DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 4
DOSEN PEMBIMBING:
Ainun Nadlif, S.Ag. M.Pd.I
KELAS 3A2
Program Studi Pendidikan Agama Islam
Fakultas Agama Islam
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SIDOARJO
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT. yang telah memberi rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang
berjudul “Sejarah Berdirinya Muhammadiyah” ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
dosen pada mata kuliah Kemuhammadiyahan. Selain itu, makalah ini juga
bertujuan untuk menambah wawasan tentang sejarah lahirnya
Muhammadiyah, latar belakang hingga perkembangan Muhammadiyah
ditinjau dari film Sang Pencerah bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Kami mengucapkan terima kasih kepada bapak Ainun Nadlif, S.Ag.
M.Pd.I yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah
pengetahuan dan wawasan sesuai dengan program studi yang kami tekuni.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
memberikan sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini.
Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami
nantikan demi kesempurnaan makalah ini.
Penulis
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………………………………………………………..….i
DAFTAR ISI...………………………………………………………………….ii
BAB I PENDAHULUAN
BAB IV PENUTUP
4.1. Kesimpulan………………………………………………………......26
4.2. Saran…….…………………………………………………………...26
3
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
4
1.3. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui latar belakang berdirinya Muhammadiyah.
2. Mengetahui sejarah lahirnya Muhammadiyah.
3. Mengetahui realitas Sosio-Agama di Indonesia.
4. Mengetahui realitas Sosio-Politik di Indonesia.
5. Mengetahui realitas Sosio-Pendidikan di Indonesia.
5
BAB II
METODOLOGI PENELITIAN
6
2.3 Teknik Analisis Data
2
Moleong, Lexy J, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010), hal : 103
7
persamaan, atau perbedaan untuk ditarik kesimpulan sebagai jawaban
dari permasalahan yang ada.
8
BAB III
PEMBAHASAN
9
Keterbelakangan umat Islam dalam dunia pendidikan menjadi sumber
utama keterbelakangan dalam peradaban. Pesantren tidak bisa selamanya
dianggap menjadi sumber lahirnya generasi baru muda islam yang berpikir
modern. Kesejahteraan umat Islam akan tetap berada dibawah garis
kemiskinan jika kebodohan masih melingkupi umat Islam Indonesia.
Maraknya kristenisasi di Indonesia sebagai efek domino dari
imperalisme Eropa ke dunia timur yang mayoritas beragama
Islam. Imperialisme Eropa tidak hanya membonceng gerilya gerejawan
dan para penginjil untuk menyampaikan ‘ajaran jesus’ untuk menyapa
umat manusia diseluruh dunia untuk mau ‘mengikuti’ ajaran jesus. Tetapi
juga membawa angin modernisasi yang sedang melanda Eropa.
Modernisasi yang terhembus melalui model pendidikan barat (Belanda) di
Indonesia mengusung paham-paham yang melahirkan modernisasi Eropa,
seperti sekularisme, individualisme, liberalisme dan rasionalisme. Jika
penetrasi itu tidak dihentikan maka akan terlahir generasi baru Islam yang
rasional tetapi liberal dan sekuler.
3.2 Faktor-Faktor yang Melatarbelakangi Berdirinya Organisasi
Muhammadiyah
10
umumnya belum dapat dikatakan sebagai sikap beragama yang rasional,
sirik, taklid, dan bid’ah masih menyelubungi kehidupan umat Islam,
terutama dalam lingkungan Kraton, dimana kebudayaan Hindu telah
jauh tertanam. Seikap beragama yang demikian bukanlah terbentuk
secara tiba-tiba pada abad sebelumnya. Seperti diketahui proses
islamisasi di Indonesia sangat diperngaruhi oleh dua hal, yaitu
Tasawuf/Tarekat dan mahdzab fikih, dan dalam proses tersebut para
pedagang dan kaum sufi memegang peranan yang sangat penting.
Melalui merekalah Islam dapat menjangkau daerah-daerah hampir
diseluruh nusantara ini.
2. Faktor Eksternal
Faktor ini disebabkan oleh politik penjajahan kolonial Belanda.
Faktor tersebut antara lain tampak dalam sistem pendidikan kolonial
serta usaha kearah westernisasi dan kristenisasi.
Pendidikan kolonial dikelola oleh pemerintah kolonial untuk anak-
anak bumi putra, ataupun yang diserahkan pada misi and zending
Kristen dengan bantuan finansial dari pemerintah Belanda. Pendidikan
demikian pada awwal abad 20 telah menyebar di beberapa kota, sejak
dari pendidikan dasar sampai atas, yang terdiri dari lembaga pendidikan
guru dan sekolah kejuruan. Adanya lembaga pendidikan kolonial
terdapatlah pua dua macam pendidikan kolonial. Kedua jenis pendidikan
ini dibedakan, bukan hanya dari segi tujuan yang ingin dicapai, namun
juga dari kurikulumnya.
Pendidikan kolonial melarang masuknya pelajaran agama dalam
sekolah-sekolah kolonial, dan dalam artian ini orang menilai pendidikan
kolonial sebagai pendidikan yang bersifat sekuler, disamping sebagai
penyebar kebudayaan barat. Dengan corak pendidikan yang demikian
pemerintah kolonial tidak hanya menginginkan lahirnya golongan
pribumi yang terdidik, tetapi juga berkebudayaan barat. Hal ini
11
merupakan salah satu sisi politik etis yang disebut politik asosiasi yang
pada hakikatnya tidak lain dari usaha westernisasi yang bertujuan
menarik penduduk asli Indonesia ke dalam orbit kebudayaan barat. Dari
lembaga pendidikan ini lahirlah golongan intelektual yang biasanya
memuja barat dan menyudutkan tradisi nenek moyang serta kurang
menghargai Islam, agama yang dianutnya. Hal ini agaknya wajar karena
memang mereka lebih dikenalkan dengan ilmu-ilmu dan kebudayaan
barat yang sekuler tanpa menhimbanginya dengan pendidikan ahgama
konsumsi moral dan jiwanya. Sikap umat yang demikianlah yang
dimaksud sebagai ancaman dan tantangan abad ke-20.
Ada beberapa faktor yang melatar belakangi berdirinya
Muhammadiyah di Indonesia, yang dikemukakan oleh Syaifullah dalam
tesisnya untuk menempuh gelar master menyebutkan 4 faktor
diantaranya adalah :
1. Aspirasi KH Ahmad Dahlan.
Untuk mengetahui hal ini bisa dilihat dalam dua fase. (a).setelah
Ahmad Dahlan menunaikan ibadah haji yang pertama (1889).(b).
setelah menunaikan haji yang kedua (1903).
2. Realitas Sosial Agama di Indonesia.
Munculnya kepercayan dan agama-agama sebelum Islam di Indonesia
menyebabkan proses masuknya Islam melalui akulturasi dan
sinkretisme.
3. Realitas Sosial dan Pendidikan di Indonesia.
Muhammadiyah lahir sebagai penengah antara pendidikan pesantren
dan pendidikan sekelur.
4.Realitas Politik Islam Hindia-Belanda.
Belanda menghadapi kenyataan bahwa sebagian besar pribumi
beragama Islam, sehingga perlawanan penduduk yang timbul, seperti
12
perang Diponegoro, Padri, Aceh dan lain-lain, tidak lepas dari ajaran
Islam.
13
Pencerah yang mengungkapkan sosok pahlawan nasional itu dari sisi yang
tidak banyak diketahui publik. Selain mendirikan organisasi Islam
Muhammadiyah, lelaki tegas pendirian itu juga dimunculkan sebagai
pembaharu Islam di Indonesia. Beliau memperkenalkan wajah Islam yang
modern, terbuka, serta rasional. Muhammad Darwis (nama KH Ahmad
Dahlan, sebelum ke Mekkah) selalu bertanya di dalam hatinya. Mengapa
agama yang diyakininya sebagai rahmatan lilalamin (rahmat atau kebaikan
bagi seluruh alam) justru tidak nampak.
Secara fakta banyak sekali masyarakat yang terlantar dan seakan-akan
dibiarkan oleh para pemuka agama. Orang-orang miskin dibiarkan melarat
seakan sudah menjadi takdir mereka, nyata-nyata di hadapan masjid.
Kesehatan masyarakat sangat rapuh. Tidak ada yang tergerak hatinya
untuk memperbaiki hidup dan kehidupan mereka.
Para pemuka agama dan pengikutnya tidak terusik dan sibuk dengan
ritual keagamaan. Setiap hari mereka sholat berjamaah, sementara
masyarakat miskin di sekitar masjid sudah kehilangan harapan hidup.
Situasi demikian kontras, dan dari hari ke hari semakin banyak jumlah.
Pemahaman agama juga bercampur aduk dengan kepercayaan mistik
berlebih-lebihan. Sesajen berbagai jenis makanan terbuang begitu saja.
Sangat mubah. Upacara tahlilan sangat berlebihan. Bahkan mereka yang
sudah kehilangan saudaranya juga harus melaksanakan tahlilan yang
overdosis, membuat masyarakat menjadi sedih lahir dan batin.
Masyarakat menganggap bahwa tahlilan adalah kewajiban agama.
Darwis merasa yakin bahwa ini bukan esensi beragama. Pasti ada
kesalahan pemahaman terhadap agama yang sebenarnya untuk rahmatan
lilalamin. Bila sebuah kebiasaan lalu dibungkus dengan kepercayaan
sebagai sesuatu yang sakral, maka kebiasaan itu dianggap sebuah
kebenaran. Keluar dari kebiasaan itu berarti pelanggaran.
14
Orang lain akan menganggap mereka yang tidak sama kebiasaannya
bukanlah kelompoknya, bukan orang-orang beriman alias kafir. Situasi ini
dimanfaatkan oleh penguasa (penjajah), bila menguntungkan maka akan
diteruskan dan dilindungi seolah-olah inilah ajaran Tuhan yang wajib
ditaati. Bila kebiasaan ini mengusik kenikmatan atasan (pemimpin umat,
pemerintah, penjajah) maka itu harus dimusnahkan. Keadaan bercampur
aduk dengan pimpinan agama yang vested dan mudah memberi cap kafir
bagi mereka yang tidak sepaham. Itulah secara umum yang terjadi di
sekitar Ngayogyakarta pada saat itu.
Cap kafir ini sangat mujarab sehingga orang tidak ada yang
mempertanyakan kekeliruan ini terus terjadi. Para pengikut agama yakin
seyakin yakinnya bahwa perilaku kafir adalah sebesar-besarnya dosa.
Maka harus dijauhi. Tetapi mereka banyak yang tidak paham makna iman,
musyrik, mistik, sholat, ibadah, kafir, dan sesajen campur baur menjadi
kepercayaan seakan kebenaran ajaran yang wajib ditaati. Tanpa reserve.
Ketika Darwis membahas semua itu dengan ayahandanya, sang ayah
tidak sepenuhnya menerima. Dikatakannya bahwa agama itu bukan soal
akal saja, tetapi juga harus dengan hati. Hati yang sudah dilumuti
kesenangan duniawi, kedudukan, kepangkatan, kewibawaan, tentunya akan
memelihara kebiasaan yang dibungkus dengan kepercayaan yang seolah-
olah agung. Tidak jarang hati seperti ini justru telah mengikat kita dengan
ketamakan duniawi. Kita tidak lagi menjadi bebas, tetapi terperdaya oleh
hawa nafsu.
Muhammad Darwis tetap tidak bisa menerima situasi demikian.
Tetapi bagaimana caranya? Inilah yang menjadi esensi perjuangannya.
Darwis lalu pergi menunaikan ibadah haji ke Mekah al Mukaramah. Di
sanalah Darwis sempat membaca pemikiran-pemikiran Jamaluddin Al-
Afghani dan Muhammad Abduh. Muhammad Abduh (1849-1905) pemikir
modern dari Mesir yang menekankan betapa pentingya akal. Seperti yang
15
dituangkan di dalam surah al-Baqarah (30-34) tentang kejadian manusia,
jelas sekali bahwa kelebihan manusia di atas makhluk hidup lainnya adalah
karena kekuatan akalnya. Akal fikiran itulah yang membuat manusia layak
menjadi khalifatul-fil-ardli (pemimpin di muka bumi).
Abduh mengajarkan bahwa manusia diberikan anugerah intelegensia
oleh Allah, untuk dipergunakan. Manusia bukanlah kerbau yang ditusuk
hidungnya lalu mengekor ke mana saja maunya pimpinan. Abduh
berprinsip bahwa kebebasan berpikir untuk selalu bertanya dan berinovasi
adalah modal kemajuan sebuah negara. Negara maju, menurut Abduh,
adalah negara yang pandai menggunakan otaknya.
Dengan demikian, ilmu pengetahuan terus berkembang sesuai dengan
kemajuan zaman. Itulah kelebihan orang Barat ketimbang Timur. Dalam
konteks ini barangkali Abduh berpendapat "saya melihat Islam di negara
Barat, tetapi sedikit Muslim. Dan saya melihat banyak Muslim di Timur,
tetapi tidak ada Islam". Abduh juga dikenal dekat dengan tokoh-tokoh dari
kalangan Nasrani dan Yahudi. Rupanya pemikiran Abduh sejalan dengan
apa yang dipikirkan Darwis. Tidak heran kalau Darwis sering berpendapat
bahwa guru agama bukanlah yang menentukan segalanya. Kebenaran
harus bersama-sama dicari, bukan hanya milik guru.
Pola pendidikan ini tentu sangat berbeda diametral dengan yang
selama ini dianggap kebenaran di Ngayogyakarta, yakni petuah guru
adalah kebenaran. Murid hanya boleh mengikuti, tanpa ada bantahan
sedikitpun. Seperti kebiasaan masa itu, orang Indonesia yang pergi berhaji,
lalu mendapat nama baru. Begitupun Darwis, namanya jadi Ahmad
Dahlan. Dengan bekal nalar yang kuat ditambah pengetahuan agama yang
semakin banyak selama di Makkah al-Mukaramah, K.H. Ahmad Dahlan
semakin memiliki modal untuk melakukan perubahan.
Sepulang dari Mekah, Ahmad Dahlan dijadikan Imam Masjid di
Kauman dan berhak memberikan tausiah. Ceramah-ceramahnya agak
16
berbeda dengan para kiai umumnya waktu itu yang sangat menekankan
penerimaan tanpa banyak bertanya, Ahmad Dahlan justru menekankan
betapa pentingnya akal. Bertanya dan diskusi adalah modal awal untuk
maju. Ahmad Dahlan juga mengajarkan bahwa Al-Qur'an dapat dikaji
sesuai dengan nuansa ke kinian, tidak statis tapi dinamis. Tentu saja
tausiah model ini cukup membuat para kiai saat itu merinding, karena
sudah keluar dari pakem.
Dengan bekal pengetahuannya tentang ilmu bumi dan penggunaan
kompas Ahmad Dahlan mempertanyakan arah sholat yang sudah
bertahun-tahun diterima sebagai suatu kebenaran. Inipun membuat hampir
semua jamaah terutama para kyainya tersinggung. Mereka tidak mau
menerima penjelasan berbasis ilmu pengetahuan yang dipakai Ahmad
Dahlan.
Ahmad Dahlan berpendapat bahwa penggunaan alat dan ilmu
pengetahuan adalah bagian dari proses modernisasi. Akan tetapi tidak
semudah membalikkan tangan untuk meyakinkan mereka yang sudah larut
dengan kebiasaan-kebiasaan yang telah mengakar. Kala itu modernisasi
bahkan bisa dicap sebagai langkah menuju ke kafir atau meniadakan
Tuhan. Modernisasi lebih berat dari tabu! Harus dijauhi..
Karena perbedaan yang dianggap prinsipil, maka Ahmad Dahlan
diberhentikan dari jabatan Imam masjid. Dan Ahmad Dahlan membuat
masjid kecil sekalian dipergunakan untuk belajar mereka yang mulai
berpikir terbuka. Para muridnya memanggil Kyai, lengkapnya KH. Ahmad
Dahlan. Pola pengajiannya sangat berbeda dengan kebiasaan saat itu.
Ketika ada beberapa orang muda tertarik dengan pemikiran Ahmad Dahlan
bertanya apa itu agama. Ahmad Dahlan memainkan biolanya yang
membuat orang-orang muda menjadi tenang mendengar kesyahduannya.
Lalu biola itu diberikan kepada salah seorang pemuda dan diminta
17
memainkannya. Keruan saja suaranya menjadi berantakan, karena pemuda
itu tidak punya ilmu dan keahlian memainkan biola.
Seusai itu Ahmad Dahlan menerangkan makna agama ‘Agama
bagaikan musik indah yang mampu memberikan kesyahduan, ketenangan,
dan kebahagiaan. Tetapi harus dilakukan dengan ilmu pengetahuan, kalau
tidak malah bisa menjadi kacau dan jadi bahan tertawaan’. Perjuangannya
semakin mendapat tantangan dan tidak jarang Ahmad Dahlan
dikategorikan orang kafir. Akan tetapi Ahmad Dahlan semakin "keukeuh"
bahwa perubahan harus dilakukan. Maka Ahmad Dahlan mempelajari
organisasi-organisasi modern yang mengajak pada perubahan, terutama
Budi Utomo. Dari situlah muncul inspirasi pendirian Muhammadiyah.
Maka dari itu, lahirlah Muhammadiyah pada tanggal 18 Nopember 1912,
sebagai perserikatan non-politik.
Berbasis perjuangan melalui pendidikan dan kesehatan
Muhammadiyah terus berkembang secara kuantitatif. Secara kualitatif,
Muhammadiyah harus mulai introspeksi, karena tantangan zamannya juga
semakin kompleks. Tanpa harus berubah menjadi sebuah partai,
Muhammadiyah bisa dengan tegar memberikan masukan kepada
penyelenggara negara. Yang jelas, titipan KH. Ahmad Dahlan harus terus
dipegang "hidupilah Muhammadiyah, tetapi jangan mencari penghidupan
dari Muhammadiyah".
19
telaah realitas sosio-agama Islam di Indonesia dibutuhkan untuk dapat
menjelaskan tentang maksud Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah.
20
menundukkan kepala kepada orang yang lebih tua dan lebih tinggi
jabatannya.
21
upaya tersebut. Muhammadiyah sebagai organisasi memilih dan
menempatkan diri sebagai “Gerakan Islam dan Amar Makruf Nahi Munkar
dalam bidang masyarakat”. Sedang untuk alat perjuangan dalam bidang
politik kenegaraan (politik praktis), Muhammadiyah membentuk satu
partai di luar organisasi Muhammadiyah. Muhammadiyah harus menyadari
bahwa partai tersebut adalah merupakan obyeknya dan wajib membinanya.
Antara Muhammadiyah dan partai tidak ada hubungan organisatoris, tetapi
tetap mempunyai hubungan ideologis. Masing-masing berdiri dan berjalan
sendiri-sendiri, tetapi dengan saling pengertian dan menuju tujuan yang
satu. Pada prinsipnya tidak dibenarkan adanya perangkapan jabatan,
terutama jabatan pimpinan antara keduanya, demi tertibnya pembagian
pekerjaan.
22
terdapat tiga aspek penting yaitu aspek kognitif atau berpikir, aspek gerak
atau psikomotorik dan aspek afektif atau merasa, misalnya saat kita
mempelajari sesuatu maka itu bukan hanya sekedar berpikir tetapi ada
unsur-unsur lain yang berkaitan seperti dengan mengekspresikan rasa suka,
tertarik, semangat dan lainnya.
28
BAB III
PENUTUP
4.1Kesimpulan
4.2Saran
29
DAFTAR PUSTAKA
Malang. 2016.
1997.
30