Anda di halaman 1dari 69

PELAKSANAAN SANKSI PIDANA LARANGAN KERUMUNAN DALAM

SITUASI PANDEMIK (COVID 19) DI TINJAU DARI UNDANG-UNDANG

NOMOR 6 TAHUN 2018 TENTANG KEKARANTINAAN KESEHATAN

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum


di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Tangerang

OLEH

ISAM TUANAYA

1774201016

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH

TANGERANG

2021
PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Isam Tuanaya

NPM : 1774201016

Program Studi : Ilmu Hukum

Dengan ini menyatakan bahwa :

1. Skripsi yang berjudul “Pelaksanaan Sanksi Pidana Larangan Kerumunan


Dalam Situasi Pandemik (Covid 19) Di Tinjau Dari Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan” ini adalah
benar karya asli saya sendiri yang diajukan untuk memenuhi persyaratan
memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas
Muhammadiyah Tangerang;
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Hukum Universitas
Muhammadiyah Tangerang;
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil tiruan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi sesuai peraturan yang berlaku di Fakultas Hukum Universitas
Muhammadiyah Tangerang.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Tangerang, 2021

Pembuat Pernyataan

Isam Tuanaya

ii
PERSETUJUAN

Skripsi yang berjudul :

PELAKSANAAN SANKSI PIDANA LARANGAN KERUMUNAN DALAM

SITUASI PANDEMIK (COVID 19) DI TINJAU DARI UNDANG-UNDANG

NOMOR 6 TAHUN 2018 TENTANG KEKARANTINAAN KESEHATAN

Disusun Oleh :

Nama : Isam Tuanaya

NPM : 1774201016

Program Studi : Ilmu Hukum

Dengan ini disetujui untuk dimunaqosahkan.

Tangerang, .............2021

Mengetahui, Menyetujui,

Dr. Ahmad, SH., MH Dr. Ahmad, SH., MH

Ketua Program Studi Dosen Pembimbing

iii
PENGESAHAN

PELAKSANAAN SANKSI PIDANA LARANGAN KERUMUNAN DALAM

SITUASI PANDEMIK (COVID 19) DI TINJAU DARI UNDANG-UNDANG

NOMOR 6 TAHUN 2018 TENTANG KEKARANTINAAN KESEHATAN

Disusun Oleh :

Nama : Isam Tuanaya

NPM : 1774201016

Program Studi : Ilmu Hukum

Usulan penelitian tersebut telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Skripsi


pada tanggal .................. dan dinyatakan memenuhi syarat untuk diterima.

Dewan Penguji Skripsi Tanggal Revisi Tanda Tangan

Abdul Kadir, SH., MH ........................ ......................


Penguji 1
Hj. Dwi Nur Fauziah .......................... .......................
Ahmad, SH., MH
Penguji 2
Tangerang, ........................2021
Mengetahui

Dr. Ahmad, SH.,MH.


Ketua Program Studi

iv
KERANGKA DALIL

“Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih

bermanfaat, sampai dia mencapai (usia) dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan

timbangan dengan adil. Kami tidak membebani seseorang melainkan menurut

kesanggupannya. Apabila kamu berbicara, bicaralah sejujurnya, sekalipun dia

kerabat(mu) dan penuhilah janji Allah. Demikianlah Dia memerintahkan

kepadamu agar kamu ingat.” (QS. Al-An’nam:152)

v
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb

Dengan memanjatkan puja dan puji syukur kehadirat Allah SWT, yang

telah memberikan limpah rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pelaksanaan Sanksi Pidana Larangan

Kerumunan Dalam Situasi Pandemik (Covid 19) di Tinjau Dari UU No 6 Tahun

2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan”.

Adapun maksud dan tujuan dari penulisan skripsi ini adalah untuk

memenuhi persyaratan meraih gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum

Universitas Muhammadiyah Tangerang. Selama penelitian dan penulisan skripsi

ini banyak sekali hambatan yang penulis alami, namun berkat bantuan, dorongan

serta bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis

mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat :

1. Dr. H. Ahmad Amarullah, S.Pd., M.Pd. selaku rektor Universitas

Muhammadiyah Tangerang.

2. Dr. H. Desri Arwen, S.Pd., M.Pd. selaku Wakil Rektor I Universitas

Muhammadiyah Tangerang.

3. Dr. H. M. Bay Mashuri, MM. selaku Wakil Rektor II Universitas

Muhammadiyah Tangerang.

4. Hj. Dwi Nur Fauziah Ahmad, SH., MH. selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Muhammadiyah Tangerang.

5. Dr. Auliya Khasanofa, SH., MH. selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum

Universitas Muhammadiyah Tangerang.

vi
6. Abdul Kadir, SH., MH selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas

Muhammadiyah Tangerang.

7. Dr. Ahmad, SH., MH. selaku Ketua Program Studi Fakultas Hukum

Universitas Muhammadiyah Tangerang dan selaku dosen pembimbing skripsi

yang telah menyempatkan waktu dan pikiran untuk membantu menyelesaikan

tugas akhir ini.

8. Ulil Albab, S.HI., MH. selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum

Universitas Muhammadiyah Tangerang.

9. Seluruh Dosen dan Civitas Akademik Fakultas Hukum Universitas

Muhammadiyah Tangerang.

10. Kepada (Alm) Kakek Husein Marasabessy binti Abd Rozak Marasabessy dan

(Almarhuma) Nenek Karasa Latupono binti Ibrahim Latupono, yang hanya

lulusan minim berpendidikan tapi sangat ingin melihat cucu kebanggaannya

menjadi sarjana. Gelar ini dipersembahkan untuk-Nya, semoga Almarhum

Kakek dan Almarhumah Nenek berbangga hati di Surga sana.

11. Kepada Ibunda Sapia Marasabessy, orang tua ku tercinta yang telah sabar dan

penuh kasih sayang dalam mendidik, serta telah bersusah- payah dalam

banyakan hal dan yang paling utama yaitu membesarkan dan mendoakan

penulis agar menjadi anak yang Bahagia serta taat beribadah.

12. Kepada kawan,teman,sahabat,dan keluarga angkatan 2017 mahasiswa fakultas

hukum yang selalu menjadi penyemangat untuk penulis dapat menyelesaikan

studi.

vii
13. Kepada Kawan-Kawan Organisasi BEM FH (Badan Eksekutif Mahasiswa

Fakultas Hukum) yang telah memberikan semangat dan dukungan untuk

penulis agar menyelesaikan studi.

Tangerang, ......................

Isam Tuanaya

viii
DAFTAR ISI

PERNYATAAN ii

PERSETUJUAN iii

PENGESAHAN iv

KERANGKA DALIL v

KATA PENGANTAR vi

DAFTAR ISI ix

ABSTRAK xii

BAB I PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang Masalah 1

B. Identifikasi Masalah 11

C. Rumusan Masalah 11

D. Tujuan Penelitian 12

E. Manfaat Penelitian 12

F. Kerangka Konseptual 13

G. Kerangka Teori 14

H. Metode Penelitian 16

I. Sistematika Penulisan 19

ix
BAB II TINJAUAN PUSTAKA PELAKSANAAN SANKSI PIDANA

LARANGAN KERUMUNAN DALAM SITUASI PANDEMIK (COVID-19)

DI TINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2018

TENTANG KEKARANTINAAN KESEHATAN 22

A. Penegakan Hukum 22

B. Pengertian Tindak Pidana 25

C. Pengertian Penerapan Sanksi 29

BAB III PELAKSANAAN SANKSI PIDANA LARANGAN KEREMUNAN

DALAM SITUASI PANDEMIK (COVID-19) DI TINJAU DARI UNDANG-

UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2018 TENTANG KEKARANTINAAN

KESEHATAN 33

A. Pelaksanaan Sanksi Pidana 33

B. Larangan Kerumunan 36

C. Pandemik (Covid-19) 37

BAB IV PELAKSANAAN SANKSI PIDANA LARANGAN

KEREMUNAN DALAM SITUASI PANDEMIK (COVID-19) DI

TINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2018

TENTANG KEKARANTINAAN KESEHATAN 44

A. Pelaksanaan Sanksi Pidana Dalam UU No 6 Tahun 2018 Tentang

Kekarantinaan Kesehatan 44

B. Kendala-Kendala Dalam Pelaksanaan Sanksi Pidana Situasi Pandemik

Covid 19 53

x
BAB V PENUTUP 57

A. Kesimpulan 57

B. Saran 58

DAFTAR PUSTAKA

xi
ABSTRAK

Skripsi yang berjudul “Pelaksanaan Sanksi Pidana Larangan Kerumunan Dalam


Situasi Pandemik (Covid 19) Di Tinjau Dari Undang-Undang No.6 Tahun 2018
Tentang Kekarantinaan Kesehatan” dengan rumusan masalah 1. Bagaimana
pelaksanaan sanksi pidana larangan kerumunan dalam masa pandemik Covid-19
ditinjau dari Undang-Undang No.6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan
Kesehatan? 2. Bagaimana hambatan-hambatan dalam pelaksanaan sanksi terhadap
pelanggaran kerumunan di masa pandemik Covid-19 ? Permasalahan yang akan
di bahas dalam penelitian ini yaitu: Banyaknya kasus-kasus larangan kerumunan
dalam bidang hukum pidana ini, kita ambil spesifik dari salah satu kasus yang
terkemuka dikalangan masyarakat yaitu sanksi pidana habib riziq sihab tidak
adanya perlindungan yang signifikan pada habib riziq sihab. Penulis melakukan
penelitian dengan mekanisme menggunakan metode penelitian normatif empiris
melalui studi kepustakaan serta perundang-undangan dan penelitian lapangan.
Maka dapat disimpulkan: Hasil penelitian membuktikan bahwa dari sisi hukum
pidana para aparat penegak hukum tidak mampu berlaku adil pada suatu kasus
pelanggaran yang sudah di perbuat. Maka diharapkan perlu dijaganya suatu
bentuk keadilan kepada para peranggar kerumunan, dengan diadakannya syarat-
syarat tertentu dan diperlukan pengawasan sebaik-baiknya terhadap peraturan
yang sudah ada untuk menjadikan lebih baik untuk kedepannya bagi masyarakat
umum.

Kata Kunci : Pelaksanaan Sanksi, Tindakan Hukum, Kepastian Hukum.

xii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sebagaimana telah kita ketahui bahwa Negara Indonesia adalah negara

yang berdasarkan atas hukum ditegaskan dalam pasal 1 ayat 3 Undang-

Undang Dasar 1945 (UUD) Negara Indonesia adalah negara hukum, sebagai

konsekuensi peraturan tersebut, maka seluruh tata kehidupan masyarakat

berbangsa dan bernegara di Indonesia harus berpedoman pada norma-norma

hukum. Salah satu perwujudan dari norma hukum tersebut adalah Kitab

Undang Hukum Pidana (KUHP) yang ditetapkan dengan hukum Acara Pidana

(KUHAP). Pelaksanaan dan norma-norma hukum saat ini dihadapkan pada

perkembangan zaman, maka akan berpengaruh dan mengalami perubahan.

Wabah corona virus disease 2019 (COVID-19) atau SARS-CoV- 2,

yang dikenal dengan virus corrona telah menjadi topik hangat pada awal tahun

2020, virus corona ini diketahui sejak akhir desember 2019 di Kota Wuhan,

Provinsi Hubey, Negara Cina. Virus corona menyerang saluran pernafasan

manusia dan sangat cepat menularkan kepadamanusia yang lainya. 1

1
Nareza, 2020 http//e-journal.uajy.ac.id, akses pada tanggal 15 Juni 2021.

1
2

Sebagai antisipasi pencegahan penularan virus, masyarakat

dirokomendasikan menerapkan beberapa hal berikut :

1. Mencuci tangan menggunakan sabun serta air setidaknya selama 20 detik

setiap kali beraktivitas;

2. Menggunakan masker setiap beraktivitas di luar ruangan atau di tempat

umum, penggunaan masker kesehatan lebih di prioritaskan bagi orang

yang sedang sakit;

3. Memperbanyak minum air puih,walaupun tidak sedang haus tetapi tetap

harus minum air dan usahakan tenggorokan tidak sampai kering;

4. Beristirahat dengan cukup, kurangin begadang apabila tidak terlalu

penting;

5. Tidak menyentuh hidung, mata, dan mulut dengan tangan yang kotor,

cucilah tangan terlebih dahulu bila terpaksa harus menyentuh area tersebut;

6. Menghindari kontak dengan orang yang sedang batuk dan demam, jagalah

jarak berdiri dengan orang lain.

Virus corona ini sangat berbahaya dan telah menyebar ke seluruh

dunia yang membuat Word Health Organization (WHO) menetapkan status

penularan virus corona ini sebagai pandemi. Pemerintah Indonesia

mengeluarkan kebijakan social distancing, work from home, study from home

atau yang lebih dikenal masyarakat sebagai “aktivitas dirumah saja”.

Pemberlakuan tersebut tidak selalu efektif dan relevan terlebih bagi bidang-

bidang tertentu seperti rumah sakit, pabrik, apotek, pasar, layanan ojek daring

maupun restoran. Masyarakat yang bekerja pada bidang tersebut maish harus

melakukan pekerjaan kerja yang memungkinkan mereka rawan tertular dan


3

mengeluarkan virus corona ini.

Untuk masyarakat yang terpaksa harus bekerja tetap harus mengikuti

standar pencegahan penularan virus corrona, sedangkan masyarakat yang lebih

beruntung bisa bekerja maupun sekolah dari rumah di haruskan untuk tetap

tinggal di rumah, keluar rumah untuk keperluan yang sifatnya sangat

mendesak seperti membeli kebutuhan pokok secukupnya untuk anggota

keluarganya dan itupun tetap harus mengikuti prosedur pencegahan penularan

virus corona. Namun pada kenyataan masyarakat masih sulit untuk memahami

bahaya virus corona dan menyelepelakan dengan menganggap hidup dan mati

berada di tangan Tuhan tanpa memikirkan resiko apabila virus corona

menginfeksi anggota keluarganya. Adanya presepsi tersebut akhirnya

membuat banyak masyarakat masih pergi ke pusat pembelanjaan atau pusat-

pusat keramaian lain mengadakan acara keagamaan, mengadakan acara

perkawinan, dan berbagai aktivitas lain yang sebenarnya masih bisa di tunda.

Hal tersebut menunjukan kebijakan pemerintah terkait social

distancing tidak di implementasiakan secara baik dan serius oleh kalangan

masyarakat tertentu dan membuat resah masyarakat lainya. Maka dari itu,

pihak Kepolisian Republik Indonesia mengeluarkan surat maklumat kepada

Kepala Kepolisian Republik Indonesia nomor: MAK/2/III/2020 tanggal 19

Maret 2020 yang di tanda tangani oleh Kapolri Jendral Polisi Drs, Idham Aziz,

M,.SI Tentang Kepatuahan Terhadap Kebijakan Pemerintah Dalam

Penanganan Penyebaran Virus Corona (Covid-19).

Bahwa mempertimbangkan situasi terkait dengan cepatnya penyebaran

Covid-19, maka pemerintah telah mengeluarkan kebijakan dalam rangka


4

penanganan secara baik, cepat, dan tepat agar penyebaranya tidak meluas dan

berkembang menjadi gangguan terhadap keamanan dan ketertiban masyarakat.

Setiap masyarakat yang tidak mengikuti kebjakan pemerintah akan di

berlakukan sanksi pidana sebagaimana di tentukan pasal 212, pasal 216, dan

pasal 218 Kitab Undang Undang Hukum Pidana (selanjutnya di sebut KUHP).

Devinisi pidana adalah menunjukan sanksi dalam hukum pidana

(Atmasamita,1982”).

Perihal sanksi pidana terhadap masyrakat menimbulkan pertanyaan

mengenai aturan hukum di Indonesia apakah lemah sehingga masyarakat sulit

untuk mengikuti kebijakan pemerintah di saat pandemik covid-19 bahkan

presiden pun berulang ulang kali menyampaikan kebijakan tersebut melalui

media elektronik, serta sudah selaraskan kebijakan yang di keluarkan oleh

pemerintah tersebut bila di lihat dari undang undang mengenai bencana

Indonesia. Pemerintah pusat, pemerintah daerah dan seluruh warga

negara/seluruh elemen masyarakat Indonesia harus saling bahu membahu

untuk mengurangi penyebaran virus corrona sehingga korban bencana tidak

meningkat, pemerintah Indonesia telah mengupayakan larangan untuk

berkerumun, pembatasan sosial (sosial distancing) dan menjaga jarak fisik

(physical distancing), memakai masker dan selalu mencuci tangan. Inilah

menjadi salah satu tantangan dalam menghadapi kehidupan baru, adapun

seluruh perguruan tinggi bahkan sampai dengan dunia industri di Indonesia

diminta untuk dapat beraktifitas sehari hari dengan secara online untuk

sementara waktu hingga benar benar pemerintah memutuskan bahwa covid 19

ini telah usai dan baru benar- benar aktivitas akan kembali normal seperti
5

biasanya.

Sesuai dengan Pandemi Covid-19 yang saat ini sedang mewabah

membuat seluruh dunia harus tetap berjuang bersama untuk bertahan dan

menyelamatkan diri. Penyebaran virus Covid-19 telah menimbulkan dampak

terhadap kehidupan sosial, ekonomi, budaya hingga menyebabkan kematian

perorangan. Seluruh dunia sedang bertahan dan berusaha lepas dari situasi ini.

Dalam rangka upaya mencegah dan menghentikan penularan dan penyebaran

virus ini. Negara-negara dunia berusaha menemukan berbagai cara yang tepat

untuk menangani wabah Covid 19.

Adapun Indonesia mengambil langkah dengan cara menerapkan

Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) 2. Hingga Hari ini (15/02) Jumlah

kasus aktif di Indonesia berjumlah 55.000. Pasien positif baru hari ini

bertambah sebanyak 3.507 kasus dengan komulatif mencapai 225.030 kasus

dengan kasus meninggal sebanyak 124 kasus dan total mencapai 8.965

kasus. Positivity rate hari ini berada dalam angka 14,1%. Pembatasan Sosial

Berskala Besar yang saat ini sedang diberlakukan di beberapa kota besar di

Indonesia, salah satu langkah Pemerintah untuk menanggulangi serta

mencegah penyebaran virus Covid-19 di Indonesia. PSBB sendiri

dilaksanakan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 pada

31 Maret 2020 yang lalu. Menteri Kesehatan Indonesia Terawan Agus

Putranto mengambil langkah dengan menerbitkan Peraturan Menteri

Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 untuk mengatur dan merincikan PP Nomor

21 Tahun 2020 pada 3 April 2020. Berdasarkan pasal 2 Peraturan Menteri

2
http://law.unja.ac.id/sanksi pidana penjara terhadap pelanggar psbb, di akses pada
tanggal 15 Juni 2021.
6

Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020, PSBB diberlakukan terhadap suatu wilayah.

Provinsi/kabupaten/kota yang telah memenuhi dua kriteria. Kriteria

pertama, penerapan PSBB dilakukan terhadap wilayah yang memiliki tingkat

kasus kematian akibat Covid-19 yang tinggi serta penyebaran di beberapa

wilayah secara signifikan. Untuk kriteria kedua terhadap wilayah dengan

penerapan PSBB adalah terhadap wilayah yang didalamnya terdapat penyakit

sejenis epidemiologis yang serupa dengan negara lain. Berdasarkan dua

kriteria ini Menteri Kesehatan akan menentukan apakah PSBB akan

diterapkan pada wilayah itu atau tidak. Selama Penerapan PSBB diberlakukan,

beberapa hal yang dibatasi salah satunya adalah aktivitas pada lingkungan

pendidikan dan tempat kerja. Dalam hal ini, pembatasan yang dilakukan

adalah menghentikan aktivitas yang biasa dilakukan pada lingkungan sekolah

dan lingkungan kerja seperti kegiatan belajar mengajar serta kegiatan sekolah

yang biasa dilakukan sehari-hari. Untuk aktivitas pada lingkungan kerja seperti

biasa dihentikan dengan alternative pilihan work from home atau bekerja dari

rumah. Work from home diberlakukan oleh tiap-tiap instansi kantor terhadap

pegawai-pegawai mereka dengan himbauan melaksanakan pekerjaan dari

rumah tanpa harus menginjakkan kaki kekantor.

Pembatasan oleh kebijakan PSBB selanjutnya terhadap kegiatan

keagamaan. Berdasarkan protokol PSBB himbauan sementara bagi

masyarakat untuk tidak melakukan aktivitas keagamaan yang memungkinkan

untuk berkontak dengan orang dalam jumlah banyak. Kegiataan keagamaan

berpedoman pada peraturan perundang-undangan serta fatwa atau lembaga

keagamaan resmi yang telah diakui pemerintah. Langkah pembatasan kegiatan


7

keagamaan ini tidak diberlakukan diseluruh wilayah di Indonesia.

Pemerintah telah menerbitkan Surat Edaran Nomor 15 tentang

Panduan Pelaksanaan Kegiatan Keagamaan dalam Mewujudkan Masyarakat

Produktif dan Aman Covid di Masa Pandemi Tahun 2020 melalui Kementerian

Agama memberikan kelonggaran wilayah terhadap zona kuning yang relative

aman untuk menggelar aktivitas keagamaan secara kolektif dengan

mengumpulkan jemaah tetapi tetap berdasarkan protocol kesehatan dan

beberapa ketentuan yang telah ditetapkan.

Hal yang dibatasi selanjutnya adalah kegiatan yang dilaksanakan pada

tempat atau fasilitas umum dengan membatasi jumlah orang atau dengan

menerapkan aturan jarak antar orang atau yang biasa disebut Physical

Distancing. Namun pembatasan terhadap tempat umum ini tidak diterapkan

pada pusat perbelanjaan bahan pangan, pakaian sertaobat-obatan dan peralatan

medis serta terhadap tempat penyedia bahan bakar minyak gas dan energi.

Pembatasan juga tidak diterapkan pada tempat atau fasilitas pelayanan

kesehatan dan pemenuhan kebutuhan dasar termasuk didalamnya tempat atau

kawasan untuk kegiatan olahraga. Selanjutnya, pembatasan diterapkan

terhadap kegiatan sosial budaya yang biasa dilakukan oleh kumpulan orang-

orang yang berpedoman terhadap pandangan lembaga adat resmi yang oleh

pemerintah serta peraturan perundang-undangan telah diakui.

Untuk pelayanan transportasi umum masih dapat dilaksanakan seperti

biasa. namun dilakukan pembatasan terhadap jumlah penumpang yang

menaiki transportasi umum serta untuk menjaga jarak antar penumpang yang

berada didalamnya. Pengecualian pembatasan dilakukan terkait kegiatan pada


8

aspek pertahanan dan keamanan dalam rangka penegakan kedaulatan negara

serta menjaga mempertahankan keutuhan wilayah NKRI dengan tetap

bepegang pada protokol dan peraturan perundang-undangan. Dengan

perkembangan dan peningkatan jumlah kasus infeksi Covid-19 di Indonesia,

kebijakan PSBB diberlakukan pemerintah tentu dibuat dengan alasan yang

jelas. Dampak positif diterapkannya PSBB salah satunya menekan penyebaran

virus Covid-19 tentunya tetap dengan komitmen masyarakat untuk mentaati

kebijakan yang telah ada dan mulai menerapkan protokol kesehatan terhadap

diri sendiri.

Terkait dengan pemberlakuan PSBB sebagai langkah pencegahan

penyebaran virus Covid-19, tentu tidak lepas dari keterlibatan masyarakat di

dalamnya. Ada banyak pro dan Kontra terhadap kebijakan pemerintah dalam

menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Sebagian kelompok

masyarakat masih ada saja yang tidak mematuhi aturan kebijakan pemerintah.

Masyarakat tetap saja melakukan aksi kumpul bersama di tempat-tempat

tongkrongan sambil menyantap makanan dan minuman untuk bersenda gurau

bersama teman-temannya. Padahal pemerintah telah melarang aksi ini dengan

keras karena dapat meningkatkan resiko penyebaran virus.

Covid-19 dengan cepat. Sekelompok anak muda masih saja melakukan

kegiatan sehari-harinya di luar rumah tanpa ada rasa was- was. Pemerintah

telah menrencanakan sanksi pidana bagi mereka yang melanggar kebijakan

PSBB ini. DKI Jakarta sebagai daerah pertama yang menerapkan PSBB pada

10 April 2020 melalui Peraturan Gubernur Nomor 23 Tahun 2020 yang akan

dilaksanakan hingga tanggal 23 April 2020. Dasar hokum terhadap sanksi


9

yang dijatuhkan kepada pelanggar adalah pasal 93 jo pasal 9 Undang-

UndangNomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Ketentuan

pasal 93 yang mengatur bahwa orang yang tidak mematuhi dan atau

menghalang-halangi penyelenggaraan kesehatan hingga menyebabkan

kedaruratan kesehatan masyarakat dapat dijatuhi sanksi pidana selama 1 tahun

dan/atau sanksi denda paling banyak seratus juta.

Berdasarkan pasal 17 bagian Kesembilan dalam Peraturan Gubernur

nomor 41 Tahun 2020 tentang pemberian sanksi bagi pelanggar aturan PSBB

mengatur bahwa pengenaan sanksi pidana terhadap pelanggaran pelaksanaan

PSBB dilakukan oleh Kepolisian sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan. Dalam hal ini, berdasarkan keterangan dari Kabid

Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus memaparkan cara pemberian

sanksi pidana kepada pelanggar, pertama penindakan petugas dari pemprov

DKI yang merujuk pada Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Nomor 41

Tahun 2020 tentang pemberian sanksi bagi pelanggar aturan PSBB. 3Lalu jika

pelanggar tidak kooperatif, maka polisi akan turun tangan dengan memberikan

sanksi pidana, pelanggar akan dijerat Pasal 93 Undang-undang Nomor 6

Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan atau Pasal 212 atau Pasal 214

KUHP terkait melawan tugas. Tambahan jika pelanggar melawan petugas

dengan tidak mengindahkan apa yang disampaikan petugas, melawan dengan

kasarmaka akan dikenakan undang-undang nomor 6 tahun 2018. 4

Indonesia ini, banyak sekali kasus yang telah melanggar dari ketentuan

prokes yang telah di tetapkan, contoh kasusnya adalah:


3
https://jurnal hukum sanksi pidana penjara terhadap pelanggaran psbb, di akses pada
tanggal 15 Juni 2021.
4
Mujiyanto, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, hlm. 209.
10

1. Kasus demonstrasi yang dilakukan oleh berbagai elemen mahasiswa,

ormas, dan bahkan sampai masyarakat pada umumnya, demonstrasi ini

dilakukan secara serentak untuk menolak adanya pengesahan UU omnibus

law yang telah di sahkan oleh DPRRI, sehingga pada perjalananya terlihat

jelas banyak massa yang berkerumun dalam aksi tersebut, yang akhirnya

peningkatan penularan covid-19 makin tinggi di indonesia pada umumnya

dan pada khususnya di daera DKI jakarta. Padahal dengan terbitnya

permen kesehatan no 9 tahun 2020 tentang pembatasan sosial berskala

besar (PSBB) dan maklumat KAPOLRI No MAK/2/III/2020 untuk

mengatur segala tindakan masyarakat untuk tidak berkerumun selama

situasi pandemi Covid-19 belum selesai.

2. Kasus pernikahan anak Habib Riziq Sihab yang di lakukan pada sabtu tgl

14-November 2020 sekaligus untuk memperingati Maulid Nabi

Muhammad S.A.W sehingga mengudang banyak massa yang berdatangan

dari daerah jabodetabek hingga dari luar daera jabodetabek dan bahkan

sampai wakil gubernur DKI jakarta (Ahmad Riza Patria) turut hadir dalam

acara tersebut, dalam kondisi acara itu terjadi kenanikan kerumunan massa

yang sangat signifikan hingga tidak bisa teratasi dengan prokes yang telah

di tentukan.

Oleh sebab itu PSBB ini merupakan objek yang dimaksudkan dalam

pasal 93, dikarenakan PSBB sebagai bentuk dari karantina kesehatan.

Penerapan sanksi pidana ini bertujuan untuk memberikan efek jera kepada

pelanggar kebijakan PSBB tersebut. Memang pengenaan sanksi pidana

terhadap pelanggar PSBB ini dirasa kurang tepat, tetapi mengingat masih
11

banyak masyarakat yang kurang mengindahkan kebijakan ini tidak pernah

merasa jera jika hanya diberikan sanksi seperti misalnya kerja sosial. Sebagai

contoh yang sudah terjadi sebelumnya, sejumlah pelanggar larangan mudik

yang hanya diminta pulang kembali oleh aparat yang bertugas sehingga tidak

menimbulkan efek jera. Seharusnya perlu penambahan instrumen hukum

dalam PSBB agar peran polisi bisa lebih maksimal. Salah satunya dengan

menggunakan unsur pidana, dengan begitu masyarakat meyakini kepolisian

akan lebih leluasa dalam menindak pelanggaran PSBB seperti dengan

memberi hukuman kurungan.

B. Identifikasi Masalah

Dalam mengidentifikasi masalah, penulis mengumpulkan dan

mengklarifikasi beberapa persoalan yang akan dikaji dalam penulisan, yaitu:

1. Kasus pelanggaran dilarang berkerumunan yang akhir-akhir ini marak

terjadi dalam situasi Covid-19;

2. Peran pemerintah dalam menertibkan pelanggaran kerumunan dalam

situasi Covid-19;

3. Pelaksanaan sanksi pidana larangan kerumunan;

4. Hambatan dalam pelaksanaan sanksi terhadap pelanggar kerumunan.

C. Rumusan Masalah

Dalam identifikasi masalah di atas, penulis membatasi masalah

yang akan di bahas dalam penelitian ini, yaitu:

1. Bagaimana pelaksanaan sanksi pidana larangan kerumunan dalam masa

pandemik Covid-19 ditinjau dari UU No. 6 Tahun 2018 Tentang


12

Kekarantinaan Kesehatan?

2. Bagaimana hambatan-hambatan dalam pelaksanaan sanksi terhadap

pelanggaran kerumunan di masa pandemik Covid-19?

D. Tujuan Penelitian

Penulis mengangkat judul “Pelaksanaan Sanksi Pidana Larangan

Kerumunan Dalam Situasi Masa Pandemik (Covid-19) di Tinjau Dari UU

No.6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan” maka dari itu tujuan

penelitian skripsi ini adalah:

1. Untuk mengetahui pelaksanaan sanksi pidana dilarang berkerumun dalam

masa pandemik Covid-19.

2. Untuk mengetahui hambatan-hambatan dalam pelaksanaan sanksi pidana

selama masa pandemik Covid-19.

E. Manfaat Penelitian

Berdasarkan dari penelitian diatas, penulis mengharapkan manfaat dan

kegunaan yang akan di peroleh sebagai berikut:

1. Manfaat Akademis

Secara akademis, penulis sangat berharap terhadap karya tulis ilmia h yang

saya buat ini agar dapat memberikan manfaat pemikiran dalam masyarakat

luas teruntuk dengan perkembangan hukum bagipenegak hukum yang tidak

menjalankan dengan semestinya, khususnya dalam penanganan

berkurumun.
13

2. Secara Praktis

Secara praktis, setidaknya agar menambah wawasan bagi penyusun dan

sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah dan apparat penegak hukum

selaku yang mempunyai kewenagan dalam bertindak dalam menangani

masalah dalam situasi Covid-19, khususnya untuk kedepan masyarakat

dapat mengerti.

F. Kerangka Konseptual

Kerangka konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan

antara konsep konsep khusus yang akan di teliti. Konsep yang di maksud

merupakan kumpulan dan hubungan dari unsur teori, peraturan perundang

undangan dan permasalahan yang akan diteliti. Dengan demikian mempunyai

sifat yang lebih kongkrit dari pada teori. Namun demikian masih diperlakukan

penjabaran lebih lanjut dari kosep ini, yaitu dengan memberikan devinisi

operasionalnya. Untuk lebih memahami dan lebih mengarahkan materi dari

penilitian skripsi dan lebih mempersempit cakupan makna elemen pemecahan

masalah ini, penulis akan menyampaikan kerangka konseptual dari proposal

ini dalam bentuk definisi sebagai berikut:

1. Sanksi Pidana

Sanksi pidana adalah ancaman hukuman yang bersifat penderitaan dan

siksaan. Sanksi pidana pada dasarnya adalah suatu penjamin untuk

merehabilitasi perilaku dari pelaku kejahatan tersebut, namun tidak jarang


14

bahwa sangsi pidana di ciptakan sebagai suatu ancaman dari kebebasan

manusia itu sendiri. 5

2. Larangan Kerumunan

Larangan kerumunan adalah suatu tindakan yang penting yang dilakukan

untuk menghentikan atau setidaknya memperlambat kecepatan penyebaran

virus (covid-19),dengan melakukanya, orang yang terinfeksi virus,baik

yang menunjukan gejala sakit maupun yang tampak sehat tdak menularkan

virus keorang-orang. 6

3. Pandemik Covid-19

Pandemik covid-19 adalah penyakit virus corona yang baru- baru ini

ditemukan.di Negara China tepatnya di Kota Wuhan pada tahun 2019 lalu

dan menjadi yang pertama, sabagian besar orang- orang yang tertular

COVID-19 akan mengalami gejala ringan hingga sedang, dan akan pulih

hanya dengan penangan yang secara khusus. 7

G. Kerangka Teori

Kerangka teori adalah konsep konsep yang merupakan abstraksi dari

hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk

mengadakan identifikasi dimensi-dimensi yang pada dasarnya bertujuan untuk

mengadakan identifikasi dimensi-dimensi sosial yang di anggap relevan oleh

penulis. Dalam melakukan penilitian penullis menggunakan teori yang

nantinya memilih korelasi dengan rumusan masalah dan kerangka koseptual

sehingga dalam memecahkan masalah yang ada.

5
http://e-journal.uajy.ac.id di akses pada tanggal 27 Juni 2021.
6
http://www.kompas.id di akses pada tanggal 27 Juni 2021.
7
http://www/prudential.co.id diakses pada tanggal 27 Juni 2021.
15

Kerangka teori dalam ilmu hukum merupakan kerangka pemikiran

atau butir-butir pendapat dari parah ahli mengenai sesuatu kasus atau

permasalahan (problem), yang menjadi bahan perbandingan, pangan teoritis

yang munkin di setujui atau tidak disetujui, kerangka teori merupakan

penentuan tujuan dan arah penilitianya dan dalam memilih kosep-konsep yang

tepat guna pembentukan pendapat awal, maka teori itu bukanlah pengetahuan

yang sudah pasti, tetapi harus di anggap sebagai petunjuk analisis dan hasil

penelitian yang di lakukan. Teori yang di gunakan penulis adalah teori

kepastian hukum bahwa dengan adanya hukum setiap orang megetahui mana

yang seberapa hak dan kewajibannya.

Teori kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian yaitu pertama

adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan

apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa keamanan

hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya

aturan hukum yang bersivat umum itu individu dapat mengetahui apasaja yang

boleh di bebankan atau dilakukan oleh negar terhadap individ. Kepastian

hukum bukan hanya berupa pasal pasal dalam undang undang melainkan juga

ada konsistensi dalam putusan hakim yang satu dengan putusan hakim yang

lainya untuk kasus yang serupa yang telah di putuskan. 8

Teori kepastian hukum menegaskan bahwa tugas hukum itu menjamin

kepastian hukum dalam hubungan-hubungan pergaulan masyarakat. Terjadi

kepastian yang telah di capai “oleh karena hukum” dalam tugas itu tersimpul

8
Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya), 1999, hlm.
23.
16

kepastian dalam hukum dua tugas lain yakni hukum harus menjamin keadilan

maupun hukum harus tetap berguna. Ada 2 (dua) macam pengertian

“kepastian hukum” yaitu kepastian oleh karena hukum dan kepastian dari

dalam atau dari luar hukum. Kepastian dalam hukum tercapai kalau hukum itu

sebanyak banyaknya hukum undang-undang dan bahwa dalam undang-undang

itu tidak ada ketentuan-ketentuan yang bertentangan, undang-undang itu di

buat berdasrkan “rechtswerkelijkheid” (kenyataan hukum) dan dalam undang-

undang tersebut tidak dapat istila-istila yang dapat tafsirkan berlain-lainan.

H. Metode Penelitian

Metode penilitian ini yang di lakukan dalam skripsi untuk menunjang

kerangka teori yang disebutkan di atas agar sesuai dengan pembahasan terkait

pelaksanaan sanksi pidana dalam situasi Covid 19.

1. Jenis Penelitian

Penilitian di skripsi akan menggunakan metode penilitian yang berifat

normatif dan empiris agar mudah di pahami oleh pembaca secara singkat,

jelas dan padat sehingga tidak hanya di tujukan kepada kaum akademisi

yang ingin mendalami hukum terkait dengan sanksi pidana dalam situasi

covid 19, namun juga bisa di tujukan kepada kalayak umum.

2. Sumber Data

Penilitian ini memiliki sumber data sekunder yang akan di jadikan bahan

sebagai referensi yang akan menunjang pembahasan tema, dari tema yang

di teliti di skripsi dan sumber data dari penilitian ini terdiri dari :
17

a. Data Primer

Data Primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari

narasumber terkait, data ini diperoleh secara langsung melalui

wawancara dan data bukti dari permasalahan yang diajukan sebagai

skripsi, yang dihadirkan penulis guna memperoleh data primer

tersebut.

b. Data Sekunder

Data sekunder dari penilitian ini akan di ambil dari data yang terdapat

di seluruh jenis jenis data sekunder seperti:

1) Bahan Hukum Primer

Merupakan bahan hukum yang utama, sebagai bahan hukum yang

bersifat autoritatif, bahn hukum primier meliputi peraturan

perundang-undangan dan segala dokumen resmi yang memuat

ketentuan hukum, yaitu:

(1) UU No 6 Tahun 2020 Tentang Kekarantinaan Kesehatan;

(2) Maklumat Kapolri;

(3) Peraturan Mentri Kesehatan;

2) Bahan Hukum Sekunder

Yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum

primer, sebagai contoh rancangan undang-undang, hasil penelitian

dan hasil karya dari kalangan hukum (jurnal, skripsi dan tesis).
18

3) Bahan Hukum Tersier

Yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan

terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus,

internet, dan indeks kumulatif.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang akan dilakukan dalam menuliskan

penelitian ini menggunakan dokumentasi. Dokumentasi yaitu berfokus

kepada pembuktian lisan, gambar, aerkeologis.

4. Teknik Pengolahan Data

Teknik pengolahan data yang akan di olah dalam penelitian ini dilakukan

melalui proses yang sistematis, seperti:

a. Reduksi Data

Memilah-milah data penting yang berkaitan dengan penelitian terkait

untuk memasukan mana yang penting dan mana yang tidak penting

agar mudah dipahami oleh pembaca.

b. Editing Data

Meneliti data-data yang didapat dari sumber penelitian terkait agar

data tersebut terevaluasi dengan penelitian terkait.

c. Penyajian Data

Data disajikan melalui text narative, matrix, dan jaringan. Dengan

maksud tujuan agar isi dari penelitian ini mudah di pahami oleh

pembaca.
19

5. Teknik Analisis Data

Proses ini menggunakan metode teknik analisa kualitatif yang bersifat

naratif agar mudah dipahami oleh pembaca.

I. Sistematika Penulisan

Sistematika penilitian yang dilakukan di penilitian skripsi ini

menggunakan metode yang terstruktur dan juga sestematis agar mudah di

pahami, dibaca, dan juga dilihat serta menyangkut tema yang bersangkutan.

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini membahas tentang : latar belakang masalah, identifikasi masalah,

rumusan masalah, manfaat penilitian, tujuan penilitian, kerangka konseptual,

kerangka teori, metode penilitian, sistematika penulisan, dan teknik analisa

data.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisi tentang pelaksanaan sanksi pidana larangan kerumunan dalam

situasi pandemik Covid-19 di tinjau dari Undang-Undang No.6 tahun 2018

tentang kekarantinaan kesehatan

BAB III HASIL PENELITIAN

Hasil penelitian tentang pelaksanaan sanksi pidana larangan keremunan dalam

situasi pandemik (covid-19) di tinjau dari Undang-Undang No.6 tahun 2018

tentang kekarantinaan kesehatan


20

BAB IV ANALISIS HASIL PENELITIAN

Bab ini terdiri dari pelaksanaan sanksi pidana larangan keremunan dalam

situasi pandemik (covid-19) di tinjau dari Undang-Undang nomor 6 tahun

2018 tentang kekarantinaan kesehatan

BAB V PENUTUP

Bab ini terdiri dari kesimpulan dan saran.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

PELAKSANAAN SANKSI PIDANA LARANGAN KERUMUNAN DALAM

SITUASI PANDEMIK COVID-19 DI TINJAU DARI UU NO 6 TAHUN 2018

TENTANG KEKARANTINAAN KESEHATAN

A. Penegakan Hukum

Hukum sebagai satu aturan yang diderivasi (diturunkan) dari norma-

norma yang berkembang di masyarakat, pada dasarnya merupakan

seperangkat kesepakatan-kesepakatan yang telah di negoisasikan antara

anggota komunitas, sebagaimana kehadiranya, hukum dimaksudkan untuk

mengatur hubungan manusia. Karena itu sifat hukum tidak konstan, tidak

tetap, dan tidak given. Aturan hukum tertentu bisa jadi cocok dengan

masyarakat tertentu, tetapi tidak relevan dengan masyrakat lainya. Artinya

hukum bukanlah sesuatu yang bebas ruang dan waktu. Karena itu relativitas

menjadi sesuatu keniscayaan dalam memandang dan memaknai hukum.

Begitupun dalam islam, hukum bukanlah sesuatu yang pasti. Yang

tetap dari islam adalah nilai-nilai fundamental ajaran islam. Tetapi nilai-nilai

itu di kontruksikan ke dalam hukum (yang positif diberlakukan dalam

masyarakat) maka ia tidak lagi berkarakter tetap. Ia menjadi sesuatu yang

sangat negoteible.

22
23

1. Menurut Prof.Mr.E.M. Meyes, hukum ialah semua aturan yang

mengandung pertimbangan kesusilaan, ditunjukan kepada tingka laku

manusia dalam masyarakat yang menjadi pedoman bagi penguasa-

penguasa negara dalam melakukan tugasnya;

2. Menurut Utrecht, hukum ialah himpunan peraturan-peraturan (perintah-

perintah dan laranganlarangan) yang mengurus tata tertib suatu masyarakat

dan oleh karena itu harus di taati oleh masyarakat itu;

3. Menurut J.C.T. Simorangkir, hukum ialah peraturan-peraturan yang

bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam

lingkungan masyarakat yang di buat oleh badan-badan resmi yang

berwajib. Pelanggaran terhadap peraturan tadi berakibat diambilnya

tindakan dengan hukuman tertentu;

Penegakan Hukum Pidana, Penegakan hukum adalah suatu aturan

yang wajib untuk dilaksanakan dalam kehidupan bermasyarakat. Adapun

beberapa pakar hukum yang telah menyatakanya memalui beberapa teorinya

antara lain:

1. Menurut prof. Sudarto, S.H.

Penegakan hukum bidangnya luas sekali, tidak hanya bersangkut paut

dengan tindakan-tindakan apabila sudah ada atau ada persangkaan telah

terjadi kejahatan, akan tetapi juga menjaga kemunkinan akan terjadi

kejahatan. Yang terakhir ini adalah masalah prevensi dari kejahatan. Kalau

prevensi diartikan secara luas maka banyak badan atau fihak yang terlibat

didalamnya, ialah pembentukan undang-undang, polisi, kejaksaan,

pengadilan, pamongpraja dan aparatur eksekusi pidana serta orang-orang


24

biasa. Proses pemberian pidana yang dimana badan- badan ini masing-

masings mempunyai peranya dapat dipandang sebagai upaya untuk

menjaga agar orang yang bersangkutan serta masyarakat pada umumnya

tidak melakukan tindak pidana. Namun badan yang langsung mempunyai

wewenang dan kewajiban dalam pencegahan ini adalah kepolisian.

2. Menurut Prof. dr. Satjipto Raharjdo, S.H

Penegakan hukum merupakan rangkaian proses untuk menjabarkan nilai,

ide, cita-cita yang cukup abstrak yang menjadi tujuan hukum.

3. Menurut Soerjono Soekanto

Penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai- nilai

yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah yang mantap dan menjawantah dan

sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran tahap akhir untuk menciptakan,

memelihara dan mempertahankan kedamaian pengaruh hidup.

Penegakan hukum adalah proses dilakukanya upaya untuk tegaknya

atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman

perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan

masyarakat dan bernegara. Pengertian penegakan hukum itu dapat pula

ditinjau dari sudut objeknya, yaitu dari segi humunya dalam hal ini,

pengertianya juga mencakup makna yang luas dan sempit, dalam arti luas,

penegakan hukum ini mencakup pula nilai-nilai keadilan yang hidup dalam

masyarakat. Tetapi, dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya

menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja. 9

9
Prof. dr Hasanudin AF, MA, Pengantar Ilmu Hukum, hlm. 1-3.
25

B. Pengertian Tindak Pidana

Moeljatno dalam bukunya Asas-Asas Hukum Pidana, mengartikan

bahwa hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di

suatu Negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan untuk:

1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang

dilarang, dan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu

bagi barangsiapa yang melanggar larangan tersebut.

2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah

melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana

sebagaimana yang telah diancamkan.

3. Menentukan dengan cara bagaimana mengenai pidana itu dapat

dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan

tersebut.

Selanjutnya Moeljatno menjelaskan dari pengertian hukum pidana

tersebut di atas maka yang disebut dalam ke-1) adalah mengenal “perbuatan

pidana”(criminal act). Sedang yang disebut dalam ke-2) adalah mengenai

“pertanggungjawaban hukum pidana” (criminal liability atau criminal

responsibility). Yang disebut dalam ke-1) dan ke-2) merupakan “hukum

pidana materil” (substantive criminallaw), oleh karena mengenai isi hukum

pidana sendiri. Yang disebut dalam ke-3) adalah mengenai bagaimana caranya

atau prosedurnya untuk menuntut ke muka pengadilan orang-orang yang

disangka melakukan perbuatan pidana, oleh karena itu hukum acara pidana

(criminal procedure). Lazimnya yang disebut dengan hukum pidana saja

adalah hukum pidana materil.


26

Seperti pendapat yang disampaikan Moeljatno, dapat dipahami bahwa

cakupan dari hukum pidana cukup luas yaitu terdiri dari hukum pidana

materiil dan hukum pidana formil, dalam pidana materil terdiri dari perbuatan

pidana dan pertanggungjawaban pidana sedangkan dalam pidana formil

termuat cara mempertahankan pidana materiil. Mengenai tindak pidana,

terdapat banyak istilah yang digunakan seperti dalam KUHP, yang disebut

dengan Strafbaarfeit, Moeljatno yang meyebutnya dengan perbuatan pidana

atau dalam kepustakaan hukum pidana sering disebut dengan delik sedangkan

pembuat undang-undang merumuskan suatu undang-undang mempergunakan

istilah peristiwa pidana. Strafbaarfeit merupakan istilah tindak pidana dalam

KUHP, setelah istilah Strafbaarfeit diterjemahkan dalam bahasa Indonesia

oleh sarjana hukum Indonesia, menjadikan makna dari Strafbaarfeit menjadi

bermacam-macam.

Secara sederhana Amir Ilyas meyampaikan terdapat lima kelompok

istilah yang digunakan 10, yaitu:

1. Peristiwa pidana;

2. Perbuatan pidana;

3. Perbuatan yang boleh di hukum ;

4. Tindak pidana;

5. Delik.

Istilah yang digunakan untuk penyebutan tindak pidana, dapat

digunakan bermacam-macam istilah, sepanjang istilah-istilah tersebut di atas,

tidak merubah makna dari Strafbaarfeit. Sedangkan mengenai pengertian


10
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta), 2002, hlm. 1.
27

tindak pidana, Amir Ilyas, meyampaikan pendapatnya, bahwa “Tindak pidana

merupakan suatu istilah yang mengandung suatu pengertian dasar dalam ilmu

hukum, sebagai istilah yang dibentuk dengan kesadaran dalam memberikan

ciri tertentu pada peristiwa hukum pidana.Tindak pidana mempunyai

pengertian yang abstrak dari peristiwa-peristiwa yang kongkrit dalam

lapangan hukum pidana sehingga tindak pidana haruslah diberikan arti yang

bersifat ilmiah dan ditentukan dengan jelas untuk dapat memisahkan dengan

istilah yang dipakai sehari-hari dalam kehidupan masyarakat.

Moeljatno, meyampaikan pengertian tindak pidana dengan istilah

“perbuatan pidana”, yaitu “Perbuatan yang melanggar yang dilarang oleh

suatu Istila tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum

pidana belanda yaitu strafbaarfeit. Walaupun istilah ini terdapat dalam WvS

Hindia belanda maupun berdasarkan asas konkordasi istilah tersebut juga

berlaku pada WvS Hindia Belanda (KUHP). Tetapi tidak ada penjelasan resmi

tentang apa yang dimaksud dengan strafbaarfeit. Oleh karena itu, para ahli

hukum berusaha untuk memberikan arti dan istilah itu, namun juga hingga

saat ini belum ada keseragaman pendapat tentang apa yang dimaksud dengan

strafbaarfeit.

Aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa

pidana tertentu”. Selanjutnya Bambang Poernomo, berpendapat bahwa

perumusan mengenai perbuatan pidana akan lebih lengkap apabila tersusun

sebagai berikut, Bahwa perbuatan pidana adalah suatu perbuatan yang oleh

suatu aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana bagi barang

siapa yang melanggar larangan tersebut. Adapun perumusan tersebut yang


28

mengandung kalimat “aturan hukum pidana” dimaksudkan akan memenuhi

keadaan hukum di Indonesia yang masih mengenal kehidupan hukum yang

tertulis maupun hukum yang tidak tertulis. Menurut Pompe, terdapat ada 2

(dua) macam definisi terkait tindak pidana yaitu :

1. Definisi teoritis yaitu pelanggaran norma (kaidah dan tata hukum), yang

diadakan karena kesalahan pelanggar, dan harus diberikan pidana untuk

dapat mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan

umum.

2. Definisi yang bersifat perundang-undangan yaitu suatu peristiwa yang oleh

Undang-Undang ditentukan mengandung perbuatan (handeling) dan

pengabaian (nalaten); tidak berbuat; berbuat pasif, biasanya dilakukan di

dalam beberapa keadaan yang merupakan bagian dari suatu peristiwa.

Sedangkan menurut E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi bahwa tindak pidana

tersebut mempunyai 5 (lima) unsur yaitu:

a. Subjek;

b. Kesalahan;

c. Bersifat melawan hukum dari suatu tindakan;

d. Suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh Undang-Undang

dan terhadap pelanggarannya diancam dengan pidana;

e. Waktu, tempat dan keadaan (unsur objektif lainnya). Bertolak dari

pendapat-pendapat tersebut diatas.

Menurut penulis yang dimaksud pengertian tindak pidana adalah

tindakan suatu perbuatan yang melanggar ketentuan peraturan perundang-


29

undangan, sehingga setiap pelanggaran tersebut dapat dikenakan sanksi

pidana

C. Pengertian Penerapan Sanksi

Seorang filosof yunani, Aristoteles, mengatakan bahwa manusia

adalah zoon politicon, artinya manusia merupakan mahluk yang hidup

bermasyarakat. Sejak lahir hingga meninggal, manusia hidup di tengah-tengah

masyarakat dan melakukan hubungan dengan manusia yang lain. Hubungan

antara seseorang dengan orang-orang lain bersifat langsung atau tidak

langsung. Hubungan itu menyebabkan kehidupan bermasyarakat antara

manusia saling membutuhkan satu dengan lainya. Kebutuhan dapat sama

dengan satu dengan yang lainya, atau bahkan dapat bertentangan/berlawanan 11

Berbicara mengenai hukum, maka sebaiknya membahas tentang

artinya terlebih dahulu. Secara etimologis, hukum berasal dari bahasa Arab

yaitu “Alkas” dalam bahasa prancis disebut “Droit”. Kesemuanya itu

mempunyai arti yang kurang lebih sama, yaitu hukum merupakan paksaan,

mengatur dan memerintah. Menurut Utrecht sebagaimana yang dikutip oleh

soeroso dalam bukunya yang berjudul pengantar ilmu hukum, mengatakan

bahwa ilmu hukum merupakan himpunan petunjuk hidup (perintah-perintah)

dan larangan-larangan yang mengatur tata tertib dalam sesuatu masyarakat dan

seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat itu, oleh karena itu, pelanggaran

11
Soerjono Soekanto, Teori Murni Tentang Hukum, (BandungL PT. Alumni), 1995, hlm.
40.
30

petunjuk tersebut dapat menimbulkan tindakan dari pihak pemerintah terhadap

masyarakat. 12

Menurut P.Borst hukum adalah keseluruhan peraturan bagi kelakuan

atau perbuatan manusia dalam masyarakat yang pelaksanaanya dapat di

paksakan dan bertujuan agar menimbulkan tata kedamaian atau keadilan.

Pelaksanaan peraturan hukum itu dapat dipaksakan artinya bahwa hukum

mempunyai sanksi, berupa ancaman dengan hukuman terhadap pelanggar atau

merupakan ganti rugi bagi yang menderita.

Dari kedua devenisi di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa

hukum berkaitan dengan sanksi. Hal ini dapat dipahami karena pada dasarnya

hukum itu memiliki sifat mengatur dan memaksa. Dalam sifat hukum yang

mengatur, terhadap larangan-larangan. Apabila suatu larangan tersbut di

langgar, maka menimbulkan sanksi. Sanksi hukum ini bersifat memaksa, hal

ini berarti bahwa tertib itu akan bereaksi terhadap peristiwa-peristiwa tertentu

karena dianggap merugikan masyarakat sebagai akibat dari adanya

pelanggaran tersebut dengan paksaan walaupun yang bersangkutan tidak

menghendakinya. 13

Berbagai tipe ideal dapat di rumuskan atas dasar cara-cara perilaku

manusia dilaksanakan berdasarkan perintah atau larangan. Suatu tertib sosial

munkin memerintahkan agar manusia melakukan perbuatan tertentu, tanpa

memberikan akibat tertentu apabila perintah itu di taati atau dilanggar. Suatu

tertib sosial dapat pula memerintahkan agar suatu perbuatan dilakukan

12
R. Soesoro, Loc.it.
13
Ibid.
31

sekaligus dengan imbalan atau hukumanya. Imbalan dan hukuman merupakan

sanksi-sanksi, namun lazimnya hanya hukuman yang disebut sebagai sanksi.

Menurut Hanz Kelsen, sangsi didevinisikan sebagai reaksi koersif

masyarakat atas tingka laku manusia (fakta sosial) yang mengganggu

masyarakat. Setiap sistem norma dalam pandangan hanz kelsen selalu

bersandar pada sanksi. Esensi dari hukum adalah organisasi dari kekuatan, dan

hukum bersandar pada sistem paksaan yang dirancang untuk menjaga tingkah

laku sosial tertentu. Dalam kondisi-kondisi tertentu digunakan kekuatan untuk

menjaga hukum dan ada sebuah organ dari komunitas yang menggunakan hal

tersebut. Setiap norma dapat dikatakan “legal” apabila dilekati sangsi,

walaupun norma itu harus dilihat hubungan dengan norma lainya. 14

14
Antonius Cahyadi dan E. Fernando, Pengantar Filsafat Hukum, (Jakarta: Kencana
Perdana Media Group), 2007, hlm. 84.
BAB III

PELAKSANAAN SANKSI PIDANA LARANGAN KEREMUNAN DALAM

SITUASI PANDEMIK (COVID-19) DI TINJAU DARI UNDANG-UNDANG

NOMOR 6 TAHUN 2018 TENTANG KEKARANTINAAN KESEHATAN

A. Pelaksanaan Sanksi Pidana

Pengertian normative bahwa arti pelaksanaan sanksi pidana adalah

suatu langkah hukuman yang di jatuhkan oleh negara terhadap kelompok

atau individu tertentu karena terjadinya pelanggaran yang merugikan orang

lain. Secara umum dasar hukum terhadap sanksi yang di jatuhkan kepada

pelanggar kerumunan adalah pasal 93 jo pasal 9 UU no 6 THN 2018 tentang

kekarantinaan kesehatan, kententuan pasal 93 yang mengatur bahwa


15
orang yang tidak mematuhi dan atau menghalang-halangi

penyelenggaraan kesehatan hingga menyebabkan kedaruratan kesehatan

masyarakat dapat di jatuhi sanksi pidana selama 1 tahun dan/atau sanksi

paling banyak seratus juta rupiah.

UU no 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan kesehatan tersebut di

perkuat dengan adanya peraturan pemerintah (PP) no 21 Tahun 2020

Tentang PSBB (pembatasan sosial berskala besar), untuk membatasi

aktivitas masyarakat dalam menjalani kehidupan sehari hari. Dalam

penerapan PSBB masih banyak ditemukan pelanggaran yang memicu

meningkatnya angka Covid-19. Contohnya dalam kasus demonstrasi di

15
julfikar, http://www.hukum online.com di update pada tgl 9 sept 2021

33
34

Jakarta pada tahun 2020 oleh mahasiswa dan masyarakat, dimana dalam

kondisi demostrasi tersebut dapat menimbulkan klaster baru penyebaran

covid 19, padahal aturan terkait dengan PSBB sudah di berlakukan tetapi

tidak ada tindakan dari pihak pemerintah maupun dari pihak aparatur yaitu

kepolisian dan TNI dalam melakukan tindakan untuk mengurangi

kerumunan. Berdasarkan cacatan polda metro jaya bahwa sebanyak 34

orang pendemo di amankan pasca kerusuhan pada (8/10/2020) setelah di

periksa 34 orang pendemo tersebut reaktif dan 10 di antaranya positif

Covid-19.

Padahal dalam UU No 6 Tahun 2018 tentang kekarantinaan

kesehatan adalah upaya mencegah dan menangkal keluar masuk atau

masuknya penyakit atau faktor resiko kesehatan masyarakat yang berpotensi

menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat. Dalam pelaksanaan

kekarantinaan kesehatan itu sendiri bertujuan untuk melindungi masyarakat

dari penyakit dan faktor resiko kesehatan bagi masyarakat, adapun juga

memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat dan

petugas kesehatan. Dari sekian banyak fenomena pelanggaran PSBB UU No

6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan kesehatan telah terjadi adanya

pelanggaran yang menurut penulis memiliki kejanggalan dalam prosedur

penerapan sanksi yang telah diatur dalam undang undang UU No 6 Tahun

2018 pasal 9 ayat (1) menyebutkan “setiap orang wajib mematuhi

penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan”. Kemudian dalam Bab XIII UU

NO 6 tahun 2018 tentang ketentuan pidana bagi orang yang tidak mematuhi

atau menghalangi halangi penyelenggaraan kesehatan.


35

Peristiwa Penikahan (resepsi) yang diselenggarakan oleh keluarga

besar Habib Riziqe Shihab. Peristiwa tersebut dianggap sebagai pelanggaran

dari UU No. 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan kesehatan dan diperkuat

oleh PP No. 21 Tahun 2020 Tentang PSBB. Padahal pada waktu yang

bersamaan dimasyarakat banyak pula ditemukannya kegiatan yang dapat

dikategorikan sebagai kegiatan yang memicu kerumunan seperti yang

dilakukan oleh keluarga besar Habib Rizieq Shihab tersebut. Padahal

pemprov DKI sudah menjatuhi hukuman sanksi administrasi berupa denda

50 juta karena melanggar protocol kesehatan dalam sejumlah aktivitasnya,

dalam pasal 7 UU No.6 Tahun 2018 bahwa setiap orang mempunyai hak

memperoleh perlakuan yang sama dalam penyelanggaraan kekarantinaan

kesehatan, tetapi pelaksanaan tersebut menurut penulis ada beberapa

kejanggalan dalam pelaksanaan kasus kerumunan seperti halnya kasus

demontrasi tidak adanya pernyataan sikap dari pihak pemerintah dan

aparatur negara yakni kepolisian dan TNI sehingga tidak maksimal dalam

melaksanakan UU NO 6 Tahun 2018 tentang kekarantinaan kesehatan.

Adapun Maklumat yang di keluarkan oleh kepala kepolisian republik

Indonesia (KAPOLRI) NO 2/III/2020 tentang kepatuhan terhadap kebijakan

pemerintah bahwa keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi, sehingga

tidak boleh ada kerumunan baik dengan jumlah yang kecil ataupun dengan

jumlah yang besar, inilah yang menjadi dasar bagaimana para aparatur

negara yakni memutus mata rantai dari penyebaran virus covid 19.
36

B. Larangan Kerumunan

Ketua satgas penanganan Covid 19 Letjen TNI Doni Moenardo

mengingatkan kepada semua Gubernur, Pangdam dan Kapolda seluruh

Indonesia untuk melarang semua bentuk kegiatan pengumpulan massa.

Yang mengundang kerumunan dan keramaian yang selalu berpotensi

mengabaikan protocol kesehatan.Untuk itu siapapun yang punya niat untuk

ke luar daerah, membuat acara, dan berpotensi menimbulkan kerumunan

serta melanggar protocol kesehatan, wajib dilarang. Demi menyelamatkan

rakyat kita agar terhindar dari penularan virus Covid 19, dalam pernyataan

tersebut ketua satgas menambahkan bahwa kita harus belajar dari kejadian

di Jakarta beberapa waktu yang lalu agar tidak terjadi pengumpulan massa

dalam bentuk acara apapun di massa mendatang. “semua kegiatan wajib taat

dan patuh kepada protocol kesehatan adalah harga mati”. 16

Dalam penyampaian tersebut ketua satgas covid 19 Letjen Doni

Moenardo berharap kepada seluruh Gubernur, pangdam, dan Kapolda

segera membuat jumpa pers sekaligus menyampaikan ke publik bahwa di

massa pandemic ini kita harus disiplin dan patuh terhadap protocol

kesehatan sesuai arahan presiden. Parah tokh ulama, tokoh masyarakat atau

siapapun dapat menunda segala bentuk aktivitas yang berpotensi

menimbulkan kerumunan dan melanggar protokol kesehatan dalam massa

PSBB ini. “Bagi yang berniat akan menggelara acara, maka saya ingatkan,

tugas kita melakukan pencegahan. Parah tokoh ulama harus menjadi

teladan, memberi contoh mencegah agar tidak terjadi pelanggaran protocol

16
Donald banjarnahor, http://www.cnbcindonesia.com di update pada tgl 9 sept 2021
37

kesehatan dalam situasi pandemic ini. Percepatan penangan membutuhkan

peran serta semua pihak.

Tanpa dukungan dari kolektif masyarakat, rantai penyebaran Covid-

19 akan terus terjadi, menghindari kerumunan salah satunya menjadi

langkah nyata untuk memutus mata rantai penyebaran virus Covid-19

tersebut. Upaya bersama dibutuhkan dalam adaptasi massa pandemic ini

adalah keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi

C. Pandemik (Covid-19)

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor

HK.01.07/MENKES/382/2020 tentang protokol kesehatan bagi masyarakat

di tempat dan fasilitas umum dalam rangka pencegahan dan pengendalian

Corona Virus Disease 2019 (COVID-19). Masyarakat memiliki peran

penting dalam memutus mata rantai penularan COVID-19 agar tidak

menimbulkan sumber penularan baru/cluster pada tempat-tempat dimana

terjadinya pergerakan orang, interaksi antar manusia dan berkumpulnya


17
banyak orang.

Masyarakat harus dapat beraktivitas kembali dalam situasi pandemi

COVID-19 dengan beradaptasi pada kebiasaan baru yang lebih sehat, lebih

bersih, dan lebih taat, yang dilaksanakan oleh seluruh komponen yang ada

di masyarakat serta memberdayakan semua sumber daya yang ada. Peran

masyarakat untuk dapat memutus mata rantai penularan COVID-19 (risiko

tertular dan menularkan) harus dilakukan dengan menerapkan protokol

kesehatan. Protokol kesehatan secara umum harus memuat:

17
Ibid,putusan menteri kesehatan no 01.07/menkes/382/2020
38

1. Perlindungan Kesehatan Individu

Penularan COVID-19 terjadi melalui droplet yang dapat

menginfeksi manusia dengan masuknya droplet yang mengandung virus

SARS-CoV-ke dalam tubuh melalui hidung, mulut, dan mata. Prinsip

pencegahan penularan COVID-19 pada individu dilakukan dengan

menghindari masuknya virus melalui ketiga pintu masuk tersebut dengan

beberapa tindakan, seperti:

a. Menggunakan alat pelindung diri berupa masker yang menutupi

hidung dan mulut hingga dagu, jika harus keluar rumah atau

berinteraksi dengan orang lain yang tidak diketahui status

kesehatannya (yang mungkin dapat menularkan (COVID-19). Apabila

menggunakan masker kain, sebaiknya gunakan masker kain 3 lapis;

b. Membersihkan tangan secara teratur dengan cuci tangan pakai sabun

dengan air mengalir atau menggunakan cairan antiseptik berbasis

alkohol/handsanitizer. Selalu menghindari menyentuh mata, hidung,

dan mulut dengan tangan yang tidak bersih (yang mungkin

terkontaminasi droplet yang mengandung virus).;

c. Menjaga jarak minimal 1 meter dengan orang lain untuk menghindari

terkena droplet dari orang yang bicara, batuk, atau bersin, serta

menghindari kerumunan, keramaian, dan berdesakan. Jika tidak

memungkinkan melakukan jaga jarak maka dapat dilakukan berbagai

rekayasa administrasi dan teknis lainnya. Rekayasa - 8 - administrasi

dapat berupa pembatasan jumlah orang, pengaturan jadwal, dan

sebagainya. Sedangkan rekayasa teknis antara lain dapat berupa


39

pembuatan partisi, pengaturan jalur masuk dan keluar, dan lain

sebagainya.

d. Meningkatkan daya tahan tubuh dengan menerapkan Perilaku Hidup

Bersih dan Sehat (PHBS) seperti mengkonsumsi gizi seimbang,

aktivitas fisik minimal 30 menit sehari dan istirahat yang cukup

(minimal 7 jam), serta menghindari faktor risiko penyakit. Orang yang

memiliki komorbiditas/penyakit penyerta/kondisi rentan seperti

diabetes, hipertensi, gangguan paru, gangguan jantung, gangguan

ginjal, kondisi immunocompromised/penyakit autoimun, kehamilan,

lanjut usia, anak-anak, dan lain lain, harus lebih berhati-hati dalam

beraktifitas di tempat dan fasilitas umum. 18

2. Perlindungan Kesehatan Masyarakat

Perlindungan kesehatan masyarakat merupakan upaya yang harus

dilakukan oleh semua komponen yang ada di masyarakat guna mencegah

dan mengendalikan penularan COVID-19. Potensi penularan COVID-19 di

tempat dan fasilitas umum disebabkan adanya pergerakan, kerumunan,

atau interaksi orang yang dapat menimbulkan kontak fisik. Dalam

perlindungan kesehatan masyarakat peran pengelola, penyelenggara, atau

penanggung jawab tempat dan fasilitas umum sangat penting untuk

menerapkan sebagai berikut:

a. Unsur pencegahan (prevent)

1) Kegiatan promosi kesehatan (promote) dilakukan melalui

sosialisasi, edukasi, dan penggunaan berbagai media informasi

18
ibid
40

untuk memberikan pengertian dan pemahaman bagi semua orang,

serta keteladanan dari pimpinan, tokoh masyarakat, dan melalui

media mainstream.

2) Kegiatan perlindungan (protect) antara lain dilakukan melalui

penyediaan sarana cuci tangan pakai sabun yang mudah diakses

dan memenuhi standar atau penyediaan handsanitizer, upaya

penapisan kesehatan orang yang akan masuk ke tempat dan

fasilitas umum, pengaturan jaga jarak, disinfeksi terhadap

permukaan, ruangan, dan peralatan secara berkala, serta

penegakkan kedisplinan pada perilaku masyarakat yang berisiko

dalam penularan dan tertularnya COVID-19 seperti berkerumun,

tidak menggunakan masker, merokok di tempat dan fasilitas umum

dan lain sebagainya.

b. Unsur penemuan kasus (detect)

1) Fasilitasi dalam deteksi dini untuk mengantisipasi penyebaran

COVID-19, yang dapat dilakukan melalui berkoordinasi dengan

dinas kesehatan setempat atau fasilitas pelayanan kesehatan;

2) Melakukan pemantauan kondisi kesehatan (gejala demam, batuk,

pilek, nyeri tenggorokan, dan/atau sesak nafas) terhadap semua

orang yang ada di tempat dan fasilitas umum.

c. Unsur penanganan secara cepat dan efektif (respond)

Melakukan penanganan untuk mencegah terjadinya penyebaran yang

lebih luas, antara lain berkoordinasi dengan dinas kesehatan setempat

atau fasilitas pelayanan kesehatan untuk melakukan pelacakan kontak


41

erat, pemeriksaan rapid test atau Real Time Polymerase Chain

Reaction (RT-PCR), serta penanganan lain sesuai kebutuhan. Terhadap

penanganan bagi yang sakit atau meninggal di tempat dan fasilitas

umum merujuk pada standar yang berlaku sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

Substansi protokol kesehatan pada masyarakat harus

memperhatikan titik kritis dalam penularan COVID-19 yang meliputi jenis

dan karakteristik kegiatan/aktivitas, besarnya kegiatan, lokasi kegiatan

(outdor/indoor), lamanya kegiatan, jumlah orang yang terlibat, kelompok

rentan seperti ibu hamil, balita, anak-anak, lansia, dan penderita komorbid,

atau penyandang disabilitas yang terlibat dan lain sebagainya. Dalam

penerapan protokol kesehatan harus melibatkan peran pihakpihak yang

terkait termasuk aparat yang akan melakukan penertiban dan pengawasan.

Contoh Kasus Kerumunan Pelanggaran PSBB

1. Kasus unjuk rasa menolak UU Cipta Kerja yang terjadi di Jakarta pada

tgl 6 Oktoner 2020 oleh mahasiwa,ormas, dan elemen masyarakat

lainya, sehingga meningkatkan kasus positif sebesar 6%. Aksi tersebut

menurut perhitungan sebuah aplikasi yang di bangun tim ahli Institute

Teknologi Bandung (ITB) premise memiliki hubungan yang kuat

terhadap penambahan kasus positif Covid 19. Bahkan peristiwa itu

menaikan tingkat kematian akibat penyakit pernafasan tersebut.

Dari aksi demonstrasi tersebut, menurut perhitungan premise ternyata

telah meningkat kasus sebesar 6% atau ada penambahan 233 kasus per
42

hari. Padahal, rata-rata penambahan kasus harian pada tanggal tersebut

adalah 3,878 kasus.

Wilayah yang berkontribusi besar terhadap penambahan itu adalah

Provinsi DKI Jakarta,Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Pada

tanggal tersebut, ke empat wilaya itu di warnai dengan kerumunan

demontrasi. Selain demontrasi UU cipta Kerja (Ciptaker), peningkatan

kasusu juga terjadi akibat unjuk rasa 1 tahun pemerintahan Jokowi-

Ma’ruf pada 20 Oktober 2020. Satu minggu setalah aksi UU Ciptaker

tersebut, jumlah kasusu meningkat menjadi 4.051 kasus per hari, ini
19
terjadi di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Sumatra Utara,

kegiatan unjuk rasa satu ini berkontribusi terhadap peningkatan sebesar

2,6%

2. Kasus kerumunan pernikahan putrinya Habib Riziq Sihab, Syarifa

Najwa, dengan pria bernama Irfan Alaydrus pada sabtu 14 November

2020. Acara tersebut berbarengan dengan mulid nabi Muhammad SAW

yang dihelat di kawasan petamburan, Jakarta Pusat, dan menghadirkan

massa berjumlah besar. Dalam acara tersebut sesuai dengan isi surat

edaran kepala dinas pariwisata dan ekonomi krearif DKI Jakarta nomor

372/SE/2020, acara pernikahan semestinya hanya dihadiri oleh 25%

tamu dari total kapasitas. Tetapi perlahan dalam acara tersebut banyak

tamu undangan yang kemudian tidak di undangpun berdatangan dan

bukan saja para tamu undangan tersebut dari DKI Jakarta, tetapi juga

dari berbagai daera lainya sehingga acara pernikahan putri Habib Riziq

19
Asni ovier, http://www.beritasatu.com di update tgl 8 sept 2021
43

Sihab menjadi ramai dan tidak terkendalikan. 20 Padahal dari kasus

tersebut HRS sudah membayar denda sebanyak 50 juta kepada pemprov

DKI Jakarta, tetapi proses pidana HRS tetap berjalan sehingga

menimbulkan kecacatan hukum dalam pelaksanaan sanksi kepada HRS.

20
Francisca Christy rosana, http://www.tempo.com di update pada tgl 9 sept 2021
BAB IV

PELAKSANAAN SANKSI PIDANA LARANGAN KEREMUNAN

DALAM SITUASI PANDEMIK (COVID-19) DI TINJAU DARI

UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2018 TENTANG

KEKARANTINAAN KESEHATAN

A. Pelaksanaan Sanksi Pidana Dalam UU No.6 Tahun 2018 Tentang

Kekarantinaan Kesehatan

Pelaksanaan sanksi pidana dalam UU No 6 Tahun 2018 tentang

kekarantinaan kesehatan merupakan salah satu peraturan yang mengatur

upaya mencegah dan menangkal keluar masuknya penyakit dan/atau faktor

resiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan kedaruratan

kesehatan masyarakat.

Pelaksanaan UU no 6 tahun 2018 pasal 93 bahwa orang yang tidak

mematuhi dan atau menghalang-halangi penyelenggaraan kesehatan hingga

menyebabkan kedaruratan kesehatan masyarakat dapat di jatuhi sanksi

pidana selama 1 tahun dan/atau sanksi paling banyak seratus juta rupiah.

Peraturan ini di perkuat dengan adanya peraturan pemerintah no 21 tahun

2020 tentang PSBB (pembatasan sosial berskala besar) dan peraturan

menteri kesehatan no 9 tahun 2020 untuk membatasi aktivitas masyarakat

dalam menjalani kehidupan sehari-hari, peraturan ini sudah berjalan

sebagaimana mestinya, namun dalam pelaksanaanya tidak secara merata

sehingga kurangnya aktualisasi penegakan hukum dari aparat yang memiliki

kewenangan dalam hal ini adalah TNI dan Polri.

44
45

Penyebaran Corona Dirus Disease 2019 (COVID-19) dengan jumlah

kasus atau jumlah kematian telah meningkat meluas lintas wilaya dan lintas

negara dan berdampak pada aspek politik, ekonomi, sosial, budaya,

pertahanan dan keamanan, serta kesejatraan masyarakat di Indonesia. Serta

dampak penyabaran covid-19 di Indonesia telah mengakibatkan terjadinya

keadaan tertentu sehingga perlu dilakukan upaya penanggulangan, salah

satunya dengan Tindakan pembatasan sosial bersakala besar.

Dasar hukum peraturan pemerintah ini adalah pasal 5 ayat (2) UUD

1945, UU Nomor 4 Tahun 1984 tentang wabah penyakit menular, UU

Nomor 24 Tahun 2007 tentang penanggulangan bencana, dan UU Nomor 6

Tahun 2018 tentang kekarantinaan Kesehatan. Dalam peraturan pemerintah

ini diatur mengenai pengertian pembatasan sosial berskala besar (PSBB),

prosedur pelaksanaan PSBB oleh pemerintah daerah dan kriteria yang harus

dipenuhi untuk PSBB, dalam hal PSBB telah di tetapkan oleh mentri yang

telah menyelenggarakkan urusan pemerintah di bidang Kesehatan, sehingga

pemeritah daerah wajib melaksanakan dan memperhatikan ketentuan

sebagaimana di atur dalam UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang kekarantinaan

Kesehatan. Terkait dengan pemberlakuan PSBB sebagai langkah

pencegahan penyebaran virus covid-19, tentu tidak lepas dari keterlibatan

masyarakat di dalamnya. Ada banyak Pro dan Kontra terhadap kebijakan

pemerintah dalam menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

Sebagian kelompok masyarakat masih ada saja yang tidak mematuhi aturan

kebijakan pemerintah.
46

Masyarakat tetap saja melakukan aksi kumpul bersama di tempat-

tempat tongkrongan sambil menyantap makanan dan minuman untuk

bersenda gurau bersama teman-temannya. Padahal pemerintah telah

melarang aksi ini dengan keras karena dapat meningkatkan resiko

penyebaran virus covid-19 dengan cepat. Sekelompok anak muda masih saja

melakukan kegiatan sehari-harinya di luar rumah tanpa ada rasa was-was.

Setiap masyarakat yang tidak mengikuti kebjakan pemerintah akan di

berlakukan sanksi pidana sebagaimana di tentukan pasal 212,216, dan 218

kitab undang undang hukum pidana (selanjutnya di sebut KUHP). Devinisi

pidana adalah menunjukan sanksi dalam hukum pidana. Perihal sanksi

pidana terhadap masyrakat menimbulkan pertanyaan mengenai aturan

hukum di indonesia apakah lemah sehingga masyarakat sulit untuk

mengikuti kebijakan pemerintah di saat pandemic covid-19 bahkan

presidenpun berulang ulang kali menyampaikan kebijakan tersebut melalui

media electronik, serta sudah selaraskan kebijakan yang di keluarkan oleh

pemerintah tersebut bila di lihat dari undang undang mengenai bencana

Indonesia.

Pemerintah telah menrencanakan sanksi pidana bagi mereka yang

melanggar kebijakan PSBB ini. DKI Jakarta sebagai daerah pertama yang

menerapkan PSBB pada 10 April 2020 melalui Peraturan Gubernur Nomor

23 Tahun 2020 yang akan dilaksanakan hingga tanggal 23 April 2020.

Dasar hokum terhadap sanksi yang dijatuhkan kepada pelanggar adalah

pasal 93 jo pasal 9 Undang-UndangNomor 6 Tahun 2018 tentang

Kekarantinaan Kesehatan. Ketentuan pasal 93 yang mengatur bahwa orang


47

yang tidak mematuhi dan atau menghalang-halangi penyelenggaraan

kesehatan hingga menyebabkan kedaruratan kesehatan masyarakat dapat

dijatuhi sanksi pidana selama 1 tahun dan/atau sanksi denda paling banyak

seratus juta.

Berdasarkan pasal 17 bagian Kesembilan dalam Peraturan Gubernur

nomor 41 Tahun 2020 tentang pemberian sanksi bagi pelanggar aturan

PSBB mengatur bahwa pengenaan sanksi pidana terhadap pelanggaran

pelaksanaan PSBB dilakukan oleh Kepolisian sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini, berdasarkan keterangan dari

Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus memaparkan cara

pemberian sanksi Pidana kepada pelanggar, pertama penindakan petugas

dari pemprov DKI yang merujuk pada Peraturan Gubernur (Pergub) DKI

Nomor 41 Tahun 2020 tentang pemberian sanksi bagi pelanggar aturan

PSBB. Lalu jika pelanggar tidak kooperatif, maka polisi akan turun tangan

dengan memberikan sanksi pidana, pelanggar akan dijerat Pasal 93 Undang-

undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan atau Pasal

212 atau Pasal 214 KUHP terkait melawan tugas. Tambahan jika pelanggar

melawan petugas dengan tidak mengindahkan apa yang disampaikan

petugas, melawan dengan kasar maka akan dikenakan undang-undang

nomor 6 tahun 2018.

PSBB ini merupakan objek yang dimaksudkan dalam pasal 93

dikarenakan PSBB sebagai bentuk dari karantina kesehatan. Penerapan

sanksi pidana ini bertujuan untuk memberikan efek jera kepada pelanggar
48

kebijakan PSBB tersebut. Memang pengenaan sanksi pidana terhadap

pelanggar PSBB ini di rasa kurang tepat, tetapi menginggat masih banyak

masyarakat yang kurang mengindahkan kebijakan ini tidak pernah merasa

jera jika hanya diberikan sanksi seperti misalnya kerja sosial. Sebagai

contoh yang sudah terjadi sebelumnya, sejumlah pelanggar larangan mudik

yang hanya diminta pulang kembali oleh aparat yang bertugas sehingga

tidak menimbulkan efek jera. Seharusnya, perlu penambahan instrumen

hukum dalam PSBB agar peran polisi bisa lebih maksimal. Salah satunya

dengan menggunakan unsur pidana. Dengan begitu, dia meyakini kepolisian

akan lebih leluasa dalam menindak pelanggar PSBB seperti dengan

memberi hukuman kurungan.

Tetapi dalam hal ini banyak di temukanya kasus pelanggaran PSBB

di indonesia yang menyebabkan peningkatan angka covid-19. Dari hasil

penilitian tersebut terdata beberapa kasus kerumunan di indonesia yang

tidak adanya penerapan sanksi yang jelas. Seperti kasus demostrasi oleh

kalangan mahasiswa dan masyarakat yang menolak UU Ciptaker yang

terjadi di jakarta pada tanggal 6 oktober 2020, bahkan dalam peristiwa

demontrasi besar-besaran tersebut, menyebabkan tingkat kerumunan massa

yang sangat banyak dan terdapat adanya pelanggaran protokol kesehatan

sehingga menimbulkan peningkatan kasus Covid-19 secara drastis di

indonesia.

Adapun kasus HRS (Habib Riziq Sihab) dalam pernikahan anaknya

di petamburan, dalam kasus tersebut HRS telah memenuhi sanksi


49

administrasi yang telah di tentukan oleh pemprov DKI Jakarat yaitu

pembayaran denda sebanyak 50 juta, tetapi langka tersebut masi di lakukan

proses pemidanaan terhadap HRS. Dalam hal ini yang harus di terapkan

oleh aparat penegak hukum ialah berperan aktif di masyarakat agar

mencegah adanya kerumunan di setiap tempat di indonesia, dengan begitu

akan mengurangi peningkatan Covid-19. Karena fungsi polri adalah

menjaga “keamanan dan ketertiban masyarakat”, dimana istilah ini

mengandung 2 pengertian yaitu :

1. Sebagai suatu prasyarat terselenggaranya pembangunan nasional,

sebagai tujuan nasional yang tertandai oleh terjaminya keamanan,

ketertiban, tegaknya hukum dan serta terbinanya ketentraman.

2. Keamanan sebagai kemampuan membina serta mengembangkan potensi

dan kekuatan masyarakat dalam menangkal, mencegah, dan

menanggulangi segala bentuk pelanggaran hukum dan bentuk-bentuk

gangguan lainya yang dapat meresahkan masyarakat.

Di massa pandemik Covid-19, peran polri lebih di tekankan pada

pengertian ke dua karena pada massa PSBB, polri mengemban fungsi

penegakan hukum yang di tegaskan kembali melalui maklumat kapolri NO.

Mak/2/III/2020 tentang kepatuhan kebijakan pemerintah dalam penegakan

virus corona. Tetapi dalam pelaksanaan di lapangan untuk dijatuhi sanksi

pidana dirasa kurang maksimal.

Dalam Teori Kepastian Hukum ketika suatu peraturan yang di buat

dan di undangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis, dalam
50

artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multi tafsir) dan logis. Jelas dalam

artian ia menjadi suatu sistem norma lain sehigga tidak berbenturan atau

menimbulkan konflik norma, teori ini mengandung dua pengertian yaitu

pertama, adanya peraturan yang bersifat umum membuat individu

mengetahui perbuatan apa saja yang boleh dan tidak boleh di lakukan dan

kedua, berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan

pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu

dapat mengetahui apa saja yang boleh di benarkan atau dilakukan oleh

negara terhadap individu. 21 Sedangkan dalam penertiban kerumunan yang

terjadi polri tidak adanya kesesuaian dalam melakukan tahapan prosedur

penangkapan dalam melaksanakan tugasnya seperti kasus di atas,

seharusnya demi memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat semestinya

juga menjadi tanggung jawab dari polri untuk menegakan keadilan.

Dalam teori kepastian hukum 22Kelsen percaya bahwa hukum adalah

sistem normatif. Spesifikasi tersebut menekankan pada pernyataan "harus"

atau "standar" dengan memasukkan beberapa aturan tentang pengoperasian.

Norma adalah produk dari musyawarah dan perilaku manusia. Hukum yang

memuat aturan aturan umum, baik itu hubungan dengan teman sebaya

maupun dengan masyarakat, dapat dijadikan pedoman bagi perilaku

individu dalam masyarakat. Aturan aturan tersebut menjadi beban sosial

atau batasan atas tindakan individu. Adanya regulasi dan pelaksanaannya

menciptakan kepastian hukum. Kepastian mengacu pada peraturan tertentu

21
Ridwan syahrani, Rangkuman intisari ilmu ukum, penerbit citra adtiya
bakti,Bandung,1999,hlm 23.
22
Muhammad Maghfur Agung, http://jiss.publikasiindonesia.id/ di akses pada tgl 13 okt
2021
51

atau hal hal yang ditentukan (syarat). Hukum harus bersifat deterministik

dan adil. Tentunya ini adalah code of conduct dan code of fairness, karena

code of conduct tersebut harus mendukung perintah yang dianggap wajar.

Hanya jika hukum ditegakkan secara adil dan pasti hukum dapat

menjalankan fungsinya.

Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang hanya bisa dijawab

secara normatif, bukan dari perspektif sosiologis. Kepastian hukum

merupakan jaminan hukum yang memuat keadila. Norma yang

mempromosikan keadilan sehingga benar benar menjadi aturan yang harus

di patuhi, prinsip utamanya adalah menegakan kejelasan peraturan

perundang-undangan, yaitu kepastian hukum.

Menurut Gustav Radbruch, keadilan dan kepastian hukum

merupakan bagian permanen dari hukum. Iya meyakini bahwa keadilan dan

kepastian hukum harus di perhatikan, dan kepastian hukum harus di jaga

demi keamanan dan ketertiban negara. Terakhir, hukum positif harus selalu

di perhatikan berdasarkan teori kepastian hukum dan nilai nilai yang harus

diwujudkan yaitu nilai keadilan dan kebahagiaan. Menurut teori kepastian

hukum yang di sebutkan di atas seharusnya penegakan sanksi pidana

mengenai larangan kerumunan secara umum harus jelas di laksanakan,

tidak boleh adanya perbedaan penegakan hukum.

Seperti kasus yang di alami oleh HRS (Habib Riziq Sihab) yang

dimana proses penegakan hukumnya dirasa terlalu berlebihan. padahal

seharusnya proses penegakan hukum itu telah berakhir dengan


52

dibayarkannya denda terhadap sanksi administrasi yang di tentukan oleh

pemprov DKI Jakarta senilai 50 juta tersebut. Lain hal dengan kasus

kampanya pilkada serentak di Indonesia terlebih khusus di kota solo yang

baru baru ini di laksanakan, yang di selenggarakan oleh salah satu paslon

sebut saja adalah Gibran Raka Buming. Dalam pelaksanaan kampanye

tersebut telah menimbulkan tingkat kerumunan yang sangat masif, tetapi

kemudian tidak adanya Tindakan secara tegas oleh pihak yang berwenang

dalam hal ini adalah satgas covid-19 dan polri.

Kasus selanjutnya adalah kasus demonstrasi yang di lakukan oleh

mahasiswa, ormas, dan elemen masyarakat lainya, dimana aksi demontrasi

tersebut untuk menolak UU Ciptaker yag telah di sahkan oleh DPR, dalam

aksi tersebut menimbulkan tingkat kerumunan yang begitu banyak sehingga

menyebabkan angka penambahan kasus positif Covid-19 bertambah

angkanya di indonnesia pada umumnya dan pada khususnya di DKI Jakarta.

Dari ketiga kasus di atas penulis menganalisa bahwa penegakan

hukum mengenai larangan kerumunan atau PSBB secara tegas kurang

maksimal, padahal aparat penegak hukum telah di berikan kewenangan

melalui maklumat kapolri yang seharusnya secara tegas melaksanakan tugas

dan fungsi sebagai mana mestinya, Ketika kita berbicara mengenai

kepastian hukum artinya semua orang itu harus sama di mata hukum dan

tidak boleh ada perbedaan di dalam hukum tersebut.


53

B. Kendala-Kendala Dalam Pelaksanaan Sanksi Pidana Situasi Pandemik

Covid 19

Jika melihat substansi maklumat maupun operasi yang dilakukan,

fungsi Polri lebih banyak bergerak di area penindakan terhadap pelanggaran

ketimbang pencegahan. Terlebih lagi, area penindakan tersebut ingin

dicakup semuanya oleh Polri tanpa mempertimbangkan kesulitan teknis di

lapangan. Padahal, Polri perlu menyadari bahwa dari sisi internal, masih

terdapat keterbatasan (daya dukung) sumber daya Polri, seperti jumlah dan

kemampuan personil yang bertugas, koordinasi dengan stakeholder yang

masih lemah, dan sebagainya. Dalam banyak studi, keterbatasan-

keterbatasan di atas belum sepenuhnya dapat diselesaikan oleh pemerintah

sendiri.

Padahal, sebagaimana tertuang dalam UU No. 2 Tahun 2002, fungsi

Polri tidak hanya penindakan, melainkan juga pencegahan melalui upaya

persuasif yang dapat melibatkan masyarakat. Tampaknya hal ini tidak

menjadi prioritas bagi Polri mengingat dalam maklumat tersebut, Polri ingin

mengerahkan semua potensi kekuatan untuk mendukung pelaksanaan

PSBB. Namun hal utama yang tidak bisa diabaikan adalah pandemi telah

menciptakan masalah keamanan yang sangat kompleks. Hal ini patut

dicermati oleh Polri. Kompleksitas ini setidaknya terlihat dari; Pertama,

fluktuasi tingkat kejahatan sepanjang masa pandemi dan PSBB yang

mengalami kenaikan maupun penurunan. Walaupun secara kuantitas

menurun, terdapat potensi kejahatan di beberapa sektor yang patut


54

diwaspadai selama PSBB, seperti kejahatan jalanan (penjambretan,

perampokan, dan pencurian kendaraan bermotor.

Selain itu, Polri perlu memperhitungkan pola kriminalitas lainnya

yang tidak hanya terjadi sepanjang PSBB, melainkan selama masa pandemi.

Misalnya, kasus pencurian dan penimbunan alat medis, penjualan obat-

obatan palsu melalui kejahatan terorganisir, pencurian pada tempat sektor

bisnis yang kosong, pelanggaran ketertiban umum karena perselisihan

masalah medis,hingga kesalahpahaman masyarakat mengenai penanganan

COVID-19. Sampai saat ini, kesalahpahaman masih saja berlangsung di

tengah semakin meningkatnya kasus positif COVID-19. Hal ini

mengakibatkan terjadinya diskriminasi terhadap tenaga medis maupun

individu-individu non-tenaga medis hingga penolakan terhadap jenazah

yang dianggap terinfeksi. Polri memang telah menunjukkan upaya

penindakan melalui penegakan hukumnya, tetapi masih belum sebanding

dengan masifnya diskriminasi tersebut. Dampak dampak inilah yang

membuat polri dalam penangan kasus PSBB tidak secara maksimal dalam

melaksnakan tugas dan fungsinya. Di tambah tidak adanya kesadaran

masyarakat dalam membantu pihak polri untuk mengatasi timbulnya

kerumunan semakin bertambah di indonesia.

Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) berpotensi menimbulkan

kedaruratan kesehatan masyarakat. Peraturan hukum perihal Covid-19

disahkan oleh pemerintah agar masyarakat berpartisipasi mencegah

penyebaran Covid-19. Masyarakat tidak taat terhadap peraturan hukum

terkait upaya penanggulangan Covid-19 dapat diupayakan melalui


55

pendekatan hukum pidana sebagai efek jera. Hal tersebut dilakukan agar

memutus rantai penyebaran Covid-19. Permasalahannya, yakni bagaimana

kebijakan hukum pidana sebagai sarana untuk optimalisasi penanggulangan

kedaruratan Covid-19.

Metode penelitian menggunakan normatif dengan pendekatan

perundang-undangan (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua

undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang

sedang ditangani. Pendekatan perundangundangan adalah pendekatan

dengan menggunakan legislasi dan regulasi. Hasil penelitian menunjukkan

langkah optimalisasi kebijakan hukum pidana sebagai upaya

penanggulangan wabah pandemic Covid-19 perlu peran masyarakat dalam

menaati peraturan hukum tersebut. Sehingga penyebaran Covid-19 dapat

terhenti. Kesimpulan penelitian ialah optimalisasi kebijakan hukum pidana

penanggulangan Covid-19 dapat dicapai jika menggabungkan beberapa

strategi seperti peningkatan kebijakan hukum, budaya hukum, dan

penegakan hukum yang tegas, konsisten dan terpadu. Saran peneliti ialah

optimalisasi kebijakan hukum melalui peraturan hukum perihal wabah

pandemi Covid-19 dapat berjalan jika pemerintah menghasilkan kebijakan

yang memberikan keadilan hukum, kepastian hukum, dan kemanfaatan

hukum bagi masyarakat. Kesadaran hukum masyarakat diperlukan agar

berjalannya kebijakan hukum dan terhentinya wabah pandemic Covid-19

diIndonesia.
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Berdasarkan hasil analisis Undang-Undaang Nomor 6 tahun 2018 tentang

kekarantinaan kesehatan dapat di simpulkan bahwa pelaksanaan sanksi

pidana pelanggar kerumunan belum secara penuh mengikuti SOP (Standar

Oerasional Prosedur) yang di tentukan, hal ini menunjukan bahwa hasil

penertiban yang dilakukan oleh aparat kepolisian repolik indonesia.

Walaupun sudah ada peningkatan di tahun 2020 di setiap bulanya yang

menunjukan tingkat kerumunan di seluruh wilaya indonesia, akan tetapi

penjatuhan sanksi pidana pelanggar PSBB di rasa kurang tepat. Hal ini di

dasari pada hakikat dari sanksi pidana itu sendiri.diaman terdapat salah

satu asas dalam hukum pidana indonesia yang mengatakan bahwa hukum

pidana adalah ultimum remedium. Maksudnya adalah jika suatu perkara

dapat lebih dulu di selesaikan dengan jalur lain maka sebaiknya jalur iu

digunakan lebih dulu. hal ini menunjukan bahwa pelaksanaan sanksi

pidana yang di terapkan oleh aparat kepolisian masi belum mengikuti

ketentuan yang berlaku, dengan dapat di simpulkan bahwa UU NO 6 tahun

2018 belum efektif dalam melakukan penertiban saat di lakukan operasi di

lapangan.

2. Peraturan pemerintah (PP) No 21 tahun pembatasan sosial berskala besar

di rasa banyak pasal yang kontradiktif dengan UU NO 6 tahun 2018

tentang kekarantinaan kesehatan yang mengakibatkan

57
58

pelaksanaan sanksi pidana bagi pelanggar kerumunan tidak secara

maksimaldan merata. Padahal aparat kepolisian mempunyai wewenang

dalam mengatasi permasalahan yang timbul dalam pelanggar kerumunan

tersebut.

B. Saran

1. Untuk lebih mengoptimalksan efektifitas dari UU NO 6 tahun 2018

tentang kekarantinaan kesehatan ini, sebaiknya harus melakukan yang

namanya sosialisasi terlebih dahulu kepada masyarakat sehingga dalam

proses pelaksanaan tersebut tidak ada lagi yang merasa di rugikan dalam

massa penerapan PSBB ini, dan juga kepolisian harus mengikuti prosedur

yang di terapkan oleh pemerintah Indonesia.

2. Sebelum melakukan pembubaran terhadap kelompok yang menyebabkan

kerumunan pihak kepolisian harus benar benar tegas dalam penertipan

tersebut sehingga tingkat kerumunan dapat di atasi dan mengurangnya

Virus Covid-19 di indonesia. karena keselamatan rakyat adalah hukum

tertinggi selama tidak melanggar hak asasi manusia (HAM).


DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Cahyadi Antonius dan E. Fernando, Pengantar Filsafat Hukum, (Jakarta:

Kencana Perdana Group), 2007.

Dwika, Keadilan dan Dimensi Sistem Hukum, (Bandung: Mitra Acana), 1997.

Marzuki Petter Mahmud, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: PT. Kencana),

2008.

Moeljantno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta), 2002.

Pabbu Amirudin dan Syamsuddin Rahman, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta:

Balai Askara), 2009.

Soekanto Soerjono, Teori Murni Tentang Hukum, (Bandung: PT. Alumni),

1995.

Syahrani Riduan, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya

Bakti), 1999.

B. Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Undang-Undang No 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan.

Keputusan Menteri Kesehatan No 38 Tahun 2020 Tentang PSBB.

Maklumat Kapolri No 2 Tahun 2020 Tentang Penanganan Penyebaran Virus

Corona (Covid-19).

Peraturan Gubernur No 41 Tahun 2020 Tentang Pemberian Sanksi Bagi

Pelanggar.
C. Sumber Lainnya

Berita Terkini, Upaya Pelaksanaan Tindak Pidana Pelanggaran

Kekerumunan, http://hukum.kompasiana.com

http://www.kompas.id

http://www/prudential.co.id

Mario Julyano dan Aditya Yuli, Dasar-Dasar Pemikiran Hukum, http://e-

journal.uajy.ac.id.

Neva Claudia Meliala, Penerapan Sanksi Pidana Penjara Terhadap

Pelanggaran PSBB berdasarkan UU No 6 Tahun 2018 Tentang

Kekarantinaan Kesehatan.

Anda mungkin juga menyukai