Anda di halaman 1dari 74

PENENTUAN PARAMETER FISIKA DAN KIMIA

BROMELIN KASAR DARI BATANG NANAS


(Ananas comosus Merr.)

SKRIPSI SARJANA FARMASI

Oleh

BUDI ARIYANTO
No.Bp. 0701004

SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI


STIFARM TAMANSISWA
PADANG
2012

0
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bromelin merupakan enzim proteolitik seperti halnya renin, papain dan

fisin yang mempunyai sifat menghidrolisa protein dan menggumpalkan susu.

Dengan demikian enzim bromelin dapat digunakan sebagai substitusi bagi enzim

sejenis lainnya. Enzim proteolitik digunakan dalam industri bir, industri cat,

industri obat-obatan, pengolahan daging, penyamak kulit pembuatan konsentrat

protein ikan dan lain-lain (Sebayang, 2006).

Bromelin dapat diperoleh dari tanaman nanas baik dari tangkai, kulit,

daun, buah, maupun batang dalam jumlah yang berbeda tetapi bromelin lebih

banyak terdapat pada batang nanas yang selama ini belum dimanfaatkan.

Distribusi bromelin pada batang nanas tidak merata dan tergantung pada umur

tanaman. Kandungan bromelin pada jaringan yang umurnya belum tua terutama

yang bergetah sangat sedikit sekali bahkan kadang-kadang tidak ada sama sekali.

Sedangkan bagian tengah batang nanas mengandung bromelin lebih banyak

dibandingkan dengan bagian tepinya (Rocky, 2009).

Bromelin berkhasiat membantu pencernaan makanan, antiinflamasi,

mengangkat sel-sel kulit yang mati serta mengobati penyakit kulit seperti gatal-

gatal, eksim dan kudis. Selain itu enzim bromelin juga berkhasiat untuk proses

penyembuhan luka dan mengurangi pembengkakan dan peradangan di dalam

tubuh (Herdyastuti, 2006).

1
Dalam bidang farmasi bromelin banyak digunakan untuk mengobati

gangguan saluran cerna seperti susah buang air besar (ISFI, 2009) dan khasiat

lainnya seperti antiradang, mengganggu pertumbuhan sel kanker, mempunyai

aktivitas antiplatelet dan fibrinolitik (Anonim, 2011). Bromelin tergolong ke

dalam enzim proteolitik yang mengkatalisa penguraian protein menjadi asam-

asam amino. Bromelin stabil pada suhu 40 °C – 60 C dan pH 4,0 – 8,0 yang

dapat berkerja optimal pada suhu 55 °C dan pH 7,0. Bromelin tidak stabil pada

lambung, dimana lambung mempunyai pH asam berkisar 1 – 3 yang dapat

menyebabkan protein bromelin terkoagulasi (Herdyastuti, 2006). Disamping itu

bromelin merupakan serbuk amorf yang mudah mengalami oksidasi dan hidrolisis

karena pengaruh faktor lingkungan (Chaidir, 2006).

Preformulasi merupakan langkah awal dalam penelitian untuk

memperoleh informasi yang dibutuhkan dalam proses formulasi sediaan obat yang

stabil secara fisika, kimia dan dengan ketersediaan hayati yang menguntungkan.

Preformulasi mulai berkembang pada akhir tahun 1950 dan awal tahun 1960,

sebagai hasil dari perkembangan produk industri farmasi. Sampai pertengahan

tahun 1950, penekanan hanya dalam perkembangan produk, untuk

mengembangkan bentuk sediaan yang elegan dan pertimbangan organoleptis dari

sediaan.

Ruang lingkup preformulasi meliputi studi sifat-sifat fisikokimia senyawa

baru yang dapat mempengaruhi penampilan obat dan studi pengembangan bentuk

sediaan yang manjur dengan rancangan formulasi yang rasional (Wells, 1987).

2
Berdasarkan uraian di atas maka peneliti mencoba untuk melakukan

penelitian tentang pengujian preformulasi terhadap bromelin dari batang nanas

berdasarkan sifat-sifat fisikokimianya.

1.2 Perumusan Masalah

Bagaimana karakterisasi sifat fisikokimia dari bromelin kasar?

1.3 Tujuan Penelitian

Untuk mempelajari dan mengetahui sifat-sifat fisikokimia bromelin kasar

yang diisolasi dari batang nanas (Ananas comosus Merr.).

1.4 Hipotesis Penelitian

Dari penelitian yang akan dilakukan diduga bromelin dari batang nanas

(Ananas comosus Merr.) yang diisolasi dalam bentuk serbuk kasar mempunyai

sifat fisikokimia yang sama dengan bromelin murni.

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diinginkan dari penelitian ini adalah menambah data

preformulasi dalam pemanfaatan enzim bromelin sebagai sediaan obat.

3
II.TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Botani Tanaman Nanas

2.1.1 Klasifikasi Tanaman Nanas

Tanaman nanas diklasifikasi sebagai berikut (Soedarya, 2009) :

Kingdom : Plantae (tumbuh-tumbuhan)

Subkingdom : Tracheabionta (berpembuluh)

Superdivisio : Spermatophyta (tumbuhan berbiji)

Divisio : Mognoliophyta (berbunga)

Kelas : Liliaopsida (monokotil)

Subkelas : Comelinidiae

Ordo : Falrinosae (bromeliales)

Famili : Bromeliaceae

Genus : Ananas

Spesies : Ananas comosus Merr.

2.1.2 Nama Lokal Tanaman Nanas

Nama Daerah: Sumatera; ekahauku, anes, nas, henas, kenas, honas,

hanas, gona, asit, nasit, enas, kanas, nanas, naneh, kanyas, nyanyas. Jawa; danas,

ganas, nanas, lanas. Kalimantan; kanas, samblaka, malaka, uro usan, kayu usan,

kayu ujan, belasan. Nusa Tenggara; manas, nanas, aruna, fanda pandal, panda

jawa, nana, peda, anana, pedang, parangena, nanasi. Sulawesi; tuis mongondow,

na’asi, pandang, edan, ekam, hedan, esne, ngewu. Maluku; ai nasi, than baba-ba,

4
kai nasi, bangkalo, kampora, kanasoi, anasu, banggala, bangkala, kai nasu,

kambala, kampala, arnasinu, kanasi, kurnasin, mangala, nanasi, anasul, kalnasi,

nanaki, nanas. Irian Jaya; manilmap, miniap. Nama Asing: Inggris; pineapple,

Belanda, Prancis, dan Jerman; ananas. Tagalog; pinya. Nama Simplisia:

Ananas Fructus (Depkes RI, 1989).

2.1.3 Kerabat dan Sinonim Tanaman Nanas

Kerabat dan sinonim dari tanaman nanas adalah sebagai berikut

(Soedarya, 2009) :

1. Kerabat spesies nanas diantaranya:

a. Ananas braceteatus (Lindl) Schultes,

b. Ananas fritzmuelleri,

c. Ananas erectifolius L.B. Smith,

d. Ananas ananassoides (Bak) L.B. Smith.

2. Sinonim nama ilmiah nanas yaitu:

a. Bromelia comosa L,

b. Ananas sativus (Lindley) Schultsers f,

c. Ananassa sativa Lindl,

d. Bromeliad.

2.1.4 Morfologi Tanaman Nanas

Nanas adalah sejenis tumbuhan tropis yang merupakan salah satu jenis

buah yang umum dikenal dan dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia,

mempunyai sifat yang mudah rusak dan busuk sehingga tidak tahan lama untuk

5
disimpan. Selain dikonsumsi sebagai buah segar, juga dimanfaatkan dalam

industri pengolahan buah nanas untuk pembuatan sari buah, selai, jeli, serta

proses lainnya. Dalam industri pengolahan buah nanas selalu meninggalkan sisa

limbah yang cukup banyak. Umumnya limbah nanas berupa batang, daun, kulit,

bonggol yang belum dimanfaatkan secara optimal, bahkan hanya digunakan

sebagai pakan ternak. Dengan mengisolasi bromelin dari nanas, merupakan salah

satu alternatif dalam rangka pemanfaatan limbah nanas sehingga dapat

memberikan nilai tambah bagi buah nanas disamping mengurangi masalah

pencemaran limbah terhadap lingkungan (Sebayang, 2006).

Tanaman nanas termasuk dalam famili bromeliaceae. Tanaman ini

merupakan tanaman tropis yang berasal dari Brazilia, Bolivia dan Paraguay di

Amerika Selatan. Tanaman nanas berbentuk semak dan hidupnya bersifat

tahunan (perennial) (Anonim, 2011). Tanaman nanas terdiri dari akar, batang,

daun, bunga, buah dan tunas-tunas. Akar nanas dapat dibedakan menjadi akar

tanah dan akar samping, dengan sistem perakaran yang terbatas. Akar-akar

melekat pada pangkal batang dan termasuk berakar serabut (monocotyledonae).

Kedalaman perakaran pada media tumbuh yang baik tidak lebih dari 50 cm,

sedangkan di tanah biasa jarang mencapai kedalaman 30 cm (Rocky, 2009).

Batang tanaman nanas berukuran cukup panjang 20 – 25 cm atau lebih,

dengan diameter tebal 2,0 – 3,5 cm, beruas-ruas (berbuku-buku) pendek. Batang

sebagai tempat melekat akar, daun, bunga, tunas dan buah, sehingga secara

visual batang tersebut tidak nampak karena disekelilingnya tertutup oleh daun.

6
Daun nanas panjang dan tidak mempunyai tulang daun utama. Pada

daunnya ada yang berduri-duri tajam dan ada yang tidak berduri. Daun nanas

tumbuh memanjang sekitar 130 – 150 cm, lebar antara 3 – 5 cm atau lebih.

Jumlah daun tiap batang tanaman sangat bervariasi antara 70 – 80 helai yang tata

letaknya seperti spiral.

Nanas mempunyai rangkaian bunga majemuk pada ujungnya yang

berjumlah antara 100 – 200. Sifat pembuangan nanas terdapat tunas, yaitu tunas

akar, tunas batang, tunas tangkai, dan tunas dasar buah. Tunas-tunas tersebut

dapat digunakan sebagai alat perbanyakan tanaman secara vegetatif (Rocky,

2009).

2.1.5 Jenis dan Varietas Tanaman Nanas

Berdasarkan habitus tanaman, terutama bentuk daun dan buah dikenal 4

jenis (golongan) tanaman nanas yaitu sebagai berikut :

a. Nanas Cayenne

Ciri-ciri nanas golongan cayenne adalah daun halus, tidak berduri, dan

kalau berduri hanya terdapat pada ujung daun saja, buah berukuran besar,

bentuknya silindris, muka buah agak datar, berwarna hijau kekuningan,

rasanya agak asam, sehingga cocok dijadikan bahan baku buah kalengan.

Contoh varietas nanas golongan cayenne di Indonesia disebut dengan

nama daerah, misalnya nanas Semarang, barabai (Lombok), dan subang.

7
b. Nanas Queen

Ciri-ciri nanas golongan queen adalah daun pendek dan berduri tajam

membengkok kedalam, buah bentuknya lonjong mirip kerucut sampai

silindris, mata buah menonjol, warna kuning kemerahan, dan rasanya

manis, sehingga cocok dikonsumsi sebagai buah segar. Contoh varietas

nanas golongan queen adalah nanas Bogor, Blitar, Riau dan Palembang.

c. Nanas Spanyol (Spanish)

Ciri-ciri nanas golongan spanyol (spanish) adalah daun panjang, kecil,

berduri, halus sampai kasar, buah bentuknya bulat dan mata datar,

berwarna kuning, rasanya asam sehingga cocok dijadikan minuman

kalengan. Contoh varietas nanas golongan spanyol (spanish) adalah

nanas Singapura, spanish, dan red spanish.

d. Nanas Abacaxi

Ciri-ciri nanas golongan abacaxi adalah daun panjang dan berduri

panjang, buah bentuknya silindris atau seperti piramida, bertangkai

panjang, daging buah berwarna kuning pucat, rasanya manis, dan berair

banyak. Contoh varietas nanas golongan abacaxi adalah pernambuco,

sugar loaf, dan eleuthera.

Varietas nanas yang banyak ditanam di Indonesia adalah golongan

cayenne dan queen, sementara golongan spanish dikembangkan di kepulauan

India Barat, Portorico, Meksiko dan Malaysia, golongan abacaxi banyak ditanam

di Brazilia (Rukmana, 1996).

8
2.1.6 Kandungan Kimia Tanaman Nanas

Tanaman nanas mengandung vitamin (betakaroten, thiamin dan asam

askorbat), mineral-mineral (kalsium, fosfor, magnesium, besi, natrium, kalium),

karbohidrat (dekstrosa, sukrosa), lemak, protein, dan enzim bromelin yang

merupakan glikoprotein (Dalimartha, 2000).

2.1.7 Kegunaan Tanaman Nanas

Buah masak nanas dapat berkhasiat mengurangi keluarnya asam lambung

yang berlebihan, membantu mencerna makanan di lambung, antiradang, peluruh

kencing (diuretik), membersihkan jaringan kulit yang mati, mengganggu

pertumbuhan sel kanker, menghambat penggumpalan trombosit (agregasi

platelet) dan mempunyai aktifitas fibrinolitik. Buah muda nanas yang

mempunyai rasa asam dapat berkhasiat memacu enzim pencernaan, antelmintik,

diuretik, peluruh haid, abortivum, peluruh dahak (mukolitik) dan pencahar,

sedangkan daunnya berkhasiat antipiretik, antelmintik, pencahar dan

menormalkan siklus haid (Dalimartha, 2000).

2.2 Tinjauan Kimia Bromelin

2.2.1 Monografi

Bromelin merupakan suatu enzim proteolitik yang dapat mengkatalisa

penguraian protein menjadi asam amino (Winarno, 1995). Bromelin berbentuk

amorf yang berwarna putih kekuningan, berbau khas, membentuk koloid dalam

air dan praktis tidak larut dalam aseton, alkohol, kloroform, dan eter. Bromelin

9
memiliki berat molekul 33.000 yang stabil pada suhu 40 °C – 60 °C dengan suhu

optimum 55 °C dan stabil pada 4,0 – 8,0 dengan pH optimum 7,0 (Herdyastuti,

2006).

2.2.2 Identifikasi

Bromelin merupakan suatu enzim yang tergolong ke dalam kelompok

glikoprotein dengan rantai peptida sehingga bromelin diidentifikasi berdasarkan

gugus protein yang terdapat di dalamnya, dengan cara (Hakim, 2009) :

a. Reaksi Xanthoprotein

Larutan asam nitrat pekat ditambahkan dengan hati-hati kedalam larutan

protein. Setelah dicampur terjadi endapan putih yang dapat berubah

menjadi kuning apabila dipanaskan. Reaksi yang terjadi adalah nitrasi

pada inti benzen yang terdapat pada molekul protein. Reaksi ini positif

untuk protein yang mengandung tirosin, fenilalanin dan triptofan.

b. Reaksi Hopkins-Cole

Larutan protein yang mengandung triptofan dapat direaksikan dengan

pereaksi Hopkins-Cole yang mengandung asam gliksilat. Pereaksi ini

dibuat dari asam oksalat dengan serbuk magnesium dalam air. Setelah

dicampur dengan pereaksi Hopkins-Cole, asam sulfat dituangkan

perlahan-lahan sehingga membentuk lapisan di bawah larutan protein.

Beberapa saat kemudian akan terjadi cincin ungu pada batas antara kedua

lapisan tersebut.

10
c. Reaksi Millon

Reaksi Millon adalah larutan merkuro dan merkuri nitrat dalam asam

nitrat. Apabila pereaksi ini ditambahkan pada larutan protein akan

menghasilkan endapan putih yang dapat berubah menjadi merah oleh

pemanasan. Pada dasarnya reaksi ini positif untuk fenol, karena

terbentuknya senyawa merkuri dengan gugus hidroksifenil yang

berwarna.

d. Reaksi Natriumnitroprusida

Natriumnitroprusid dalam larutan amoniak akan menghasilkan warna

merah dengan protein yang mempunyai gugus –SH bebas. Jadi protein

yang mengandung sistein dapat memberikan hasil positif.

e. Reaksi Sakaguchi

Pereaksi yang digunakan adalah naftol dan natriumhipobromit. Pada

dasarnya reaksi ini memberikan hasil positif apabila ada gugus guanidin.

Jadi arginin atau protein yang mengandung arginin dapat menghasilkan

warna merah.

f. Metoda Biuret

Larutan protein dibuat alkalis dengan NaOH kemudian ditambahkan

larutan CuSO4 encer. Uji ini untuk menunjukan adanya senyawa-senyawa

yang mengandung gugus amida asam yang berada bersama gugus amida

lainnya. Uji ini memberikan reaksi positif yang ditandai dengan

timbulnya warna merah violet atau biru violet.

11
2.2.3 Isolasi Bromelin Dari Batang Nanas

Bromelin dari batang nanas diperoleh dengan cara batang nanas yang

telah dibersihkan, dipotong kecil-kecil, kemudian diblender dengan

menambahkan buffer fosfat pH 7,0. Preparat halus kemudian disaring dengan

menggunakan kain kasa untuk mendapatkan sari batang yang selanjutnya

disimpan dalam lemari es selama 24 jam. Endapan yang muncul di sentrifuge

dengan kecepatan 3,500 rpm selama 15 menit sehingga diperoleh tiga lapisan.

Lapisan pertama yaitu lapisan atas berupa cairan, lapisan kedua yaitu berupa

koloid yang mengandung enzim bromelain dan lapisan ketiga berupa pati.

Selanjutnya koloid tersebut ditambahkan natrium metabisulfit 0,2 % sebanyak

tiga kali berat koloid yang diperoleh, kemudian koloid ini dikeringkan pada suhu

± 55 °C selama lebih kurang 7 jam hingga di peroleh ekstrak kering. Kemudian

digerus dan diayak dengan ayakan mesh 48 (Herdyastuti, 2006).

2.3 Tinjauan Farmakologi Bromelin

Bromelin merupakan enzim proteolitik yang diisolasi dari tanaman nanas

dan dapat menghidrolisis ikatan peptida pada protein menjadi molekul yang

paling kecil yaitu asam amino. Bromelin ini dilaporkan memiliki efek

farmakologis sebagai antiinflamasi, antitumor, antiplatelet, mencegah terjadinya

konstipasi dan mempunyai aktivitas fibrinolitik. Disamping itu dalam saluran

pencernaan, bromelin dapat melunakkan makanan dengan memecah sederhana

(asam amino) sehingga dapat membantu membersihkan usus dan saluran

pencernaan (Tochi et al, 2008).

12
2.4 Tinjauan Farmasetika Bromelin

Bromelin terdapat dalam beberapa bentuk sediaan yang beredar

dimasyarakat diantaranya adalah bentuk tablet. Menurut Farmakope Indonesia

edisi IV, tablet merupakan suatu sediaan padat mengandung bahan obat dengan

atau tanpa bahan pengisi. Contohnya Elsazym® (PT. Otto) yang berupa campuran

pankreatin, bromelin dan dimetilpolisiloksan. Contoh lainnya Benozym® (PT.

Bernofarm) yang berupa campuran pankreatin, bromelin dan ox-bile. Obat ini

berupa salut gula yang terdiri dari dua lapisan, dimana lapisan luarnya

mengandung bromelin yang bekerja di lambung untuk mencernakan protein,

sedangkan lapisan dalamnya mengandung pankreatin dan ox-bile yang bekerja di

usus (ISFI, 2009).

2.5 Tinjauan Umum

2.5.1 Preformulasi

2.5.1.1 Definisi Preformulasi

Preformulasi merupakan langkah awal dalam melakukan penelitian untuk

memperoleh informasi yang dibutuhkan dalam proses formulasi sediaan obat

yang stabil secara fisika, kimia dan dengan ketersediaan hayati yang

menguntungkan. Preformulasi mulai berkembang pada akhir tahun 1950 dan

awal tahun 1960, sebagai hasil dari perkembangan produk industri farmasi.

Sampai pertengahan tahun 1950, penekanan hanya dalam perkembangan produk,

untuk mengembangkan bentuk sediaan yang elegan dan pertimbangan

organoleptis dari sediaan.

13
Sebagai tahap permulaan dari tiap formulasi yang baru perlu dilakukan

pengkajian untuk mengumpulkan keterangan-keterangan dasar tentang

karakteristik fisiko-kimia zat obat yang akan dibuat menjadi bentuk sediaan

farmasi tersebut. Pengkajian ini harus berpusat pada sifat-sifat fisiko-kimia dari

senyawa yang baru yang dapat mempengaruhi penampilan obat dan

perkembangan suatu bentuk sediaan yang menunjukan efikasi (Wells, 1987)..

2.5.1.2 Tujuan Preformulasi

Untuk memperoleh informasi atau data yang sangat bermanfaat bagi

formulator dalam mendisain bentuk sediaan yang stabil dan memiliki

ketersediaan hayati yang baik dan dapat diproduksi secara massal (Wells, 1987).

2.5.1.3 Ruang Lingkup Preformulasi

Ruang lingkup preformulasi meliputi (Wells, 1987) :

a. Studi sifat-sifat fisikokimia senyawa baru yang dapat mempengaruhi

performance atau penampilan sediaan obat,

b. Studi pengembangan bentuk sediaan yang manjur dengan disain

formulasi yang rasional.

14
Tabel I. Karakteristik pemeriksaan obat dalam preformulasi.

No Jenis Pemeriksaan Metoda / Fungsi/ Karakterisasi


I. Sifat dasar
1. Spektroskopis UV Metoda analisis sederhana
2. Kelarutan Kelarutan fasa/ kemurnian
a. Air Kelarutan intrinsik dan efek pH
b. pKa Kontrol kelarutan dan pembentukan garam
c. Garam Kelarutan, higroskopisitas,dan stabilitas
d. Pelarut Pembawa dan ekstraksi
e. Koefisien partisi Lifofilisitas dan aktivitas struktur
f. Disolusi Biofarmasi
3. Titik lebur DSC-polimorpis, hidrat. dan solvat
4. Pengembangan metode analisis UV, HPLC, dan TLC
5. Stabilitas:
a. Dalam larutan Termal, hidrolisis, pH, oksidasi, fotolisis dan
b. Dalam keadaan padat ion logam
II. Sifat turunan
6. Mikroskopis Ukuran partikel dan morfologi
7. Kerapatan bulk Formulasi tablet dan kapsul
8. Sifat alir Formulasi tablet dan kapsul
9. Sifat kompresi Pemilihan eksipien
10. Kompabilitas eksipien Persiapan pemisahan dengan DSC,komfirmasi
dengan TLC

1. Spektroskopis UV

Langkah awal preformulasi adalah untuk menetapkan metoda analisis

sederhana, sehingga semua pengukuran lebih lanjut dapat dilakukan

dengan kuantitatif. Senyawa obat umumnya mempunyai cincin aromatik

atau mengandung ikatan rangkap sehingga dapat ditentukan panjang

gelombang UV (190 – 390 nm). Sifat keasaman dan kebasaan molekul

dapat diramalkan dari gugus fungsi dalam strukturnya. Hal ini akan

menyatakan pelarut yang cocok untuk mengetahui apakah larutan

terionisasi atau terdiosiasi. Terionnya suatu obat akan dapat merubah

bentuk spektrum UV dengan meningkatkan penyerapan atau mengubah

15
panjang gelombang maximum dan minimum atau keduanya terjadi.

Dalam bidang farmasi digunakan koefisien absorpsi spesifik (E = 1%/1 cm).

Untuk tujuan preformulasi dibuat larutan tunggal, dan ditentukan

spektrum dan ekstinsi, sehingga analisis kuantitatif dapat dimulai.

2. Kelarutan

Biasanya persediaan bahan kimia baru mempunyai jumlah yang terbatas,

karenanya penting dipikirkan penggunaan senyawa untuk studi lebih

lanjut. PKa penting dilakukan untuk mengontrol studi selanjutnya. Harga

pKa memungkinkan informasi penggunaan pH untuk memelihara

kelarutan dan memilih bentuk garam dalam mencapai ketersediaan hayati

yang baik bagi solid state. Jika obat mempunyai kelarutan kurang dari 1

mg/mL, diperlukan obat ini dalam bentuk garam, sehingga kelarutan

bertambah, khususnya jika obat akan diformulasi dalam bentuk tablet

atau kapsul. Kelarutan kurang dari 1 – 10 mg/mL harus dipertimbangkan

sebab senyawa ini dalam bentuk garam. Bila kelarutan obat tidak dapat

dimanipulasi seperti molekul netral, glikosida, steroid, turunan alkohol

dimana pKa kurang dari 3, sehingga diperlukan;

a. Cairan pembawa dalam kapsul gelatin lunak seperti: larutan PEG-

400, gliseril triasetat atau minyak kelapa terfraksinasi.

b. Suatu pasta atau semi solid yang dilarutkan dalam minyak atau

trigliserida dalam kapsul gelatin keras.

3. Titik lebur

16
Titik lebur biasanya diukur dengan menggunakan teknik sbb:

a. Capillary melting (peleburan kapiler)

Peleburan dapat diamati dalam tabung kapiler yang berkontak dengan

blok metal panas, memberikan informasi tentang jarak lebur, tetapi

sulit untuk menetapkan titik didih yang akurat.

b. Hot stage microscopy (mikoskopis hot-stage)

Pengamatan secara visual titik lebur dengan menggunakan

mikroskop, yang dipasangkan dengan alat pemanas dan tempat

sampel. Percobaan ini lebih akurat, karena adanya fase transisi

(melebur pertama, 50 % melebur, dan komplet melebur) yang dapat

dihubungkan dengan alat perekam.

c. Differential scanning calorimetry (DSC)/ Analisis termal

Merupakan metoda yang paling tepat karena hanya dibutuhkan

sampel analisis sebanyak 2 – 5 mg. Bahan dan sampel ditempatkan

dalam wadah yang terpisah dan temperatur setiap wadah dinaikan

dengan kecepatan yang konstan dan telah ditentukan terlebih dulu.

4. Pengembangan metoda analisis

Dalam rangka mengikuti stabilitas obat, baik dalam fase padat dan cair

diperlukan untuk mempunyai indikasi stabilitas dalam pengujian kadar

zat. Pengujian ini dapat dilakukan dengan spektroskopi UV, tetapi

didalam kromatografi umum diperlukan untuk memisahkan obat dari

derajat produknya dan bertentangan dengan eksipien. TLC (Thin Layer

Chromatography) atau KLT (Kromatografi Lapis Tipis) secara luas

17
digunakan sebagai metode semi kuantitatif untuk menafsir tahap

kemurnian dan menetapkan jumlah. HPLC (High Performance Liquid

Chromatography) atau KCKT (Kromatografi Cair Kinerja Tinggi) adalah

metode yang sering digunakan dalam analisa farmasi, dan merupakan

metode pilihan dalam menentukan stabilitas preformulasi.

5. Stabilitas

Persoalan kimia yang dijumpai pada formulasi umumnya adalah stabilitas

dan kompatibilitas kimia senyawa obat dengan bahan pembantu.

Ketidakstabilan senyawa obat dapat terjadi karena masing-masing

senyawa mempunyai stabilitas kimia yang berbeda atau mengandung

residu kimia yang akan mempengaruhi stabilitas kimia senyawa obat itu

sendiri.

6. Mikroskopis

Dalam preformulasi farmasetik mikroskop mempunyai dua aplikasi

utama:

a. Kristalografi dasar

1. Struktur kristal

2. Morfologi

3. Polimorfisa dan kelarutan

b. Ukuran partikel analisis

18
Serbuk paling farmasetik mempunyai kristal berdiameter berkisar 0,5

– 300 µm tapi distribusinya lebih kecil antara 0,5 – 50 µm untuk

memastikan keseragaman dan kecepatan disolusi yang baik.

Tabel II. Jenis mikroskop dan rentang ukurannya:

Jenis Mikroskop Rentang Ukuran Operasional (µm)


Transmission electron 0,001 – 1
Scanning electron 0,1 – 10
Mono-objective 1,0 – 100
Stereobinocular 10 – 1000

7. Sifat alir

Kepentingan utama formulator dalam menangani sediaan obat yaitu

penentuan kajian sifat alir. Hal ini hanya dapat dievaluasi dengan

pengukuran kerapatan bulk dan sudut angkat (θ) Pengukuran kerapatan

bulk dan pengukuran sudut angkat partikel merupakan parameter yang

berguna untuk mengkaji dampak perubahan massa obat sehingga

tersedianya sediaan baru.

8. Kerapatan bulk

Neumann (1967) dan Carr (1965) telah mengembangkan pecobaan

sederhana untuk mengevaluasi kemampuan aliran dengan

membandingkan antara jumlah volume awal (fluff) dan akhir (tapped).

ρmampat – ρ nyata
% Kp= ×100 %
ρ mampat

Dimana, Kp = Kompresibilitas

ρ = Densiti

Tabel III. Interpretasi index Carr untuk aliran serbuk:

19
Index Carr (%) Flow (Aliran)
5 – 15 Sempurna
12 – 16 Bagus
18 – 21 Dapat dialiri
23 – 35 Buruk
33 – 38 Sangat buruk
> 40 Sangat buruk sekali

9. Sifat kompresi

Kebanyakan sifat kompresi atau tekanan obat sangat buruk dan diperlukan

bantuan penambahan tekanan. Ketika dosis obat kurang dari 50 mg,

biasanya dibuat dengan kompresi langsung, tetapi pada dosis yang lebih

tinggi metoda yang digunakan bersifat massa basah. Informasi tentang

sifat tekanan obat sangat berguna. Dan materi yang dibutuhkan harus

plastis, mampu merubah bentuk, serta harus menunjukan sifat

kerapuhannya.

10. Kompatibilitas eksipien

Untuk mendapatkan formula yang stabil dan efektif tergantung pada

pemilihan eksipien kompabilitas sediaan obat.

2.2.3 Penetapan Kadar Protein

Analisis protein dapat digolongkan menjadi dua metode, yaitu metode

konvensional, yaitu metode Kjeldahl dan titrasi formol, yang digunakan untuk

protein yang tidak terlarut. Metode modern, yaitu metode Lowry, metode

spektrofotometri visibel (Biuret), metode spektrofotometri UV, yang digunakan

untuk protein yang terlarut (Hakim, 2009).

1. Metode Kjeldahl

20
Metode ini merupakan metode yang sederhana untuk penetapan nitrogen

total pada asam ammonium, protein dan senyawa-senyawa yang

mengandung nitrogen. Sampel didestruksi dengan asam sulfat dan

dikatalisis dengan katalisator yang sesuai sehingga akan menghasilkan

ammonium sulfat. Setelah pembebasan alkali dengan kuat, ammonia

yang terbentuk disuling uap secara kuantitatif ke dalam larutan penyerap

dan ditetapkan secara titrasi. Analisis protein dengan cara kjeldahl pada

dasarnya dibagi tiga tahap yaitu:

a. Tahap Destruksi

Destruksi adalah proses pemanasan suatu zat (padat) organik

kompleks hingga terurai dan menghasilkan produk yang lebih

sederhana. Pada tahapan ini sampel dipanaskan dalam asam sulfat

pekat sehingga terjadi destruksi menjadi unsur-unsurnya. Elemen

karbon teroksidasi menjadi CO, CO2, dan H2O, sedangkan nitrogen

akan berubah menjadi (NH4)SO4. Untuk mempercepat proses

destruksi sering ditambahkan katalisator, biasanya terdiri dari

campuran SeO2, K2SO4, dan CuSO4.

b. Tahap Destilasi

Destilasi adalah pemisahan dua atau lebih senyawa berdasarkan

senyawa berdasarkan perbedaan titik didihnya. Pada tahap destilasi

ammonium sulfat dipecah menjadi ammonia (NH3) dengan

penambahan NaOH sampai alkalis dan dipanaskan. Ammonia yang

dibebaskan selanjutnya ditangkap oleh larutan asam dalam jumlah

21
berlebihan. Untuk mengetahui asam dalam keadaan berlebihan maka

diberi indikator misalnya fenolftalein. Destilasi diakhiri apabila

semua amoniak sudah terdestilasi sempurna dengan ditandai destilat

tidak bereaksi basa.

c. Tahap Titrasi

Titrasi adalah suatu proses dimana satu titran atau larutan standar

diteteskan melalui buret ke dalam larutan lain yang dapat bereaksi

dengannya hingga tercapai titik ekivalen. Apabila penampung destilat

digunakan asam borat yang bereaksi dengan amoniak dapat diketahui

dengan titrasi menggunkan asam klorida (HCl) 0,1 N.

2. Metode Titrasi Formol

Larutan protein dibuat alkali dengan basa (NaOH) lalu ditambahkan

formalin sehingga terbentuk dimethiol yang artinya gugus amino protein

sudah terikat (protein bersifat asam) dan tidak akan mempengaruhi reaksi

antara asam dengan basa (NaOH) sehingga akhir titrasi dapat diakhiri

dengan tepat. Indikator yang digunakan adalah fenolftalein. Akhir titrasi

terjadi bila perubahan warna menjadi merah muda yang tidak hilang

dalam waktu 30 detik.

3. Spektrofotometri

Ada dua jenis sinar yang digunakan dalam metode ini, yaitu sinar UV

atau sinar tampak (visibel). Adanya gugus aromatis pada asam-asam

amino seperti fenilalanin, tirosin dan triptofan yang dapat menangkap

22
sinar UV. Apabila menggunakan sinar tampak, maka terlebih dahulu

diperlukan penambahan pereaksi seperti:

a. Metoda Biuret

Reaksi antara ikatan peptide dalam protein dengan logam Cu pada

suasana basa menghasilkan kompleks warna biru yang dapat diukur

secara spektrofotometri pada panjang gelombang 540 – 560 nm.

b. Metoda Folin Ciocalteu

Metoda ini didasarkan pada reduksi pereaksi Folin (asam

fosfomolibdat dan asam fosfotungsat) oleh gugus fenol pada tirosin

dan triptofan menghasilkan molybdenum warna biru yang dapat

diukur secara kolorimetri/ spektrofotometri. Cara ini relatif lebih

cepat dan peka namun warna yang dihasilkan kurang stabil.

c. Metoda Lowry

Metoda ini merupakan pengembangan dan penggabungan dari

metode Biuret dan Folin yang dilakukan oleh Lowry. Adanya inti

aromatis pada asam amino tirosin, triptofan dan fenilalanin akan

mereduksi kedua macam pereaksi Lowry A (Asam fosfomolibdat :

Asam fosfotungsat) menjadi molybdenum yang berwarna biru yang

selanjutnya ditambahkan pereaksi Lowry B (CuSO4 + Na2CO3 2 %

dalam NaOH 0,1 N + KNa-tatrat 2 %) sehingga menghasilkan warna

yang lebih stabil dan dapat diukur absorbannya pada panjang gelom

600 nm.

23
III.PELAKSANAAN PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini telah selesai dilaksanakan pada bulan Juli sampai Oktober

2011 di Laboratorium Teknologi Farmasi, Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi

(STIFARM) Padang, dan Laboratorium Kimia, Kopertis Wilayah X Padang.

3.2 Metodologi Penelitian

3.2.1 Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah: Pisau, blender,

wadah plastik, kain kasa, sentrifuge (Tube Centrifuge DKC-1008T), ayakan ,

oven, aluminium foil, kertas saring, alat-alat gelas standar laboratorium, pipet,

buret dan standar, timbangan analitik (Shimadzu AUX 220), krus porselen,

desikator, pH meter (Hanna Instruments pH-211), mikroskop-okulomikrometer,

alat Enslin, seperangkat alat Kjeldahl (Gerhardt)

3.2.2 Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: Batang nanas

(Ananas comosus Merr.), dapar fosfat pH 7,0; natrium metabisulfit (Na2S2O5) 0,2

%; aquadest.

24
3.3 Pelaksanaan Penelitian

3.3.1 Identifikasi Tanaman Nanas

Identifikasi tumbuhan dilakukan di Herbarium Jurusan Biologi Fakultas

Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Andalas Padang.

3.3.2 Pembuatan Sampel Bromelin Kasar

3.3.2.1 Pengambilan Batang Nanas

Batang nanas yang digunakan dalam penelitian ini adalah batang nanas

yang buahnya baru selesai dipanen di kabupaten Kampar, provinsi Riau.

3.3.2.2 Isolasi Bromelin Kasar dari Batang Nanas

Batang nanas yang telah dibersihkan, dipotong kecil-kecil, kemudian

setiap 200 gram batang nanas diblender dengan menambahkan 100 mL dapar

fosfat pH 7,0. Preparat halus ini kemudian disaring dengan menggunakan kain

kasa untuk mendapatkan sari batang. Setelah itu sari batang disimpan dalam

lemari es selama 24 jam. Endapan yang muncul kemudian disentrifuge dengan

kecepatan 3.500 rpm selama 15 menit sehingga diperoleh tiga lapisan. Lapisan

pertama yaitu lapisan berupa cairan, lapisan kedua berupa koloid yang

mengandung enzim bromelain dan lapisan ketiga berupa pati. Lapisan cairan

diambil dengan menggunakan pipet tetes dan lapisan koloid diambil dengan

menggunakan spatel. Selanjutnya koloid tersebut ditambahkan larutan natrium

metabisulfit 0,2 % sebanyak tiga kali berat koloid yang diperoleh, kemudian

koloid ini dikeringkan pada suhu kurang lebih 55 C dalam oven selama lebih

25
kurang 7 jam hingga diperoleh ekstrak kering, kemudian digerus dan diayak

dengan ayakan mesh 48 (Herdyastuti, 2006).

3.3.3 Evaluasi Bromelin Kasar

3.3.3.1 Pemeriksaan Organoleptis

Pengamatan dilakukan secara visual dengan mengamati bentuk, warna

rasa dan bau dari serbuk bromelin (Depkes RI, 1979).

3.3.3.2 Pemeriksaan Kelarutan

Pemeriksaan kelarutan dilakukan terhadap air, aseton, etanol, asam

(HCl), dan basa (NaOH). Sebanyak 1 gram serbuk bromelin dimasukkan ke

dalam erlemeyer, lalu dilarutkan dengan masing-masing pelarut melalui buret

sampai sampel larut. Catat volume pelarut yang digunakan, kemudian

bandingkan dengan istilah kelarutan yang tertera pada Farmakope Indonesia

edisi III (Depkes RI, 1979).

Tabel IV. Istilah kelarutan menurut Farmakope Indonesia edisi III.

Jumlah bagian pelarut


Istilah kelarutan diperlukan untuk melarutkan
1 bagian zat
Sangat mudah larut Kurang dari 1
Mudah larut 1 sampai 10
Larut 10 sampai 30
Agak sukar larut 30 sampai 100
Sukar larut 100 sampai 1000
Sangat sukar larut 1000 sampai 10.000
Praktis tidak larut Lebih dari 10.000

3.3.3.3 Pemeriksaan pH Larutan

26
Dengan menggunakan pH meter, caranya terlebih dahulu alat dikalibrasi

menggunakan larutan dapar asetat pH 4,0 dan dapar fosfat pH 7,0 sehingga

berada diantara angka tersebut. Kemudian elektroda dicuci dengan air suling dan

keringkan dengan tissue. Pengukuran pH serbuk bromelin kasar dilakukan

dengan cara mengencerkan 1 gram serbuk bromelin kasar dengan air suling

hingga 10 mL dalam wadah yang cocok. Kemudian elektroda dicelupkan ke

dalam wadah tersebut dan biarkan angka bergerak sampai posisi konstan. Angka

yang ditunjukkan pH meter merupakan harga pH bromelin kasar (Depkes RI,

1989).

3.3.3.4 Pemeriksaan Susut Pengeringan

Sebanyak 1 gram bromelin dimasukkan ke dalam botol timbang yang

sebelumnya telah dipanaskan pada suhu 105 C selama 30 menit dan telah ditara,

kemudian dimasukkan ke dalam oven pada suhu 105 C selama 2 jam lalu

didinginkan dalam desikator dan timbang sampai diperoleh bobot tetap (Depkes

RI, 1989).

3.3.3.5 Pemeriksaan Kadar Abu

Sebanyak 1 gram serbuk bromelin dimasukkan ke dalam krus porselen

yang telah ditimbang dan dipijarkan. Pijarkan perlahan-lahan pada suhu 600 C –

700 C hingga arang habis, lalu didinginkan dan ditimbang sampai diperoleh

bobot tetap (Depkes RI, 1989).

3.3.3.6 Pemeriksaan Foto Mikroskopis

27
Pengamatan dilakukan dengan menggunakan alat mikroskop. Serbuk

bromelin didispersikan dalam parafin lalu diteteskan pada object glass dan ditutup

dengan cover glass kemudian dilihat di bawah mikroskop lalu difoto dengan

pembesaran tertentu.

3.3.3.7 Pemeriksaan Distribusi Ukuran Partikel

Pemeriksaan ini dilakukan dengan menggunakan metode mikroskop

okulomikrometer, dimana partikel dapat dibandingkan berdasarkan ukuran

panjang. Sebelum digunakan mikroskop dikalibrasi terlebih dahulu, dan partikel

yang akan diamati pada mikroskop sebanyak 1000 partikel (Voigt, 1994).

3.3.3.8 Pemeriksaan Daya Serap Air

Dengan menggunakan alat Enslin, caranya sebanyak 1 gram serbuk

bromelin diletakan di atas corong hirsch dan disebar merata kemudian catat

jumlah air yang diserap tiap selang waktu tertentu dengan membaca skala pada

alat, amati sampai 1 jam (Voigt, 1994).

3.3.3.9 Pemeriksaan Kualitatif Protein

Pemeriksaan uji kualitatif protein dilakukan dengan menggunakan

beberapa metoda sebagai berikut (Hakim, 2009).

1. Metode Biuret

28
Larutan protein (sampel) dibuat alkalis dengan NaOH kemudian

ditambahkan larutan CuSO4 encer. Uji ini memberikan reaksi positif yang ditandai

dengan timbulnya warna merah violet atau biru violet.

2. Reaksi Xantoprotein

Larutan HNO3 pekat ditambahkan dengan hati-hati ke dalam protein.

Setelah tercampur sempurna akan terjadi endapan putih yang dapat berubah

menjadi kuning apabila dipanaskan.

3. Bromelin kasar ditambahkan pelarut alkohol.

Uji ini akan bereaksi positif apabila terbentuknya gumpalan.

3.3.3.10 Penentuan Kadar Protein Bromelin kasar dengan Metoda Kjeldahl.

Bromelin kasar ditimbang sebanyak 1 gram dan masukkan ke dalam labu

kjeldahl. Tambahkan 10 mL H2SO4 pekat, 1 gram selenium (Se) dan beberapa

batu didih, lalu dipanaskan untuk menghilangkan uap SO2. Pemanasan mula-mula

dengan nyala api kecil lalu api hijau, hingga terbentuk larutan berwarna jernih

kehijauan dan uap SO2 hilang. Kemudian dipindahkan kedalam labu ukur 100 mL

dan diencerkan dengan aquadest sampai tanda batas. Pipet 10 mL dan masukkan

ke labu destilasi dan ditambahkan 10 mL NaOH 33 % lalu disuling. Destilasi

dilakukan sampai uap destilasi tidak bereaksi basa (diuji dengan kertas pH). Hasil

destilasi ditampung dalam 10 mL larutan asam borat (H3BO3 3 %). Setelah selesai

destilasi, ujung kondensor dibilas dengan aquadest. Kemudian dititrasi dengan

HCl standar menggunakan indikator merah metil (Sudarmadji, 1996).

3.4 Analisa Data

29
Penetapan kadar protein dari bromelin kasar diperoleh berdasarkan

kandungannya dapat diketahui dengan menggunakan metode mikro kjeldalh:

mL HCl× N HCl × BM N ×100 % × FP


%N=
mg sampel

Kadar Protein=% N × FK

Keterangan:

FP : Faktor Pengenceran

FK : Faktor Konversi (6,25)

30
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

Hasil pemeriksaan karakterisasi bromelin kasar dari penelitian yang telah

dilakukan adalah sebagai berikut :

1. Hasil pemeriksaan identifikasi tanaman nanas (Ananas comosus Merr.)

yang dilakukan di Herbarium Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu

Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Andalas Padang, dapat dilihat

pada Lampiran 1, Tabel V, Halaman 46.

2. Hasil pemeriksaan organoleptis bromelin kasar berbentuk serbuk yang

berwarna kuning, berbau khas dan mempunyai rasa yang tawar dapat

dilihat pada Lampiran 1, Tabel VI, Halaman 47.

3. Hasil pemeriksaan kelarutan bromelin kasar membentuk larutan koloid

dalam air, praktis tidak larut dalam alkohol 96 %, dan HCl 0,1 N, dan

sangat sukar larut pada NaOH 0,1 N, dan aseton dapat dilihat pada

Lampiran 1, Tabel VI, Halaman 47.

4. Hasil pemeriksaan pH larutan bromelin kasar dapat dilihat pada Lampiran

1, Tabel VI, Halaman 47.

5. Hasil pemeriksaan susut pengeringan bromelin kasar dapat dilihat pada

Lampiran 1, Tabel VI, Halaman 47.

6. Hasil pemeriksaan kadar abu bromelin kasar adalah dapat dilihat pada

Lampiran 1, Tabel VI, Halaman 47.

31
7. Hasil pemeriksaan identifikasi bromelin kasar yaitu membentuk larutan

berwarna biru violet dengan penambahan reagen biuret dan membentuk

endapan kuning dengan penambahan larutan asam nitrat dapat dilihat pada

Lampiran 1, Tabel VI, Halaman 47.

8. Hasil penentuan kadar protein total bromelin kasar dari batang nanas

(Ananas comosus Merr.) dapat dilihat pada Lampiran 1, Halaman 47.

9. Hasil sertifikat Certificate of Analysis bromelin dari PT. Bernofarm dapat

dilihat pada Lampiran 1, Tabel VII, Halaman 48.

10. Hasil data pengamatan kelarutan bromelin kasar dapat dilihat pada

Lampiran 1, Tabel VIII, Halaman 49.

11. Hasil data pengamatan pH larutan bromelin kasar yang dilakukan

sebanyak tiga kali pengulangan dengan hasil rata-rata 5,60 dapat dilihat

pada Lampiran 1, Tabel IX, Halaman 49.

12. Hasil data pengamatan susut pengeringan bromelin kasar yang dilakukan

sebanyak tiga kali pengulangan dengan hasil rata-rata 4,3% dapat dilihat

pada Lampiran 1, Tabel X, Halaman 49.

13. Hasil data pengamatan kadar abu bromelin kasar yang dilakukan sebnyak

tiga kali pengulangan dengan hasil rata-rata 6,803 % dapat dilihat pada

Lampiran 1, Tabel XI, Halaman 49.

14. Hasil data pemeriksaan ukuran partikel bromelin kasar dapat di lihat pada

Lampiran 1, Tabel XII, Gambar 1 dan 2, Halaman 50 dan 51.

15. Hasil data pemeriksaan daya serap air bromelin kasar menggunakan alat

enslin dapat dilihat pada Lampiran 1, Tabel XIII, Gambar 3, Halaman 52.

32
16. Hasil data pembakuan HCl dan analisa kadar protein bromelin kasar dapat

dilihat pada Lampiran 1, Tabel XIV dan XV, Halaman 53.

17. Dari hasil pengolahan batang nanas (Ananas comosus Merr.) sebanyak 20

kg diperoleh bromelin kasar sebanyak 27,6341 g dengan rendemen 0,1382

% dapat dilihat pada Lampiran 2, Contoh perhitunagan 1 dan 2, Halaman

54.

18. Hasil perhitungan simpangan baku pH larutan dapat dilihat pada Lampiran

2, Contoh perhitungan 3, Tabel XVI, Halaman 55.

19. Hasil perhitungan susut pengeringan yang dilakukan sebanyak tiga kali

pengulangan dapat dilihat pada Lampiran 2, Contoh perhitungan 4,

Halaman 56.

20. Hasil perhitungan simpangan baku susut pengeringan dapat dilihat pada

Lampiran 2, Contoh perhitungan 5, Tabel XVII, Halaman 57.

21. Hasil perhitungan kadar abu yang dilakukan sebanyak tiga kali

pengulangan dapat dilihat pada Lampiran 2, Contoh perhitungan 6,

Halaman 58.

22. Hasil perhitungan simpangan baku kadar abu dapat dilihat pada Lampiran

2, Contoh perhitungan 7, Tabel XVIII, Halaman 59.

23. Hasil perhitungan kalibrasi mikroskopis dan rata-rata diameter panjang

ukuran partikel dapat dilihat pada Lampiran 2, Contoh perhitungan 8,

Halaman 60.

24. Hasil perhitungan rata-rata daya penyerapan air terhadap bromelin kasar

dapat dilihat pada Lampiran 2, Contoh perhitungan 9, Halaman 61.

33
25. Hasil analisa perhitungan kadar protein bromelin kasar dapat dilihat pada

Lampiran 3, Contoh perhitungan 10, Halaman 63.

26. Hasil foto tanaman nanas dan batang nanas (Ananas comosus Merr.) dapat

dilihat pada Lampiran 4, Gambar 4 dan 5, Halaman 64.

27. Hasil foto batang nanas yang dipotong kecil-kecil dan koloid bromelin

dapat dilihat pada Lampiran 4, Gambar 6 dan 7, Halaman 65.

28. Hasil foto serbuk bromelin kasar dan bentuk mikroskopis bromelin kasar

dengan pembesaran 4 × 10 dapat dilihat pada Lampiran 4, Gambar 8 dan

9, Halaman 66.

29. Hasil identifikasi kualitatif bromelin kasar dapat dilihat pada Lampiran 4,

Gambar 10 dan 11, Halaman 67.

34
4.2 Pembahasan

Penelitian ini bertujuan untuk memformulasi dan mempelajari serta

mengetahui tentang karakteristik sifat fisikokimia bromelin kasar dari batang

nanas (Ananas comosus Merr.) dalam bentuk sediaan serbuk, dimana telah

dilaporkan bahwa batang nanas yang mengandung bromelin selama ini kurang

dimanfaatkan (Herdyastuti, 2006). Identifikasi tanaman nanas telah dilakukan di

Herbarium Universitas Andalas (ANDA) jurusan Biologi Fakultas Matematika

dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Andalas (UNAND) Padang,

dengan nomor specimen 1 didapatkan famili bromeliacease dengan nama spesies

Ananas comosus Merr. yang kemudian dilakukan pengisolasian terhadap batang

nanas tersebut.

Isolasi bromelin dari batang nanas dilakukan dengan menggunakan dapar

fosfat pH 7,0 untuk membantu memblender batang nanas yang sebelumnya sudah

dipotong kecil-kecil, karena bromelin lebih efektif bekerja pada pH 7,0 yang

merupakan pH optimumnya (Herdyastuti, 2006). Hasil dari pemblenderan batang

nanas disaring kemudian sari batangnya dipisahkan dari ampas lalu dilakukan

sentrifuge dengan kecepatan 3.500 rpm selama lebih kurang 15 menit sehingga

didapatkan tiga lapisan yang mana lapisan atas berupa air, lapisan tengah berupa

koloid dan lapisan bawah berupa pati. Dari ketiga lapisan tersebut hanya lapisan

tengah (koloid) yang dibutuhkan karena pada lapisan itu banyak mengandung

enzim bromelin. Koloid yang didapat ditambahkan natrium metabisulfit 0,2%

sebanyak 3 kali beratnya, yang berfungsi sebagai antioksidan dan agar tidak

35
terjadi perubahan warna terhadap koloid tersebut, kemudian koloid dioven sampai

kering sehingga menghasilkan bromelin kasar.

Dalam memformulasi sediaan farmasi diperlukan 3 tahapan yaitu

preformulasi, formulasi, dan evaluasi. Proses preformulasi ini diperlukan untuk

pengujian karakteristik terhadap sifat fisikokimia dari bahan baku yang akan

digunakan untuk membuat sediaan farmasi tersebut. Bromelin kasar sebagai

bahan baku memerlukan pemeriksaan meliputi organoleptis, kelarutan, susut

pengeringan dan kadar abu serta pH yang diperiksa sesuai dengan persyaratan

oleh Certificate of analysis bromelin dari Bernofarm. Hasil pemeriksaan ini telah

memenuhi persyaratan.

Hasil perolehan koloid bromelin yaitu 82,4491 gram, kemudian

ditambahkan natrium metabisulfit 0,2 % yang berfungsi agar tidak memberikan

perubahan warna terhadap koloid tersebut sebanyak 3 kali berat koloid bromelin

sebanyak 0,4947 gram sehingga berat koloid menjadi 82,9438 gram. Hasil koloid

bromelin yang telah dikeringkan diperoleh berat 27,6341 gram dengan perolehan

persentase rendemen 0,1382 %.

Hasil evaluasi organoleptis menunjukan bahwa bromelin kasar yang telah

dilakukan pengisolasian tidak jauh berbeda dengan persyaratan Certificate of

analysis bromelin dari Bernofarm, hal ini ditunjukkan dengan bentuk, warna, bau

dan rasanya.

Dari pemeriksaan kelarutan bromelin kasar dengan menggunakan

beberapa pelarut didapatkan hasilnya berupa larutan koloid pada air (1 g : 100

mL), praktis tidak larut terhadap etanol 96 % (1 g : 10.500 mL), dan HCl 0,1 N (1

36
g : 10.200 mL), serta sangat sukar larut terhadap aseton (1 g : 10.000 mL) dan

NaOH 0,1 N (1 g : 2.500 mL). Hasil tersebut didapatkan sesuai dengan istilah

kelarutan yang tertera pada Farmakope Indonesia Edisi III.

Pemeriksaan pH larutan dilakukan dengan menggunakan pH meter, dari

hasil pemeriksaan bromelin kasar diperoleh pH 5,60; 5,62; dan 5,59 dengan

perolehan hasil rata-rata pH 5,60 sedangkan dalam data Certificate of analysis

bromelin dari Bernofarm, bromelin stabil pada pH 3,0 – 6,0. Menurut

(Herdyastuti, 2006) pH optimum bromelin adalah 7,0 yang mana merupakan pH

yang dapat bekerja secara optimal.

Pemeriksaan susut pengeringan bromelin kasar dilakukan dalam tiga kali

pengulangan dimana diperoleh hasil pertama 4,9660 %; kedua 3,3250 %; dan

ketiga 4,9346 % dengan perolehan rata-rata 4,4085 %, dari hasil tersebut dapat

dikatakan bahwa hasil susut pengeringan bromelin kasar memenuhi persyaratan

karena tidak lebih dari 5,0 % sesuai dengan Certificate of analysis bromelin dari

Bernofarm.

Pemeriksaan kadar abu bromelin kasar juga dilakukan sebanyak tiga kali

pengulangan dimana hasil yang didapatkan 6,4983 %; 7,3945 %; dan 6,4738 %

dengan perolehan hasil rata-rata kadar abu pada bromelin kasar yaitu 6,7887 %,

sedangkan menurut Certificate of analysis bromelin dari Bernofarm kadar abunya

adalah 6,0 %.

Pemeriksaan mikroskopis bromelin kasar dilakukan dengan menggunakan

foto mikroskop dengan perbesaran 10 × 4. Hasil yang diperoleh menunjukan

37
bahwa bromelin kasar dalam bentuk serbuk yang dihasilkan berbentuk sferis atau

mendekati bulat.

Distribusi ukuran partikel bromelin kasar dilakukan dengan menggunakan

mikroskop yang telah dilengkapi dengan okulomikrometer, hasil kalibrasi dengan

menggunakan mikrometer pentas diperoleh 1 skala okuler sama dengan 10 µm.

Pemeriksaan distribusi ukuran partikel ini dilakukan dengan menghitung partikel

sebanyak 1000 partikel. Hasil yang diperoleh dari ukuran partikel bromelin kasar

yaitu bentuk kurva distribusi ukuran partikel tidak berbentuk kurva distribusi

normal atau tidak simetris terhadap nilai tengah, hal ini disebabkan karena jumlah

partikel serbuk bromelin kasar banyak terdapat pada rentang ukuran partikel 0 –

10 µm, sehingga diperoleh persentase frekuensinya lebih dari 25 %, sedangkan

diameter panjang rata-rata adalah 30,328 µm.

Daya penyerapan air bromelin kasar diperiksa dengan menggunakan alat

Enslin, dimana dibutuhkan sebanyak 1 gram bromelin kasar untuk masing-masing

pengamatan yang telah dilakukan, pemeriksaan dilakukan sebanyak tiga kali

pengulangan, dari hasil yang diperoleh pada pengamatan kedua jumlah air yang

diserap sebanyak 1,1 mL, sedangkan pada pengamatan pertama dan ketiga jumlah

air yang diserap oleh bromelin kasar dalam bentuk serbuk sebanyak 1,2 mL. Dari

ketiga pengamatan tersebut ternyata jumlah air yang diserap oleh bromelin kasar

selama selang waktu 1 jam diperoleh hasil yang hampir sama atau tidak jauh

berbeda yaitu berkisar antara 1,1 mL dan 1,2 mL, dengan jumlah air rata-rata yang

diserap oleh bromelin kasar yaitu sebanyak 1,1667 mL, sehingga diperoleh kurva

yang berbentuk isotherm tipe I menurut BET (Brunauer, Emmet, Teller).

38
Pemeriksaan kualitatif bromelin kasar dengan menggunakan alkohol akan

bereaksi positif membentuk gumpalan, dan direaksikan dengan menggunakan

reagen biuret bromelin kasar membentuk larutan dan berubah warna menjadi biru

violet sedangkan direaksikan dengan menggunakan larutan asam nitrat (HNO3)

membentuk endapan warna kuning setelah dipanaskan.

Penentuan kadar protein dilakukan dengan menggunakan metoda mikro-

kjeldahl. Prinsip metoda ini adalah oksidasi senyawa organik oleh H2SO4 untuk

membentuk CO2 dan H2O serta pelepasan nitrogen (N) dalam bentuk NH3 yaitu

penentuan protein berdasarkan jumlah N. Dalam penentuan protein seharusnya

hanya N yang berasal dari protein saja yang ditentukan. Akan tetapi teknik ini

sulit sekali dilakukan mengingat kandungan senyawa N ini biasanya sangat kecil

yang meliputi urea, asam nukleat, ammonia, nitrat, nitrit, asam amino, amida,

purin, pirimidin. Oleh karena itu penentuan jumlah N total ini tetap dilakukan

untuk mewakili jumlah protein yang ada (Sudarmadji, 1996). Analisa protein

dengan metoda ini terbagi atas 3 tahapan yaitu proses destruksi, destilasi dan

titrasi.

Pada tahap destruksi 1 gram bromelin kasar dimasukkan kedalam labu

kjeldahl, kemudian ditambahkan 1 gram selenium (Se) dan 10 mL H 2SO4 pekat.

Kemudian campuran ini dipanaskan dalam lemari asam sampai berhenti berasap

dan diteruskan pemanasan sampai mendidih sehingga terbentuk suatu larutan

menjadi jernih. Selenium (Se) berfungsi untuk mempercepat proses destruksi

karna zat tersebut dapat menaikkan titik didih H2SO4 sehingga destruksi dapat

berjalan lebih optimal. Suhu destruksi berkisar antara 370 C – 410 C. Pada

39
proses ini terjadi penguraian sampel menjadi unsur-unsurnya yaitu unsur-unsur C,

H, O, N, S, dan P. Unsur N digunakan untuk menentukan kandungan protein

dalam sampel tersebut. H2SO4 bersifat oksidator kuat yang akan mendestruksi

sampel menjadi unsur-unsurnya. Penambahan H2SO4 dilakukan dalam lemari

asam untuk menghindari S yang berada dalam protein akan terurai menjadi SO 2

yang sangat berbahaya. Selain Se katalisator N juga dapat digunakan campuran

K2SO4 dan HgO (20 : 1), dimana tiap 1 gram K 2SO4 dapat menaikkan titik didih

H2SO4 3 C (Sudarmadji, 1996).

Pada tahap destilasi, larutan sampel yang telah didestruksi didinginkan

kemudian ditambahkan dengan 100 mL aquadest untuk melarutkan sampel hasil

destruksi agar dapat didestilasi dengan sempurna, lalu larutan dipipet sebanyak 10

mL dimasukkan kedalam labu destilasi dan ditambahkan 10 mL NaOH.

Kemudian hasil destilat ditampung dalam labu erlenmeyer yang berisi 10 mL

asam borat (H3BO3 3 %) dan ditambah 3 tetes indikator BCG-MR (bromo cresol

green dan methyl red) yang merupakan indikator bersifat amfoter, yaitu dapat

bereaksi dengan asam maupun basa. Indikator ini digunakan untuk mengetahui

asam dalam keadaan berlebih dan memiliki trayek pH 6 – 8 yang berarti trayek

kerjanya luas (meliputi asam-netral-basa). Pada suasana asam akan berwarna

merah muda, sedangkan pada suasana basa akan berwarna biru. Setelah ditambah

BCG-MR, larutan akan berwarna merah muda karena berada dalam kondisi asam.

Pada dasarnya tujuan destilasi adalah untuk memisahkan zat yang diinginkan,

yaitu dengan memecah amonium sulfat (NH4)SO4 menjadi ammonia (NH3) dengan

menambah 10 mL NaOH kemudian dipanaskan. Prinsip destilasi adalah

40
memisahkan cairan atau larutan berdasarkan perbedaan titik didih. Fungsi

penambahan NaOH adalah untuk memberikan suasana basa karena reaksi tidak

dapat berlangsung dalam keadaan asam.

Asam borat (H3BO3) berfungsi sebagai penangkap ammonia (NH3)

sebagai destilat berupa gas yang bersifat basa. Supaya NH 3 dapat ditangkap secara

maksimal, maka sebaiknya ujung alat destilasi ini tercelup semua ke dalam larutan

asam standar sehingga dapat ditentukan jumlah protein sesuai dengan kadar

protein bahan. Selama proses destilasi lama-kelamaan larutan H3BO3 akan

berubah membiru karena larutan menangkap adanya NH3 dalam bahan yang

bersifat basa sehingga mengubah warna merah muda menjadi biru.

Reaksi destilasi akan berakhir bila NH3 yang telah terdestilasi tidak

bereaksi. Setelah destilasi selesai larutan sampel akan berwarna keruh dan

terdapat endapan di dasar labu destilat (endapan HgO) dan larutan asam dalam

erlenmeyer berwarna biru karena dalam suasana basa akibat menangkap NH 3.

NH3 yang terbentuk selama destilasi dapat ditangkap sebagai destilat setelah

diembunkan (kondensasi) oleh pendingin balik di bagian belakang alat kjeldahl

dan dialirkan ke dalam erlenmeyer.

Tahap titrasi ini merupakan tahap terakhir dari metoda mikro kjeldahl.

Hasil dari destilasi akan dititrasi, apabila penampung destilat digunakan H3BO3

maka banyaknya H3BO3 yang bereaksi dengan NH3 dapat diketahui dengan titrasi

menggunakan HCl 0,1 N dengan indikator. Sebelum dititrasi dilakukan

pembakuan larutan HCl, untuk pembakuan digunakan 10 mL larutan natrium tetra

borat (Na2B4O7.10 H2O) 0,1 N dengan menggunakan indikator merah metil

41
dimana titik akhir ditunjukkan dengan terbentuknya larutan merah muda.

Pembakuan dilakukan 3 kali pengulangan dengan rata-rata HCl terpakai 9,86 mL,

sehingga didapatkan normalitas larutan HCl adalah 0,1014 N. Akhir titrasi ini

menunjukkan perubahan warna larutan dari biru menjadi merah muda. Hasil dari

titrasi dengan 3 kali pengulangan didapatkan volume HCl yang terpakai adalah

0,95 mL; 0,88 mL; dan 0,90 mL. Hasil titrasi menunjukan perubahan warna biru

menjadi warna merah muda. Dari data tersebut dapat diketahui kandungan protein

dalam 1000 mg sampel adalah 8,0384 %.

42
V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan dapat diambil kesimpulan sebagai

berikut :

1. Bromelain kasar yang diekstraksi dari batang nanas (Ananas comosus

Merr.) dalam bentuk serbuk memiliki karakteristik sifat fisikokimia yang

tidak jauh berbeda dari data Certificate of analysis bromelin dari

Bernofarm.

2. Penetapan kadar protein bromelin kasar dengan menggunakan metoda

Mikro Kjeldahl diperoleh sebesar 8,0384 %

5.2 Saran

Untuk para peneliti bromelin kasar berikutnya disarankan agar penelitian

dilanjutkan pada pemurnian bromelin kasar.

43
DAFTAR PUSTAKA

Amalia, A., & Nawfa, R. (2009). Amobilisasi Bromelin Dengan Menggunakan


Kitosan Sebagai Matrix Pendukung. Prosiding Skripsi Semester Genap
2009/2010. SK – 091304.

Anonim. (2011). Nanas, Diakses 15 Maret 2011 dari http://agrolink.moa.my/doa


/bcd/fruits/nanas/nanas.html.

Anonim. (2011). Tanaman Obat Indonesia, Diakses 15 Maret 2011 dari http://
www.iptek.net.id.htm.

Ansel, H. C. (1989). Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi (Edisi IV).


(Diterjemahkan oleh Farida Ibrahim). Jakarta: Universitas Indonesia.

Babu B., Rastogi, N.K., and Raghavarao, K.S.M.S. (2008). Liquid-liquid Extraction
Of Bromelain And Polyphenol Oxidase Using Aqueous Two-Phase
System. Chemical Engineering And Processing, 47, 83 – 89.

Chaidir, Z. (2006). Enzim Amobil Bromelain. (Tesis). Bandung: ITB.

Dalimartha, S. (2000). Atlas Tumbuhan Obat Indonesia. (Jilid 2). Jakarta: Trubus
Agriwidya.

Deman, J. M. (1997). Kimia Makanan. (Diterjemahkan oleh Kokasih


Padmawinata). Bandung: ITB.

Departemen Kesehatan (1979). Farmakope Indonesia. (Jilid III). (Dirjen POM


RI). Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Departemen Kesehatan (1989). Materia Medika Indonesia. (Jilid V). (Dirjen POM
RI). Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Hakim, A. (2009). Analisa Protein, Diakses 1 Mei 2011 dari http://mgmpkimia


sumbar.wordpress.com.

Hale, L. P., Greer, P. K., Trinh, C. T., and James, C. L. (2005). Proteinase
Activity And Stability Of Natural Bromelain Preparations. International
Immunopharmacology. 5(4): 783 – 793.

Herdyastuti, N. (2006). Isolasi dan Karakteristik Ekstrak Kasar Enzim Bromelain


dari Batang Nenas (Ananas comosus L. Merr). Jurnal Berk. Penel. Hayati
12, 75 – 77.

44
Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia, (2009). Informasi Spesialite Obat Indonesia.
Bandung: PT. Errita Pharma.

Ionescu, A., Aprodu, I., & Pascaru, G. (2001). Effect Of Papain And Bromelain
On Muscle And Collagen Proteins In Beef Meat. The Annals Of The
University Dunarea De Jos Of Galati Fascicle VI – Food Technology,
New Series Year II (XXXI).

Ketnawa, S., Sai-Ut, S., Theppakoin, T., Chaiwut, P., & Rawdkuen, S. (2009).
Partitioning Of Bromelain From Pineapple Peel (Nang Lae cultv.) By
Aqucous Two Phase System. As. J. Food Ag-Ind. 2009,2(04), 457 – 468.

Kim, H. J., & Tauh, J. A. (1996). Limited Proteolysis Of Myofibrillar Proteins By


Bromelain Decrases Toughness Of Coarse Dry Sausage. Food Chemistry,
57, 429 – 433.

Gupta, P., & Saleemuddin, M., (2006). Bioaffinity Based Oriented Immobilization
Of Stem Bromelain. Biotechnology Letter. 28(12): 917 – 922.

Rocky. (26 Agustus 2009). Tanduran panen: Sejarah, Klasifikasi Dan Morfologi
Nanas, Diakses 21 April 2011 dari http://www.rocky16amelungi.word
press.com.

Rukmana, R. (1996). Nenas Budidaya dan Pasca Panen. Yogyakarta: Kanisius.

Sebayang, F. (2006). Pengujian Stabilitas Enzim Bromelin yang Diisolasi dari


Bonggol Nanas Imobilisasi Menggunakan Kappa Karagenan. Jurnal Sains
Kimia. Vol 10, No.1, 20 – 26.

Soedarya, A. P. (2009). Budidaya Usaha Pengolahan Agribisnis Nanas. Bandung:


Pustaka Grafika.

Sudarmadji, S., Haryono, B., & Suhardi, (1996). Analisa Bahan Makanan dan
Pertanian. Yogyakarta: Liberty.

Tochi, B. N., Wang, Z., Xu, S. Y., & Zhang, W., (2008). Therapeutic Application
of Pineapple Protease (Bromelain). A Review, Pakistan Journal of
Nutrition. 7, 4, 513 – 520

Voight, R. (1994). Buku Pelajaran Tekhnologi Farmasi (Edisi V). (Diterjemahkan


oleh Soedani Noerono). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Wells, J. I. (1987). Pharmaceutical Preformulation: The Physicochemical


Properties of Drug Substances. Wingham: Ellis Horwood Limited.

Winarno, F. G. (1995). Enzim Pangan. Jakarta: Gramedia.

45
Lampiran 1. Data hasil penelitian

Tabel V. Sertifikat identifikasi tanaman nanas (Ananas comosus Merr.)

46
Lampiran 1 (Lanjutan)

Tabel VI. Hasil pemeriksaan bromelin kasar

No Pemeriksaan Perbandingan bromelin murni Pengamatan bromelin kasar yang


. dalam (Certificate of analysis diisolasi
bromelin Bernofarm)
1. Organoleptis
 Bentuk  Serbuk  Serbuk
 Warna  Putih kekuningan  kuning
 Bau  Khas  Khas
 Rasa  Tawar  Tawar
2. Kelarutan
 Air  Membentuk koloid  Larutan koloid (1 g : 100 mL)
 Alkohol 96 %  Tidak larut  Praktis tidak larut (0,01 g : 105 mL)
 HCl 0,1 N  -  Praktis tidak larut (0,01 g : 102 mL)
 NaOH 0,1 N  -  Sangat sukar larut (0,01 g : 25 mL)
 Aseton  Tidak larut  Sangat sukar larut (0,01 g : 100 mL)
3. pH Larutan 3,0 – 6,0 5,60 ± 0,0158
4. Susut pengeringan Tidak lebih dari 5,0 % 4,4085 % ± 0,9385
5. Kadar abu Tidak lebih dari 6,0 % 6,7887 % ±0,5245
6. Kualitatif protein
 Alkohol  Gumpalan putih  Gumpalan
 Reagen biuret  Larutan merah violet atau  Biru violet
biru violet
 HNO3 pekat  Endapan kuning  Endapan kuning
7. Kadar protein total - 8,0384 %

47
Lampiran 1 (Lanjutan)

Tabel VII. Sertifikat Certificate of Analysis bromelin dari Bernofarm.

48
Lampiran 1. (lanjutan)

Tabel VIII. Hasil data pemeriksaan kelarutan bromelin kasar

No. Pemeriksaan Pengamatan Perbandingan (g/mL)


1. Air Larutan koloid 1 g : 100 mL
2. Alkohol 96 % Praktis tidak larut 0,01 g : 105 mL (1 g : 10.500 mL)
3. HCl 0,1 N Praktis tidak larut 0,01 g : 102 mL (1 g : 10.200 mL)
4. NaOH 0,1 N Sangat sukar larut 0,01 g : 25 mL (1 g : 2.500 mL)
5. Aseton Sangat sukar larut 0,01 g : 100 mL (1 g : 10.000 mL)

Tabel IX. Hasil data pemeriksaan pH larutan bromelin kasar

No. pH larutan bromelin kasar yang diperoleh


1. 5,62
2. 5,60
3. 5,59
pH rata-rata = 5,60  0,0158

Tabel X. Hasil data pemeriksaan susut pengeringan bromelin kasar

No. Susut pengeringan bromelin kasar yang diperoleh


1. 4,9660%
2. 3,3250%
3. 4,9346%
Susut pengeringan rata-rata = 4,4085%  0,9385

Tabel XI. Hasil data pemeriksaan kadar abu bromelin kasar

No. Kadar abu bromelin kasar yang diperoleh


1. 6,4983%
2. 7,3945%
3. 6,4738%
Kadar abu rata-rata = 6,7887%  0,5245
Lampiran 1 (Lanjutan)

Tabel XII. Hasil data pemeriksaan distribusi ukuran partikel bromelin kasar

No. Ukuran Diameter Jumlah Frekuensi Frekuensi

49
partikel tengah partikel (n.d) (%) Kumulatif
(µm) partikel (d) (n) (%)
1. 0 – 10 5 264 1320 26,4 26,4
2. 11 – 20 15,5 220 3410 22,0 48.4
3. 21 – 30 25,5 112 2856 11,2 59,6
4. 31 – 40 35,5 94 3337 9,4 69,0
5. 41 – 50 45,5 82 3731 8,2 77,2
6. 51 – 60 55,5 70 3885 7,0 84,2
7. 61 – 70 65,5 66 4323 6,6 90,8
8. 71 – 80 75,5 52 3926 5,2 96,0
9. 81 – 90 85,5 28 2394 2,8 98,8
10. 91 – 100 95,5 12 1146 1,2 100
Σ 1000 30328 100

50
Lampiran 1 (Lanjutan)

30

25

20
Frekuensi (%)

15

10

0
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
Diameter tengah partikel (µm)

Gambar 1. Kurva frekuensi distribusi ukuran partikel bromelin kasar

100

80
Frekuensi kumulatif (%)

60

40

20

0
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
Diameter tengah partikel (µm)

Gambar 2. Kurva frekuensi kumulatif distribusi ukuran partikel bromelin kasar

51
Lampiran 1 (Lanjutan)

Tabel XIII. Hasil data pemeriksaan daya penyerapan air bromelin kasar

Waktu Jumlah air yang diserap oleh Jumlah air rata-rata


(menit) bromelin kasar (mL) yang diserap oleh
I II III bromelin kasar (mL)

1 0 0,1 0,1 0,0667


5 0,3 0,3 0,3 0,3000
15 0,6 0,6 0,7 0,6333
30 0,8 0,9 0,9 0,8667
45 1,1 1 1 1,0333
60 1,2 1,1 1,2 1,1667

1.2

1
Jumlah air yang diserap (mL)

0.8
I
0.6
II
0.4 III
(x) rata-
0.2 rata

0
0 10 20 30 40 50 60
-0.2
Waktu (Menit)

Gambar 3. Kurva daya penyerapan air bromelin kasar

52
Lampiran 1 (Lanjutan)

Tabel XIV. Hasil Data Pembakuan Larutan HCl 0,1 N

Pengulangan HCl yang terpakai (mL)


I 10,1
II 9,8
III 9,7
Volume rata-rata HCl yang terpakai 9,86

Untuk pembakuan digunakan 10 mL larutan Natriumtetraborat (Na2B4O7.10 H2O)

0,1 N

Normalitas larutan HCl

V 1 × N 1=V 2 × N 2

10 mL × 0,1=9,86 mL × N 2

10 mL ×0,1 N
N 2=
9,86 mL

N 2=0,1014 N

Tabel XV. Hasil Data Analisa Protein dengan Metoda Mikro Kjeldahl

Pengulangan Volume HCl % N % Kadar protein


Sampel terpakai (mL)
I 0,95 1,3427 8,3919
II 0,88 1,2450 7,7812
III 0,90 1,2707 7,9420
Rata-rata % kadar protein bromelin kasar 8,0384

53
Lampiran 2. Contoh Perhitungan

Contoh Perhitungan 1. Perolehan koloid kering bromelin kasar

Berat cawan kosong ¿ 31,2769 g

Berat cawan dan koloid ¿ 113,7260 g

Berat koloid ¿ 82,4491 g

Penambahan Natrium metabisulfit 0,2 % sebanyak tiga kali berat koloid

yaitu:

3 × 82,4491 g ¿ 247,3473 g

0,2 % × 247,3473 g ¿ 0,4947 g

Berat koloid bromelin ¿ 82,9438 g

Berat bromelin kasar ¿ 27,6341 g

Contoh Perhitungan 2. Perolehan rendemen (%) bromelin kasar

Berat sampel (batang nanas) ¿ 20 kg ¿ 20.000 g

Berat bromelin kasar ¿ 27,6341 g

27,6341 g
Rendemen( %)= x 100 %
20.000 g

¿ 0,1382 %

54
Lampiran 2 (Lanjutan)

Contoh Perhitungan 3. Simpangan baku pH larutan bromelin kasar

Tabel XVI. pH larutan bromelin kasar

Pengukuran (n) Ukuran pH (x) (x – x́) (x – x́)2


1 5,62 0,0200 0,0004
2 5,60 0 0
3 5,59 -0,0100 0,0001
n=3 Σ = 16,81 Σ = 0,0005

Σ(x)
Ukuran pH rata−rata ( x́ )=
n
16,81
¿
3
¿ 5,60

Σ( x – x́ )2

0,0005
Simpangan Baku ( SD )=
√ n−1
¿

3−1
0,0005
¿
√2
¿ √ 0,00025
¿ 0,0158

Hasil pengukuran yang didapat;


x ¿x± SD
x ¿5,60 ± 0,0158

55
Lampiran 2 (Lanjutan)

Contoh perhitungan 4. Perhitungan susut pengeringan bromelin kasar


I. Berat krus kosong (A) = 35,4702 g
Berat krus + bromelin kasar (B) = 36,4710 g
Berat krus + bromelin kasar setelah dipanaskan (C) = 36,4213 g
( B− A ) −( C−A )
% Susut pengeringan= ×100 %
( B− A )
(36,4710 g−35,4702 g)−(36,4213 g−35,4702 g)
¿ x 100 %
( 36,4710 g−35,4702 g )
1,0008 g−0,9511 g
¿ ×100 %
1,0008 g
¿ 4,9660 %

II. Berat krus kosong (A) = 38,5086 g


Berat krus + bromelin kasar (B) = 39,5101 g
Berat krus + bromelin kasar setelah dipanaskan (C) = 39,4768 g
( B− A ) −( C−A )
% Susut pengeringan= ×100 %
( B− A )
(39,5101 g−38,5086 g)−(39,4768 g−38,5086 g)
¿ x 100 %
( 39,5101 g−38,5086 g )
1,0015 g−0,9682 g
¿ ×100 %
1,0015 g
¿ 3,3250 %

III. Berat krus kosong (A) = 34,4820 g


Berat krus + bromelin kasar (B) = 35,4831 g
Berat krus + bromelin kasar setelah dipanaskan (C) = 35,4337 g
( B− A ) −( C−A )
% Susut pengeringan= ×100 %
( B− A )
(35,4831 g−34,4820 g)−(35,4337 g−34,4820 g)
¿ x 100 %
( 35,4831 g−34,4820 g )
1,0011 g−0,9517 g
¿ × 100 %
1,0011 g
¿ 4,9346 %

% SP I + % SP II +% SP III
∴ Rata−Rata % Susut Pengeringan=
3
4,9660 %+ 3,3250% + 4,9346 %
¿
3
13,2256 %
¿
3
¿ 4,4085 %

56
Lampiran 2 (Lanjutan)

Contoh Perhitungan 5. Simpangan baku susut pengeringan bromelin kasar

Tabel XVII. Susut pengeringan bromelin kasar

Pengukuran (n) % susut pengeringan (x) (x – x́) (x – x́)2


1 4,9660 0,5575 0,3108
2 3,3250 -1,0835 1,1740
3 4,9346 0,5261 0,2768
n=3 Σ = 13,2256 Σ = 1,7616

Σ (x )
% Susut pengeringan rata−rata ( x́ )=
n
13,2256
¿
3
¿ 4,4085

2
Σ ( x− x́ )
Simpangan Baku ( SD )=
1,7616

n−1
¿

3−1
1,7616
¿
√2
¿ √ 0,8808
¿ 0,9385

Hasil pengukuran yang didapat;


x ¿x± SD
x ¿4,4085 ± 0,9385

57
Lampiran 2 (Lanjutan)

Contoh perhitungan 6. Perhitungan kadar abu bromelin kasar

I. Berat krus kosong (A) = 35,4702 g


Berat krus + bromelin kasar (B) = 36,4720 g
Berat krus + bromelin kasar setelah dipijarkan (C) = 35,5353 g
C− A
% Kadar abu= ×100 %
B−A
35,5353 g−35,4702 g
¿ ×100 %
36,4720 g−35,4702 g
0,0651 g
¿ ×100 %
1,0018 g
¿ 6,4983 %

II. Berat krus kosong (A) = 38,5086 g


Berat krus + bromelin kasar (B) = 39,5107 g
Berat krus + bromelin kasar setelah dipijarkan (C) = 34,5469 g
C− A
% Kadar abu= ×100 %
B−A
38,5827 g−38,5086 g
¿ ×100 %
39,5107 g−38,5086 g
0,0741 g
¿ × 100 %
1,0021 g
¿ 7,3945 %

III. Berat krus kosong (A) = 34,4820 g


Berat krus + bromelin kasar (B) = 35,4845 g
Berat krus + bromelin kasar setelah dipijarkan (C) = 34,5469 g
C− A
% Kadar abu= ×100 %
B−A
34,5469 g−34,4820 g
¿ ×100 %
35,4845 g−34,4820 g
0,0649 g
¿ ×100 %
1,0025 g
¿ 6,4738 %

% KA I + % KA II+ % KA III
∴ Rata−Rata % Kadar Abu=
3
6,4983 %+7,3945 %+ 6,4738 %
¿
3
20,3666 %
¿
3
¿ 6,7887 %

58
Lampiran 2 (Lanjutan)

Contoh perhitungan 7. Simpangan baku kadar abu bromelin kasar

Tabel XVIII. Kadar abu bromelin kasar

Pengukuran (n) % kadar abu (x) (x – x́) (x – x́)2


1 6,4983 -0,2904 0,0843
2 7,3945 0,6058 0,3670
3 6,4738 -0,3149 0,0992
n=3 Σ = 20,3666 Σ = 0,5502

Σ(x)
% Kadar abu rata−rata(x́ )=
n
20,3666
¿
3
¿ 6,7887

Σ( x – x́ )2

0,5502
Simpangan Baku ( SD )=
√ n−1
¿

3−1
0,5502
¿
√ 2
¿ √ 0,2751
¿ 0,5245

Hasil pengukuran yang didapat;


x ¿ x ± SD
x ¿6,7887 ± 0,5245

59
Lampiran 2 (Lanjutan)

Contoh perhitungan 8. Pengukuran kalibrasi mikroskopis

Kalibrasi mikroskopis
1 skala okuler=1 skala pentas
1 skala pentas=0,01 mm
1 skala pentas ×0,01 mm
1 skala okuler=
1 skala okuler
¿ 0,01 mm
¿ 10 µ m
Rata – rata diameter panjang
Σnd
dtl=
Σn
30328
¿
1000
¿ 30,328 µ m

60
Lampiran 2 (Lanjutan)

Contoh perhitungan 9. Perhitungan daya serap air

Jumlah air yang menyerap bromelin kasar selama 1 jam

Pada menit ke 1,
Air yang menyerap bromelin pada:
uji I = 0 mL
uji II = 0,1 mL
uji III = 0,1 mL
0+0,1+0,1
Jumlahrata−rata air yang menyerap bromelin kasar ( x́ )=
3
¿ 0,0667 mL

Pada menit ke 5,
Air yang menyerap bromelin pada:
uji I = 0,3 mL
uji II = 0,3 mL
uji III = 0,3 mL
0,3+0,3+0,3
Jumlahrata−rata air yang menyerap bromelin kasar ( x́ )=
3
¿ 0,3000 mL

Pada menit ke 15,


Air yang menyerap bromelin pada:
uji I = 0,6 mL
uji II = 0,6 mL
uji III = 0,7 mL
0,6+0,6+ 0,7
Jumlahrata−rata air yang menyerap bromelin kasar ( x́ )=
3
¿ 0,6333 mL

Pada menit ke 30,


Air yang menyerap bromelin pada:
uji I = 0,8 mL
uji II = 0,9 mL
uji III = 0,9 mL
0,8+0,9+0,9
Jumlahrata−rata air yang menyerap bromelin kasar ( x́ )=
3
¿ 0,8667 mL

61
Pada menit ke 45,
Air yang menyerap bromelin pada:
uji I = 1,1 mL
uji II = 1 mL
uji III = 1 mL
1,1+ 1+1
Jumlahrata−rata air yang menyerap bromelin kasar ( x́ )=
3
¿ 1,0333 mL

Pada menit ke 60,


Air yang menyerap bromelin pada:
uji I = 1,2 mL
uji II = 1,1 mL
uji III = 1,2 mL
1,2+ 1,1+1,2
Jumlahrata−rata air yang menyerap bromelin kasar ( x́ )=
3
¿ 1,1667 mL

62
Lampiran 3. Analisa Data

Contoh Perhitungan 10. Penetapan kadar protein bromelin kasar.

 Perhitungan kadar protein I


mL HCl× N HCl × BM N ×100 % × Fp
%N=
mg sampel
0,95 mL×0,1014 N ×14,008 ×100 % ×10
%N=
1.005 mg
% N =1,3427 %
kadar protein=% N × Fk
¿ 1,3427 % × 6,25
¿ 8,3919 %

 Perhitungan kadar protein II


mL HCl× N HCl × BM N ×100 % × Fp
%N=
mg sampel
0,88 mL×0,1014 N ×14,008 ×100 % ×10
%N=
1.004 mg
% N =1,2450 %
kadar protein=% N × Fk
¿ 1,2450 % × 6,25
¿ 7,7812 %

 Perhitungan kadar protein III


mL HCl× N HCl × BM N ×100 % × Fp
%N=
mg sampel
0,90 mL×0,1014 N ×14,008 ×100 % ×10
%N=
1.006 mg
% N =1,2707 %
kadar protein=% N × Fk
¿ 1,2707 % × 6,25
¿ 7,9420 %

Kp I + Kp II + Kp III
Rata−rata kadar proteinbromelin kasar =
3
8,3919 %+7,7812 %+7,9420 %
¿
3
¿ 8,0384 %

63
Lampiran 4. Gambar Penelitian

Gambar 4. Tanaman nanas (Ananas comosus Merr.)

Gambar 5. Batang nanas (Ananas comosus Merr.)

64
Lampiran 4 (Lanjutan)

Gambar 6. Batang nanas yang dipotong-potong kecil

Gambar 7. Koloid bromelin

65
Lampiran 4 (Lanjutan)

Gambar 8. Serbuk bromelin kasar

Gambar 9. Foto mikroskopis bromelin kasar dengan pembesaran 10 x 4

66
Lampiran 4 (Lanjutan)

Gambar 10. Reaksi bromelin dengan alkohol dan reaksi biuret (NaOH 0,1 N + CuSO4)

Gambar 11. Reaksi xantoprotein (bromelin dengan HNO3 pekat)

67
Lampiran 4 (Lanjutan)

Gambar 12. Sampel di Destruksi

Gambar 13. Destilasi

68
Lampiran 4 (Lanjutan)

Gambar 14. Hasil Titrasi

69
Lampiran 4 (Lanjutan)

Gambar 15. Tube Centrifuge DKC-1008T

70
Lampiran 4. Skema Kerja Penelitian

Pengambilan sampel segar


batang nanas 20 Kg
Setiap 200 gram batang nanas
dibersihkan dan dipotong-potong kecil
diblender dengan 100 mLbuffer fosfat
pH 7.0 dan disaring dengan kain kasa.

Sari batang Ampas


Disimpan dalam lemari es selama ± 24 jam.

Endapan sari batang Air


nanas dengan air

Disentrifuge dengan kecepatan 3500 rpm selama ± 15 menit.

Lapisan atas Lapisan tengah Lapisan bawah


(cairan bening) (koloid yang mengandung bromelin) (pati)

Ditambahkan natrium metabisulfit 0,2 %


sebanyak 3 kali berat koloid kemudian
dipanaskan dalam oven pada suhu 55 oC
± 7 jam sampai kering.

Ekstrak kering

Digerus dan diayak.

Serbuk bromelin kasar

Evaluasi

Gambar 16. Skema kerja ekstraksi bromelin kasar dari batang nanas

Lampiran 4 (Lanjutan)

Organoleptis

Kelarutan

71
pH Larutan

Susut Pengeringan

Kadar Abu
Evaluasi
Bromelin Kasar
Foto Mikroskopis

Distribusi Ukuran Partikel

Daya Serap Air

Uji Kualitatif Protein

Kadar Protein

Gambar 17. Skema kerja evaluasi bromelin kasar dari batang nanas

72
Lampiran 4 (Lanjutan)

Penetapan Kadar Protein Total

1 g Bromelin Kasar

 Masukkan dalam labu Kjeldahl


 + 10 mL H2SO4 pekat
 + 1 g selenium (Se)
 Panaskan dalam lemari asam sampai berhenti
berasap dan teruskan pemanasan sampai larutan
jernih.
Cairan Jernih
 Dimasukkan dalam labu ukur 100 mL, cukupkan
dengan aquadest
 10 mL larutan dipipet, dimasukkan dalam labu
destilasi.
 Ditambahkan 10 mL NaOH 33%

Destilasi
 10 mL asam borat (H3BO3) + 3 tetes
indikator bereaksi sehingga terbentuk warna biru.

Destilat
 Larutan hasil destilasi dititrasi dengan HCl sampai
terbentuk warna pink.

 Penetapan % N
 Penetapan % Protein Total

Gambar 18. Skema kerja analisa protein dengan metoda Kjeldahl

73

Anda mungkin juga menyukai