Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH MATA KULIHUKUM RUMAH SAKIT

PENGELOLAAN LIMBAH MEDIS COVID-19 DI RUMAH SAKIT


BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 44 TAHUN 2009

TENTANG RUMAH SAKIT

DOSEN PENGAMPU
Dr. Yeni Triana, S.H., M.H.

KELOMPOK II, KELAS HUKUM KESEHATAN


1. RAHAYU FITRIAWATI NIM 2174101063
2. YULIA TIRTAYANTI NIM 2174101015
3. JUNI RAHMADHANI NIM 2174101098

PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM KESEHATAN

PASCASARJANA UNIVERSITAS LANCANG KUNING

PEKANBARU

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayahNya, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
Pengelolaan Limbah Medis Covid-19 Di Rumah Sakit Berdasarkan Undang-Undang
No. 44 Tahun 2009.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dosen
pada matakuliah Hukum Rumah Sakit. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk
menambah pengetahuan tentang Pengelolaan Limbah Medis Covid-19 di Rumah Sakit
berdasarkan Undang-Undang No. 44 Tahun 2009, baik bagi para pembaca dan juga
penulis.

Kami ucapkan terimakasih kepada Dr. Yeni Triana, S.H., M.H., selaku dosen
pengampu pada matakuliah Hukum Rumah Sakit yang telah memberikan tugas ini,
sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang
kami tekuni.

Kami sadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna, oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan
makalah ini.

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................................ii

DAFTAR ISI.........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang...........................................................................................1
B. Rumusan Masalah.....................................................................................4
C. Tujuan.........................................................................................................4

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengelolaan limbah medis covid-19 di Rumah


Sakit berdasarkan undang – undang No.44 Tahun 2009
Tentang Rumah sakit................................................................................5
B. Akibat hukum yang diterima Rumah Sakit
terhadap pelaksanaan pengelolaan limbah medis covid-19
yang tidak sesuai ......................................................................................7
C. Kerangka teori ..........................................................................................9

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan...............................................................................................13
B. Saran.........................................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................14

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Rumah sakit sebagai sarana upaya perbaikan kesehatan yang melaksanakan


pelayanan kesehatan sekaligus sebagai lembaga pendidikan tenaga kesehatan dan
penelitian memiliki dampak positif dan negatif terhadap lingkungan sekitarnya. Dampak
negatif tersebut salah satunya adalah residu pelayanan. Residu pelayanan dapat berupa
limbah bahan berbahaya dan beracun (B3). Apabila limbah B3 tersebut tidak dikelola
dengan baik, maka dapat menimbulkan kerugian terhadap kesehatan manusia, mahluk
hidup, dan lingkungan hidup. Kerugian tersebut dapat berupa pencemaran udara, tanah,
air dan laut. Upaya penyehatan lingkungan rumah sakit yang bertujuan untuk
melindungi masyarakat dan petugas rumah sakit perlu dilakukan untuk menghindari
bahaya pencemaran lingkungan yang bersumber dari limbah rumah sakit (Adisasmito,
2014; Sutrisno & Meilasari, 2020).1

Pelayanan Kesehatan rumah sakit menghasilkan limbah medis. Kegiatan


kesehatan seperti perawatan orang sakit baik dari poli umum, poli bedah, maupun dari
ruang perawatan rawat inap baik perawatan umum maupun perawatan penyakit
menular, laboratorium dan unit farmasi menghasilkan limbah medis yang bersifat
infeksius, phatogen, sitotoksik maupun yang mengandung radioaktif. Oleh karena itu
penanganan sampah medis tersebut harus dilakukan secara komprehensip sehingga
tidak menularkan penyakit pada tenaga kesehatan, pasien, pengunjung maupun
masyarakat.2

1
Sholihah, Enny Mar’atus, Amal Chalik Sjaaf, and Achmad Djunawan. "Evalusi Pengelolaan
Limbah Medis Sebelum dan Saat Pandemi Covid19 di Rumah Sakit Sentra Medika Cikarang." Jurnal
Manajemen Kesehatan Yayasan RS. Dr. Soetomo 7.1 (2021). Hlm. 106.
2
William, Lamawuran W. "Pengelolaan Limbah Medis Dari Penanganan Covid-19 Pada Rumah
Sakit dan Puskesmas Di Kota Kupang Tahun 2021." Oehònis 4.2 (2021): 64-69.

1
Dimasa pandemi covid-19 ini, pemerintah juga mewajibkan masyarakatnya,
terutama petugas kesehatan untuk selalu taat terhadap protokol kesehatan saat sedang
melakukan pelayanan kesehatan terhadap masyarakat seperti menggunakan masker,
face shield, sarung tangan medis, baju hazmat, dan juga cover shoes Alat Pelindung Diri
(APD). APD yang digunakan oleh tenaga kesehatan tersebut tentunya tidak dapat
digunakan berulang kali melainkan hanya bersifat sekali pakai saja. Yang mana
terhadap penggunaan alat pelindung tersebut tentunya menimbulkan penumpukan
limbah medis padat, baik dirumah sakit ataupun dirumah sakit darurat lainnya.
Penumpukan limbah medis di kala pandemi tentunya menjadi permasalahan tersendiri,
mengingat hal ini dapat menimbulkan pencemaran dilingkungan disekitar rumah sakit
ataupun rumah sakit darurat, yang dapat memberikan dampak negatif bagi masyarakat
sekitar, seperti terganggunya kesehatan, pencemaran air, pencemaran tanah dan juga
berpotensi terhadap penularan penyakit bagi masyarakt setempat.3

Limbah medis covid-19 perlu ditangani secara serius. Penelitian membuktikan


bahwa penyebab covid-19, virus Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2
(SARS-CoV-2), mampu bertahan dalam kondisi (suhu dan kelembapan) tertentu. Butuh
waktu beberapa hari bagi virus tersebut untuk tidak aktif menulari manusia, tergantung
pada jenis material permukaan media hidupnya. Namun, dengan proses disinfeksi
standar (penggunaan sabun, disinfektan atau dengan pemanasan) virus tersebut akan
mudah untuk tidak aktif atau dengan kata lain tidak menular (Chin, dkk, 2020).
Bayangkan saja jika limbah medis Covid-19 dibuang begitu saja tanpa penanganan,
seperti yang terjadi di Jagakarsa, Jakarta Selatan (health.detik.com, 8 April 2020) dan
Timika, Papua (radartimikaonline.com, 27 April 2020),4 serta beberapa waktu yang lalu
juga ditemukan limbah medis covid di laut bali, Denpasar (CNN Indonesia, 01 Februari
2022), hal ini tentu akan menimbulkan permasalahan baru di tengah upaya pemerintah
memutus mata rantai penularan Covid-19.5

3
Suprapto, Dian Pertiwi, Lia Meinda Sari, and Monnachu Wemonicha Lovina.
"Pertanggungjawaban Pidana Rumah Sakit dan/atau Rumah Sakit Darurat atas Kejahatan Dumping
Limbah Medis Padat di Masa Pandemi Covid-19." (2021): hlm.1244.

4
Prasetiawan, Teddy. "Permasalahan limbah medis covid-19 di indonesia." Info Singkat 12.9
(2020). hlm. 14.

2
Limbah Bahan Berahaya dan Beracun (B3) yang dihasilkan rumah sakit dapat
menyebabkan gangguan perlindungna kesehatan dan atau resiko pencemaran terhadap
lingkungan hidup. Mengingat besarnya dampak negatif limbah B3 yang ditimbulkan,
maka penanganan limbah B3 harus dilaksanakan secara tepat, mulai dair tahap
pewadahan, tahap pengangakutan, tahap penyimpanan sementara sampai dengan tahap
pengolahan.6 Hal tersebut sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor HK.01.07/Menkes/537/2020 tentang pedoman pengelolaan limbah
medis fasilitas layanan kesehatan (fasyankes) dan limbah dari kegiatan isolasi atau
karantina mandiri di masyarakat dalam penanganan Covid-19. Ini juga tertuang dalam
surat edaran nomor. SE.3/MENLHK/PSLB3/PLB.3/3/2021 tentang pengelolaan limbah
B3 dan sampah dari penanganan covid-19.

Berdasarkan undang – undang nomor 44 tahun 2009 tentang rumah sakit, rumah
sakit diselenggarakan berdasarkan Pancasila dan didasarkan kepada nilai kemanusiaan,
etika dan profesionalitas, manfaat, keadilan, persamaan hak dan anti diskriminasi,
pemerataan, perlindungan dan keselamatan pasien, serta mempunyai fungsi sosial.
Adapun persyaratan rumah sakit salah satunya adalah memenuhi ketentuan keselamatan
lingkungan dalam hal ini upaya pengelolaan lingkungan dan/atau dengan analisis
mengenai dampak lingkungan dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang –
undangan.7 Namun berdasarkan undang – undang tersebut ketentuan hukum terhadap
dampak negatif dari pengelolaan limbah medis masih sebatas denda, pencabutan izin
usaha dan pencabutan status badan hukum, baik itu bagi rumah sakit ataupun korporasi.

5
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220201124927-20-753707/bpspl-ungkap-asal-limbah-
medis-yang-berserak-di-pantai-selat-bali
6
Peraturan Mentri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 7 tahun 2009 tentang Kesehatan
lingkungan rumah sakit. hlm.50.
7
UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah sakit

3
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan diatas, maka rumusan masalah
dalam makalah ini adalah:

1. Bagaimanakah tanggung jawab Rumah Sakit dalam pengelolaan limbah medis


covid-19 berdasarkan UU No.44 Tahun 2009.
2. Bagaimanakah akibat hukum yang diterima Rumah Sakit terhadap pelaksanaan
pengelolaan limbah medis covid-19 yang tidak sesuai.

C. Tujuan

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk menambah pengetahuan terhadap
tanggung jawab rumah sakit dalam pengelolaan limbah medis covid-19 berdasarkan UU
No.44 Tahun 2009 serta akibat hukum yang ditimbulkan.

4
BAB II
PEMBAHASAN
PENGELOLAAN LIMBAH MEDIS COVID-19 DI RUMAH SAKIT
BERDASARKAN UNDANG – UNDANG NO. 44 TAHUN 2009
TENTANG RUMAH SAKIT

A. Pengelolaan limbah medis covid-19 berdasarkan Undang - Undang No.44


Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit.
Rumah sakit sebagai institusi pelayanan kesehatan tentunya memiliki kewajiban
seperti yang diatur dalam kode etik rumah sakit. Kewajiban rumah sakit juga diatur
dalam undang – undang nomor 44 tahun 2009 tentang rumah sakit. Berdasarkan undang
– undang tersebut, sebuah rumah sakit harus memenuhi persyaratan, salah satunya
instalasi pengelolaan limbah yang termasuk dalam prasarana rumah sakit, dimana harus
memenuhi standar pelayanan, keamanan, terpelihara dan berfungsi dengan baik
(sebagaimana yang tertera dalam pasal 7 dan pasal 11). Disamping itu persyaratan
sebuah rumah sakit salah satunya adalah memenuhi ketentuan keselamatan lingkungan
dalam hal ini upaya pengelolaan lingkungan dan/atau dengan analisis mengenai dampak
lingkungan dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang – undangan. 8 Adapun
panduan mengenai pengelolaan limbah rumah sakit dituangkan dalam peraturan
pemerintah, termasuk limbah medis pada masa pandemic covid-19.
Pemerintah dalam hal ini kementrian kesehatan telah mengeluarkan panduan
tentang pengelolaan limbah rumah sakit melalui PMK No 7 Tahun 2019 tentang
Kesehatan lingkungan rumah sakit, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor HK.01.07/Menkes/537/2020 tentang pedoman pengelolaan limbah medis
fasilitas layanan Kesehatan (fasyankes) dan limbah dari kegiatan isolasi atau karantina
mandiri di masyarakat dalam penanganan Covid-19, serta surat edaran Nomor
SE.3/MENLHK/PSLB3/PLB.3/3/2021 tentang pengelolaan limbah B3 dan sampah dari
penanganan covid-19.
8
UU No.44 Tahun 2009 tentang rumah sakit

5
Dalam rangka menjamin pengelolaan limbah medis di seluruh wilayah Indonesia,
pemerintah telah mengeluarkan surat edaran yang ditujukan kepada pihak-pihak terkait,
antara lain: Surat MENLHK Nomor 167 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Limbah B3
Medis pada Fasyankes Darurat Covid-19; Surat Edaran MENLHK Nomor 02 Tahun
2020 tentang Pengelolaan Limbah Infeksius (Limbah B3) dan Sampah Rumah Tangga
dari Penanganan Covid-19; dan Surat Dirjen Pengelolaan Sampah, Limbah, dan B3
Nomor 156 Tahun 2020 Perihal Pengelolaan Limbah B3 Masa Darurat Penanganan
Covid-19. Pada intinya, surat edaran tersebut merupakan upaya optimalisasi kapasitas
pengelolaan limbah medis di Indonesia, baik yang dilakukan oleh fasilitas pelayanan
kesehatan (fasyankes) atau jasa pengelola limbah B3 berizin. SE MENLHK Nomor 02
Tahun 2020 memungkinkan fasyankes untuk mengolah limbah B3 meskipun belum
mengantongi izin dengan menggunakan incinerator dengan suhu mininal 8000C atau
menggunakan autoclave yang dilengkapi shredder.9

Penanganan limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) harus memperhatikan


prinsip pengelolaan limbah B3 rumah sakit. Upaya-upaya yang wajib dilakukan adalah
mengidentifikasi jenis limbah B3, memperhatikan tahapan penanganan pewadahan dan
pengangkutan limbah B3 diruangan sumber, memperhatikan cara pengurangan dan
pemilahan limbah B3, memperhatikan persyaratan bangunan Tempat Penyimpanan
Sementara (TPS) di rumah sakit, memperhatikan pemilahan limbah B3 di rumah sakit
yang dilakukan di TPS limbah B3, memperhatikan cara penyimpanan sementara limbah
B3, memperhatikan lamanya penyimpanan limbah B3 untuk jenis limbah karakteristik
infeksius, benda tajam dan patologis di rumah sakit sebelum diangkut, memperhatikan
cara pengangkutan limbah B3, hingga cara pengolahan limbah B3.10

Setiap fasilitas kesehatan, termasuk Rumah Sakit berkewajiban atau memiliki


tanggung jawab untuk melakukan pengelolaan limbah B3. Menurut Pasal 5 Peraturan
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.56/MENLHK-

9
Prasetiawan, Teddy. "Permasalahan limbah medis covid-19 di indonesia." Info Singkat 12.9
(2020). hlm. 15.
10
Nurwahyuni, Niki Tri, et al. "Pengolahan Limbah Medis COVID-19 Pada Rumah Sakit." Jurnal
Kesehatan Lingkungan 10.2 (2020): hlm. 53.

6
SETJEN/2015 pengelolaan Limbah B3 yang timbul dari fasilitas pelayanan kesehatan
terdiri dari tahapan:11

a. Pengurangan dan pemilihan limbah B3;


b. Penyimpanan limabah B3;
c. Pengangkut limbah B3;
d. Pengolahan limbah B3;
e. Penguburan limbah B3; dan/atau
f. Penimbunan limbah B3.

Pengelolaan limbah B3 dari fasilitas pelayanan kesehatan yang efektif harus


mempertimbangkan elemen pokok pengelolaan limbah, yaitu pengurangan, pemilahan
dan identifikasi limbah yang tepat. Penanganan, pengolahan dan pembuangan yang
tepat akan mengurangi biaya pengelolaan limbah dan memperbaiki perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup. Rumah Sakit bertanggung jawab untuk Melaksanakan
Evaluasi Tata Cara dan Persyaratan Teknis Pengelolaan Limbah B3 Rumah Sakit. Hal
ini dimaksudkan agar pengelolaan limbah medis yang tergolong limbah B3 dapat
dikelola dengan baik dan sesuai dengan tata cara serta persyaratan teknis sebagaimana
yang tertuang dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik
Indonesia Nomor P.56/Memlhk-Setjen/2015 tentang Tata Cara dan Persyaratan Teknis
Pengelolaan Limbah Bahan Beracun dan Berbahaya dari Fasilitas Pelayanan
Kesehatan.12

Limbah B3 yang berasal dari fasyankes dalam penanganan Covid-19 dilakukan


langkah-langkah penanganan berupa melakukan penyimpanan limbah infeksius dalam
kemasan yang tertutup paling lama 2 (dua) hari sejak dihasilkan, mengangkut dan/atau
memusnahkan pada pengolahan limbah B3 (fasilitas incenerator dengan suhu
pembakaran minimal 8000C atau dengan autoclave yang dilengkapi dengan
pencacah/shredder), residu hasil pembakaran atau cacahan hasil autoclave dikemas dan

11
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.56 /
Menhlk-Setjen / 2015 Tentang Tata Cara Dan Persyaratan Teknis Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya
Dan Beracun Dari Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
12
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.56 /
Menhlk-Setjen / 2015 Tentang Tata Cara Dan Persyaratan Teknis Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya
Dan Beracun Dari Fasilitas Pelayanan Kesehatan.

7
dilekati simbol “beracun” dan label limbah B3 yang selanjutnya disimpan di tempat
penyimpanan sementara limbah B3 untuk selanjutnya diserahkan kepada pengelola
limbah B3.13

Tren kenaikan jumlah timbulan limbah medis terjadi di seluruh negara di dunia.
Selama wabah Covid-19 berlangsung di Provinsi Hubei, Tiongkok, tercatat kenaikan 6
kali timbulan normal limbah medis, dari 40 ton/hari menjadi 240 ton/hari (Shi dan
Zheng, 2020). Asian Development Bank (ADB) memprediksi DKI Jakarta saja akan
menghasilkan limbah medis 212 ton/hari (adb.org, 2020). Sementara itu jumlah fasilitas
pengelolaan limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) yang ada di Indonesia masih
terbatas. Fakta menunjukkan. bahwa dari 132 Rumah Sakit (RS) rujukan yang ditunjuk
pemerintah untuk merawat pasien Covid-19, baru 20 RS saja yang memiliki insinerator
berizin. Di sisi lain, dari total 2.889 RS yang beroperasi, baru 110 RS saja yang
memiliki fasilitas insinerator berizin (Soemiarno, 2020).14

B. Akibat hukum yang diterima rumah sakit terhadap pelaksanaan pengelolaan


limbah medis covid-19 yang tidak sesuai.
Limbah medis Covid-19 perlu ditangani secara serius. Penelitian membuktikan
bahwa penyebab Covid-19, virus Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2
(SARS-CoV-2), mampu bertahan dalam kondisi (suhu dan kelembapan) tertentu. Butuh
waktu beberapa hari bagi virus tersebut untuk tidak aktif menulari manusia, tergantung
pada jenis material permukaan media hidupnya. Namun, dengan proses disinfeksi
standar (penggunaan sabun, disinfektan atau dengan pemanasan) virus tersebut akan
mudah untuk tidak aktif atau dengan kata lain tidak menular (Chin, dkk, 2020).
Bayangkan saja jika limbah medis Covid-19 dibuang begitu saja tanpa penanganan,
seperti yang terjadi di Jagakarsa, Jakarta Selatan (health.detik.com, 8 April 2020) dan

13
Nurwahyuni, Niki Tri, et al. "Pengolahan Limbah Medis COVID-19 Pada Rumah Sakit." Jurnal
Kesehatan Lingkungan 10.2 (2020): hlm. 53.
14
Prasetiawan, Teddy. "Permasalahan limbah medis covid-19 di indonesia." Info Singkat 12.9
(2020). Hlm. 13-14

8
Timika, Papua (radartimikaonline.com, 27 April 2020),15 serta beberapa waktu yang lalu
juga ditemukan limbah medis covid di laut bali, Denpasar (CNN Indonesia, 01 Februari
2022), hal ini tentu akan menimbulkan permasalahan baru di tengah upaya pemerintah
memutus mata rantai penularan Covid-19.16

Terkait pengangkutan limbah medis, rumah sakit dapat bekerjasama dengan


korporasi. Adapun bentuk kerja sama yang dilakukan adalah secara 2 pihak yaitu antara
rumah sakit dengan pengangkut sekaligus sebagai pengolah limbah. Atau kerja sama 3
pihak antara rumah sakit-pengangkut limbah-pengolah limbah. Selain itu disyaratkan
bahwa pengangkut berupa badan hukum bukan orang pribadi. Hal ini terkait dengan
persyaratan sarana, perijinan dan tanggung jawab hukum bila terjadi pencemaran
lingkungan dalam proses pengangkutan limbah medis.17

Berdasarkan undang – undang nomor 44 tahun 2009, didalam pasal 46 tertera


bahwa rumah sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang
ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga Kesehatan di rumah sakit. Pada
pasal 63 juga dijelaskan bahwa tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi, selain
pidana denda, korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan izin usha
dan/atau pencabutan status badan hukum.18 Dari sini terlihat bahwa pencemaran
lingkungan akibat dari limbah medis rumah sakit masih terbatas pada tuntutan
pencabutan ijin dan/atau ganti rugi.

C. Kerangaka Teori
15
Prasetiawan, Teddy. "Permasalahan limbah medis covid-19 di indonesia." Info Singkat 12.9
(2020). hlm. 14.
16
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220201124927-20-753707/bpspl-ungkap-asal-
limbah-medis-yang-berserak-di-pantai-selat-bali
17
Dwita, Anindya, and Mohammad Zamroni. "Tanggung Jawab Hukum Jasa pengangkut Limbah
Dalam Pengelolaan Limbah Medis Padat Rumah Sakit." Jurnal Hukum dan Etika Kesehatan (2021) hlm.
55.
18
UU No 44 Tahun 2009 Tentang rumah sakit

9
1. Tanggung jawab rumah sakit

Teori Tanggung Jawab Mutlak (strict liability)

Asas tanggung jawab mutlak (strict liability) merupakan prinsip


pertanggungjawaban hukum (liability) yang telah berkembang sejak lama, yakni berasal
dari sebuah kasus di Inggris (Rylands v. Fletcher) pada tahun 1868.1 Kemudian asas ini
diadopsi dalam berbagai peraturan perundangan nasional dan konvensi – konvensi
internasional. Indonesia menundukkan diri untuk menerapkan asas ini sebagai pihak
atau peratifikasi dan konvensi internasional, yang kemudian secara tegas mengaturnya
dalam peraturan perundang – undangan nasional. Salah satunya dalam UU No. 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.19

Prinsip tanggung jawab mutlak (Strict Liability) merupakan gagasan yang


disampaikan dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaaan
Lingkungan Hidup Pasal 88 “Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau
kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau
yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab
mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan”. Didalam
penjelasan Pasal 88 “Yang dimaksud dengan “bertanggung jawab mutlak” atau strict
liability adalah unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai
dasar pembayaran ganti rugi”. Ketentuan ayat ini merupakan lex specialis dalam
gugatan tentang perbuatan melanggar hukum pada umumnya. Dengan mengandalkan
doktrin pertanggungjawaban liability based on fault, maka penegakan hukum
lingkungan melalui pengadilan akan menghadapi berbagai kendala. Hal ini disebabkan
persyaratan penting yang harus dipenuhi dalam unsur negligence atau fault (kesalahan).
Sehingga apabila tergugat (pencemar) berhasil menunjukkan kehati-hatiannya walaupun
ia telah mengakibatkan kerugian, maka ia dapat terbebas dari tanggung jawab.20

19
Riswanti, Ade Risha. "Tanggung Jawab Mutlak (Strict Liability) dalam Penegakan Hukum
Perdata Lingkungan di Indonesia." (2019). Hlm. 2.
20
Ibid. hlm. 3.

10
Keberadaan asas tanggung jawab mutlak tersebut ternyata belum dapat
dilaksanakan secara maksimal, karena berseberangan dengan sistem dalam pembuktian
dalam proses hukum acara perdata yang telah ditentukan dalam Pasal 1865 BW jo 163
HIR/263 RBg bahwa barangsiapa yang mendalilkan atas suatu hak, maka ia wajib
membuktikan dalilnya tersebut, yang berarti bahwa penggugatlah yang diwajibkan
untuk membuktikan telah terjadi pencemaran lingkungan yang mengakibatkan kerugian,
serta harus membuktikan adanya unsur kesalahan si pelaku dalam pencemaran dan
perusakan lingkungan tersebut. Dan apabila unsur kesalahan tersebut tidak dapat
dibuktikan maka tidak ada ganti kerugian. penerapan asas strict liability juga belum
dapat dimaksimalkan dikarenakan ketentuan dalam Pasal 88 UU No. 32 tahun 2009
sendiri juga telah membatasi dalam hal tertentu dapat digunakannnya
pertanggungjawaban secara mutlak (strict liability), yaitu hanya terhadap pencemaran
lingkungan yang mengandung limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun). Padahal
pencemaran dan perusakan lingkungan sekecil apapun pasti akan berdampak pada
berkurangnya kualitas lingkungan sebagai penunjang kehidupan manusia yang akhirnya
pasti juga akan berdampak pada keberlangsungan hidup manusia sendiri.21

Dalam tuntutan pidana, kesalahan tidak saja dibebankan kepada petugas di


lapangan, namun juga kepada perusahaan dimana petugas tersebut bekerja, yang dapat
dikategorikan sebagai tanggung jawab korporasi. Sayangnya kesulitan terbesar dalam
tuntutan pidana korporasi adalah beban pembuktian kesalahan, sulit membuktikan
adanya unsur kesalahan pada korporasi dan unsur kesalahan pada seseorang yang
bekerja di lingkungan korporasi. Titik strategis dalam sistem peradilan pidana adalah
pada saat pembuktian, melalui proses pembuktian di pengadilan akan ditentukan apakah
kekuatan pembuktian dari setiap alat bukti yang diajukan akan menjadikan seseorang
(korporasi/orang) terdakwa dibebaskan atau dilepaskan dari segala tuntutan atau
dipidana, oleh karena itu sangat disarankan digunakannya asas tanggung jawab mutlak
dalam tuntutan pidana lingkungan hidup (Ridho Kurniawan dan Siti Nurul Intan,
2014:153-168).22

2. Tanggung Jawab Hukum Korporasi


21
Riswanti, Ade Risha. "Tanggung Jawab Mutlak (Strict Liability) dalam Penegakan Hukum
Perdata Lingkungan di Indonesia." (2019). Hlm. 5.

11
Korporasi merupakan istilah yang biasa digunakan oleh para ahli hukum pidana
dan kriminologi untuk menyebut apa yang dalam bidang hukum lain khususnya dalam
bidang perdata sebagai badan hukum atau dalam bahasa Belanda disebut rechtperson.23
Beberapa batasan pengertian kejahatan dalam kaitannya dengan korporasi
diantaranya adalah:24
1. Crime For Corporation
Merupakan kejahatan korporasi yang dilakukan untuk kepentingan korporasi
itu sendiri bukan untuk kepentingan individu atau pelaku. Ini dilakukan oleh
korporasi (pengurus) semata-mata hanya untuk keuntungan korporasi.
2. Crime Againt Corporation
Kejahatan yang dilakukan untuk kepentingan individu yang sering dilakukan
pekerja korporasi (employee crime) terhadap korporasi tersebut, misalnya
penggelapan dana perushaan oleh pejabat atau karyawan dari korporasi itu
sendiri.
3. Criminal corporation
Korporasi yang sengaja dikendalikan untuk melakukan kejahatan, kedudukan
korporasi disini hanya sebagai saran untu melakukan kejahatan korporasi
hanya sebagai topeng dari tujuan jahatnya.

Konsep pertanggungjawaban pidana korporasi25

22
Dwita, Anindya, and Mohammad Zamroni. "Tanggung Jawab Hukum Jasa pengangkut Limbah
Dalam Pengelolaan Limbah Medis Padat Rumah Sakit." Jurnal Hukum dan Etika Kesehatan (2021) hlm.
55.
23
Rodliyah, Rodliyah, Any Suryani, dan Lalu Husni. "Konsep pertanggungjawaban pidana
Korporasi (Corporate Crime) dalam sistem HuKum pidana indonesia." Jurnal Kompilasi Hukum 5.1
(2020). hlm. 194.
24
Ibid. hlm. 196.
25
Rodliyah, Rodliyah, Any Suryani, and Lalu Husni. "Konsep pertanggungjawaban pidana
Korporasi (Corporate Crime) dalam sistem HuKum pidana indonesia." Jurnal Kompilasi Hukum 5.1
(2020). hlm. 200-202.

12
1. Teori strict liability
Di bidang hukum pidana, strict liability berarti niat jahat atau “mensrea” tidak
harus dibuktikan dalam kaitan dengan satu atau lebih unsur yang mencerminkan
sifat melawan hukum atau “actus reus”, meskipun niat, kecerobohan atau
pengetahuan mungkin disyaratkan dalam kaitan dengan unsur-unsur tindak
pidana yang lain.
Menurut Prof. Barda Nawawi, teori tersebut dapat disebur juga dengan doktrin
pertanggungjawaban pidana yang ketat menurut undang-undang atau “strict
liability”. Kerangka pemikiran ini merupakan konsekuensi dari korporasi
sebagai subjek hukum yaitu dalam korporasi melanggar atau tidak memenuhi
kewajiban tertentu yang disyaratkan oleh Undang-Undang maka subjek hukum
buatan tersebut harus bertanggungjawab secara pidana.
2. Teori vicarious lability
Berdasarkan teori ini, maka secara umum dapat dikatakan bahwa atasan harus
bertanggungjawab atas apa yang dilakukan oleh bawahannya. Sebagaimana
didefinisikan bahwa prinsip hukum “vicarious liability” adalah seseorang
bertanggungjawab untuk perbuatan yang dilakukan oleh orang lain, Ketika
keduanya termasuk dalam suatu bentuk kegiatan gabungan atau kegiatan
Bersama. Doktrin tersebut secara tradisional merupakan konsepsi yang muncul
dari system hukum “common law”, yang disebut sebagai “respondeat superior”,
yaitu tanggungjawab sekunder yang muncul dari “doctrine of agency”, dimana
atasan bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukan oleh bawahanannya.
3. Terori identification
Pertanggungjawaban pidana langsung atau “direct liability” (yang juga berarti
nonvicarious), menyatakan bahwa para pegawai senior korporasi, atau ornga-
orang yang mendapat delegasi wewenang dari mereka, dipandang dengan tujuan
tertentu dan dengan cara yang khusus, sebagai korporasi itu sendiri, dengan
akibat bahwa perbuatan dan sikap batin mereka dipandang secara langsung
menyebabkan perbuatan-perbuatan tersebut atau merupakan sikap tersebut, atau
merupakan sikap batin dari korporasi. Ruang lingkup tindak pidana yang
mungkin dilakukan oleh korporasi sesuai dengan prinsip ini lebih luas,

13
disbanding dengan apabila didasarkan pada doktrin “vicarious”. Teori tersebut
menyatakan bahwa perbuatan atau kesalahan pejabat senior (pejabat senior)
diidentifijasi sebagai perbuatan atau kesalahan korporasi. Konsep ini disebut
juga doktrin “alater ego” atau “teori organ”
Ketetapan untuk meminta pertanggungjawaban korporasi dalam bentuk
pertanggungjawaban pengurusnya juga dapat dilihat dalam Pasal 46 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992: “ Dalam hal kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dilakukan oleh badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas, perserikatan,
Yayasan atau koperasi, maka penuntuu terhadap badan-badan dimaksud dilakukan baik
terhadap mereka yang memberi perintah melakukan perbuatan itu atau yang bertindak
sebagai pimpinan dalam perbuatan itu atau terhadap keduanya”.26

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

26
Rodliyah, Rodliyah, Any Suryani, and Lalu Husni. "Konsep pertanggungjawaban pidana
Korporasi (Corporate Crime) dalam sistem HuKum pidana indonesia." Jurnal Kompilasi Hukum 5.1
(2020): hlm. 203-204.

14
Pelayanan kesehatan rumah sakit menghasilkan limbah medis. Saat ini limbah
medis covid-19 perlu ditangani dengan serius. Namun fasilitas pengelolaan limbah
Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) yang ada di Indonesia masih terbatas. Berdasarkan
UU Nomor 44 tahun 2009, Rumah sakit harus memenuhi persyaratan, yang salah
satunya adalah instalasi pengelolaan limbah harus memenuhi ketentuan keselamatan
lingkungan. Namun pada kenyataannya dimasa pandemi covid-19 saat ini rumah sakit
belum maksimal melakukan tugas dan tanggung jawabnya dalam pengelolaan tersebut.
Adapun sanksi pidana berdasarkan UU Nomor 44 Tahun 2009, hanya terbatas pada
sanksi denda atau pencabutan ijin usaha.

B. Saran
Wabah Covid-19 seharusnya dapat menjadi momentum bagi Indonesia untuk
memperbaiki sistem pengelolaan sampah dan pengelolaan limbah B3. Fasilitas
pengelolaan limbah medis yang tidak merata di seluruh Indonesia memungkinkan untuk
melibatkan pihak industri yang memiliki fasilitas insinerasi serta pemerintah hendaknya
menciptakan iklim investasi yang sehat bagi jasa pengolah dan pengangkutan limbah
medis.

DAFTAR PUSTAKA

Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah sakit.


Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992

15
Peraturan Mentri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 7 tahun 2009 tentang
Kesehatan lingkungan rumah sakit.

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor


P.56 / Menhlk-Setjen / 2015 Tentang Tata Cara Dan Persyaratan Teknis Pengelolaan
Limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun Dari Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
Dwita, Anindya, and Mohammad Zamroni. 2021. "Tanggung Jawab Hukum Jasa
pengangkut Limbah Dalam Pengelolaan Limbah Medis Padat Rumah Sakit." Jurnal
Hukum dan Etika Kesehatan.
Nurwahyuni, Niki Tri, et al. 2020. "Pengolahan Limbah Medis COVID-19 Pada
Rumah Sakit." Jurnal Kesehatan Lingkungan 10.2.

Prasetiawan, Teddy. 2020. "Permasalahan limbah medis covid-19 di indonesia."


Info Singkat 12.9.
Riswanti, Ade Risha. 2019. "Tanggung Jawab Mutlak (Strict Liability) dalam
Penegakan Hukum Perdata Lingkungan di Indonesia."
Rodliyah, Rodliyah, Any Suryani, and Lalu Husni. 2020. "Konsep
pertanggungjawaban pidana Korporasi (Corporate Crime) dalam sistem HuKum pidana
indonesia." Jurnal Kompilasi Hukum 5.1

Sholihah, Enny Mar’atus, Amal Chalik Sjaaf, dan Achmad Djunawan. 2021.
"Evalusi Pengelolaan Limbah Medis Sebelum dan Saat Pandemi Covid19 di Rumah
Sakit Sentra Medika Cikarang." Jurnal Manajemen Kesehatan Yayasan RS. Dr.
Soetomo 7.1.
Suprapto, Dian Pertiwi, Lia Meinda Sari, dan Monnachu Wemonicha Lovina.
2021. "Pertanggungjawaban Pidana Rumah Sakit dan/atau Rumah Sakit Darurat atas
Kejahatan Dumping Limbah Medis Padat di Masa Pandemi Covid-19."
William, Lamawuran W. 2021. "Pengelolaan Limbah Medis Dari Penanganan
Covid-19 Pada Rumah Sakit dan Puskesmas Di Kota Kupang Tahun 2021." Oehònis 4.2
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220201124927-20-753707/bpspl-
ungkap-asal-limbah-medis-yang-berserak-di-pantai-selat-bali

16

Anda mungkin juga menyukai