2
DAFTAR ISI
Pendahuluan ..................................................................................................4
4
PENDAHULUAN
Alhamdulillah segala puji hanya Bagi Allah Rob seluruh Alam semesta yang
dengan rahmat serta hidayah-Nya penulis diberi kemudahan untuk menyelesaikan tulisan
ini, shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Sayidul Awwalin wal akhirin
Nabi Muhammad Shallallahu „alaihi wasallam.
Ilmu Al-Qur‟an merupakan ilmu yang sangat luas dan penulis mencoba menghimpun
beberapa tema dengan sajian yang sederhana agar lebih mudah untuk difahami oleh para
pembaca generasi melenial dengan harapan bisa menjadi refrensi bagi penuntut ilmu Syar‟i,
hususnya bagi para mahasiswa dilingkungan kampus.
Tulisan ini merupakan kumpulan dari coretan-coretan penulis selama mengampu
mata kuliah Ulumul Qur‟an di Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, dan pada kajian-
kajian pada ta‟lim rutin yang disajikan sebagai bentuk pengabdian kepada masyarakat,
penulis menyadari bahwa dalam tulisan ini masih banyak ketidak sempurnaan maka penulis
mengharap keritik dan saran dari berbagai pihak demi kebaikan dimasa mendatang dan
penulis mengucapkan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua rekan-rekan
dosen atas bantuan, saran dan masukannya demi kelancaran penerbitan tulisan ini.
Penulis berharap semoga tulisan ini memberi manfaat dan jariyah bagi penulis
sendiri dan bagi setiap pembacanya.
Akhirnya Semoga Allah menjadikannya sebagai amal dan kebaikan yang ikhlash untuk
menggapai ridhahNya dan Semoga Allah menutupi segala kesalahan dan menyempurnakan
segala kekukarangan. Aamiin Ya Rabal „Alamiin.
Farikh Marzuqi
5
BAB I: KEUTAMAAN AL-QUR’AN
7
Dari Abu Umamah Al-Bahili dia berkata: Saya mendengar Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam bersabda: “Bacalah Al-Qur`an karena dia datang pada Hari Kiamat
sebagai pemberi syafaat bagi pembacanya. Bacalah Az-Zahrawain –Al-Baqarah dan Ali
Imran-, karena keduanya akan datang pada Hari Kiamat seakan-akan ia adalah dua
mendung atau dua kumpulan burung yang terbang dengan tidak menggerakkan sayap.
Keduanya akan membela mati-matian pembacanya. Bacalah surat Al-Baqarah karena
mengambilnya adalah suatu keberkahan. Meninggalkannya adalah kerugian. Dan tidak
bisa terkena sihir.” Muawiyah berkata: Saya mendengar bahwa Al-Bathalah adalah tukang
sihir.
Hadits Ketujuh :
:َُ ٍَّع َ ُ هللاٍَّٝص
َ َٚ ِٗ ١ْ ٍَػ َ ِ ُي هللاْٛ ع ُ لَب َي َس: ّب لَب َيُٙ ْٕ ػ َ ٌَٝ هللاُ رَؼَبٟ َ ظ ِ ػ ِٓ اث ِْٓ ػّش َس َ
ْٓ ِِ ؽ َ َ ْف ُش٠ َّٝت ِ ِّٓ ِ ِّغْهٍ َؽز
ٍ ١ْ ِ َوضٍَٝػَ ُْ ُ٘ ،بة
ُ غ َ ُُ ْاٌ ِؾُٙ ُ ٌََٕب٠ ََلَٚ ، ُُ ْاٌفَضَ عُ ْال َ ْوجَ ُشُٙ ُ ٌْٛ ُٙ َ٠ ((ص َ َلصَخ ََل
ٍدَاعَٚ . َْْٛ ظ ُ ُ٘ ُْ َساَٚ ،ًِبْٛ َأ َ ََّ ثِ ِٗ لَٚ ،ٌَٝعْ ِٗ هللاِ رَؼَبَٚ َس ُعً لَ َشأ َ ْاٌمُ ْشآَْ ا ْثزِغَب َء:ك ِ ِة ْاٌخ ََلئ
ِ غب َ ِؽ
َْٓ١َثَٚ َُٕٗ١ْ َ َّب ث١ْ ِ فَٚ ،ِٗ َّْٓ َس ِث١َثَٚ ،ُ َٕٗ١ْ َغَٓ ثَ ػجْذ أ َ ْؽ َ َٚ .ًَّ َعَٚ ػ َّض َّ ٌ اٌَِٝ اْٛ ػ
َ ِ ْع ِٗ هللاَٚ ص َلحِ اثْزِغَب َء ُ َّْذ٠
َ ْ ِْش ثِبِ ْعَٕب ٍد ََل ثَؤ١ص ِغ
]ِٗ ِط ث َّ ٌاَٚ ع ِػَ ْٚ َ ْالِٟ فٟ َّ ُٖاَٚ ِٗ)) [ َس١ْ ٌِ اَٛ َِ
ُّ ِٔاٌطج َْشا
Dari Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma dia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda: “Tiga golongan yang tidak akan ketakutan pada hari ketakutan yang
besar dan tidak terkena hisab, sementara mereka di atas dataran dari kesturi, hingga
selesai penghitungan para makhluk. Yaitu: Seseorang yang membaca Al-Qur`an karena
mencari wajah Allah SWT, kemudian mengimami suatu kaum dan mereka ridha
kepadanya. Penyeru yang memanggil shalat karena mencari wajah Allah SWT. Dan
seorang hamba yang memperbagus (hubungan) antara dia dengan Rabbnya, dan apa-apa
yang ada di antaranya dengan majikannya.”
8
BAB 2: DEFINISI AL-QURAN
Pengertian Al-Qur`an:
“Qara‟a” artinya Al-Jam‟u (mengumpulkan) dan adh-dhammu (menggabungkan).
Berarti makna al-qira‟ah: mengumpulkan huruf dan kata-kata sebagiannya pada sebagian
yang lain dalam tartil (bacan). Al-Qur`an pada dasarnya sama seperti al-qira‟ah. Yakni
mashdar qara‟a (ْ لشآ- )لشاءح, Allah berfirman:
]ٔ8 ،ٔ1/بِخ١ٔ) فَبِرَا لَ َشأَْٔبُٖ فَبرَّجِ ْغ لُ ْشآََُٔٗ [اٌم1( ََُٗٔلُ ْشآَٚ ََُٕٗب َع ّْؼ١ْ ٍَػ
َ َّْ ِا
“Sesungguhnya kewajiban Kami mengumpulkannya dan membacakannya. Jika
Kami sudah membacakannya maka ikutilah bacaannya.” (QS. Al-Qiyamah: 17-18) maka
makna: Qur‟aanahu adalah qiraa‟atuhu. Jadi Al-Qur`an adalah bentuk masdhar dari qara‟a
dengan wazan fu‟lan.
Sebagian ulama‟ mendefinisikan Al-Qur`an dengan: Kalamullah (ucapan Allah
SWT) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, yang tilawahnya dijadikan dalam
ibadah. Kata “kalam” meliputi seluruh perkataan. Kemudian penyandarannya kepada Allah
SWT berarti mengeluarkan perkataan selainNya dari jin, manusia, dan Malaikat.
Definisi Al-Qur`an yang lain: Kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
saw. melalui perantara Malaikat Jibril. Yang diturunkan secara mutawatir. Lafadznya
bermukjizat. Membacanya dijadikan dalam ibadah (shalat). Diawali dengan surat Al-Fatihah
dan diakhiri dengan surat An-Naas.
“Yang diturunkan” mengeluarkan kalam yang khusus untukNya. Seperti firmanNya:
:فٙ ِعئَْٕب ثِ ِّضْ ٍِ ِٗ َِذَدًا} [اٌىْٛ ٌََٚ ّٟ ٌََٕ ِفذَ ْاٌجَؾ ُْش لَ ْج ًَ أ َ ْْ ر َ ْٕفَذ َ َو ٍِ َّبدُ َس ِثّٟد َس ِث
ِ وَب َْ ْاٌجَؾ ُْش ِِذَادًا ٌِ َى ٍِ َّبْٛ ٌَ ًْ ُ{ل
]ٔٓ3
“Katakan: Jika samudera dijadikan sebagai tinta untuk menulis kata-kata Rabbku pasti
samudera itu habis sebelum selesai penulisan kata-kata Rabbku, meski Kami mendatangkan
berkali-kali yang semisalnya.” (QS. Al-Kahfi: 109)
Juga firmanNya:
:ْد َو ٍِ َّبدُ َّللاَّ } [ٌمّب َ ِٖ َ ُّذُُّٖ ِِ ْٓ ثَؼْ ِذ٠ ْاٌجَؾْ ُشَٚ َش َغ َشحٍ أ َ ْلل
ْ َع ْجؼَخُ أ َ ْث ُؾ ٍش َِب َٔ ِفذ ِ ْال َ ْسِٟ أََّٔ َّب فْٛ ٌَٚ{
َ ْٓ ِِ ض َ
.]ٕ1
“Seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan
kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya
(dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha perkasa lagi Maha bijaksana.” (QS.
Luqman: 27)
9
Pembatasan “Al-Munazzal” (yang diturunkan) kepada Nabi Muhammad Shallallahu
'alaihi wasallam, mengeluarkan kitab-kitab yang diturunkan kepada Nabi-Nabi sebelumnya
seperti kitab Taurat, Injil, dan selainnya.
“Yang tilawahnya dijadikan sebagai ibadah” mengeluarkan bacaan Hadits-Hadits
ahad dan Hadits qudsi. Karena makna “At-Ta‟abbud bitilaawatih” adalah perintah untuk
membacanya dalam shalat maupun selain shalat sebagai ibadah. Tentunya Hadits ahad dan
Hadits qudsi tidak seperti itu.
]٘ٗ/َٓ [الػشاف١ِّ ٌََّللاُ َسةُّ ْاٌؼَب َ َ ْال َ ِْ ُش رَجَٚ أ َ ََل ٌَُٗ ْاٌخ ٍَْ ُك
َّ َبسن
“Ingatlah, menciptakan dan memerintah adalah hak Allah, Rabb semesta alam.”
Secara umum Al Quran berisi perintah dan larangan. Jika Allah membedakan antara
„menciptakan‟ dan „memerintah‟, berarti Al-Quran bukan makhluk, karena ia berisi perintah
dan larangan.
Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam juga bersabda:
َ ََلْٛ َ ُْ لُٙ َََّّٔللا ص ُ َُّ أ َ ْث ٍِ ْغُٗ َِؤ ْ ََُِٕٗ رٌَِهَ ثِؤ َ َٓ ا ْعز َ َغ١اِ ْْ أ َ َؽذ َِِٓ ْاٌ ُّ ْش ِش ِوَٚ
ِ َّ ََ َ ْغ َّ َغ َو َل٠ َّٝبسنَ فَؤ َ ِع ْشُٖ َؽز
]ٙ/ثخَْٛ [اٌزُّٛ ٍََ ْؼ٠
“Dan jika seorang diantara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu,
maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia
ketempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak
mengetahui.” (QS. At-Taubah: 6)
Nama-Nama Al-Qur’an
10
) ًَجراً َكبِريا ِ الص
ِ اِل
َّ ات أ ِ َّ ِ(إِ َّن ى َذا الْ ُقرآ َن ي ه ِدي لِلَِِّت ِىي أَقْ وم وي ب ِّشر الْمؤِمن
ْ َن ََلُْم أ َّ ين يَ ْع َملُو َن
َ ني الذ
َ ْ ُ ُ َُ َ ُ َ َ َْ ْ
“Sesungguhnya Al-Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus.” (QS.
Al-Isra‟: 9)
(2) Al-Kitab:
) ًني نَ ِذيرا ِ ِ ِ ِِ ِ
َ بارَك الَّذي نََّزَل الْ ُف ْرقا َن َعلى َعْبده ليَ ُكو َن للْعالَم
َ َ(ت
“Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al-Furqaan (Al-Quran) kepada hamba-Nya,
agar menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam.” (QS. Furqan : 1)
(4) Adz-Dzikr:
) (إِ ََّّن ََْن ُن نََّزلَْنا ال ِّذ ْكَر َوإِ ََّّن لَوُ َِلَافِظُو َن
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Quran, dan sesungguhnya Kami benar-
benar memeliharanya.” (QS. Al-Hijr: 9)
(5) At-Tanzil:
11
Dengan penjagaan ganda ini yang oleh Allah SWT, telah ditanamkan dalam jiwa
umat Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam untuk mengikuti langkah Nabi-Nya maka
Al-Qur`an tetap terjaga dalam benteng yang kokoh. Hal itu tidak lain untuk mewujudkan
janji Allah SWT, yang menjamin terpeliharanya Al-Qur`an. Seperti difirmankanNya:
)( إِ ََّّن ََْن ُن نََّزلْنَا ال ِّذ ْكَر َوإِ ََّّن لَوُ َِلَافِظُو َن
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Quran, dan sesungguhnya Kami benar-
benar memeliharanya.” (QS. Al-Hijr: 9)
Dengan demikian Al-Qur`an tidak mengalami penyimpangan, perubahan, dan
keterputusan sanad seperti pada kitab-kitab terdahulu.
Penjagaan ganda ini di antaranya menjelaskan bahwa kitab-kitab samawi lainnya
diturunkan hanya untuk waktu itu, sedang Al-Qur`an diturunkan untuk membetulkan dan
menguji kitab-kitab yang sebelumnya. Karena itu Al-Qur`an mencakup hakikat yang ada
dalam kitab-kitab terdahulu dan menambahnya dengan tambahan yang dikehendaki Allah
SWT. Al-Qur`an menjalankan fungski kitab-kitab sebelumnya, tetapi kitab-kitab itu tidak
dapat menempati posisinya. Allah SWT telah menakdirkan untuk menjadikannya sebagai
bukti sampai Hari Kiamat. Dan apabila Allah menghendaki suatu perkara, maka Dia akan
mempermudah ke arah itu. Karena Dia Maha bijaksana dan Maha tahu. Inilah alasan yang
paling kuat.
Sifat-Sifat Al-Qur`an
12
َّ َٓ ِِ ُْ {لَذْ َعب َء ُو
]ٔ٘ :ٓ} [اٌّبئذح١ِ ِوز َبة ُِجَٚ سُٛٔ َِّللا
“Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah dan kitab yang menerangkan.”
(QS. Al-Maidah: 15)
(4) Mubarak (yang diberkati):
]3ٕ :َْٗ} [الٔؼب٠ََذ٠ َٓ ١ْ َ ثِٞصذ ُِّق اٌَّز َ َ َ٘زَا ِوز َبة أ َ ْٔضَ ٌَْٕبُٖ ُِجٚ{
َ ُِ بسن َ
“Dan Al-Qur`an ini adalah kitab yang telah Kami berkati, membenarkan kitab-kitab yang
diturunkan sebelumnya.” (QS. Al-An‟am: 92)
(5) Busyra (kabar gembira):
]31 :َٓ } [اٌجمشح١ِِِٕ ْ ٌِ ٍْ ُّئٜثُ ْش َشَٚ ٜ
ً ُ٘ذَٚ ِٗ ٠ْ ََذ٠ َْٓ١َص ِذّلًب ٌِ َّب ث
َ ُِ {
“Yang membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya dan menjadi petunjuk, serta berita
gembira bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Baqarah: 97)
(6) Aziz (yang mulia):
َ أَُِّٗ ٌَ ِىز َبةَٚ ُْ ُ٘ا ثِبٌ ِزّ ْو ِش ٌَ َّّب َعب َءَٚٓ َوفَ ُش٠ِ{اِ َّْ اٌَّز
]ٔ٘ :ض} [فصٍذ٠ػ ِض
“Mereka yang mengingkari adz-Dzikr (Al-Qur`an) ketika Al-Qur`an itu datang kepada
mereka, mereka pasti akan celaka. Al-Qur`an adalah kitab yang mulia.” (QS. Fushshilat:
15)
(7) Majid (yang dihormati):
]ٕٔ :طٚذ} [اٌجش١ لُ ْشآْ َِ ِغَٛ ُ٘ ًْ َ{ث
“Bahkan yang mereka dustakan itu adalah Al-Qur`an yang dihormati.” (QS. Al-Buruj: 21)
(8) Basyir (pembawa kabar gembira) dan Nadzir (pembawa peringatan):
]ٗ ،ٖ :شا} [فصٍذ٠ِ
ً َٔزَٚ شا١ِ َ َبرُُٗ لُ ْشآًٔب٠ذ آ
ً ثَش, َُّْٛ ٍََ ْؼ٠ ٍَ ْٛ ًَّب ٌِم١ػ َش ِث ّ ِ ُ{ ِوز َبة ف
ْ ٍَص
“Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang
mengetahui. Yang membawa kabar gembira dan yang membawa peringatan.” (QS.
Fushshilat: 3 dan 4)
Setiap penamaan dan pelukisan itu, merupakan salah satu makna dari Al-Qur`an.
13
Hadits Nabawi:
Hadits menurut bahasa adalah lawan kata: lama. Sedangkan menurut istilah: perkara
yang disandarkan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam berupa perkataan, perbuatan,
taqrir, atau sifat.
Perkataan seperti sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam:
.]ِغٍُ ػٓ ػّش ثٓ اٌخطبةٚ ٞاٖ اٌجخبسٚ" [س..ٜٛٔ أّب ٌىً اِشة ِبٚ ،بد١ٌٕ"أّب الػّبي ثب
“Sesungguhnya segala perbuatan pasti ada niatnya. Dan setiap orang mendapat pahala
berdasarkan apa yang dia niatkan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Umar bin Al-
Khattab)
Yang berupa perbuatan: ialah seperti ajarannya kepada para sahabat mengenai
bagaimana cara mengerjakan shalat: kemudian beliau mengatakan:
ِ الْ ُقر
) آن ِ
ْ (فَاقْ َرءُوا َما تَيَ َّسَر م َن
“Maka Bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran.” (QS. Al-Muzammil: 20)
Nilai ibadah membaca Al-Qur`an juga terdapat dalam Hadits:
َ ْاٌ َؾَٚ ،غَٕخ
ٌَ ِى ْٓ أ َ ٌِف َؽ ْشفَٚ اٌُ َؽ ْشف:ُيُٛب؛ ََل أَلَٙ ٌِ غَٕخُ ثِؼَ ْش ِش أ َ ِْضَب َ ة هللاِ فٍََُٗ ثِ ِٗ َؽ ِ (( َِ ْٓ لَ َشأ َ َؽ ْشفًب ِِ ْٓ ِوز َب
]ؼ١ص ِؾ َ ٓغ َ ْش َؽ٠ َؽ ِذ:بي َ َلَٚ ، ٞ ُّ اُٖ اٌ ِز ّ ْش َِ ِزَٚ ُ َؽ ْشف)) [ َس١ِِ َٚ ََلَ َؽ ْشفَٚ
Dari Abdullah bin Mas‟ud Radhiyallahu anhu dia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda: “Barangsiapa membaca satu huruf dari kitabullah, maka baginya dari
satu huruf itu ada satu kebaikan. Satu kebaikan menjadi sepuluh kali lipat. Saya tidak
mengatakan: Alif lam mim itu satu huruf. Tetapi alif adalah satu huruf. Lam adalah satu
huruf. Dan mim adalah satu huruf.”
Sedang Hadits qudsi tidak disuruh membacanya di dalam shalat. Allah SWT.
memberikan pahala membaca Hadits qudsi secara umum saja. Maka membaca Hadits qudsi
16
tidak akan mendapat pahala seperti yang disebutkan dalam Hadits mengenai membaca Al-
Qur`an bahwa pada setiap huruf mendapatkan sepuluh kebaikan.
1
Contohnya adalah yang terjadi mengenai urusan tawanan perang Badar. Rasulullah mengambil pendapat
Abu Bakar Radhiyallahu anhu dan menerima tebusan mereka. Maka turunlah wahyu dalam Al-Qur`an yang
mencela tindakan Nabi dalam firmanNya:
ِ ِ ِ َسرى َح ََّّت يُثْ ِخ َن ِِف ْاْل َْر ِ
ٌ الدنْيا َو َّاَّللُ يُِري ُد ْاْلخَرَة َو َّاَّللُ َع ِز ٌيز َحك
) يم ُّ ضَ ض تُ ِري ُدو َن َعَر ٍّ َِ( َما كا َن لن
ْ ب أَ ْن يَ ُكو َن لَوُ أ
“Tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka
bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawiyah sedangkan Allah menghendaki (pahala) Akhirat
(untukmu). Dan Allah Maha perkasa lagi Maha bijaksana.” (QS. Al-Anfal: 67)
17
Al-Qur`an, dan tentu pula gaya bahasanya menuntut untuk ditantang, serta membacanya pun
dianggap ibadah.
BAB 3 : WAHYU
Pengertian wahyu:
Dikatakan wahaitu ilaihi dan Auhaitu, bila kita berbicara kepadanya agar tidak
diketahui orang lain. Wahyu adalah isyarat yang cepat. Itu terjadi melalui pembicaraan yang
berupa rumus dan lambang, dan terkadang melalui suara semata, dan terkadang pula melalui
isyarat dengan sebagian anggota badan.
Al-Wahy atau wahyu adalah kata masdar (infinitif). Materi kata itu menunjukkan dua
pengertian dasar, yaitu: Tersembunyi dan cepat. Oleh sebab itu, maka dikatakan bahwa
wahyu ialah pemberitahuan secara tersembunyi dan cepat yang khusus ditujukan kepada
orang yang diberitahu tanpa diketahui orang lain. Inilah pengertian masdarnya. Tetapi
terkadang juga bahwa yang dimaksudkan adalah Al-Muuhaa yaitu pengertian isim maf‟ul,
yang diwahyukan. Pengertian wahyu dalam arti bahasa meliputi:
(1) Ilham sebagai bawaan dasar manusia, seperti wahyu terhadap ibu Nabi Musa:
جاعلُوهُ ِم َن
ِ كوِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِِِ ِ ِ
َ ( َوأ َْو َحْينا إىل أ ُّم ُموسى أَ ْن أ َْرضعيو فَإذا خ ْفت َعلَْيو فَأَلْقيو ِِف الْيَِّم َوال ََت ِاِف َوال ََْتَزِِن إ ََّّن َر ُّادوهُ إلَْي
)نيِ
َ الْ ُم ْر َسل
“Kami ilhamkan kepada ibu Musa: „Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya
maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). Janganlah kamu khawatir dan jangan (pula) bersedih
hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya
(salah seorang) dari para Rasul‟.” (QS. Al-Qashash: 7)
(2) Ilham yang berupa naluri pada binatang, seperti wahyu kepada lebah:
18
(4) Bisikan dan tipu daya Setan untuk menjadikan yang buruk kelihatan indah dalam
diri manusia.
ِ َّياطني لَيوحو َن إِىل أَولِيائِ ِهم لِي
ِ
) جادلُوُك ْمُ ْ ْ ُ ُ َ ( َوإِ َّن الش
“Sesungguhnya Setan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah
kamu.” (QS. Al-An‟am: 121)
Juga firmanNya:
َ ُّف الْ َق ْوِل غُُروراً َولَ ْو شاءَ َرب ٍ ض ُه ْم إِىل بَ ْع ِ ِْ س و ِ َ ياط ِ ك جعلْنا لِ ُك ِل نَِ ٍب ع ُد ِّوا َش ِ
ك َ ض ُز ْخ ُر ُ اْل ِّن يُوحي بَ ْع َ ِ ْني ْاْلن َ ّ ّ َ َ َ ( َوَكذل
)َما فَ َعلُوهُ فَ َذ ْرُى ْم َوما يَ ْفتَ ُرو َن
“Demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap Nabi itu musuh, yaitu Setan-Setan (dari jenis)
manusia dan (dan jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain
perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia).” (QS. Al-An‟am: 112)
(5) Apa yang disampaikan Allah kepada para Malaikat berupa suatu perintah untuk
dikerjakan:
ِ َّ ِ ِ ِ َّ ِ ِ ِ ِ (إِ ْذ ي
اض ِربُوا فَ ْو َق
ْ َب ف
َ الر ْع َ ين َآمنُوا َسأُلْقي ِِف قُلُوب الذ
ُّ ين َك َف ُروا ِّك إِ َىل الْ َمالئ َكة أ
َ َِن َم َع ُك ْم فَثَبّتُوا الذ َ ُّوحي َربُ
ٍ اض ِربوا ِمْن هم ُك َّل ب
)نان ِ ْ ْاْل
َ ْ ُ ُ ْ َعناق َو
“Ingatlah, ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para Malaikat: „Sesungguhnya Aku
bersama kamu, maka teguhkan (pendirian) orang-orang yang telah beriman‟.” (QS. Al-
Anfal: 12)
Sedang wahyu Allah SWT. kepada para Nabi secara syara‟ mereka definisikan
sebagai: Kalam Allah SWT. yang diturunkan kepada seorang Nabi. Definisi ini
menggunakan pergertian maf‟ul, yaitu Al-Muuhaa (yang diwahyukan). Ustadz Muhammad
Abduh mendefinisikan wahyu dalam Risalatut Tauhid sebagai: Pengetahuan yang
didapati seseorang dari dalam dirinya dengan disertai keyakinan bahwa pengetahuan
itu datang dari Allah . Baik dengan melalui perantara maupun tidak. Yang pertama
melalui suara yang terjelma dalam telinganya atau tanpa suara sama sekali.
Perbedaan antara wahyu dengan ilham bahwa ilham itu bisikan yang diyakini jiwa
sehingga terdorong untuk mengikuti apa yang diminta, tanpa mengetahui darimana
datangnya. Hal seperti itu serupa dengan perasan sedih, lapar, haus, dan senang.
Definisi di atas adalah definisi wahyu dengan pengertian masdar. Bagian awal
definisi ini mengesankan adanya kemiripan antara wahyu dengan suara hati atau kasyaf.
Tetapi pembedaannya dengan ilham di akhir definisi meniadakan hal ini.
19
Cara Wahyu Allah SWT. Turun Kepada Malaikat:
1-Di dalam Al-Qur`an terdapat nas yang menjelaskan bahwa Allah berbicara
langsung kepada para MalaikatNya:
ِ ( فَالْم َدبِر
) ًات أ َْمرا ّ ُ
“Dan (Malaikat-Malaikat) yang mengatur urusan (dunia).” (QS. An-Naziat: 5)
2
Maksudnya ialah membagi-bagikan urusan makhluk yang diperintahkan kepadanya seperti perjalanan
bintang-bintang, menurunkan hujan, rezki dan sebagainya.
20
Nas-nas ini dengan tegas menunjukkan bahwa Allah SWT. berbicara kepada para
Malaikat tanpa perantaraan dan dengan pembicaraan yang dipahami oleh para Malaikat itu.
Hal itu diperkuat oleh Hadits dari Nawwas bin Sam‟an Radhiyallahu anhu yang
mengatakan: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
ً ذَح٠ْ ش ِذ َ َ لْٚ َ أ- ًادُ ِِ ُْٕٗ َسعْ فَخَٛ َّ غ
َ -ً َس ْػذَح:بي ِ َ أ َ َخز،ِ ٟ ْؽَٛ ٌ ثِ ْبل َ ِْ ِش ر َ َىٍَّ َُ ثِ ْبٟ
َّ ٌد ا َ ِؽْٛ ُ٠ ْْ َ أٌََّٝللاُ ر َؼَب
َّ َ((اِرَا أَ َساد
ٗشفغ سأع٠ ِٓ يْٚ أٛى١ ف،ا هلل ع َّغذًاٚخشٚ ُّ اٛاد صؼمّٛ فبرا عّغ رٌه أً٘ اٌغ،ًَّ َعَٚ ػ َّض َّ َٓ ِِ فًبْٛ َخ
َ َِّللا
ِبرا:بٙ وٍّب ِش ثغّبء عؤٌٗ ِلئىز، اٌّلئىخًٍٝ ػ٠ّش عجش٠ ُ ص،ٗ ثّب أساد١ؽٚ ِٓ ُ َى ٍِّ ُُّٗ هللا١ ف،ً٠عجش
ٟٕٙز١ ف،ً٠ُ ِضً ِب لبي عجشٍْٙ وٌٛٛم١ ف،ش١ اٌىجٍٟ اٌؼٛ٘ٚ لبي اٌؾك:ً٠ي عجشٛم١ً؟ ف٠ب عجش٠ لبي سثٕب
)).ًعٚ ش أِشٖ هللا ػض١ ؽٌٝ اٟؽًٌٛ ثب٠عجش
“Apabila Allah hendak memberikan wahyu mengenai suatu urusan, Dia berbicara melalui
wahyu. Maka langit pun tergetar dengan getaran yang dahsyat karena takut kepada Allah
azza wajalla. Apabila penghuni langit mendengar hal itu, maka pingsan dan jatuh
bersujudlah mereka itu kepada Allah . Yang pertama sekali mengangkat muka di antara
mereka adalah Jibril. Maka Allah membicarakan wahyu itu kepada Jibril menurut apa yang
dikehendakiNya. Kemudian Jibril berjalan melintasi para Malaikat. Setiap kali dia melalui
satu langit, maka bertanyalah kepadanya Malaikat langit itu: Apakah yang telah dikatakan
Tuhan kita wahai Jibril? Jibril menjawab: Dia mengatakan yang haq dan Dialah yang
Maha tinggi dan Maha besar. Para Malaikat itu semuanya pun mengatakan seperti yang
dikatakan Jibril. Lalu Jibril menyampaikan wahyu itu seperti diperintah Allah .” (HR. Ath-
Thabrani)
Hadits ini menjelaskan bagaimana wahyu turun. Pertama Allah SWT. berbicara,
kemudian para Malaikat mendengarNya, dan rasa takut yang hebat akibat wahyu itu. Secara
dzahir dalam perjalanan Jibril yang turun kemudian ditanyai setiap Malaikat yang berjumpa
dengannya, hingga menyampaikan wahyu kepada Rasul- seakan-akan Hadits di atas
menunjukkan turunnya wahyu yang khusus untuk Al-Qur`an. Tetapi Hadits tersebut juga
menjelaskan cara turunnya wahyu secara umum. Berdasarkan Hadits sahih berikut:
))ْاٛ صفٌٍٝٗ وؤٔٗ عٍغٍخ ػٛب خعؼبٔب ٌمٙ اٌغّبء ظشة اٌّلئىخ ثؤعٕؾزٟ هللا الِش فٝ((ارا لع
“Apabila Allah memutuskan suatu perkara di langit, maka para Malaikat memukul-
mukulkan sayapnya karena terpengaruh oleh firmanNya. Firman Allah itu bagaikan mata
rantai di atas batu yang licin.”
(2) Telah nyata pula bahwa Al-Qur`an telah dituliskan di lauhul mahfudz,
berdasarkan firman Allah :
21
Al-Qur`an juga diturunkan sekaligus ke baitul izzah yang berada di langit dunia pada
malam lailatul qadar di bulan Ramadhan.
]ٔ/ٍَ ِخ ْاٌمَذْ ِس [اٌمذس١ْ ٌَ ِِٟأَّب أ َ ْٔضَ ٌَْٕبُٖ ف
“Sesungguhnya Kami menurunkannya (Al-Qur`an) pada malam lailatul qadar.” (QS. Al-
Qadar: 1)
Juga firmanNya:
22
(1)Bahwa Jibril menerimanya secara pendengaran dari Allah dengan lafalnya yang
khusus.
(2)bahwa Jibril menghafalnya dari lauhul mahfudz.
(3)bahwa maknanya disampaikan kepada Jibril, sedang lafalnya adalah lafal Jibril
atau lafal Nabi Muhammad .
Yang benar adalah pendapat pertama. Pendapat ini yang dijadikan pegangan oleh
ahlussunnah wal jamaah. Serta diperkuat oleh Hadits Nawwas bin Sam‟an di atas.
Menisbahkan Al-Qur`an kepada Allah itu terdapat dalam beberapa ayat:
َ ُ١ٍ ْاٌمُ ْشآََْ ِِ ْٓ ٌَذ ُْْ َؽ ِىَّٝأَِّ َه ٌَزٍَُمَٚ
]ٙ/ًٌُّٕ [ا١ٍ ٍِ ػ
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar diberi Al Qur'an dari sisi (Allah) Yang Maha
Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (QS. An-Nahl: 6)
Juga firmanNya:
Allah SWT. memberikan wahyu kepada para RasulNya ada yang melalui
perantaraan dan ada yang tidak melalui perantaraan.
Yang pertama: melalui Jibril, Malaikat pembawa wahyu. Dan hal ini akan kami
jelaskan nanti. Yang kedua: Tanpa melalui perantaraan. Di antaranya ialah: mimpi yang
benar dalam tidur.
(1) Mimpi yang benar dalam tidur:
Dari Aisyah Radhiyallahu anha dia berkata:
َب٠ ْ ُسإَٜ َش٠ َِ فَ َىبَْ ََلْٛ ٌَّٕ اِٟصب ٌِ َؾخُ ف ُّ ِ ٟ ْؽَٛ ٌعٍَّ َُ ِِ ْٓ ْا
َّ ٌَب ا٠ ْاٌشإ َ َٚ ِٗ ١ْ ٍَػ َّ ٍَّٝص
َ َُّللا َّ ُيٛع
َ َِّللا ُ ة ِث ِٗ َس َ ُي َِب ثُ ِذَّٚ َ ((أ
]ٗ١ٍْؼ)) [ِزفك ػ ِ صج
ُّ ٌك اِ ٍََد ِِضْ ًَ ف ْ ِا ََّل َعب َء
“Sesungguhnya wahyu yang pertama kali terjadi pada Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wasallam adalah mimpi yang benar di waktu tidur. Beliau tidaklah melihat mimpi kecuali
mimpi itu datang bagaikan terangnya pagi hari.” (Muttafaq alaih)
(2)Yang lain adalah kalam ilahi dari balik tabir. Tanpa melalui perantara. yang
demikian itu terjadi pada Nabi Musa Alaihissalam. Allah SWT. berfirman:
ُ ْٔ َ أِٟٔة أ َ ِس
]ٖٔٗ/ َْه [الػشاف١ٌَظ ْش ِا ِ ّ وٍََّ َُّٗ َسثُُّٗ لَب َي َسَٚ مَبرَِٕب١ِّ ٌِ ٝع
َ ُِٛ ٌَ َّّب َعب َءَٚ
Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami
tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: "Ya Tuhanku,
nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau."
Juga dalam firmanNya:
]ٔٙٗ/ ًّب [إٌغبء١ٍِ ر َ ْىٝع َّ َُ ٍََّوَٚ
َ ُِٛ َُّللا
“Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung.” (QS. An-Nisa‟: 164)
Demikian pula menurut pendapat yang paling sahih, sesungguhnya Allah juga
berbicara secara langsung kepada Rasul kita Muhammad pada malam Isra‟ dan Mi‟raj.
Yang demikian ini termasuk bagian kedua dari apa yang disebutkan oleh ayat di atas (atau
dari balik tabir). Di dalam Al-Qur`an
24
wahyu. Wahyu dengan perantara Malaikat wahyu inilah yang hendak kita bicarakan dalam
topik ini, karena Al-Qur`an diturunkan dengan wahyu semacam ini.
Ada dua cara penyampaian wahyu oleh malaikat kepada Rasul:
Cara pertama: Malaikat datang kepada Rasul seperti suara dencingan lonceng dan
suara yang amat kuat yang mempengaruhi faktor-faktor kesadaran. Sehingga beliau dengan
segala kekuatannya siap menerima pengaruh itu. Cara ini yang paling berat buat Rasul.
Apabila wahyu yang turun kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam dengan cara ini,
maka beliau mengumpulkan segala kekuatan kesadarannya untuk menerima, menghafal, dan
memahaminya. Dan suara itu mungkin sekali suara kepakan sayap-sayap para Malaikat,
seperti ditunjukkan dalam Hadits:
))ْاٛ صفٌٍٝٗ وؤٔٗ عٍغٍخ ػٛب خعؼبٔب ٌمٙ اٌغّبء ظشة اٌّلئىخ ثؤعٕؾزٟ هللا الِش فٝ((ارا لع
“Apabila Allah memutuskan suatu perkara di langit, maka para Malaikat memukul-
mukulkan sayapnya karena terpengaruh oleh firmanNya. Firman Allah itu bagaikan mata
rantai di atas batu yang licin.”
Dan mungkin pula suara Malaikat itu sendiri pada waktu Rasul baru mendengarnya
untuk yang pertama kali.
Cara kedua: Malaikat menjelma kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam
sebagai seorang laki-laki dalam bentuk manusia. Cara yang demikian itu lebih ringan
daripada cara yang sebelumnya. Karena adanya kesesuaian antara pembicara dengan
pendengar. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam merasa senang sekali mendengarkan
dari utusan pembawa wahyu itu, karena merasa seperti seorang manusia yang berhadapan
dengan saudaranya sendiri.
Ibnu Khaldun berkata: “Dalam keadaan yang pertama, Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam melepaskan kodratnya sebagai manusia yang bersifat jasmani untuk
berhubungan dengan Malaikat yang sifatnya rohani. Sedang dalam keadaan lain, adalah
sebaliknya. Malaikat berubah dari yang rohani semata menjadi manusia jasmani.”
Keduanya itu tersebut dalam Hadits yang diriwayatkan dari Aisyah Radhiyallahu
anha bahwa Haris bin Hisyam bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam
mengenai hal itu. Maka beliau menjawab:
ًُ َّ َز َ َّض٠ َبًٔب١ ْأَؽَٚ ػ ُْٕٗ َِب لَب َي َ َٚ لَ ْذَٚ ِّٟٕ ػ
َ ُْذ١ػ َ ُ ْف١َ فٟ
َ ُُ ص َّ ٍَػ َ َ أَٛ ُ٘ َٚ صٍَ ِخ ْاٌ َغ َش ِط
َ ُُّٖشذ َ ًَ ْ ِِضِٟٕ١َِؤْر٠ َبًٔب١((أ َ ْؽ
َ ٍْ ص
)) ُيَُٛم٠ َِبٟ فَؤ َ ِػُِّٟٕ ٍِّ ُ َى١َ ْاٌ ٍََّهُ َس ُع ًل فٌِٟ
“Kadang-kadang ia datang kepadaku bagaikan gemerincingan lonceng, dan itulah yang
paling berat bagiku, lalu ia pergi, dan aku telah menyadari apa yang dikatakannya. Dan
25
terkadang malaikat menjelma kepadaku sebagai seorang lelaki, lalu dia berbicara
kepadaku dan akupun memahami apa yang dia katakan.” (HR. Al-Bukhari, no. 2)
Aisyah Radhiyallahu anha juga meriwayatkan apa yang dipahami oleh Rasulullah
berupa kepayahan. Dia berkata:
))ػ َشلًب َّ ََزَف١ٌَ َُٕٗ١ِاِ َّْ َعجَٚ ُْٕٗ ػ
َ ُ صذ ِ َ ْف١َ ِذ ْاٌجَ ْش ِد ف٠ِشذ
َ ُُ ص َّ ٌ َِ اْٛ َ١ٌ ْاِٟ فٟ
ُ ْؽَٛ ٌ ِٗ ْا١ْ ٍَػ
َ َ ْٕ ِض ُي٠ ُُٗز٠ْ َ ٌَمَذْ َسأَٚ ((
“Saya pernah melihatnya tatkala wahyu sedang turun kepada beliau pada suatu hari yang
amat dingin. Lalu Malaikat itu pergi, sedang keringat pun mengucur dari dahi Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wasallam.” (HR. Al-Bukhari, no. 2)
Keduanya ini merupakan bentuk ketiga pembicaraan ilahi yang diisyaratkan dalam
ayat:
ٟ َ ََُِّٗٔشَب ُء ا٠ ثِبِرِْٔ ِٗ َِبٟ
ٌّ ٍِ ػ ً ع
ِ ١ََل فٛ
َ ؽُٛ ُ ُْش ِع ًَ َس٠ ْٚ َ ة أ ِ َسَٚ ْٓ ِِ ْٚ َ ًب أ١ ْؽَٚ َّللاُ اِ ََّل
ٍ اء ِؽ َغب َّ َُّٗ ٍِّ ُ َى٠ ْْ َ َِب َوبَْ ٌِجَش ٍَش أَٚ
]٘ٔ/ٜسُٛ [اٌش١َؽ ِى
“Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia
kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang
utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki.
Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.” (QS. Asy-Syuura: 51)
Mengenai hembusan di dalam hati, maka disebutkan dalam Hadits Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wasallam. berikut:
ِٟا فٍُِّٛ أ َ ْعَٚ ، ََّللا
َّ اُٛ أََل فَبرَّم، بَٙ َ ر َ ْغز َ ْى ِّ ًَ ِس ْصلَّٝد َؽزٛ َ َ َػ ْاٌمُذ ُِط َٔفٚ(( ِا َّْ ُس
ً أ َ َّْ َٔ ْفٟ ِػٚ ُسِٟش ف
َ ُّ َ غب ٌَ ْٓ ر
]ٞاٖ اٌجخبسٚت)) [س َّ
ِ ٍَاٌط
“Sesungguhnya roh qudus (Jibril) telah menghembuskan ke dalam hatiku bahwa seseorang
itu tidak akan mati hingga dia menyempurnakan rizqi dan ajalnya. Maka bertaqwalah
kepada Allah dan carilah rizqi dengan jalan yang baik.” (HR. Al-Bukhari )
Hadits ini tidak menunjukkan keadaan turunnya wahyu secara tersendiri. Hal itu
mungkin dapat dikembalikan kepada salah satu dari dua keadaan yang tersebut dalam
Hadits Aisyah. Mungkin Malaikat datang kepada beliau dalam keadaan yang menyerupai
dencingan lonceng, lalu dihembuskannya wahyu kepada beliau. Dan kemungkinan pula
wahyu yang melalui hembusan itu adalah wahyu selain Al-Qur`an.
26
Mereka mengira bahwa Al-Qur`an dari pribadi Muhammad Shallallahu 'alaihi
wasallam, dengan menciptakan maknanya dan beliau sendiri pula yang menyusun “bentuk
gaya bahasanya”. Jadi Al-Qur`an bukanlah wahyu.
(1) Ini adalah sangkaan yang batil. Apabila Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam
menghendaki kekuasaan untuk dirinya sendiri dan menantang manusia dengan mukjizat-
mukjizat untuk mendukung kekuasaannya, tidak perlu beliau menisbatkan Al-Qur`an
kepada dirinya sendiri, karena hal itu cukup untuk mengangkat kedudukannya dan
menjadikan manusia tunduk kepada kekuasaannya. Sebab kenyataannya semua orang Arab
dengan segala kefasihan dan retorikanya tidak juga mampu menjawab tantangan itu. Bahkan
mungkin ini lebih mendorong mereka untuk menerima kekuasaan beliau. Karena beliau juga
salah seorang dari mereka yang dapat mendatangkan apa yang tidak mereka sanggupi.
(2) Tidak pula dapat dikatakan bahwa dengan menisbatkan Al-Qur`an kepada wahyu
Ilahi, beliau menginginkan untuk menjadikan kata-katanya terhormat sehingga dengan itu
beliau dapat memperoleh sambutan manusia untuk menaati dan menuruti perintah-
perintahnya. Sebab beliau juga mengeluarkan kata-kata yang dinisbatkan kepada beliau
pribadi, yaitu yang dinamakan Hadits nabawi, yang juga wajib ditaati. Seandainya benar apa
yang mereka tuduhkan, tentu kata-katanya akan dijadikannya sebagai kalam Allah Ta‟ala.
Sangkaan ini menggambarkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam.
termasuk pemimpin yang menempuh cara-cara berdusta dan palsu untuk mencapai tujuan.
Sangkaan itu ditolak oleh kenyataan sejarah tentang prilaku Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wasallam, kejujuran dan keterpercayaan beliau yang terkenal, yang sudah disaksikan oleh
musuh-musuhnya sebelum disaksikan oleh kawan-kawan sendiri.
(3) Orang-orang munafiq menuduh isteri beliau “Aisyah Radhiyallahu anha” dengan
tuduhan berita bohong, padahal Aisyah Radhiyallahu anha seorang isteri yang sangat beliau
cintai. Tuduhan yang demikian itu menyinggung kehormatan dan kemuliaan beliau. Sedang
wahyu pun datang terlambat, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam dan para sahabat
merasa sangat sedih. Beliau berusaha dengan bersungguh-sungguh untuk meneliti dan
memusyawarahkannya. Dan satu bulan pun berlalu, akan tetapi akhirnya ia hanya dapat
mengatakan kepadanya:
ِٟثُٛرَٚ ََّللا
َّ ٞت فَب ْعز َ ْغ ِف ِش ِ ّْ َّ ٌْ َ ذ أ
ٍ ْٔ َذ ثِز ِ ْٕ ِا ْْ ُوَٚ َُّللا َ َئَخً ف٠ذ ثَ ِش
َّ ُجَ ِ ّشئ ُ ِه١غ َ َِٟٕ((فَبَُِّٔٗ ثٍََغ
ِ ْٕ َوزَا فَبِ ْْ ُوَٚ ػ ْٕ ِه َوزَا
]ٕٗٙ1 :ٞاٖ اٌجخبسٚ ِٗ)) [س١ْ ٌَِا
27
“Telah sampai kepadaku berita yang begini dan begitu. Apabila engkau benar-benar bersih
maka Allah akan membersihkanmu. Dan apabila engkau telah berbuat dosa maka mohon
ampunlah engkau kepada Allah dan bertaubatlah.” (HR. Al-Bukhari, no. 2467)3
Keadaan terus berlangsung seperti itu hingga akhirnya wahyu turun dan menyatakan
kebersihan isterinya itu. Maka apakah yang menghalangi beliau untuk mengatakan kata-kata
yang dapat mematahkan para penuduh itu dan melindungi kehormatan beliau, seandainya
Al-Qur`an kata-kata beliau sendiri. Tetapi beliau tidak mau berdusta kepada manusia dan
juga tidak mau berdusta kepada Allah SWT.
)ٗٙ( َٓ١ِرَٛ ٌط ْؼٕب ِِ ُْٕٗ ْا ِ ِّ َ١ًٌ (ٗٗ) َل َ َخزْٔب ِِ ُْٕٗ ِث ْب٠
َ َٓ (٘ٗ) ص ُ َُّ ٌَم١ ِ ِٚ ط ْالَلب
َ ْٕب ثَ ْؼ١ٍَػ َ َيَّٛ َ رَمْٛ ٌََٚ
ِ ُْٕٗ ػ
)ٗ1( َٓ٠ؽبع ِض َ فَّب ِِ ْٕ ُى ُْ ِِ ْٓ أ َ َؽ ٍذ
“Seandainya dia (Muhammad) mengadakan sebagian perkataan atas (nama) Kami.
Niscaya benar-benar Kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian benar-benar
Kami potong urat tali jantungnya. Maka sekali-kali tidak ada seorangpun dari kamu yang
dapat menghalangi (Kami), dari pemotongan urat nadi itu.” (QS. Al-Haaqqah: 44-47)
(4) Ada segolongan orang meminta izin untuk tidak ikut berperang di Tabuk.
Mereka mengajukan alasan. Di antara mereka terdapat orang-orang munafik yang sengaja
mencari-cari alasan. Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam. mengizinkan mereka. Maka
turunlah wahyu Al-Qur`an mencela dan menyalahkan tindakan beliau itu.
ِ ِ َّ َاَّلل عنْك ِِل أ َِذنْت ََلم ح ََّّت ي ت ب َّني ل
َ ِص َدقُوا َوتَ ْعلَ َم الْكاذب
) ني َ ين
َ ك الذَ َ َ ََ َ ُْ َ َ َ َ َُّ ( َع َفا
“Semoga Allah mema'afkanmu. Mengapa kamu memberi izin kepada mereka (untuk
tidak pergi berperang), sebelum jelas bagimu orang-orang yang benar (dalam
keuzurannya) dan sebelum kamu ketahui orang-orang yang berdusta?” (QS. At-Taubah:
43)
Seandainya teguran ini datang dari perasaannya sendiri dengan menyatakan
penyesalannya ketika ternyata pendapatnya itu salah, tentu teguran yang begitu keras itu
tidak akan beliau ungkapkan.
Begitu pula teguran kepada beliau karena menerima tebusan tawanan perang Badar.
Allah SWT. berfirman:
ُ ََّّللاَٚ َ ِخ َشح٢ذ ُ ْا٠ ُِش٠ َُّللا
َّ َٚ ب١ْٔ ُّض اٌذ َ َُْٚذ٠ض ر ُ ِش
َ ػ َش ِ ْال َ ْسُِٟضْ ِخَٓ ف٠ َّٝ َؽزَْٜ ٌَُٗ أَعْشَٛ ُى٠ ْْ َ ٍ أٟ
ّ ( َِب وب َْ ٌَِٕ ِج
)ٙ8( ُ١ػ ِظَ ػزاة َ ُْ ُ ّب أ َ َخ ْزر١ِغىُ ُْ ف
َّ َّ ٌَ َعجَك ِ َّ َِِٓ َل ِوزبةْٛ ٌَ )ٙ1( ُ١ض َؽ ِى٠ػ ِض
َ َّللا َ
“Tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan
musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawiyah sedangkan Allah
3
Periksa berita bohong (Hadits Al-Ifki) ini dalam Bukhari dan Muslim, serta dalam Hadits-Hadits lain. Juga
bisa dilihat pada tafsiran kisah itu dalam surat An-Nuur.
28
menghendaki (pahala) Akhirat (untukmu). Dan Allah Maha perkasa lagi Maha bijaksana.
Kalau sekiranya tidak ada ketetapan yang telah terdahulu dari Allah, niscaya kamu ditimpa
siksaan yang besar karena tebusan yang kamu ambil.” (QS. Al-Anfaal: 67-68)
(5) Begitu juga adanya teguran karena berpaling dari Abdullah bin Ummi Maktum
Radhiyallahu anhu yang buta. Karena menekuni salah seorang pembesar Quraisy untuk
diajak masuk Islam.
)ٗ( َٜزَّ َّو ُش فَز َ ْٕفَؼَُٗ اٌ ِزّ ْوش٠ ْٚ َ (ٖ) أَٝ َّض َّو٠ ٍََُّٗه ٌَؼ٠
َ ُذْ ِس٠ ِبَٚ )ٕ( ّْٝ (ٔ) أ َ ْْ عب َءُٖ ْالَػٌَََّٝٛ رَٚ ظ
َ َػج
َ
َٛ ُ٘ َٚ )8( َٝغْؼ٠ أ َ َِّب َِ ْٓ عب َء َنَٚ )1( َٝ َّض َّو٠ َّ َْه أََل١ٍَػ
َ ِبَٚ )ٙ( َّٜصذ َ ْٔ َ (٘) فَؤٕٝأ َ َِّب َِ ِٓ ا ْعز َ ْغ
َ َ ذ ٌَُٗ ر
)ٔٔ( ب رَزْ ِو َشحَّٙٔ (ٓٔ) َولَّ ِاَّٝٙ ٍََػ ُْٕٗ ر َ ْٔ َ ) فَؤ3( َٝ ْخش٠
َ ذ
“Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling. Karena telah datang seorang
buta kepadanya.4 Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa).
Atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat
kepadanya?! Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup.5 Maka kamu melayaninya.
Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau dia tidak membersihkan diri (beriman). Dan
adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran).
Sedang ia takut kepada (Allah). Maka kamu mengabaikannya. Sekali-kali jangan
(demikian)! Sesungguhnya ajaran-ajaran Tuhan itu adalah suatu peringatan.” (QS. Abasa:
1-11)
Yang dikenal dari perilaku kehidupan Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam,
sesungguhnya beliau sejak kecil merupakan teladan yang khas dalam hal budi pekerti yang
baik, perilaku mulia, ucapan yang benar, dan kejujuran dalam kata serta perbuatan.
Masyarakatnya pun sendiri telah menyaksikan semua itu ketika beliau mengajak mereka
pada permulaan dakwah. Beliau berkata kepada mereka:
َ ا َِب َع َّش ْثَٕبٌُٛ لَبٟ
َْه١ٍَػ َ ُِ ُْ ُ ؼ َ٘زَا ْاٌ َغجَ ًِ أ َ ُو ْٕز
َّ ص ِذّ ِل َ ْٓ ِِ ًْل ر َ ْخ ُش ُط١ز ُ ُْ ِا ْْ أ َ ْخجَ ْشر ُ ُى ُْ أ َ َّْ َخ٠ْ َ ((أ َ َسأ
ِ ع ْف
]ٖٓ1 :ٞاٖ اٌجخبسَٚو ِزثًب)) [س
“Bagaimana pendapat kalian sekiranya saya mengatakan kepada kalian bahwa
pasukan berkuda di balik lembah ini akan menyerang kalian, apakah kalian percaya kepada
saya?! Mereka menjawab: Ya, kami tidak pernah melihat anda berkata dusta sekalipun.”
(HR. Al-Bukhari, no. 307)
4
Orang buta itu bernama Abdullah bin ummi Maktum. Dia datang kepada Rasulullah s.a.w. meminta ajaran-
ajaran tentang Islam; lalu Rasulullah s.a.w. bermuka masam dan berpaling daripadanya. Karena beliau sedang
menghadapi pembesar Quraisy dengan pengharapan agar pembesar-pembesar tersebut mau masuk Islam.
Maka turunlah surat ini sebagai teguran kepada Rasulullah s.a.w.
5
Yaitu pembesar-pembesar Quraisy yang sedang dihadapi Rasulullah s.a.w. yang diharapkannya dapat masuk
Islam.
29
Gaya hidup beliau yang suci itu menjadi daya tarik bagi manusia untuk masuk Islam.
Dari Abdullah bin Sallam Radhiyallahu anhu dia berkata:
َُٗٙ ْعَٚ َُّ ْٕذ١َ فٍََ َّّب ر َج،ًَ َ َّ ِٓ ا ْٔ َغف١ِ فَ ُى ْٕذُ ف،ِٗ ١ْ ٍَػ ُ ٌَّٕعٍَّ َُ ا ْٔ َغفَ ًَ ا
َ بط َ ُ هللاٍَّٝص
َ َٚ ِٗ ١ْ ٍَػ َ ٟ ُّ ((ٌَ َّّب لَذ ََِ إٌَّ ِج
]ٕٖ18ٗ :اٖ أؽّذٚة)) [س ٍ ْع ِٗ َوزَّاَٛ ْظ ِث َ ١ٌَ َُٗٙ ْعَٚ َّْ َ ػ َش ْفذُ أ
َ
“Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam datang ke Madinah, orang-orang
mengerumuninya. Mereka mengatakan: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam sudah
datang, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam sudah datang. Lalu saya datang dalam
kerumunan orang banyak itu untuk melihatnya. Ketika saya melihat wajah Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wasallam, tahulah saya bahwa wajah beliau itu bukanlah wajah seorang
pendusta.” (HR. Ahmad, no. 23784)
Orang yang memiliki sifat-sifat agung yang dihiasi oleh tanda-tanda kejujuran tidak
pantas diragukan ucapannya ketika dia menyatakan tentang dirinya bahwa bukan dialah
yang membuat Al-Qur`an.
ٍَ ْٛ َ٠ زاة
َ ػ َ ّٟذُ َس ِث١ْ ص
َ ػ ُ َ أِّٟٔ ِ اٟ
َ ْْ ِخبف ا ِ ٍْ ِ أ َ ْْ أُثَ ِذٌَُّٗ ِِ ْٓ رٌِٟ ُْ َٛ ُى٠ لُ ًْ َِب
َّ ٌَِ اٝؽُٛ٠ اِ ْْ أَرَّجِ ُغ اَِلَّ َِبِٟمبء َٔ ْفغ
)ٔ٘( ُ١ٍ ػ ِظ
َ
“Katakanlah: Tidaklah patut bagiku menggantinya dari pihak diriku sendiri. Aku
tidak mengikut kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Sesungguhnya aku takut jika
mendurhakai Tuhanku kepada siksa hari yang besar (kiamat).” (QS. Yunus: 15)
30
wasallam dalam Hadits sahih yang datang dari Nabi Muhammad Shallallahu „alaihi
wasallam. Bagi kita sudah cukup beriman bahwa kalam itu adalah salah satu sifat di antara
sekian sifat Allah. Allah berfirman:
]ٔٙٗ/ ًّب [إٌغبء١ٍِ ر َ ْىٝع َّ َُ ٍَّ َوَٚ
َ ُِٛ َُّللا
“Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung.” (QS. An-Nisa‟: 164)
Demikian pula Al-Qur`an –wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad -
adalah kalamullah, bukan makhluk. Sebagaimana tersirat dalam ayat:
31
penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang
bathil).” (QS. Al-Baqarah: 185)
Juga firmanNya:
)ٔ( ٍَ ِخ ْاٌمَذْ ِس١ْ ٌَ ِٟأَّب أ َ ْٔضَ ٌْٕبُٖ ِف
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Quran) pada malam kemuliaan.”
(QS. Al-Qadar: 1)
Juga firmanNya pula:
32
َُّ ُ ص,ًعَٕخ
َ َٓ٠ْ ِػ ْش ِشٟ ْ ِ ص ُ َُّ أ ُ ْٔ ِض َي ثَ ْؼذ َ رَ ٌِ َه ف.ٍَخَ ْاٌمَذْ ِس١ْ ٌَ َب١ْٔ ُّبء اٌذ َّ ٌ اٌَِٝاؽذَح ً ا
ِ َّ غ ِ َٚ ًآْ ُع ٍَّْخ ُ ((أ ُ ْٔ ِض َي ْاٌمُ ْش
ٍَٝػ َ َُٖلُ ْشآًٔب فَ َش ْلَٕبُٖ ٌِز َ ْم َشأٚ{َ ،]ٖٖ :ْشا} [اٌفشلب١ِ ً غَٓ ر َ ْفغ َ ْأَؽَٚ ك َ ْٕٔ ََه ثِ َّضَ ًٍ اِ ََّل ِعئَُٛؤْر٠ َلٚ{
ِ ّ َبن ثِ ْبٌ َؾ َ :َلَ َشأ
ً ٔ ََّض ٌَْٕبُٖ ر َ ْٕ ِضَٚ ش
]ٔٓٙ :ل} [العشاء٠ ٍ ُِ ْىٍَٝػ ِ ٌَّٕا
َ بط
“Al-Qur`an diturunkan sekaligus ke langit dunia pada malam lailatul qadr.
Kemudian setelah itu, ia diturunkan selama dua puluh tahun. Lalu dia membacakan: ‘Dan
tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu membawa sesuatu yang ganjil,
melainkan Kami mendatangkan kepadamu sesuatu yang benar dan paling baik
penjelasannya’. (QS. Al-Furqan: 33) ‘Dan Al-Qur`an telah Kami turunkan dengan
berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan
Kami menurunkannya bagian demi bagian. ’ (QS. Al-Isra: 106)” (HR. Al-Bukhari)
(2)Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma berkata:
ٍَٝػ
َ ِٗ َ ْٕ ِض ُي ِث٠ ًُ ٠ْ فَ َغؼَ ًَ ِع ْج ِش،َب١ْٔ ُّبء اٌذ َّ ٌذ ْاٌ ِؼ َّض ِح ِِ َٓ ا
ِ َّ غ ِ ُٛ َاٌمشآْ َِِٓ اٌ ِزّ ْو ِش ف
ِ ١ْ َ ثْٟ ظ َغ ِف ُ ًَ ص ِ ُ((ف
))َُ ٍَّع
َ َٚ ِٗ ١ْ ٍَػ َّ ٍَّٝص
َ َُّللا ّ إٌَّ ِج
َ ِٟ
“Al-Qur`an dipisahkan dari Adz-Dzkir (lauhul mahfudz), lalu diletakkan di Baitul
Izzah di langit dunia. Maka Jibril mulai menurunkannya kepada Nabi .” (HR. Al-Hakim)
(3)Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu juga berkata:
َ ٌُُُٗ ْٕ ِض٠ َُّللا
ُ َسٍَٝػ
ِٗ ٌِ ْٛ ع ِ َٚ ًآْ ُع ٍَّْخ
َ ٌَٝاؽذَح ً ِا
َّ َْ َوبَٚ ،َِ ْٛ الِغِ إٌُّ ُغَٛ َّ ِ َوبَْ ثَٚ ،َب١ْٔ ُّع َّب ِء اٌذ ُ ((أ ُ ْٔ ِض َي ْاٌمُ ْش
ٍ ِاصْ ِش ثَ ْؼْٟ ِعُٗ ف
))ط َ عٍَّ َُ ثَ ْؼ َ ُ هللاٍَّٝص
َ َٚ ِٗ ١ْ ٍَػ َ
“Allah menurunkan Al-Qur`an sekaligus ke langit dunia, tempat turunnya secara
berangsur-angsur. Lalu Dia menurunkannya kepada RasulNya sebagian demi sebagian.”
(HR. Al-Hakim dan Al-Baihaqi)
Madzhab kedua: Yaitu yang diriwayatkan dari Asy-Sya‟bi bahwa yang dimaksud
dengan turunnya Al-Qur`an dalam ketiga ayat ialah permulaan turunnya Al-Qur`an kepada
Rasulullah . Permulaan turunnya Al-Qur`an itu dimulai pada malam lailatul qadr di bulan
ramadhan, yang merupakan malam yang diberkahi. Kemudian turunnya itu berlanjut
sesudah itu secara bertahap sesuai dengan kejadian dan peristiwa-peristiwa selama kurang
lebih dua puluh tiga tahun. Dengan demikian, Al-Qur`an hanya satu macam cara turun,
yaitu turun secara bertahap kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam. Sebab yang
demikian inilah yang dinyatakan oleh Al-Qur`an:
)ٔٓٙ( ًل٠ٔ ََّض ٌْٕبُٖ ر َ ْٕ ِضَٚ ش
ٍ ُِ ْىٍٝػ َ َُٖلُ ْشآٔب ً فَ َش ْلٕبُٖ ٌِز َ ْم َشأَٚ
ِ ٌَّٕ اٍَٝػ
َ بط
“Dan Al Quran itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu
membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi
bagian.” (QS. Al-Isra‟: 106)
33
Dalil lainnya, orang-orang musyrik yang diberitahu bahwa kitab-kitab samawi
terdahulu turun sekaligus, menginginkan agar Al-Qur`an juga diturunkan sekaligus. Allah
berfirman:
)ٖٕ( ًل١ِ َسر َّ ٍْٕبُٖ ر َْشرَٚ ذ ثِ ِٗ فُئادَ َن ُ ِٗ ْاٌمُ ْش١ْ ٍَػ
ِ ًآْ ُع ٍَّْخ
َ ّاؽذَح ً وَز ٌِ َه ٌُِٕض َ ِجٚ َ َل ُٔ ِ ّض َيْٛ ٌَ اَٚٓ َوفَ ُش٠ِلب َي اٌَّزَٚ
)ٖٖ( ً شا١ِغَٓ ر َ ْفغ َ ْأَؽَٚ ك َ ْٔ ََه ثِ َّض َ ًٍ اَِلَّ ِعئَُٛؤْر٠ َلَٚ
ِ ّ ٕبن ثِ ْبٌ َؾ
“Berkatalah orang-orang yang kafir: „Mengapa Al-Quran itu tidak diturunkan
kepadanya sekali turun saja?‟; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan
Kami membacakannya secara tartil (teratur dan benar). Tidaklah orang-orang kafir itu
datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu
suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya.” (QS. Al-Furqan: 32-33)
Dalil lainnya: Keistimewaan bulan Ramadhan dan lailatul qadar yang merupakan
malam yang diberkahi itu tidak akan kelihatan oleh manusia kecuali apabila yang
dimaksudkan dari ketiga ayat di atas adalah turunnya Al-Qur`an kepada Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wasallam. Yang demikian ini sesuai dengan apa yang terdapat dalam
firman Allah mengenai perang badar:
َ ًِّ ُوٍٝػ
)ٗٔ( ش٠ِءٍ لَذْٟ ش ِ ّْ ْاٌ َغَٝ ََ ْاٌزَمْٛ َ٠ ْلب
َّ َٚ ْؼب
َ َُّللا ِ ََ ْاٌفُ ْشْٛ َ٠ ػ ْجذِٔب َ ِب أ َ ْٔضَ ٌْٕبَٚ
َ ٍٝػ
“Dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari
Furqaan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan. dan Allah Maha kuasa atas segala
sesuatu.” (QS. Al-Anfaal: 41)
Madzhab ketiga: Berpendapat bahwa Al-Qur`an diturunkan ke langit dunia selama
dua puluh tiga malam lailatul qadar. Yang pada setiap malamnya selama malam-malam
lailatul qadr itu ada yang ditentukan Allah untuk diturunkan pada setiap tahunnya. Dan
jumlah wahyu yang diturunkan ke langit dunia di malam lailatul qadr untuk masa satu tahun
penuh itu, kemudian diturunkan secara berangsur-angsur kepada Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam sepanjang tahun. Madzhab ini adalah hasil ijtihad sebagian mufassir.
Pendapat ini tidak mempunyai dalil.
Adapun madzhab kedua yang diriwayatkan dari Asy-Sya‟bi dengan dalil-dalil sahih
dan dapat diterima, tidaklah bertentangan dengan madzhab pertama yang diriwayatkan Ibnu
Abbas.
Dengan demikian maka pendapat yang kuat ialah bahwa Al-Qur`an itu diturunkan
dua kali: pertama: Diturunkan secara sekaligus pada malam lailatul qadr ke Baitul Izzah di
langit dunia. Kedua: Diturunkan dari langit dunia ke bumi secara berangsur-angsur selama
dua puluh tiga tahun.
34
Al-Qurthubi telah menukil dari Muqatil bin Hayyan tentang kesepakatan (ijma‟)
para ulama‟ bahwa turunnya Al-Qur`an adalah sekaligus dari lauhul mahfudz ke Baitul
Izzah di langit dunia. Ibnu Abbas memandang tidak ada pertentangan antara ketiga ayat di
atas yang berkenaan dengan turunnya Al-Qur`an dengan kejadian nyata dalam kehidupan
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam. bahwa Al-Qur`an itu turun selama dua puluh tiga
tahun yang bukan bulan Ramadhan. Dari Ibnu Abbas disebutkan:
أ ُ ْٔ ِض َيِٞعبَْ اٌَّزَ َِ ُش َسْٙ ش َّ ٌ اْٟ ِ لَ ٍْجْٟ ِلَ َغ فْٚ َ أ:دَ فَمَب َيَٛ َّخُ ْث ُٓ ْال َ ْع١ػ ِط
َ { :ٌٌََُٝٗ ر َؼَبْٛ َش ُّه ل َ ٌََُٗ عؤ
َ ََُّٗٔ ((أ
ْٟ ِفَٚ ،اي ٍ َّٛ شَ ْٟ ِ َ٘زَا أ ُ ْٔ ِض َي فَٚ ,]ٔ :ٍَ ِخ ْاٌمَذْ ِس} [اٌمذس١ْ ٌَ ِٟ { ِأَّب أ َ ْٔضَ ٌَْٕبُٖ ف:ٌٗٛلٚ ، ]ٔ8٘ :آْ} [اٌجمشح ُ ِٗ ْاٌمُ ْش١ِف
َ َِ َسْٟ ِ ِأَُّٗ أ ُ ْٔ ِض َي ف:بط
ْٟ عبَْ ِف َ ُٓ فَمَب َي ا ْث، ٍغ١ْ ِش َس ِثْٙ ش
ٍ َّػج َ َٚ َِ ْاٌ ُّ َؾ َّشِٟفَٚ ، ْاٌ ِؾ َّغ ِخٞ ِرِٟفَٚ ،ِ ْاٌمَ ْؼذَحِٞر
َ َٚ صفَ َش
ٗ٠ٚدٚاٖ اثٓ ِشَّٚ ِبَ)) [س٠َ ْالَٚ ِسْٛ ُٙ ش ُّ ٌ اِٟ َِ َسع ًْل فْٛ الِغِ إٌُّ ُغَٛ َِ ٍَٝػ َ اؽذَح ً ص ُ َُّ أ ُ ْٔ ِض َي
ِ َٚ ًٍَ ِخ ْاٌمَذْ ِس ُع ٍَّْخ١ْ ٌَ
]اٌصفبدٚ العّبءٟ فٟمٙ١اٌجٚ
“Sesungguhnya Ibnu Abbas ditanya oleh Athiyah bin Al-Aswad, ia berkata: Dalam
hatiku terdapat keraguan tentang firman Allah : „Bulan Ramadhan adalah bulan yang di
dalamnya diturunkan Al-Qur`an’. Dengan firmanNya: „Sesungguhnya kami
menurunkannya pada malam lailatul qadr’. Padahal Al-Qur`an itu ada yang diturunkan
pada bulan Syawal, Dzul Qa‟dah, Dzul Hijjah, Muharram, Safar, dan Rabiul Awwal. Ibnu
Abbas menjawab: Al-Qur`an diturunkan pada malam lailatul qadr sekaligus. Kemudian
diturunkan secara berangsur-angsur, sedikit demi sedikit dan terpisah-pisah serta
perlahan-lahan di sepanjang bulan dan hari.” (HR. Ibnu Mardawaih dan Al-Baihaqi dalam
Al-Asma‟ wa Ash-Shifaat)
35
petunjuk serta kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)‟.” (QS.
An-Nahl: 102)
Juga firmanNya:
)ٕ( ُ١ِ ض ْاٌ َؾ ِى٠
ِ َّللاِ ْاٌؼَ ِض ِ ًُ ْاٌ ِىزب٠ر َ ْٕ ِض
َّ َِِٓ ة
“Kitab (ini) diturunkan dari Allah yang Maha perkasa lagi Maha bijaksana.” (QS.
Al-Jatsiyah: 2)
Juga firmanNya:
36
“Dan Al Quran itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu
membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi
bagian.” (QS. Al-Israa‟: 106)
Maksudnya: Kami telah menjadikan turunnya Al-Qur`an itu secara berangsur-angsur
agar kamu membacakannya kepada manusia secara perlahan dan teliti dan Kami
menurunkannya bagian demi bagian sesuai dengan peristiwa dan kejadian.
Adapun kitab-kitab samawi yang lain, seperti Taurat, Injil, dan Zabur, maka
turunnya sekaligus. Tidak turun secara berangsur-angsur. Hal ini sebagaimana ditunjukkan
dalam firmanNya:
)ٖٕ( ًل١ َسر َّ ٍْٕبُٖ ر َْش ِرَٚ ذ ِث ِٗ فُئادَ َن ُ ِٗ ْاٌمُ ْش١ْ ٍَػ
ِ ًآْ ُع ٍَّْخ
َ ّاؽذَح ً وَز ٌِ َه ٌُِٕض َ ِجٚ َ َل ُٔ ِ ّض َيْٛ ٌَ اَٚٓ َوفَ ُش٠ِلب َي اٌَّزَٚ
“Berkatalah orang-orang yang kafir: „Mengapa Al-Quran itu tidak diturunkan kepadanya
sekali turun saja?‟. Demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami
membacanya secara tartil (teratur dan benar).” (QS. Al-Furqan: 32)
Ayat ini menunjukkan bahwa kitab-kitab samawi yang terdahulu turun sekaligus.
Dan inilah pendapat yang dijadikan pegangan oleh jumhur ulama‟. Seandainya kitab-kitab
terdahulu turun secara berangsur-angsur, tentulah orang-orang kafir tidak akan merasa heran
terhadap Al-Qur`an yang turun secara berangsur-angsur.
37
untuk tetap melangkahkan kaki di jalan dakwah tanpa menghiraukan perlakuan jahil yang
beliau hadapi dari masyarakatnya.
Allah Ta‟ala menegaskan kepada Rasulullah Shallallahu „alaihi wasallam. akan
sunnah-sunnahNya yang berkenaan dengan para Nabi terdahulu yang didustakan dan
dianiaya oleh kaum mereka. Tetapi mereka tetap bersabar sehingga datang pertolongan dari
Allah Ta‟ala. Dijelaskan pula bahwa kaum Rasulullah Shallallahu „alaihi wasallam itu
mendustakan beliau hanya karena kecongkakan dan kesombongan mereka. Sehingga beliau
akan menemukan sunnah Ilahi dalam iring-iringan para Nabi sepanjang sejarah. Yang
demikian ini dapat menjadi hiburan dan penerang bagi beliau dalam menghadapi gangguan
dan cobaan dari kaum beliau yang selalu mendustakan dan menolaknya.
Allah Ta‟ala berfirman:
ٌَْمَذَٚ )ٖٖ( ََُْٚغْ َؾذ٠ ِ َّد َّللا َّ َّٓ ٌ ِىَٚ ٔ ََهُُٛ َى ِزّث٠ ُْ ََلُٙ ََِّْٔ فَبٌَُُٛٛم٠ َِٞؾ ُْضُٔ َه اٌَّز١ٌَ َُِّٗٔلَذْ َٔ ْؼٍَ ُُ ا
ِ ب٠َٓ ثِآ١ِّ ٌِ اٌظب
ٌَمَذْ عب َء َنَٚ ِ َّد َّللا
ِ َل ُِجَ ِذّ َي ٌِ َى ٍِّبَٚ ص ُشٔب ْ َٔ ُْ ُ٘ أَربَّٝا َؽزُٚرُٚأَٚ اُٛ َِب ُو ِزّثٍٝػ َ اٚصجَ ُش َ َعً ِِ ْٓ لَ ْج ٍِ َه ف ْ َُو ِزّث
ُ ذ ُس
َ ِِ ْٓ َٔجَبِ ْاٌ ُّ ْش
)ٖٗ( َٓ١ٍِع
“Sesungguhnya Kkami mengetahui bahwasanya apa yang mereka katakan itu
menyedihkan hatimu, (janganlah kamu bersedih hati), karena mereka sebenarnya bukan
mendustakan kamu, akan tetapi orang-orang yang zalim itu mengingkari ayat-ayat Allah.
Dan sesungguhnya telah didustakan (pula) Rasul-Rasul sebelum kamu, akan tetapi mereka
sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan (yang dilakukan) terhadap mereka, sampai
datang pertolongan Allah kepada mereka. Tak ada seorangpun yang dapat merobah
kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Dan sesungguhnya telah datang kepadamu sebahagian
dari berita Rasul-Rasul itu.” (QS. Al-An‟am: 33-34)
Juga berfirman:
39
Maka turunlah Al-Qur`an dengan ayat yang menjelaskan kepada mereka segi
kebenaran dan memberikan jawaban yang amat jelas atas pertanyaan mereka, misalnya
firman Allah Ta‟ala:
َ ْأَؽَٚ ك
)ٖٖ( ً شا١ِغَٓ ر َ ْفغ َ ْٔ ََه ِث َّض َ ًٍ ِاَلَّ ِعئَُٛؤْر٠ َلَٚ
ِ ّ ٕبن ِث ْبٌ َؾ
“Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil,
melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik
penjelasannya.” (QS. Al-Furqan: 33)
Maksud ayat tersebut ialah: Setiap mereka datang kepadamu dengan pertanyaan
yang aneh-aneh dari sekian pertanyaan yang sia-sia, Kami datangkan kepadamu jawaban
yang benar dan sesuatu yang lebih baik maknanya daripada pertanyaan-pertanyaaan yang
hanya merupakan contoh kesia-siaan saja.
Hikmah yang seperti ini juga diisyaratkan oleh keterangan yang terdapat dalam
beberapa riwayat dalam Hadits Ibnu Abbas mengenai turunnya Al-Qur`an:
] ؽبرُ ػٓ اثٓ ػجبطٟاثًب)) [أخشعٗ اثٓ أثُٛ عٌٙ ئًب أؽذس هللا١ا شْٛ ارا أؽذصٛ((فىبْ اٌّششو
“Apabila orang-orang musyrik mengadakan sesuatu maka Allah pun mengadakan
jawabannya atas mereka.” (HR. Ibnu Abi Hatim dari Ibnu Abbas)
Hikmah ketiga: Mempermudah hafalan dan pemahamannya:
Al-Qur`an turun di tengah-tengah umat ummi, yang tidak pandai membaca dan
menulis. Catatan mereka adalah hafalan dan daya ingatan. Mereka tidak mempunyai
pengetahuan tentang cara penulisan dan pembukuan yang dapat memungkinkan mereka
menuliskan dan membukukannya. Kemudian menghafal dan memahaminya.
ْْ ِاَٚ َ ْاٌ ِؾ ْى َّخَٚ زبة
َ ُُ ْاٌ ِىُٙ ُّ ٍِّ َُؼ٠َٚ ُْ ِٙ ١ُضَ ِ ّو٠َٚ ِٗ ِبر٠ ُْ آِٙ ١ْ ٍَػ ُ َٓ َس١ّ١ِ ِّ ِ ُ ْالِٟش ف
َ اٍَُْٛز٠ ُْ ُٙ ْٕ ِِ ًَلٛع َ َ ثَؼِٞ اٌَّزَٛ ُ٘
)ٕ( ٓ١ ٍ لي ُِ ِج
ٍ ظ َ ٟا ِِ ْٓ لَ ْج ًُ ٌَ ِفُٛٔوب
“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara
mereka, yang membacakan ayat-ayatNya kepada mereka, mensucikan mereka dan
mengajarkan mereka Kitab dan hikmah (As-Sunnah). Dan sesungguhnya mereka
sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Al-Jumu‟ah: 2)
Umat yang buta huruf itu tidaklah mudah untuk menghafal seluruh Al-Qur`an
seandainya Al-Qur`an diturunkan sekaligus, dan tidak mudah pula bagi mereka untuk
memahami maknanya dan memikirkan ayat-ayatnya. Jelasnya bahwa turunnya Al-Qur`an
secara berangsur-angsur, merupakan bantuan terbaik bagi mereka untuk menghafal dan
memahami ayat-ayatnya. Setiap kali turun satu atau beberapa ayat, para sahabat segera
menghafalnya, memikirkan maknanya dan mempelajari hukum-hukumnya. Tradisi
demikian ini menjadi suatu metode pengajaran dalam kehidupan para tabiin.
40
Abu Nadhrah berkata:
ّ د ِث ْبٌؼَ ِش
َّْ َُ ْخ ِج ُش أ٠َٚ ،ِ ٟ َ ّْ َخَٚ ،ِد ِث ْبٌغَذَاح
ٍ َب٠ظ آ َ ّْ ُؼَ ٍِّ َُّٕب ْاٌمُ ْشآَْ َخ٠ ِ ٞ
ٍ َب٠ظ آ ّ ٍذ ْاٌ ُخذْ ِس١ْ ع ِؼ
َ ْٛ ُ" َوبَْ أ َث
]د" [أخشعٗ اثٓ ػغبوش ٍ َب٠ظ آ َ ّْ د َخ ٍ َب٠ظ آ َ ّْ آْ َخ ِ ًَ َٔضَ َي ِث ْبٌمُ ْش٠ْ ِع ْج ِش
“Abu Said Al-Khudri mengajarkan Al-Qur`an kepada kami, lima ayat di waktu pagi
dan lima ayat di waktu petang. Dia memberitahukan bahwa Jibril menurunkan Al-Qur`an
lima ayat-lima ayat.” (HR. Ibnu Asakir)
Khalid bin Dinar berkata:
َْ َوب-َُ ٍَّع
َ َٚ ِٗ ١ْ ٍَػ َّ ٍَّٝص
َ َُّللا َّ ِ فَبِ َّْ إٌَّج،د
َ -ٟ ٍ َب٠ظ آ َ ّْ ا ْاٌمُ ْشآَْ َخْٛ ُّ ٍََّ ر َؼ:ََخ١ٌِ ْاٌؼَبْٛ ُ"لَب َي ٌََٕب أ َث
ٍ َب٠ظ آ
َ ّْ د َخ
"غب ً ّْ ًَ َخ٠ْ َؤ ْ ُخزُُٖ ِِ ْٓ ِع ْج ِش٠
ً ّْ غب َخ
“Abul Aliyah berkata kepada kami: Pelajarilah Al-Qur`an itu lima ayat demi lima
ayat. Karena Nabi mengambilnya dari Jibril lima ayat demi lima ayat.” (HR. Al-Baihaqi)
Umar bin Al-Khattab Radhiyallahu anhu berkata:
ِٗ ١ْ ٍَػ َّ ٍَّٝص
َ َُّللا ّ ِ إٌَّجٍَٝػ
َ ِٟ ِ َ ْٕ ِض ُي ثِ ْبٌمُ ْش٠ َْ ًَ َوب٠ْ فَبِ َّْ ِع ْج ِش،د
َ ْآ ٍ َب٠ظ آ َ ّْ ا ْاٌمُ ْشآَْ َخُّٛ ٍََّ"ر َؼ
ٍ َب٠ظ آ
َ ّْ د َخ
"غب ً ّْ عٍَّ َُ َخ
ً ّْ غب َخ َ َٚ
“Pelajarilah Al-Qur`an itu lima ayat demi lima ayat. Karena Jibril menurunkan Al-
Qur`an kepada Nabi lima ayat demi lima ayat.” (HR. Al-Baihaqi dalam Syu‟abul Iman)
Hikmah keempat: Kesesuaian dengan peristiwa dan pentahapan dalam penetapan
hukum.
Manusia tidak akan mudah mengikuti dan tunduk kepada agama yang baru ini
jikalau Al-Qur`an tidak menghadapi mereka dengan cara yang bijaksana, dan memberikan
kepada mereka beberapa obat penawar ampuh yang dapat menyembuhkan mereka dari
kerusakan dan kerendahan martabat. Setiap kali terjadi suatu peristiwa di antara mereka,
maka turunlah hukum mengenai peristiwa itu yang memberikan kejelasan statusnya dan
petunjuk serta meletakkan dasar-dasar perundang-undangan bagi mereka, sesuai dengan
situasi dan kondisi, satu demi satu. Dan cara demikian ini menjadi obat bagi hati mereka.
Pada mulanya Al-Qur`an meletakkan dasar-dasar keimanan kepada Allah, Malaikat-
MalaikatNya, kitab-kitabNya, Rasul-RasulNya, dan Hari Kiamat serta apa yang ada pada
Hari Kiamat itu seperti kebangkitan, hisab, balasan, Surga, dan Neraka. Untuk itu Al-Qur`an
menegakkan bukti-bukti dan alasan sehingga kepercayaan kepada berhala tercabut dari jiwa
orang-orang musyrik dan tumbuh sebagai gantinya aqidah Islam.
Al-Qur`an mengajarkan akhlaq mulia yang dapat membersihkan jiwa dan
meluruskan kebengkokannya, serta mencegah perbuatan yang keji dan munkar, sehingga
dapat terkikis habis akar kejahatan dan keburukan. Ia menjelaskan kaidah-kaidah halal dan
41
haram yang menjadi dasar agama dan menancapkan tiang-tiangnya dalam hal makanan,
minuman, harta benda, kehormatan dan nyawa.
Kemudian penetapan hukum bagi umat ini meningkat kepada penanganan penyakit-
penyakit sosial yang sudah mendarah daging dalam jiwa mereka sesudah digariskan kepada
mereka kewajiban-kewajiban agama dan rukun-rukun Islam yang menjadikan hati mereka
penuh dengan iman, ikhlas kepada Allah dan hanya menyembah kepadaNya serta tidak
mempersekutukanNya.
Contoh paling jelas mengenai penetapan hukum yang berangsur-angsur itu ialah
diharamkannya minuman keras. Mengenai hal ini pertama-tama Allah berfirman:
) ٍََُْٛ ْؼ ِم٠ ٍَ ْٛ ََخً ٌِم٠٢َ ر ٌِ َهٟغٕب ً ِا َّْ ِف ِ ْالَػْٕبَٚ ًِ ١د إٌَّ ِخ
َ ُْٕٗ ِِ َُْٚة رَز َّ ِخز
َ ِس ْصلب ً َؽَٚ ً عىَشا ِ ِِ ْٓ ص َ َّشاَٚ (
“Dan dari buah korma dan anggur, kamu buat minuman yang memabukkan dan rezki yang
baik. Sesunggguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah)
bagi orang yang memikirkan.” (QS. An-Nahl: 67)
Ayat ini menyebutkan tentang nikmat dan karunia Allah Ta‟ala. Apabila yang
dimaksud dengan sakar ialah khamer atau minuman yang memabukkan dan yang dimaksud
dengan rizqi ialah segala yang dimakan dari kedua pohon tersebut seperti kurma dan kismis
–dan inilah pendapat jumhur ulama‟- maka pemberian predikat baik kepada rizqi sementara
sakar tidak diberinya, merupakan indikasi bahwa dalam hal ini pujian Allah Ta‟ala hanya
ditujukan kepada rizqi dan bukan kepada sakar. Kemudian turun firman yang lain:
)ٔٔ3( ُ١ِ ة ْاٌ َغ ِؾ ْ َ ػ ْٓ أ
ِ صؾب ِ ّ ٕبن ِث ْبٌ َؾ
َ ًُ ََل ر ُ ْغئَٚ ً شا٠َِٔزَٚ ً شا١ِك ثَش َ ٍْ ع
َ ِأَّب أ َ ْس
“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: „Pada
keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa
keduanya lebih besar dari manfaatnya‟.” (QS. Al-Baqarah: 219)
Ayat ini membandingkan antara manfaat minuman keras (khamer) yang timbul
sesudah meminumnya seperti kesenangan dan kegairahan atau keuntungan karena
memperdagangkannya, dengan bahaya yang diakibatkannya seperti dosa, bahaya bagi
kesehatan tubuh, merusak akal, menghabiskan harta, dan membangkitkan dorongan-
dorangan untuk berbuat kenistaan dan durhaka. Ayat tersebut menjauhkan khamar dengan
cara menonjolkan segi bahayanya daripada manfaatnya. Kemudian turun firman Allah
Ta‟ala:
ُ ُْ ُ أ َ ْٔزَٚ َ صلح
) ٜعىبس َّ ٌا اُٛا ََل ر َ ْم َشثَُِٕٛ َٓ آ٠ِب اٌَّزَٙ ُّ٠ََب أ٠(
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam
keadaan mabuk.” (QS. An-Nisa‟: 43)
42
Ayat ini menunjukkan larangan meminum khamer pada waktu-waktu tertentu bila
pengaruh minuman itu akan sampai ke waktu shalat. Ini mengingat adanya larangan
mendekati shalat dalam keadaan mabuk, sampai pengaruh minuman itu hilang dan mereka
mengetahui apa yang mereka baca dalam shalatnya. Selanjutnya turun firman Allah Ta‟ala:
ُُْٖٛطبْ فَبعْ زَِٕج
ِ ١ش َّ ٌ ْال َ ْصَل َُ ِسعْظ ِِ ْٓ ػَ َّ ًِ اَٚ صبة ُ ْٔ َ ْالَٚ غ ُِش١ْ َّ ٌ ْاَٚ ا أَِّ َّب ْاٌ َخ ّْ ُشَُِٕٛ َٓ آ٠ِب اٌَّزَٙ ُّ٠ََب أ٠
ُ َ٠َٚ غ ِِش١ْ َّ ٌ ْاَٚ ْاٌخ َّْ ِشِٟ ْاٌجَ ْغعب َء فَٚ َ حٚذا
َ ُْ صذَّ ُو
ْٓ ػ َ ََٕ ُى ُُ ْاٌؼ١ْ َلِ َغ ثُٛ٠ ْْ َ ْطبْ أ
ُ ١ش َّ ٌذُ ا٠ ُِش٠ ) أَِّّب3ٓ( ٌََُْٛؼٍََّ ُى ُْ ر ُ ْف ٍِؾ
)3ٔ( َُْٛٙ َ ًْ أ َ ْٔز ُ ُْ ُِ ْٕزَٙ َصلحِ ف
َّ ٌػ ِٓ ا ِ َّ ِر ْو ِش
َ َٚ َّللا
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi,
(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan
syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.
Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di
antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari
mengingat Allah dan shalat. Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).”
(QS. Al-Maidah: 90-91)
Ini merupakan pengharaman secara pasti dan tegas terhadap minuman keras dalam
segala waktu. Hikmah penetapan hukum dengan sistim bertahap ini lebih lanjut
diungkapkan dalam Hadits yang diriwayatkan Aisyah Radhiyallahu anha ketika
mengatakan:
ٌَِٝبط اُ ٌَّٕبة ا َ َ اِرَا صَّٝبس َؽز ِ ٌَّٕاَٚ ب ِر ْو ُش ْاٌ َغَّٕ ِخَٙ ١ِص ًِ ف
َّ َسح ِِ ْٓ ْاٌ ُّفٛ
َ ع ُ ُْٕٗ ِِ َي َِب َٔضَ َيَّٚ َ ((أَِّ َّب َٔضَ َي أ
َٔضَ َي ََلْٛ ٌََٚ ا ََل َٔذَعُ ْاٌخ َّْ َش أَثَذًاٌُٛا ْاٌخ َّْ َش ٌَمَبُٛءٍ ََل ر َ ْش َشثَٟ ْ َي شَّٚ َ َٔضَ َي أْٛ ٌََٚ َُ ا ٌْ َؾ َشاَٚ الع َْل َِ َٔضَ َي ْاٌ َؾ َل ُي
ِْ
]ٗٙٓ3 :ٞاٌضَٔب أَثَذًا)) [أخشعٗ اٌجخبس ِّ عُ َا ََل َٔذٌُٛا ٌَمَبُٛٔر َْض
“Sesungguhnya yang pertama kali turun dari Al-Qur`an ialah surat Mufashshal
yang di dalamnya disebutkan Surga dan Neraka. Sehingga ketika manusia telah berlari
kepada Islam maka turunlah hukum halal dan haram. Kalau sekiranya yang turun pertama
kali adalah: „Janganlah kamu meminum khamar‟, tentu mereka akan menjawab: „Kami
tidak akan meninggalkan khamar selamanya‟. Dan kalau sekiranya yang pertama kali turun
adalah: „Janganlah kamu berzina‟, tentu mereka akan menjawab: „Kami tidak akan
meninggalkan zina selamanya‟. ” (HR. Al-Bukhari)
Hikmah kelima: Bukti yang pasti bahwa Al-Qur‟an diturunkan dari sisi yang Maha
bijaksana dan Maha terpuji. Al-Qur‟an yang turun secara berangsur-angsur kepada
Rasulullah dalam waku lebih dari dua puluh tahun ini ayatnya atau ayat-ayatnya turun
dalam selang waktu tertentu. Dan selama itu orang membacanya dan mengkajinya surat
demi surat. Ketika itu ia melihat rangkaiannya begitu padat, tersusun cermat sekali denga
makna yang saling bertaut, dengan gaya yang begitu kuat, serta ayat demi ayat dan surat
43
demi surat saling terjalin bagaikan untaian mutiara yang indah yang belum pernah ada
bandingannya dalam perkataan manusia:
ٍ ُِ َخج١ٍ ذ ِِ ْٓ ٌَذ ُْْ َؽ ِى
) ٔ( ش١ ْ ٍَص ْ َّ اٌش ِوزبة أ ُ ْؽ ِى
ّ ِ ُبرُُٗ ص ُ َُّ ف٠ذ آ
" Alif laam raa'. (Inilah) suatu Kitab yang ayat-ayatNya disusun dengan rapi serta
dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha bijaksana lagi
Maha tahu." (QS. Huud: 1)
Seandainya Al-Qur‟an ini perkataan manusia yang disampaikan dalam berbagai
situasi, peristiwa, dan kejadian, tentulah di dalamnya terjadi ketidakserasian dan saling
bertentangan satu dengan yang lain, serta sulit terjadi keseimbangan.
ً ِ ِٗ ا ْخزِ َلفًب َوض١ِا فُٚ َعذَٛ ٌَ َّللا
]8ٕ/شا [إٌغبء١ ِ َّ ِْش١ َوبَْ ِِ ْٓ ِػ ْٕ ِذ َغْٛ ٌََٚ
"Kalau sekiranya Al-Qur‟an itu bukan dari sisi Allah Ta'ala, tentulah mereka dapati
banyak saling pertentangan di dalamnya." (QS. An-Nisa': 82)
Hadits-Hadits Rasulullah sendiri yang merupakan puncak kefasihan dan paling
bersastra sesudah Al-Qur‟an, tidaklah tersusun dalam bentuk sebuah buku dengan ungkapan
yang lancar serta satu dengan yang lain saling berkait dalam suatu kesatuan dan ikatan
seperti halnya Al-Qur‟an. Atau dalam bentuk susunan yang serasi dan harmoni yang
mendekatinya sekalipun, apalagi ucapan dan perkataan manusia lainnya.
شا١ َ ط
ً ِٙ ظ ُ َوب َْ ثَ ْؼْٛ ٌََٚ ِٗ ٍِ ْ َْ ثِ ِّضَُٛؤْر٠ ا ثِ ِّضْ ًِ َ٘زَا ْاٌمُ ْشآ َ ِْ ََلَُٛؤْر٠ ْْ َ أٍَٝ ْاٌ ِغ ُّٓ َػَٚ ظ
ٍ ُْ ٌِجَ ْؼُٙ ع ِْ ذ
ُ ْٔ ال ِ َلُ ًْ ٌَئِ ِٓ اعْ ز َ َّؼ
]88/[العشاء
"Katakanlah: Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang
serupa dengan Al-Qur‟an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa
dengannya sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain." (QS.
Al-Isra': 88)
6
Hadits no. 5003, kitab fadhaail al-quran.
45
“Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak ikut berperang) yang tidak
mempunyai 'uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah.” (QS. An-Nisa`: 95)
Maka rasulullah bersabda,
:ب)) [رواه البخ اري َ ََّواةِ ُ)َّ ق ِ ِ ِ ِ ِ ((ادعُ ِل َزيْ ًدا ولْي ِج ل ِابللَّ و َِّ وال د
ْ ُال ا ْكت َ َّواة َوالْ َكت ت أ َْو الْ َكت ت َوال د
َ َ ْ ْ ََ ْ
]ٗ99ٓ
“Panggilkan zaid untukku. Katakan padanya agar membawa papan, tinta dan kulit. Atau
kulit dan tinta. Kemudian rasul berkata kepadanya: tulislah!” (HR. Al-Bukhari, no. 4990)
Di antara para sahabat selain para penulis wahyu, ada beberapa sahabat yang
menulis Al-Qur`an dengan kehendak mereka meski tidak diperintah rasul untuk itu. Satu
orang dari mereka memiliki tulisan Al-Qur`an yang tidak dimiliki oleh lainnya. Buktinya
adalah ucapan zaid bin Tsabit yang berbunyi,
ٟثَ ِخ َِ َغ أ َ ِثْٛ َّ سحِ اٌزٛ
َ ع ِ ُ َعذْدَٚ َّٝاٌش َعب ِي َؽز
ُ آخ َش ّ ِ سُٚ ِ صذ ِ اٌ ٍِّخَٚ ت
ُ َٚ َبف ِ غ ُ ُ"فَزَزَجَّ ْؼذُ ْاٌمُ ْشآَْ أ َ ْع َّؼُُٗ ِِ ْٓ ْاٌؼ
"} ُْ ُّ ػِٕزَ ِٗ َِب١ْ ٍَػ َ ض٠ػ ِضَ ُْ ي ِِ ْٓ أ َ ْٔفُ ِغ ُىٛع َ ِ ٌَ ُْ أ َ ِعذَْ٘ب َِ َغ أ َ َؽ ٍذٞ
ُ { ٌَمَذْ َعب َء ُو ُْ َس:ِٖ ِْش١غ ّ بس
ِ صَ ْٔ َ َّخَ ْال٠ْ َُخض
]ٗ38ٙ :ٞاٖ اٌجخبسٚ[س
“Maka saya mencari-cari Al-Qur`an untuk dikumpulkan, dari pelepah kurma, batu-batu,
dan hafalan para sahabat. Hingga saya menemukan akhir surat at-taubah pada Abu
Khuzaimah Al-Anshari, saya tidak mendapati ayat ini pada sahabat lainnya. Yaitu firman
Allah QS. At-taubah: 128 yang berbunyi: Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul
dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu.” (HR. Al-Bukhari: 4986).
4- Jam`ul qur`an yang berarti: menggabungkan sebagiannya dengan sebagian yang
lain, atau mengumpulkannya menjadi satu setelah bercerai berai pada zaman nabi . Inilah
yang dimaksud dengan al-jam`u al-haqiqi, dan disebut pula dengan al-jam`u al-awwal.
5-Jam`ul qur`an yang berarti penulisannya kembali ke dalam mushaf-mushaf. Yakni
menulis ulang teks Al-Qur`an pada al-jam`u al-awwal untuk diperbanyak.
46
Alasan kenapa Rasulullah Shallallahu „alaihi wasallam. tidak membukukan Al-
Qur`an: karena beliau masih terus menunggu-nunggu turunnya wahyu. Sebab terkadang
datang wahyu yang memerintah beliau agar menghapus bacaan sebagian Al-Qur`an, seperti
ayat rajam pada surat an-nuur. Atau menggabungkan ayat yang baru turun pada kumpulan
surat yang sudah turun, seperti akhir surat yang diwahyukan, kemudian digabungkan dengan
surat Al-Maidah. Sebagaimana fakta membuktikan.
Utsman bin Affan berkata,
47
dikumpulkan dari pelepah kurma, batu-batu dan hafalan para sahabat… setelah terkumpul
mushaf (lembaran) itu, ia disimpan oleh Abu Bakar sampai ia meninggal dunia. Kemudian
disimpan oleh Umar bin Khattab, setelah itu disimpan oleh putrinya “Hafshah” setelah
Umar meninggal dunia.” (HR. Al-Bukhari, no. 4986)
Dalam penulisan Al-Qur`an, Zaid bin Tsabit sangat berhati-hati dan waspada. Ia
tidak menerima Al-Qur`an, cukup dari hafalan saja tanpa ada tulisannya. Dalam ucapannya,
“Saya mendapatkan akhir surat at-taubah pada Abu Khuzaimah Al-Anshari dan tidak
mendapatkannya pada sahabat yang lain.” Adalah sebuah bukti bahwa ia tidak
mendapatkan ayat ini dalam keadaan tertulis pada sahabat-sahabat lainnya. Sebab ia sendiri
telah menghafal ayat tersebut, demikian pula kebanyakan para sahabat. Tapi ia tidak mau
menerimanya, karena dalam penulisan Al-Qur`an ini, ia berpandu pada hafalan dan tulisan
secara bersamaan.
Jadi, ayat ini sudah dihafal oleh kebanyakan sahabat. Mereka juga bersaksi bahwa ia
telah ditulis. Tetapi ayat tersebut tidak ditemukan dalam keadaan tertulis kecuali pada Abu
Khuzaimah Al-Anshari.
Diriwayatkan dalam sunan Abu Dawud dari Yahya bin Abdurrahman bin Hatib,
bahwa Umar berkata, “Barangsiapa mengambil dari Rasulullah sesuatu dari Al-Qur`an,
hendaklah ia mendatangkannya kepada kita.” Dan adalah para sahabat, mereka menulis Al-
Qur`an ini pada lembaran, pelepah kurma, dan kayu-kayu. Tetapi Umar tidak menerima
sedikit pun Al-Qur`an dari mereka hingga ada dua saksi.
Hadits ini menunjukkan bahwa dalam penulisan Al-Qur`an, Zaid tidak cukup
berpegang pada tulisan saja, sampai ada orang yang bersaksi bahwa ia benar-benar
mendengarnya langsung dari Rasulullah Shallallahu „alaihi wasallam.. Padahal Zaid juga
menghafal Al-Qur`an itu. Dan ini tidak dilakukannya kecuali untuk kehati-hatian.
Disebutkan dalam riwayat Abu Dawud yang lain bahwa Abu Bakar berkata kepada
Umar dan Zaid,
48
selain Abu Khuzaimah.‟ Maksudnya: saya tidak mendapatinya tertulis bersama sahabat lain,
karena ia tidak berpandu pada hafalan yang tanpa tulisan.”
Kesimpulannya: kita ketahui bersama, bahwa Al-Qur`an sebelumnya sudah tertulis
di zaman Nabi Shallallahu „alaihi wasallam., tetapi dalam keadaan yang masih berserakan
pada kulit-kulit, tulang-tulang, dan pelepah kurma. Setelah Rasulullah Shallallahu „alaihi
wasallam. wafat, Abu Bakar menyuruh Zaid bin Tsabit untuk membukukan Al-Qur`an,
secara berurutan ayat dan surat-suratnya. Dan hendaklah penulisannya benar-benar disertai
dengan kehati-hatian yang sangat, serta mencakup seluruh ahruf as-sab`ah yang Al-Qur`an
turun dengan huruf-huruf tadi.
Jadi, Abu Bakar adalah orang pertama kali yang mengumpulkan Al-Qur`an dalam
satu buku (mushaf) dengan sifat seperti dijelaskan tadi. Jika ditemukan ada mushaf-mushaf
yang lain pada beberapa sahabat, seperti mushaf Ali, mushaf Ubai, dan Mushaf Ibnu
Mas`ud, maka mushaf-mushaf ini bukan seperti mushaf Abu Bakar, semuanya tidak
memiliki ketelitihan dan kehati-hatian seperti yang ada pada mushaf Abu Bakar.
Para ulama berpendapat bahwa Al-Qur`an dinamakan dengan “Mushaf” sejak
pembukuan yang dilakukan pada zaman Abu Bakar. Ali bin Abi Thalib berkata,
49
a- hendaklah ayat atau beberapa ayat yang akan ditulis, benar-benar dihafal
dari mulut Rasulullah Shallallahu „alaihi wasallam. secara langsung
b- hendaklah ia dalam keadaan tertulis, bukan sekedar dihafal saja
c- Harus ada dua orang adil yang bersaksi bahwa ayat yang tertulis ini
memang ditulis di hadapan Nabi Shallallahu „alaihi wasallam. dan
dengan sepengetahuan beliau.
5- Pembukuan mushaf ini dilakukan dalam kertas
6- Ayat-ayat yang bacaannya dimansukh seperti ayat rajam, tidak termasuk
di dalamnya
7- Huruf-hurufnya sesuai dengan bacaan qiroah sab`ah
8- Hanya ada satu mushaf tak ada selainnya
9- Para sahabat berijma` (bersepakat) untuk menerimanya
50
Setelah penyalinan Al-Qur`an selesai, mushaf dikembalikan lagi kepada Hafshah.
Kemudian Utsman mengirimkan mushaf-mushaf salinan itu ke berbagai penjuru dunia. Ia
memerintah agar Al-Qur`an selain salinan tadi dibakar.
Perbuatan Utsman terhadap Al-Qur`an ini bukan termasuk al-jam`u yang bermakna
mengumpulkan, sebagaimana perbuatan Abu bakar. Tetapi ini hanyalah naskh, yang berarti
menyalin atau menulis kembali.
Beberapa keistimewaan mushaf utsman:
1- ia ditulis berdasar isyarat dari Hudzaifah. Kemudian Utsman yang
melaksanakannya. Penyalinan ini terjadi pada tahun 25 hijriyah
2- Yang melakukan penyalinan adalah Zaid bin Tsabit. Zaid inilah yang dulu
menulis Al-Qur`an di zaman Abu Bakar. Kemudian Utsman memilih tiga
orang lain yang menyalin Al-Qur`an bersama Zaid. Diantaranya adalah
said bin Ash. Utsman memilih ketiga orang itu berdasarkan isyarat dari
para sahabat. Utsman berkata, “Saya ingin menyalin banyak mushaf
sesuai tulisan Zaid bin Tsabit, kemudian kusebar ke seluruh penjuru
dunia.” Para sahabat berkata, “bagus sekali ide kamu!” Utsman bertanya,
“Siapakah manusia yang paling Arab?” para sahabat menjawab, “Said bin
Ash.” Utsman bertanya lagi, “Terus siapakah seseorang yang paling
pandai menulis?” mereka menjawab, “Zaid bin Tsabit, sang penulis
wahyu.” Utsman berkata, “Kalau begitu yang mengimla` (mendikte)
adalah Said bin Ash, sementara yang menulis adalah Zaid bin Tsabit.”
(HR. Al-Bukhari, no. 4992)
3- Penyebab penyalinan mushaf Utsman adalah perbedaan cara baca Al-
Qur`an. Sebab para sahabat mengajarkan Al-Qur`an kepada orang lain
sesuai bahasa masing-masing mereka. Hal ini menyebabkan sebagian
mereka menyalahkan sebagian yang lain, padahal semua bacaan itu
asalnya dari Rasulullah Shallallahu „alaihi wasallam. juga. Tetapi Utsman
kawatir perkara itu menjadi semakin parah, dan menyebabkan pertikaian.
Apalagi bagi orang-orang yang tidak pernah ketemu Nabi Shallallahu
„alaihi wasallam.. Akhirnya ia mencari penawar gejala penyakit ini. Yaitu
menyatukan Al-Qur`an sehingga tidak ada lagi yang
memperselisihkannya. Ia berkata, “Kalian yang ada disini bersamaku saja
berbeda dalam Al-Qur`an dan berbuat lahn. Tentunya orang-orang yang
sangat jauh dariku lebih para perbedaan dan lahnnya. Wahai para sahabat
51
rasulullah! Berkumpullah kalian semua dan tulislah buat manusia satu
mushaf yang menjadi imam.”
4- Mushaf utsman ini sudah ditertibkan ayat dan suratnya. Persis seperti
mushaf kita sekarang.
5- Mushaf itu ditulis sesuai bahasa quraisy bukan bahasa yang lain. Sebab
Al-Qur`an memang turun sesuai bahasa orang quraisy. Meskipun
dimudahkan dengan bahasa-bahasa lainnya. Tapi hal itu (bahasa-bahasa
lain) hanyalah suatu rukhsah bukan kewajiban dan bukan pula fardhu.
Utsman tahu, bahwa kebutuhan akan bahasa-bahasa selain quraisy sudah
tidak ada lagi. Karena itulah ia menyuruh agar Al-Qur`an dijadikan satu
saja, yaitu dengan bahasa quraisy. Ibnul qayyim berkata, “Ini seperti jika
seseorang memiliki banyak jalan menuju rumahnya. Yang jika melewati
semua jalan itu menyebabkan timbulnya perpisahan, percekcokan dan
mudah diserang musuh. Maka sang Imam (pemimpin) menyuruh agar
hanya satu jalan saja yang digunakan serta meninggalkan jalan-jalan yang
lain. Perbuatan semacam ini adalah benar dan bukan suatu kebatilan.”
Adapun huruf-huruf enam lainnya, maka itu sudah ditinggalkan seperti
yang dirajihkan imam at-thabari, setelah itu menjadi sirna. Sehingga tak
ada jalan lagi bagi siapa pun untuk mempelajari huruf-huruf itu.
6- Mushaf utsman ini masih kosong dari titik, syakal, dan hiasan. Tapi
beberapa abad kemudian, ia disyakali, dikasih titik, dan hiasan, demi
menghilangkan lahn dan tahrif. Serta diberi alamat sujud tilawah, pemisah
(waqaf), juz, hizib, dan lain sebagainya persis seperti ada sekarang.
7- Mushaf yang disalin Utsman ada sekitar lima atau tujuh. Kemudian
dikirim ke: Makkah, Bashrah, Syam, Yaman, dan Bahrain. Kemudian di
Madinah ditinggali satu mushaf yang disebut sebagai al-mushaf al-imam.
8- Mushaf salinan Utsman ini telah disepakati para sahabat dan dianggap
baik oleh para sahabat. Meski ibnu Mas`ud sebelumnya sangat marah atas
penyalinan ini, tapi akhirnya ia menjadi ridha terhadap penyalinan
tersebut.
9- Selain mushaf Utsman, maka mushaf-mushaf yang ada sudah
dimusnahkan. Adapun mushaf yang dikembalikan kepada Hafshah, ia
tetap ada padanya hingga ia wafat. Setelah itu mushaf tersebut dibakar.
Yang demikian itu agar orang-orang yang mengganggu Islam tidak
membuat adanya keraguan.
52
10- Utsman ketika mengirim Al-Qur`an ke seluruh penjuru dunia, ia juga
mengirim seorang muqri` yang mengajarkan Al-Qur`an tersebut. Ini tidak
lain kecuali karena kegigihan Utsman dalam meniadakan perselisihan
terhadap Al-Qur`an.
11- Pada tahun-tahun berikutnya, kaum muslimin menyalin mushaf-mushaf
utsman itu menjadi lebih banyak. Hingga sampai kepada kita seperti apa
adanya.
12- Al-Qur`an selamanya akan tetap terjaga dan tak ada seorang pun yang
bisa merubahnya, sesuai janji Allah yang berbunyi,
ُ ِأَّب ٌَُٗ ٌَؾب ِفَٚ ِأَّب َٔ ْؾ ُٓ ٔ ََّض ٌَْٕب اٌ ِزّ ْو َش
)3( َْٛظ
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan
Sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya.” (QS. Al-Hijr: 9)
54
jelas bahwa diantara para sahabat ada yang menghafal dan membacanya. Diantaranya
adalah bacaan yang kemudian didengar oleh nabi di Masjid.
Rasulullah , tidak mungkin merubah sesuatu dari Al-Qur`an. Apakah itu dengan
penambahan atau pengurangan. Jika beliau berbuat seperti itu pastilah beliau sudah menjadi
seorang pengkhianat besar. Dan seorang pengkhianat tak mungkin menjadi seorang rasul.
Sebab beliau adalah seorang pesuruh yang sangat mengikuti dan menurut. Yang sangat
dipercayai atas wahyu. Jadi setiap apa yang beliau cegah atau beliau perintahkan, itu tidak
lain kecuali dari Allah . Dia berfirman,
ٍَ ْٛ َ٠ زاة
َ ػ َ ّٟذُ َس ِث١ْ ص ُ َ أِّٟٔ ِاٟ
َ ْْ خبف ِا
َ ػ ِ ٍْ ِ أ َ ْْ أُثَ ِذٌَُّٗ ِِ ْٓ رٌِٟ ْٛ
َّ ٌَ ِاٝؽُٛ٠ ِا ْْ أَرَّجِ ُغ ِاَلَّ َِبِٟمبء َٔ ْفغ ُ َ ُى٠ لُ ًْ َِب
)ٔ٘( ُ١ٍ ػ ِظ
َ
"Katakanlah: "Tidaklah patut bagiku menggantinya dari pihak diriku sendiri. Aku tidak
mengikut kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Sesungguhnya Aku takut jika
mendurhakai Tuhanku kepada siksa hari yang besar (kiamat)"." (QS. Yunus: 15)
Syubhat kedua: mereka mengatakan bahwa dalam pembukuan Al-Qur`an, ada
suatu bagian yang bukan dari Al-Qur`an. Mereka berdalih dengan riwayat Ibnu Mas`ud
yang mengingkari keberadaan al-ma`udzatain dan surat al-fatihah.
Jawabannya:
Sesungguhnya ini adalah riwayat dusta dari Abdullah bin Mas`ud. Riwayat ini
adalah riwayat batil yang tidak benar sama sekali penukilannya. Jadi ia bukan riwayat yang
bisa dijadikan hujjah. Karena al-ma`udzatain benar-benar dari Al-Qur`an. Rasulullah
bersabda,
]ٞاٖ اٌجخبسٚ ِْٓ)) [س١َرَرِٛ ّ َ ا َ ٌْ ُّؼ،ػ
ُّ َ َّٓ لُٙ ٍُْ َُش ِِض٠ ُْ ٌَ بَد٠ آٟ
َّ ٍَػ ْ ٌَ أ ُ ْٔ ِضْٚ َ ((أ ُ ْٔ ِض َي أ
َ ذ
"Telah diturunkan kepadaku beberapa ayat yang selama ini belum pernah ada
bandingannya. Yaitu al-maudzatain."
Bahkan dalam hadits lain dinyatakan bahwa rasulullah senantiasa membaca al-
muawwidzatain ini setiap malam ketika beliau hendak tidur. Adapun tentang pengingkaran
ibnu Mas`ud terhadap al-fatihah, maka ini juga bohong besar. Tidak mungkin sabahat mulia
setingkat Ibnu mas`ud melakukan hal ini. Sebab ia mendengar langsung dari nabi bahwa
beliau bersabda,
ِ َ ْم َشأْ ثِفبَرِ َؾ ِخ اٌْ ِىز َب٠ ُْ ٌَ ْٓ َّ ٌِ َ صلَح
]ٞاٖ اٌجخبسٚة)) [س َ َ((َل
"Tiada shalat bagi orang yang tidak membaca surat al-fatihah."
Syubhat ketiga: orang-orang syiah mengatakan bahwa pembukuan Al-Qur`an ini
dimasuki oleh penyimpangan dan banyak permainan. Tujuannya untuk menghilangkan
kehormatan para ahlul bait.
55
1-Jadi Abu Bakar, Umar, dan Utsman mendatangkan lafadh,
) ِِ ْٓ أ ُ َِّ ٍخٝ أ َ ْسثِٟ ُ
َ ٘ َْ أ َِّخٛ( أ َ ْْ ر َ ُى
"Disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain."
(QS. An-Nahl: 92)
Sebagai ganti dari lafad,
)ُ ِٓ أئّزىٝ أصوٟ٘ (أئّخ
"Para imam yang lebih suci dibanding imam-imam kalian."
2-Mereka membuang lafadz (ٍٟخ ػ٠َلٚ ٓ )ػpada akhir firman Allah yang berbunyi,
56
Bahkan Ali bin Abi Thalib sendiri, yang orang-orang syiah secara batil berkeyakinan
mendukungnya, berkata,
" اٌّصبؽف اَل ػٓ ِل ِٕبٟ فؼً فٞهللا ِب فؼً اٌزٛ ف،شا١ ػضّبْ اَل خٟا فٌٛٛ"َل رم
"Jangan berkata-kata tentang Utsman kecuali yang baik saja. Demi Allah! Tidaklah ia
melakukan apa yang dilakukannya terhadap mushaf, kecuali itu disaksikan oleh kita
semua." (fathul bari, 9/18)
Dalam riwayat lain ia juga berkata,
)ٕٔ8/1 :خ٠بٌٕٙاٚ خ٠ فؼً" (اٌجذاٞ ٌفؼٍذ ِضً اٌزٌُّٟٚ ذ ِضٍّب١ٌُٚ ٌٛ"
"Seandainya saya menjadi penguasa seperti saat Utsman menjadi penguasa, pasti saya
akan mengerjakan apa yang seperti dikerjakannya."
Kemudian, ketika Ali naik menjadi khalifah, ia meneruskan kebiasan para khalifah
sebelumnya terhadap Al-Qur`an. Jika memang benar Al-Qur`an ada kekurangannya, tidak
mungkin Ali berdiam diri untuk membiarkan itu terjadi dan menutup hakikat Al-Qur`an
sebenarnya. Namun, kenyataannya Ali tidak berbuat apapun selain mengikuti para
pendahulunya dalam mushaf ini.
Dan cukuplah bagi kita bahwa ucapan syiah hanyalah kebohongan belaka, firman
Allah yang berbunyi, dan Allah tidak mungkin menyalahi janjinya,
ُ ِأَِّب ٌَُٗ ٌَؾبفَٚ أَِّب َٔ ْؾ ُٓ ٔ ََّض ٌَْٕب اٌ ِزّ ْو َش
)3( َْٛظ
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya kami benar-benar
memeliharanya. (QS. Al-Hijr: 9) Ayat Ini memberikan jaminan tentang kesucian dan
kemurnian Al Quran selama-lamanya.
57
Oleh karena itu para ulama rahimahullahu membagi Al-Qur‟an menjadi dua bagian:
Makkiyah dan Madaniyah.
Makkiyah adalah wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu
„alaihi wa sallam sebelum berhijrah ke Madinah. Sedangkan Madaniyah adalah wahyu yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu „alaihi wa sallam setelah berhijrah ke
Madinah.
Dengan dasar ini, maka firman Allah Subhanahu wa Ta‟ala:
َْيش١غ ُ يٓ اظْي
َ َّ َِ ْخٟط َّش فِي
َ صي ٍخ ِ ْ ُُ ذُ ٌَ ُىي١ظي
ِ َّ ًَٕيب ف٠ِالع َْيل ََ د َ ُأَرْ َّ ّْذَٚ ُْ َٕ ُى٠ِ ََ أ َ ْو َّ ٍْذُ ٌَ ُى ُْ دْٛ َ١ٌْا
ِ َسَٚ ِٟ ُى ُْ ِٔ ْؼ َّز١ْ ٍَػ
]ٖ/ُ [اٌّبئذح١س َس ِؽُٛغف َّ َّْ ُِِز َ َغبِٔفٍ ِ ِلصْ ٍُ فَب
َ ََّللا
“Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan
kepadamu ni‟mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barangsiapa
terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” [Al-Ma‟idah: 3]
Termasuk ayat Madaniyah walaupun diturunkan kepada Nabi Shallallahu Alaihi
Wasallam pada haji Wada‟ di Arafah. Dalam kitab Shahih Bukhari diriwayatkan dari Umar
Radhiallahu Anhu bahwasanya dia mengatakan:
]ٞاٖ اٌجخبسٚا ِلف ِثؼَ َشفَخَ)) [سَٚ َُ ٍَّع
َ َٚ ِٗ ١ْ ٍَػ َّ ٍَّٝص
َ َُّللا ِ َّ ُيٛع
َ َّللا ْ ٌَ أ ُ ْٔ ِض،ذ
ُ َسَٚ ذ ْ ٌََبْ أ ُ ْٔ ِض َّ َ َل َ ْػٍَ ُُ أِّٟٔ (( ِا
ٍ َِىٞ
”Saya tahu hari dan tempat wahyu tersebut turun kepada Nabi Shallallahu Alaihi
Wasallam. Wahyu tersebut turun sementara Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam sedang
berdiri berkhutbah hari Jumat di padang Arafah.”7
Perbedaan antara ayat-ayat Makkiyah dan ayat-ayat Madaniyah dilihat dari konteks
kalimat dan kandungan.
1. Kebanyakan ayat-ayat Makkiyah memakai konteks kalimat tegas dan lugas karena
kebanyakan obyek yang didakwahi menolak dan berpaling, maka hanya cocok
mempergunakan konteks kalimat yang tegas. Baca Surat al Mudatstsir dan Surat al Qamar.
Sedangkan ayat-ayat madaniyah kebanyakan mempergunakan konteks kalimat yang lunak
karena kebanyakan obyek yang didakwahi menerima dan taat. Baca Surat al Maa-idah.
7
Diriwayatkan oleh Bukhari, Kitab Al-Iman, Bab ; Ziyaadatul Iman Wa Nuqshaanuhu (Bertambah dan
berkurangnya keimanan), hadits nomor 45, Muslim, Kitab At-Tafsir, Bab Fii Tafsiri Aayaatin Mutafarriqah,
hadits nomor 3015
58
2. Kebanyakan ayat-ayat Makkiyah adalah ayat-ayat pendek dan argumentative,
karena kebanyakan obyek yang didakwahi mengingkari, sehingga konteks ayat pun
mengikuti kondisi yang berlaku. Baca Surat ath Thur.
2. Penjelasan secara rinci tentang jihad beserta hukum-hukumnya dan kaum munafik
beserta segala permasalahannya karena memang kondisinya menuntut demikian. Hal itu
ketika disyariatkannya jihad dan timbulnya kemunafikan, berbeda halnya dengan ayat-ayat
Makkiyah.
1. Nampak jelas sastra al Quran pada puncak keindahannya, yaitu ketika setiap kaum
diajak berdialog dengan keadaan obyek yan didakwahi; dari ketegasan, kelugasan,
kelunakan, dan kemudahan.
3. Pendidikan dan pengajaran bagi para muballigh serta pengarahan mereka untuk
mengikuti kandungan dan konteks al Quran dalam berdakwah, yaitu dengan mendahulukan
59
yang terpenting di antara yang penting serta menggunakan ketegasan dan kelunakan pada
tempatnya masing-masing.
4. Membedakan anara nasikh dan mansukh ketika terdapat dua buah ayat Makkiyah
dan Madaniyah, maka lengkaplah syarat-syarat nasakh karena ayat Madaniyah adalah
sebagai nasikh (penghapus) ayat Makkiyah disebabkan ayat Madaniyah turun setelah ayat
Makkiyah.
Dinukil dari kitab “Ushuulun Fie at Tafsir” karangan Syaikh Muhammad bin Shalih al
Utsaimin dan “Kaifa Yajibu Alaina an Nufassur al Quran al karim” karangan Syaikh
Muhammad Nashiruddin Al Albani, Edisi Indonesia “Belajar Mudah Ilmu Tafsir Bersama
Utsaimin dan Al Albani”, Penerbit Pustaka As Sunnah.
TERTIB AYAT:
Al-Qur'an terdiri atas surat-surat dan ayat-ayat. Baik yang pendek maupun yang
panjang. Ayat adalah sejumlah kalam Allah yang terdapat dalam sebuah surah dari Al-
Qur'an. Surat adalah sejumlah ayat quran yang mempunyai permulaan dan kesudahan.
Tertib atau urutan ayat-ayat quran ini adalah tauqifi, ketentuan dari rasulullah saw. Sebagian
ulama' meriwayatkan bahwa pendapat ini adalah ijma', di antaranya az-Zarkasyi dalam Al-
Burhan, dan Abu Ja'far Ibnu Az-Zubair dalam munasabah-nya, dimana ia mengatakan: tertib
ayat-ayat di dalam surat-surat itu berdasarkan tauqifi dari rasulullah saw dan atas
perintahnya, tanpa diperselisihkan kaum muslimin.
As-Suyuti telah memastikan hal itu, ia berkata: Ijma' dan nas-nas yang serupa
menegaskan, tertib ayat-ayat itu adalah tauqifi, tanpa diragukan lagi. Jibril menurunkan
beberapa ayat kepada rasulullah saw dan menunjukkan kepadanya tempat di mana ayat-ayat
itu harus diletakkan dalam surat atau ayat-ayat yang turun sebelumnya. Lalu rasulullah
memerintahkan kepada para penulis wahyu untuk menuliskannya di tempat tersebut. Ia
mengatakan kepada mereka: "Letakkanlah ayat-ayat ini pada surat yang di dalamnya
disebutkan begini dan begini." Atau "letakkanlah ayat ini di tempat anu."
Susunan dan penempatan ayat tersebut sebagaimana yang disampaikan para sahabat
kepada kita. Utsman bin Abil Ash berkata:
60
ْ أٟٔيً فيؤِش٠ عجشٟٔ أريب: صُ ليبي،ٗثٛص َّ َُص ثجصشٖ ص َ شخ َ ار-ملسو هيلع هللا ىلص- ي هللاٛغب ػٕذ سع
ً ٌ"وٕذ عب
...ٕ }ٝ ْاٌمُ ْشثَيِٞيبء ر
ِ َ ز٠ِاَٚ ْيب
ِ غ ِ ْ َٚ َيؤ ْ ُِ ُش ثِ ْبٌؼَيذْ ِي٠ ََّللا
َ ال ْؽ َّ َّْ ِ {ا:سحٛظغ ِيٓ ٘يزٖ اٌغيٌّٛخ ٘زا ا٠٢أظغ ٘زٖ ا
.ٖ" آخش٘بٌٝا
"Aku tengah duduk di samping rasulullah saw, tiba-tiba pandangannya menjadi
tajam lalu kembali seperti semula. Kemudian katanya, Jibril telah datang kepadaku dan
memerintahkan agar aku meletakkan ayat ini di tempat anu dari surat ini: Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan serta memberi kepada kaum
kerabat." (QS. An-Nahl: 16: 90)
Utsman berhenti ketika mengumpulkan quran pada tempat setiap ayat dari sebuah
surat dalam quran dan sekalipun ayat itu telah dimansukh hukumnya, tanpa mengubahnya.
Ini menunjukkan bahwa penulisan ayat dengan tertib seperti ini adalah tauqifi.
Ibnu Az-Zubair berkata: "Aku mengatakan kepada Utsman bahwa ayat: dan orang-
orang yang meninggal dunia di antara kamu dengan meninggalkan isteri-isteri..." (QS. Al-
Baqarah: 234) telah dimansukh oleh ayat lain. Tetapi mengapa anda menuliskannya atau
membiarkannya dituliskan? Ia menjawab: kemenakanku, aku tidak mengubah sesuatupun
dari tempatnya. (HR. Al-Bukhari)
Ada sejumlah Hadits yang menunjukan keutamaan beberapa ayat dari surat-surat
tertentu. Ini menunjukkan bahwa tertib ayat-ayat bersifat tauqifi. Sebab jika tertibnya dapat
diubah, tentulah ayat-ayat itu tidak akan didukung oleh Hadits-Hadits tersebut.
Diriwayatkan dari Abu Darda'
Dalam Hadits marfu': "Barangsiapa hafal sepuluh ayat dari awal surat Kahfi, Allah
akan melindunginya dari Dajjal." Dan dalam redaksi lain dikatakan: "Barangsiapa membaca
sepuluh ayat terakhir dari surat Al-Kahfi."
Juga terdapat Hadits-Hadits lain yang menunjukkan letak ayat tertentu pada
tempatnya. Umar berkata: Aku tidak menanyakan kepada Nabi tentang sesuatu lebih banyak
dari yang aku tanyakan kepadanya tentang kalaalah. Sampai-sampai Nabi menekankan
jarinya ke dadaku dan mengatakan: tidak cukupkah bagimu ayat yang diturunkan pada
musim panas, yang terdapat di akhir surat An-Nisa'? (HR. Muslim)
Di samping itu diterima pula bahwa rasulullah telah membaca sejumlah surat dengan
tertib ayat-ayatnya dalam shalat atau dalam khutbah jumat. Seperti surat Al-Baqarah, ali
imran, dan an-nisa. Juga Hadits sahih menyatakan bahwa rasulullah membaca sura al a'raf
dalam shalat maghrib dan dalam shalat subuh hari jumat membaca surat alif lam mim,
tanzilul kitabi la raiba fih (as-sajdah), dan hal ataa alal insaani (ad-dahr). Juga membaca
surat qaf pada waktu khutbah: surat jumuah, dan surah munafiqun dalam shalat jumat.
61
Jibril senantiasa mengulangi dan memeriksa quran yang telah disampaikannya
kepada rasulullah sekali setiap tahun pada bulan ramadan dan pada tahun terakhir
kehidupannya sebanyak dua kali. Dan pengulangan jibril terkahir ini seperti tertib yang
dikenal sekarang ini.
Dengan demikian tertib ayat-ayat quran seperti yang ada dalam mushaf yang beredar
di antara kita adalah tauqifi. Tanpa diragukan lagi. As-Suyuti telah menyebutkan Hadits
Hadits berkenaan dengan surat surat tertentu mengemukakan: Pembacaan surat-surat yang
dilakukan Nabi di hadapan para sahabat itu menunjukkan bahwa tertib atau susunan ayat-
ayatnya adalah tauqifi. Sebab para sahabat tidak akan menyusunnya dengan tertib yang
berbeda dengan yang mereka dengar dari bacaan Nabi. Maka sampailah tertib ayat seperti
demikian kepada tingkat mutawatir. (lihat Al-Itqan: 1/61)
Tertib surat:
Para ulama' berbeda pendapat tentang tertib surat-surat Al-Qur‟an .
A. dikatakan bahwa tertib surat itu tauqifi dan ditangani langsung oleh Nabi
sebagaimana diberitahukan Jibril kepadanya atas perintah Allah. Dengan demikian quran
pada masa Nabi telah tersusun surat-suratnya secara tertib sebagaimana tertib ayat ayatnya
seperti yang ada di tangan kita sekarang ini. Yaitu tertib mushaf usman yang tak ada
seorang sahabat pun menentangnya. Ini menunjukkan telah terjadi kesepakatan atau ijma'
atas tertib surat, tanpa suatu perselisihan apapun.
yang mendukung pendapat ini ialah bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi
wasallam. telah membaca beberapa surat secara tertib di dalam shalatnya. Ibnu Abi
Syaibah meriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu „alaihi wasallam. pernah membaca
beberapa surat mufasshal (surat-surat pendek) dalam satu rakaat. Bukhari meriwayatkan dari
Ibnu Mas'ud bahwa ia mengatakan tentang surat bani Israil, Kahfi, Maryam, Thaha dan
anbiya': "Surat-surat itu termasuk yang diturunkan di Makkah dan yang pertama-tama aku
pelajari." Kemudian ia menyebutkan surat-surat itu secara berurutan sebagaimana tertib
susunan seperti sekarang ini.
Telah diriwayatkan melalui ibnu Wahb, dari sulaiman bin Bilal, ia berkata: Aku
mendengar Rabi‟ah ditanya orang: mengapa surat al-baqarah dan Ali Imran didahulukan
padahal sebelum kedua surat itu telah diturunkan delapan puluh sekian surat Makki, sedang
keduanya diturunkan di Madinah? Ia menjawab: kedua surat itu memang didahulukan dan
Al-Qur‟an dikumpulkan menurut pengetahuan dari orang yang mengumpulkannya.
Kemudian katanya: ini adalah sesuatu yang mesti terjadi dan tidak perlu dipertanyakan.
(HR. Ibnu Asytah dalam kitab Al-masahif)
62
Ibnul Hisar berkata: "Tertib surat dan letak ayat-ayat pada tempat-tempatnya itu
berdasarkan wahyu. Rasulullah mengatakan: letakkanlah ayat ini di tempat ini. Hal tersebut
telah diperkuat pula oleh nukilan atau riwayat yang mutawatir dengan tertib seperti ini dari
bacaan Rasulullah dan ijma' para sahabat untuk meletakkan atau menyusunnya seperti ini
dalam mushaf." (lihat Al Itqan, 1/62)
B. dikatakan bahwa tertib surat itu berdasarkan ijtihad para sahabat, mengingat
adanya perbedaan tertib di dalam mushaf-mushaf mereka. Misalnya mushaf Ali disusun
menurut tertib nuzul, yakni dimulai dengna iqra', kemudian al muddatsir, lalu nun, al-qalam,
kemudian al-muzammil, dan seterusnya hingga akhir surat makki dan madani.
Dalam mushaf ibnu Mas'ud yang pertama ditulis adalah surat Al-baqarah, kemudian
An-Nisa', dan kemudian ali imran.
Dalam mushaf ubai yang pertama ditulis ialah al-fatihah, al-baqarah, kemudian an-
nisa' dan kemudian Ali Imran.
Diriwayatkan bahwa Ibnu Abbas berkata: "Aku bertanya kepada Utsman: apakah
yang mendorongmu mengambil al-anfal yang termasuk kategori matsaani dan bara'ah yang
termasuk mi'in untuk kamu gabungkan keduanya menjadi satu tanpa kamu tuliskan di antara
keduanya bismillahirrahmanirrahim, dan kamu pun meletakkannya pada as-sab'ut tiwal
(tujuh surat yang panjang)? Usman menjawab: telah turun kepada Rasulullah surat-surat
yang mempunyai bilangan ayat. Apabila ada ayat turun kepadanya, ia panggil beberapa
orang penulis wahyu dan mengatakan: letakkanlah ayat ini pada surat yang di dalamnya
terdapat ayat anu dan anu. Surat al-anfal termasuk surat pertama yang turun di madinah
sedang surat al-bara;ah termasuk yang terakhir diturunkan. Kisah dalam surat al-anfal
serupa dengan kisah dalam surat bara‟ah. Sehingga kau mengira bahwa surat bara‟ah adalah
bagian dari surat al-anfal. Dan sampai wafatnya Rasulullah tidak menjelaskan kepada
kami bahwa surat baraah merupakan bagian dari surat al anfal. Oleh karena itu, kedua surat
tersebut aku gabungkan dan di antara keduanya tidak aku tuliskan bismillahirrahmanirrahim
serta aku meletakkannya pula pada as-sab'ut tiwal." (HR. Ahmad, Abuy Daud, Tirmidzi, an
nasai, ibnu Hibban dan Hakim)
C. dikatakan bahwa sebagian surat itu tertibnya tauqifi dan sebagian lainnya
berdasarkan ijtihad para sahabat. Hal ini karena terdapat dalil yang menunjukkan tertib
sebagian surat pada masa nabi . Misalnya keterangan yang menunjukkan tertib as-sab'ut
tiwal, al-hawamim, dan al-mufassal pada masa hidup rasulullah .
Diriwayatkan:
ٕ "ْآي ػّشاٚ اٌجمشح:ٓ٠ٚا اٌض٘شاٚ "الشء: لبي-ملسو هيلع هللا ىلص- ي هللاٛأْ سع
63
"Bahwa rasulullah bersabda: bacalah olehmu dua surat yang bercahaya, al
baqarah dan ali imran." (HR. Muslim)
Diriwayatkan pula:
}َّللاُ أ َ َؽييذ ْ ُ {ل: فمييشأ،ّييبٙ١ييٗ صييُ ٔفييش ف١ٍييخ عّييغ وف١ٌ ً فشاشييٗ وييٝ اٌييٜٚ"أٔييٗ وييبْ ارا أ
َّ ٛييً ُ٘ َيي
"ٓ١ررٛ"اٌّؼٚ
"Bahwa jika hendak pergi ke tempat tidur Rasulullah mengumpulkan kedua
telapak tangannya kemudian meniupnya lalu membaca qul huwallahu ahad dan al-
Muawwidzatain." (HR. Bukhari)
Ibnu Hajar mengatakan: tertib sebagian surat-surat atau sebagian besarnya itu tidak
dapat ditolak kalau bersifat tauqifi. Untuk mendukung pendapatnya ini ia kemukakan Hadits
Hudzaifah ats-tsaqafi yang di dalamnya antara lain termuat:
- ي هللاٛ فغيؤٌٕب أصيؾبة سعي، "ٗ١ ألعيٝ ؽضة ِيٓ اٌميشآْ فيؤسدد أْ َل أخيشط ؽزيٟ
َّ ٍ"غشأ ػ
ّ ِ ُ ييف ر١ و: لٍٕييب-ملسو هيلع هللا ىلص
ّ ِ ُٔ :اٌٛ لييب،ْْ اٌمييشآٛؾضثيي
،سٛرغييغ عييٚ ،سٛعييجغ عييٚ ،سٛخّييظ عييٚ ،سٛؾضثييٗ صييلس عيي
ُ ٔخزٝصً ِٓ "ق" ؽز
َّ ؽضة اٌّفٚ ،صلس ػششحٚ ، ػششحٜاؽذٚ
"Rasulullah saw berkata kepada kami: telah datang kepadaku waktu untuk membaca
hizib (bagian) dari quran. Maka aku tidak ingin keluar sebelum selesai. Lalu kami tanyakan
kepada sahabat-sahabat rasulullah : Bagaimana kalian membuat pembagian quran?
Mereka menjawab: Kami membaginya menjadi tiga surat, lima surat, tujuh surat, sembilan
surat, sebelas surat, tiga belas surat, dan bagian al-mufassal dari qaaf sampai kami
khatam." (HR. Ahmad dan Abu Dawud.)
Kata ibnu Hajar lebih lanjut: ini menunjukkan bahwa tertib surat-surat seperti
terdapat dalam mushaf sekarang adalah tertib surat pada masa rasulullah . Dan katanya:
namun mungkin juga bahwa yang telah tertib pada waktu itu hanyalah bagian mufassal
bukan yang lain.
64
Mengenai Hadits tentang surat al-anfal dan at-taubah yang diriwayatkan dari Ibnu
Abbas di atas, isnadnya dalam setiap riwayat berkisar pada yazid al-farisi yang oleh bukhari
dikategorikan dalam kelompok dhu'afa'. Di samping itu dalam Hadits ini pun terdapat
kerancuan mengenai penempatan basmalah pada permulaan surat, yang mengesankan
seakan-akan usman menetapkannya menurut pendapat sendiri dan meniadakannya juga
menurut pendapatnya sendiri. Oleh karena itu dalam komentarnya terhadap Hadits tersebut
pada musnad imam Ahmad, Syaikh Ahmad Syakir menyebutkan: "Hadits itu tak ada asal
mulanya." Paling jauh Hadits itu hanya menunjukkan ketidaktertiban kedua surat tersebut.8
Sementara itu pendapat ketiga yang menyatakan sebagian surat itu tertibnya tauqifi
dan sebagian lainnya bersifat ijtihadi, dalil dalilnya hanya berpusat pada nash-nash yang
menunjukkan tertib tauqifi. Adapun bagian yang ijtihadi tidak bersandar pada dalil yang
menunjukkan tertib ijtihadi. Sebab ketetapan yang tauqifi dengan dalil-dalilnya tidak berarti
bahwa yang selain itu adalah hasil ijtihad. Di samping itu yang bersifat demikian pun hanya
sedikit sekali.
8
Diriwayatkan bahwa basamalah tetap ada pada surat baraah dalam mushaf ibnu mas'ud. Dalam al mustadrak
oleh Hakim dinyatakan bahwa Ali bin Abi Thalib ditanya: Mengapa basmalah tidak dituliskan dalam surat
baraah? Ia menjawab: sebab Basmalah itu keamanan. Sedang Baraah turun dengan membawa pedang.
65
As suyuti cenderung kepada pendapat Baihaqi yang mengatakan: quran pada masa
Nabi surat-surat dan ayat-ayatnya telah tersusun menurut tertib ini kecuali al anfal dan
bara'ah. Karena Hadits usman.
66
Pembagian seperti ini dapat mempermudah orang menghafalnya, mendorong mereka
untuk mengkaji dan mengingatkan pembaca surat bahwa ia telah mengambil bagian yang
cukup dan jumlah yang memadai dari pokok-pokok agama dan hukum-hukum syariat.
PENGERTIAN TAFSIR:
Tafsir secara bahasa mengikuti wazan (ٌ)تَ ْفعِْيل, berasal dari akar kata Al-Fasr ()اَلْ َف ْس ُر
yang berarti menjelaskan, menyingkap, dan menampakkan atau menerangkan makna yang
ُ ض ِر
abstrak. Kata kerjanya mengikuti wazan ( ب ْ َب ي
َ )ضَر
َ dan (ص ُر
ُ صَر يَْن
َ َ)ن. Dalam lisan Al-Arab
dinyatakan: Kata al-fasr berarti menyingkap sesuatu yang tertutup. Sedang kata at-tafsir
berarti menyingkapkan maksud suatu lafaz yang musykil dan pelik.
Tafsir menurut istilah, sebagaimana didefinisikan Abu Hayyan ialah:
َوَم َعانِْي َها،َح َك ِام َها اْ ِْلفْ َر ِاديَِّة َوالتَّ ْركِْيبِيَّ ِة ِ ِ ِ ِِ ُ ِعلْ ٌم يَْب َح
ْ َوأ، َوَم ْدلُْوالَِتَا،ث َع ْن َكْيفيَّة النُّطْ ِق ِِبَلْ َفاظ اْل ُق ْرآن
ِ ب وتَتِ َّم ِ
.ك ُ َ ِ الَِّ ِْت َُْت َم ُل َعلَْي َها َحالَةَ الت َّْركْي
َ ات َذل
“Ilmu yang membahas tentang cara pengucapan lafaz-lafaz Al-Qur`an, tentang petunjuk-
petunjuknya, hukum-hukumnya, baik ketika berdiri sendiri maupun ketika tersusun, dan
67
makna-makna yang dikandung olehnya ketika tersusun, serta hal-hal lain yang
melengkapinya.”
َوتَ ْف ِس ٍْري،َح ٌد ِبَ َهالَتِ ِو ِ ِ ِ وجوٍ تَع ِرفُو الْعر:"اَلتَّ ْف ِسي ر علَى أَرب عةِ أَوج ٍو
َ َوتَ ْفس ٍْري الَ يُ ْع َذ ُر أ،ب م ْن َكالَم َها
ُ ََ ُ ْ ْ َ ُ ْ َ َْ َ ُ ْ
"َُح ٌد إِالَّ هللا ِ
َ َوتَ ْفس ٍْري الَ يَ ْعلَ ُموُ أ،ُيَ ْعلَ ُموُ اْ ُلعلَماَء
“Tafsir itu ada empat macam: Tafsir yang dapat diketahui oleh orang Arab melalui bahasa
mereka, tafsir yang harus diketahui setiap orang, tafsir yang hanya bisa diketahui para
ulama, dan tafsir yang sama sekali tidak mungkin diketahui oleh siapa pun selain Allah.”
Pertama adalah tafsir yang merujuk kepada tutur kata mereka melalui penjelasan
bahasa.
Kedua ialah tafsir mengenai ayat yang maknanya mudah dimengerti, yaitu
penafsiran nash-nash yang mengandung hukum-hukum syariat dan dalil-dalil tauhid secara
tegas. Misalnya, setiap orang pasti mengetahui makna tauhid pada ayat di bawah ini:
68
َّ اعلَ ْم أَنَّوُ َال إِلَوَ إَِّال
]ٔ9/اَّللُ [دمحم ْ َف
“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, Tuhan) selain
Allah.” (QS. Muhammad: 19)
Ketiga ialah tafsir yang merujuk kepada ijtihad yang didasarkan pada bukti-bukti
dan dalil-dalil, tidak hanya pada ra`yi semata, seperti penjelasan ayat atau kata yang
mujmal, pengkhususan ayat-ayat yang umum dan lain sebagainya.
Keempat ialah tafsir yang berkisar pada hal-hal gaib, seperti kapan terjadinya Hari
Kiamat dan hakikat roh.
69
STATUS TAFSIR BIR RA`YI:
Menafsirkan Al-Qur`an dengan ra`yu dan ijtihad semata tanpa ada dasar yang sahih
adalah haram dan tidak boleh dilakukan. Allah berfirman:
)ٖٙ( ًٌئِ َه وبَْ َػ ُْٕٗ َِ ْغ ُئَلُٚ ْاٌفُئادَ ُو ًُّ أَٚ ص َش
َ ْاٌ َجَٚ ْظ ٌَ َه ِث ِٗ ِػ ٍُْ ِا َّْ اٌ َّغ ّْ َغ ُ َل ر َ ْمَٚ
َ ١ٌَ ف َِب
“Janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta
pertanggungan jawabnya.” (QS. Al-Isra`: 36)
Rasulullah bersabda:
وقال. والنسائي، وأبو داود،آن بِغَ ِْري ِع ْل ٍم فَ ْليَ تَ بَ َّوأْ َم ْق َع َدهُ ِم َن النَّا ِر)) [رواه الرتمذي
ِ ال ِِف الْ ُقر
ْ َ َ(( َم ْن ق
] حديث حسن: وقال،ٖٕٓ٘ :آن بَِرأْيِِو فَلْيَ تَبَ َّوأْ َم ْق َع َدهُ ِم َن النَّا ِر)) [الرتمذي
ِ ال ِِف الْ ُقر
ْ َ َ(( َوَم ْن ق
“Barangsiapa berkata mengenai Al-Qur`an sesuai pendapatnya sendiri, hendaklah ia
menempati tempat duduknya dalam Neraka.” (HR. At-Tirmidzi, no. 3205, ini adalah Hadits
hasan).
Dalam redaksi lain dinyatakan:
ِ ِ
))ََخطَأ
ْ اب فَ َق ْد أ َ ال ِِف اْل ُق ْرآن بَِرأْيِو فَأ
َ َص َ َ((م ْن ق
َ
“Barangsiapa berkata tentang Al-Qur`an dengan ra`yunya, walaupun ternyata
benar, ia telah melakukan kesalahan.”
Juga bersabda:
))آن بَِرأْيِِو أ َْو ِِبَا الَ يَ ْعلَ ُم فَلْيَتَ بَ َّوأْ َم ْق َع َدهُ ِم َن النَّا ِر
ِ ال ِِف الْ ُقر
ْ َ َ((م ْن ق
َ
“Barangsiapa berbicara mengenai Al-Qur`an dengan pendapatnya sendiri atau dengan
sesuatu yang tidak dia ketahui, hendaknya ia menempati tempat duduknya dalam Neraka.”
Oleh karena itu golongan salaf berkeberatan dan sangat enggan untuk menafsirkan
Al-Qur`an dengan sesuatu yang tidak mereka ketahui.
70
Dari Yahya bin Said diriwayatkan, dari Said bin Al-Musayyib, ketika ia ditanya
tentang tafsir sesuatu ayat Al-Qur`an ia menjawab:
ِ "إَِّنَّ الَ نَ ُقو ُل ِِف الْ ُقر
"ًآن َشْيئاْ ْ
“Kami tidak akan mengatakan sesuatu pun tentang Al-Qur`an.”9
Abu Ubaid Al-Qasim bin Sallam meriwayatkan: Abu Bakar Ash-Shiddiq
Radhiyallahu anhu pernah ditanya tentang maksud kata Al-Abb dalam firman Allah :
)ٖٔ( أَثًّبَٚ ًخَٙ فب ِوَٚ
“Dan buah-buahan serta rumput-rumputan.” (QS. Abasa: 31)
Ia menjawab:
9
HR. Malik dalam kitab Al-Muwaththa`
10
HR. Ibnu Abi Syaibah dan Ath-Thabari
71
Riwayat-riwayat ini dan yang serupa dengannya yang berasal dari tokoh-tokoh salaf
diartikan sebagai keengganan mereka untuk berbicara tentang tafsir dengan sesuatu yang
tidak mereka ketahui. Tetapi jika sampai pada hal-hal yang mereka ketahui, baik berkenaan
dengan bahasa maupun syara`, mereka melakukannya tanpa merasa bersalah. Karena itu
cukup banyak diriwayatkan dari mereka dan yang lain, sejumlah pendapat tentang tafsir.
Hal demikian tidak dianggap kontradiktif karena mereka berbicara tentang sesuatu yang
sudah mereka ketahui dan berdiam diri dari hal-hal yang tidak mereka ketahui.
KESIMPULAN:
1) Ragam teori penafsiran Al-Qur`an ada dua macam: Bil ma`tsur dan bir ra`yi.
2) Ragam penafsiran yang benar dan mesti dipedomani adalah bil ma`tsur.
3) Haram menafsirkan Al-Qur`an dengan semata-mata ra`yu. Meskipun tafsirannya
benar, pelakunya tetap berdosa sesuai sabda Nabi Shallallahu „alaihi wasallam..
4) Referensi dalam memahami Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu
„alaihi wasallam, adalah nas-nas (Qur`an dan Sunnah) yang menjelaskannya,
kemudian pemahaman Salaf Shalih (sahabat dan tabiin), kemudian pemahaman
para Imam yang berjalan sesuai jalan mereka. Dan tidak ditolak yang sudah tegas
dari hal itu dengan sekedar kemungkinan lughawi (bahasa).
5) Semua dasar agama telah dijelaskan secara gamblang oleh Rasulullah
Shallallahu „alaihi wasallam, dan tidak patut bagi siapa pun mengadakan sesuatu
yang baru dengan mengatasnamakan agama.
6) Menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah dan Rasulullah Shallallahu „alaihi
wasallam, secara lahir batin. Maka sesuatu dari Kitabullah maupun Sunnah
Rasulullah yang sahih, tidak bisa ditolak dengan sekedar qiyas (logika),
perasaan, mimpi, wangsit, ucapan Syaikh dan Imam, atau pun yang lainnya.
74
penyandaran kepada tabiin itu benar dan ia termasuk salah seorang imam tafsir yang
mengambil ilmunya dari para sahabat seperti Mujahid, Ikrimah, dan Saad bin Jubair serta
didukung oleh Hadits mursal yang lain. (Al Itqan, 1/31)
Al wahidi telah menantang ulama ulama zamannya atas kecerobohan mereka
terhadap riwayat asbabun nuzul. Bahkan ia menuduh mereka pendusta dan mengingatkan
mereka akan ancaman berat dengan mengatakan: “Sekarang setiap orang suka mengada-ada
dan berbuat dusta, ia menempatkan kedudukannya dalam kebodohan, tanpa memikirkan
ancaman berat bagi orang yang tidak mengetahui sebab turunnya ayat.”
Mengetahui „Asbâb an-Nuzûl‟ sangat urgen sekali sebab ia dapat memberikan faedah yang
banyak sekali, diantaranya:
1. Menjelaskan bahwa Al-Qur’an turun dari Allah Ta’ala, sebab Nabi Shallallâhu
„alaihi wa sallam biasanya ditanya tentang sesuatu, lalu terkadang beliau tidak menjawab
hingga wahyu turun. Atau gambarannya, bisa jadi beliau tidak mengetahui sesuatu yang
terjadi, lantas wahyu turun menjelaskan hal itu.
Contoh pertama (beliau tidak menjawab hingga wahyu turun-red), firman-Nya (artinya):
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah:‟Roh itu termasuk urusan Rabb-
ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.‟” (QS.al-Isrâ`: 85)
Di dalam kitab Shahîh al-Bukhary dari Abdullah bin Mas‟ud radliyallâhu „anhu bahwasanya
seorang dari bangsa Yahudi berkata, “Wahai Abal Qasim! (kun-yah/panggilan buat Nabi
Muhammad-penj.,) apa itu ruh?.” Lalu beliau diam. (di dalam lafazh riwayat yang lain
disebutkan), “Lalu Nabi tidak berkomentar dan tidak menjawab dengan sepatah katapun.”
Dari situlah aku (yakni periwayat hadits ini, Ibnu Mas‟ud-red) mengetahui bahwa itu adalah
wahyu yang sedang diwahyukan kepadanya. Lalu aku berdiri di tempatku, dan tatkala
wahyu sudah turun, beliau membaca ayat (artinya): “Dan mereka bertanya kepadamu
tentang roh. Katakanlah:”Roh itu termasuk urusan Rabb-ku.” (Qs.al-Isrâ`:85)
Contoh kedua (beliau tidak mengetahui sesuatu yang terjadi lantas wahyu turun
menjelaskan hal itu-red) adalah firman-Nya (artinya):
75
َ َ ُ ْخ ِش َع َّٓ ْال١ٌَ َٕ ِخ٠ِ ْاٌ َّذٌََِْٝ ٌَئِ ْٓ َس َع ْؼَٕب اٌَُُٛٛم٠
]8/ْٛب ْالَرَ َّي [إٌّبفمَٙ ْٕ ِِ ػ ُّض
“Mereka berkata: 'Sesungguhnya jika kita telah kembali ke Madinah, benar-benar orang
yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah daripadanya'.” (Qs.al-Munâfiqûn: 8)
Demikian pula dengan ayat-ayat tentang „berita bohong‟ (yang menerpa isteri
Rasulullah „Aisyah radliyallâhu „anha -red). Ayat-ayat tersebut membela pelaminan Nabi
Shallallâhu „alaihi wa sallam dan menyucikannya dari kotoran yang dilumuri oleh para
penyebar berita dusta.
Hadits tentang hal ini secara panjang lebar terdapat di dalam Shahîh al-Bukhâry.
َّبِٙ ِف ث
َ َّٛ ط َ ا ْػز َ َّ َش فَ َل ُعَٕب َػِٚ َ ْذَ أ١ََّللا فَ َّ ْٓ َؽ َّظ اٌْج
َّ َ٠ ْْ َ ِٗ أ١ْ ٍَػ َ ْٓ ِِ َ حَٚ اٌْ َّ ْشَٚ صفَب
ِ َّ شؼَبئِ ِش َّ ٌاِ َّْ ا
]ٔ٘8/ُ [اٌجمشح١ٍِ ػ َّ َّْ ِ ًْشا فَب١ع َخ
َ َّللاَ شَب ِوش َ َ َِ ْٓ رَٚ
َ َّٛ ط
“Sesungguhnya Shafâ dan Marwah adalah sebagian dari syi‟ar Allah. Maka barang siapa
yang beribadah haji ke Baitullah atau ber‟umrah, maka tidak ada dosa baginya
mengerjakan sa‟i di antara keduanya.” (Q.,s.al-Baqarah:158)
Yakni, dia melakukan sa‟i diantara keduanya, sebab secara zhahir, firman Allah (falaa
junaaha), “Maka tidak ada dosa baginya…”. Mengindikasikan bahwa maksimal masalah
melakukan sa‟i diantara keduanya tersebut tergolong ke dalam hal yang Mubah (boleh-
boleh saja).
Di dalam Shahîh al-Bukhâriy dari „Ashim bin Sulayman, dia berkata, aku bertanya kepada
Anas bin Malik radliyallâhu „anhu tentang Shafa dan Marwah, dia berkata, “Kami
dahulunya memandang bahwa kedua hal tersebut (thawaf dan sa‟i) termasuk perkara
Jahiliyyah sehingga tatkala Islam datang, kami tetap menahan untuk tidak melakukan
keduanya, lantas turunlah firman Allah Ta‟ala (artinya): “Sesungguhnya Shafâ dan Marwah
77
adalah sebagian dari syi‟ar Allah…” hingga firman-Nya (artinya): “…mengerjakan sa‟i di
antara keduanya.”
Dengan demikian diketahui bahwa Nafyul Junâh (penafian dosa) di dalam ayat tersebut,
maksudnya bukanlah untuk menjelaskan hukum tentang Sa‟i, tetapi maksudnya untuk
menafikan (meniadakan) rasa risih yang mereka tampakkan tersebut dengan cara menahan
diri dari melakukannya karena memandang kedua hal itu (thawaf dan sa‟i) merupakan
bagian dari perkara Jahiliyyah. Sedangkan hukum asal dari ibadah Sa‟i dapat jelas dipahami
melalui firman-Nya (artinya): “…adalah sebagian dari syi‟ar Allah…”
DAFTAR REFERENSI:
1) Manna` Khalil Al-Qaththan, Mabahits fi ulum Al-Qur`an.
2) Nashir bin Abdul Karim Al-`Aql, Mujmal Ushul Ahli As-Sunnah wa Al-Jama`ah
fi Al-Aqidah.
3) Badruddin Muhammad Az-Zarkasyi, Al-Burhan fi Uluum Al-Qur`an.
4) Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Itqaan fi Uluum Al-Qur`an.
5) Muhammad Abdul Azhim Az-Zarqani, Manahil Al-Irfan fi Uluum Al-Qur`an.
6) Studi ilmu-ilmu Al-Qur`an, terbitan: Litera antarnusa.
78