Anda di halaman 1dari 17

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Atrial Septal Defek (ASD)

2.1.1. Definisi

Atrial Septal Defeft (ASD) adalah penyakit jantung bawaan berupa lubang (defek)

pada septum inter atrial yang terjadi karena kegagalan fusi septum interatrial

semasa janin (Wong, 2008).

2.1.2. Klasifikasi

Berdasarkan lokasi lubang, diklasifikasikan dalam 3 tipe. Yaitu (1) ASD

sekundum, bila lubang terletak pada daerah fosa ovalis, (2) ASD primum, bila

lubang terletak di daerah ostium primum, yang mana ini termasuk salah satu

bentuk Atrio Ventricular Septal Defeck (AVSD), dan (3) Sinus Venosus Defect

(SVD) bila lubang terletak di daerah sinus venosus dekat muara vena kaya

superior atau inferior (Wong, 2008).

2.1.3. Patofisiologi

Karena tekanan atrium kiri lebih melebihi atrium kanan maka darah mengalir

dari atrium kiri ke kanan, sehingga terjadi peningkatan lairan darah yang kaya

akan oxygen ke dalam sisi kanan jantung. Volume darah ini ditoleransi baik oleh

ventrikel kanan karena dialirkan oleh tekanan yang lebih rendah dibandingkan

dengan pada defek septum ventrikel (Wong, 2008 ).

9
10

2.1.4. Etiologi ( Rahayu, 2003 ).

Kelainan jantung ASD merupakan penyakit congenital yang penyebabnya tidak

diketahui secara pasti, tetapi ada beberapa faktor yang diduga mempunyai

pengaruh pada peningkatan angka kejadian ASD.

2.1.4.1 Faktor prenatal :

Ibu menderita infeksi rubella, Ibu alkoholis, Umur ibu pada saat kehamilan >

40tahun, Ibu dengan IDDM, Ibu meminum obat-obatan penenang atau jamu saat

kehamilan

2.1.4.2 Faktor Genetik :

Anak yang lahir sebelumnya menderita Penyakit Jantung Bawaan, Ayah dan ibu

menderita Penyakit Jantung Bawaan , Kelainan kromosom (down syndrome),

Lahir dengan kelainan bawaan lain.

2.1.5. Tanda dan Gejala

Banyak anak-anak atau remaja dengan ASD tidak menunjukkan gejala apa-apa

(asimptomatik). Pada pemeriksaan fisik menisfestasi klinis pada Atrial Septal

Defect (ASD) : Habitus kurus, Dispnea, Kecenderungan infeksi saluran nafas

berulang, Kardiomegali, Palpitasi


11

2.1.6. Pemeriksaan Penunjang

2.1.6.1 Elektrokardiogram

Deviasi sumbu QRS kekanan, Right Bundle Branch Block (RBB), Hipertrofi

ventrikel kanan, ASD Primum : interval PR memanjang dan sumbu QRS

berdeviasi ke kanan, SVD : mungkin sumbu gelombang P negative.

2.1.6.2 Foto Rontgen Toraks

Kardiomegali akibat pembesaran atrium dan ventrikel kanan, Penonjolan segmen

pulmonal, Gambaran vaskularisasi paru yang plethora, Gambaran vaskuler paru

yang berkurang didaerah tepi pada Hipertensi Pulmonal yang sudah terjadi

penyakit vaskuler paru (PVP)

2.1.6.3 Ekokardiogram

2.1.6.3.1 Ekokardiogram M-Mode :

Dilatasi ventrikel kanan, Pergerakan septum ventricular yang paradoks.

2.1.6.3.2 Ekokardiogram 2-dimensi :

Lokasi celah ASD pada pandangan subsifoid: ASD primum, ASD sekundum dan

SVD superior atau inferior, Tentukan semua muara vena pulmonalis khususnya

pada SVD, karena sering disertai anomalous pulmonary venous drainage

(APVD).
12

2.1.6.4 Kateterisasi jantung

Kateterisasi dilakukan untuk melihat tekanan pada masing-masing ruang jantung.

Bila terdapat hipertensi pulmonal pada keteterisasi jantung terdapat peningkatan

saturasi O2 di atrium kanan dengan peningkatan ringan tekanan ventrikel kanan

dan kiri.

2.1.7 Penatalaksanaan Bedah

Bila tidak ada tanda-tanda hipertensi pulmonal operasi closure ASD dilakukan

secara elektif, pada anak dianjurkan usia pra sekolah. ASD closure adalah

penutupan dengan dakron pacth pada lubang defek Atrium. Bila pada

pemeriksaan echokardiografi lubang ASD sudah cukup jelas dengan flow rasio

lebih dari 1,5 mm, maka penutupan operasi ASD closure. Operasi dapat

dilakukan tanpa pemeriksaan sadap jantung (kateterisasi jantung). Komplikasi

yang terjadi pada pasien post operasi yaitu perdarahan, tamponade jantung,

hemolisis, kegagalan pernafasan, gangguan irama jantung, henti jantung, curah

jantung rendah, kegagalan ginjal, infeksi luka, sepsis, gangguan neorologi dll (

Rahayu, dkk, 2003)

2.1.8 Penata Laksanaan Non Bedah

ASD juga dapat dilakukan penutupan menggunakan alat khusus melalui prosedur

kateresiasi amplatzer septal occluder (ASO), prognosis angka mortalitas

pembedahan sangat rendah yaitu kurang dari 1%.


13

2.2 Nyeri

Ada dua definisi nyeri popular yang akan dijelasakan dalam literatur ini. Nyeri

didefinisikan sebagai sensori yang tidak menyenangkan dan pengalaman

emosional yang diaktualisasikan oleh kerusakan jaringan potensial (International

Association for the Study of pain). Nyeri merupakan sesuatu yang unik dan

subyektif dan bervariasi dari satu orang dengan orang lain. Dalam hal ini pasien

sendiri yang paling ahli dengan pengalaman nyerinya. Pada saat perawat, dokter

atau tenaga kesehatan lainnya tidak dapat merasakan pengalaman nyeri klien,

perlu dilakukan pengkajian dan pengobatan berdasarkan pengalaman individu

dengan menggunakan terapi modalitas farmakolgi dan non farmakolog,( Chailler,

M. 2009).

Hasil penelitian ini Gill (1990 dalam Potter dan Perry, 2005) mengemukakan

yaitu pengaruh jenis kelamin terhadap nyeri belum dapat dijawab secara pasti.

Toleransi terhadap nyeri dipengaruhi oleh faktor-faktor biokimia yang

merupakan hal unik pada setiap individu tanpa memperhatikan jenis kelamin.

Secara umum laki-laki dan perempuan tidak berbeda secara signifikan dalam

berespon terhadap nyeri. Berkley (1999) dalam jurnal yang berjudul sex

difference in pain, menyatakan bahwa wanita memiliki ambang nyeri yang

rendah, kemampuan untuk mendeskripsikan nyeri lebih tinggi, nilai skala nyeri

lebih tinggi dengan kurang toleransi terhadap rangsangan nyeri yang berat

dibandingkan dengan laki-laki.


14

2.2.1 Jenis nyeri

2.2.2.1 Breakthough Pain

Nyeri dapat meningkat pada berbagai waktu dengan aktifitas spesifik seperti

berubah posisi. Breakthough Pain didefinisikan sebagai pengalaman nyeri pasien

yang relatif stabil dan adekuat yang mengontrol nyeri pada level bagian bawah.

Setelah bedah jantung, klien memerlukan aktiftas tertentu untuk

mengoptimalkan penyembuhan mereka. Salah satu aktifitas yang dapat

menyebabkan nyeri adalah napas dalam dan batuk efektif. Saat sternum dibuka

pada pembedahan, perpindahan tulang rusuk selama napas dalam dan batuk bisa

meningkatkan nyeri.

2.2.1.2 Unrelieved Pain

Klien dengan nyeri yang tidak putus-putusnya (unrelieved pain) kurang dapat

melakukan napas dalam, batuk atau berpindah di sekitar tempat tidur saat paska

bedah. Immobilisasi seperti ini berhubungan dengan waktu penyembuhan yang

relative lebih lambat. Nyeri yang terus menrus dan tidak putus-putusnya ini juga

dapat menyebabkan sejumlah komplikasi pada sistem kardiovaskuler dan

pulmonal. Kondisi jantung yang kurang baik dihubungkan dengan nyeri yang

tidak putus-putusnya dengan manifestasi takikardi, hipertensi, peningkatan

volume stroke dan kerja jantung yang bisa meningkatkan konsusmsi oksigen di

miokardial sehingga mencegah jantung untuk istirahat dan penyembuhan setelah

pembedahan. Nyeri yang terus menerus post ASD Closure dapat mengganggu

pola napas yang bisa menyebabkan komplikasi pulmonal. Contoh komplikasi

pulmonal yang berhubungan dengan nyeri yang tidak putus-putusnya adalah


15

atelektasis, pneumonia, hipoksemia dan retensi secret. Nyeri yang tidak putus-

putusnya ini sejalan sebagai sumber yang negatif bagi hasil yang ingin dicapai

pasien yang menyebabkan peningkatan biaya dan lama rawat di RS. semakin

baik preoperatif maka lama hari rawat makin singkat dan pemberian terapi

komplementer dapat mengurangi mediastinitis karena bedah jantung (Leung,

W.S, et.al. 2013).

2.2.1 Fisiologi Nyeri

a) Nyeri merupakan campuran reaksi fisik, emosi, dan perilaku nyeri. Nyeri terjadi

dengan melibatkan komponen resepsi, perspsi dan reaksi (Potter, 2006).

Selanjutnya dijelaskan dalam uraian berikut.

b) Mekanisme resepsi: semua kerusakan seluler yang disebabkan oleh stimulus,

mekanik, kimia, atau listrik menyebabkan pelepasan subtansi atau mediator yang

menghasikan nyeri seperti : histamin, bradikinin, serotini, plasmakinin,

prostaglandin, dan ion-ion kalium bergabung di nosiseptor. Nosiseptor

merupakan ujung syaraf bebas yang merespon terhadap rangsangan yang

menyakitkan. Nosiseptor ditemukan diseluruh jaringan kecuali otak, dan

mengirimkan informasi ke otak. Nosiseptor dirangsang oleh rangsangan biologis,

listrik, mekanik,dan kimia. (Srivastava, 2010). Mediator nyeri merangsang

reseptor-resptor nyeri pada ujung saraf bebas di kulit, selaput lendir, dan

jaringan. Apabila kombinasi dengan reseptor nyeri ambang nyeri (tingkat

intensitas stimulus minimum yang dibutuhkan untuk membangkitkan suatu

impuls saraf), maka terjadilah nyeri (Srivastava, 2010).


16

c) Impuls saraf

yang yang dihasilkan oleh stimulus nyeri, menyebar disepanjang serabut saraf

perifer aferen ke susunan saraf pusat melalui sumsum tulang belakang ke

thalamus dan ke pusat nyeri di otak besar. Persepsi nyeri terjadi ketika

rangsangan dikirimkan ke sumsum tulang belakang kemudian ke pusat otak.

Impuls nyeri berjalan ke tanduk dorsal tulang belakang, kemudian terjadi sinapsis

dengan neuron tanduk dorsal disubstantia gelatinosa lalu ke otak. Sensasi dasr

nyeri terjadi di thalamus, dilanjutkan sistem limbik (pusat emosi) dan kortek

serebral, dimana nyeri dirasakan dan ditafsirkan (Srivastava, 2010).

d) Teori

Pengontrolan Nyeri (Gate control theory)

Terdapat beberapa teori yang dikembangkan untuk menjelaskan fenomina nyeri

yang kompleks dan berusaha menggambarkan bagaimana nosireseptor dapat

menghasilkan rangsangan nyeri. Sampai saat ini dikenal dengan berbagai teori

yang mencoba menjelaskan bagaimana nyeri dapat timbul, namun teori gerbang

kendali nyeri dianggap paling relevan (Tamsuri, 2007).

Seorang psikolog Ronald Melzack dan ahli anatomi Patrick Wall memperkenalkan teori

gate control. Menurut teori ini serabut saraf perifer membawa nyeri ke spinal cord dan

inputnya dimodifikasi pada tingkat spinal cord sebelum ditransmisikan ke otak. Melzack

dan Wall menjelaskan melalui gate control theory bahwa sensari nyeri akan dirasakan

bila impuls/rangsangan nyeri dari sumber nyeri berhasil dihantarkan oleh serabut saraf

ke pusat nyeri di sistem saraf pusat (otak) melalui gerbang nyeri (pain gate). Gerbang
17

nyeri dapat ditutup dengan cara mengaktifkan serabut saraf Aβ melalui rangsangan raba,

tekanan, sentuhan, atau getaran pada nyeri, sehingga impuls nyeri tidak diteruskan ke

medulla spinalis dan juga ke otak dan akhirnya seseorang tidak merasakan sensasi nyeri.

Saat gerbang nyeri terbuka, rangsangan nyeri dapat dihantarkan ke otak sehingga timbul

rasa nyeri (Kozier, 2000).

2.2.2 Management Nyeri

2.2.2.1 Management nyeri secara farmakologi

Penatalaksanaan nyeri dapat dilakukan dengan intervensi farmakologis dan non

farmakologis (Smeltser, 2002 ), Menurut Tamsuri (2007), penatalaksanaan nyeri

secara farmakologis meliputi penggunaan opioid (narkotika), monopoid/NSAIDs

(Nonsteroid Anti-Inflamasi Drugs), dan Analgesik. Analgesik opioid (narkotik)

terdiri dari beberapa derivat dari opium seperti morfin dan kodein. Narkotik dapat

menyebabkan penurunan nyeri dan memberi efek euphoria (kegembiraan) karena

obat ini mengadakan ikatan dengan reseptor opiat (seperti delta dan alfa ) dan

mengaktifkan penekanan nyeri endogen pada susunan saraf pusat.

Narkotik tidak hanya menekan rangsang nyeri, tetapi juga menekan pusat

pernafasan dan batuk di medullah batang otak. Dampak lain dari narkotik adalah

sedasi dan peningkatan toleransi obat sehingga kebutuhan dosis obat akan

meningkat. Analgesik non-opioid (analagesik non-narkotik )atau sering disebut

juga Nonsteroid Anti-Inflammtory Drugs, (NSAIDs) seperti Aspirin

Acetaminofen, dan ibuprofen selain memiliki efek anti nyeri juga memiliki efek

anti inflamasi dan anti deman (antipiretik). Obat-obat golongan ini menyebabkan
18

penurunan nyeri yang bekerja pada ujung-ujung syaraf perifer di daerah yang

mengalami cedera, dengan menurunkan kadar mediator peradangan yang

dibangkitkan oleh sel-sel yang mengalami cedera (Tamsuri, 2007).

2.2.2.2 Management nyeri secara nonfarmakologis.

Penatalaksanaan nyeri secara nonfarmakologis untuk mengurangi nyeri terdiri dari

beberapa teknik diantaranya adalah distraksi. Distraksi adalah metode untuk

menghilangkan nyeri dengan cara mengalihkan perhatian klien pada hal-hal lain

sehingga klien lupa terhadap nyeri yang dialami klien. Tehnik distraksi pada anak,

sangat efektif digunakan untuk mengalihkan nyeri, hal ini disebabkan karena

distraksi merupakan suatu metode dalam upaya menurunkan nyeri pada anak dan

sering membuat klien lebih dapat menahan nyerinya (Potter, 2006). Selain

distraksi penanganan nyeri secara nonfarmakologis adalah Cold Therapi.

a) Terapi Dingin (Cold Therapy)

Laporan tentang penggunaan terapi dingin (cold therapy) untuk penanganan

nyeri sudah disebutkan dalam literatur dari 50 tahun yang lalu. Terapi dingin

(cold therapy) digunakan untuk menurunkan nyeri post bedah dan masalah

medis yang menyebabkan nyeri. Terapi dingin (cold therapy) juga dapat

menurunkan bengkak yang disebabkan oleh cedera atau trauma dan

perdarahan. Beberapa studi mengidentifikasi bahwa hubungan saraf yang

mendukung adanya persepsi nyeri akan lebih lambat dengan aplikasi terapi

dingin (cold therapy). Selain itu terapi dingin (cold therapy) juga menurunkan

spasme otot dari trauma musculoskeletal dan waktu penyembuhan dari cedera.
19

Terapi dingin (cold therapy) digunakan untuk menangani nyeri pada sejumlah

situasi klinik. Contohnya terapi dingin (cold therapy) mempunyai dampak

analgesik untuk nyeri post pembedahan dan prosedur tindakan. Pemberian terapi

dingin dapat mendukung reliabilitas dan reproduksifitas fungsi autonom jantung. (

Wirch, J.L. 2004). Penggunaan es sebelum prosedur yang membuat nyeri juga

menunjukkan ada penurunan nyeri yang dikaitkan dengan prosedur terapi dingin

(cold therapy) Keefektifan penggunaan es tergantung beberapa faktor seperti

durasi penggunaan es, lokasi dan penggunaan pelindung kulit.

2.2.3 Mekanisme Aksi dari Terapi Dingin (Cold Therapy)

2.2.3.1 Waktu Aplikasi

Beberapa sumber merekomendasikan pelaksanaan terapi dingin (cold therapy)

selama 20-30 menit setiap 2 jam khususnya 12-72 jam setelah trauma, pada saat

bengkak yang terjadi mulai stabil. Beberapa sumber penulis buku

merekomendasikan penggunaan pelindung kulit pada saaat memberi terapi dingin

(cold therapy) pada injuri.

2.2.3.2 Pelindung Kulit

Pelindung kulit adalah benda yang ditempatkan diantara kulit dan sumber dingin.

Benda ini dapat mengeringkan atau menguapkan bagian yang abash atau sebagai

balutan elastik. Tetapi bagaimanapun pelindung kulit dapat merubah temperatur

kulit dan keefektifan terapi dingin (cold therapy). Penelitian Janwantanakul (2004)

menemukan tidak ada reaksi yang kurang ketika es diberikan tanpa pelindung kulit

selama 20 menit. Penelitian lain memperingati agar hati-hati menggunakan gel


20

packs yang beku. Ketika dipindahakan dari pendingin perlu menurunkan

temperatur bekunya. Oleh karena itu direkomendasikan menggunakan pelindung

kulit untuk gel packs. Balutan bedah (dressings) dapat digunakan sebagai

pelindung kulit tetapi ketebalannya memerlukan pertimbangan karena pengaruh

dingin bisa terpengaruh dari ketebalan pelindung kulit (Chailler, M, 2009).

2.2.3.3 Temperatur, (Chailler, M, 2009).

Penggunaan terapi dingin (cold therapy) menurunkan temperatur kulit. Temperatur

kulit aman diidentifikasi pada kisaran 10-150C. Pada studi di laboratorium

diidentifikasi bahwa analgesik diberikan ketika temperatur kulit sekitar 13,6 0C dan

pengaruh analgesic tidak tampak post perawatan sampai temperatur naik diatas

15,60C. Permukaan kulit lebih dingin daripada lapisan jaringan bagian dalam kulit

pada saat terapi dingin (cold therapy) diaplikasikan. Pada 1 cm kedalaman kulit,

kantong es lebih efektif menurunkan temperatur jaringan dibanding gel packs

tetapi pada kedalaman 2 cm, tidak ada perbedaan signifikan. Suhu tubuh diatur

dengan mekanisme seperti thermostat di hipotalamus. Mekanisme ini menerima

masukan dari reseptor yang berada di pusat dan perifer. Jika terjadi perubahan

suhu, reseptor-reseptor ini akan menghantarkan informasi tersebut ke thermostat,

yang akan meningkatkan atau menurunkan produksi panas untuk menghantarkan

suhu set point yang konstan. Akan tetapi, selama infeksi substnsi pirogenik

menyebabkan peningkatan set point normal tubuh, suatu proses dimediasi oleh

prostaglandin akibatnya hipotalamus meningkatkan produksi panas sampai suhu

inti (internal) mencapai set pont yang baru (Wong, 2008)


21

2.2.3.4 Penyembuhan Luka, (Chailler, M, 2009).

Hipotermia yang berkelanjutan menyebabkan vasokontriksi tidak berhenti dan

dapat menekan proses penyembuhan luka. Tidak ada studi yang

mengindikasikan secara pasti bahwa 20 menit aplikasi terapi dingin (cold

therapy) pada luka akan merintangi proses penyembuhan. Terapi dingin (cold

therapy) tidak mempengaruhi penyembuhan luka bila es diletakkan di rahang

setelah bedah mulut. Pada literatur disebutkan tidak ada pengaruh yang

berhubungan langsung dengan penurunan penyembuhan luka ketika es

diberikan diatas luka bedah dengan aplikasi penggunaan es lebih dri 30 menit.

2.2.3.5 Perubahan Vaskular, (Chailler, M, 2009).

Setelah cedera jaringan, seperti intervensi pembedahan, vasodilatasi terjadi.

Akibatnya meningkatkan tekanan hidrostatik yang akan meningkatkan

ekstravasasi cairan serous sehingga menyebabkan bengkak disekitar area

injuri. Ruptur kapiler terjadi pada insisi pembedahan. Ketika terapi dingin

(cold therapy) diaplikasikan setelah prosedur pembedahan, tubuh mencoba

menyimpan panas dengan konstriksi pembuluh kutaneus superficial, yang

menurunkan permeabilitas kapiler dan menurunkan resiko perdarahan.

Pendinginan menurunkan aktifitas metabolik dan peenggunaan oksigen di sel.

Ada dua teori tentang pengaruh terapi dingin (cold therapy)pada pembuluh

darah. Beberapa mempercayai bahwa vasokontriksi lokal terjadi lebih banyak

pada jaringan superficial melalui mekanisme reflek, dimana jaringan dalam

vasokonriksi lebih banyak menurunkan aktifitas metabolik. Dibagian atas

aplikasi terapi dingin (cold therapy), vasodilatasi pembuluh darah arah akan
22

meningkatkan suplai darah. Vasokontriksi pada permukaan pembuluh darah

menyebabkan reflek vasodilatasi pada pembuluh darah dalam yang akan

mensuplai luka dengan banyak nutrisi yang berguna untuk proses

penyembuhan.

2.2.3.6 Konduksi Saraf, (Chailler, M, 2009).

Terapi dingin (cold therapy) mempengaruhi konduksi saraf secara perlahan.

Pada studi laboratorium didentifikasi kecepatan saraf menurun sejalan

penurunan temperatur dibawah 180C di jari-jari. Kecepatan saraf menurun

rata-rata 11,6% setelah 24 menit aplikasi es diatas pergelangan dan 29,4%

setelah 20 menit diatas siku. Penurunan konduksi saraf menyebabkan

peningkatan nyeri baik yang terus menerus atau yang dpat ditoleransi.

2.2.3.7 Sensasi Dingin, (Chailler, M, 2009).

Selama terapi dingin (cold therapy) diberikan antara 2-7 menit, pasien merasa

terbakar, sensasi sakit, kaku area lokal dan rasa sakit berkurang dirasakan

pada menit ke 5-12. Pada beberapa menit pertama terapi dingin (cold therapy)

diberikan, rasa tidak nyaman karena dingin banyak disebutkan dalam literatur

sebagai rintangan dalam aplikasi. Terapi dingin (cold therapy) dapat diterima

jika sumber dingin disertai dengan pelindung kulit, sehingga sensasi awalnya

akan terasa setengah dingin.


23

Meningkatnya pengalaman nyeri pada saat latihan napas dalam dan batuk harus

dimanajemen secara tepat oleh perawat dimana perlu memfasilitasi kemampuan

untuk napas dalam dan batuk karena hal ini merupakan aktifitas yang penting

untuk penyembuhan.

2.3. Usia Prasekolah

Anak akan mempersepsikan nyeri yang dialaminya, sesuai dengan tingkat

perkembangan, Srivastava (2010), Anak usia prasekolak memprsepsikan nyeri

dengan mencoba berani ketika menghadapi prosedur yang menyakitkan , bisa

mundur ke tahap perkembangan sebelumnya, berusaha memahami alasan nyeri.

Usia Prasekolah (3-6 tahun) adalah suatu tahapan perkembangan, dimana anak

mulai mampu berfikir rasional tentang apa yang terjadi pada dirinya dan sudah

mulai mengungkapkan nyeri yang dirasakan secara verbal. Anak juga dapat

menggambarkan intensitas dan lokasi nyeri yang dialami secara lebih rinci.

Mereka mungkin bertindak berani, menampakkan pola perilaku yang kurang

jelas, seperti mengepalkan tinju dan mengatupkan mulut atau dia membisu (Betz

& Sowden, 2002). Menurut Wong (2004), anak usia prasekolah berada pada

tahap pikiran operasional yang konkret, dimana anak biasanya akan menyatakan

nyeri secara fisik, menerima nyeri psikologis, takut pada kerusakan tubuh dan

kematian.
24

2.4. Skala Pegukur Nyeri Anak

Menurut Wong, (2004), macam-macam skala peringkat nyeri pada anak meliputi

2.4.1 Skala Wajah

Skala ini terdiri dari 6 wajah kartun yang direntangkan dari wajah tersenyum

untuk “tidak ada nyeri” sampai wajah menangis untuk anak “nyeri paling buruk”

(Hoekenberry, 2010). Digunakan untuk anak usia 3 tahun. Skala ini diatur secara

visual dengan ekspresi digaunakan wajah untuk menunjukkan intensitas nyeri

yang dirasakan.

Gambar 2.1 Skala Nyeri Wajah

2.4.2 Skala Numerik

Skala numerik menggunakan garis lurus dengan ujung titik teridentifikasi

sebagai “ tidak ada nyeri “ dan “ nyeri paling buruk” pembagian sepanjang

garis ditandai dengan unit 0 – 10 (angka tertinggi). Skala ini digunakan

untuk anak 5 tahun, selama mereka dapat menghitung dan mempunyai

konsep tentang angka.


25

Gambar 2.2 Skala Nyeri Numerik

2.4.3 Skala Analog Visual

Skala analog visual menggunakan garis horisontal 10 cm pada titik ujung

ditandai dengan “ tidak nyeri “ dan “ nyeri berat” . pengukuran dilakukan

dengan mistar untuk menentukan tingkat nyeri anak. Untuk anak usia 4,5

tahun , skala Vertikal atau Horisontal dapat digunakan ( Walco & Ilowite

1991 dalam, Wong, 2004)

Gambar 2.3 Skala Visual Analogue Scala

Anda mungkin juga menyukai