Anda di halaman 1dari 60

MAKALAH KEPERAWATAN ANAK

“Asuhan Keperawatan Pada Anak Kebutuhan Aman Nyaman Patologis dari Sistem
Termogulasi dan Imun dan Prosedur Tindakan dalam Pemenuhan Kebutuhan Aman
Nyaman”

Disusun Oleh Kelompok 5:

1. MUHAMMAD ZAKIA (203110137)


2. MUTIARA JONDESYA (203110138)
3. NADILA RATINUS (203110139)
4. NADYA OKDILLA (203110140)

2A

DOSEN PEMBIMBING:

Ns.Hj.Tisnawati,S.St,M.Kes

PRODI DIII KEPERAWATAN PADANG

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES RI PADANG

TAHUN AJARAN 2022/2023

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur mari kita panjatkan kehadirat ALLAH SWT yang telah memberikan rahmat
serta karunia-NYA kepada kita semua sehingga kami berhasil menyelesaikan makalah ini yang
allahamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul ”Asuhan Keperawatan Pada Anak Kebutuhan
Aman/Nyaman Patologis Dari System Termoregulasi dan Imun dan Prosedur Tindakan Dalam
Pemenuhan Kebutuhan Aman Nyaman”.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna,oleh karena itu kritik dan
saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan
makalah ini.Akhir kata,kami sampaikan terimakasih kepada pihak yang telah berperan serta
dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga allah swt senantiasa meridhai
segala usaha kita aamiin.

Padang,13 Januari 2022

Kelompok 5

ii
DAFTAR ISI

COVER

KATA PENGANTAR ......................................................................................................ii

DAFTAR ISI .....................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Bealakang ......................................................................................................1


B. Rumusan Masalah ...................................................................................................2
C. Tujuan .....................................................................................................................2
D. Manfaat ...................................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN

A. Konsep Asuhan Keperawatan Campak ..................................................................3


B. Konsep Asuhan Keperawatan Kejang Demam .......................................................19
C. Konsep Asuhan Keperawatan Difteri .....................................................................30
D. Tindakan dalam Pemenuhan Kebutuhan Aman Nyaman .......................................41

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan .............................................................................................................54
B. Saran .......................................................................................................................55

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................56

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit campak merupakan salah satu penyakit PD3I yang disebabkan oleh
Morbilivirus yang ditandai dengan gejala munculnya demam, bercak kemerahan, batuk,
pilek, matamerah (conjunctivitis) yang kemudian menimbulkan ruam diseluruh tubuh
dimana sering terjadi pada anak anak. Penularan dapat terjadi melalui udara yang telah
terkontaminasi oleh secret orang yang telah terinfeksi. Campak merupakan penyakit
menular yang sering menyebabkan Kejadian Luar Biasa (KLB). (Dinkes Jatim, 2016).

Menurut data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kematian akibat campak di seluruh
dunia mengalami penurunan sebesar 78% pada beberapa tahun terakhir, penurunan kasus
kematian dari 2000 kasus menjadi 1022 kasus kematian pada 2012, sedangkan pada
tahun2013 kematian akibat penyakit campak sebanyak 145.700, dan sekitar 400 kematian
setiap hari sebagian besar terjadi pada balita (WHO, 2015).

Kejang demam adalah perubahan aktivitas motorik atau behavior yang bersifat
paroksimal dan dalam waktu terbatas akibat dari adanya aktifitas listrik abnormal di otak
yang terjadi karena kenaikan suhu tubuh (Widagno, 2012).

Kejang demam merupakan kejang yang terjadi pada suhu badan tinggi (kenaikkan suhu
tubuh diatas 38⁰C) karena terjadi kelainan ektrakranial. Kejang demam atau febrile
convulsion adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikkan suhu tubuh yang
disebabkan oleh proses ekstrakranium (Lestari,2016).

Difteri adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh corynebacterium


diphteriaeyang berasal dari membran mukosa hidung nasofaring, kulit, dan lesi lain dari
orang yang terinfeksi

Difteri merupakan penyakit menular yang serius yang menyerang saluran pernapasan
atas yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheria, suatu bakteri Gram positif
fakultatif anaerob.Penyakit ini ditandai dengan sakit tenggorokan, demam, malaise dan
pada pemeriksaan ditemukan pseudomembran pada tonsil, faring, dan / atau rongga
hidung.Difteri adalah penyakit yang ditularkan melalui kontak langsung atau droplet dari

1
penderita.Pemeriksaan khas menunjukkan pseudomembran tampak kotor dan berwarna
putih keabuan yang dapat menyebabkan penyumbatan karena peradangan tonsil dan
meluas ke struktur yang berdekatan sehingga dapat menyebabkan bull neck.Membran
mudah berdarah apabila dilakukan pengangkatan.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Konsep Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan Campak?

2. Bagaimana Konsep Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan Kejang Demam ?

3. Bagaimana Konsep Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan Difteri ?

C. Tujuan Pembahasan
1. Dapat Mengetahui Konsep Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan Campak
2. Dapat Mengetahui Konsep Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan Kejang Demam
3. Dapat Mengetahui Konsep Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan Difteri

D. Manfaat Pembahasan
1. Bisa Mengetahui Bagaimana Konsep Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan
Campak
2. Bisa Mengetahui Bagaimana Konsep Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan
Kejang Demam
3. Bisa Mengetahui Bagaimana Konsep Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan
Difteri

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. CAMPAK
1. Konsep Penyakit Campak
a) Pengertian Penyakit Campak
Campak adalah suatu penyakit akut yang sangat menular yang disebabkan
oleh virus. Campak disebut juga dengan rubeola, morbilli, atau measles.
Penyakit ini ditandai dengan gejala awal demam, batuk, pilek, dan konjungtivitis
yang kemudian diikuti dengan bercak kemerahan pada kulit(rash). Campak
biasanya menyerang anak-anak dengan derajat ringan sampai sedang. Penyakit
ini dapat meninggalkan gejala sisa kerusakan neurologis akibat peradangan otak
(ensefalitis)
Virus campak baru dapat diisolasi pada tahun 1954 oleh J.F. Enders dan
kawan-kawan dengan membiakkannya pada kultur jaringan ginjal manusia.
Penyakit campak mudah menular, penderita perlu dipisahkan. Dianjurkan tidak
bersekolah. Pengobatan hanyalah untuk meredakan gejala belaka. Tubuh sendiri
yang akan melawan virusnya. Untuk itu tubuh perlu kuat. Jika kurang gizi, tubuh
mampu mengenyahkan penyakit tersebut. Dampak penyakit campak di
kemudian hari adalah kurang gizi sebagai akibat diare berulang dan
berkepanjangan pasca campak, sindrom radang otak pada anak diatas 10 tahun,
dan tuberkulosis paru menjadi lebih parah setelah sakit campak berat) (Irianto
Koes, 2014)
Virus Campak adalah organisme yang tidak memiliki daya tahan yang
kuat, apabila berada diluar tubuh manusia virus Campak akan mati. Pada
temperaturkamar virus Campak kehilangan 60% sifat infektisitasnya selama 3 –
5 hari. Tanpa media protein virus Campak hanya dapat hidup selama 2
minggu dan hancur hancur oleh sinar ultraviolet. Virus Campak termasuk
mikroorganisme yang bersifat ether labile karena selubungnya terdiri dari
lemak, pada suhu kamar dapat mati dalam 20% ether selama 10 menit, dan 50%
aseton dalam 30 menit.13 Sebelum dilarutkan, vaksin Campak disimpan dalam

3
keadaan kering dan beku, relatif stabil dan dapat disimpan di freezer atau pada
suhu lemari es (2-8°C; 35,6-46,4°F) secara aman selama setahun atau lebih.
Vaksin yang telah dipakai harus dibuang dan jangan dipakai ulang.
b) Tanda dan Gejala Penyakit Campak
Sekitar 10 hari setelah infeksi akan muncul demam yang biasanya tinggi,
diikuti dengan koriza, batuk, dan peradangan pada mata. Gejala klinis penyakit
campak dikategorikan dalam tiga stadium.
1) Stadium prodromal
Berlangsung 2-4 hari dengan gejala demam yang diikuti dengan
batuk, pilek, farings merah, nyeri menelan, malaise, stomatitis, dan
konjungtivitis. Tanda patognomonik timbulnya eksantema mukosa pipi
di depan molar tiga yang meluas sampai seluruh mukosa mulut disebut
bercak Koplik.
2) Stadium erupsi
Pada stadium erupsi penderita campak ditandai dengan timbulnya
ruam makulo-papular yang bertahan selama 5-6 hari. Timbulnya ruam
dimulai dari batas rambut di belakang telinga, kemudian menyebar ke
wajah, leher, dan akhirnya ke ekstrimitas. Gejala lain yang biasanya
terjadi adalah koriza dan batuk bertambah. Timbul eksantema di palatum
durum dan palatum mole. Kadang terlihat pula bercak Koplik. Kadang-
kadang terdapat perdarahan ringan pada kulit. Rasa gatal, muka bengkak.
Ruam kemudian akan menyebar ke dada dan abdomen dan akhirnya
mencapai anggota bagian bawah pada hari ketiga dan akan menghilang
dengan urutan seperti terjadinya yang berakhir dalam 2-3 hari.

3) Stadium penyembuhan (konvalesens)


Setelah 3 hari ruam berangsur-angsur menghilang sesuai urutan
timbulnya. Ruam kulit menjadi kehitaman dan mengelupas yang akan
menghilang setelah 1-2 minggu. Oleh karena itu, sangat penting untuk
menentukan status gizi penderita, untuk mewaspadai timbulnya
komplikasi. Gizi buruk merupakan risiko komplikasi berat. Dua hari
kemudian biasanya suhu akan menurun dan gejala penyakit mereda.

4
Ruam kulit akan mengalami hiperpigmentasi (berubah warna menjadi
lebih gelap) dan mungkin mengelupas. Penderit akan tampak sehat bila
tidak disertai komplikasi. Komplikasi yang sering terjadi adala
konjungtivitis, bronkopneumonia, radang telinga tengah, dan peradangan
otak. (Irianto Koes, 2014). Sedangkan gejala yang sering timbul dalam
waktu 7-14 hari setelah terinfeksi, dengan gejala- gejala seperti: panas
badan, nyeri tenggorokan, hidung meler (Coryza), batuk (Cough), bercak
koplik, nyeri otot dan mata merah.
Gejala campak ditandai dengan :
Demam dengan suhu badan biasanya >380C selama 3 hari atau
lebih dan akan berakhir setelah 4-7 hari. Demam tinggi terjadi setelah 10-
12 hari setelah tertular. Terdapat pula batuk, pilek, mata merah atau mata
berair (3C: cough, coryza, conjunctivitis).
Tanda khas (patognomonis) ditemukan Koplik's spot atau bercak
putih keabuan dengan dasar merah di pipi bagian dalam. Gejala pada
tubuh berbentuk ruam makulopapular. Ruam muncul pada muka dan
leher, dimulai dari belakang telinga, kemudian menyebar ke seluruh tubuh.
Ruam bertahan selama 3 hari atau lebih pada kisaran hari ke-4 sampai ke-
7 demam. Ruam muncul saat demam mencapai puncaknya. Ruam berakhir
dalam 5 sampai 6 hari, dan menjadi berwarna seperti tembaga atau
kehitaman.
c) Etiologi dan Penularan
1) Etiologi Penyakit Campak
Penyakit campak disebabkan oleh virus, dari familli Paramixovirus, Genus
Morbillivirus. Virus ini adalah virus RNA yang dikenal hanya mempunyai
satu antigen. Struktur virus ini mirip dengan virus penyebab parotitis
epidemis dan parainfluenza setelah timbulnya ruam kulit, virus aktif dapat
ditemukan pada sekret nasofaring darah, dan air kencing dalam waktu
sekitar 34 jam pada suhu kamar.Virus campak dapat bertahan selama
beberapa hari pada tempratur suhu 0 drajad C dan selama 15 minggu pada
sediaan baku. Di luar tubuh manusia virus ini mudah mati. Pada suhu kamar

5
sekalipun, virus ini akan kehilangan infektifitasnya sekitar 6% selama 3-5
hari. Virus ini mudah hancur oleh sinar ultraviolet. Kekebalan terhadap
campak diperoleh setelah vaksinasi, infeksi aktif dan kekebalan pasif pada
seorang bayi yang baru lahir ibu yang telah kebal (berlansung selama 1
tahun). Orang-orang yang rentan terhadap campak adalah:

1. Bayi yang berumur lebih dari 1 tahun

2. Bayi yang tidak mendapatkan imunisasi

3. Remaja dan dewasa muda yang belum mendapatkan imunisasi kedua.


(Irianto, 2014).
2) Penularan Penyakit Campak
Virus campak mudah menularkan penyakit. Virulensinya sangat tinggi
terutama pada anak yang rentan dengan kontak keluarga, sehingga hampir
90% anak rentan akan tertular. Campak ditularkan melalui droplet di udara
oleh penderita sejak 1 hari sebelum timbulnya gejala klinis samai 4 hari
sesudah munculnya ruam. Ibu yang pernah menderita campak akan
menurunkan kekebalannya kepada janin yang dikandungnya melalui
plasenta, dan kekebalan ini bisa bertahan sampai bayinya berusia 4-6 bulan.
Pada usia 9 bulan bayi diharapkan membentuk antibodinya sendiri secara
aktif setelah menerima vaksinasi campak. Dalam waktu 12 hari setelah
infeksi campak sampai puncak sekitar 21 hari, igM akan terbentuk dan akan
cepat menghilang untuk kemudian digantikan oleh igG. Cakupan imunisasi
campak yang lebih dari 90% akan menyebabkan kekebalan kelompok (herd
immunity) yang akan menyebabkan penurunan kasus campak di masyarakat.
(Irianto Koes, 2014).
d) Pengobatan, Pencegahan, dan Pemberantasan Penyakit Campak
a) Pengobatan
a) Pengobatan penyakit campak
Pengobatan campak berupa perawatan umum seperti pemberian
cairan dan kalori yang cukup. Obat simptomatik yang perlu diberikan
antara lain: Antidemam, Antibatuk, Vitamin A, Antibiotik diberikan

6
bila ada indikasi, misalnya jika campak disertai dengan komplikasi.
Pasien tanpa komplikasi dapat berobat jalan di puskesmas atau unit
pelayanan kesehatan lainnya, sedangkan pasien campak dengan
komplikasi memerlukan rawat inap di rumah sakit. Tidak ada
pengobatan khusus untuk campak. Namun sebaiknya menjalani
istirahat. Untuk menurunkan demam, berikan asetaminofen atau
ibuprofen. Jika terjadi infeksi bakteri, diberikan antibiotik, maka dari
itu harus berjaga-jaga. (Irianto Koes, 2014)
b) Indikasi penyakit campak
Seluruh anak. Pemberian boleh terlambat karena anak masih
memiliki kekebalan yang didapat dari ibunya saat kehamilan yang dapat
bertahan sampai anak berumur 6 sampai 9 bulan.
c) Dosis dan jadwal pemberian
Dosis 0.5 CC yang disuntikkan bawah kulit (sub kutan) pada
lengan atas, pada usia 9 bulan. Karena imunitas cenderung menurun
maka diberi dosis penguat pada usia 2 tahun dengan dosis yang sama.
Kalau anak telah mendapatkan vaksin MMR pada usia 15 bulan maka
dosis penguat ini dibatalkan.
d) Efek Samping
Efek samping yang mungkin terjadi adalah demam dengan kulit
ruam kemerahan yang timbul 1 minggu setelah penyuntikan. Kadang-
kadang diare ringan dapat terjadi. Obat untuk efek samping ini cukup
dengan obat-obat simptomatik.
b) Pencegahan Penyakit Campak
1. Pencegahan Tingkat Awal (Priemordial Prevention)
Pencegahan tingkat awal berhubungan dengan keadaan penyakit
yang masih dalam tahap prepatogenesis atau penyakit belum tampak
yang dapat dilakukan dengan memantapkan status kesehatan balita
dengan memberikan makanan bergizi sehingga dapat meningkatkan
daya tahan tubuh.
2. Pencegahan Tingkat Pertama (Primary Prevention)

7
Pencegahan tingkat pertama ini merupakan upaya untuk mencegah
seseorang terkena penyakit campak, yaitu :
 Memberi penyuluhan kepada masyarakat mengenai pentingnya
pelaksanaan imunisasi campak untuk semua bayi.
 Imunisasi dengan virus campak hidup yang dilemahkan, yang
diberikan pada semua anak berumur 9 bulan sangat dianjurkan
karena dapat melindungi sampai jangka waktu 4-5 tahun.
3. Pencegahan Tingkat Kedua (Secondary Prevention)
Pencegahan tingkat kedua ditujukan untuk mendeteksi penyakit
sedini mungkin untuk mendapatkan pengobatan yang tepat. Dengan
demikian pencegahan ini sekurang-kurangnya dapat menghambat atau
memperlambat progrefisitas penyakit, mencegah komplikasi, dan
membatasi kemungkinan kecatatan, yaitu:
 Menentukan diagnosis campak dengan benar baik melalui
pemeriksaan fisik atau darah.
 Mencegah perluasan infeksi
Anak yang menderita campak jangan masuk sekolah
selama empat hari setelah timbulnya rash. Menempatkan anak
pada ruang khusus atau mempertahankan isolasi di rumah sakit
dengan melakukan pemisahan penderita pada stadium kataral
yakni dari hari pertama hingga hari keempat setelah timbulnya
rash yang dapat mengurangi keterpajanan pasienpasien dengan
risiko tinggi lainnya.
 Pengobatan simtomatik diberikan untuk mengurangi keluhan
penderita yakni antipiretik untuk menurunkan panas dan juga
obat batuk. Antibiotika hanya diberikan bila terjadi infeksi
sekunder untuk mencegah komplikasi.
 Diet dengan gizi tinggi kalori dan tinggi protein bertujuan untuk
meningkatkan daya tahan tubuh penderita sehingga dapat
mengurangi terjadinya komplikasi campak yakni bronkhitis,
otitis media, pneumonia, ensefalomielitis, abortus, dan

8
miokarditis yang reversibel.
4. Pencegahan Tingkat Ketiga (Tertiary Prevention)
Pencegahan tingkat ketiga bertujuan untuk mencegah terjadinya
komplikasi dan kematian. Adapun tindakan-tindakan yang dilakukan
pada pencegahan tertier yaitu :
 Penanganan akibat lanjutan dari komplikasi campak.
 Pemberian vitamin A dosis tinggi karena cadangan vitamin A
akan turun secara cepat terutama pada anak kurang gizi yang
akan menurunkan imunitas mereka
Imunisasi campak yang diberikan bayi 9 bulan merupakan
pencegahan yang paling efektif. Vaksin campak berasal dari virus hidup
yang dilemahkan. Pemberian vaksin diberikan dengan cara intrakutan
atau intramuskular dengan dosis 0,5 cc. Pemberian imunisasi campak
satu kali akan memberikan kekebalan selama 14 tahun, sedangkan
untuk mengendalikan penyakit diperlukan cakupan imunisasi paling
sedikit 80% per wilayah secara merata selama bertahun-tahun.
Keberhasilan program imunisasi dapat diukur dari menurunnya jumlah
kasus campak dari waktu ke waktu. Kegagalan imunisasi dapat
disebabkan oleh:
 Terdapatnya kekebalan yang dibawa sejak lahir yang berasal
dari antobodi ibu. Antibodi itu akan menetralisasi vaksin yang
diberikan.
 Terjadi kerusakan vaksin akibat penyimpanan, pengankutan,
atau penggunaan di luar pedoman. (Irianto Koes, 2014)
c) Pemberantasan Penyakit Campak
Menurut organisasi World Health Organization (WHO) mencanangkan
beberapa tahapan dalam upaya pemberantasan campak yaitu reduksi,
eliminasi dan eradikasi dengan strategi yang berbeda-beda pada setiap tahap:
1. Tahap Reduksi
Pengertian reduksi campak adalah menurunkan angka kematian
sebesar 90% pada tahun 2009 dibandingkan tahun 2000 dengan strategi

9
yang dilakukan sebagai berikut:
 Meningkatkan cakupan imunisasi rutin minimal 90% di desa
(UCI) dengan indikator cakupan campak, DPT3, Polio.
 95% desa mencapai UCI
 Pemberian imunisasi campak dosis kedua pada anak kelas 1
SD, secara nasional dimulai tahun 2006.
 Meningkatkan surveilans epidemiologi berbasis rumah
sakit dan puskesmas
 Penyelidikan KLB disertai pemeriksaan laboratorium.
 Tatalaksana kasus dengan pemberian Vit A dan pengobatan
adekuat terhadap komplikasi.
2. Rujukan kasus sesuai indikasi
The World Summit for Children telah menyepakati program reduksi
campak pada tahun 2000. Reduksi campak adalah hilangnya wilayah
kantung campak. Secara epidemiologis, daerah rawan campak
dikelompokkan menjadi:
 Daerah reservoir, yaitu desa yang selama tiga tahun berturut-turut
terdapat kasus campak.
 Daerah kantung, yaitu desa dengan cakupan imunisasi campak <
80% selama tiga tahun terakhir.
Kegiatan yang dilakukan adalah akselerasi reduksi campak yang
berupa imunisasi campak pada balita berusia 9-59 bulan. Sesuai laporan
Profil Departemen Kesehatan 2000, sampai saat ini masih banyak daerah
rawan campak di Indonesia. (Irianto Koes, 2014).
Reduksi campak ditentukan oleh jumlah kasus dan kematian campak
yaitu penurunan 90% kasus dan 90% kematian akibat campak
dibandingkan dengan keadaan sebelum program imunisasi campak
melalui kendala yang timbul dalam reduksi campak. Strategi yang
disusun oleh Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial adalah :
 Cakupan imunisasi rutin minimal >90%.

10
 Upaya akselerasi dengan memberikan imunisasi pada anak usia 9
bulan sampai 5 tahun di daerah kumuh perkotaan atau daerah
kantung cakupan.
 Mengadakan sweeping di desa dengan cakupan rendah. Kegiatan
sweeping diperlukan untuk membantu puskesmas dalam rangka
meratakan cakupan imunisasi di tingkat desa.
 Melakukan ring vaksinasi pada setiap KLB campak pada sekitar
desa KLB dengan sasaran umum 9 bulan- 5 tahun.
 Melakukan catch-up campaign pada anak sekolah tingkat dasar di
seluruh Indonesia, dalam pelaksanaan dilakukan bertahap.
3. Tahap Eliminasi
Pada tahun 2010, diharapkan masuk kedalam tahap eliminasi
campak dengan tujuan untuk memutus transmisi virus campak
indigenous dengan strategi yang dilakukan sebagai berikut:
 Mencapai cakupan imunisasi rutin ≥ 95% di setiap desa
 Pemberian imunisasi campak dosis kedua pada anak kelas 1 SD
dengan Cakupan minimal 95%.
 Melaksanakan surveilans berbasis kasus individu dengan
melakukan konfirmasi laboratorium
 Tatalaksana kasus dengan pemberian Vitamin A dan
pengobatan adekuat terhadap komplikasi.
 Rujukan kasus sesuai dengan indikasi.
4. Tahap Eradikasi
Pada tahap ini tidak ditemukan lagi virus campak, cakupan
imunisasi sangat tinggi dan merata dengan strategi yang dilakukan
sebagai berikut:
 Mencapai cakupan imunisasi rutin ≥ 95% di setiap desa.
 Pemberian imunisasi campak dosis kedua pada anak kelas 1
SD dengan cakupan 100%.
 Imunisasi campak tambahan.

11
 Melaksanakan surveilans ketat berbasis kasus individu dengan
konfirmasi laboratorium.
 Tatalaksana kasus dengan pemberian Vitamin A dan
pengobatan adekuat terhadap komplikasi.
 Rujukan kasus sesuai dengan indikasi.
d) Patofisiologi
Penyebaran infeksi terjadi jika terhirup droplet di udara yang berasal dari
penderita.Virus campak masuk melalui saluran pernapasan dan melekat di sel-sel
epitel saluran napas. Setelah melekat, virus bereplikasi dan diikuti dengan
penyebaran ke kelenjar limfe regional. Setelah penyebaran ini, terjadi viremia
primer disusul multiplikasi virus di sistem retikuloendotelial di limpa, hati, dan
kelenjar limfe. Multiplikasi virus juga terjadi di tempat awal melekatnya virus.
Pada hari ke-5 sampai ke-7 infeksi, terjadi viremia sekunder di seluruh tubuh
terutama di kulit dan saluran pernapasan. Pada hari ke-11 sampai hari ke14,
virus ada di darah, saluran pernapasan, dan organ-organ tubuh lainnya, 2-3 hari
kemudian virus mulai berkurang. Selama infeksi, virus bereplikasi di sel-sel
endotelial, sel-sel epitel, monosit, dan makrofag.

12
e) Komplikasi
Komplikasi umumnya terjadi pada anak risiko tinggi, yaitu:
 Usia muda, terutama di bawah 1 tahun
 Malnutrisi (marasmus atau kwasiorkor)
 Pemukiman padat penduduk yang lingkungannya kotor
 Anak dengan gangguan imunitas, contohnya pada anak terinfeksi HIV,
malnutrisi, atau keganasan
 Anak dengan defisiensi vitamin
Komplikasi dapat terjadi pada berbagai organ tubuh, antara lain:
 Saluran pernapasan: bronkopneumonia, laringotrakeobronkitis (croup)
 Saluran pencernaan: diare yang dapat diikuti dengan dehidrasi
 Telinga: otitis media
 Susunan saraf pusat:
 Ensefalitis akut: timbul pada 0,01 – 0,1% kasus campak. Gejala berupa

13
demam, nyeri kepala, letargi, dan perubahan status mental yang biasanya
muncul antara hari ke-2 sampai hari ke-6 setelah munculnya ruam.
Umumnya self-limited (dapat sembuh sendiri), tetapi pada sekitar 15%
kasus terjadi perburukan yang cepat dalam 24 jam. Gejala sisa dapat
berupa kehilangan pendengaran, gangguan perkembangan, kelumpuhan,
dan kejang berulang.
 Subacute Sclerosing Panencephalitis (SSPE): suatu proses degeneratif
susunan saraf pusat yang disebabkan infeksi persisten virus campak,
timbul beberapa tahun setelah infeksi(umumnya 7 tahun).
 Penderita mengalami perubahan tingkah laku, retardasi mental, kejang
mioklonik, dan gangguan motorik.
 Mata: keratitis
 Sistemik: septikemia karena infeksi bakteri sekunder.
f) Tatalaksana
Pada campak tanpa komplikasi tatalaksana bersifat suportif, berupa tirah
baring, antipiretik (parasetamol 10-15 mg/kgBB/dosis dapat diberikan sampai
setiap 4 jam), cairan yang cukup, suplemen nutrisi, dan vitamin A. Vitamin A
dapat berfungsi sebagai imunomodulator yang meningkatkan respons antibodi
terhadap virus campak. Pemberian vitamin A dapat menurunkan angka kejadian
komplikasi seperti diare dan pneumonia.5 Vitamin A diberikan satu kali per hari
selama 2 hari dengan dosis sebagai berikut:
 200.000 IU pada anak umur 12 bulan atau lebih
 100.000 IU pada anak umur 6 - 11 bulan
 50.000 IU pada anak kurang dari 6 bulan
 Pemberian vitamin A tambahan satu kali
Efek samping tersebut dalam 30 hari sesudah imunisasi diperkirakan 1 di
antara 1.000.000 dosis vaksin.Reaksi KIPI vaksinasi MMR yang dilaporkan
pada penelitian mencakup 6000 anak berusia 1-2 tahun berupa malaise, demam,
atau ruam 1 minggu setelah imunisasi dan berlangsung 2-3 hari.
Vaksinasi MMR dapat menyebabkan efek samping demam, terutama
karena komponen campak. Kurang lebih 5-15% anak akan mengalami demam

14
>39,40 C setelah imunisasi MMR. Reaksi demam tersebut biasanya berlangsung
7-12 hari setelah imunisasi, ada yang selama 1-2 hari. Dalam 6-11 hari setelah
imunisasi, dapat terjadi kejang demam pada 0,1% anak, ensefalitis pasca-
imunisasi terjadi pada<1/1000.000 dosis

g) Diagnosis Keperawatan
1) Anamnesis berupa demam, batuk, pilek, mata merah, dan ruam yang mulai
timbul dari belakang telinga sampai ke seluruh tubuh.
2) Pemeriksaan fisik berupa suhu badan tinggi (>380 C), mata merah, dan ruam
makulopapular.
3) Pemeriksaan penunjang: pemeriksaan darah berupa leukopenia dan
limfositopenia. Pemeriksaan imunoglobulin M (IgM) campak juga
h) Woc Campak Pada Anak

15
2. ASUHANKEPERAWATAN
a) Pengkajian
1) Identitas diri :
2) Riwayat imunisasi
3) Kontak dengan orang yang terinfeksi
4) Pemeriksaan Fisik :
 Mata : terdapat konjungtivitis, fotophobia
 Kepala : sakit kepala

16
 Hidung : Banyak terdapat secret, influenza, rhinitis/koriza, perdarahan
hidung (pada stadium erupsi).
 Mulut &bibir : Mukosa bibir kering, stomatitis, batuk, mulut terasa
pahit.
 Kulit : Permukaan kulit (kering), turgor kulit, rasa gatal, ruam makuler
pada leher, muka, lengan dan kaki (pada stadium Konvalensi), eritema,
panas (demam).
 Pernafasan : Pola nafas, RR, batuk, sesak nafas, wheezing, ronchi,
sputum
 Tumbuh Kembang : BB, TB, BB Lahir, Tumbuh kembang R/
imunisasi.
 Pola Defekasi : BAK, BAB, Diare
 Status Nutrisi : intake – output makanan, nafsu makanan
5) Keadaan Umum : Kesadaran, TTV
b) Diagnosa keperawatan
Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul pada pasien Campak atau
Morbili adalah :
 Resiko penyebaran infeksi berhubungan dengan organisme virulen
 Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan adanya batuk
 Gangguan integritas kulit berhubungan dengan adanya rash
 Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan intake yang tidak adekuat
 Gangguan aktivitas diversional berhubungan dengan isolasi dari
kelompok sebaya.
c) Perencanaan keperawatan Tujuan dan kriteria hasil :
 Perluasan infeksi tidak terjadi
 Anak menunjukkan tanda-tanda pola nafas efektif
 Anak dapat mempertahankan integritas kulit
 Anak menunjukan tanda-tanda terpenuhinya kebutuhan nutrisi
 Anak dapat melakukan aktivitas sesuai dengan usia dan tugas

17
perkembangan selama menjalani isolasi dari teman sebaya atau anggota
keluarga.
d) Intervensi keperawatan
1) Mencegah peluasan infeksi :
 Tempatkan anak pada ruangan khusus
 Pertahankan isolasi yang ketat di rumah sakit
 Gunakan prosedur perlindugan infeksi jika melakukan kontak dengan
anak
 Mempertahankan istirahat selama periode prodromal (kataral)
 Berikan antibiotik sesuai dengan order
2) Mempertahankan pola nafas yang efektif
 Mengkaji ulang status pernafasan (irama, edalaman, suara nafas,
penggunaan otot bantu pernafasan, bernafas melalui mulut)
 Mengkaji ulang tanda-tanda vital (denyut nadi, irama, dan frekuensi)
 Memberikan posisi tempat tidur semi fowler / fowler
 Membantu klien untuk melakukan aktivitas sehari-hari sesuai dengan
kemampaunnya
 Menganjurkan anak untuk banyak minum 15
 Memberikan oksigen sesuai dengan indikasi
 Memberikan obat-obatan yang dapat meningkatkan efektifnya jalan
nafas (seperti Bronkodilator, antikolenergik, dan anti peradangan)
3) Mempertahankan integritas kulit
 Mempertahankan kuku anak tetap pendek, menjelaskan kepada anak
untuk tidak menggaruk rash
 Memberikan obat antipruritus topikal, dan anestesi topical
 Memberikan antihistamin sesuai order dan memonitor efek
sampingnya
 Memandikan klien dengan menggunakan sabun yang lembut untuk
mencegah infeksi
 Jika terdapat fotofobia, gunakan bola lampu yang tidak terlalu terang

18
di kamar klien
 Memeriksa kornea mata terhadap kemungkinan ulserasi
4) Mempertahankan kebutuhan nutrisi
 Kaji ketidakmampuan anak untuk makan
 Ijinkan anak untuk memakan makanan yang dapat ditoleransi anak,
rencanakan untuk memperbaiki status gizi pada saat selera makan anak
meningkat.
 Berikan makanan yang disertai dengan supleman nutrisi untuk
meningkatkan kualitas intake nutrisi.
 Kolaborasi untuk pemberian nutrisi parenteral jika kebutuhan nutrisi
melalui oral tidak mencukupi kebutuhan gizi anak
 Menilai indikator terpenuhinya kebutuhan nutrisi (berat badan, lingkar
lengan, membran mukosa)
 Menganjurkan kepada orang tua untuk memberikan makanan dengan
teknik porsi kecil tapi sering
 Menimbang berat badan setiap hari pada waktu yang sama, dan
dengan skala yang sama
 Mempertahankan kebersihan mulut anak.
5) Mempertahankan kebutuhan aktivitas sesuai dengan usia dan tugas
perkembangan :
 Memberikan aktivitas ringan yang sesuai dengan usia anak
(permainan, keterampilan tangan, nonton televisi)
 Memberikan makanan yang menarik untuk memberikan stimulasi
yang bervariasi bagi anak
 Melibatkan anak dalam mengatur jadwal harian dan memilih aktivitas
yang diinginkan
 Mengijinkan anak untuk mengerjakan tugas sekolah selama di rumah
sakit, menganjurkan anak untuk berhubungan dengan teman melalui
telepon jika memungkinkan.
e) Perencanaan Pemulangan
1) Jelaskan terapi yang diberikan : dosis, efek samping

19
2) Melakukan imunisasi jika imunisasi belum lengkap sesuai dengan prosedur
3) Menekankan pentingnya kontrol ulang sesuai jadwal
4) Informasikan jika terdapat tanda-tanda terjadinya kekambuhan

B. KEJANG DEMAM
1. KONSEP KEJANG DEMAM
a. Pengertian Kejang Demam
Kejang demam adalah perubahan aktivitas motorik atau behavior yang
bersifat paroksimal dan dalam waktu terbatas akibat dari adanya aktifitas listrik
abnormal di otak yang terjadi karena kenaikan suhu tubuh (Widagno, 2012).
Kejang demam merupakan kejang yang terjadi pada suhu badan tinggi
(kenaikkan suhu tubuh diatas 38⁰C) karena terjadi kelainan ektrakranial. Kejang
demam atau febrile convulsion adalah bangkitan kejang yang terjadi pada
kenaikkan suhu tubuh yang disebabkan oleh proses ekstrakranium (Lestari,2016).
Jadi dapat disimpulkan, kejang demam adalah gangguan yang terjadi
akibat dari peningkatan suhu tubuh anak yang dapat menyebabkan kejang yang
diakibatkan karena proses ekstrakranium.
b. Etiologi Kejang Demam
Hingga kini belum diketahui pasti penyebab kejang demam. Demam
sering disebabkan infeksi saluran pernapasan atas, otitis media, pneumonia, dan
infeksi saluran kemih (Lestari, 2016).
Menurut Ridha (2014), mengatakan bahwa faktor resiko terjadinya kejang
demam diantaranya :
1) Faktor-faktor prinatal
2) Malformasi otak congenital
3) Faktor genetika
4) Demam
5) Gangguan metabolisme
6) Trauma
7) Neoplasma
8) Gangguan Sirkulasi

20
c. Klasifikasi Kejang Demam
Pedoman mendiagnosis kejang demam menurut Livingstone :
1) Umur anak ketika kejang antara 6 bulan dan 4 tahun
2) Kejang berlangsung hanya sebentar saja, tidak lebih dari 15 menit
3) Kejang bersifat umum
4) Kejang timbul dalam 16 jam pertama setelah timbulnya demam
5) Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kejang normal
6) Pemeriksaan EEG yang dibuat sedikitnya 1 minggu sesudah suhu normal
tidak menunjukkan kelainan
7) Frekuensi kejang bangkitan dalam 1 tahun tidak melebihi 4 kali
Kejang demam yang tidak memenuhi salah satu atau lebih dari tujuh kriteria
tersebut (modifikasi livingstone) digolongkan pada kejang demam kompleks
(Ngastiyah, 2012).
Widagno (2012), mengatakan berdasarkan atas studi epidemiologi, kejang
demam dibagi 3 jenis, yaitu :
1) Kejang demam sederhana (simple febrile convulsion)
Biasanya terdapat pada anak umur 6 bulan sampai 5 tahun, disertai
kenaikan suhu tubuh yang mencapai ≥ 39⁰C. Kejang bersifat umum dan
tonik-klonik, umumnya berlangsung beberapa detik/menit dan jarang sampai
15 menit. Pada akhir kejang kemudian diakhiri dengan suatu keadaan singkat
seperti mengantuk (drowsiness), dan bangkitan kejang terjadi hanya sekali
dalam 24 jam, anak tidak mempunyai kelainan neurologik pada pemeriksaan
fisis dan riwayat perkembangan normal, demam bukan disebabkan karena
meningitis atau penyakit lain dari otak.
2) Kejang demam kompleks (complex or complicated febrile convulsion)
Biasanya kejang terjadi selama ≥ 15 menit atau kejang berulang dalam 24
jam dan terdapat kejang fokal atau temuan fokal dalam masa pasca bangkitan.
Umur pasien, status neurologik dan sifat demam adalah sama dengan kejang
demam sederhana.
3) Kejang demam simtomatik (symptomatic febrile seizure)

21
Biasanya sifat dan umur demam adalah sama pada kejang demam
sederhana dan sebelumnya anak mempunyai kelainan neurologi atau penyakit
akut. Faktor resiko untuk timbulnya epilepsi merupakan gambaran kompleks
waktu bangkitan. Kejang bermula pda umur < 12 bulan dengan kejang
kompleks terutama bila kesadaran pasca iktal meragukan maka pemeriksaan
CSS sangat diperlukan untuk memastikan kemungkinan adanya meningitis.
d. Patofisiologi Kejang Demam
Sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah
menjadi CO2 dan air. Sel dikelilingi oleh membran yang terdiri dari permukaan
dalam yaitu lipoid dan permukaan luar yaitu ionik. Dalam keadaan normal
membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah ion kalium (K+ ) dan sangat sulit
dilalui oleh ion Natriun (Na+ ) dan elektrolit lainnya, kecuali ion klorida (CI- ).
Akibatnya konsentrasi ion K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi Na+
rendah, sedang diluar sel neuron terdapat keadaan sebaliknya. Karena perbedaan
jenis dan konsentrasi ion di dalam dan luar sel, maka terdapat perbedaan potensial
membran yang disebut potensial membran dari neuron. Untuk menjaga
keseimbangan potensial membran diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K
ATP-ase yang terdapat pada permukaan sel. Keseimbangan potensial membran ini
dapat diubah oleh :
1) Perubahan konsentrasi ion diruang ekstraselular
2) Rangsangan yang datang mendadak misalnya mekanisme, kimiawi atau aliran
listrik dari sekitarnya
3) Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan

Pada keadaan demam kenaikkan suhu 1⁰C akan mengakibatkan kenaikkan


metabolisme basal 10-15 % dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada
anak 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65 % dari seluruh tubuh dibandingkan
dengan orang dewasa hanya 15%. Oleh karena itu kenaikkan suhu tubuh dapat
mengubah keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat
terjadi difusi dari ion kalium maupun ion natrium akibat terjadinya lepas muatan
listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas
keseluruh sel maupun ke membran sel disekitarnya dengan bantuan

22
“neurotransmitter” dan terjadi kejang. Tiap anak mempunyai ambang kejang yang
berbeda dan tergantung tinggiu rendahnya ambang kejang seseorang anak akan
menderita kejang pada kenaikan suhu tertentu.

Kejang demam yang berlangsung singkat pada umumnya tidak berbahaya dan
tidak meninggalkan gejala sisa. Tetapi kejang demam yang berlangsung lama
(lebih dari 15 menit) biasanya disertai apnea, meningkatkanya kebutuhan oksigen
dan energi untuk kontraksi otot skeletal yang akhirnya terjadi hipoksemia,
hiperkapnia, asidosis laktat disebabkan oleh metabolisme anerobik, hipotensi
artenal disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh meningkat yang
disebabkan makin meningkatnya aktifitas otot dan mengakibatkan metabolisme
otak meningkat. Rangkaian kejadian diatas adalah faktor penyebab hingga
terjadinya kerusakan neuron otak selama berlangsungnya kejang (Lestari, 2016 &
Ngastiyah, 2012).

e. Manifestasi
Dewanto (2009), mengatakan gambaran klinis yang dapat dijumpai pada
pasien dengan kejang demam diantaranya :
1) Suhu tubuh mencapai >38⁰C
2) Anak sering hilang kesadaran saat kejang
3) Mata mendelik, tungkai dan lengan mulai kaku, bagian tubuh anak
berguncang (gejala kejang bergantung pada jenis kejang)
4) Kulit pucat dan membiru
5) Akral dingin

f. WOC

23
g. Respon Tubuh Terhadap Perubahan Fisiologis
1) Sistem Pernapasan
Pada anak dengan kejang demam laju metabolisme akan meningkat.
Sebagai kompensasi tubuh, pernapasan akan mengalami peningkatan pula
sehingga anak tampak pucat sampai kebiruan terutama pada jaringan perifer
(Brunner & Suddart, 2013).
2) Sistem Thermogulasi
Masuknya Exogenus dan virogenus ke selaput otak akan menstimulasi sel
host inflamasi.hipotalamus akan menghasilkan “set poin”. Demam terjadi
karena adanya gangguan pada “set poin”. Mekanisme tubuh secara fisiologis
pada anak dengan kejang demam mengalami vasokontriksi perifer sehingga
suhu tubuh meningkat. (Suriadi & yuliani, 2010).
3) Sistem Neurologis
Kurangnya suplai oksigen ke otak akan menyebabkam iskemik jaringan
otak, bila tidak diatasi segera akan menyebabkan hipertrofi pada jaringan otak

24
yang beresiko pada abses serebri. Keluhan yang muncul pada anak kejang
demam kompleks adalah penurunan kesadaran (Muttaqin, 2008).
4) Sistem Muskulosketal
Peningkatan suhu tubuh pada anak dengan kejang demam menyebabkan
terjadinya gangguan pada metaboilsme otak. Konsekuensinya, yang menyebar
keseluruh jaringan, sehingga menyebabkan kekakuan otot disekujur tubuh
terutama di anggota gerak.
h. Komplikasi
1) Kerusakan Otak
Terjadi melalui mekanisme eksitoksik neuron saraf yang aktif sewaktu
kejang melepaskan glutamat yang mengikat resptor MMDA (M Metyl D
Asparate) yang mengakibatkan ion kalsium dapat masuk ke sel otak yang
merusak sel neuron secara irrevesible.
2) Retardasi Mental
Dapat terjadi karena deficit neurologis pada demam neonatus. (Mansjoer,
2000).
i. Penatalaksanaan
Ngastiyah (2012), Dalam penanggulangan kejang demam ada beberapa
faktor yang perlu dikerjakan yaitu:
1) Penatalaksanaan Medis
a) Memberantas kejang secepat mungkin
Bila pasien datang dalam keadaan status konvulsivus (kejang),
obat pilihan utama yang diberikan adalah diazepam yang diberikan secara
intravena. Dosis yang diberikan pada pasien kejang disesuaikan dengan
berat badan, kurang dari 10 kg 0,5-0,75 mg/kgBB dengan minimal dalam
spuit 7,5 mg dan untuk BB diatas 20 kg 0,5 mg/KgBB. Biasanya dosis
rata-rata yang dipakai 0,3 mg /kgBB/kali dengan maksimum 5 mg pada
anak berumur kurang dari 5 tahun, dan 10 mg pada anak yang lebih besar.
Setelah disuntikan pertama secara intravena ditunggu 15 menit,
bila masih kejang diulangi suntikan kedua dengan dosis yang sama juga
melalui intravena. Setelah 15 menit pemberian suntikan kedua masih

25
kejang, diberikan suntikan ketiga denagn dosis yang sama juga akan tetapi
pemberiannya secara intramuskular, diharapkan kejang akan berhenti. Bila
belum juga berhenti dapat diberikan fenobarbital atau paraldehid 4 %
secara intravena. Efek samping dari pemberian diazepan adalah
mengantuk, hipotensi, penekanan pusat pernapasan.
Pemberian diazepan melalui intravena pada anak yang kejang
seringkali menyulitkan, cara pemberian yang mudah dan efektif adalah
melalui rektum. Dosis yang diberikan sesuai dengan berat badan ialah
berat badan dengan kurang dari 10 kg dosis yang diberikan sebesar 5 mg,
berat lebih dari 10 kg diberikan 10 mg. Obat pilihan pertama untuk
menanggulangi kejang atau status konvulsivus yang dipilih oleh para ahli
adalah difenilhidantion karena tidak mengganggu kesadaran dan tidak
menekan pusat pernapasan, tetapi dapat mengganggu frekuensi irama
jantung.
b) Pengobatan penunjang
Sebelum memberantas kejang tidak boleh dilupakan pengobatan
penunjang yaitu semua pakaian ketat dibuka, posisi kepala sebaiknya
miring untuk mencegah aspirasi isi lambung, usahakan agar jalan napas
bebas untuk menjamin kebutuhan oksigen. Fungsi vital seperti kesadaran,
suhu, tekanan darah, pernapasan dan fungsi jantung diawasi secara ketat.
Untuk cairan intravena sebaiknya diberikan dengan dipantau untuk
kelainan metabolik dan elektrolit. Obat untuk hibernasi adalah
klorpromazi 2-. Untuk mencegah edema otak diberikan kortikorsteroid
dengan dosis 20-30 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis atau sebaiknya
glukokortikoid misalnya dexametason 0,5-1 ampul setiap 6 jam sampai
keadaan membaik.

c) Memberikan pengobatan rumat


Setelah kejang diatasi harus disusul pengobatan rumat. Daya kerja
diazepan sangat singkat yaitu berkisar antara 45-60 menit sesudah

26
disuntikan, oleh karena itu harus diberikan obat antiepileptik dengan daya
kerja lebih lama. Lanjutan pengobatan rumat tergantung daripada keadaan
pasien. Pengobatan ini dibagi atas dua bagian, yaitu pengobatan
profilaksis intermiten dan pengobatan profilaksis jangka panjang.
d) Mencari dan mengobati penyebab
Penyebab kejang demam sederhana maupun epilepsi yang
diprovokasi oleh demam biasanya adalah infeksi respiratorius bagian atas
dan otitis media akut. Pemberian antibiotik yang adekuat perlu untuk
mengobati penyakit tersebut. Secara akademis pasien kejang demam yang
datang untuk pertama kali sebaliknya dilakukan pungsi lumbal untuk
menyingkirkan kemungkinan adanya faktor infeksi didalam otak misalnya
meningitis.
2) Penatalaksanaan keperawatan
a) Pengobatan fase akut
1. Airway
(1) Baringkan pasien ditempat yang rata, kepala dimiringkan dan
pasangkan sudip lidah yang telah dibungkus kasa atau bila ada
guedel lebih baik.
(2) Singkirkan benda-benda yang ada disekitar pasien, lepaskan
pakaian yang mengganggu pernapasan
(3) berikan O2 boleh sampai 4 L/ mnt.
2. Breathing
(1) Isap lendir sampai bersih
3. Circulation
(1) Bila suhu tinggi lakukan kompres hangat secara intensif.
(2) Setelah pasien bangun dan sadar berikan minum hangat (berbeda
dengan pasien tetanus yang jika kejang tetap sadar). Jika dengan
tindakan ini kejang tidak segera berhenti, hubungi dokter apakah
perlu pemberian obat penenang.
b) Pencegahan kejang berulang

27
1. Segera berikan diazepam intravena, dosis rata-rata 0,3mg/kgBB atau
diazepam rektal. Jika kejang tidak berhenti tunggu 15 menit dapat
diulang dengan dengan dosis dan cara yang sama.
2. Bila diazepan tidak tersedia, langung dipakai fenobarbital dengan
dosis awal dan selanjutnya diteruskan dengan pengobatan rumat.
j. Pemeriksaan Penunjang
1) Elektroensefalogram (EEG) : dipakai unutk membantu menetapkan jenis dan
fokus dari kejang.
2) Pemindaian CT : menggunakan kajian sinar X yang lebih sensitif dri biasanya
untuk mendeteksi perbedaan kerapatan jaringan.
3) Magneti resonance imaging (MRI) : menghasilkan bayangan dengan
menggunakan lapanganmagnetik dan gelombang radio, berguna untuk
memperlihatkan daerah-daerah otak yang itdak jelas terliht bila menggunakan
pemindaian CT.
4) Pemindaian positron emission tomography ( PET ) : untuk mengevaluasi
kejang yang membandel dan membantu menetapkan lokasi lesi, perubahan
metabolik atau alirann darah dalam otak.
5) Uji laboratorium
6) Pungsi lumbal : menganalisis cairan serebrovaskuler.
7) Hitung darah lengkap : mengevaluasi trombosit dan hematokrit.
8) Panel elektrolit
9) Skrining toksik dari serum dan urin.
10) GDA
2. ASUHAN KEPERAWATAN TERIOTIS KEJANG DEMAM
a. Pengkajian
Proses pengkajian pertama dilakukan adalah pengumpulan data :

1) Identitas pasien

28
Biasanya berisikan tentang nama, umur, jenis kelamin, alamat, diagnose
medis dan tanggal masuk serta tanggal pengakajian dan identitas penanggung
jawab
2) Riwayat kesehatan
a) Riwayat kesehatan sekarang
Demam, suhu > 38oC, muntah, kaku , kejang-kejang, sesak nafas,
kesadaran menurun, ubun-ubun cekung, bibir kering, bak lidah ada, BAB
mencret.
b) Riwayat kesehatan dahulu
Umumnya penyakit ini terjadi sebagai akibat komplikasi perluasan
penyakit lain. Yang sering ditemukan adalah ISPA, ionsililis, olilis nedia,
gastroeniecilis, meningitis.
c) Riwayat kesehatan keluarga
Kemungkinan ada anggota keluarga yang mengalami penyakit
infeksi seperti ISPA dan meningitis.serta memiliki riwayat kejang yang
sama dengan pasien
3) Data tumbuh kembang
Data tumbuh kembang dapat diperoleh dari hasil pengkajian dengan
mengumpulkan data lumbang dan dibandindingkan dengan ketentua-
ketentuan perkembangan normal.Perkembangan motorik, perkembangan
bahasa, perkembangan kognitif, perkembangan emosional, perkembangan
kepribadian dan perkembangan sosial.
4) Data fisik Pada penyakit demam kejang sederhana didapatkan data fisik :
a) Suhu meningkat
b) Frekuensi nafas naik
c) Kesadaran menurun
d) Nadi naik
e) Kejang bersifat umum dan berlangsung sebentar
f) Lemah, letih, lesu dan gelisah.
g) Susah tidur.
5) Pemeriksaan fisik persistem

29
a) System pernafasan
Karena pada kejang yang berlangsung lama misalnya lebih 15
menit biasanya disertai apnea, Na meningkat, kebutuhan O2 dan energi
meningkat untuk kontraksi otot skeletal yang akhirnya terjadi hipoxia dan
menimbulkan terjadinya asidosis. Akibat langsung yang timbul apabila
terjadi kejang demam adalah gerakan mulut dan lidah tidak
terkontrol.Lidah dapat seketika tergigit, dan atau berbalik arah lalu
menyumbat saluran pernapasan.
b) Sistem sirkulasi
Karena gangguan peredaran darah mengakibatkan hipoksia
sehingga meningkatkan permeabilitas kapiler dan timbul edema otak yang
mngakibatkan kerusakan sel neuron otak. Kerusakan pada daerah medial
lobus temporalis setelah mendapat serangan kejang yang berlangsung
lama dapat menjadi matang dikemudian hari sehingga terjadi serangan
epilepsi spontan, karena itu kejang demam yang berlangsung lama dapat
menyebabkan kelainan anatomis diotak hingga terjadi epilepsi.
c) Sistem pencernaan
Sensitivitas terhadap makanan, mual dan muntah yang
berhubungan dengan aktivitas kejang, kerusakan jaringan lunak/gigi.
d) Sistem perkemihan Kontinensia episodik, peningkatan tekanan kandung
kemih dan tonus spinkter
e) Sistem persyarafan Aktivitas kejang berulang, riwayat truma kepala dan
infeksi serebra
6) Aktivitas atau istirahat : keletihan, kelemahan umum, perubahan
tonus/kekuatan otot. Gerakan involunter.
7) Integritas ego : stressor eksternal/internal yang berhubungan dengan keadaan
dan atau penanganan, peka rangsangan.
8) Riwayat jatuh/trauma
9) Data laboratorium
a) Leukosit meningkat

30
b) Pada pemeriksaan tumbal punksi ditemukan cairan jernih glukosa normal
dan protein normal.
10) Data psikososial
Hubungan ibu dan anak sangat dekat sehingga perpisahan dengan ibu
menimbulkan rasa kehilangan orang yang terdekat bagi anakanak lingkungan
tidak dikenal akan menimbulkan perasaan tidak aman, berduka cita dan
cemas. Akibat sakit yang dirawat bagi anak menimbulkan perasaan
kehilangan kebebasan, pergerakan terbatas menyebabkan anak merasa frustasi
sehingga akan mengekspresikan reaksi kecemasan secara bertahap yaitu
proses, putus asa dan menolak.
11) Data sosial ekonomi
Demam kejang dapat mengenal semua tingkat ekonomi dan sosial.
Penyakit ini disebabkan oleh sanitasi lingkungan yang buruk dan disebabkan
oleh kurangnya perhatian orang tua.
b. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul
1) Resiko tinggi trauma/cidera b/d kelemahan, perubahan kesadaran, kehilangan
koordinasi otot.
2) Gangguan rasa nyaman b.d peningkatan suhu tubuh.
3) Resiko kejang berulang b.d peningkatan suhu.
4) Resiko Defisit volume cairan bd kondisi demam.
5) Kurang pengetahuan orang tua tentang kondisi, prognosis, penatalaksanaan
dan kebutuhan pengobatan bd kurangnya informasi.

C. DIFTERI
1. Konsep Dasar
a. Defenisi
Difteri adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh
corynebacterium diphteriaeyang berasal dari membran mukosa hidung nasofaring,
kulit, dan lesi lain dari orang yang terinfeksi

31
Difteri merupakan penyakit menular yang serius yang menyerang saluran
pernapasan atas yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheria, suatu
bakteri Gram positif fakultatif anaerob.Penyakit ini ditandai dengan sakit
tenggorokan, demam, malaise dan pada pemeriksaan ditemukan pseudomembran
pada tonsil, faring, dan / atau rongga hidung.Difteri adalah penyakit yang
ditularkan melalui kontak langsung atau droplet dari penderita.Pemeriksaan khas
menunjukkan pseudomembran tampak kotor dan berwarna putih keabuan yang
dapat menyebabkan penyumbatan karena peradangan tonsil dan meluas ke
struktur yang berdekatan sehingga dapat menyebabkan bull neck.Membran
mudah berdarah apabila dilakukan pengangkatan.
Difteri adalah penyakit yang diakibatkan oleh serangan bakteri yang
bersumber dari Corynebacterium Diphtheriae. Difteri merupakan penyakit yang
mengerikan dimana telah menyebabkan ribuan kematian, dan masih mewabah di
daerah-daerah dunia yang belum berkembang.Orang yang selamat dari penyakit
ini menderita kelumpuhan otot-otot tertentu dan kerusakan permanen pada
jantung dan ginjal.Anak-anak yang berumur satu sampai sepuluh tahun sangat
peka terhadap penyakit ini (Jurnal Pediatri, 2017).
Dalam Jurnal Pasarpolis (2017) Penyakit difteri didefinisikan sebagai
penyakit yang menyerang saluran pernafasan terutama pada bagian laring,
amandel, atau tonsil, dan tenggorokan. Ketika saluran pernafasan terinfeksi oleh
virus ini, membran atau lapisan lengket yang berwarna abu-abu akan berkembang
di area tenggorokan sehingga menyebabkan batuk disertai sesak nafas akut yang
akan berujung kepada kematian. Kemudian ada juga resiko langsung berupa
kerusakan jantung dan syaraf (neuro-damage). Bakteri induk Difteri ini juga
menghasilkan racun yang berbahaya jika menyebar ke bagian tubuh yang lain.
b. Etiologi
Difteri disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphteriae, yang dapat
menular melalui partikel di udara, benda pribadi, peralatan rumah tangga yang
terkontaminasi, serta menyentuh luka yang terinfeksi kuman difteri.

32
c. Manifestasi Klinis
Tanda-tanda dan gejala-gejala difteri tergantung padafokus infeksi, status
kekebalan pejamu dan apakah toksin yang dikeluarkan itu telahmemasuki sistem
peredaran darah atau belum.Masa tunas penyakit berkisar antara 1-6 hari. Difteri,
secara klinis diklasifikasikan berdasarkan lokalisasi anatomi infeksi awal dan
membran difteri (nasal, tonsil, faring, laringatau laringotrakea, konjungtiva, kulit
dan genital).Difteri nasa mula-mula menyerupai penyakit selesma dan ditandai
dengan sedikit gejalasistemis. Secara-berangsur-angsur sekret hidung menjadi
serosanguinosa kemudian menjadimukopurulen dan menimbulkan ekskoriasi
cuping hidung dan bibir bagian atas. Timbul bau busuk dan pada pemeriksaan
yang seksama menunjukkan adanya membran putih padaseptum nasi. Penyebaran
toksin yang lambat disertai berkurangnya gejala-gejala sistemis,sering
mengakibatkan keterlambatan penegakan diagnosis yang tepat. Bentuk penyakit
ini paling sering ditemukan pada bayi.

Gejala klinis adalah:

1) Demam
2) Pilek
3) sesak nafas
4) batuk
5) sakit tenggoroka
6) Hidung meler
7) suara serak
8) detak jantung meningkat
9) pembesaran langit-langit mulut
10) pembesaran kelenjar getah bening dileher
d. Patofisiologi
Bakteri C.diphtheriae masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta
berkembang biak pada permukaan mukosa saluran napas bagian atas dan mulai
memproduksi toksin yang merembes ke sekeliling serta selanjutnya menyebar ke
seluruh tubuh melalui pembuluh limpa dan pembuluh darah.efek toksin pada

33
jaringan tubuh manusia adalah hambatan pembentukan protein dalam sel. Kuman
membentuk pseudomembran dan melepaskan eksotoksin. Pseudomembran timbul
local dan menjalar dari laring, faring dan saluran nafas atas. Kelenjar getah bening
akan tampak membengkak dan mengandung toksin. Eksotoksin bila mengenai
otot jantung akan mengakibatkan terjadinya miokarditis dan timbul paralysis otot-
otot pernafasan bila mengenai jaringan syaraf. Sumbatan pada jalan nafas sering
terjadi akibat dari pseudomembran pada laring dan trachea menyebabkan kondisi
yang fatal.
Pada pseudomembran kadang-kadang dapat terjadi infeksi sekunder
dengan bakteri (misalnya Streptococcus pyogenes).Membrane dan jaringan
edematous dapat menyumbat jalan napas.Gangguan pernapasan dapat terjadi
dengan perluasan penyakit ke dalam laring atau cabang trakeo-bronkus. Toksin
yang diedarkan dalam tubuh bias mengakibatkan kerusakan pada setiap organ,
terutama jantung, saraf dan ginjal. Antitoksin difteri hanya berpengaruh pada
toksin yang bebas atau yang terabsorbsi pada sel, tetapi tidak menetralisasi
apabila toksin telah melakukan penetrasi ke dalam sel. Setelah toksin terfiksasi
dalam sel, terdapat masa laten yang bervariasi sebelum timbulnya manifestasi
klinis. Miokarditis biasanya terjadi dalam 10-14 hari, manifestasi sraf pada
umumnya terjadi setelah 3-7 minggu.Kelainan patologik yang mencolok adalah
nekrosis toksis dan degenerasi hialin pada bermacam-macam organ dan
jaringan.Pada jantung tampak edema, kongesti, infiltrasi sel mononuclear pada
serat otot dan fibrosis interstisial.Pada saraf tampak neuritis toksik dengan
degenerasi lemak pada selaput myelin. Nekrosis hati bias disertai gejala
hipoglikemia kadang-kadang tampak perdarahan adrenal dan nekrosis tubular
akut pada ginjal.

34
e. WOC

f) Komplikasi
1) Pada saluran pernapasan : terjadi obstruksi jalan napas dengan segala
akibatnya, bronkopneumonia,
2) atelectasis kardiovaskular ; miokarditis, yang dapat terjadi akibat toksin
yang dibentuk kuman difteria
3) Kelainan pada ginjal : nefritis
4) Kelainan saraf : kira-kira 10% pasien difteria mengalami komplikasi yang
mengenai susunansaraf terutama sistem motorik, dapat berupa :
 Paralisis/parelisis palatum mole sehingga terjadi rinolalia (suara sengau),
tersedak/sukarmenelan. Dapat terjadi pada minggu I-II
 Paralisis/paresis otot-otot mata : dapat mengakibatkan strabismus,
gangguan akomodasi,dilatasi pupil atau ptosis yang timbul pada minggu
III.

35
 Paralisis umum yang dapat terjadi setelah minggu ke-IV. Kelainan dapat
mengenai ototmuka, leher, anggota gerak dan yang paling berbahaya bila
mengenai otot pernapasan.
g) Klasifikasi
Menurut Sumarmo 2002, klasifikasi difteri berdasarkan letaknya
dibedakan menjadi 4 yaitu:
1) Difteri hidung
Difteri yang terjadi di hidung, pada awalnya menyerupai commond cold
dengan gejala pilek ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Sekret
hidung berangsur menjadi serosanguinus dan kemudian mukopurulen
menyebabkan lecet pada nares dan bibir atas. Pada pemeriksaan tampak
membran putih pada daerah septum nasi.Absorbsi toksin sangat lambat dan
gejala sistemik yang timbul tidak nyata sehingga diagnosis lambat dibuat.
2) Difteri tonsil faring
Difteri yang ditandai dengan anoreksia, malaise, demam ringan dan nyeri
menelan.Dalam 1-2 hari kemudian timbul membrane yang melekat,
berwarna putih kelabu dapat menutup tonsil dan dinding faring, meluas ke
uvula dan palatum molle atau kebawah ke laring dan trakea. Usaha
melepaskan membrane akan mengakibatkan perdarahan.
3) Difteri laring
Difteria laring biasanya merupakan perluasan difteri faring.Pda difteri
primer gejala toksik kurang nyata, oleh karena mukosa laring mempunyai
daya serap toksin yang rendah dibandingkan mukosa faring sehingga gejala
obstruksi saluran nafas atas lebih mencolok. Gejala klinis difteri laring sukar
untuk dibedakan dengan tipe infectius croups yang lain, seperti nafas bunyi,
stridor yang progresif, suara parau dan batuk kering. Pada obstruksi laring
yang berat terdapat retraksi suprasternal, interkostal dan supraklavikular.
Bila terjadi pelepasan membran yang menutup jalan nafas bisa terjadi
kematian mendadak.

36
4) Difteri laringDifteri kulit, vulvovaginal, konjungtiva, dan telinga
Difteria kulit, difteria vulvovaginal, diftera konjungtiva dan difteri telinga
merupakan tipe difteri yang tidak lazim.Difteri kulit berupa tukak di kulit,
tetapi jelas dan terdapat membran pada dasarnya.Kelainan cenderung
menahun.Difteri pada mata dengan lesi pada konjungtiva berupa kemerahan,
edema dan membran pada konjungtiva palpebra.Pada telinga berupa otitis
eksterna dan sekret purulen dan berbau.
h) Penatalaksanaan Medis
Tujuan pengobatan penderita difteri, menurut Sumarmo 2002 ialah untuk
menginaktivasi toksin yang belum terikat secepatnya, mencegah dan
menguasahakan agar penyulit yang terjadi minimal, mengeliminasi C. diphtheriae
untuk mencegah penularan serta mengobati infeksi penyerta dan penyulit difteria.

Penatalaksanaan umum:

1) Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui selama 2-3 minggu


2) Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3 minggu
3) Pemberian cairan dan diet yang adekuat. Bentuk makanan disesuaikan
dengan toleransi, untuk hal ini dapat diberikan makanan lunak, saring/cair,
bila perlu sonde lambung jika ada kesukaran menelan (terutama pada
paralysisis palatum molle dan otot-otot faring).
4) Jamin kemudahan defekasi. Jika perlu berikan obat-obat pembantu defekasi
(klisma, laksansia, stool softener) untuk mencegah mengedan berlebihan.
5) Berikan oksigen apabila ada tanda-tanda obstruksi jalan napas.

Penatalaksanaan khusus:

1) Antitoksin : Anti Diphtheriae Serum (ADS)


Antitoksin harus diberikan segera setelah diagnosis difteria.Dengan
pemberian antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada penderita
kurang dari 1 %.Namun dengan penundaan lebih dari hari ke 6, angka
kematian ini bisa meningkat sampai 30 %.

37
Sebelum pemberian ADS harus dilakukan uji kulit dan amat terlebih
dahulu, oleh karena pada pemberian ADS dapat terjadi reaksi anafilaktik,
sehingga harus disediakan larutan adrenalin a:1000 dalam semprit. Uji kulit
dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml ADS dalam larutan garam fisiologis
1:1000 secara intrakutan. Hasil positif bila dalam 20 menit terjadi induraksi
>10 mm. Uji mata dilakukan dengan meneteskan 1 tetes larutan serum 1:10
dalam garam fisiologis. Pada mata yang lain diteteskan garam fisiologis.
Hasil positif bila dalam 20 menit tampak gejala hiperemis pada konjungtiva
bulbi dan lakrimasi. Bila uji kulit dan mata positif, ADS diberikan dengan
cara desensitisasi (Besredka). Bila uji hipersensitivitas tersebut diatas
negative, ADS harus diberikan sekaligus secara intravena. Dosis ADS
ditentukan secara empiris berdasarkan berat penyakit dan lama sakit, tidak
tergantung pada berat badan pasien, berkisar antara 20.000-120.000
KI.Pemebrian ADS intravena dalam larutan fisiologis atau 100 ml glukosa 5
% dalam 1-2 jam. Pengamatan terhadap kemungkinan efek samping
obat/reaksi sakal dilakukan selama pemberian antitoksin dan selama 2 jam
berikutnya. Demikian pula perlu dimonitor terjadinya reaksi
hipersensitivitas lambat (serum sickness)

Dosis ADS menurut lokasi membrane dan lama sakit

Tipe difteria Dosis ADS Cara Pemberian


(KI)

Difteria hidung 20.000 Intramuscular

Difteria tonsil 40.000 Intramuscular atau


intravena

Difteria faring 40.000 Intramuscular atau


intravena

Difteria laring 40.000 Intramuscular atau


intravena

Kombinasi lokasi diatas 80.000 Intravena

38
Difteria + penyulit, 80.000- Intravena
bullneck 100.000

Trelambat berobat (> 72 80.000- Intravena


jam), lokasi dimana saja 100.000

2) Antibiotik
Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin, melainkan untuk
membunuh bakteri dan menghentikan produksi toksin.Penisilin prokain
50.000-100.000 KI/kgBB/hari selama 10 hari, bila terdapat riwayat
hipersensitivitas penisilin diberikan eritrosmisin 40 mg/kgBB/hari.
3) Kortikosteroid
Belum terdapat persamaan pendapat mengenai kegunaan obat ini pada
difteria.Dianjurkan kortikosteroid diberikan pada kasus difteria yang disertai
dengan gejala obstruksi saluran napas bagian atas (dapat disertai atau tidak
bullneck) dan bila terdapat penyulit miokarditis.Pemberian kortikosteroid
untuk mencegah miokarditis ternyata tidak terbukti. Dapat diberikan
prednison 2 mg/kgbb/hari,selama 3 minggu yang kemudian dihentikan
secara bertahap.
i) Pencegahan
Pencegahan secara umum dengan menjaga kebersihan dan memberikan
pengetahuan tentang bahaya difteria bagi anak.Pada umumnya setelah seseorang
anak menderita difteria, kekebalan terhadap penyakit ini sangat rendah sehingga
perlu imunisasi.Pencegahan secara khusus terdiri dari imunisasi DPT dan
pengobatan karier.Seorang anak yang telah mendapat imunisasi difteria lengkap,
mempunyai antibody terhadap toksin difteria tetapi tidak mempunyai antibody
terhadap organismenya.Keadaan demikian memungkinkan seseorang menjadi
pengidap difteria dalam nasofaringnya (karier) atau menderita difteria ringan.

j) Pemeriksaan Penunjang
Menurut FKUI tahun 2007, dapat diketahui terkena difteria yaitu dengan
dilakukannya pemeriksaan-pemeriksaan sebagai berikut:

39
1) Bakteriologik. Preparat apusan kuman difteri dari bahan apusan mukosa
hidung dan tenggorok (nasofaringeal swab)
2) Darah rutin : Hb, leukosit, hitung jenis, eritrosit, albumin
3) Urin lengkap : aspek, protein dan sedimen
4) Enzim CPK, segera saat masuk RS
5) Ureum dan kreatinin (bila dicurigai ada komplikasi ginjal)
6) EKG secara berkala untuk mendeteksi toksin basil menyerang sel otot jantung
dilakukan sejak hari 1 perawatan lalu minimal 1x seminggu, kecuali bila ada
indikasi biasa dilakukan 2-3x seminggu
7) Tes schick
Uji Schick ialah pemeriksaan untuk mengetahui apakah seseorang telah
mengandung antitoksin.Dengan titer antitoksin 0,03ml satuan per millimeter
darah cukup dapat menahan infeksi difteria. Untuk pemeriksaan ini digunakan
dosis 1/50 MLD yang diberikan intrakutan dalam bentuk larutan yang telah
diencerkan sebanyak 0.1 ml. pada seseorang yang tidak mengandung
antitoksin, akan timbul vesikel pada bekas suntikan dan hilang setelah
beberapa minggu. Pada yang mengandung antitoksin rendah, uji Schick dapat
positif, pada bekas suntikan timbul warna merah kecoklatan dalam 24 jam.Uji
Schick dikatakan negatif bila tidak didapatkan reaksi apapun pada tempat
suntikan dan ini terdapat pada orang dengan imunitas atau mengandung
antitoksin yang tinggi. Positif palsu terjadi akibat reaksi alergi terhadap
protein antitoksin yang akan menghilang dalam 72 jam.
Uji ini berguna untuk mendiagnosis kasus-kasus difteri ringan dan kasus-
kasus yang mengalami kontak dengan difteri, sehingga diobati dengan
sempurna. Cara melakukan Schick test ialah, sebanyak 0,1 ml toksin difetri
disuntikkan intrakutan pada lengan klien, pada lengan yang lain disuntikkan
toksin yang sudah dipanaskan (kontrol). Reaksi dibaca pada hari ke-45,
hasilnya positif bila terjadi indurasi eritema yang diameternya 10mm atau
lebih pada tempat suntikkan.Hasil positif berarti adanya antitoksin difteri
dalam serumnya (menderita difteri). (Sumarmo: 2008).
2. Asuhan Keperawatan

40
a. Pengkajian
1) Identitas diri :
2) Riwayat imunisasi
3) kontak dengan orang yang terinfeksi
4) Pemeriksaan Fisik :
 Mata : terdapat konjungtivitis, fotophobia
 Kepala : sakit kepala
 Hidung : Banyak terdapat secret, influenza, rhinitis/koriza, perdarahan
hidung (pada stadium erupsi).
 Mulut &bibir : Mukosa bibir kering, stomatitis, batuk, mulut terasa
pahit.
 Kulit : Permukaan kulit (kering), turgor kulit, rasa gatal, ruam makuler
pada leher, muka, lengan dan kaki (pada stadium Konvalensi), eritema,
panas (demam).
 Pernafasan : Pola nafas, RR, batuk, sesak nafas, wheezing, ronchi,
sputum
 Tumbuh Kembang : BB, TB, BB Lahir, Tumbuh kembang R/
imunisasi.
 Pola Defekasi : BAK, BAB, Diare
 Status Nutrisi : intake – output makanan, nafsu makanan
5) Keadaan Umum : Kesadaran, TTV
b. Kemungkinan Diagnosa
1) Pola nafas tidak efektif b.d hambatan upaya nafas
2) Resiko deficit nutrisi b.d ketidakmampuan menelan makanan
3) Nyeri akut b.d agen pencedera fisiologis
4) Resiko infeksi b.d organism virulen

D. PROSEDUR TINDAKAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN AMAN


NYAMAN
1. Melakukan Tepid Water Sponge

41
a. Pengertian
Merupakan tindakan yang dilakukan untuk menurunkan suhu tubuh saat
demam yaitu dengan merendam anak di dalam air hangat, mengelap sekujur tubuh
dengan air hangat menggunakan waslap, dan dengan kompres pada bagian tubuh
tertentu yang memiliki pembuluh darah besar.
b. Tujuan
 Memperlancar sirkulasi darah
 Menurunkan suhu tubuh
 Mengurangi rasa sakit
 Memberi rasa hangat, nyaman, dan tenang pada klien
 Memperlancar pengeluaran eksudat
 Merangsang peristaltic usus
c. Indikasi : Klien dengan demam
d. Peralatan
 Thermometer air raksa
 Kom kecil berisi air hangat kira-kira 450C
 Beberapa buah waslpa/kain kasa dengan ukuran tertentu
e. Prosedur Kerja
1) Tahap Pra Interaksi
 Melaksanakan verifikasi data dan program sebelumnya bila ada.
 Menyiapkan alat dan bahan
 Mencuci tangan.
 Membawa alat di dekat klien.
2) Tahap Orientai
 Memberi salam dan menyapa nama klien.
 Menjelaskan tujuan dan prosedur tepid water sponge kepada klien dan
keluarga.
 Menanyakan kesediaan dan kesiapan klien.
3) Tahap Kerja
 Dekatkan alat-alat ke klien

42
 Cuci tanganMasukkan waslap/kain kasa kedalam kom berisi air hangat
lalu peras sampai lembab
 Letakkan waslap/kain kasa tersebut pada area yang akan dikompres yaitu
pada dahi, axilah, lipatan paha, dan diusapakan keseluruh tubuh
 Ganti waslap/ kain kasa dengan waslap/ kain yang sudah terendah dalam
kom berisi air hangat
 Diulang-ulang sampai suhu tubuh turun
 Rapikan klien dana bereskan alat-alat bila sudah selesai
4) Tahap Terminasi
 Melakukan evaluasi tindakan
 Berpamitan dengan klien
 Membereskan alat
 Mencuci tangan
5) Evaluasi
 Respon Respon verbal: orang tua klien mengatakan anaknya demam
sudah turun.
 Respon non verbal: klien tidak rewel, ekspresi wajah segar dan suhu
dalam batas normal
 Beri reinforcement positif
 Lakukan kontrak untuk kegiatan selanjutnya
 Mengakhiri kegiatan dengan baik
2. Melakukan Teknik Restrain
1) Pengertian Teknik Restrain
Restraint (dalam psikiatrik) secara umum mengacu pada suatu bentuk
tindakan menggunakan tali untuk mengekang atau membatasi gerakan ekstremitas
individu yang berperilaku di luar kendali yang bertujuan memberikan keamanan
fisik dan psikologis individu.
2) Tujuan Penggunaan Restrain
 Untuk memastikan keselamatan dan kenyaman anak
 Memfasilitasi pemeriksaan

43
 Membantu dalam pelaksanaan uji diagnostik dan prosedur terapeutik
 Mempertahankan pada posisi yang diinginkan
3) Indikasi Penggunaan Restrain
Penggunaan tekhnik pengendalian fisik (restrain) dapat diterapkan dalam
keadaan: Pasien yang membutuhkan diagnosa atau perawatan dan tidak bisa
menjadi kooperatif karena suatu keterbatasan misalnya : pasien dibawah umur,
pasien agresif atau aktif dan pasien yang memiliki retardasi mental.Ketika
keamanan pasien atau orang lain yang terlibat dalam perawatan dapat terancam
tanpa pengendalian fisik (restraint).Sebagai bagian dari suatu perawatan ketika
pasien dalam pengaruh obat sedasi.
4) Kontraindikasi Pengunaan Restrain
Penggunaan teknik pengendalian fisik (restraint) tidak boleh diterapkan dalam
keadaan yaitu:
 Tidak bisa mendapatkan izin tertulis dari orang tua pasien untuk
melaksanakan prosedur kegiatan.
 Pasien anak kooperatif.
 Pasien anak memiliki komplikasi kondisi fisik atau mental
5) Hal-hal Yang Perlu Di Perhatikan Dalam Penggunaan Restraint Pada Bayi Dan
Anak
Pada kondisi gawat darurat, restrain/seklusi dapat dilakukan tanpa order
dokter. Sesegera mungkin (< 1jam) setelah melakukan restrain, perawat
melaporkan pada dokter untuk mendapatkan legalitas tindakan baik secara verbal
maupun tertulis.Intervensi restrain dibatasi waktu yaitu:
 4 jam untuk klien berusia >18 tahun,
 2 jam untuk usia 9-17 tahun, dan
 1 jam untuk umur 18tahun,
 2 jam untuk anak-anak dan usia 9-17 tahun.
 Waktu minimal evaluasi oleh dokter adalah 8 jam untuk usia >18 tahun
dan 4 jam untuk usia<17 tahun

44
 Selama restrain klien di observasi tiap 10-15 menit, dengan fokus
observasi.
f. Tanda-tanda cedera yang berhubungan dengan restrain
 Nutrisi dan hidrasi
 Sirkulasi dan Range of Motion eksstremitas
 Vital Sign
 Hygiene dan eliminasi
 Status fisik dan psikologis
 Kesiapan klien untuk dibebaskan dari restrain
g. Jenis-Jenis Restrain Pada Bayi dan Anak
1) Sheet And Ties
Penggunaan selimut untuk membungkus tubuh pasien supaya tidak
bergerak dengan cara melingkarkan selimut ke seluruh tubuh pasien dan
menahan selimutnya dengan perekat atau mengikatnya dengan tali.

2) Restraint Jaket
Restraint jaket digunakan pada anak dengan tali diikat dibelakang tempat
tidur sehingga anak tidak dapat membukanya.Pita panjang diikatkan ke bagian
bawah tempat tidur, menjaga anak tetap di dalam tempat tidur. Restrain jaket
berguna sebagai alat mempertahankan anak pada posisi horizontal yang
diinginkan.

45
3) Papoose Board
Papoose board merupakan alat yang biasa digunakan untuk menahan
gerak anak saat melakukan perawatan gigi.Cara penggunaannya adalah anak
ditidurkan dalam posisi terlentang di atas papan datar dan bagian atas tubuh,
tengah tubuh dan kaki anak diikat dengan menggunakan tali kain yang
besar.Pengendalian dengan menggunakan papoose board dapat diaplikasikan
dengan cepat untuk mencegah anak berontak dan menolak perawatan.

4) Restraint Mumi atau Bedong


Selimut atau kain dibentangkan diatas tempat tidur dengan salah satu
ujungnya dilipat ke tengah.Bayi diletakkan di atas selimut tersebut dengan
bahu berada di lipatan dan kaki ke arah sudut yang berlawanan.Lengan kanan
bayi lurus kebawah rapat dengan tubuh, sisi kanan selimut ditarik ke tengah
melintasi bahu kanan anak dan dada diselipkan dibawah sisi tubuh bagian
kiri.Lengan kiri anak diletakkan lurus rapat dengan tubuh anak, dan sisi kiri
selimut dikencangkan melintang bahu dan dada dikunci dibawah tubuh anak
bagian kanan.

46
5) Restraint Siku
Restraint siku Penting dilakukan pada pasien setelah bedah bibir atau agar
anak tidak menggaruk pada kulit yang terganggu. indakan mencegah anak
menekuk siku atau meraih kepala atau wajah. Kadang-kadang

6) Pedi-wrap
Pedi-wrap merupakan sejenis perban kain yang dilingkarkan pada leher
sampai pergelangan kaki pasien anak untuk menstabilkan tubuh anak serta
menahan gerakan tubuh anak.Pedi-wrap mempunyai berbagai variasi ukuran
sesuai dengan kebutuhan.

47
h. Resiko Penggunaan Restraint pada Bayi dan Anak
Terdapat beberapa laporan ilmiah mengenai kematian pasien anak yang
disebabkan oleh penggunaan teknik pengendalian fisik (restraint). Hubungan
kematian pasien dengan gangguan psikologi yang disebabkan penggunaan
restraint adalah dimana ketika pengendalian fisik (restrain) dilakukan, pasien anak
mengalami reaksi psikologis yang tidak normal, yaitu seperti menigkatnya suhu
tubuh, cardiac arrhythmia yang kemudian dapat menyebabkan timbulnya
positional asphyxia, excited delirium, acute pulmonary edema, atau pneumonitis
yang dapat menyebabkan kematian pada anak.
3. Penatalaksanaan Kejang Pada Anak
a. Tatalaksana
Tatalaksana yang dilakukan saat anak datang dalam keadaan kejang adalah:
1) Diazepam intravena 0.3 – 0.5 mg/kgBB bolus pelan 1 – 2 mg/menit (3 – 5
menit), dosis maksimal 20 mg.
2) Bila belum terpasang akses intravena atau dilakukan di Rumah, bisa
diberikan diazepam rektal 0.5 – 0.75 mg/kgBB atau 5 mg untuk BB < 10 kg
dan 10 mg untuk BB > 10 kg.
3) Bila diazepam rektal diberikan oleh orang tua di Rumah, dengan 2 kali
pemberian diazepam rektal berselang 5 menit, kejang masih belum berhenti,
anjurkan ke Rumah Sakit dan diberikan diazepam intravena
4) Bila kejang belum berhenti setelah tatalaksana awal, berikan Fenitoin
intravena dosis awal 10 – 20 mg/kgBB/pemberian (kecepatan 1
mg/kgBB/menit atau kurang dari 50 mg/menit)
5) Bila kejang berhenti, fenitoin diberikan kembali 4 – 8 mg/kgBB/hari 12 jam
setelah dosis awal. Bila kejang belum berhenti, rawat ruang intensif untuk
diberikan obat-obatan anestesi.
b. Berobat Jalan
Tatalaksana rumatan diberikan sampai pada waktu 1 tahun periode bebas
kejang, dan diberhentikan bertahap (tappering off) dalam waktu 1 – 2 bulan
pada:
 Kejang demam kompleks, atau

48
 Timbulnya kelainan neurologis sebelum atau sesudah kejang (contoh:
paresis Todd, hemiparesis, cerebral palsy, hidrosefalus dan retardasi
mental), atau
 Kejang lebih dari 2x dalam 24 jam, atau kurang usia 12 bulan, atau lebih
sama dengan 4x kejadian kejang demam dalam 1 tahun
(dipertimbangkan).
Berdasarkan analisis keuntungan dan kerugian, obat-obatan anti-konvulsan
tidak direkomendasikan pada pasien kejang demam sederhana yang terjadi satu
kali atau lebih.
c. Persiapan Rujukan Ke Rumah Sakit
Anjurkan orang tua atau pengasuh untuk lakukan hal-hal berikut bila
sedang terjadi kejang demam anak:
 Jangan tahan anak dalam keadaan kejang, posisikan anak di tempat yang
aman (contoh: lantai)
 Sebisa mungkin kepala dimiringkan ke samping agar bila anak muntah,
tidak terjadi aspirasi
 Jangan diberikan apapun ke dalam mulutnya
 Bila orang tua memiliki diazepam sediaan rektal, berikan dengan dosis 5
mg untuk < 10 kg, atau 10 mg untuk > 10 kg
 Bila kejang tidak berhenti dalam 10 menit, segera bawa anak ke Unit
Gawat Darurat terdekat.
d. Medikamentosa
Obat anti-konvulsi yang digunakan saat kejang demam:
1) Diazepam
Dosis saat terjadi kejang:
 5 mg sediaan per rectal untuk berat badan < 10 kg
 10 mg sediaan per rectal untuk berat badan > 10 kg
 0.2 – 0.5 mg/kgBB/kali dapat diulang dalam 4 – 12 jam
IDAI menyarankan pemberian diazepam oral dengan dosis 0.3 mg/kgBB
atau diazepam rektal dengan 0.5 mg/kgBB pada saat demam karena dapat
menurunkan risiko terjadinya kejang. Bekerja sebagai neurotransmitter

49
inhibitor dengan meningkatkan aktivitas GABA, menekan pada semua
tingkatan sistem saraf pusat.
2) Fenitoin
 Dosis awal fenitoin 10 – 20 mg/kgBB/pemberian (kecepatan 1
mg/kgBB/menit atau kurang dari 50 mg/menit).
 Dosis rumatan: 4 – 8 mg/kgBB/hari 12 jam setelah dosis awal.
Fenitoin bekerja dengan menurunkan aktivitas neuron dengan
mengganggu kerja dari kanal natrium. Tidak boleh diberikan pada cairan
yang mengandung dekstrosa karena risiko presipitasi. Cairan pengencer
yang disarankan adalah NaCl 0.9%.
3) Fenobarbital
Dosis fenobarbital adalah 15 – 20 mg/kgBB/hari IV dengan pemberian
yang tidak melebihi kecepatan 2 mg/kgBB/menit, dan tidak melebihi 1000
mg/dosis. Dapat diulangi dengan dosis 5 – 10 mg/kgBB bolus setelah 15 –
30 menit bila diperlukan. Dosis maksimal kumulatif adalah 40 mg/kgBB.
Beberapa dokter spesialis anak mempertimbangkan pemberian
fenobarbital ketika golongan barbiturat (diazepam) tidak memberikan efek
klinis. Tidak ditemukan superioritas antara fenobarbital dengan fenitoin.
4) Antikonvulsan Rumatan
Pemberian obat anti-konvulsan yang terus menerus seperti fenobarbital
dan asam valproat serta terapi intermiten dengan diazepam ditemukan efektif
untuk mengurangi kejadian kejang demam. Pertimbangan efek samping dari
obat-obatan ini dianggap lebih berbahaya bila dibandingkan dengan risiko
yang terjadi akibat kejang demam sederhana.
Obat rumatan disarankan oleh IDAI untuk kejang demam yang berpotensi
menjadi epilepsi yaitu kejang demam kompleks. Obat anti-konvulsi rumatan
yang dapat diberikan:
 Asam Valproat. Dosis: 15 – 40 mg/kgBB/hari dalam 2 – 3 dosis,
namun  memiliki risiko gangguan fungsi hati terutama pada usia di
bawah 2 tahun

50
 Fenobarbital. Dosis: 3 – 4 mg/kgBB/hari dalam 1 – 2 dosis.
Penggunaan setiap hari meningkatkan risiko terjadinya kesulitan
belajar dan gangguan perilaku.
5) Antipiretik
Pemberian obat anti-piretik secara rutin tidak dianjurkan karena hasilnya
tidak berbeda bermakna dengan pemberiannya hanya pada saat kejadian
demam dalam menurunkan kejadian kejang demam berulang[12]. Obat anti-
piretik yang dianjurkan IDAI adalah:
 Paracetamol 10 – 15 mg/kgBB/kali, sampai 4 kali sehari
 Ibuprofen 5 – 10 mg/kgBB/kali, 3 – 4 kali sehari.
6) Terapi Suportif
Tidak ada terapi suportif yang direkomendasikan untuk kejang demam.
7) Zink
Zink diduga berperan dalam patogenesis kejang demam dan pemberiannya
sebagai terapi suportif masih dalam pro dan kontra. Studi cochrane
menyimpulkan bahwa pemberian zink tidak memberikan keuntungan.
4. Prinsip Isolasi Pada Anak Dengan Campak dan Difteri
a. Terapi Suportif
Pada anak yang sehat umumnya gejala campak dapat sembuh sendiri.
Pengobatan yang diberikan bersifat suportif, terdiri dari pemberian cairan yang
cukup, suplemen nutrisi, antibiotik diberikan apabila terjadi infeksi sekunder,
antikonvulsi jika terdapat kejang dan pemberian vitamin A. Pada kasus campak
tanpa komplikasi penatalaksanaan berupa:
 Tirah baring di tempat tidur
 Diet makanan cukup cairan dan cukup kalori
 Antipiretik bila demam: parasetamol 10-15 mg/kgBB/dosis dapat diulang
pemberiannya setiap 4 jam
Pada pasien dengan campak juga sebaiknya diberikan vitamin A. Vitamin A
berfungsi sebagai imunomodulator yang meningkatkan respons antibodi
terhadap virus campak. Pemberian vitamin A dapat menurunkan angka kejadian

51
komplikasi, seperti diare dan bronkopneumonia. Vitamin A diberikan satu kali
dengan dosis sebagai berikut:
 200.000 IU pada anak usia 12 bulan atau lebih 100.000 IU pada anak usia
6-11 bulan
 Pada anak dengan defisiensi vitamin A, diberikan tambahan pemberian
vitamin A dosis tunggal sesuai usia penderita antara minggu ke-2 sampai
ke-4 setelah pemberian pertama.
Pada kasus campak dengan komplikasi Ensefalopati dapat diberikan:
 Kloramfenikol dosis75 mg/kgBB/hari dan ampisilin 100 mg/kgbb/hari
selama 7-10 hari
 Kortikosteroid : deksametason 1 mg/kgBB/hari sebagai dosis awal
dilanjutkan 0,5 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis sampai kesadaran
membaik (bila pemberian lebih dari 5 hari memerlukan tapering off)
 Kebutuhan jumlah cairan dikurangi ¾ dari kebutuhan dan lakukan
koreksi jika terdapat gangguan elektrolit.
Pada kasus campak dengan komplikasi Bronkopneumonia dapat diberikan:
 Kloramfenikol dosis 75 mg/kgBB/hari dan ampisilin 100 mg/kgbb/hari
selama 7-10 hari
 Oksigen 2 liter/menit.
b. Terapi Antivirus
Pada penyakit campak tidak diperlukan terapi antivirus spesifik,
pengobatan hanya diberikan secara suportif. Terapi antivirus dengan Ribavirin
terbukti secara in vitro bermanfaat terhadap infeksi campak berat pada individu
dewasa yang imunokompromais serta pada kasus Subacute sclerosing
panencephalitis (SSPE). Namun penggunaan Ribavirin belum memiliki izin dari
US Food and Drug Administration (FDA) dan sifatnya masih eksperimental. 
c. Indikasi Rawat
Pasien dirawat di ruang isolasi apabila terdapat gejala sebagai berikut:
 Hiperpireksia (suhu > 39°C
 Dehidrasi
 Kejang

52
 Asupan oral sulit
 Ada komplikasi 
d. Pemantauan dan Konsultasi
Pada kasus campak dengan komplikasi bronkopneumonia dan gizi kurang
perlu dipantau terhadap adanya infeksi tuberkulosis (TB) laten. Pantau gejala
klinis dan lakukan uji tuberkulin setelah 1-3 bulan masa penyembuhan.
Pantau keadaan gizi pada pendertita gizi kurang atau gizi buruk, jika perlu
konsultasikan kepada Divisi Nutrisi dan Metabolik.
Jenis penanganan yang akan dilakukan dokter tergantung gejala, usia, dan
kondisi kesehatan anak secara keseluruhan. Obat yang diberikan pada dasarnya
terdiri dari 2 macam, yaitu:
1) Antitoksin
Obat ini disuntik ke pembuluh darah untuk menetralkan racun difteri yang
sudah beredar di dalam tubuh. Sebelum memberi antitoksin, dokter akan
melakukan tes alergi untuk memastikan bahwa anak yang terinfeksi difteri
tidak memiliki alergi terhadap antitoksin.
2) Antibiotik
Difteri pada anak juga dapat diobati dengan pemberian antibiotik, seperti
penisilin atau eritromisin. Antibiotik ini dapat membunuh bakteri dalam
tubuh dan membersihkan infeksi.
e. Mencegah Difteri dengan Vaksinasi
Pencegahan difteri pada anak dapat dilakukan melalui vaksin difteri. Pada
anak-anak, vaksin difteri diberikan dalam bentuk vaksin kombinasi DPT-HB-
Hib.
Vakin DPT-HB-Hib mampu melindungi tubuh dari penyakit difteri,
pertusis, tetanus, hepatitis B, meningitis, dan pneumonia yang disebabkan
oleh Haemophylus influenzae tipe B.
Vaksin DPT-HB-Hib merupakan bagian dari imunisasi dasar yang wajib
diberikan kepada anak-anak. Vaksin ini diberikan sebanyak 3 kali, yaitu saat
anak berusia 2 bulan, 3 bulan, dan 4 bulan. Imunisasi lanjutan juga akan
diberikan saat anak berusia 18 bulan.

53
Selanjutnya, vaksin difteri lanjutan dalam bentuk Td (kombinasi tetanus
dan difteri), dapat diberikan pada anak pada bulan Imunisasi Anak Sekolah
(BIAS).
Meski sebagian besar anak memiliki toleransi yang baik terhadap vaksin
difteri, namun vaksin ini terkadang dapat menyebabkan efek samping ringan,
seperti kemerahan, nyeri di area suntikan, dan demam ringan. Walau jarang
terjadi, ada pula komplikasi berat yang dapat muncul, yaitu reaksi alergi berat
atau anafilaktik.
Difteri pada anak termasuk kondisi serius dan perlu segera mendapat
penanganan oleh dokter anak. Oleh karena itu, jangan biarkan gejala difteri pada
anak berlarut-larut agar tidak terjadi komplikasi yang berbahaya.

54
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Campak adalah suatu penyakit akut yang sangat menular yang disebabkanoleh
virus.Campak disebut juga dengan rubeola, morbilli, atau measles. Penyakitini ditandai
dengan gejala awal demam, batuk, pilek, dan konjungtivitis yangkemudian diikuti dengan
bercak kemerahan pada kulit(rash). Campak biasanya menyerang anak-anak dengan
derajat ringan sampai sedang. Penyakit ini dapat meninggalkan gejala sisa kerusakan
neurologis akibat peradanganotak (ensefalitis)
Kejang demam adalah perubahan aktivitas motorik atau behavior yang bersifat
paroksimal dan dalam waktu terbatas akibat dari adanya aktifitas listrik abnormal di otak
yang terjadi karena kenaikan suhu tubuh (Widagno, 2012).
Kejang demam merupakan kejang yang terjadi pada suhu badan tinggi (kenaikkan
suhu tubuh diatas 38⁰C) karena terjadi kelainan ektrakranial. Kejang demam atau febrile
convulsion adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikkan suhu tubuh yang
disebabkan oleh proses ekstrakranium (Lestari,2016).
Jadi dapat disimpulkan, kejang demam adalah gangguan yang terjadi akibat dari
peningkatan suhu tubuh anak yang dapat menyebabkan kejang yang diakibatkan karena
proses ekstrakranium.
Difteri adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh corynebacterium
diphteriaeyang berasal dari membran mukosa hidung nasofaring, kulit, dan lesi lain dari
orang yang terinfeksi
Difteri merupakan penyakit menular yang serius yang menyerang saluran
pernapasan atas yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheria, suatu bakteri
Gram positif fakultatif anaerob.Penyakit ini ditandai dengan sakit tenggorokan, demam,
malaise dan pada pemeriksaan ditemukan pseudomembran pada tonsil, faring, dan / atau
rongga hidung.Difteri adalah penyakit yang ditularkan melalui kontak langsung atau
droplet dari penderita.Pemeriksaan khas menunjukkan pseudomembran tampak kotor dan
berwarna putih keabuan yang dapat menyebabkan penyumbatan karena peradangan tonsil

55
dan meluas ke struktur yang berdekatan sehingga dapat menyebabkan bull
neck.Membran mudah berdarah apabila dilakukan pengangkatan.
B. Saran
Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca dan bisa menambah pengetahuan
tentang Asuhan Keperawatan Pada Anak Kebutuhan Aman Nyaman Patologis dari
Sistem Termogulasi dan Imun dan Prosedur Tindakan dalam Pemenuhan Kebutuhan
Aman Nyaman ( campak,kejang demam, difteri) dan Semoga makalah ini dapat
dijadikan referensi bagi penulis selanjutnya. Dan penulis berharap para pembaca bisa
memberikan kami kritik dan saran untuk dapat menjadikan kami lebih baik lagi dalam
penulisan makalah-makalah kami selanjutnya.

56
DAFTAR PUSTAKA

Medscape. Measles. November 2016 [Accessed: June 20th 2017]; Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/966220-overview

IDAI. Pedoman Pelayanan Medis. Jakarta: IDAI; 2009.

Donna; Diagnosisb dan Tatalaksana Morbili; Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung.

Soegijanto S, Salimo H. Campak. In: Ranuh IGNG, Suyitno H, Hadinegoro SRS, Kartasasmita
CB, Ismoedijanto, Soedjatmiko. Pedoman imunisasi di Indonesia. 4th ed. Jakarta: Badan
Penerbit IDAI; 2011.

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2017, Pedoman Pencegahan dan Pengendalian


Difteri.

Nursalam Dr. et. Al. 2005. Asuhann Keperawatan Bayi dan Anak. Edisi I. Jakarta : Salemba
Medika. Persatuan Ahli Penyakit dalam Indonesia, 1996. Buku Ajar IlmuPenyakit Dalam.
Jilid 1 edisiketiga FKUI, Jakarta

Putri Regian Desi. Asuhan Keprawatan pada Anak Dengan Kejang Demam. Padang, 2017.
Karya Tulis Ilmiah Poltekkes Kemenkes Padang

57

Anda mungkin juga menyukai