Anda di halaman 1dari 1

Kelompok 2 (Asep, Syifa, Sovi, Marshanda, Salsabila, Diah, Ilham, Yoga)

Krisis Moneter 1998

Krisis keuangan Asia merupakan periode krisis keuangan yang menimpa hampir seluruh Asia Timur termasuk Indonesia pada
Juli 1997 dan menimbulkan kepanikan bahkan ekonomi dunia runtuh akibatnya. Krisis moneter ini bermula dari turunnya nilai
tukar mata uang Thailand Baht, Ringgit Malaysia, Won Korea Selatan dan pada pertengahan tahun 1998 telah menyebabkan
nilai Rupiah menurun tajam terhadap dolar Amerika Serikat.

Selain itu, adanya utang swasta luar negeri yang telah mencapai jumlah yang sangat besar dengan waktu pembayaran yang
singkat memberikan tekanan yang sangat berat terhadap nilai tukar rupiah karena tidak memiliki devisa yang cukup untuk
membayar utang beserta bunganya. Disertai pemerintah yang menyebabkan nilai rupiah terus menerus overvalued dan suku
bunga yang tinggi sehingga pinjaman yang tersedia di dalam negeri (dalam rupiah) menjadi sangat mahal, berbanding terbalik
dengan pinjaman mata uang asing (dalam dollar) yang menjadi sangat murah. Utang luar negeri akhirnya semakin besar dan
tidak adanya pengawasan yang lebih ketat oleh pemerintah kepada utang – utang tersebut, kecuali hutang yang berkaitan
dengan proyek pemerintah dengan dibentuknya tim PKLN. Terbukti pada awal Mei 1998 jumlah utang swasta diperkirakan
mencapai US$ 63 hingga US$ 64 Miliar yang sebagian besar tidak disertai hedge (lindung nilai). Sedangkan, utang pemerintah
berkisar US$53,5 Miliar.

Kemudian, dampak dari krisis moneter yang terjadi pada 1998 terhadap perekonomian Indonesia yaitu diawali dengan
penurunan drastis nilai mata uang rupiah hanya dalam jangka waktu satu tahun, yang mencapai 600% dari angka Rp 2.380 per
satu dolarnya menjadi Rp16.650 pada bulan Juli 1998. Anjloknya rupiah secara dramatis, juga menyebabkan pasar uang dan
pasar modal rontok, bank-bank nasional mengalami kredit macet. Kemudian, banyak perusahaan yang mengalami
kebangkrutan karena gagal membayar utang dan kehilangan kepercayaan investor. Dengan bangkrutnya perusahaan, memaksa
perusahaan untuk melakukan PHK dan akhirnya menyebabkan banyak pengangguran. Seiring meningkatnya pengangguran,
harga barang pun juga meningkat disebabkan oleh inflasi yang terus terjadi.

Dalam upaya peningkatan ekonomi pasca krisis tahun 1998, pemerintah melakukan beberapa cara untuk melepaskan diri dari
krisis, salah satunya adalah kebijakan moneter dan fiskal. Kebijakan fiskal yang diterapkan pemerintah ialah defisit APBN
diperlonggar menjadi 8,5% dari PDB, terutama untuk membiayai program-program Jaring Pengaman Sosial (JPS) dan
penyediaan kebutuhan pokok dengan cara pemerintah mengupayakan tambahan utang dan melakukan privatisasi beberapa
BUMN. Kebijakan moneter yang diterapkan pemerintah ialah mengendalikan jumlah uang yang beredar melalui operasi pasar
terbuka dengan meningkatkan suku bunga SBI yang tercepat pada Agustus 1998 mencapai nilai tertinggi sebesar 69,51%.
Keberhasilan dari kebijakan fiskal dan moneter yang dilakukan pemerintah terlihat pada Oktober 1998, dimana nilai tukar
rupiah semakin terkendali di kisaran Rp7.000-8.000 per dolar AS dan pertumbuhan ekonomi yang pada 1998 minus 13%, pada
1999 sudah mampu tumbuh meski hanya 2%. Inflasi yang pada 1998/99 mencapai 45,4% secara berangsur turun.

Selain kebijakan fiskal dan moneter, pemerintah juga membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) berdasarkan
Keputusan Presiden Nomor 27 Tahun 1998. Tugas pokok BPPN adalah untuk penyehatan perbankan, penyelesaian aset
bermasalah dan mengupayakan pengembalian uang negara yang tersalur pada sektor perbankan. Di zaman kepemimpinan
Glenn Yusuf, BPPN melengkapi organisasinya dengan divisi Asset Management Credit (AMC) dan Asset Management
Investment (AMI). AMC menangani kredit bermasalah dari bank-bank yang ditutup atau diambil pemerintah. Sementara AMI
menangani aset bank atau pemilik bank. Nilai seluruh aset yang berada di tangan AMC dan AMI berjumlah Rp. 640 triliun.

Mengenai utang yang melampaui batas terdapat upaya yaitu dengan merestrukturisasi hutang luar negeri. Tindakan ini
dimaksudkan pemerintah untuk memprioritaskan pendanaan-pendanaan yang sangat urgen terhadap perkembangan ekonomi
untuk mengatasi krisis yang ada, sehingga dengan adanya restrukturisasi utang maka pemerintah dapat melakukan penundaan
pembayaran utang luar negeri Indonesia.

Tentunya dampak jangka panjang yang terjadi disini tentunya adalah kekhawatiran yang masih menghantui warga Indonesia
terkait dengan krisis moneter. Akan tetapi paranoid tersebut menjadi hal yang positif karena pemerintah senantiasa mengambil
pelajaran dan melakukan kebijakan kebijakan untuk menghadapi kejadian seperti krisis moneter. Seperti yang sedang terjadi
sekarang ini bahwa pemerintah memutar otak untuk menghidupkan ekonomi kembali akibat pandemi dengan belajar dari
krismon 1998.1

1
Sari, Putri Keumala, and Fakhruddin Fakhruddin. "Identifikasi Penyebab Krisis Moneter dan Kebijakan Bank Sentral di Indonesia: Kasus
Krisis Tahun (1997-1998 dan 2008)." Jurnal Ilmiah Mahasiswa Ekonomi Pembangunan 1.2 (2016): 377-388.

Anda mungkin juga menyukai