Makalah Pa
Makalah Pa
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Acara Perdata II ( Peradilan Agama)
DISUSUN OLEH :
Adam F (1974201244)
Anggun Pratiwi (1974201073)
Siti Vira (1974201023)
Kelas / Semester :
A 1.3 / II (Dua)
FAKULTAS HUKUM
2021
KATA PENGANTAR
Bismillahirahmannirahim
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-
Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan tugas makalah ini yang Alhamdulillah
tepat pada waktunya yang berjudul “ Peradilan Agama Dari Segi Administratif “ Makalah ini
membahas tentang sistem Peradilan Agama dari Segi Administarif di Indonesia. Makalah ini
dapat memberikan informasi kepada kita semua tentang bagaimana bentuk-bentuk sistem
Peradilan Agama di Indonesia.
Kami menyadari bahwa Makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan
saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan
Makalah ini. Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan
serta dalam penyusunan Makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa
meridhai segala usaha kita. Aamiin.
KATA
PENGANTAR...................................................................................................................................
I
DAFTAR ISI...................................................................................................................................II
BAB I...............................................................................................................................................1
PENDAHULUAN...........................................................................................................................1
A. Latar Belakang.....................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah................................................................................................................5
C. Tujuan Penulisan..................................................................................................................5
BAB II.............................................................................................................................................6
PEMBAHASAN..............................................................................................................................6
A. Pengertian Kredit....................................................................................................................6
B. Kendala Kredit Yang Tidak Terbayar.....................................................................................6
BAB III..........................................................................................................................................12
PENUTUP.....................................................................................................................................12
A. KESIMPULAN.....................................................................................................................12
B. SARAN.................................................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................13
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari
keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang di ubah dengan Undang-undang
Nomor 3 Tahun 2006 dan diubah untuk kedua kalinya dengan Undang-undang Nomor 50 tahun
2009. Pengadilan Agama selaku pengadilan tingkat pertama mempunyai tugas pokok dan fungsi
memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang- orang yang
beragama islam di bidang : perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan
ekonomi syariah. Pengadilan Agama sebagai Pengadilan Tingkat pertama, maka Pengadilan
Agama harus melakukan pengawasan terhadap jalan peradilan dan menjaga agar peradilan
diselenggarakan dengan seksama dan sewajarnya di Pengadilan Agama. Dan setiap kegiatan
tugas tugas pokok pada Pengadilan Agama serta pelayanan yang langsung berhubungan dengan
masyarakat pengguna pengadilan harus transparan, akuntable, dapat di akses oleh publik melalui
media (web site) yang telah tersedia di setiap pengadilan. Laporan Kinerja Pengadilan Agama ini
merupakan bentuk pertanggungjawaban terhadap publik dalam melaksanakan program program
yang telah ditetapkan yang menyangkut akan terlaksananya pelayanan yang baik terhadap
masyarakat, maka program program yang menyangkut tentang keterbukaan dan akses kepada
publik telah dilakukan dengan melaksanakan beberapa program sebagai berikut:
C. TUJUAN PENULISAN
1. Dapat mengetahui lebih jelas tentang Peradilan Agama Dari Segi Administratif
2. Dapat mengetahui gugatan dan permohonan di Peradilan Agama
BAB II
PEMBAHASAN
A. Peradilan Agama
Pengadilan Agama, yang merupakan Pengadilan Tingkat Pertama bertugas dan berwenang
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara ditingkat pertama antara orang-orang
yang berAgama Islam dibidang perkawinan, kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan
berdasarkan hukum Islam, serta wakaf dan shadaqah, sebagaimana diatur dalam Pasal
49 Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama. .
1. Memberikan pelayanan teknis yustisial dan administrasi kepaniteraan bagi perkara tingkat
pertama serta penyitaan dan eksekusi .
2. Memberikan pelayanan dibidang administrasi perkara banding, kasasi dan peninjauan kembali
serta administrasi peradilan lainnya .
3. Memberikan pelayanan administrasi umum kepada semua unsur di lingkungan Pengadilan
Agama (umum, kepegawaian dan keuangan kecuali biaya perkara)
4. Memberikan Keterangan, pertimbangan dan nasehat tentang Hukum Islam pada Instansi
Pemerintah di daerah hukumnya, apabila diminta sebagaimana diatur dalam Pasal 52 Undang-
Undang No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 tahun
1989 tentang Peradilan Agama
5. Memberikan pelayanan penyelesaian permohonan pertolongan pembagian harta peninggalan
diluar sengketa antara orang-orang yang beragama Islam yang dilakukan berdasarkan hukum
Islam sebagaimana diatur dalam Pasal 107 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama .
6. Waarmerking Akta Keahliwarisan di bawah tangan untuk pengambilan deposito/ tabungan,
pensiunan dan sebagainya .
7. Pelaksanakan tugas-tugas pelayanan lainnya seperti penyuluhan hukum, pelaksanaan hisab
rukyat, pelayanan riset/penelitian dan sebagainya.
C. Pengajuan Gugatan dan Permohonan di Peradilan Agama
c. Bila Termohon berkediaman di luar negeri, maka permohonan diajukan kepada Pengadilan
Agama/Mahkamah Syari’ah yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Pemohon (pasal
66 ayat (3) UU No. 7 Th. 1989 yang telah diubah dengan UU No. 3 Th. 2006)
d. Bila Pemohon dan Termohon bertempat kediaman di luar negeri, maka permohonan diajukan
kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah yang daerah hukumnya meliputi tempat
dilangsungkannya perkawinan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat (pasal 66 ayat (4)
UU No. 7 Th. 1989 yang telah diubah dengan UU No. 3 Th. 2006)
3) Permohonan tersebut memuat :
a. Nama, umur, pekerjaan, agama dan tempat kediaman Pemohon dan Termohon
b. Posita (fakta kejadian dan fakta hukum)
c. Petitum (hal-hal yang dituntut berdasarkan posita)
4) Permohonan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri dan harta bersama dapat
diajukan bersama-sama dengan permohonan cerai talak atau sesudah ikrar talak diucapkan (pasal
66 ayat (5) UU No. 7 Th. 1989 yang telah diubah dengan UU No. 3 Th. 2006)
5) Membayar biaya perkara (pasal 121 HIR ayat (4), 145 ayat (4) R.Bg jo. Pasal 89 UU No. 7
Th. 1989 yang telah diubah dengan UU No. 3 Th. 2006), bagi yang tidak mampu dapat
berperkara secara CumaCuma (prodeo) (pasal 237 HIR, 237 R.Bg)
4) Apabila permohonan dikabulkan dan putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka :
a. Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah menentukan hari sidang penyaksian ikrar talak;
b. Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah memanggil Pemohon dan Termohon untuk
melaksanakan ikrar talak.
c. Jika dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan sejak ditetapkan sidang penyaksian ikrar talak,
suami atau kuasanya tidak melaksanakan ikrar talak di depan sidang, maka gugurlah kekuatan
hukum penetapan tersebut dan perceraian tidak dapat diajukan lagi berdasarkan alasan hukum
yang sama (pasal 70 ayat (6) UU No. 7 Th. 1989 yang telah diubah dengan UU No. 3 Th. 2006)
5) Setelah ikrar talak diucapkan panitera berkewajiban memberikan Akta Cerai sebagai surat
bukti kepada kedua belah pihak selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah penetapan ikrar talak
(pasal 84 ayat (4) UU No. 7 Th. 1989 yang telah diubah dengan UU No. 3 Th. 2006)
Persyaratan
1) Menyerahkan Surat Gugatan
2) Menyerahkan Foto Copy Kutipan/Duplikat Akta Nikah
3) Menyerahkan Foto Copy KTP
4) Membayar Biaya Perkara sesuai dengan radius
5) Apabila Tergugat tidak diketahui tempat tinggalnya, maka menyerahkan Surat Keterangan
dari Desa/Kelurahan, yang menerangkan Tergugat tidak diketahui tempat tinggalnya.
4) Gugatan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri dan harta bersama dapat diajukan
bersamasama dengan gugatan perceraian atau sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan
hukum tetap (pasal 86 ayat (1) UU No. 7 Th. 1989 yang telah diubah dengan UU No. 3 Th.
2006)
5) Membayar biaya perkara (pasal 121 ayat (4) HIR, 145 ayat (4) R.Bg jo. Pasal 89 UU No. 7
Th. 1989 yang telah diubah dengan UU No. 3 Th. 2006), bagi yang tidak mampu dapat
berperkara secara CumaCuma (prodeo) (pasal 237 HIR, 237 R.Bg)
6) Penggugat dan Tergugat atau Kuasanya menghadiri persidangan berdasarkan panggilan
Pengadilan Agama/MAhkamah Syari'ah (pasal 121, 124 dan 125 HIR, 145 R.Bg)
b. Putusan Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah atas cerai gugat talak sebagai berikut :
1. Gugatan dikabulkan. Apabila Penggugat tidak puas dapat mengajukan banding melalui
Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah tersebut
2. Gugatan ditolak. Penggugat dapat mengajukan banding melalui Pengadilan
Agama/Mahkamah Syari’ah tersebut
3. Gugatan tidak diterima. Penggugat dapat mengajukan permohonan baru
4) Setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap maka panitera Pengadilan
Agama/Mahkamah Syari'ah memberikan Akta Cerai sebagai surat bukti kepada kedua belah
pihak selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah putusan tersebut diberitahukan kepada para
pihak
Prosedur
Langkah-langkah yang harus dilakukan Penggugat :
1) Mengajukan gugatan secara tertulis atau lisan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah
(pasal 118 HIR, 142 R.Bg)
2) Gugatan diajukan kepada Pengadilan AgamaMahkamah Syari'ah :
a. Yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Tergugat;
b. Bila tempat kediaman Tergugat tidak diketahui, maka gugatandiajukan kepada
Pengadilan Agama/Mahkamah Syari'ah yang daerah hukumnya meliputi tempat
kediaman Penggugat
c. Bila mengenai benda tetap, maka gugatan dapat diajukan kepada Pengadilan
Agama/Mahkamah Syari'a, yang daerah hukumnya meliputi tempat letak benda tersebut.
Bila benda tetap tersebut terletak dalam wilayah beberapa Pengadilan Agama/Mahkamah
Syari'ah, maka gugatan dapat diajukan kepada salah satu Pengadilan Agama/Mahkamah
Syari'ah yang dipilih oleh PEnggugat (pasal 118 HIR, 142 R.Bg)
3) Membayar biaya perkara (pasal 121 ayat (4) HI, 145 ayat (4) R.Bg jo. pasal 89 UU No. 7 Th.
1989 yang telah diubah dengan UU No. 3 Th. 2006), bagi yang tidak mampu dapat berperkara
secara Cuma-cuma (Prodeo) (pasal 237 HIR, 273 R.Bg)
4) Penggugat dan Tergugat atau Kuasanya menghadiri sidang pemeriksaan berdasarkan
panggilan Pengadilan Agam/Mahkamah Syari'ah (pasal 121, 124 dan 125 HIR, 145 R.Bg)
Persyaratan
PengangkatanAnak
Itsbat Nikah
Prosedur
1) Permohonan Banding harus disampaiakn secara tertulis atau lisan kepada Pengadilan
Agama/Mahkamah Syari'ah dalam tenggang waktu :
a. 14 (empat belas) hari, terhitung mulai hari berikutnya dari hari pengucapan putusan,
pengumuman/pemberitahuan putusan kepada yang berkepentingan
b. 30 (tiga puluh) hari bagi Pemohon yang tidak bertempat di kediaman di wilayah hukum
Pengadilan Agama/Mahkamah Syari'ah yang memutus perkara tingkat pertama (pasal 7 UU No.
23 Th. 1947)
2) Membayar biaya perkara banding (pasal 7 UU No. 20 Th. 1947, pasal 89 UU No. 7 Th. 1989
yang telah diubah dengan UU No. 3 Th. 2006)
7) Salinan putusan banding dikirim oleh Pengadilan Tinggi Agama/Mahkamah Syari'ah Provinsi
ke Pengadilan Agama/Mahkamah Syari'ah yang memeriksa perkara pada tingkat pertama untuk
disampaikan kepada para pihak
Memberikan Akta Cerai sebagai surat bukti cerai selambat-lambatnya dalam waktu 7
(tujuh) hari.
7) Salinan putusan dikirimkan kepada kedua belah pihak melalui Pengadilan Tingkat Pertama.
PERKARA KASASI
Prosedur
1. Permohonan Kasasi harus disampaiakn secara tertulis atau lisan kepada Pengadilan
Agama/Mahkamah Syari'ah yang memutus perkara dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari
sesudah penetapan/putusan Pengadilan Tinggi Agama/Mahkamah Syari'ah Provinsi
diberitahukan kepada Pemohon (pasal 46 ayat (1) UU No. 14 Th. 1985 yang telah diubah dengan
UU No. 5 Th. 2004)
2. Membayar biaya perkara kasasi (pasal 46 ayat (3) UU No. 14 Th. 1985 yang telah diubah
dengan UU No. 5 Th. 2004)
6. Pihak lawan dapat mengajukan surat jawaban terhadap memori kasasi kepada Mahkamah
Agung selambat-lambatnya dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal
diterimanya salinan memori kasasi (pasal 47 ayat (3) UU No. 14 Th. 1985 yang telah diubah
dengan UU No. 5 Th. 2004)
7. Panitera Pengadilan Tingkat Pertama mengirimkan berkas kasasi kepada Mahkamah Agung
selambatlambatnya dalam tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya memori kasasi
dan jawaban memori kasasi (pasal 48 UU No. 14 Th. 1985 yang telah diubah dengan UU No. 5
Th. 1985)
1) Memberitahukan tentang Penetapan Hari Sidang penyaksian ikrar talak dengan memanggil
kedua belah pihak
2) Memberikan Akta Cerai sebagai surat bukti cerai selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari;
Memberikan Akta Cerai sebagai surat bukti cerai selambat-lambatnya dalam waktu 7 (tujuh) hari
1. Permohonan kasasi diteliti kelengkapan berkasnya oleh Mahkamah Agung, kemudian dicatat
dan diberi nomor register perkara kasasi
2. Mahkamah Agung memberitahukan kepada Pemohon dan Termohon kasasi bahwa perkaranya
telah diregistrasi
3. Ketua Mahkamah Agung menetapkan tim dan selanjutnya ketua tim menetapkan Majelis
Hakim agung yang akan memeriksa perkara kasasi
4. Penyerahan berkas perkara oleh asisten koordinator (Askor) kepada Panitera Pengaanti yang
menangani perkara tersebut
6. Majelis HAkim Agung memutus perkara; 07. Mahkamah Agung mengirimkan salinan putusan
kepada para pihak melalui Pengadilan Tingkat Pertama yang menerima permohonan kasasi.
1. Mengajukan Permohonan PK kepada Mahkamah Agung secara tertulis atau lisan melalui
Pengadilan Agama/Mahkamah Syari'ah
3. Membayar biaya perkara PK (pasal 70 UU No. 14 Th. 1985 yang telah diubah dengan UU No.
45 Th. 2004, pasal 89 dan 90 UU No. 70 Th. 1989 yang telah diubah dengan UU No. 3 Th. 2006)
5. Pihak lawan berhak mengajukan surat jawaban terhadap memori PK dalam tenggang waktu 30
(tiga puluh) hari setelah tanggal diterimanya salinan permohonan PK
Memberikan Akta Cerai sebagai surat bukti cerai selambat-lambatnya dalam waktu 7 (tujuh)
hari.
1. Permohonan PK diteliti kelengkapan berkasnya oleh Mahkamah Agung, kemudian dicatat dan
diberi nomor register perkara PK
2. Mahkamah Agung memberitahukan kepada Pemohon dan Termohon PK bahwa perkaranya
telah diregistrasi
3. Ketua Mahkamah Agung menetapkan tim dan selanjutnya ketua tim menetapkan Majelis
Hakim agung yang akan memeriksa perkara PK
4. Penyerahan berkas perkara oleh asisten koordinator (Askor) kepada Panitera Pengaanti yang
menangani perkara PK tersebut
5. Panitera Pengganti mendistribusikan berkas perkara ke Majelis Hakim Agung masing-masing
(pembaca 1, 2 dan pembaca 3) untuk diberi pendapat
6. Majelis HAkim Agung memutus perkara
7. Mahkamah Agung mengirimkan salinan putusan kepada para pihak melalui Pengadilan
Tingkat Pertama yang menerima permohonan PK
Setiap orang yang merasa dirugikan dapat mengajukan Gugatan terhadap pihak yang dianggap
merugikan melalui pengadilan. Bentuk Gugatan dapat diajukan secara lisan atau secara tertulis.
Gugatan itu harus diajukan oleh orang atau badan hukum yang berkepentingan, dan tuntutan hak
di dalam Gugatan harus merupakan tuntutan hak yang ada kepentingan hukumnya yang dapat
dikabulkan apabila kebenarannya dapat dibuktikan dalam sidang pemeriksaan.
Mengenai persyaratan tentang isi daripada Gugatan tidak ada ketentuannya, tetapi kita dapat
melihat dalam Rv Pasal 8 angka 3 yang mengharuskan adanya pokok Gugatan yang meliputi:
Yang dimaksud dengan identitas adalah ciri-ciri dari Penggugat dan Tergugat, yaitu Nama,
pekerjaan, tempat tinggal/domisili.
2. Dalil-dalil konkret tentang adanya peristiwa dan hubungan hukum yang merupakan dasar serta
alasan-alasan dari tuntutan. Dalil-dalil ini lebih dikenal dengan istilah Fundamental Petendi.
Fundamental Petendi adalah dalil-dalil hukum konkret tentang adanya hubungan hukum yang
merupakan dasar dan alasan dari tuntutan.
1. Bagian yang menguraikan tentang kejadian atau peristiwa (feitelijke gronden) dan
2. Bagian yang menguraikan tentang dasar hukumnya (rechtgronden)
Uraian tentang kejadian merupakan penjelasan duduknya perkara, tentang adanya hak atau
hubungan hukum yang menjadi dasar yuridis dari tuntutan. Tentang uraian yuridis tersebut tidak
harus menyebutkan peraturan perundang-undangan yang dijadikan dasar tuntutan, melainkan
hanya hak atau peristiwa yang harus dibuktikan di dalam persidangan nanti sebagai dasar dari
tuntutan yang memberikan gambaran mengenai fakta materiil.
3. Tuntutan atau Petitum, harus jelas dan tegas. HIR dan Rbg sendiri hanya mengatur mengenai
cara mengajukan Gugatan.
Tuntutan atau Petitum adalah segal hal yang dimintakan atau dimohonkan oleh Penggugat agar
diputuskan oleh majelis hakim. Jadi, Petitum itu akan terjawab di dalam amar atau diktum
putusan. Oleh karenanya, Petitum harus dirumuskan secara jelas dan tegas. Apabila Petitum yang
tidak jelas atau tidak sempurna dapat berakibat tidak diterimanya Petitum tersebut.
Demikian pula Gugatan yang berisi pernyataan-pernyataan yang bertentangan satu sama lain
disebut obscuur libel (Gugatan yang tidak jelas/ Gugatan kabur), yang berakibat tidak
diterimanya atau ditolaknya Gugatan tersebut.
1. Petitum Primer atau tuntutan pokok yang langsung berhubungan dengan pokok perkara.
2. Petitum Tambahan, bukan tuntutan pokok tetapi masih ada hubungannya dengan pokok
perkara.
b. Tuntutan “uivoerbaar bij voorraad” yaitu tuntutan agar putusan dapat dilaksanakan lebih dulu
meskipun ada perlawanan, banding atau kasasi. Di dalam praktek, tuntutan uivoerbaar bij
voorraad sering dikabulkan, akan tetapi Mahkamah Agung menginstruksikan agar hakim jangan
secra mudah memberikan putusan uivoerbaar bij voorraad.
c. Tuntutan agar tergugat dihukum untuk membayar bunga (moratoir) berupa sejumlah uang
tertentu.
3. Petitum Subsidiari atau pengganti. Biasanya berisi kata-kata: “apabila Majelis Hakim perkara
pemaknaan ayat tersebut, maka orang yang bertanggung jawab terhadap biaya keluarga
bukan hanya ayah, ibupun harus ikut bertanggung jawab atau secara bersama-sama.
Artinya ketetapan hukum yang dikehendaki ayat tersebut, adalah kewajiban pokok nafkah
keluarga, mula-mula diwajibkan kepada ayah selaku kepala keluarga, apabila ayah tidak
memiliki kemampuan ekonomi dan ibu yang memiliki kemampuan ekonomi, maka ibulah
yang berkewajiban terhadap nafkah tersebut, dan apabila yang memiliki kemampuan
ekonomi itu ternyata kedua-duanya (ayah dan ibu) maka biaya yang dibutuhkan keluarga
itu harus dipikul secara bersama-sama. Pemaknaan ayat Al-Qur’an tersebut dapat
menjawab seluruh persoalan yang berkaitan dengan ketentuan nafkah, pada masa
pemberdayaannya maupun aktifitas usahanya tidak lagi didominasi oleh pihak suami atau
ayah, melainkan juga dikendalikan oleh pihak isteri atau ibu, dalam masyarakat petani
saja, pada masa sekarang sangat jarang ditemukan isteri hanya diam dirumah sedangkan
suaminya berusaha sekuat tenaga mengolah lahan pertaniannya, melainakn suami dan
isteri kedua-duanya berperan aktif mengolah lahan pertanian yang dimilikinya. Kultur
atau budaya masyarakat masa sekarang sangat jauh berbeda dengan kultur dan budaya
masyrakat Arab ketika Al-Qur’an diturunkan, dimana kultur atau budaya masyarakat
pada waktu itu pengendali ekonomi keluarga, baik pemberdayaannya maupun aktifitas
usahanya sangat didominasi suami atau ayah, isteri atau ibu bersifat pasif berdiam di
rumah dan hanya mengkonsumsi hasil usaha suaminya, bila kewajiban nafkah itu juga
dibebankan kepada isteri atau ibu dalam masyarakat seperti ini adalah sangat tidak adil,
karena isteri tidak mempunyai penghasilan apapun, oleh karena itu sangat dimengerti
sesuai kondisi dan situasi yang ada pada waktu itu Rasulullah menetapkan kewajiban
nafkah kepada suami atau ayah, sebagaimana dalam hadis Bukhari-Muslim dan hadis dari
Mu’awiyah Al-Qusairy.
Selain itu alasan-alasan yang dijadikan dasar (illah hukum) suami berkewajiban
memberikan nafkah kepada isterinya menurut ulama terdahulu adalah jaza’a al-ihtibas
yang arti literalnya karena seorang perempuan yang dinikahi tidak lagi memiliki hak alhurriyah
dalam kehidupan sehari-harinya, ia harus diam dirumah, seolah-olah tidak ada
hak bergaul dan beraktivitas di luar rumah, ia hanya bertugas melayani segala kebutuhan
suaminya saja. Seandainya lembaga perkawinan yang menjadi dasarnya sebagai sebuah
alat untuk merampas hak kebebasan hidup seorang perempuan, maka sama saja lembaga
perkawinan ini sebagai suatu lembaga perbudakan yang oleh agama apapun dan peraturan
ummat manusia, tidak mungkin sebagai suatu lembaga yang identik dengan perbudakan
atau jual beli hak kemerdekaan seorang perempuan, melainkan lembaga hukum
terhadap setiap individu manusia, yang selalu berkeinginan hidup berdampingan dengan
pasangan hidupnya, keinginan itu bukan hanya didominasi oleh kaum laki-laki saja,
melainkan bersamaan dengan kaum perempuan. Pembentukan sebuah tatanan berkeluarga
dalam syri’at yang universal melalui ikatan perkawinan tidak mungkin ada tujuan yang
terselip untuk memenjarakan salah satu pihak, karena terwujudnya rumah tangga yang
sakinah, mawaddah dan rahmah, didasarkan kepada saling merelakan diri menjadi
seorang isteri dan seorang suami atas keinginan bersama. Masing-masing pihak bebas
berkreasi dan beraktivitas di luar rumah dalam batas-batas kewajaran dan norma-norma
perkawinan yang disyari’atkan adalah sebagai salah satu wujud kasih sayang Allah