Anda di halaman 1dari 8

Tugas Sejarah Tentang

KEDATANGAN JEPANG KE INDONESIA

Dampak pendudukan Jepang di bidang sosial budaya antara lain:


1. Kesulitan proses komunikasi antarpulau dan dunia luar karena semua saluran komunikasi
dikendalikan Jepang.

2. Semua nama-nama kota yang menggunakan bahasa Belanda diganti Bahasa Indonesia
seperti Batavia menjadi Jakarta dan Buitenzorg menjadi Bogor.

3. Kebijakan Kinrohoshi yaitu tradisi kerja bakti secara massal pada masa pendudukan
Jepang.

4. Mendirikan pusat kebudayaan Keimin Bunka Shidoso pada 1 April 1943 untuk
mengawasi karya para seniman agar tidak menyimpang dari tujuan Jepang.

Dampak Pendudukan Jepang di Bidang Militer antara lain:


1. Rakyat Indonesia belajar dasar dasar militer, baris berbaris, latihan menggunakan senjata,
organisasi militer

2. Pembentukan Peta masa pendudukan Jepang menjadi kekuatan inti BKR kemudian
menjadi TKR dan sekarang dikenal TNI

Dampak pendudukan Jepang di bidang politik antara lain:


1. Jepang berusaha menjalin kerja sama dengan tokoh nasional Indonesia untuk menarik
simpati rakyat Indonesia

2. Kebijakan politik Jepang juga terlihat pada pembentukan Dewan Penasehat Pusat dan
Dewan Penasehat Daerah, penambahan personel pegawai pribumi

Dampak pendudukan Jepang di Indonesia bidang ekonomi antara lain:


1. Pembentukan barisan romusha dengan panitia pengarahan (romukyokai) di setiap daerah.

2. Pengerahan tenaga kerja dari sukarela menjadi paksaan.

3. Masyarakat wajib melakukan pekerjaan yang dinilai berguna bagi masyarakat luas.

4. Objek vital dan alat-alat produksi dikuasai dan diawasi ketat oleh pemerintah Jepang.

5. Barang-barang keperluan hidup sulit didapat karena jumlahnya sedikit.


Dampak pendudukan Indonesia di bidang pendidikan antara lain:
1. Penggunaan bahasa Indonesia di sekolah sekolah

2. Jepang menyelenggarakan pendidikan di Indonesia untuk menanamkan jiwa militerisme


dan kesetiaan terhadap Jepang
Artikel Mengenai KH Zainal Mustafa

K.H. Zainal Mustafa adalah salah satu pahlawan nasional Indonesia. Ia dimakamkan di Taman
Makam Pahlawan Tasikmalaya. Lahir di Desa Cimerah, Kec. Singaparna, Tasikmalaya pada
tahun 1809 dari pasangan Nawapi dan NY. Ratmah. Sewaktu masih kecil bernama Umri dan
sepulang dari pesantren berganti nama menjadi Hudaemi.

Hudaemi memperoleh pendidikan formal di Sekolah Rakyat. Dalam bidang agama, ia belajar
mengaji dari guru agama di kampungnya. Kemampuan ekonomis keluarga memungkinkannya
untuk menuntut ilmu agama lebih banyak lagi. Pertama kali ia melanjutkan pendidikannya ke
pesantren di Gunung Pari di bawah bimbingan Dimyati, kakak sepupunya, yang dikenal dengan
nama KH. Zainal Muhsin.

Dari Gunung Pari, ia kemudian mondok di Pesantren Cilenga, Leuwisari, dan di Pesantren
Sukamiskin, Bandung. Selama kurang lebih 17 tahun ia terus menggeluti ilmu agama dari satu
pesantren ke pesantren lainnya. Karena itulah ia mahir berbahasa Arab dan memiliki
pengetahuan keagamaan yang luas.

Lewat ibadah haji, ia berkenalan dengan ulama-ulama terkemuka. Ia pun mengadakan tukar
pikiran soal keagamaan dan berkesempatan melihat pusat pendidikan keagamaan di Tanah Suci.
Kontak dengan dunia luar itu mendorongnya untuk mendirikan sebuah pesantren. Maka
sekembalinya dari ibadah haji, tahun 1927, ia mendirikan pesantren di Kampung Cikembang
dengan nama Sukamanah.

Sebelumnya, di Kampung Bageur tahun 1922 telah berdiri pula Pesantren Sukahideng yang
didirikan KH. Zainal Muhsin. Melalui pesantren ini ia menyebarluaskan agama Islam, terutama
paham Syafi’i yang dianut oleh masyarakat Indonesia pada umumnya dan umat Islam Jawa Barat
pada khususnya.

Di samping itu, ia juga mengadakan beberapa kegiatan keagamaan ke pelosok-pelosok desa di


Tasikmalaya dengan cara mengadakan ceramah-ceramah agama. Maka sebutan kiai pun menjadi
melekat dengan namanya. KH. Zaenal Mustafa terus tumbuh menjadi pemimpin dan anutan yang
karismatik, patriotik, dan berpandangan jauh ke depan. Tahun 1933, ia masuk Jamiyyah
Nahdhatul Ulama (NU) dan diangkat sebagai wakil ro’is Syuriah NU Cabang Tasikmalaya.

PERLAWANAN KEPADA PENJAJAH

Sejak tahun 1940, KH. Zaenal Mustafa secara terang-terangan mengadakan kegiatan yang
membangkitkan semangat kebangsaan dan sikap perlawanan terhadap pendudukan penjajah. Ia
selalu menyerang kebijakan politik kolonial Belanda yang kerap disampaikannya dalam ceramah
dan khutbah-khutbahnya. Atas perbuatannya ini, ia selalu mendapat peringatan, dan bahkan, tak
jarang diturunkan paksa dari mimbar oleh kiai yang pro Belanda.

Setelah Perang Dunia II, tepatnya pada 17 November 1941, KH. Zaenal Mustafa bersama KH.
Rukhiyat (dari Pesantren Cipasung), Haji Syirod, dan Hambali Syafei ditangkap Belanda dengan
tuduhan telah menghasut rakyat untuk memberontak terhadap pemerintah Hindia Belanda.
Mereka ditahan di Penjara Tasikmalaya dan sehari kemudian dipindahkan ke penjara Sukamiskin
Bandung, dan baru bebas 10 Januari 1942.

Kendati sudah pernah ditahan, aktivitas perlawanannya terhadap penjajah tidak surut. Akhir
Februari 1942, KH. Zaenal Mustafa bersama Kiai Rukhiyat kembali ditangkap dan dimasukkan
ke penjara Ciamis. Kedua ulama ini menghadapi tuduhan yang sama dengan penangkapannya
yang pertama. Hingga pada waktu Belanda menyerah kepada Jepang, ia masih mendekam di
penjara.

Pada tanggal 8 Maret 1942 kekuasaan Hindia Belanda berakhir dan Indonesia diduduki
Pemerintah Militer Jepang. Oleh penjajah yang baru ini, KH. Zaenal Mustafa dibebaskan dari
penjara, dengan harapan ia akan mau membantu Jepang dalam mewujudkan ambisi fasisnya,
yaitu menciptakan Lingkungan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya.

Akan tetapi, apa yang menjadi harapan Jepang tidak pernah terwujud karena KH. Zaenal
Mustafa dengan tegas menolaknya. Dalam pidato singkatnya, pada upacara penyambutan
kembali di Pesantren, ia memperingatkan para pengikut dan santrinya agar tetap percaya pada
diri sendiri dan tidak mudah termakan oleh propaganda asing. Ia malah memperingatkan bahwa
fasisme Jepang itu lebih berbahaya dari imperialisme Belanda.

Pasca perpindahan kekuasaan dari Belanda ke Jepang, sikap dan pandangannya itu tidak pernah
berubah. Bahkan, kebenciannya semakin memuncak saja manakala menyaksikan sendiri
kezaliman penjajah terhadap rakyat.

Pada masa pemerintahan Jepang ini, ia menentang pelaksanaan seikeirei, cara memberi hormat
kepada kaisar Jepang dengan menundukkan badan ke arah Tokyo. Ia menganggap perbuatan itu
bertentangan dengan ajaran Islam dan merusak tauhid karena telah mengubah arah kiblat.

Dengan semangat jihad membela kebenaran agama dan memperjuangkan bangsa, KH. Zaenal
Mustafa merencanakan akan mengadakan perlawanan terhadap Jepang pada tanggal 25 Februari
1944 (1 Maulud 1363 H). Mula-mula ia akan menculik para pembesar Jepang di Tasikmalaya,
kemudian melakukan sabotase, memutuskan kawat-kawat telepon sehingga militer Jepang tidak
dapat berkomunikasi, dan terakhir, membebaskan tahanan-tahanan politik.

Untuk melaksanakan rencana ini, KH. Zaenal Mustafa meminta para santrinya mempersiapkan
persenjataan berupa bambu runcing dan golok yang terbuat dari bambu, serta berlatih pencak
silat. Kiai juga memberikan latihan spiritual (tarekat) seperti mengurangi makan, tidur, dan
membaca wirid-wirid untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt.

Persiapan para santri ini tercium Jepang. Segera mereka mengirim camat Singaparna disertai 11
orang staf dan dikawal oleh beberapa anggota polisi untuk melakukan penangkapan. Usaha ini
tidak berhasil. Mereka malah ditahan di rumah KH. Zaenal Mustafa. Keesokan harinya, pukul 8
pagi tanggal 25 Februari 1944, mereka dilepaskan dan hanya senjatanya yang dirampas.

Tiba-tiba, sekitar pukul 13.00, datang empat orang opsir Jepang meminta agar KH. Zaenal
Mustafa menghadap pemerintah Jepang di Tasikmalaya. Perintah tersebut ditolak tegas sehingga
terjadilah keributan. Hasilnya, tiga opsir itu tewas dan satu orang dibiarkan hidup. Yang satu
orang ini kemudian disuruh pulang dengan membawa ultimatum.

Dalam ultimatum itu, pemerintah Jepang dituntut untuk memerdekakan Pulau Jawa terhitung
mulai 25 Februari 1944. Dalam insiden itu, tercatat pula salah seorang santri bernama Nur
menjadi korban, karena terkena tembakan salah seorang opsir. Setelah kejadian tersebut,
menjelang waktu salat Asar (sekitar pukul 16.00) datang beberapa buah truk mendekati garis
depan pertahanan Sukamanah. Suara takbir mulai terdengar, pasukan Sukamanah sangat terkejut
setelah tampak dengan jelas bahwa yang berhadapan dengan mereka adalah bangsa sendiri.

Rupanya Jepang telah mempergunakan taktik adu domba. Melihat yang datang menyerang
adalah bangsa sendiri, Zaenal Mustafa memerintahkan para santrinya untuk tidak melakukan
perlawanan sebelum musuh masuk jarak perkelahian. Setelah musuh mendekat, barulah para
santri menjawab serangan mereka. Namun, dengan jumlah kekuatan lebih besar, ditambah
peralatan lebih lengkap, akhirnya pasukan Jepang berhasil menerobos dan memorak-porandakan
pasukan Sukamanah. Peristiwa ini dikenal dengan Pemberontakan Singaparna.

Para santri yang gugur dalam pertempuran itu berjumlah 86 orang. Meninggal di Singaparna
karena disiksa sebanyak 4 orang. Meninggal di penjara Tasikmalaya karena disiksa sebanyak 2
orang. Meninggal di Penjara Sukamiskin Bandung sebanyak 38 orang, dan yang mengalami
cacat (kehilangan mata atau ingatan) sebanyak 10 orang.

Pun, sehari setelah peristiwa itu, antara 700-900 orang ditangkap dan dimasukkan ke dalam
penjara di Tasikmalaya. Sementara itu, KH. Zaenal Mustafa sempat memberi instruksi secara
rahasia kepada para santri dan seluruh pengikutnya yang ditahan agar tidak mengaku terlibat
dalam pertempuran melawan Jepang.

Termasuk dalam kematian para opsir Jepang, dan pertanggungjawaban tentang pemberontakan
Singaparna dipikul sepenuhnya oleh KH. Zaenal Mustafa. Akibatnya, sebanyak 23 orang yang
dianggap bersalah, termasuk KH. Zaenal Mustafa sendiri, dibawa ke Jakarta untuk diadili.
Namun mereka hilang tak tentu rimbanya.
Besarnya pengaruh KH Zaenal Mustafa dalam pembentukan mental para santri dan masyarakat
serta peranan pesantrennya sebagai lembaga pendidikan dan pembinaan umat membuat
pemerintah Jepang merasa tidak bebas jika membiarkan pesantren ini tetap berjalan. Maka,
setelah peristiwa pemberontakan tersebut, pesantren ini ditutup oleh Jepang dan tidak
diperbolehkan melakukan kegiatan apapun.

Belakangan, Kepala Erevele Belanda Ancol, Jakarta memberi kabar bahwa KH. Zaenal Mustafa
telah dieksekusi pada 25 Oktober 1944 dan dimakamkan di Taman Pahlawan Belanda Ancol,
Jakarta. Melalui penelusuran salah seorang santrinya, Kolonel Syarif Hidayat, pada tahun 1973
keberadaan makamnya itu ditemukan di daerah Ancol, Jakarta Utara, bersama makam-makam
para santrinya yang berada di antara makam-makam tentara Belanda. Lalu, pada 25 Agustus
1973, semua makam itu dipindahkan ke Sukamanah, Tasikmalaya.

DIANGKAT MENJADI PAHLAWAN

Pada tanggal 6 Nopember 1972, KH. Zaenal Mustafa diangkat sebagai Pahlawan Pergerakan
Nasional dengan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 064/TK/Tahun 1972.

Anda mungkin juga menyukai