Anda di halaman 1dari 2

Pada awalnya istilah pedestrian muncul pada masa pemerintahan Yunani kuno, berasal dari kata

“pedos” yang berarti kaki, dan sering diartikan sebagai pejalan kaki. Pedestrian juga berasal dari
Bahasa latin yaitu pedes-pedestris yang artinya pejalan kaki atau secara harafiah pedestrian berarti
“person walking in the street”, orang yang berjalan di jalan. Sedangkan menurut Washington State
Law (dalam Kaliongga, 2014) pedestrian adalah “setiap orang yang mempunyai kaki atau yang
menggunakan kursi roda atau sarana angkut yang didorong oleh tenaga manusia selain sepeda.
Fasilitas pejalan kaki dibedakan menjadi (Tanan 2011):
1. Fasilitas utama, yakni berupa jalur pejalan kaki, misalnya trotoar dan penyeberangan baik
sebidang maupun tidak sebidang.
2. Fasilitas pendukung, berupa segala sarana pendukung, misalnya: rambu, marka, pengendali
kecepatan, papan informasi, lapak tunggu, lampu penerangan, pagar pengaman, pelindung/
peneduh, jalur hijau, tempat duduk, tempat sampah, halte, drainase, bollard, dan lain
sebagainya.
Dalam Program Pembangunan Kota Hijau (P2KH) (Kementerian PU 2011), moda berjalan menjadi
salah satu indikator penting yang perlu dipertimbangkan dalam kriteria kota layak huni (liveable
city).
Pejalan kaki harus berjalan pada trotoar dan menyeberang pada tempat penyeberangan yang telah
disediakan untuk melindunginya dalam berlalu lintas (Ahmad & Soeparyanto, 2013).
Jalur pejalan kaki harus mempertimbangkan lebar, perkerasan serta fasilitas-fasilitas yang
menunjang seperti penerangan jalan, tempat sampah serta fasilitas pelengkap jalan lainnya.
Menurut Pramita, Wardhani, dan Sari (2014)
Fenomena yang sering terjadi yaitu penyalahgunaan fungsi jalur pejalan kaki sebagai tempat
berjualan pedagang kaki lima dan pengemis (Mayona & Azhari, 2013).
Terkait dengan hal tersebut maka untuk mewujudkan suatu jalur pejalan kaki yang ramah terhadap
penggunanya perlu dilakukannya implementasi konsep walkability, hal yang mampu mendorong
masyarakat untuk memilih berjalan kaki dalam melakukan pergerakannya dari satu tempat ke
tempat yang lain adalah ketersediaan jalur pejalan kaki yang memberikan rasa aman dan nyaman
(Musriati, 2014)
Menurut Land Transport New Zealand. (2007) Walkability adalah suatu kondisi yang
menggambarkan sejauh mana suatu lingkungan dapat bersifat ramah terhadap para pejalan kaki.
Menurut (City of Fort Collins, 2011) Walkability dapat diartikan sebagai suatu ukuran tingkat
keramahan suatu lingkungan terhadap para pejalan kaki dalam suatu area.
Dalam Erlangga 2020 pengertian Walkability Menurut NZ Transport Agency pedestrian planning and
design guide, adalah kondisi sejauh apa suatu lingkungan memiliki kesan ramah lingkungan terhadap
para pejalan kaki, serta menurut Victoria Transport Policy Institute, walkability memperhitungkan
beberapa parameter, yakni kualitas fasilitas, konektivitas jalur, kondisi jalan, pola tata guna lahan,
dukungan masyarakat, kenyamanan, serta rasa aman saat berjalan.
Konsep walkability diperkenalkan sebagai salah satu indikator pengembangan kota berkelanjutan.
Dengan berjalan kaki, kemacetan dan polusi udara yang dihasilkan oleh motorized transportation
dapat dikurangi (Forsyth, 2015)
Telah banyak metode yang dikembangkan dalam mengukur walkability, salah satunya adalah
metode pengukuran walkability yang dikembangkan oleh Holly Krambeck untuk World Bank yang
dikenal sebagai GWI.
Global Walkability Index (GWI) yang dikembangkan oleh Krambeck (2006), adalah sebagai acuan
tingkat kenyamanan berjalan kaki seseorang pada suatu area. Terdapat 9 (sembilan) aspek yang
harus diperhatikan yakni
1. Konflik jalur pejalan kaki dengan moda transportasi lain;
2. Ketersediaan jalur pejalan kaki;
3. ketersediaan penyeberangan;
4. keamanan penyeberangan;
5. sikap pengendara motor;
6. amenities (kelengkapan pendukung);
7. infrastruktur penunjang kelompok penyandang cacat (disabled);
8. kendala atau hambatan; dan
9. keamanan terhadap kejahatan (safety from crime).
Victoria Transport Policy Institute (2014) mengemukakan walkability memperhitungkan beberapa
parameter, yakni kualitas fasilitas, konektivitas jalur, kondisi jalan, pola tata guna lahan, dukungan
masyarakat, kenyamanan, serta rasa aman saat berjalan. Walkability dapat dievaluasi pada skala
lokasi, ruas jalan, ataupun skala lingkungan.
Secara umum walkability memperhitung- kan sebagai berikut:
1. Kualitas jaringan jalur pejalan kaki (trotoar, penyeberangan)
2. Konektivitas jaringan jalur pejalan kaki (seberapa baik trotoar dan jalur pejalan kaki lainnya
saling terhubung, dan seberapa baik pejalan kaki dapat mengakses tempat tujuan secara
langsung).
3. Keamanan (seberapa aman yang dirasakan orang saat berjalan).
4. Kepadatan dan aksesibilitas (jarak antara lokasi destinasi umum, seperti rumah, toko,
sekolah, dan taman).
Indikator walkability dalam penelitian ini menggunakan US Department Health and Human Service
(2010) yang sudah banyak digunakan oleh peneliti-peneliti lain di Indonesia, seperti Pratama (2011),
Antartika (2014), dan Nuriawangsa (2014). Menurut US Department Health and Human Service
(2010)

Carmona meninjau kota melalui 6 (enam) dimensi urban design (Carmona, 2003), sebagai berikut :
Dimensi morfologis
Membantu perancang kota untuk lebih memperhatikan pola-pola pengembangan lokal serta proses
perubahannya dan memperhatikan elemen-elemen yang mampu bertahan atau berubah.
Dimensi perseptual
Meninjau kota berdasarkan pengalaman dari pengguna. Pendekatan kota melalui dimensi perseptual
menghasilkan teori-teori mengenai ‘place’ yang dikaitkan dengan psikologi persepsi.
Dimensi sosial
Mengungkap bagaimana masyarakat tidak hanya beraktivitas dalam lingkungannya melainkan juga
mampu mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungan.
Dimensi visual
Perancangan kota cenderung melihat kota dalam konteks estetika dan juga terkait dengan dimensi
persepsi dalam desain ruang kota namun mempertimbangkan selera publik dalam menilai
lingkungannya.
Dimensi fungsional
Ruang kota mampu mendukung dan memfasilitasi aktivitas dan dikaitkan dengan kebutuhan
manusia mulai dari yang paling dasar.
Dimensi temporal
Meninjau bagaimana kota dalam setiap siklus waktunya. Ruang dalam kota dimanfaatkan dalam5
waktu- waktu yang berbeda dengan hal-hal yang berubah maupun yang tetap.

Anda mungkin juga menyukai