Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH PATOLOGI SOSIAL

STUDI KASUS (PERDAGANGAN ANAK)

Dosen Pengampu
Shofia Mawaddah, S.Psi., M.Sc

Disusun Oleh Kelompok 8


Nama Anggota Kelompok:
Eka Rovanita Br Boang manalu ( 1203151070)
Novita Rizki L.Sianturi ( 1203151056)
Natalie Gultom ( 1203151073)

Kelas : BK REGULER E 2002

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
NOVEMBER, 2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan hidayah dan
rahmatNya sehingga kami sebagai penulis dapat menyelesaikan makalah ini tepat
pada waktu yang telah ditentukan.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari ibu
Shofia Mawaddah, S.Psi., M.Sc pada mata kuliah Patologi Sosial. selain itu,
makalah ini juga dibuat dengan tujuan menambah wawasan dan pengetahuan dari
pembaca dan juga bagi penulis.
Kami menyadari makalah yang kami susun ini masih jauh dari kata sempurna oleh
karena itu kami menantikan kritik dan saran yang membangun dari pembaca guna
perbaikan makalah ini.

Medan, 11 November 2021

Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................................................... i
DAFTAR ISI..................................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................ 1
A.Latar Belakang...................................................................................................................... 1
B.Rumusan Masalah ................................................................................................................ 1
C.Tujuan .................................................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN............................................................................................................... 3
BAB III PENUTUP ..................................................................................................................... 14
A.Kesimpulan ......................................................................................................................... 14
B.Saran ..................................................................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................ 5
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Akibat lemahnya perlindungan hukum dan sosial terhadap anak ditambah sistem
budaya di masyarakat menjadikan posisi anak sangat rentan terhadap ancaman dan
serangan kekerasan, baik fisik, seksual maupun psikologis serta meningkatnya
perdagangan orang khususnya anak, menjadikan kekerasan terhadap anak cenderung
meningkat
Perdagangan anak adalah kejahatan kemanusiaan dan merupakan
bentuk kekerasan terhadap anak serta pelanggaran terhadap hak asasi manusia.Sejumlah
ilmuwan memandang perdagangan anak dan perempuan sebagai isu HAM yang kurang
mendapatkan perhatian dibandingkan dengan isu-isu terkait HAM lainnya,
seperti genosida, perang, dan kekerasan berbasis gender.Perdagangan orang juga
merupakan masalah HAM yang masih banyak disalahpahami dan sebagian besar
kasusnya terjadi tanpa terdeteksi. Perdagangan manusia baru mulai mendapatkan
perhatian besar pada akhir abad 20. Lembaga pemerintah, organisasi
internasional, lembaga swadaya masyarakat, akademisi, dan media mulai benar-benar
berusaha memahami dan menangani masalah ini secara efektif pada 1980-an.Pada 1990-
an, upaya pemberantasan perdagangan manusia terus berlanjut dan mengalami
perkembangan cukup signifikan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan perdagangan anak?
2. Apa saja Area pelayanan yang perlu menjadi pertimbangan dalam rangka memenuhi
kebutuhan spesifik?
3. Bagaimana tahapan dalam proses implementasi program rehabilitasi sosial bagi
korban perdagangan anak?
4. Bagaimana perlindungan hukum bagi korban tindak perdana perdagangan anak?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan perdagangan anak
2. Untuk mengkaji lebih dalam bagaimana proses implementasi untuk korban
perdagangan anak
3. Untuk mengetahui bagaimana upaya perlindungan hukum bagi korban bencana
perdagangan anak
BAB II
PEMBAHASAN
PERDAGANGAN ANAK
Perdagangan orang atau human trafficking merupakan salah satu bentuk kejahatan
terorganisir yang cukup kompleks dan mengakibatkan pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
Pelanggaran hak asasi manusia tersebut terjadi, karena dalam perdagangan orang melibatkan
tindakan kekerasan, pemaksaan, penipuan, melemahkan harkat martabat manusia, dan juga
memiliki dampak yang buruk terhadap perkembangan fisik, psikologis, emosional, dan moral
seseorang. Selain itu, praktik perdagangan orang juga dapat membahayakan kohesi dan nilai-
nilai sosial yang ada di masyarakat (Devine, 2009). Berdasarkan data korban perdagangan orang
yang dibantu oleh IOM Indonesia, sebanyak 70% jumlah korban perdagangan orang berjenis
kelamin perempuan dan sebanyak 30% berjenis kelamin laki-laki dari total kasus. Sementara
berdasarkan usia, sebanyak 13% korban perdagangan orang merupakan anak-anak, sementara
usia dewasa berjumlah 87% (IOM, 2016). Fakta tersebut menunjukkan bahwa, meskipun dapat
terjadi kepada siapa saja, praktik perdagangan orang sangat rentan terjadi kepada perempuan dan
juga anak-anak.
Menurut Suyanto (2004) perempuan dan anak-anak menjadi kelompok yang paling
rentan, karena beberapa hal. Pertama, anak sepenuhnya bergantung kepada orang dewasa untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya, keadaan tersebut kemudian menyebabkan anak rentan dan
dimanfaatkan oleh orang dewasa atau orang tuanya demi kepentingan mereka. Selain itu, masih
kuatnya budaya patriarki dalam masyarakat Indonesia, dimana laki-laki memiliki posisi ordinat
(prioritas) sementara perempuan seringkali termarjinalkan dalam keluarga dan masyarakat
(Hariyanto, 2011, hal. 3). Perdagangan anak sebagai salah satu bentuk perdagangan manusia
terjadi ketika seorang anak yang berusia di bawah 18 tahun dieksploitasi dan dipekerjakan dalam
berbagai bentuk usaha. Secara global terdapat sekitar 1,2 juta anak diperdagangkan setiap
tahunnya, dan kebanyakan anak-anak tersebut diperdagangkan untuk tujuan eksploitasi seksual
dan industri perdagangan anak tersebut dapat menghasilkan keuntungan kurang lebih 12 miliar
dolar amerika per tahun (UNICEF, 2010). Sementara itu, di Indonesia diperkirakan terdapat
100.000 anak yang diperdagangkan setiap tahunnya, dan kurang lebih terdapat 40.000-70.000
anak yang menjadi korban eksploitasi seksual. Korban perdagangan anak biasanya dipekerjakan
dalam industri prostitusi, pekerja rumah tangga, pekerja di sektor industri, pekerja di sektor
pertanian, dan juga pernikahan dibawah umur (UNICEF, 2008). Sementara itu, faktorfaktor yang
menjadi akar dari permasalahan perdagangan anak, antara lain kemiskinan, penerimaan terhadap
pekerja anak, anak yang tidak terdaftar secara administratif, dan budaya-budaya tertentu seperti
pernikahan usia anak (UNICEF, 2010).
Selain melanggar hak anak untuk mendapat perlindungan serta tumbuh dan berkembang
di lingkungan yang aman, perdagangan anak juga memiliki berbagai dampak negatif yang
mempengaruhi proses tumbuh kembang anak. Dari sisi kesehatan, korban perdagangan anak,
khususnya untuk tujuan eksploitasi seksual, sangatlah rentan untuk tertular berbagai penyakit
menular seksual, salah satunya HIV (UNICEF, 2010). Menurut Hariyanto (2011), secara
psikologis, anak perempuan yang menjadi korban perdagangan anak merasa pesimis untuk
memasuki jenjang rumah tangga, merasa tidak percaya diri ketika berinteraksi dengan sesama
anak perempuan dan juga dapat menimbulkan trauma. Dampak sosial yang ditimbulkan dari
perdagangan anak adalah para korban pada umumnya hidup dalam kesendirian dan menutup diri
dari lingkungan sosialnya.
Selain itu, akan timbul stigma masyarakat yang menganggap korban sebagai orang yang
tidak bermoral, tidak memiliki etika, dan lain sebagainya . Sebagai suatu masalah sosial dengan
berbagai dampak yang ditimbulkan, perdagangan anak dapat mengganggu keberfungsian sosial
korban perdagangan anak. Oleh karena itu, perlu adanya suatu tindakan atau upaya berupa
intervensi sosial dengan tujuan mengembalikan keberfungsian sosial korban perdagangan anak
tersebut. Intervensi sosial merupakan upaya perubahan terencana untuk mengubah suatu kondisi
dari kondisi yang tidak diinginkan menuju kondisi yang diinginkan, melalui intervensi sosial
hambatan-hambatan sosial yang dihadapi kelompok sasaran akan dapat teratasi (Adi, 2005).
Dalam konteks perdagangan anak, salah satu upaya intervensi sosial yang dapat dilakukan untuk
mengembalikan keberfungsian sosial korban perdagangan anak adalah dengan melakukan
rehabilitasi sosial. Dalam Undang-Undang No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang, disebutkan bahwa korban perdagangan orang berhak memperoleh
rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan, dan reintegrasi sosial dari pemerintah atau
lembaga-lembaga sosial lain yang memiliki rumah perlindungan sosial atau pusat trauma.
Rumah Faye, merupakan salah satu lembaga sosial nonpemerintah atau nongovernment
organization di Indonesia yang berfokus untuk menangani masalah perdagangan anak,
kekerasan, dan eksploitasi terhadap anak (Rumah Faye, 2018). Pada tahun 2016 Rumah Faye
mulai memberikan layanan rehabilitasi sosial bagi korban perdagangan anak dengan membangun
sebuah rumah singgah atau shelter yang dijadikan sebagai pusat rehabilitasi bagi korban
perdagangan anak. Shelter tersebut diberi nama “Rumah Aman” dan berlokasi di Kota Batam,
Kepulauan Riau. Secara umum, Rumah Aman memiliki tujuan untuk merestorasi keberfungsian
sosial korban perdagangan anak melalui kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan. Selain bertujuan
untuk merestorasi keberfungsian sosial anak, Rumah Aman juga dijadikan sebagai pusat trauma
healing dan pemberdayaan bagi korban perdagangan anak, eksploitasi anak, dan kekerasan
terhadap anak. Dalam proses implementasi suatu program atau kegiatan intervensi sosial,
memang tidak selalu dapat berjalan sesuai dengan tujuan atau rencana yang telah ditetapkan di
awal, adanya tantangan dan hambatan dalam proses implementasi program menuntut lembaga
pemberi pelayanan sosial untuk dapat beradaptasi dengan kondisi yang terjadi.
Oleh karena itu, evaluasi dan monitoring dalam suatu program pelayanan kemanusiaan
menjadi suatu hal yang penting, yaitu untuk memberikan penilaian terhadap perkembangan dan
hasil dari implementasi program. Kegiatan evaluasi program juga menjadi salah satu cara untuk
merespon perubahan kondisi yang dihadapi lembaga pelayanan kemanusiaan.
Menurut Surtees (2017), terdapat beberapa area pelayanan yang perlu diperhatikan dalam
memberikan pelayanan bagi korban perdagangan anak. Hal-hal tersebut perlu dipertimbangkan
dalam rangka memenuhi kebutuhan spesifik dan mendahulukan semua hal yang terbaik bagi
lanak. Area pelayanan yang perlu menjadi pertimbangan tersebut, antara lain:
1. Tempat tinggal dan akomodasi Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penyediaan tempat
tinggal dan akomodasi yang aman bagi korban perdagangan anak adalah mengutamakan
reunifikasi antara anak dengan orang tua atau keluarga, shelter dan fasilitas pelayanan menjadi
sumber daya terakhir dalam pemberian pelayanan, oleh karena itu perlu dilakukan family risk
assessment untuk mengidentifikasi solusi terbaik dalam hal penyediaan tempat tinggal dan
akomodasi bagi anak. Ketika reunifikasi antara anak dengan keluarga tidak menjadi pilihan
terbaik maka diperlukan alternatif tempat bagi anak tersebut, seperti shelter, foster care, dsb.
2. Pelayanan Medis Dalam pelayanan medis, semua anak korban perdagangan anak harus
mendapatkan aksesterhadap pelayanan medis baik dalam hal pencegahan, remedial, maupun
dalam keadaan gawat darurat. Selain itu diperlukan staf medis profesional yang terlatih dalam
menangani korban perdagangan anak.
3. Pelayanan Konseling dan Psychological Support Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam
pemberian pelayanan konseling dan psychological support bagi korban perdagangan anak antara
lain, pelayanan tersebut harus dilakukan oleh seorang profesional yang memiliki spesialisasi
dalam bidang anak, yang dapat mendukung pembentukan coping skills anak, seperti bagaimana
mengatasi stres, rasa marah, konflik, dsb. Diperlukan juga protokol dan proteksi, yang mengatur
dan menjamin setiap konselor dan psikolog dapat memberikan perlindungan terhadap anak.
4. Pendidikan dan Life Skills Pendidikan dan life skills menjadisuatu hal yang penting, karena
selain menjamin hak anak akan pendidikan, hal tersebut juga dapat membantu anak untuk
bangkit dari kondisinya. Hal yang perlu diperhatikan dalam penyediaan pelayanan pendidikan
dan life skills, antara lain menjamin seluruh korban perdagangan anak dapat mengakses
pendidikan baik secara formal maupun informal.
5. Program Pemberdayaan Ekonomi (Economic Empowerment) Pada umumnya pelayanan
ekonomi diberikan kepada keluarga korban, sementara anak lebih diutamakan untuk dapat
mengakses layanan pendidikan. Hal terpenting adalah menjamin setiap pelayanan pemberdayaan
ekonomi, baik itu yang diberikan kepada anak secara langsung atau kepada keluarga, harus
memberikan manfaat kepada anak itu sendiri.
6. Bantuan Administrasi Bantuan administratif yang dimaksud dalam hal ini adalah segala hal
yang berkaitan dengan akses terhadap status legal anak, seperti dokumen identitas. Selain itu,
bantuan administrasi juga dapat berupa jaminan bagi anak untuk mendapatkan pendamping atau
wali yang sah secara hukum atau legal guardian yang dapat menjamin hak dan kebutuhan anak,
ketika orang tua tidak lagi menjadi pilihan terbaik.
7. Bantuan Hukum (Legal Assistance support) Saat proses peradilan, anak berhak untuk
mendapatkan perlindungan dan pendampingan dari wali atau pendampingnya. Selain itu dalam
awal proses peradilan, seperti pembuatan laporan di kantor polisi, diperlukan penyesuaian-
penyesuaian tertentu agar prosedur yang dilakukan lebih ramah terhadap anak.
8. Keamanan dan Keselamatan Anak Dalam hal keamanan dan keselamatan anak terdapat
beberapa hal yang perlu diperhatikan, diantaranya jaminan terhadap keamanan dan keselamatan
bagi orang tua atau wali dari anak tersebut, anak di usia tertentu juga perlu diinformasikan
mengenai masalah keamanan yang sedang dan mungkin akan dihadapi oleh anak, serta tindakan-
tindakan apa saja yang dilakukan untuk menjamin keamanan dan keselamatan anak tersebut.
9. Pelayanan Konseling, dan Mediasi Keluarga Dalam hal pelayanan bagi keluarga korban, orang
tua perlu dilatih mengenai parenting skills, agar dapat membantu anak keluar dari situasi dan
perilaku negatif dan destruktif. Jika anggota keluarga menjadi pelaku eksploitasi, maka
diperlukan pendekatan khusus yang tetap menjamin terpenuhinya kebutuhan anak dalam proses
reintegrasi.
10. Manajemen Kasus (Case Management) Manajemen kasus memiliki peran penting dalam
proses pelayanan korban perdagangan anak, manajemen kasus sendiri dapat diartikan sebagai
serangkaian proses yang terdiri dari assessment, perencanaan, pengimplementasian, koordinasi,
monitoring, dan evaluasi terhadap pelayanan agar dapat memenuhi kebutuhan anak

Dalam aspek atau komponen activities terdapat 7 tahapan dalam proses implementasi
program rehabilitasi sosial di Rumah Faye. Di dalam masing-masing tahapan terdapat aktivitas
atau kegiatan-kegiatan yang dijalankan oleh Rumah Faye, dan terdiri atas:
(1). Tahapan Rujukan Klien: Penerimaan rujukan (LSM, kepolisian, pemerintahan, masyarakat),
asesmen awal dan identifikasi kasus, dan pendampingan pelaporan khusus;
(2). Tahapan Screening Awal: Dilakukan untuk menentukan apakah calon penerima manfaat
masuk sebagai kategori penerima manfaat atau tidak. Selain itu, dilakukan asesmen terkait
dengan kebutuhan penerima manfaat dalam konteks proses peradilan;
(3). Tahapan Pertolongan Pertama: Dalam hal pendampingan kasus terkait proses peradilan
Rumah Faye melakukan pendampingan terkait dengan pembuatan laporan, kegiatan visum,
rekomendasi psikolog forensik, monitoring persidangan;
(4). Tahapan Penerimaan Klien: Penerima manfaat melakukan registrasi dan asesmen masalah
dan kebutuhan, khususnya yang berkaitan dengan kebutuhan psikologis;
(5). Tahapan Rencana Intervensi: dilakukan Case conference untuk membahas hasil asesmen
masalah dan kebutuhan penerima manfaat, dalam tahap ini ditentukan juga pelayanan yang akan
diberikan kepada penerima manfaat dan juga setting goal untuk menentukan berapa lama
penerima manfaat akan mendapatkan pelayanan. Selain itu, dilakukan juga kontrak rehabilitasi
antara Rumah Faye dengan pihak perujuk dan juga penerima manfaat;
(6). Tahapan Pendampingan Klien (Client Care): dalam pendampingan klien, kegiatan-kegiatan
yang dilakukan oleh Rumah Faye, berfokus pada pemberian bantuan (client support) serta proses
rehabilitasi pemulihan psikososial klien atau penerima manfaat untuk pemulihan trauma,
restorasi fungsi psikososial, dan empowering klien, agar siap dalam proses reintegrasi atau
kembali dalam masyarakat. Dalam pemberian bantuan dan juga rehabilitasi dan pemulihan
psikososial,
(7). Tahapan Reintegrasi: (1). Konseling dan edukasi keluarga, dilakukan sebelum pemulangan
penerima manfaat, dan melibatkan konselor, psikolog profesional, tokoh masyarakat dan tokoh
agama, dan juga aparat penegak hukum; (2). Visitasi dan pendekatan keluarga; (3). Pemulangan /
layanan lanjutan, baik bagi keluarga, keluarga pengganti dan lembaga pelayanan sosial lainnya.
Sementara itu, outputs dari implementasi program rehabilitasi sosial yang dilakukan oleh Rumah
Faye adalah sebagai berikut: (1) Rujukan Klien: Terdapat laporan atau rujukan dari lembaga lain
atau masyarakat setiap tahun; (2). Screening Awal: Terlaksananya kegiatan rapid assessment dan
identifikasi yang sepenuhnya dilakukan oleh staf pendamping; (3). Pertolongan Pertama:
Terpenuhinya kebutuhan dasar dan kebutuhan spesifik semua kasus yang dihadapi penerima
manfaat dapat dilaporkan ke pihak berwajib dan dilanjutkan ke proses peradilan; (4). Penerimaan
Klien: Seluruh penerima manfaat melakukan registrasi dan berhasil diidentifikasi kebutuhan
yang berkaitan dengan aspek psikologi penerima manfaat. (5). Rencana Intervensi: Case
conference dilakukan di awal ketika penerima manfaat masuk kedalam shelter dan setiap minggu
untuk membahas perkembangan penerima.

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN


DARI TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG
Salah satu tindak pidana yang akhir-akhir ini terjadi yaitu perdagangan orang. Hal ini
dikarenakan tingkat kemiskinan semakin meningkat, sehingga orang akan berusaha apa saja
untuk memperbaiki taraf hidup. Namun hal ini banyak dimanfaatkan oleh orang-orang yang
ingin mengambil keuntungan dari hal tersebut, misalnya saja banyak pelaku perdagangan orang
berkedok sebagai orang yang ingin membantu dengan cara merekrut dan mengirim tenaga secara
independen, baik secara individu maupun kelompok. Selain itu, banyak juga dari agen perekrut
tenaga kerja atau Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) yang membayar agen/calo
(perorangan) untuk mencari perempuan atau anak yang ingin bekerja di luar negeri. Tetapi bukan
kesejahteraan yang mereka dapatkan melainkan malah kesengsaraan.1 Kemajuan teknologi
informasi, komunikasi dan transportasi yang mengakselerasi terjadinya globalisasi, juga
dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan untuk menyelubungi perbudakan dan penghambaan itu ke
dalam bentuknya yang baru yaitu perdagangan orang (trafficking in persons), yang beroperasi
secara tertutup dan bergerak di luar hukum. Pelaku perdagangan orang (trafficker) yang dengan
cepat berkembang menjadi sindikasi lintas batas negara, dengan sangat halus menjerat
mangsanya, tetapi dengan sangat kejam mengeksploitasinya dengan berbagai cara sehingga
korban menjadi tidak berdaya untuk membebaskan diri.
Perdagangan orang khususnya perdagangan wanita dan anak merupakan suatu kejahatan
yang banyak terjadi baik di tingkat nasional maupun internasional. Perdagangan anak dengan
jaringan sindikatnya memiliki bentuk dan tujuan yang beragam, seperti pola untuk tujuan seksual
atau prostitusi, untuk pembantu rumah tangga, untuk tenaga kerja wanita, pengedar narkoba,
perkebunan, pengamen dan lain sebagainya. Yang jelas dalam perdagangan anak selalu ada
unsur eksploitasi ekonomi maupun seksual, merampas kebebasan dan merendahkan martabat
manusia. Perdagangan wanita dan anak di Indonesia merupakan masalah yang sangat kompleks.
Wanita dan Anak-anak yang diperdagangkan bekerja dengan jam kerja relatif panjang dan rawan
kekerasan fisik, mental, dan seksual. Mereka tidak mempunyai dukungan atau perlindungan
minimal dari pihak luar. Kesehatan mereka juga terancam oleh infeksi seksual, perdagangan
alkohol dan obat-obatan terlarang.
Perdagangan orang itu sendiri telah ada sejak tahun 1949 yaitu sejak ditandatangani
Convention on Traffic in Person (Konvensi tentang Perdagangan Orang). Hal ini kemudian
berkembang ketika banyak laporan tentang terjadinya tindakan perdagangan perempuan pada
Beijing Plat Form of Action yang dilanjutkan dengan Convention on Elimination of All Form of
Descrimination Agains Women (CEDAW) dan telah diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-
Undang No. 7 tahun 1984 tentang Penghapusan segala Bentuk Deskriminasi terhadap
Perempuan. Kemudian dipertegas dalam agenda Global Alliance Agains Traffic in Women atau
disingkat dengan GAATW (Persekutuan Sedunia terhadap Perdagangan Wanita) di Thailand
tahun 1994.
Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia sampai saat ini terus meningkatkan komitmennya
untuk mensejahterakan kehidupan bangsa melalui upaya-upaya yang diselenggarakan secara
konsisten dan berkelanjutan dalam melindungi warga negaranya antara lain dari praktek-praktek
perdagangan orang dan bentuk-bentuk eksploitasi lainnya. Adapun salah satu komitmen yang
dilakukan oleh pemerintah Indonesia yaitu diwujudkan dalam bentuk Keputusan Presiden No. 88
Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak
(RAN-P3A) serta pembentukan Gugus Tugas Lintas Sektoral untuk implementasinya dan telah
menggiatkan pemberantasan perdagangan orang secara lebih terencana, terintegrasi dengan
langkahlangkah untuk mengatasi akar masalahnya yaitu kemiskinan, kurangnya pendidikan dan
keterampilan, kurangnya akses, kesempatan dan informasi serta nilai-nilai sosial budaya yang
lebih mementingkan kaum perempuan.
Ada beberapa upaya perlindungan hukum yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia
antara lain melalui pembinaan Undang- Undang No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Undang-Undang No. 13 tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban. Kedua aturan tersebut termasuk peraturan baru sehingga belum
terlihat efektifitas dari peraturan tersebut. Adapun definisi Perdagangan orang menurut Undang-
Undang No. 21 tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang adalah:
“tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan atau
penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan,
penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan
utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang
memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar
negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi”.
Selain kedua undang-undang tersebut undang-undang yang terkait dengan perizinan dan
persyaratan untuk menjadi tenaga kerja di dalam atau luar negeri atau bepergian ke luar negeri,
yaitu: Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja di Luar Negeri. Hal
ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya tindak pidana perdagangan orang dan melindungi
korbannya. Seperti yang kita ketahui perempuan dan anak adalah yang paling banyak menjadi
korban perdagangan orang, menempatkan mereka pada posisi yang sangat beresiko khususnya
yang berkaitan dengan kesehatannya baik fisik maupun mental spiritual, dan sangat rentan
terhadap tindak kekerasan, kehamilan yang tak dikehendaki, dan infeksi penyakit seksual
termasuk HIV/AIDS. Kondisi perempuan dan anak yang seperti itu akan mengancam kualitas
Ibu Bangsa dan generasi penerus bangsa Indonesia. Jumlah korban perdagangan orang sesuai
data Deplu mencapai 2,5 juta orang pertahun. Korban ini berasal dari 127 negara dan dijual ke
137 negara. Kasus yang paling besar adalah eksploitasi seksual dan kasus penjualan anak-anak
dan wanita.
Upaya-upaya perlindungan hukum dan penanggulangan kejahatan perdagangan anak
telah banyak dilakukan, yang mana upaya-upaya yang dilakukan itu dapat dibagi ke dalam 2
garis besar, yakni upaya preventif dan upaya represif.
1. Upaya Preventif
Sebagai semboyan dari ilmu pengetahuan kriminologi yakni “ Mencegah kejahatan
adalah lebih baik daripada mencoba mendidik penjahat menjadi orang baik kembali”,
dengan demikian merupakan motivasi terhadap aparat Kepolisian untuk lebih
meningkatkan lagi upaya pencegahan. Adapun langkah-langkah yang diambil oleh
aparat Kepolisian dalam mencegah terjadinya kejahatan perdagangan anak antara lain:
Melaksanakan Kegiatan patroli
Mengadakan patroli merupakan salah satu upaya yang efektif dalam mencegah
terjadinya gangguan Kamtibmas, yang mana aparat Kepolisian langsung terjun ke
masyarakat dan bergabung dalam menjaga keamanan dan meningkatkan ketertiban.
Dengan mengadakan patroli seperti ini, aparat kepolisian dapat mengetahui dan
menangani secara langsung sesuai dengan mandat yang telah diberikan kepadanya.
Tempat-tempat atau daerah-daerah yang dilakukan patroli merupakan daerah yang
rawan dan selalu terjadi peristiwaperistiwa pidana baik pelanggaran maupun kejahatan.
Dibentuknya Polmas (Polisi Masyarakat)
Salah satu cara yang dilakukan oleh aparat kepolisian yaitu dengan dibentuknya
Polmas (Polisi Masyarakat) dalam mencegah atau menangani terjadinya kejahatan
khususnya kejahatan perdagangan anak (trafficking in children). Sistem ini dilakukan
dengan cara meletakkan aparat kepolisian di sekitar lingkungan masyarakat dengan
tidak menggunakan seragam, hal ini bertujuan selain mendekatkan lagi aparat
kepolisian dengan masyarakat juga bertujauan untuk mencari informasi dari
masyarakat tentang kejahatan yang terjadi di lingkungan tersebut.
Melakukan Kring Serse
Salah satu sistem yang dilakukan oleh pihak Reskrim dalam mencegah terjadinya
tindak kejahatan, khususnya kejahatan perdagangan anak (trafficking in children) yaitu
dengan cara kring serse. Sistem ini dilakukan denagn cara membentuk tim khusus
yang ditempatkan pada dearah-daerah tertentu yang dipandang sebagai daerah rawan
terjadinya kejahatan.
Mengadakan Penyuluhan Hukum
Upaya-upaya preventif yang dilakukan oleh aparat kepolisian, selain di lakukan secara
interen membentuk Polmas (Polisi Masyarakat), dan team-team khusus dijajaran
Polisi, juga dituntut dari masyarakat untuk membantu pihak Polisi dalam menegakkan
hukum. Tingkat kesadaran hukum masyarakat, merupakan salah satu peran serta untuk
menekankan agar menjadi rendahnya gangguan Kamtibmas. Dengan tingginya
kesadaran hukum masyarakat tidak akan melakukan delik-delik dalam jenis apapun,
apalagi sampai melakukan perdagangan anak. Masih rendahnya tingkat pendidikan
masyarakat, Sehingga pengetahuan akan hukum masih minim. Oleh sebab itu, perlu
diadakan bimbungan-bimbingan dan penyuluhan tentang hukum dari aparat penegak
hukum. Untuk itulah perlu diadakan kerjasama antara aparat kepolisian, jaksa,
lembaga permasyarakatan serta aparat yang terkait lainnya.

2. Upaya Represif
Terhadap tindak pidana perdagangan anak (trafficking in children), cara
penanggulangannya tidak dapat dilakukan dalam bentuk ganti rugi, akan tetapi perlu
adanya pertanggung jawaban pelaku atas perbuatannya, karena kejahatan ini
menyangkut kehidupan, nyawa atau kehormatan seseorang yang tidak dapat diganti
atau dinilai dengan materi dan uang. Dalam penyelesaian kasus perdagangan anak
merupakan perkara yang cukup sulit dan memerlukan waktu yang cukup lama. Apabila
pelaku perdagangan anak sampai melarikan diri, hal demikian sangat diperlukan
ketelitian dan kejelian bagi aparat kepolisian dan harus adanya hubungan koordinasi
dengan pihakpihak yang bersangkutan, seperti sabandar, patroli pantai maupun
imigrasi serta masyarakat. Bagi aparat kepolisian, khususnya pihak Reskrim taktik
penyidikan merupakan dasar dalam menunaikan tugasnya, yang menjadi dasar dalam
hal bagaimana harus berbuat ditempat kejadian perkara, mengusut bagaimana
kejahatan itu dilakukan, siapa korban, bagaimana cara kerja pelaku dan apa motif yang
mendorong pelaku, untuk berbuat kejahatan perdagangan anak guna membuat menjadi
jelas kejahatan yang terjadi dan menemukan pelakunya.

Upaya-upaya represif yang dilakukan oleh aparat Polisis dapat dilakukan sebagai
berikut:
a. Mencari dan mengumpulkan informasi ditempat terjadinya perdagangan
anak.
Kewajiban pertama-tama dalam tahap ini adalah mengumpulkan sebanyak
mungkin keterangan, hal yang penting, data dan fakta-fakta yang benar
tentang peristiwa yang terjadi. Berdasarkan keterangan dan data tersebut
kemudian dicoba membuat gambaran kembali tentang apa yang telah terjadi.
Apabila masih terdapat kekurangan data, maka akan dilakukan lagi pencarian
fakta-fakta untuk melengkapi sehingga gambaran peristiwa menjadi lengkap.
Sehubungan dengan uraian diatas sesuai dengan tata cara hukum pidana
Indonesia dalam Pasal 1 butir 27 KUHAP, yang berbunyi : “Keterangan saksi
adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan
dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang didengar sendiri, dia lihat
sendiri dan dia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya
itu ”. Untuk mendapatkan keterangan dari saksi yang dilakukan oleh pihak
penyidik, tidak dibenarkan dengan mempergunakan kekerasan atau paksaan.
Hal ini sesuai dalam Pasal 117 ayat (1) KUHAP yang berbunyi: “ Keterangan
tersangka dan atau saksi kepada penyidik diberikan tanpa tekanan dari
siapapun dan atau dalam bentuk apapun”.

b. Mengadakan Razia Kartu Tanda Penduduk (KTP)


Salah satu upaya yang dilakukan oleh pihak Reserse yaitu dengan
mengadakan razia identitas pribadi (KTP), hal ini dilakukan sebagai langkah
untuk mendeteksi orang-orang yang dicurigai dalam kasus perdagangan anak.
Upaya razia KTP dilakukan sebagai salah satu cara untuk menjaring pelaku
kejahatan, khususnya pelaku perdagangan anak. Kemudian setelah tertangkap
diadakan penahanan guna diintrogasi satu persatu untuk mencari keterangan
lebih lanjut selama masa penahanan tersebut, terhadap seseorang dicurigai
berdasarkan informasi yang didapat akan dilakukan penahanan oleh pihak
penyidik selama 20 hari.

c. Partisipasi Masyarakat dengan pihak Polisi


Untuk mengadakan pengusutan dan pengungkapan serta mencari pelaku
kejahatan sangat diperlukan kerja sama yang berasal dari khalayak umum
(masyarakat) walaupun pada prinsipnya anggota Polisi merupakan aparat
penegak hukum yang pertama kali harus tampil untuk mengungkapkan setiap
kasus-kasus yang ada. Partisipasi atau kerjasama dari masyarakat adalah
berupa laporan kepada pihak polisi dalam hal terjadinya kejahatan
perdagangan anak. Laporan-laporan yang disampaikan oleh masyarakat baik
melalui telepon, Handphone, pesawat radio (ORARI) atau melapor langsung
ke Pos-pos terdekat dijajaran polisi. Dengan adanya laporan inilah pihak
polisi segera mengambil tindakan untuk memeriksa di tempat kejadian
perkara. Apabila ditempat kejadian perdagangan anak itu ditemukan berkas-
berkas yang tertinggal dan merupakan alat bukti, selanjutnya pihak polisi
akan mencari pelakunya. Apabila pelaku kejahatan perdagangan anak telah
tertangkap, maka langkah selanjutnya akan dilakukan penyidikan terhadap
pelaku sesuai dengan ketentuan yang berlaku didalam tata hukum pidana
Indonesia.
Kerjasama yang diharapkan oleh pihak kepolisian dari masyarakat yakni
berupa laporan-laporan tentang akan terjadinya suatu tindak pidana maupun
setelah terjadinya. Dengan adanya laporan atau informasi dari masyarakat
akan mempermudah bagi pihak kepolisian untuk menindak lanjuti langkah-
langkah selanjutnya. Pelaku tindak pidana perdangangan anak (trafficking in
children) yang telah di tangkap akan dilakukan pemeriksaan terlebih
pendahuluan (vooronderzoek), bahwa untuk menyiapkan hasil introgasi
secara tertulis dari tersangka dan pengumpulan bahan menjadi barang bukti
atau alat bukti dalam suatu rangkaian berkas perkara, serta kelengkapan
pemeriksaan lainnya sebagai syarat untuk dapat menyerahkan kepada
pengadilan.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Perdagangan orang atau human trafficking merupakan salah satu bentuk kejahatan
terorganisir yang cukup kompleks dan mengakibatkan pelanggaran terhadap hak asasi
manusia. Pelanggaran hak asasi manusia tersebut terjadi, karena dalam perdagangan
orang melibatkan tindakan kekerasan, pemaksaan, penipuan, melemahkan harkat
martabat manusia, dan juga memiliki dampak yang buruk terhadap perkembangan fisik,
psikologis, emosional, dan moral seseorang. perempuan dan anak-anak menjadi
kelompok yang paling rentan, karena beberapa hal. Pertama, anak sepenuhnya
bergantung kepada orang dewasa untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, keadaan tersebut
kemudian menyebabkan anak rentan dan dimanfaatkan oleh orang dewasa atau orang
tuanya demi kepentingan mereka. Selain itu, masih kuatnya budaya patriarki dalam
masyarakat Indonesia, dimana laki-laki memiliki posisi ordinat (prioritas) sementara
perempuan seringkali termarjinalkan dalam keluarga dan masyarakat Perdagangan anak
sebagai salah satu bentuk perdagangan manusia terjadi ketika seorang anak yang berusia
di bawah 18 tahun dieksploitasi dan dipekerjakan dalam berbagai bentuk usaha. Secara
global terdapat sekitar 1,2 juta anak diperdagangkan setiap tahunnya, dan kebanyakan
anak-anak tersebut diperdagangkan untuk tujuan eksploitasi seksual.

B. Saran
Dengan maraknya tindak pidana perdagangan anak (trafficking in children), maka
diharapkan kejelian dan kewaspadaan pihak kepolisian untuk mengawasi kehidupan
sosial masyarakat Diharapkan kepada aparat kepolisian untuk mengambil tindakan yang
tegas kepada masyarakat yang tidak memiliki identitas yang jelas serta mencurigakan
apalagi dikota yang letak geografisnya berbatasan langsung dengan negara lain,yang
mana akan ini memudahkan transit perdagangan anak dan perempuan (trafficking).

Anda mungkin juga menyukai