Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH

MATA KULIAH KEMUHAMMADIYAHAN

SEJARAH BERDIRINYA MUHAMMADIYAH

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK 4

1. Kilau Syamsiah (202071000024)

2. Adilatul Bilqis Annida (202071000092)

3. Ayu Sofi (202071000101)

DOSEN PEMBIMBING:
Ainun Nadlif, S.Ag. M.Pd.I

KELAS 3A2
Program Studi Pendidikan Agama Islam
Fakultas Agama Islam
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SIDOARJO
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT. yang telah memberi rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang
berjudul “Sejarah Berdirinya Muhammadiyah” ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
dosen pada mata kuliah Kemuhammadiyahan. Selain itu, makalah ini juga
bertujuan untuk menambah wawasan tentang sejarah lahirnya
Muhammadiyah, latar belakang hingga perkembangan Muhammadiyah
ditinjau dari film Sang Pencerah bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Kami mengucapkan terima kasih kepada bapak Ainun Nadlif, S.Ag.
M.Pd.I yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah
pengetahuan dan wawasan sesuai dengan program studi yang kami tekuni.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
memberikan sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini.
Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami
nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Sidoarjo, 27 Oktober 2021

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………………………………..….i

DAFTAR ISI...………………………………………………………………….ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah……………………………………………...1

1.2. Rumusan Masalah……………………………………………………1

1.3. Tujuan Penulisan…………………………………....………………..2

BAB II METODOLOGI PENELITIAN

2.1. Jenis Penelitian………………………………………………………..3

2.2. Teknik Pengumpulan Data……………………………………………3

2.3. Teknik Analisis Data………………………………………………….4

BAB III PEMBAHASAN

3.1. Latar Belakang Berdirinya Muhammadiyah…………………………6

3.2. Faktor-Faktor yang Melatarbelakangi Lahirnya Muhammadiyah......7

3.3. Sejarah Lahirnya Muhammadiyah…...…..……………………….….10

3.4. Realitas Sosio-Agama di Indonesia...…………….. ………………...15

3.5. Realitas Sosio-Politik di Indonesia ……………………………….....18

3.6. Realitas Sosio-Pendidikan di Indonesia ………………….…………19

BAB IV PENUTUP

4.1. Kesimpulan………………………………………………………......26

4.2. Saran…….…………………………………………………………...26

3
DAFTAR PUSTAKA

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Muhammadiyah adalah salah satu organisasi Islam besar di Indonesia.


Nama Organisasi ini diambil dari nama Nabi Muhammad SW., sehingga
Muhammadiyah juga dapat dikenal sebagai orang-orang yang menjadi
pengikut Nabi Muhammad SW. Muhammadiyah didirikan di kampung
Kauman Yogyakarta, pada tanggal 8 dzulhijjah 1330 H/18 November 1912
oleh seorang yang bernama Muhammad Darwis, kemudian dikenal dengan
K.H. Ahmad Dahlan. Beliau adalah pegawai kesultanan Kraton
Yogyakarta sebagai seorang khatib dan sebagai pedagang. Melihat keadaan
ummat Islam pada waktu itu dalam keadaan jumud, beku dan penuh
dengan amalan-amalan yang bersifat mistik, beliau tergerak hatinya untuk
mengajak mereka kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya
berdasarkan al-Qur’an dan Hadist.
Berdasarkan itu kami ingin menggali lebih dalam tentang
Muhammadiyah yang satu-satunya menjadi organisasi masa Islam yang
modern tanpa mengesampingkan ajaran Islam itu sendiri.

1.2. Rumusan Masalah


1. Apa latar belakang berdirinya Muhammadiyah?
2. Bagaimana sejarah lahirnya Muhammadiyah?
3. Bagaimana realitas Sosio-Agama di Indonesia?
4. Bagaimana realitas Sosio-Politik di Indonesia?
5. Bagaimana realitas Sosio-Pendidikan di Indonesia?

4
1.3. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui latar belakang berdirinya Muhammadiyah.
2. Mengetahui sejarah lahirnya Muhammadiyah.
3. Mengetahui realitas Sosio-Agama di Indonesia.
4. Mengetahui realitas Sosio-Politik di Indonesia.
5. Mengetahui realitas Sosio-Pendidikan di Indonesia.

5
BAB II

METODOLOGI PENELITIAN

2.1 Jenis Penelitian

Adapun metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian


kualitatif deskriptif. Metode penelitian kualitatif adalah sebuah metode
penelitian yang memanfaatkan data kualitatif dan dijabarkan sejara
deskriptif.
Penelitian kualitatif merupakan suatu strategi inquiri yang menekankan
pencarian makna, pengertian, konsep, karakteristik, gejala, simbol maupun
deskripsi tentang suatu fenomena; fokus dan multimetoda, bersifat alami
dan holistik; mengutamakan kualitas, menggunakan beberapa cara, serta
disajikan secara naratif. Dari sisi lain dan secara sederhana dapat dikatakan
bahwa tujuan penelitian kualitatif adalah untuk menemukan jawaban
terhadap suatu fenomena atau pertanyaan melalui aplikasi prosedur ilmiah
secara sistematis dengan menggunakan pendekatan kualitatif.1

2.2 Teknik Penelitian Data


Teknik pengumpulan data yaitu merupakan cara-cara yang ditempuh
untuk memperoleh data yang diperlukan sehingga data yang diperoleh
menjadi sempurna. Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu
Analisis Dokumen. Dalam penelitian ini, menggunakan analisis dokumen
sebagai bahan tertulis untuk memperoleh suatu data. Cara yang dilakukan
adalah dengan mencari teori atau membaca dokumen dan hasil-hasil
penelitian terdahulu yang berkaitan dengan permasalahan yang akan
diteliti.
Yusuf, A Muri, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan Penelitian Gabungan, (Padang :
1

UNP Press, 2013) hal : 334

6
2.3 Teknik Analisis Data

Adapun pengertian analisis data adalah “Proses mengorganisasikan dan


mengurutkan data ke dalam bentuk suatu pola kategori dan satuan uraian
dasar sehingga dapat ditemukan tema dan rumusan hipotesa kerja seperti
yang disarankan oleh data”.2 Teknik analisis data yang digunakan dalam
analisis kualitatif memiliki empat tahap yaitu pengumpulan data, reduksi
data, penyajian data dan langkah terakhir adalah penarikan kesimpulan dan
verifikasi.

1. Pengumpulan Data yaitu melalui dokumen yang berkaitan dengan


permasalahan yang diteliti.
2. Reduksi Data merupakan penyederhanaan, penggolongan, dan
membuang yang tidak perlu data sedemikian rupa sehingga data tersebut
dapat menghasilkan informasi yang bermakna dan memudahkan dalam
penarikan kesimpulan.

3. Display Data atau Penyajian Data merupakan kegiatan saat


sekumpulan data disusun secara sistematis dan mudah dipahami,
sehingga memberikan kemungkinan menghasilkan kesimpulan. Bentuk
penyajian data kualitatif bisa berupa teks naratif (berbentuk catatan
lapangan), matriks, grafik, jaringan ataupun bagan. Melalui penyajian
data tersebut, maka nantinya data akan terorganisasikan dan tersusun
dalam pola hubungan, sehingga akan semakin mudah dipahami.

4. Kesimpulan dan Verifikasi Data merupakan tahap akhir dalam teknik


analisis data kualitatif yang dilakukan melihat hasil reduksi data tetap
mengacu pada tujuan analisis hendak dicapai. Tahap ini bertujuan untuk
mencari makna data yang dikumpulkan dengan mencari hubungan,

2
Moleong, Lexy J, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010), hal : 103

7
persamaan, atau perbedaan untuk ditarik kesimpulan sebagai jawaban
dari permasalahan yang ada.

8
BAB III

PEMBAHASAN

3.1. Latar Belakang Berdirinya Muhammadiyah

Membahas tentang latar belakang berdirinya Muhammadiyah sama


halnya membahas tentang sejarah lahirnya Muhammadiyah.
Muhammadiyah secara etimologis berarti pengikut Nabi Muhammad
SAW, karena berasal dari kata Muhammad, kemudian mendapatkan ya
nisbiyah, sedangkan secara terminologi berarti gerakan Islam, dakwah
amar ma’ruf nahi mungkar dan tajdid, bersumber pada al-Qur’an dan as-
Sunnah. Bulan Dzulhijjah (8 Dzulhijjah 1330 H) atau November (18
November 1912 M) merupakan momentum penting lahirnya
Muhammadiyah. Itulah kelahiran sebuah gerakan Islam modernis terbesar
di Indonesia, yang melakukan perintisan atau kepeloporan pemurnian
sekaligus pembaharuan Islam di negeri berpenduduk terbesar muslim di
dunia.
Keinginan dari K.H. Ahmad Dahlan untuk mendirikan organisasi
yang dapat dijadikan sebagai alat perjuangan dan dakwah untuk
nenegakkan amar ma’ruf nahi munkar yang bersumber pada Al-Qur’an,
surat Al-Imron: 104 dan surat Al-Ma’un sebagai sumber dari gerakan
sosial praktis untuk mewujudkan gerakan tauhid.
Ketidakmurnian ajaran Islam yang dipahami oleh sebagian ummat
Islam Indonesia, sebagai bentuk adaptasi tidak tuntas antara tradisi Islam
dan tradisi lokal nusantara dalam awal bermuatan faham animisme dan
dinamisme. Sehingga dalam prakteknya umat Islam di Indonesia
memperlihatkan hal-hal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran
Islam, terutama yang berhubungan dengan prinsip akidah Islam yang
menolak segala bentuk kemusyrikan, taqlid, bid’ah, dan khurafat. Sehingga
pemurnian ajaran menjadi pilihan mutlak bagi umat Islam di Indonesia.

9
Keterbelakangan umat Islam dalam dunia pendidikan menjadi sumber
utama keterbelakangan dalam peradaban. Pesantren tidak bisa selamanya
dianggap menjadi sumber lahirnya generasi baru muda islam yang berpikir
modern. Kesejahteraan umat Islam akan tetap berada dibawah garis
kemiskinan jika kebodohan masih melingkupi umat Islam Indonesia.
Maraknya kristenisasi di Indonesia sebagai efek domino dari
imperalisme Eropa ke dunia timur yang mayoritas beragama
Islam. Imperialisme Eropa tidak hanya membonceng gerilya gerejawan
dan para penginjil untuk menyampaikan ‘ajaran jesus’ untuk menyapa
umat manusia diseluruh dunia untuk mau ‘mengikuti’ ajaran jesus. Tetapi
juga membawa angin modernisasi yang sedang melanda Eropa.
Modernisasi yang terhembus melalui model pendidikan barat (Belanda) di
Indonesia mengusung paham-paham yang melahirkan modernisasi Eropa,
seperti sekularisme, individualisme, liberalisme dan rasionalisme. Jika
penetrasi itu tidak dihentikan maka akan terlahir generasi baru Islam yang
rasional tetapi liberal dan sekuler.
3.2 Faktor-Faktor yang Melatarbelakangi Berdirinya Organisasi

Muhammadiyah

Setiap organisasi yang ada di dunia pada umumnya pasti memiliki


faktor-faktor yang melatarbelakangi berdirinya organisasi tersebut.
Khususnya dalam organisasi Muhammadiyah memiliki beberapa faktor
penting yaitu faktor dari dalam dan faktor dari luar. Berikut ini kami kutip
dari situs resmi Muhammadiyah tentang daktor yang melatarbelakangi
berdirinya Muhammadiyah yaitu:
1. Faktor Internal
Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam diri ummat
Islam sendiri yang tercermin dalam dua hal, yaitu sikap beragama dan
sistem pendidikan Islam. Sikap beragama umat Islam saat itu pada

10
umumnya belum dapat dikatakan sebagai sikap beragama yang rasional,
sirik, taklid, dan bid’ah masih menyelubungi kehidupan umat Islam,
terutama dalam lingkungan Kraton, dimana kebudayaan Hindu telah
jauh tertanam. Seikap beragama yang demikian bukanlah terbentuk
secara tiba-tiba pada abad sebelumnya. Seperti diketahui proses
islamisasi di Indonesia sangat diperngaruhi oleh dua hal, yaitu
Tasawuf/Tarekat dan mahdzab fikih, dan dalam proses tersebut para
pedagang dan kaum sufi memegang peranan yang sangat penting.
Melalui merekalah Islam dapat menjangkau daerah-daerah hampir
diseluruh nusantara ini.
2. Faktor Eksternal
Faktor ini disebabkan oleh politik penjajahan kolonial Belanda.
Faktor tersebut antara lain tampak dalam sistem pendidikan kolonial
serta usaha kearah westernisasi dan kristenisasi.
Pendidikan kolonial dikelola oleh pemerintah kolonial untuk anak-
anak bumi putra, ataupun yang diserahkan pada misi and zending
Kristen dengan bantuan finansial dari pemerintah Belanda. Pendidikan
demikian pada awwal abad 20 telah menyebar di beberapa kota, sejak
dari pendidikan dasar sampai atas, yang terdiri dari lembaga pendidikan
guru dan sekolah kejuruan. Adanya lembaga pendidikan kolonial
terdapatlah pua dua macam pendidikan kolonial. Kedua jenis pendidikan
ini dibedakan, bukan hanya dari segi tujuan yang ingin dicapai, namun
juga dari kurikulumnya.
Pendidikan kolonial melarang masuknya pelajaran agama dalam
sekolah-sekolah kolonial, dan dalam artian ini orang menilai pendidikan
kolonial sebagai pendidikan yang bersifat sekuler, disamping sebagai
penyebar kebudayaan barat. Dengan corak pendidikan yang demikian
pemerintah kolonial tidak hanya menginginkan lahirnya golongan
pribumi yang terdidik, tetapi juga berkebudayaan barat. Hal ini

11
merupakan salah satu sisi politik etis yang disebut politik asosiasi yang
pada hakikatnya tidak lain dari usaha westernisasi yang bertujuan
menarik penduduk asli Indonesia ke dalam orbit kebudayaan barat. Dari
lembaga pendidikan ini lahirlah golongan intelektual yang biasanya
memuja barat dan menyudutkan tradisi nenek moyang serta kurang
menghargai Islam, agama yang dianutnya. Hal ini agaknya wajar karena
memang mereka lebih dikenalkan dengan ilmu-ilmu dan kebudayaan
barat yang sekuler tanpa menhimbanginya dengan pendidikan ahgama
konsumsi moral dan jiwanya. Sikap umat yang demikianlah yang
dimaksud sebagai ancaman dan tantangan abad ke-20.
Ada beberapa faktor yang melatar belakangi berdirinya
Muhammadiyah di Indonesia, yang dikemukakan oleh Syaifullah dalam
tesisnya untuk menempuh gelar master menyebutkan 4 faktor
diantaranya adalah :
1. Aspirasi KH Ahmad Dahlan.
Untuk mengetahui hal ini bisa dilihat dalam dua fase. (a).setelah
Ahmad Dahlan menunaikan ibadah haji yang pertama (1889).(b).
setelah menunaikan haji yang kedua (1903).
2. Realitas Sosial Agama di Indonesia.
Munculnya kepercayan dan agama-agama sebelum Islam di Indonesia
menyebabkan proses masuknya Islam melalui akulturasi dan
sinkretisme.
3. Realitas Sosial dan Pendidikan di Indonesia.
Muhammadiyah lahir sebagai penengah antara pendidikan pesantren
dan pendidikan sekelur.
4.Realitas Politik Islam Hindia-Belanda.
Belanda menghadapi kenyataan bahwa sebagian besar pribumi
beragama Islam, sehingga perlawanan penduduk yang timbul, seperti

12
perang Diponegoro, Padri, Aceh dan lain-lain, tidak lepas dari ajaran
Islam.

K.H. Ahmad Dahlan dalam mendirikan organisasi Muhammadiyah


mempunyai maksud dan tujuan yang mulia dimana tertera dalam Anggaran
Dasar Muhammadiyah Pasal 1 disebutkan: Muhammadiyah adalah
Gerakan Islam dan Dakwah Amar Ma’ruf Nahi Munkar Berasaskan Islam
dan Bersumber pada Al-Qur’an dan Hadits.
Sudah jelas bahwa Muhammadiyah adalah gerakan Islam yang sudah
pasti menjunjung dan menegakkan Islam di Indonesia dengan pemikiran
pembaharuan dan modernisasinya yang bertujuan jelas telah tercantum
dalam anggaran dasarnya yang berbunyi: “menegakkan dan menjujung
tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-
benarnya”. Sejak berdirinya Muhammadiyah tahun 1912 hingga tahun
2013 Muhammadiyah sudah melawati se-abad. Didalam perjalanannya
Muhammadiyah telah memberikan konstribusi dan prestasi. Menurut Drs.
Zamah Sari dalam artikelnya terdapat 3 hal yang menandai konstribusi dan
prestasi Muhammadiyah yakni:
1. Keberhasilan Muhammadiyah dalam mewarnai paham Islam modern
dan berkemajuan di Indonesia.
2. Kemampuanya dalam mengembangkan jaringan organisasi moderen
yang meliputi seluruh wilayah Indonesia.
3. Amal usaha dibidang pendidikan, kesehatan, sosial dan ekonomi dengan
jumlah terbesar di Indonesia, bahkan di dunia.

3.3 Sejarah Berdirinya Muhammadiyah

Muhammadiyah sejak pendiriannya memang didedikasikan untuk


dunia pendidikan dan kesehatan. Dalam sebuah film yang berjudul Sang

13
Pencerah yang mengungkapkan sosok pahlawan nasional itu dari sisi yang
tidak banyak diketahui publik. Selain mendirikan organisasi Islam
Muhammadiyah, lelaki tegas pendirian itu juga dimunculkan sebagai
pembaharu Islam di Indonesia. Beliau memperkenalkan wajah Islam yang
modern, terbuka, serta rasional. Muhammad Darwis (nama KH Ahmad
Dahlan, sebelum ke Mekkah) selalu bertanya di dalam hatinya. Mengapa
agama yang diyakininya sebagai rahmatan lilalamin (rahmat atau kebaikan
bagi seluruh alam) justru tidak nampak.
Secara fakta banyak sekali masyarakat yang terlantar dan seakan-akan
dibiarkan oleh para pemuka agama. Orang-orang miskin dibiarkan melarat
seakan sudah menjadi takdir mereka, nyata-nyata di hadapan masjid.
Kesehatan masyarakat sangat rapuh. Tidak ada yang tergerak hatinya
untuk memperbaiki hidup dan kehidupan mereka.
Para pemuka agama dan pengikutnya tidak terusik dan sibuk dengan
ritual keagamaan. Setiap hari mereka sholat berjamaah, sementara
masyarakat miskin di sekitar masjid sudah kehilangan harapan hidup.
Situasi demikian kontras, dan dari hari ke hari semakin banyak jumlah.
Pemahaman agama juga bercampur aduk dengan kepercayaan mistik
berlebih-lebihan. Sesajen berbagai jenis makanan terbuang begitu saja.
Sangat mubah. Upacara tahlilan sangat berlebihan. Bahkan mereka yang
sudah kehilangan saudaranya juga harus melaksanakan tahlilan yang
overdosis, membuat masyarakat menjadi sedih lahir dan batin.
Masyarakat menganggap bahwa tahlilan adalah kewajiban agama.
Darwis merasa yakin bahwa ini bukan esensi beragama. Pasti ada
kesalahan pemahaman terhadap agama yang sebenarnya untuk rahmatan
lilalamin. Bila sebuah kebiasaan lalu dibungkus dengan kepercayaan
sebagai sesuatu yang sakral, maka kebiasaan itu dianggap sebuah
kebenaran. Keluar dari kebiasaan itu berarti pelanggaran.

14
Orang lain akan menganggap mereka yang tidak sama kebiasaannya
bukanlah kelompoknya, bukan orang-orang beriman alias kafir. Situasi ini
dimanfaatkan oleh penguasa (penjajah), bila menguntungkan maka akan
diteruskan dan dilindungi seolah-olah inilah ajaran Tuhan yang wajib
ditaati. Bila kebiasaan ini mengusik kenikmatan atasan (pemimpin umat,
pemerintah, penjajah) maka itu harus dimusnahkan. Keadaan bercampur
aduk dengan pimpinan agama yang vested dan mudah memberi cap kafir
bagi mereka yang tidak sepaham. Itulah secara umum yang terjadi di
sekitar Ngayogyakarta pada saat itu.
Cap kafir ini sangat mujarab sehingga orang tidak ada yang
mempertanyakan kekeliruan ini terus terjadi. Para pengikut agama yakin
seyakin yakinnya bahwa perilaku kafir adalah sebesar-besarnya dosa.
Maka harus dijauhi. Tetapi mereka banyak yang tidak paham makna iman,
musyrik, mistik, sholat, ibadah, kafir, dan sesajen campur baur menjadi
kepercayaan seakan kebenaran ajaran yang wajib ditaati. Tanpa reserve.
Ketika Darwis membahas semua itu dengan ayahandanya, sang ayah
tidak sepenuhnya menerima. Dikatakannya bahwa agama itu bukan soal
akal saja, tetapi juga harus dengan hati. Hati yang sudah dilumuti
kesenangan duniawi, kedudukan, kepangkatan, kewibawaan, tentunya akan
memelihara kebiasaan yang dibungkus dengan kepercayaan yang seolah-
olah agung. Tidak jarang hati seperti ini justru telah mengikat kita dengan
ketamakan duniawi. Kita tidak lagi menjadi bebas, tetapi terperdaya oleh
hawa nafsu.
Muhammad Darwis tetap tidak bisa menerima situasi demikian.
Tetapi bagaimana caranya? Inilah yang menjadi esensi perjuangannya.
Darwis lalu pergi menunaikan ibadah haji ke Mekah al Mukaramah. Di
sanalah Darwis sempat membaca pemikiran-pemikiran Jamaluddin Al-
Afghani dan Muhammad Abduh. Muhammad Abduh (1849-1905) pemikir
modern dari Mesir yang menekankan betapa pentingya akal. Seperti yang

15
dituangkan di dalam surah al-Baqarah (30-34) tentang kejadian manusia,
jelas sekali bahwa kelebihan manusia di atas makhluk hidup lainnya adalah
karena kekuatan akalnya. Akal fikiran itulah yang membuat manusia layak
menjadi khalifatul-fil-ardli (pemimpin di muka bumi).
Abduh mengajarkan bahwa manusia diberikan anugerah intelegensia
oleh Allah, untuk dipergunakan. Manusia bukanlah kerbau yang ditusuk
hidungnya lalu mengekor ke mana saja maunya pimpinan. Abduh
berprinsip bahwa kebebasan berpikir untuk selalu bertanya dan berinovasi
adalah modal kemajuan sebuah negara. Negara maju, menurut Abduh,
adalah negara yang pandai menggunakan otaknya.
Dengan demikian, ilmu pengetahuan terus berkembang sesuai dengan
kemajuan zaman. Itulah kelebihan orang Barat ketimbang Timur. Dalam
konteks ini barangkali Abduh berpendapat "saya melihat Islam di negara
Barat, tetapi sedikit Muslim. Dan saya melihat banyak Muslim di Timur,
tetapi tidak ada Islam". Abduh juga dikenal dekat dengan tokoh-tokoh dari
kalangan Nasrani dan Yahudi. Rupanya pemikiran Abduh sejalan dengan
apa yang dipikirkan Darwis. Tidak heran kalau Darwis sering berpendapat
bahwa guru agama bukanlah yang menentukan segalanya. Kebenaran
harus bersama-sama dicari, bukan hanya milik guru.
Pola pendidikan ini tentu sangat berbeda diametral dengan yang
selama ini dianggap kebenaran di Ngayogyakarta, yakni petuah guru
adalah kebenaran. Murid hanya boleh mengikuti, tanpa ada bantahan
sedikitpun. Seperti kebiasaan masa itu, orang Indonesia yang pergi berhaji,
lalu mendapat nama baru. Begitupun Darwis, namanya jadi Ahmad
Dahlan. Dengan bekal nalar yang kuat ditambah pengetahuan agama yang
semakin banyak selama di Makkah al-Mukaramah, K.H. Ahmad Dahlan
semakin memiliki modal untuk melakukan perubahan.
Sepulang dari Mekah, Ahmad Dahlan dijadikan Imam Masjid di
Kauman dan berhak memberikan tausiah. Ceramah-ceramahnya agak

16
berbeda dengan para kiai umumnya waktu itu yang sangat menekankan
penerimaan tanpa banyak bertanya, Ahmad Dahlan justru menekankan
betapa pentingnya akal. Bertanya dan diskusi adalah modal awal untuk
maju. Ahmad Dahlan juga mengajarkan bahwa Al-Qur'an dapat dikaji
sesuai dengan nuansa ke kinian, tidak statis tapi dinamis. Tentu saja
tausiah model ini cukup membuat para kiai saat itu merinding, karena
sudah keluar dari pakem.
Dengan bekal pengetahuannya tentang ilmu bumi dan penggunaan
kompas Ahmad Dahlan mempertanyakan arah sholat yang sudah
bertahun-tahun diterima sebagai suatu kebenaran. Inipun membuat hampir
semua jamaah terutama para kyainya tersinggung. Mereka tidak mau
menerima penjelasan berbasis ilmu pengetahuan yang dipakai Ahmad
Dahlan.
Ahmad Dahlan berpendapat bahwa penggunaan alat dan ilmu
pengetahuan adalah bagian dari proses modernisasi. Akan tetapi tidak
semudah membalikkan tangan untuk meyakinkan mereka yang sudah larut
dengan kebiasaan-kebiasaan yang telah mengakar. Kala itu modernisasi
bahkan bisa dicap sebagai langkah menuju ke kafir atau meniadakan
Tuhan. Modernisasi lebih berat dari tabu! Harus dijauhi..
Karena perbedaan yang dianggap prinsipil, maka Ahmad Dahlan
diberhentikan dari jabatan Imam masjid. Dan Ahmad Dahlan membuat
masjid kecil sekalian dipergunakan untuk belajar mereka yang mulai
berpikir terbuka. Para muridnya memanggil Kyai, lengkapnya KH. Ahmad
Dahlan. Pola pengajiannya sangat berbeda dengan kebiasaan saat itu.
Ketika ada beberapa orang muda tertarik dengan pemikiran Ahmad Dahlan
bertanya apa itu agama. Ahmad Dahlan memainkan biolanya yang
membuat orang-orang muda menjadi tenang mendengar kesyahduannya.
Lalu biola itu diberikan kepada salah seorang pemuda dan diminta

17
memainkannya. Keruan saja suaranya menjadi berantakan, karena pemuda
itu tidak punya ilmu dan keahlian memainkan biola.
Seusai itu Ahmad Dahlan menerangkan makna agama ‘Agama
bagaikan musik indah yang mampu memberikan kesyahduan, ketenangan,
dan kebahagiaan. Tetapi harus dilakukan dengan ilmu pengetahuan, kalau
tidak malah bisa menjadi kacau dan jadi bahan tertawaan’. Perjuangannya
semakin mendapat tantangan dan tidak jarang Ahmad Dahlan
dikategorikan orang kafir. Akan tetapi Ahmad Dahlan semakin "keukeuh"
bahwa perubahan harus dilakukan. Maka Ahmad Dahlan mempelajari
organisasi-organisasi modern yang mengajak pada perubahan, terutama
Budi Utomo. Dari situlah muncul inspirasi pendirian Muhammadiyah.
Maka dari itu, lahirlah Muhammadiyah pada tanggal 18 Nopember 1912,
sebagai perserikatan non-politik.
Berbasis perjuangan melalui pendidikan dan kesehatan
Muhammadiyah terus berkembang secara kuantitatif. Secara kualitatif,
Muhammadiyah harus mulai introspeksi, karena tantangan zamannya juga
semakin kompleks. Tanpa harus berubah menjadi sebuah partai,
Muhammadiyah bisa dengan tegar memberikan masukan kepada
penyelenggara negara. Yang jelas, titipan KH. Ahmad Dahlan harus terus
dipegang "hidupilah Muhammadiyah, tetapi jangan mencari penghidupan
dari Muhammadiyah". 

3.3 Realitas Sosio-Agama di Indonesia

Pengaruh agama Hindu dan Budha terhadap masyarakat Indonesia


sangat kental, khususnya masyarakat Jawa karena tempat berdirinya
Muhammadiyah. Dengan kekuatan politiknya, Hindu telah menanamkan
akar-akar kebudayaannya ke dalam masyarakat Jawa. Corak Islam yang
awalnya murni tersebut mengalami akulturasi dengan kebudayaan Jawa
18
dan sinkretisasi dengan kepercayaan pra-Islam atau Hindu. Tradisi Hindu
tidak dikikis habis, padahal dalam beberapa hal tradisi tersebut
bertentangan dengan paham monoteisme yang dibawa Islam. Kondisi
masyarakat yang masih sangat kental dengan kebudayaan Hindu dan
Budha itulah, memunculkan kepercayaan dan praktik ibadah yang
menyimpang dari Islam. Kepercayaan dan praktik ibadah tersebut dikenal
dengan istilah bid’ah dan Khurafat. Bid’ah adalah bentuk ibadah yang
dilakukan tanpa dasar pedoman yang jelas, melainkan hanya ikut-ikutan
orang tua atau nenek moyang saja. Sedangkan Khurafat adalah
kepercayaan tanpa pedoman yang sah menurut Al-Qur’an dan Hadits,
hanya ikut-ikutan orang tua atau nenek moyang mereka.

Mengenai realitas sosio-agama di Indonesia ini dalam pandangan


Ahmad Dahlan, Islam dipandang sebagai agama maupun Islam sebagai
tradisi pemikiran yang terjadi di Indonesia dikatakan macet total.

Islam sebagai agama, ajaran-ajarannya banyak yang dipengaruhi oleh


budaya lokal yang sebelumnya memang telah berkembang di Indonesia.
Banyak terdapat praktik-praktik keagamaan yang tidak lagi didasarkan
pada sumber utama Islam, yakni Al-Qur’an dan Sunnah Maqbulah. Akibat
dari kondisi demikian, muncul pengamalan ajaran Islam yang takhayyul,
bid’ah, dan khurafat.

Islam sebagai agama di Indonesia menurut Ahmad Dahlan tidak


mampu membawa dan mendorong umat Islam menjadi masyarakat yang
maju, dinamis, dan modern. Padahal, bila ditinjau dari konteks sejarah,
Islam mampu mengantarkan umatnya menuju masyarakat dengan
peradaban kelas tinggi. Realitas Islam sebagai agama dan Islam sebagai
tradisi pemikiran di Indonesia yang mengalami kemacetan diatas ikut
mempengaruhi latar belakang kelahiran Muhammadiyah. Karena itu,

19
telaah realitas sosio-agama Islam di Indonesia dibutuhkan untuk dapat
menjelaskan tentang maksud Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah.

Realitas sosio-agama yang dipraktikkan masyarakat inilah yang


kemudian mendorong Ahmad Dahlan untuk mendirikan Muhammadiyah.
Namun, gerakan pemurniannya dalam arti pemurnian ajaran Islam dari
takhayyul, bid’ah, dan khurafat baru dilakukan pada tahun 1916, empat
tahun setelah Muhammadiyah berdiri, saat Muhammadiyah mulai
berkembang ke luar kota Yogyakarta. Dalam konteks sosio-agama ini,
Muhammadiyah merupakan gerakan pemurnian yang menginginkan
pembersihan Islam dari semua sinkretisme dan praktik ibadah yang
terlebih tanpa dasar ajaran Islam (Takhayyul, Bid’ah, Khurafat).

A.Rifa’I seperti yang dikutip Majlis Pustaka (19993: 13-14)


menyimpulkan bahwa pengamalan Islam yang dilakukan oleh orang Jawa
kebanyakan menyimpang dari ajaran akidah Islamiyyah dan perlu
diluruskan. Akibat dari praktik inilah, ajaran Islam tidak lagi murni dan
tidak berfungsi sebagaimana mestinya, sehingga tidak memberikan
manfaat kepada para pemeluknya.

Sedangkan jika ditinjau dari film “Sang Pencerah” ini, terdapat


beberapa aspek yang berkaitan dengan struktur sosial. Diantaranya,
kaidah-kaidah sosial yang meliputi kaidah agama (berhubungan dengan
aturan dari Tuhan) seperti kegiatan mengaji, yasinan, tahlil yang dilakukan
oleh masyarakat Kauman. Kaidah kesusilaan (berkaitan dengan adab)
seperti yang dilakukan oleh Kyai Ahmad Dahlan mendirikan sekolahan
untuk membantu anak yang kurang mampu di Kauman. Kaidah kesopanan
(berhubungan dengan tingkah laku) seperti yang dilakukan oleh
masyarakat Kauman ketika berpapasan selalu mengucapkan salam dan

20
menundukkan kepala kepada orang yang lebih tua dan lebih tinggi
jabatannya.

3.4 Realitas Sosio-Politik di Indonesia

Muhammadiyah dilahirkan bukan sebagai organisasi politik.


Namun karena dominasi perspektif di Muhammadiyah yang menganggap
Islam sebagai agama dan juga Negara, maka praktis sejak kelahirannya
hingga saat ini Muhammadiyah tak mampu melepas sepenuhnya dalam
relasinya dengan politik. Dalam relasinya dengan politik, Muhammadiyah
selalu mengalami pasang surut, yang dapat ditilik dari sejarah perjalanan
panjang Muhammadiyah sejak lahir pada tahun 1912 hingga saat ini.
Adakalanya mencoba untuk menjauh dari kekuasaan dengan berusaha
menjaga jarak yang sama, namun adakalanya berusaha mendekat dengan
berusaha menjaga kedekatan yang sama dengan semua kekuatan politik
yang ada.

Menyikapi realitas ini, menuntut Muhammadiyah untuk bersikap.


Kelahiran Muhammadiyah juga dipengaruhi oleh faktor internal terkait
dengan ketakmurnian ajaran Islam, yang masih tercampur tradisi Hindu,
Budha, anismisme dan dinamisme. Penyebab posisi Muhammadiyah yang
selalu bersinggungan dengan politik, bisa karena mencoba menghimpitkan
diri dengan politik atau juga sebaliknya, karena realitas politik yang kerap
memaksa dan menuntut Muhammadiyah harus menghimpitkan diri dengan
politik. Inilah yang menyebabkan Muhammadiyah selalu saja tidak bisa
lepas dari politik. Posisi politik seperti ini, kerap memunculkan dilema
bagi Muhammadiyah. Sehingga, relasi Muhammadiyah dan politik pun
kerap berlangsung tidak ajeg dan penuh dinamika. Terkadang relasi yang
dibangunnya mencoba menjaga jarak (keep close) yang sama dengan
semua kekuatan politik yang ada, namun ada kalanya pula mencoba
menjaga kedekatan yang sama (keep distance) dengan semua kekuatan
politik yang ada. Bahkan pada periode 1947-1959, Muhammadiyah pernah
menjadi bagian yang tak terpisahkan dan menempati posisi yang cukup
penting dalam Partai Masyumi.

Muhammadiyah tegas menyebut diri bukan sebagai organisasi


politik. Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa guratan-guratan wajah
politik Muhammadiyah tampak begitu nyata. Secara politik,
Muhammadiyah juga sempat mengalami masa-masa sulit. Pada awal 1960-
an, ketika ada upaya dari sebagian warga Muhammadiyah yang hendak
menjadikan Muhammadiyah sebagai partai politik, namun upaya tersebut
dapat digagalkan oleh mainstream warga Muhammadiyah yang menolak

21
upaya tersebut. Muhammadiyah sebagai organisasi memilih dan
menempatkan diri sebagai “Gerakan Islam dan Amar Makruf Nahi Munkar
dalam bidang masyarakat”. Sedang untuk alat perjuangan dalam bidang
politik kenegaraan (politik praktis), Muhammadiyah membentuk satu
partai di luar organisasi Muhammadiyah. Muhammadiyah harus menyadari
bahwa partai tersebut adalah merupakan obyeknya dan wajib membinanya.
Antara Muhammadiyah dan partai tidak ada hubungan organisatoris, tetapi
tetap mempunyai hubungan ideologis. Masing-masing berdiri dan berjalan
sendiri-sendiri, tetapi dengan saling pengertian dan menuju tujuan yang
satu. Pada prinsipnya tidak dibenarkan adanya perangkapan jabatan,
terutama jabatan pimpinan antara keduanya, demi tertibnya pembagian
pekerjaan.

3.5 Realitas Sosio-Pendidikan di Indonesia

Pada dasarnya pendidikan adalah ilmu pengetahuan yang tidak lepas


kaitannya dengan manusia, pendidikan merupakan sarana untuk
menemukan jati diri serta memahami situasi yang terjadi, baik yang
dialami diri sendiri maupun orang lain sebagai tahap menuju kematangan
dan kedewasaan yang sempurna. Apakah itu dari segi kecerdasan,
emosional, spiritual, sikap dan lain-lain. Pendidikan adalah salah satu hal
terpenting bagi suatu negara karena melalui pendidikan negara dapat
membantu mensejahterakan rakyatnya. Pendidikan merupakan proses
mengubah sikap dan perilaku seseorang atau kelompok, pendidikan
membantu mengubah pola pikir kita menjadi lebih kritis, inovatif dan
kreatif. Salah satunya sebagai tahap menuju kedewasaan melalui
pengajaran, pelatihan dan pengembangan.

Dalam proses pendidikan sebagai bentuk dalam memanusiakan


manusia, setiap individu berada dalam lingkup hidup manusiawi
sebagaimana mestinya dan berdasarkan budinya menciptakan kebudayaan
baru yang memajukan ilmu pengetahuan. Pendidikan lebih berorientasi
kepada dua sisi yaitu pendidik dan peserta didik, dalam pendidikan

22
terdapat tiga aspek penting yaitu aspek kognitif atau berpikir, aspek gerak
atau psikomotorik dan aspek afektif atau merasa, misalnya saat kita
mempelajari sesuatu maka itu bukan hanya sekedar berpikir tetapi ada
unsur-unsur lain yang berkaitan seperti dengan mengekspresikan rasa suka,
tertarik, semangat dan lainnya.

Pendidikan secara umum bertujuan membantu manusia menemukan


hakekat kemanusiaannya, maksudnya pendidikan harus mampu
mewujudkan manusia seutuhnya, melalui pendidikan dapat dilakukan
penyadaran terhadap manusia atau individu untuk mengenal, mengerti dan
memahami realitas kehidupan dan lingkungannya. Pendidikan merupakan
proses memanusiakan manusia baik dalam bentuk formal maupun
informal, pendidikan dalam bentuk formal adalah pengajaran yaitu proses
transfer pengetahuan atau usaha mengembangkan potensi intelektualitas
dalam diri manusia, namun pengetahuan dan intelektualitas tersebut belum
sepenuhnya mewakili manusia. Oleh karena itu pendidikan bukan sekedar
transfer ilmu saja tetapi juga mampu mengetahui dan memahami potensi
dalam diri manusia itu sendiri. Proses memanusiakan manusia berujung
pada pembebasan dalam mengekspresikan kemampuan dan kreativitas
dalam diri. Melihat bahwa pendidikan merupakan proses menuju
kematangan hidup, individu yang belajar bukan hanya mengetahui ilmu
pengetahuan tetapi juga cara bersikap, bertindak, beradaptasi serta
mengembangkan kematangan dalam kepribadiannya.

Lalu bagaimana seharusnya pendidikan itu berjalan? Pendidikan yang


seharusnya dapat dirasakan semua warga negara tanpa terkecuali namun
pada kenyataannya masih ada beberapa anak yang belum bisa merasakan
bagaimana proses pendidikan itu, kita tahu bahwa kesenjangan sosial
antara masyarakat juga terjadi dalam dunia pendidikan, anak-anak yang
berasal dari golongan atas lebih mudah mengakses dan mendapatkan
23
fasilitas sekolah bahkan tidak jarang bahwa yang kaya lah yang
diprioritaskan dan yang berasal dari golongan rendah hanya dapat
menerima dan mengikuti alur pendidikan. Fenomena tersebut dapat
menjadi refleksi kita bahwa, seharusnya pemerintah mampu membangun
kesadaran bahwa pendidikan adalah hak setiap individu tanpa memandang
status apapun.

Pendidikan yang bersifat universal seharusnya mampu dinikmati oleh


semua orang mencakup seluruh lapisan sosial masyarakat, bukan hanya
mereka yang berada pada golongan atas dan memiliki modal besar saja
atau hanya untuk yang memiliki pangkat tinggi, tetapi siapapun dan dari
manapun semua individu berhak mendapatkan pendidikan dengan fasilitas
yang sama. Pendidikan ada sebagai cara untuk mensejahterakan rakyat
tetapi dalam pelaksanaannya masih saja kita melihat bahwa yang lebih
tinggi, yang lebih berkecukupan yang diprioritaskan dan berhak
mendapatkan fasilitas seperti ruang kelas dan buku pelajaran yang lebih
bagus. Ini tentunya menjadi tidak adil dan menggeser orang-orang yang
memang lebih unggul dalam intelektual, lebih memiliki niat dan semangat
untuk mendapatkan pendidikan tetapi tidak berasal dari golongan atas atau
biasa saja.

Fenomena ini mengurangi kesempatan kepada individu yang lebih


membutuhkan, sebagai contoh sebenarnya Si A dapat masuk ke sekolah
favorit yang ia inginkan tetapi dengan ketidaktahuannya ia terpaksa tidak
dapat masuk ke sekolah tersebut karena posisinya tergeser oleh orang-
orang atas yang mengandalkan kekuasaannya, apa yang terjadi? Si A
hanya bisa mengalah dan mengikuti alur saja tanpa bisa melawan, ini
membuat sistem pendidikan menjadi kapitalis dimana yang memiliki uang
banyak adalah yang mampu mengenyam pendidikan dengan kualitas baik
berbeda dengan orang-orang yang berasal dari golongan rendah yang
24
hanya mendapatkan pendidikan ala kadarnya atau bahkan tidak
mendapatkan pendidikan sama sekali. Praktek ini tentunya bertentangan
dengan prinsip pendidikan yang seharusnya benar-benar memanusiakan
manusia dan bersifat menyeluruh. Realita dunia pendidikan yang
seharusnya menjadi penyejuk dan pelepas dahaga atas keingintahuan
terhadap ilmu, tetapi pendidikan malah menjadi salah satu problematika
bangsa yang cukup membuat meringis orang yang merasakannya.

Dunia pendidikan memang semakin maju dan tidak bisa dipungkiri


banyak upaya-upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas
pendidikan tetapi itu semua masih belum merata, kondisi pendidikan
zaman now tidak hanya menyentuh sisi kemanusiaan tetapi juga menjadi
tamparan keras, banyak kita menemui anak yang tidak bersekolah tetapi
yang lebih menyedihkan mereka malah menjadi pengamen atau bekerja di
jalanan bahkan terpaksa putus sekolah.

Fenomena-fenomena tersebut mewarnai dunia pendidikan di


Indonesia yang semakin menunjukkan adanya kesenjangan sosial antara
golongan atas dan golongan rendah yang tidak sesuai dengan pasal 5 ayat
(1) UU SISDIKNAS No 20 tahun 2003 yang mengatakan, “Setiap warga
negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang
bermutu.” Namun kenyataannya proses tersebut terhalang oleh peraturan
yang tidak sampai kepada masyarakat dan tenaga pendidik atau tenaga
pendidik yang acuh tak acuh akan peraturan dan realita yang ada. Realita
dalam pendidikan lainnya yaitu masyarakat yang masih saja kurang peduli
tentang apa yang anak-anak mereka pelajari, mereka berpikir apabila
anaknya telah melakukan studi maka mereka akan mendapatkan sertifikat
atau biasa kita sebut dengan ijazah, yang notabene sertifikat itu dianggap
sebagai alat utama dalam mencari pekerjaan yang diharapkan dapat
membantu memperbaiki kehidupannya di masa depan. Sertifikasi tersebut
25
dianggap sebagai hasil nyata dari proses pendidikan padahal pendidikan
bukan hanya sekedar untuk mendapatkan ijazah saja, tetapi bagaimana
individu dapat memaknai dan memahami setiap hal yang diperoleh dalam
proses pendidikan, bagaimana individu belajar untuk memahami realitas
kehidupan dan beradaptasi, bagaimana mereka nantinya akan
mengaplikasikan ilmu-ilmu yang mereka peroleh untuk kehidupannya di
masa depan.

Anggapan-anggapan tersebut menjadikan sistem pendidikan


melenceng dari tujuannya yaitu untuk memanusiakan manusia. Pendidikan
tidak hanya sebagai suatu rutinitas, tetapi juga pendidikan yang
operasional, mengacu pada prosesnya. Rata-rata orang tua memiliki pola
pikir yang salah, sebagian besar orang tua memandang pendidikan hanya
dilakukan di sekolah dan diserahkan sepenuhnya kepada pihak sekolah,
dalam hal ini guru yang mengajar. Orang tua kurang menyadari bahwa
proses pendidikan tidak hanya dimaknai dengan proses belajar di sekolah
saja dengan beragam materi pelajaran, melainkan proses mendidik dapat
terjadi di mana saja dan dilakukan oleh orang dewasa. Pendidikan dalam
hal ini mendidik, berorientasi kepada penanaman nilai dan pemahaman
norma sosial kepada anak didik, bukan semata proses menyalurkan
pengetahuan kognitif.

Selain masalah kesenjangan sosial dan anggapan pendidikan untuk


mengejar sertifikasi, apa yang guru ajarkan hanya pada kisaran format 4
ditambah 4 sama dengan 8, Indonesia adalah negara kepulauan dan belajar
untuk menjadi pintar, kemudian siswa hanya mencatat, menghafal dan
mengulangi kata-kata guru tanpa memahami maksud atau makna dari apa
yang disampaikan oleh guru tanpa mengetahui maksud sebenarnya dari
belajar itu membuat pintar, bagaimana mereka memaknai kata “belajar” itu
sebagai proses menuju kematangan intelektual.
26
Pelaksanaannya guru menyampaikan materi sedangkan siswa sebagai
subjek yang tidak berdaya, guru menjadi orang yang paling tahu dalam
proses pendidikan dan tidak dapat dikritik oleh siswanya, tetapi siswa
menjadI individu yang harus selalu siap untuk diisi dengan hal-hal atau
materi tanpa boleh menolak apa yang disampaikan guru, tetapi guru berhak
mendapatkan keuntungan berupa gaji atau sejenisnya karena telah
melaksanakan tugasnya.

Pembelajaran atau kinerja guru ini membuat siswa menjadi objek


yang pasif, cara guru dalam melaksanakan pembelajaran mempengaruhi
tindakan siswa sendiri dalam menjalani proses pendidikan. Pengajaran
guru sangat mempengaruhi keberhasilan dalam proses pendidikan, model
pembelajaran pasif menghambat kreativitas dan pengembangan potensi
peserta didik. Siswa seharusnya ditempatkan sebagai pusat dari aktivitas
pendidikan dan pembelajaran dengan guru sebagai pendidik menjadi
fasilitator dan pembimbing yang siap dalam membantu individu dalam
proses belajarnya.

Realita yang terjadi menunjukkan bahwa pendidikan mulai


kehilangan fungsi utamanya yaitu dalam membentuk manusia yang
seutuhnya dan lebih mengambil keuntungan dari proses pendidikan tanpa
memperhatikan kualitas dari output (peserta didik) yang dihasilkan.
Pendidikan bukanlah semata-mata pembelajaran namun pendidikan
berkaitan dengan seluruh aspek kehidupan manusia dalam masyarakat.
Pendidikan bukan hanya menghafal tetapi yang lebih penting adalah
menjadikannya sebagai manusia, karena pendidikan merupakan proses
dalam memanusiakan manusia. Pendidikan juga merupakan proses
humanisasi dalam kehidupan keluarga, masyarakat, sosial dan budaya.
Maka dari itu, proses pendidikan haruslah berjalan sesuai dengan
tujuannya, walaupun dalam pelaksanaannya masih ada hal-hal yang tidak
27
sesuai. Untuk mengatasinya perlu dilakukannya evaluasi serta perbaikan
dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, perrmasalahan
tersebut dapat diselesaikan dengan kerja sama antara semua pihak yaitu
orang tua, masyarakat, guru, sekolah dan pemerintah. Interkoneksi dan
integrasi yang kuat antara pihak-pihak tersebut dapat menciptakan
pendidikan yang ideal dan menyeluruh.

28
BAB III

PENUTUP

4.1Kesimpulan

Muhammadiyah adalah salah satu organisasi Islam besar di Indonesia.


Nama Organisasi ini diambil dari nama Nabi Muhammad SW., sehingga
Muhammadiyah juga dapat dikenal sebagai orang-orang yang menjadi
pengikut Nabi Muhammad SW. Muhammadiyah didirikan di kampung
Kauman Yogyakarta, pada tanggal 8 dzulhijjah 1330 H/18 November
1912 oleh seorang yang bernama Muhammad Darwis, kemudian dikenal
dengan K.H. Ahmad Dahlan. Beliau adalah pegawai kesultanan Kraton
Yogyakarta sebagai seorang khatib dan sebagai pedagang. Melihat
keadaan ummat Islam pada waktu itu dalam keadaan juud, beku dan
penuh dengan amalan-amalan yang bersifat mistik, beliau tergerak
hatinya untuk mengajak mereka kembali kepada ajaran Islam yang
sebenarnya berdasarkan al-Qur’an dan Hadist. Latar belakang lahirnya
Muhammadiyah diklasifikasikan menjadi empat yaitu aspirasi Islam
Ahmad Dahlan, realitas sosial-agama di Indonesia, realitas sosio-
pendidikan, dan realitas politik Islam Hindia Belanda.

4.2Saran

29
DAFTAR PUSTAKA

Anwar, M. Khairul, Makalah Latar Belakang Berdirinya Muhammadiyah.

Malang. 2016.

Al-Barbasy, Ma’mun Murod, Sejarah Berdirinya Partai Matahari Bangsa,

Jakarta: PP PMB-Al-Wasat, 2008.

Salam, Junus, KH. A. Dahlan, Amal, dan Perjuangannya, Jakarta: Depot

Pengajaran Muhammadiyah, 1968.

Syaifullah, Gerak Politik Muhammadiyah dalam Masyumi, Jakarta: Grafiti,

1997.

30

Anda mungkin juga menyukai