Anda di halaman 1dari 11

I.

Hukum Pidana
1. Pengertian Hukum Pidana.
     Ketertiban dan keamanan dalam masyarakat akan terpelihara bilamana tiap-tiap
anggota masyarakat mentaati peraturan-peraturan (norma-norma) yang ada dalam
masyarakat itu. Peraturan-peraturan ini dikeluarjan oleh suatu badan yang berkuasa
dalam masyarakat itu yang disebut pemerintah.
     Namun walaupun peraturan-peraturan ini telah dikeluarkan, masih ada saja
orang yang melanggar peraturan-peraturan, misalnya dalam hal pencurian yaitu
mengambil barang yang dimiliki orang lain dan yang bertentangan dengan hukum
(KUHP pasal 362).
     Hukum pidana ialah hukum yang mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran
dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum,perbuatan mana diancam
dengan hukuman yang merupakan suatu penderitaan atau siksaan.
     Dalam Hukum Pidanan paksaan disertai suatu siksaan atau penderitaan yang
berupa hukuman. Hukuman itu bermacam-macam jenisnya. Menurut KUHP pasal
10 hukuman atau pidana terdiri atas:
1. Pidana Pokok (utama):
    1) Pidana mati.
    2) Pidana penjara:
         a. pidana seumur hidup.
         b.  pidana penjara selama waktu tertentu (setinggi-tingginya 20 tahun
              sekurang-kurangnya 1 tahun)
 
    3)  Pidana kurungan, (sekurang-kurangnya 1 hari dan setinggi-tingginya
         1 tahun)
    4)  Pidana denda.
    5)  Pidana tutupan.

2. Tujuan Hukum Pidana.


Tujuan Hukum Pidana ada dua macam:
     1) Untuk menakut-nakuti setiap orang agar mereka tidak melakukan perbuatan 
         pidana (fungsi preventif).
    2)  Untuk mendidik orang yang telah melakukan perbuatan yang tergolong
         Perbuatan pidana agar mereka menjadi orang yang baik dan dapat diterima
        Kembali dalam masyarakat (fungsi represif).

Jadi secara singkat dapat disimpulkan bahwa tujuan hukum pidana adalah  untuk
melindungi masyarakat. Apabila seseorang takut untuk melakukan perbuatan tidak
baik karena takut dihukum, semua orang dalam masyarakat akan tenteram dan
aman. Sebaliknya, jika seseorang telah melakukan perbuatan pidana dan karenanya
dia dihukum, bila orang itu kemudian sadar setelah bertobat tidak akan melakukan
perbuatan semacam itu lagi, pada akhirnya masyarakat akan menjadi aman dan
tenteram. Oleh karena itu, dapat juga dikatakan bahwa tujuan hukum pidana sama
dengan tujuan pemidanaan, yaitu melindungi masyarakat.

3. Pembagian Hukum Pidana.


Hukum Pidana dapat dibagi sebagai berikut:
1)  Hukum Pidana Obyektif (Jus Punale) adalah seluruh peraturan yang memuat
     Tentang keharusan atau larangan dengan disertai ancaman hukuman bagi yang
     Melanggarnya. Hukum Pidana objektif dibedakan menjadi 2, yaitu:
     a)  Hukum pidana material ialah semua peraturan yang  memuat apa, siapa, dan
         bagaimana orang dapat dihukum.
     b)  Hukum pidana formal ialah peraturan-peraturan hukum yang menentukan
         bagaimana cara memelihara dan mempertahankan hukum pidana material.
2)  Hukum pidana subjektif ( Ius Puniendi) adalah hak Negara untuk menghukum
     seseorang berdasarkan hukum objektif.
3)  Hukum pidana umum.
4)  Hukum pidana khusus.
4. KITAB UNDANG – UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP).
A.  Sejarah Terbentuknya KUHP
     KUHP yang berlaku di Indonesia saat ini terbentuk sejak tahun 1915 (dalam
bentuk kodifikasi) melalui S.1915 No. 732. KUHP ini mulai berlaku sejak 1 januari
1918 ketika Indonesia masih dalam penjajahan Belanda. Setelah Indonesia merdeka
KUHP dinyatakan berlaku melalui UU No.1 Tahun 1946 (sudah diubah dan
disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat Indonesia). Kemudian KUHP
dinyatakan berlaku umum (unifikasi hukum pidana) melalui UU No. 1 Tahun 1958
(29 September 1958). Kodifikasi KUHP adalah selaras dari Code Penal Prancis,
dan Code Penal Prancis bersumber dari hukum Romawi. Jadi sumber KUHP
sebenarnya dari hukum Romawi.
B.  Sistematika KUHP
KUHP terdiri dari tiga buku:
Buku I                        :  Mengatur tentang ketentuan umum terdiri dari 9 bab, tiap bab
terdiri 
                           dari berbagai pasal yang jumlahnya 103 pasal (Pasal 1 – 103).
Buku II           :  Mengatur tentang kejahatan terdiri dari 31 bab dan 385 pasal
                           (Pasal 104 – 448).
Buku III          :  Mengatur tentang pelanggaran terdiri dari 10 bab yang memuat 81
pasal
                           (Pasal 449 – 569).
C. Kekuasaan Berlakunya KUHP
     Kekuasaan berlakunya KUHP dapat ditinjau dari dua segi, yaitu segi negatif  dan
segi postif. Segi negatif dikaitkan berlakunya KUHP dengan waktu terjadinya
perbuatan pidana. Artinya bahwa KUHP tidak berlaku surut. Hal tersebut dapat
dilihat dari ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP yang bunyinya:
            “ Semua perbuatan tidak dapat dihukum selain atas kekuatan aturan pidana
                    Dalam undang-undang yang diadakan sebelum perbuatan itu terjadi”.
     Kekuasaan berlakunya KUHP ditinjau dari segi positif artinya bahwa kekuatan
berlakunya KUHP tersebut dikaitkan dengan tempat terjadinya perbuatan pidana.
Kekuasaan berlakunya KUHP yang dikaitkan dengan tempat diatur dalam Pasal 2
ayat (9) KUHP.

D. JENIS – JENIS HUKUMAN


     Jenis – jenis hukuman dapat dilihat dari ketentuan Pasal 10 KUHP. Pasal 10
KUHP menetukan adanya hukuman pokok dan hukuman tambahan.
Hukuman pokok adalah:
   a)  Hukuman mati.
   b)  Hukuman penjara.
   c)  Hukuman kurungan.
   d)  Hukuman denda.
Hukuman tambahan adalah:
   a)  Pencabutan hak – hak tertentu.
   b)  Perampasan / penyitaan barang – barang tertentu.
   c)  Pengumuman putusan hakim.
II. Hukum Perdata
1. Pengertian Hukum Perdata.
     Hukum perdata dalah aturan-aturan hukum yang mengatur tingkah laku setiap
orang terhadap orang lain yang berkaitan dengan hak dan kewajiban yang timbul
dalam pergaulan masyarakat maupun pergaulan keluarga. Hukum perdata
dibedakan menjadi dua, yaitu hukum perdata material dan hukum perdata formal.
Hukum perdata material mengatur kepentingan-kepentingan perdata setiap subjek
hukum. Hukum perdata formal mengatur bagaimana cara seseorang
mempertahankan haknya apabila dilanggar oleh orang lain. Hukum perdata formal
mempertahankan hukum perdata material, karena hukum perdata formal berfungsi
menerapkan hukum perdata material apabila ada yang melanggarnya.
2. Sejarah KUH Perdata (BW).
     Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yang dikenal dengan
istilah burgerlijk wetboek (BW) adalah kodifikasi hukum perdata yang disusun di
negeri Belanda. Penyusunan tersebut sangat dipengaruhi oleh Hukum Perdata
Prancis (Code Napoleon). Code Napoleon sendiri disusun berdasarkan hukum
Romawi (Corpus Juris Civilis) yang pada waktu itu dianggap sebagai hukum yang
paling sempurna.
     KUH Perdata (BW) berhasil disusun oleh sebuah panitia ayng diketuai oleh Mr.
J.M Kemper dan sebagian besar bersumber dari Code Napoleon dan bagian yang
lain serta dari hukum Belanda kuno. Kodifikasi KUH Perdata selesai pada 5 Juli
1830, namun diberlakukan di negeri Belanda pada 1 Oktober 1838. Pada tahun itu
diberlakukan juga KUH Dagang (WVK), peraturan susunan pengadilan Belanda
(Rechterlijke Organisatie/RO), dan ketentuan-ketentuan umum perundangan-
udangan Belanda (Algemene Bepalingen van Wetgeving/AB), dan hukum acara
perdata Belanda (Rechts Vordering). Berdasarkan asas konkordinasi, maka KUH
Perdata Belanda menjadi contoh KUH Perdata Eropa di Indonesia.
3. Sistematika Hukum Perdata dalam KUH Perdata (BW).
     Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW) Indonesia terdiri dari empat buku
sebagai berikut:
1)  Buku I, yang berjudul “perihal orang” (van persoonen),memuat hukum
perorangan
      dan hukum kekeluargaan.
2)  Buku II, yang berjudul “perihal benda”(van zaken), memuat hukum benda dan
     Hukum waris.
3)  Buku III, yang berjudul “perihal perikatan” (van verbintennisen), memuat
hukum
     Harta kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban yang berlaku bagi
     Orang-orang atau pihak-pihak tertentu.
4)  Buku IV, yang berjudul “perihal pembuktian dan kedaluwarsa” (van bewijs en
     Verjaring), memuat perihal alat-alat pembuktian dan akibat-akibat lewat waktu
     Terhadap hubungan-hubungan hukum.
4.  Sisetamatika Hukum Perdata Menurut Ilmu Pengetahuan.
     Menurut ilmu pengetahuan, hukum perdata sekarang ini lazim dibagi dalam
empat bagian, yaitu:
1)  Hukum tentang orang atau hukum perorangan (persoonenrecht) yang antara lain
      Mengatur tentang:
      a.  Orang sebagai subjek hukum.
      b.  Orang dalam kecakapannya untuk memiliki hak-hak dan bertindak sendiri
untuk
           melaksanakan hak-hak nya itu.
2)   Hukum kekeluargaan atau hukum keluarga (familierecht), yg memuat antara
lain:
      a.  Perkawinan, perceraian beserta hubungan hukum yang  timbul di dalamnya
           seperti hukum harta kekayaan antara suami dan istri.
      b.  Hubungan hukum antara orangtua dan anak-anaknya atau kekuasaan
orangtua
           (ouderlijke macht).
      c.   Perwalian (voogdij).
      d.   Pengampuan (curatele).

3)   Hukum kekayaan atau hukum harta kekayaan (vermogensrecht) yang mengatur
       Tentang hubungan-hubungan hukum yang dapat dinilai dengan uang. Hukum
       Harta kekayaan ini meliputi:
       a.   Hak mutlak ialah hak-hak yang berlaku terhadap setiap orang.
       b.   Hak perorangan adalah hak-hak yang hanya berlaku terhadap seorang atau
             suatu pihak tertentu saja.
4)   Hukum waris (erfrecht) mengatur tentang benda atau kekayaan seseorang jika ia
       Meninggal dunia (mengatur akibat-akibat hukum dari hubungan keluarga
       terhadap harta warisan yang ditinggalkan seseorang.
III. Hukum Tata Negara.
1. Pengertian Hukum Tata Negara.
     Hukum Tata Negara dalam arti luas meliputi :
1. Hukum Tata Usaha Negara/ Hukum Administrasi / hukum pemerintah
2. Hukum Tata Negara dalam arti sempit, ialah Hukum Tata  
    Negara. 
Jadi kesimpulan Hukum Tata Negara menurut para pakar adalah:
Peraturan-peraturan yang mengatur organisasai Negara dari tingkat atas sampai
bawah,sturktur,tugas & wewenang alat perlengkapan Negara hubungan antara
perlengkapan tersebut secara hierarki maupun horizontal,wilayah
Negara,kedudukan warga negara serta hak-hak asasnya.

2. Hubungan Hukum Tata Negara dengan Ilmu lain.


1) Hubungan Hukum Tata Negara dengan Ilmu Negara
     •  Segi sifat
         intinya dari segi itu ilmu Negara menitik beratkan pada teorinya sedangkan  
         Hukum Tata Negara adalah pelaksanaannya.

     •  Segi manfaat


         Ilmu Negara merupakan ilmu pengetahuan yang menyelidiki pengertian –
         pengertian pokok dan sendi-sendi dasar teoritis yang bersifat umum untuk 
         Hukum  Tata Negara. Karenanya untuk mengerti Hukum Tata Negara harus
         terlebih dahulu Memiliki pengetahuan secara umum tentang Ilmu Negara. 
         Dengan demikian Ilmu Negara dapat memberkan dasar teoritis untuk hukum
Tata
         Negara positif, dan Hukum Tata Negara merupakan penerapan didalam
         kenyataan bahan-bahan  teoritis dari Ilmu Negara.

2)  Hubungan Hukum Tata Negara dengan Ilmu Politik

     •  Terbentuknya Undang-undang.


          Terbentuknya undang-undang diisi dengan kebijakan politik yang ditarik 
pada     
          Waktu penyusunannya, kita perhatikan pembukaan UUD , disitu jelas akan   
          Mengetahui politik suatu Negara. Begitu pula dengan amandemen UUD 45
oleh
          MPR.

     •   Retifikasi yang dilakukan DPR dalam pembentukan undang-undang,


          Rancangannya dipengaruhi oleh suara wakil rakyat yang ada dalam DPR,
          sedangkan DPR merupakan wakil dari organ-oragan politik.

3)  Hubungan Hukum Tata Negara dengan Hukum Administrasi


Negara

       Dikatakan berhubungan, karena Hukum Tata Negara dalam arti sempit adalah
bagian dari Hukum Administrasi Negara.

      •  Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara ada perbedaan secara  
          prinsipil ( asasi), karena kedua ilmu tersebut dapat dibagisecara tajam, baik
          sistematik maupun isinya (C.V.Vollenhoven, JHA.Logeman dan Stellinga).

      •  Hukum Tata Negara untuk mengetahui organisasi Negara sertabadan lainya, 
          sedangkan Hukum Administrasi Negara menghendaki bagaimana caranya
          Negara serta organ-organ melakukan tugas.

       •  Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi tidak ada perbedaan secara  
           prinsipil melainkan hanya pertimbangan manfaat saja.

2. Cara Pendekatan dalam Hukum Tata Negara.

1) Pendekatan  Yuridis Formil


     Pada asas-asas hukum yang mendasari ketentuan peraturan , contohnya :   
     perundang-undangan tidak boleh menyimpang dari UUD 45.
2) Pendekatan Filosofi
        Pada pandangan hidup bangsa. Contohnya: falsafah bangsa
      Indonesiaadalah pancasila.
3) Pendekatan Sosiologis
      Pada kemasyarakatan khususnya politis artinya ketentuan yang berlaku 
      Hakikatnya merupakan hasil keputusan politis.
4)   Pendekatan Historis
       Pada sudut pandang sejarah. Contoh nya kronologis pembuatan.
IV. Hukum Acara Perdata, Pidana dan Peradilan Tata Usaha Negara.
A.Hukum Acara Perdata.
     Hukum Acara Perdata disebut juga HUkum Perdata formil, yaitu aturan-aturan
hukum yang mengatur cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan dimuka
Pengadilan dan cara bagaimana Pengadilan itu harus bertindak, satu sama lain
unutk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan Hukum Perdata.
      Sumber Hukum Acara Perdata masih terdapat dalam kodifikasi warisan zaman
colonial Belanda yang terdapat dalam HIR (Herziene Inlands Reglement) yang
diterjemahkan menjadi RIB (Reglemen Indonesia yang Diperbaharui).
      Pada tiap-tiap perkara perdata yang diperiksa di muka Pengadilan, sekurang-
kurangnya ada dua pihak yang berhadapan satu sama lain, yaitu Penggugat dan
Tergugat. Pengugat adalah pihak yang mulai membuat perkara sedang Tergugat
adalah pihak Penggugat ditarik ke muka Pengadilan.
      Adanya suatu perkara perdata, tergantung pada inisiatif Penggugat, yaitu
dimulainya pengajuan surat oleh Penggugat atau kuasanya kepada Ketua
Pengadilan Negeri dalam daerah hukumnya Tergugat bertempat tinggal (Pasal 118
HIR). Kalau Tergugatnya lebih dari seorang, maka gugatannya dimasukkan ke
Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal salah satu
Tergugat yang yang dipilih oleh Penggugat. Jika tempat diam Tergugat tidak
dikenal, ataupun tempat tinggal sebetulnya tidak diketahui maka surat gugatan
dapat dimasukkan kepada Ketua Pengadilan Negeri di mana Penggugat
berdomisili.
      Pemeriksaan perkara dalam siding pengadilan adalah bersifat terbuka.
Ketentuan ini tercantum dalam Pasal 19 Undang-Undang Pokok Kekuasaan
Kehakiman, yang menyatakan sebagai berikut:
      Pasal 19 Ayat (1):
     “ Sidang pemeriksaan Pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali undang-
      undang menentukan lain.”
       Sedang Keputusan Hakim juga harus diucapkan dalam siding terbuka, seperti
yang diatur dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, yang berbunyi
sebagai berikut:
       Pasal 20:
       “ Semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum
apabila
       diucapkan dalam siding terbuka untuk umum.”
       Dari Kedua ketentuan di atas dapat dikatakan bahwa setiap pemeriksaan dalam
siding terbuka untuk dilakukan pemeriksaan tertutup apabila udnang-undang
menentukan lain misalnya dalam pemeriksaan perceraian, atau perkosaan dalam
perkara pidana. Walaupun pemeriksaannya dilakukan secara tertutup, tapi
pembacaan keputusan Hakim harus dilakukan dalam siding terbuka sesuai dengan
Pasal 20 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004.
       Pemeriksaan dilakukan dengan siding terbuka artinya setiap orang dapat hadir
mendengarkan jalannya siding. Tujuan dari ketentuan ini adalah unutk:
       1) Melindungi hak-hak asasi manusia (khusus dalam hal ini para pihak yang 
           Sedang berperkara).
       2) Menjamin adanyaobjektivitas peradilan.
       Di dalam Hukum Acara Perdata dikenal adanya 5 macam alat pembuktian,
yaitu:
a)  Bukti Tulisan,      c)  Persangkaan (dugaan),       e)  Sumpah.
b)  Bukti saksi,          d)  Pengakuan, dan

B. Hukum Acara Pidana.


     Hukum Acara Pidana disebut juga Hukum Pidana Formil adalah keseluruhan
aturan hukum yang mengenai cara melaksanakan ketentuanHukum Pidana jika ada
pelanggaran terhadap norma-norma yang dimaksud oleh ketentuan ini.
      Adapun proses pelaksanaan acara pidana terdiri dari beberapa tingkatan.
Berbeda dengan pemeriksaan dalam hukum acara perdata yang mengejar kebenaran
formil, dalam hukum acara pidana yang dikejar adalah kebenaran materil, di mana
suatu pengakuan tanpa didukung oleh alat bukti bukanlah merupakan alat bukti
mutlak. Juga pemeriksaan dalam acara perdata hanya dalam siding, sedangkan
dalam hukum acara pidana dikenal pemeriksaaan di luar sidang.
      Pemeriksaan dalam hukum acara pidana adalah sebagai berikut:
a)  Pemeriksaan pendahuluan (vooronderzoek).
b)  Pemeriksaan terakhir (eindonderzoek) di dalam siding Pengadilan pada tingkat
      pertama.
c)  Memajukan upaya hukum (rechtsmiddelen) yang dapat dijalankan terhadap
     putusan hukum, baik di tingkat pertama maupun pada tingkat banding.
d)  pelaksanaan putusan Hakim.
     Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum (Pasal
37 UU No. 4 Tahun 2004).
     Pengaturan dalam UU Pokok kekuasaan Kehakiman lebih maju mengenai
kedudukan Tersangka, seperti dalam Pasal 38-nya yang berbunyi: “Dalam perkara
pidana seorang tersangka terutama sejak saat dilakukannya penangkapan dan/atau
penahanan berhak menghubungi dan meminta bantuan Penasihat Hukum.”
     Menurut seorang terdakwa di muka Hakim Pidana adalah menyerahkan perkara
seorang terdakwa dengan berkas perkaranya kepada Hakim, dengan permohonan
supaya Hakim memeriksa dan kemudian memutuskan perkara pidana itu terhadap
terdakwa. Seorang terdakwa/tersangka dalam menghadap di siding pengadilan
boleh ddampingi pembela, dapat tidak didampingi, kecuali dalam hal terdakwa atas
perbuatannya dapat diancam dengan pidana mati. Dalam hal ini, ia harus
didampingi oleh pembela. Kalau terdakwa tidak mampu, maka kewajiban pihak
Pengadilan unutk menyediakan pembela.
     Dalam siding ini baik Terdakwa maupun Jaksa dapat mengajukan alat-alat bukti.
Alat bukti dari Terdakwa gunanya unutk menangkal tuduhan Jaksa, sedang dari
pihak menguatkan tuduhannya. Alat bukti yang dikenal dalam Hukum Acara
Pidana yang diatur dalam KUHAP Pasal 184 adalah:
a)  Keterangan saksi,
b)  Keterangan ahli,
c)  Surat-surat,
d)  Petunjuk, dan
e)  Keterangan terdakwa.
     Setelah pemeriksaan alat-alat bukti selesaim maka tiba saatnya Jaksa
membacakan tuntutannya (requisitoir), dan setelah Jaksa membacakan tuntutannya,
tiba giliran Terdakwa membacakan pledoi, dan kesempatan berikutnya ada pada
Jaksa membacakan replik. Kemudian kesempatan berikutnya terdakwa
membacakan duipliknya. Kesempatan diberikan kepada kedua belah pihak Jaksa
dan Terdakwa, sampai kedua belah pihak puas. Setelah Hakim memperoleh
keyakinan dengan alat-alat bukti yang sah akan kebenaran perkara tersebut,maka
Hakim akan mempertimbangkan hukuman apa yang akan dijatuhkan.
     Keputusan Hakim (vonis) dapat berupa:
a)  Putusan yang mengandung pembebasan terdakwa (vrijspraak), dalam hal ini
     perbuatan yang dituduhkan Jaksa tidak terbukti.
b)  Putusan yang mengandung pelepasan Terdakwa dari segala tuntutan (ontslag
van
      rechtsvervolging), da;am hal ini perbuatan yang dituduhkan Jaksa terbukti tetapi
      bukan merupakan kejahatan ataupun pelanggaran.
c)  Putusan yang mengandung penghukuman.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981


Dengan diundangkannya UU No. 81 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(KUHAP), maka pelaksanaan HUkum Acara Pidana di Negara kita didasarkan
kepada hukum nasional yang kita ciptakan sendiri.
KUHAP yang lahir pada bulan Desember 1981 ini, dimaksudkan sebagai pelaksana
dari UU No. Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman.

Hal-hal atau ketentuan-ketentuan baru yang merupakan perbedaan dengan


ketentuan yang ada dalam HIR adalah meliputi hal-hal sebagai berikut:
a)  Penyidikan
b)  Pemisah fungsi penuntut umum dan penyidik (polisi)
c)  Praperadilan
d)  Masa Penahanan
e)  Setiap orang berhak mendapatkan bantuan hukum
f)  Ganti tugi dan rehabilitasi
g)  Acara pemeriksaan
h)  Banding.
C. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara.
     Pasal 10 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 menyebutkan bahwa,
Kekuasaan dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan:
a)  Peradilan Umum
b)  Peradilan Agama
c)  Peradilan Militer
d)  Peradilan Tata Usaha Negara
     Hukum Acara yang digunakan pada PTUN mempunyai persamaan dengan acara
yang digunakan pada Peradilan Umum untuk perkara perdata dengan beberapa
perbedaan antara lain adalah:
a)  Pada PTUN Hakim berperan lebih aktif dalam proses persidangan, guna
     memperoleh kebenaran material dan untuk itu undang-undang ini mengarah
pada
     ajaran pembuktian bebas.
b)  Suatu Tata Usaha Negara pada dasarnya tidak bersifat menunda pelaksanaan
      Keputusan TUN yang disengketakan.

c)  Kedudukan Penggugat dan Tergugat pada PTUN akan tetap sama sampai tingkat
     kasasi tidak dimungkinkan adanya gugat balik, sehingga tidak ada Penggugat
dan
     Tergugat rekonvensi.
d)  Pada PTUN pengajuan gugatan diberi batas waktu yaitu 90 (Sembilan puluh)
hari.

Wewenang Peradilan Tata Usaha Negara


Wewenang PTUN adalah mengadili sengketa Tata Usaha Negara antara orang atau
Badan Hukum Privat (sebagai Penggugat dengan Badan atau Pejabat TUN).
     Yang dimaksud dengan sengketa TUN adalah sengketa yang timbul dalam
bidang tata usaha Negara antara orang atau badan hukum privat dengan badan atau
pejabat tata usaha Negara, baik di tingkat pusat maupun daerah, sebagai akibat
dikeluarkannya keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 1 butir ke-4).
Objek Sengketa Tata Usaha Negara
Menurut Pasal 1 butir ke-3 UU No. 5 Tahun 1986, dikatakan bahwa objek atau
pangkal sengketa Tata Usaha Negara adalah: “Keputusan Tata Usaha Negara adalah
suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang
berisikan tindakan hukum tata usaha yang berdasarkan peraturan perundangan yang
berlaku bersifat konkrit, individual, dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seorang
atau badan hukum perdata”.
Gugatan
Dalam Pasal 53 Ayat (1) ditegaskan bahwa: “seorang atau Badan Hukum perdata yang
merasa dirugikan oleh suatu Keputusan tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan
tertulis kepada Pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar keputusan Tata
Usaha Negara yang diselenggarakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa
disertai tuntutan ganti rugi dan/atau rehabilitasi.”
Pembuktian
Alat bukti yang dikenal dalam Hukum Acara PTUN adalah:
a)  Surat atau tulisan,                            e)  Pengetahuan hakim.
b)  Keterangan ahli,
c)  Keterangan saksi,
d)  Pengakuan para pihak, dan
V. Hukum Internasional
1. Pengertian Hukum Internasional.
     Hukum Internasional adalah keseluruhan Kaidah-kaidah dan asas-asas hukum
yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas-batas Negara yang
bukan bersifat perdata. Hukum Internasional yang dimaksud adalah Hukum
Internasional publik. Penegasan ini untuk membedakan antara hukum internasional
publik dan hukum perdata internasional. Hukum perdata internasional menurut Dr.
Mochtar Kusumaatmadja adalah keseluruhan kaidah-kaidah hukum yang mengatur
hubungan perdata antara pelaku hukum yang masing-masing tunduk pada hukum
perdata nasional yang berbeda.
2. Istilah Hukum Internasional.
Para ahli hukum menyebut hukum internasional dengan berbagai istilah, yaitu:
1)  Hukum bangsa-bangsa.
2)  Hukum antarbangsa.
3)  Hukum antarnegara.
     Pengertian istilah-istilah tersebut tidak berbeda satu sama lain, sebab semuanya
menunjuk pada kaidah-kaidah dan asas-asas hukum yang mengatur hubungan atau
persoalan yang melintasi batas-batas Negara. Dengan kata lain hukum internasional
mengatur hubungan antara:
a)  Negara dan Negara.
b)  Negara dan subjek hukum internasional bukan Negara.
c)   Subjek hukum internasional bukan Negara satu sama lain.
3. Subyek Hukum Internasional.
a)  Negara:
      Yang diakui sebagai subyek Hukum Internasional hanyalah Negara yang
berdaulat,       
       Negara yang tidak tergantung kepada Negara lain.
b)  Gabungan Negara:
      Gabungan Negara-negara ini bertindak dalam pergaulan antar Negara-negara
sebagai kesatuan, seperti dulu ada Duitse Bond.

c)  Organisasi-organisasi Internasional:


     Misalnya: Liga Bangsa-Bangsa,Perserikatan Bangsa-Bangsa. Keterangan:
Organisasi
     Liga Bangsa-Bangsa lahir pada tahun 1920 (ciptaan Presiden Amerika Wilson
yang
     bertujuan menjamin perdamaian. Tetapi misinya gagal dengan pecahnya perang
     dunia.
d)  Kursi Suci (Heilige Stoel)
      Yang dimaksud dengan Kursi Suci adalah Gereja Katholik Roma yang diwakili
oleh
      Paus. Walaupun Kursi Suci bukanlah suatu Negara namun dianggap sebagai
      Negara.
 e)  Manusia
       Mengenal manusia sebagai subyek hukum dari hukum Internasional di samping
       Negara, masih banyak yang belum dapat menerima, tetapi pendapat ini makin
       lama makin di terima umum.
3. Sumber Hukum  Internasional.
 Pada azasnya, sumber hukum terbagi menjadi dua, yaitu:
a)   Sumber hukum dalam arti materiil
       Sumber hukum yang membahas materi dasar yang menjadi substansi dari
       pembuatan hukum itu sendiri.
b)  Sumber hukum dalam arti formal.
      Sumber hukum yang membahas bentuk atau wujud nyata dari hukum itu
sendiri.
  Sumber hukum internasional dapat diartikan sebagai:
a. Dasar kekuatan mengikatnya hukum internasional.
b. Metode penciptaan hukum internasional.
c.  Tempat diketemukannya ketentuan-ketentuan hukum internasional yang dapat
     diterapkan pada suatu persoalan konkrit.
4. Asas – Asas Hukum Internasional.
   Pada hakekatnya asas yang dipakai dalam hukum Internasional adalah asas yang
saling menjaga ketertiban, keamanan dan ketentraman dunia Internasional. Tidak
diperbolehkan salah satu negara membuat keresahan dunia, bahkan mengancam
keamanannya. Akan tetapi setiap negara diharuskan untuk menciptakan situasi
yang kondusif, melalui beberapa kebijakannya tersebut. 
   Asas-asas hukum Internasional diantaranya adalah:
1)  Pacta sunt servada.
2)  Asas Kedaulatan Negara.
3)  Asas Penyalahan hak.
4)  Asas Penghormatan Kemerdekaan.
5)  Asas Timbal Balik.
6)  Asas Iktikad.
7)  Asas non intervensi.        
                                        

Anda mungkin juga menyukai