual beli sehingga para pihak betul-betul menjalankan prestasinya
dan agar terhindar dari sanksi akibat melakukan wanprestasi. Akibat hukum bagi
pelaku yang melakukan pelangaran terhadap asas konsensualisme. Akibat-akibat
hukum tersebut diantaranya sebagai berikut: Membayar kerugian yang diderita oleh
kreditur atau dengan singkat dinamakan ganti rugi; Pembatalan perjanjian atau juga
dinamakan pemecahan perjanjia; Peralihan Risiko; Membayar biaya perkara, kalau
sampai diperkarakan di depan hakim. Selain itu, Menurut pasal 1267 KUHPer, pihak
kreditur dapat menuntut si debitur yang lalai untuk melakukan : Pemenuhan
perjanjian; Pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi; Ganti rugi saja; Pembatalan
perjanjian; pembatalan disertai ganti rugi.

Anda mungkin juga menyukai