Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

SEPSIS

Diajukan Sebagai Tugas Mata Kuliah Keperawatan Gawat Darurat


Oleh :
Kelompok 9 (Tingkat IV/VII)

Ni Putu Isna Ulandari (18C10101)


Lia Alvilia (18C10106)
Kadek Yuli Priska Dewi (18C10133)

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


INSTITUT TEKNOLOGI DAN KESEHATAN (ITEKES) BALI
TAHUN AJARAN 2021

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Ida Sang Hyang Widhi


Wasa/Tuhan Yang Maha Esa karena atas asung kerta wara nugrahanya penulis
dapat menyusun laporan pendahuluan dan asuhan keperwatan teoritis yang
berjudul “Laporan Pendahuluan Dan Asuhan Keperawatan Sepsis”. Asuhan
keperawatan ini tidak mungkin dapat terselesaikan tepat pada waktunya tanpa
bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis
menyampaikan ucapan terima kasih kepada :

1. Ns. Yustina Ni Putu Yusniawati, S. Kep, M. Kep Sebagai Koordinator


Mata Ajar Keperawatan Gawat darurat di Institut Teknologi Dan
Kesehatan Bali.
2. Ns. Ni Made Dewi Wahyunadi, S.Kep., M.Kes Sebagai Dosen
Pengampu Mata Ajar Keperawatan Gawat darurat di Institut Teknologi
Dan Kesehatan Bali serta pembimbing dalam pembuatan makalah ini.

Mengingat banyak kekurangan yang penulis miliki, tentunya makalah ini


memiliki banyak kekurangan. Untuk itu penulis akan sangat berterima kasih jika
ada pendapat, saran, ataupun kritik yang membangun demi perbaikan makalah ini,
sehingga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Denpasar, 23 September 2021

Penulis,

2
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
1.2. Rumusan Masalah 2
1.3. Tujuan 2
1.4. Manfaat 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1. Tinjauan Konsep Dasar Teori 4
2.1.1. Definisi Syok 4
2.1.2. Derajat Syok 5
2.1.3. Epidemologi 6
2.1.4. Etiologi 6
2.1.5. Patofisiologi 6
2.1.6. Manifestasi Klinis 9
2.1.7. Pemeriksaan Diagnostik 10
2.1.8. Komplikasi 12
2.1.9. Penatalaksanaan 12
2.1.10. Pencgahan 16
2.2. Tinjauan Teori Asuhan keperawata 20
3.2.1. Pengkajian 20
3.2.2. Diagnosa Keperawatan 23
3.2.3. Intervensi 23
3.2.4. Implementasi 27
3.2.5. Evaluasi 27
BAB III PENUTUP
3.1. Kesimpulan 28
3.2. Saran 28
DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Sepsis adalah suatu keadaan sistemik, dimana terdapat respon pejamu
terhadap infeksi yang dapat menyebabkan terjadinya sepsis berat yaitu
disfungsi organ akut sekunder oleh pajanan infeksi dan syok septik adalah
sepsis berat ditambah hipotensi yang tidak teratasi dengan pemberian
resusitasi cairan).1 Surviving Sepsis Campaign merupakan pedoman
internasional yang digunakan dalam manajemen sepsis berat dan syok septik.
Sepsis dimasukkan kedalam kategori penyakit darurat yang sama seperti
serangan jantung atau stroke karena ada gangguan dalam pemasukkan
oksigen dan nutrisi ke jaringan sehingga dibutuhkan penanganan
kegawatdaruratan segera.1Hal tersebut yang menjadikan sepsis sebagai
penyebab tersering perawatan pasien di unit perawatan intensif
(ICU).Diagnosis dini, pemberian antibiotik awal, dan resusitasi cairan yang
cukup merupakan kunci dalam menurunkan morbiditas dan mortalitas
sepsis.2
Epidemiologi sepsis hampir diderita oleh 18 juta orang di seluruh dunia
setiap tahunnya dengan insiden diperkirakan sekitar 50-95 kasus diantara
100.000 populasi dengan peningkatan sebesar 9% tiap tahunnya. Penelitian
epidemiologisepsis di Amerika Serikat menyatakan insiden sepsis sebesar
3/1.000 populasi yang meningkat lebih dari 100 kali lipat berdasarkan umur
(0,2/1.000 pada anak-anak, sampai 26,2/1.000 pada kelompok umur > 85
tahun).2

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas, adapun rumusan masalah yang dapat
penulis temukan adalah :
1. Bagaimana konsep dasar teori Sepsis ?
2. Bagaimana tinjauan teori asuhan keperawatatan Sepsis ?

4
1.3. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan dalam penyusunan
asuahan keperawatan teoritis, sebagai berikut:
1.3.1. Tujuan Umum.
Untuk mengetahui asuhan keperawatan dengan Sepsis
1.3.2. Tujuan Khusus.
1. Untuk mengetahui konsep dasar teori Sepsis.
2. Untuk mengetahui tinjauan teori asuhan keperawatan dengan teori
Sepsis.

1.4. Manfaat
Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penyusunan asuhan
keperawatan teoritis, sebagai berikut:
1.4.1. Manfaat Teoritis.
1. Secara teoritis makalah ini diharapkan dapat menambah wawasan
dan ilmu pengetahuan para pembaca tentang masalah dengan
Sepsis.
2. Sebagai acuan dan pengembangan materi untuk penyusunan
asuhan keperawatan berikutnya khususnya mengenai asuhan
keperawatan dengan Sepsis.

1.4.2. Manfaat Praktis.


1. Masyarakat
Hasil makalah ini akan bermanfaat bagi masyarakat yaitu sebagai
sumber informasi untuk manambah pengetahuan mengenai Sepsis.
2. Institusi Rumah Sakit
Menjadi bahan masukan untuk memberikan pelayanan asuhan
keperawatan dengan Sepsis.
3. Institusi Stikes Bali

5
Sebagai bahan masukan berupa literatur dan pengembangan materi
dalam pembelajaran tentang asuhan keperawatan mengenai Sepsis.

BAB II
PEMBAHASAN

Tinjauan Konsep Dasar Teori Sepsis


2.1.1. Definisi Sepsis
Sepsis adalah suatu respon sistemik terhadap infeksi.Pada sepsis
gejala klinis yang terdapat pada SIRS diikuti oleh adanya bukti
infeksi.Terminologi sepsis masih membingungkan karena penggunaan
yang tidak tepat dan berbagai macam definisi yang meyebabkan
kebingungan pada literatur medis.saat ini telah dibuat standardisasi
terminologi infeksi, bakteriemia, sepsis, dan septic syok sebagai usaha
untuk meningkatkan kemampuan untuk mendiagnosis, mengobati, dan
membuat formulasi untuk prognosa dari infeksi ini. Dalam terminologi
yang baru, sepsis mewakili subgrup dalam “Systemic Inflamatory
Response Syndrome” (SIRS) (Gordon MC 1997, Wheeler AP 2004).
Sepsis adalah respon inflamasi sistemik yang disebabkan oleh
berbagai macam organisme yang infeksius; bakteri gram negatif,
bakteri gram positif, fungi, parasit, dan virus. Tidak semua individu
yang mengalami infeksi menjadi sepsis, dan terdapat suatu rangkaian
dari beratnya infeksi dari proses yang terlokalisisir menjadi bakteriemia
sampai ke sepsis dan menjadi septic syok (Norwitz,2010). Definisi
berikut ini dibuat pada konsensus konfrensi dari Members of the
American College of Chest Physician/Society of Critical Care Medicine
Consensus Confrence Committee.American College of Chest
6
Physician/Society of Critical Care Medicine Consensus Confrence
untuk berbagai macam manifestasi infeksi.

2.1.2. Etiologi
Sepsis dapat disebabkan oleh infeksi bakteri gram negatif 70%
(pseudomonas auriginosa, klebsiella, enterobakter, echoli, proteus).
Infeksi bakteri gram positif 20-40% (stafilokokus aureus, stretokokus,
pneumokokus), infeksi jamur dan virus 2-3% (dengue hemorrhagic
fever, herpes viruses), protozoa (malaria falciparum). Sedangkan pada
kultur yang sering ditemukan adalah pseudomonas, disusul oleh
stapilokokus dan pneumokokus. Shock sepsis yang terjadi karena
infeksi gram negatif adalah 40% dari kasus, sedangkan gram positif
adalah 5-15% dari kasus (Root, 1991). Penyebab terbesar sepsis adalah
bakteri gram (-) yang memproduksi endotoksin glikoprotein kompleks
sedangkan bakteri gram (+) memproduksi eksotoksin yang merupakan
komponen utama membran terluar dari bakteri menghasilkan berbagai
produk yang dapat menstimulasi sel imun. Sel tersebut akan terpacu
untuk melepaskan mediator inflamasi. Produk yang berperan penting
terhadap sepsis adalah lipopolisakarida (LPS).
LPS merangsang peradangan jaringan, demam dan syok pada
penderita yang terinfeksi. Struktur lipid A dalam LPS bertanggung
jawab terhadap reaksi dalam tubuh penderita. LPS endotoksin gram (-)
dinyatakan sebagai penyebab sepsis terbanyak, dia dapat langsung
mengaktifkan sistme imun selular dan humoral, yang dapat
menimbulkan perkembangan gejala septikemia. LPS sendiri tidak
mempunyai sifat toksik tetapi merangsang pengeluaran mediator
inflamasi yang bertanggung jawab terhadap sepsis. Makrofag
mengeluarkan polipeptida, yang disebut faktor nekrosis tumor (Tumor
necrosis factor /TNF) dan interleukin 1 (IL1), IL-6 dan IL-8 yang
merupakan mediator kunci dan sering meningkat sangat tinggi pada
penderita immunocompromise (IC) yang mengalami sepsis. Kultur

7
darah positif pada 20-40% kasus sepsis dan pada 40-70% kasus syok
septik.
Dari kasus-kasus dengan kultur darah yang positif, terdapat hingga
70% isolat yang ditumbuhi oleh satu spesies bakteri gram positif atau
gram negatif saja; sisanya ditumbuhi fungus atau mikroorganisme
campuran lainnya. Sepsis dapat dipicu oleh infeksi di bagian manapun
dari tubuh.Daerah infeksi yang paling sering menyebabkan sepsis
adalah paru-paru, saluran kemih, perut, dan panggul. Jenis infeksi yang
sering dihubungkan dengan sepsis yaitu:
a. Infeksi paru-paru (pneumonia)
b. Flu (influenza)
c. Appendisitis
d. Infeksi lapisan saluran pencernaan (peritonitis)
e. Infeksi kandung kemih, uretra, atau ginjal (infeksi traktus
urinarius)
f. Infeksi kulit, seperti selulitis, sering disebabkan ketika infus atau
kateter telah dimasukkan ke dalam tubuh melalui kulit
g. Infeksi pasca operasi
2.1.3. Patofisiologi
Respon inflamasi sistemik timbul bila benda asing di dalam darah
atau jaringan diketahui oleh tuan rumah. Respon ini bertujuan untuk
menetralisir mikroorganisme dan produknya sampai bersih, tetapi dapat
terjadi efek negative pada tuan rumah, terutama kerusakan jaringan.
Sitokin proinflamasi dan antiinflamasi yang diaktifkan di ruang
intravascular melalui kehadiran material mikroba mempunyai efek
merusak. Respon inflamasi yang berlebihan berperan terhadap
gangguan hemodinamik dan iskemia jaringan dan berakhir sebagai
multiple organ dysfunction. Patofisiologi sepsis adalah complex karena
memberikan efek pada hemodinamik.
Faktor koagulasi, respon kekebalan, dan proses metabolik
berkaitan dengan serangkaian reaksi biokimia yang distimulasi

8
mediator endogen. Produksi mediator endogen dirangsang oleh
endotoksin, suatu lipopolisakarida yang merupakan bagian dari dinding
sel bakteri gram-negatif. Endotoksin dilepaskan dan memulai
kegiatannya setelah bakteri telah dihancurkan oleh sistem kekebalan
tubuh inang atau dengan terapi antibodi. Oleh karena itu, sepsis dapat
terjadi meskipun bakteri tidak lagi beredar pada sirkulasi intravaskular.
Bakteri Gram positif tidak menghasilkan endotoksin. Namun, mediator
kimia endogen dari respon sepsis diaktifkan dalam gram sepsis positif.
bakteri Gram positif, jamur dan virus dapat menghasilkan respon
inflamasi sistemik yang mirip dengan sepsis gram negatif, walaupun
biasanya tidak parah. Meskipun tidak adanya endotoksin dalam
beberapa bentuk sepsis, efek endotoksin dapat digunakan sebagai model
untuk menjelaskan perubahan physiologyc terlihat pada SIRS, sepsis

2.1.4. Manifestasi Klinis


Manifestasi dari respon sepsis biasanya ditekankan pada gejala dan
tanda-tanda penyakit yang mendasarinya dan infeksi primer. Tingkat di
mana tanda dan gejala berkembang mungkin berbeda dari pasien dan
pasien lainnya, dan gejala pada setiap pasien sangat bervariasi. Sebagai
contoh, beberapa pasien dengan sepsis adalah normoatau hipotermia,
tidak ada demam paling sering terjadi pada neonatus, pada pasien
lansia, dan pada orang dengan uremia atau alkoholisme (Munford,
2008).
Pasien dalam fase awal sepsis sering mengalami
cemas, demam, takikardi, dan takipnea (Dasenbrook
& Merlo, 2008). Tanda-tanda dari sepsis sangat
bervariasi. Berdasarkan studi, demam (70%), syok
(40%), hipotermia (4%), ruam makulopapular,
petekie, nodular, vesikular dengan nekrosis sentral
(70% dengan meningococcemia), dan artritis (8%).
Demam terjadi pada <60% dari bayi dibawah 3 bulan

9
dan pada orang dewasa diatas 65 tahun (Gossman &
Plantz, 2008). Infeksi menjadi keluhan utama pada
pasien (Hinds et.al,2012). Perubahan status mental
yang tidak dapat dijelaskan (LaRosa, 2010) juga
merupakan tanda dan gejala pada sepsis. Adanya
tanda dan gejala disseminated intravascular
coagulation (DIC) meningkatkankan angka
mortalitas (Saadat, 2008). Pada sepsis berat muncul
dampak dari penurunan perfusi mempengaruhi
setidaknya satu organ dengan gangguan kesadaran,
hipoksemia (PO2 <75 mmHg), peningkatan laktat
plasma, atau oliguria (≤30 ml / jam meskipun sudah
diberikan cairan). Sekitar satu perempat dari
pasien mengalami sindrom gangguan pernapasan
akut (ARDS) dengan infiltrat paru bilateral,
hipoksemia (PO2 <70 mmHg, FiO2 >0,4), dan kapiler
paru tekanan <18 mmHg. Pada syok septik terjadi
hipoperfusi organ (Weber & Fontana, 2007).
Diagnosis sepsis sering terlewat, khususnya pada pasien usia lanjut
yang tandatanda klasik sering tidak muncul. Gejala ringan, takikardia
dan takipnea menjadi satusatunya petunjuk, Sehingga masih diperlukan
pemeriksaan lebih lanjut yang dapat dikaitkan dengan hipotensi,
penurunan output urin, peningkatan kreatinin plasma, intoleransi
glukosa dan lainnya (Hinds et.al,2012).

2.1.5. Pemeriksaan Diagnostik


1. Pemeriksaan Laboratorium
Hasil laboratorium sering ditemukan asidosis metabolik,
trombositopenia, pemanjangan waktu prothrombin dan
tromboplastin parsial, penurunan kadar fibrinogen serum dan
peningkatan produk fibrin split, anemia, penurunan PaO2 dan

10
peningkatan PaCO2, serta perubahan morfologi dan jumlah
neutrofil. Peningkatan neutrofil serta peningkatan leukosit imatur,
vakuolasi neutrofil, granular toksik, dan badan Dohle cenderung
menandakan infeksi bakteri. Neutropenia merupakan tanda kurang
baik yang menandakan perburukan sepsis. Pemeriksaan cairan
serebrospinal dapat menunjukkan neutrofil dan bakteri. Pada
stadium awal meningitis, bakteri dapat dideteksi dalam cairan
serebrospinal sebelum terjadi suatu respons inflamasi.
2. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang digunakan foto toraks, pemeriksaan
dengan prosedur radiografi dan radioisotop lain sesuai dengan
dugaan sumber infeksi primer (Opal, 2012).

i. Komplikasi
1. Kegagalan multi organ akibat penurunan aliran darah dan
hipoksia jaringan yang berkepanjangan
2. Sindrom distres pernapasan dewasa akibat destruksi pertemuan
alveolus kapiler karena hipoksia
3. Acute Renal Failure (Chronic Kidney Disease)
4. Perdarahan usus
5. Gagal hati
6. Gagal jantung
7. Kematian
ii. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan hipotensi dan syok septik merupakan tindakan
resusitasi yang perlu dilakukan sesegera mungkin. Resusitasi
dilakukan secara intensif dalam 6 jam pertama, dimulai sejak pasien
tiba di unit gawat darurat. Tindakan mencakup airway: a) breathing;
b) circulation; c) oksigenasi, terapi cairan, vasopresor/inotropik, dan
transfusi bila diperlukan. Pemantauan dengan kateter vena sentral
sebaiknya dilakukan untuk mencapai tekanan vena sentral (CVP) 8-

11
12 mmHg, tekanan arteri rata-rata (MAP)>65 mmHg dan produksi
urin >0,5 ml/kgBB/jam.
1. Oksigenasi
Hipoksemia dan hipoksia pada sepsis dapat terjadi sebagai akibat
disfungsi atau kegagalan sistem respirasi karena gangguan ventilasi
maupun perfusi. Transpor oksigen ke jaringan juga dapat terganggu
akibat keadaan hipovolemik dan disfungsi miokard menyebabkan
penurunan curah jantung. Kadar hemoglobin yang rendah akibat
perdarahan menyebabkan daya angkut oleh eritrosit menurun.
Transpor oksigen ke jaringan dipengaruhi juga oleh gangguan
perfusi akibat disfungsi vaskuler, mikrotrombus dan gangguan
penggunaan oksigen oleh jaringan yang mengalami iskemia.
Oksigenasi bertujuan mengatasi hipoksia dengan upaya
meningkatkan saturasi oksigen di darah, meningkatkan transpor
oksigen dan memperbaiki utilisasi oksigen di jaringan.
2. Terapi cairan
Hipovolemia pada sepsis perlu segera diatasi dengan pemberian
cairan baik kristaloid maupun koloid. Volume cairan yang diberikan
perlu dimonitor kecukupannya agar tidak kurang ataupun berlebih.
Secara klinis respon terhadap pemberian cairan dapat terlihat dari
peningkatan tekanan darah, penurunan ferkuensi jantung, kecukupan
isi nadi, perabaan kulit dan ekstremitas, produksi urin, dan
membaiknya penurunan kesadaran. Perlu diperhatikan tanda
kelebihan cairan berupa peningkatan tekanan vena jugular, ronki,
gallop S3, dan penurunan saturasi oksigen.
Pada keadaan serum albumin yang rendah (< 2 g/dl) disertai tekanan
hidrostatik melebihi tekanan onkotik plasma, koreksi albumin perlu
diberikan. Transfusi eritrosit (PRC) perlu diberikan pada keadaan
perdarahan aktif, atau bila kadar Hb rendah pada keadaan tertentu
misalnya iskemia miokardial dan renjatan septik. Kadar Hb yang
akan dicapai pada sepsis dipertahankan pada 8-10 g/dl.

12
3. Vasopresor dan inotropik
Vasopresor sebaiknya diberikan setelah keadaan hipovolemik
teratasi dengan pemberian cairan secara adekuat, tetapi pasien masih
mengalami hipotensi. Terapi vasopresor diberikan mulai dosis
rendah secara titrasi untuk mencapai MAP 60 mmHg, atau tekanan
sistolik 90 mmHg. Untuk vasopresor dapat digunakan dopamin
dengan dosis >8 mcg/kg/menit, norepinefrin 0,03-1,5 mcg/kg/menit,
fenileferin 0,5-8 mcg/kg/menit atau epinefrin 0,1-0,5 mcg/kg/menit.
Inotropik yang dapat digunakan adalah dobutamin dosis 2-28
mcg/kg/menit, dopamin 3-8 mc/kg/menit, epinefrin 0,1-0,5
mcg/kg/menit atau inhibitor fosfodiesterase (amrinon dan milrinon).
4. Bikarbonat
Secara empirik, bikarbonat dapat diberikan bila pH <7,2 atau serum
bikarbonat <9 meq/l, dengan disertai upaya untuk memperbaiki
keadaan hemodinamik.
5. Disfungsi renal
Sebagai terapi pengganti gagal ginjal akut dapat dilakukan
hemodialisis maupun hemofiltrasi kontinu (continuous
hemofiltration). Pada hemodialisis digunakan gradien tekanan
osmotik dalam filtrasi substansi plasma, sedangkan pada hemofiltrasi
digunakan gradien tekanan hidrostatik. Hemofiltrasi dilakukan
kontinu selama perawatan, sedangkan bila kondisi telah stabil dapat
dilakukan hemodialisis.
6. Nutrisi
Pada sepsis kecukupan nutrisi berupa kalori, protein, asam lemak,
cairan, vitamin dan mineral perlu diberikan sedini mungkin,
diutamakan pemberian secara enteral dan bila tidak memungkinkan
beru diberikan secara parenteral.
7. Kortikosteroid
Saat ini terapi kortikosteroid diberikan hanya pada indikasi
insufisiensi adrenal, dan diberikan secara empirik bila terdapat

13
dugaan keadaan tersebut. Hidrokortison dengan dosis 50mg bolus
intravena 4 kali selama 7 hari pada pasien renjatan septik
menunjukkan penurunan mortalitas dibanding kontrol (Chen dan
Pohan, 2007).
2.1.10 Pencegahan
a. rutin melakukan vaksinasi
b. menjaga kebersihan diri, termasuk mandi teratur dan rajin
mencuci tangan
c. segera melakukan perawatan jika mengalami gejala-gejala
infeksi.

2.2 ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS SEPSIS

A. Pengkajian

Pengkajian merupakan tahap awal dari proses keperawatan yang mana


dilakukan pengumpulan data, pengelompokan data, serta analisa data yang
menghasilkan suatu masalah keperawatan yang dikumpulkan melalui
wawancara, pengumpulan riwayat kesehatan, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
laboratorium dan diagnostik, dan review catatan sebelumnya. Pengkajian
dalam keperawatan gawat darurat dilakukan dengan primary survey dan
secondary survey. Proses pengumpulan data primer dan sekunder terfokus
tentang status kseeshatan pasien gawat darurat di rumah sakit secara
sistematik, akurat, dan berkesinambungan. (Khumairoh, 2013).

1. Pengkajian Primer

a. Airway

14
Tindakan pertama kali yang dilakukan adalah memeriksa responsivitas
pasien dengan mengajak pasien berbicara untuk memastikan ada atau
tidaknya gangguan/sumbatan jalan nafas. Seorang pasien yang dapat
berbicara dengan jelas maka jalan nafas pasien terbuka. Yang perlu
diperhatikan dalam pengkajian airway pada pasien antara lain :

1. Kaji kepatenan jalan nafas pasien. Apakah pasien dapat


berbicara atau bernafas dengan bebas?

2. Tanda-tanda terjadinya obtruksi jalan nafas pada pasien,


seperti :

a. Adanya snoring atau gargling.

b. Stridor atau suara nafas tidak normal.

c. Agitasi (hipoksia).

d. Penggunaan otot bantu pernafasan / paradoxical chest


movements.

e. Sianosis.

3. Lihat dan dengar bukti adanya masalah pada saluran nafas


bagian atas potensial penyebab obtruksi, seperti muntahan
dan perdarahan.
1. Jika terjadi obstruksi jalan nafas, maka pastikan
jalan nafas pasien terbuka.
2. Lindungi tulang belakang dari gerakan yang tidak
perlu pada pasien yang beriso untuk mengalami
cedera tulang belakang.
3. Gunakan berbagai alat bantu untuk mempatenkan
jalan nafas pasien sesuai indikasi :
a) Chin lift / jaw thrust

b) Lakukan suction

c) Oropharyngeal airway / nasopharyngeal

15
airway, laryngeal mask
airway
d) Lakukan intubasi

b. Breathing

Pengkajian pada pernafasan dilakukan untuk menilai


kepatenan jalan nafas dan keadekuatan pernafasan pada pasien.
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian breathing pada pasien
antara lain :

1. Look, listen, dan feel : lakukan penilaian terhadap


ventilasi dan oksigenasi pasien.
a) Inspeksi dari tingkat pernafasan sangat
penting. Apakah ada tanda-tanda sianosis,
penetrating injury, flail chest, sucking chest
wounds, dan penggunaan otot bantu
pernafasan.
b) Palpasi untuk menilai adanya pergeseran
trakea, fraktur ruling iga, subcutaneous
emphysema
c) Auskultasi untuk menilai adanya suara
abnormal pada dada.
2. Observasi prgerakan dinding dada pasien.

3. Tentukan laju dan tingkat kedalaman nafas pasien,


kaji lebih lanjut mengenai karakter dan kualitas
pernafasan pasien.
Pada pasien dengan flail chest biasanya akan
mengalami sesak nafas yang berat karena ketika
inspirasi atau ekpirasi akan merasakan nyeri sehingga
pasien akan mengalami pernafasan paradoksal / takut
untuk bernafas dan bisa terjadi gagal nafas. Selain itu
biasanya pergerakan dada pada pasien flail chest akan

16
asimetris akibat dari raktur segmen iga sehingga
dinding dada bergerak ke dalam ketika inspirasi dan
akan mengembang ketika ekspirasi. Ketika di palpasi
dinding dada pasien akan ditemukan krepitasi.

c. Circulation

Pengkajian circulation dilakukan untuk melihat ada atau tidak


tanda syok atau perdarahan pada pasien. Hipovolomia adalah
penyebab syok paling umum pada trauma. Diagnosis syok
didasarkan pada temuan klinis : hipotensi, takikardia,
hipotermia, pucat, ekstremitas dingin, penurunan capillary refill ,
dan penurunan produksi urin. Langkah-langkah dalam pengkajian
status sirkulasi pasien, antara lain :

1. Cek nadi dan mulai lakukan CPR jika diperlukan

2. Kontrol perdarahan yang dapat mengancam


kehidupan dengan memberikan penekanan secara
langsung.
3. Kaji kulit untuk melihat adanya tanda-tanda
hipoperfusi atau hipoksia.
d. Disability

Dilakukan suatu pemeriksaan neurologis yang cepat.


Pemeriksaan neurologis ini terdiri dari pemeriksaan tingkat
kesadaran pasien, ukuran dan respon pupil, tanda-tanda
lateralisasi, dan tingkat cedera korda spinalis. Pengkajian
disability dikaji dengan menggunakan skala AVPU :

1. Alert, yaitu merespon suara dengan tepat, misalnya


mematuhi perintah yang diberikan
2. Vocalises, mungkin tidak sesuai atau
mengeluarkan suara yang tidak dapat dimengerti.
3. Respon to pain, harus dinilai keempat tungkai jika

17
ektremitas awal yang digunakan untuk mengkaji
gagal untuk merespon.
4. Unrespond, jika pasien tidak merespon baik itu
stimulus nyeri.
e. Exposure

Merupakan bagian akhir dari primary survey, pasien harus


dibuka keseluruhan pakaiannya untuk memeriksa cedera pada
pasien. Jika pasien diduga memiliki cedera leher atau tulang
belakang, imobilisasi in-line penting untuk dilakukan. Lakukan log
roll ketika melakukan pemeriksaan pada punggung pasien. Yang
perlu diperhatikan dalam melakukan pemeriksaan pada pasien
adalah mengekspos pasien hanya selama pemeriksaan ekternal.
Setelah semua pemeriksaan telah selesai dilakuakn, tutup pasien
dengan selimut hangat dan jaga privasi pasien, kecuali jika
diperlukan pemeriksaan ulang.

4. Pengkajian sekunder

Pengkajian sekunder/secondary survey merupakan pemeriksaan


secara lengkap yang dilakukan secara head to toe , dari depan hingga
belakang. Secondary surey hanya dilakukan setelah kondisi pasien
mulai stabil, dalam artian tidak mengalami syok atau tanda- tanda
syok telah mulai membaik.

a. Anamnesis

Anamnesis juga harus meliputi riwayat AMPLE yang bisa


didapat dari pasien dan keluarga, yaitu A : alergi (adakah
alergi pada pasien, seperti obat-obatan, plester, makanan),
M : medikasi/obat-obatan (obat-obatan yang diminum),P:
pertinent medical history (riwayat medis pasien seperti
penyakit yang pernah diderita, obatnya apa, berapa
dosisnya), L : last meal (obat atau makanan yang baru saja

18
dikonsumsi, dikonsumsi berapa jam sebelum kejadian), E :
events, hal-hal yang bersangkutan dengan sebab cedera
(kejadian yang menyebabkan adanya keluhan utama).

1. FOKUS PENGKAJIAN
1. Identitas klien

Meliputi : Meliputi nama, umur, jenis kelamin, suku/bangsa, agama,


pendidikan, pekerjaan, tanggal masuk, tanggal pengkajian, nomor register,
diagnosa medik, alamat, semua data mengenai identitaas klien tersebut
untuk menentukan tindakan selanjutnya.

2. Identitas penanggung jawab


Identitas penanggung jawab ini sangat perlu untuk memudahkan dan
jadi penanggung jawab klien selama perawatan, data yang terkumpul
meliputi nama, umur, pendidikan, pekerjaan, hubungan dengan klien
dan alamat.
3. Keluhan utama
Keluhan yang sering menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan
kesehatan adalah peningkatan suhu tubuh, penurunan status mental
secara tiba tiba,akral dingin, dan penurunan kesadaran.
4. Riwayat penyakit sekarang
Merupakan pengembangan dari keluhan utama melalui metode
PQRST, paliatif atau provokatif (P) yaitu focus utama keluhan klien,
quality atau kualitas (Q) yaitu bagaimana nyeri dirasakan oleh klien,
regional (R) yaitu nyeri menjalar kemana, Safety (S) yaitu posisi yang
bagaimana yang dapat mengurangi nyeri atau klien merasa nyaman
dan Time (T) yaitu sejak kapan klien merasakan nyeri tersebut. Syok
septik terjadi karena penyebaran atau invasi kuman dan toksinya di
dalam tubuh yang berakibat vasodilatasi atau keadaan dimana
timpulnya infeksi. Sering terjadi peningkatan suhu tubuh pada pasien
>38 derajat celcius, penurunan status mental secara tiba tiba, frekuensi

19
jantung >90x/menit, frekuensi nafas >20x/menit dan jumlah sel darah
putih >12.000/mm
5. Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat infeksi pneumonia, PPOK atau semua infeksi yang
ada pada tubuh, peningkatan bilirubin, penyakit jantung, anemia.
Pengkajian pemakaian obat-obat yang sering digunakan klien. Adanya
riwayat merokok, penggunaan alcohol. Pengkajian riwayat ini dapat
mendukung pengkajian dari riwayat penyakit sekarang dan merupakan
data dasar untuk mengkaji lebih jauh dan untuk memberikan tindakan
selanjutnya.
6. Data Bio-Psiko-Sosial-Spiritual
1) Bernafas
Pasien dapat mengalami peningkatan pernafasan (>20x/menit atau
PaC02 <32 MMhg) sebagai kompensasi akibat asidosis metabolic.
2) Nutrisi
Mengalami kelemahan otot pengunyah sehingga pasien tidak dapat
mengunyah makanan keras.
3) Eliminasi
Terjadi produksi urine yang menurun.
4) Aktivitas
Terjadi gangguan mobilitas
5) Istirahat
Pasien istirahat dengan normal.
6) Pengaturan Suhu
Suhu tubuh pasien terjadi peningkatan.
7) Kebersihan/Hygiene
Pasien tidak dapat melakukan personal hygiene secara mandiri
akibat kelemahan yang dialami.
8) Rasa aman
Pasien dan keluarga biasanya merasa khawatir terhadap perubahan
yang terjadi.

20
9) Rasa Nyaman
Kadang pasien mengalami ganguan pernafasan yang mmebuat
pasien merasa tidak nyaman
10) Sosial
Terjadi gangguan pada pasien karena penurunan status mental yang
tiba tiba
11) Pengetahuan/Belajar
Kebanyakan pasien tidak mengetahui penyakit yang dialaminya
serta apa pemicu munculnya syok tersebut.
12) Rekreasi
Pasien tidak dapat keluar rumah karena peningkatan suhu tubuh.
7. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum
Mengalami penurunan kesadaranTanda – tanda vital : terjadi
peningkatan denyut nadi (takikardi) lebih dari 90x/menit
respirasi/pernafasan meningkat. Suhu meningkat.
2) Sistem integument
Edema, kulit hangat, kering, kulit berkeringat
3) Kepala
Lakukan inspeksi dan palpasi pada seluruh kepala dan wajah untuk
mengetahui adanya pigmentasi, laserasi, massa, kontusio, fraktur
dan luka termal, ruam, perdarahan, dan nyeri tekan.
4) Mata
Periksa kornea ada cedera atau tidak, ukuran pupil apakah isokor
atau anisokor serta bagaimana refleks cahayanya, apakah pupil
mengalami miosis atau midriasis, adanya icterus, ketajaman mata
(macies visus dan acies campus), apakah konjungtiva anemis atau
adanya kemerahan.
5) Telinga
Periksa danya nyeri tinnitus, pembengkakan, penurunan atau

21
hilangnya pendengaran, periksa dengan senter mengenai keutuhan
membrane timpani atau adanya hemotimpanum.
6) Hidung
Periksa danya perdarahan, perasaan nyeri, penyumbatan penciuman,
apabila ada deformitas lakukan palpasi akan kemungkinan krepitasi
dari suatu fraktur.
7) Mulut dan faringInspeksi pada bagian mukosa, adanya lesi.
8) Leher
Simetris, kaku kuduk, tidak ada benjolan limphe nodul.
9) Thoraks
a) Inspeksi : Inspeksi dinding dada bagian depan, samping, dan
belakang untuk mengetahui adanya trauma tumpul/tajam,
luka, lecet, memar, ruam, ekimosis, bekas luka, frekuensi
dan kedalaman pernafasan, kesimetrisan expansi dinding
dada, penggunaan otot pernafasan tambahan, frekuensi dan
irama denyut jantung. Pada pasien flail chest, pasien akan
mengalami pernafasan parodoksal/ takut untuk bernafas.
b) Palpasi : Palpasi seluruh dinding dada untuk mengetahui
adanya trauma tajam/tumpul. Pada pasien dengan flail chest
akan ditemukan krepitasi dan nyeri tekan saat dilakukan
palpasi pada dada.
c) Perkusi : Untuk mengetahui kemungkinan hipersonor dan
keredupan.
d) Auskultasi : suara nafas tambahan (apakah ada ronki,
wheezing) dan bunyi jantung (murmur, gallop) Gerakan
dada tidak simetris, retraksi supra sternal (-), retraksi
intercoste (-), perkusi resonan, rhonchi -/- pada basal paru,
wheezing -/-, vocal fremitus tidak teridentifikasi.
10) Jantung
Batas jantung kiri ics 2 sternal kiri dan ics 4 sternal kiri, batas kanan
ics 2 sternal kanan dan ics 5 mid axilla kanan, perkusi dullness.

22
Bunyi S1 dan S2 tunggal; dalam batas normal, gallop(-), mumur (-).
capillary refill 2 detik.
11) Abdomen
Inspeksi abdomen bagian depan dan belakang untuk adanya trauma
tajam, tumpul, dan perdarahan internal, adakah distensi abdomen,
acites, luka, memar. Auskultasi bising usus, perkusi abdomen untuk
mendapatkan nyeri lepas (ringan). Palpasi abdomen untuk
mengetahui adakah kekakuan atau nyeri tekan, hepatomegaly.
12) Genitalia-Anus
Produksi urine menurun
13) Ekstremitas
Inspeksi adanya kemerahan, edema, ruam, lesi, paralisis,
atropi/hipertropi, pada jari-jari periksa adanya clubbing finger,
serta catat adanya nyeri tekan, dan hitung berapa detik kapiler
refill, palpasi untuk memeriksa denyut nadi distal. Pada pasien
biasanya akral hangat, kaji edema , kaji kekuatan otot , gerak yang
tidak disadari, atropi atau tidak, capillary refill, Perifer tampak
pucat atau tidak.
14) Neurologis : Pemeriksaan neurologis yang diteliti meliputi
pemeriksaan tingkat kesadaran, ukran dan reaksi pupil. Pada
pemeriksaan neurologis inspeksi adanya kejang, twitching, parese,
hemiplegia tau hemiparase (gangguan peregerakan), distaksia
(kesukaran dalam mengkoordinassi otot),rangsangan meningeal
dan kaji pula adanya vertigo dan respon sensori. (Khumairoh, 201

23
INTERVENSI
No DIAGNOSA TUJUAN INTERVENSI RASIONAL
1 Hipertermia Setelah diberikan 1. Identifikasi 1. Untuk mengetahui apa
berhubungan asuhan keperawatan penyebab penyebab hipertermia
dengan proses selama 24 X jam hipertermi dan agar dapat
infeksi diharapkan suhu 2. Monitor suhu tubuh mencegah terjadinya
tubuh pasien dapat 3. Berikan cairan oral hipertermia tersebut
kembali normal 4. Anjurkan pasien 2. Untuk mengetahui
dengan kriteria hasil : untuk apakah terjadi
melonggarkan peningkatan suhu tubuh
1. Suhu tubuh
pakaian pasien pasien
membaik
5. Anjurkan tirah 3. Untuk memenuhi
2. Menggigil
baring asupan cairan pasien
menurun
6. Kolaborasi 4. Longgarkan pakaian
Tekanan darah
pemberian cairan pasien agar suhu tubuh
membaik
dan elektrolit pasien dapat menurun
intrevena dan gunakan pakaian
yang mudah
5. Pasien berbaring di
tempat tidur untuk
mengoptimalkan fungsi
organ pasien
6. Agar pasien tidak
mengalami dehidrasi
dan untuk mencukupi
kebutuhan asupan
cairan pasien

24
No DIAGNOSA TUJUAN INTERVENSI RASIONAL
2 Resiko infeksi Setelah diberikan 1. Monitor tanda dan 1. Tanda dan gejala
berhubungan asuhan keperawatan gejala infeksi lokal infeksi lokal dan
dengan selama 24 X jam dan sistemik sistemik harus di
ketidakadekuatan diharapkan resiko 2. Cuci tangan monitor agar bisa
pertahanan tubuh infeksi pasien dapat sebelum dan ditindaklanjuti segera
primer / sekunder menurun dengan sesudah kontak jika terjadi infeksi pada
kriteria hasil: dengan pasien dan pasien
lingkungan pasien 2. Mencuci tangan
1. Demam
3. Jelaskan tanda dan sebelum dan sesudah
menurun
gejala infeksi kontak dengan pasien
2. Nafsu makan
4. Anjurkan dan lingkungan pasien
meningkat
meningkatkan bertujuan untuk
Kebersihan
asupan cairan mencegah
badan
5. Ajarkan cara 3. Pasien dan keluarga
meningkat
mencuci tangan pasien harus
dengan benar mengetahui tanda dan
gejala infeksi untuk
mencegah infeksi pada
pasien.
4. Asupan cairan pada
pasien harus
ditingkatkan untuk
mencegah resiko
infeksi yang terjadi
pada pasien.
5. Cara mencuci tangan
yang baik dan benar
yaitu dengan 6 langkah
mencuci tangan
menggunakan sabun

25
dan air mengalir

NO DIAGNOSA TUJUAN INTERVENSI RASIONAL


3 Resiko hipovolemia Setelah diberikan 1. Periksa tanda 1. Tanda dan gejala
asuhan keperawatan dan gejala hipovolemia harus
selama 24 X jam hypovolemia diketahui lebih awal
diharapkan resiko 2. Monitor intake untuk mencegah terjadi
hipovolemia pasien dan output hipovolemia pada
dapat menurun cairan pasien
dengan kriteria hasil: 3. Berikan asupan 2. Untuk menghitung
cairan oral kebutuhan cairan
1. Intake cairan
4. Anjurkan pasien agar tidak terjadi
membaik
memperbanyak kekurangan atau
2. Suhu tubuh
asupan cairan kelebihan cairan pada
membaik
oral pasien.
3. Tekanan
5. Kolaborasi 3. Agar asupan cairan
darah
pemberian pasien terpenuhi
membaik
cairan per IV 4. Asupan cairan oral
6. Kolaborasi harus diperbanyak
pemberian untuk memenuhi
produk darah asupan cairan tubuh
pasien
5. Untuk memenuhi
asupan cairan cairan
pasien yang dapat
diberikan melalui IV.

D. IMPLEMENTASI

26
Pelaksanaan atau implementasi merupakan tahap keempat dalam
proses keperawatan dengan melaksanakan berbagai strategi keperawatan
(tindakan keperawatan yang telah direncanakan). Dalam tahap ini perawat
harus mengetahui berbagai hal, diantaranya bahaya fisik dan perlindungan
kepada pasien, teknik komunikais, kemampuan dalam prosedur tindakan,
pemahaman dalam hak-hak pasien dan perkembangan pasien. Dalam tahap
pelaksanaan ada tiga tindakan yaitu, tindakan mandiri, delegatif, dan
tindakan kolaborasi.

a. Mandiri : aktivitas perawat yang didasarkan pada kemampuan


sendiri dan bukan merupakan petunjuk/perintah dari petugas
kesehatan.
b. Delegatif : tindakan keperawatan atas intruksi yang diberikan oleh
petugas kesehatan yang berwenang.
c. Kolaboratif : tindakan perawat dan petugas kesehatan yang lain
dimana didasarkan atas keputusan bersama. (Aziz, 2017)

E. EVALUASI

Evaluasi adalah tahap akhir dari proses keperawatan yang


merupakan perbandingan yang sistematis dan terencana antara hasil akhir
yang teramati dan tujuan atau kriteria hasil yang dibuat pada tahap
perencanaan. Evaluasi terbagi atas dua jenis, yaitu evaluasi formatif dan
evaluasi sumatif. Evaluasi formatif berfokus pada aktivitas proses
keperawatan dan hasil tindakan keperawatan. Evaluasi formatif ini
dilakukan segera setelah perawat mengimplementasikan rencana
keperawatan guna menilai ke efektifan tindakan keperawatan yang telah
dilaksanakan. Perumusan evaluasi formatif ini meliputi empat komponen
yang dikenal dengan istilah SOAP, yakni subjektif (data berupa keluhan
pasien), objektif (data hasil pemeriksaan), analisi data dan perencanaan

27
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Sepsis adalah suatu respon sistemik terhadap infeksi.Pada sepsis gejala klinis yang
terdapat pada SIRS diikuti oleh adanya bukti infeksi.Terminologi sepsis masih
membingungkan karena penggunaan yang tidak tepat dan berbagai macam definisi
yang meyebabkan kebingungan pada literatur medis.saat ini telah dibuat
standardisasi terminologi infeksi, bakteriemia, sepsis, dan septic syok sebagai
usaha untuk meningkatkan kemampuan untuk mendiagnosis, mengobati, dan
membuat formulasi untuk prognosa dari infeksi ini. Dalam terminologi yang baru,
sepsis mewakili subgrup dalam “Systemic Inflamatory Response Syndrome”
(SIRS) (Gordon MC 1997, Wheeler AP 2004).

3.2 Saran
1. Pasien dan Keluarga
Keluarga dapat membawa pasien segera ke pelayanan kesehatan untuk
mendapatkan penanngana yang tepat terkait terjadinya syok sepsis.
2. Perawat
Perawat harus memberikan asuhan keperawatan secara holistic dan
menyeluruh (bio, psiko,social, dan spiritual) terutama pada asuhan keperawatan
gawat darurat bagi pasien yang memerlukan pelayanan secara tepat dan cepat.
Selain itu, perawat juga diharapkan dapat memberikan pengarahan kepada
keluarga tentang syok sepsis dan memberikan motivasi cara syok sepsis
sehingga keluarga mampu menjaga kesehatan dengan optimal.

DAFTAR PUSTAKA

28
Aziz, AH. 2017. Bab II Tinjaun Pustaka Dokumentasi Keperawatan. Diakses tanggal 6
September 2019, dari
http://repository.ump.ac.id/3810/3/Ahmad%20H%20Aziz%20BAB%20II.pdf
Fitria, C. N. (2010). SYOK DAN PENANGANANNYA. Gaster: Jurnal Kesehatan, 7(2),
593-604.
Nanda, N.N. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan NANDA NIC-NOC. (Nurarif,
A.H. & Kusuma, H, Ed). Yogyakarta: Medication.
Permenkes, 2014. Panduan praktik klinis bagi dokter di fasilitas pelayanan kesehatan
primer. Diakses tanggal 6 September 2019, dari
https://peraturan.bkpm.go.id/jdih/userfiles/batang/Permenkes_5_2014.pdf
Salsabilla, N. A. (2019). Analisis pencegahan dan penanganan anafilaksis di
masyarakat. INA-Rxiv. June, 25.
Silalahi, M.L. 2018. Tingkat pengetahuan dan perilaku dokter gigi terhadap anafilaktik syok
akibat anestesi lokal dan natural rubber latex serta penatalaksanaannya di
ruangan praktik dokter gigi di kota medan. Diakses tanggal 6 September 2019, dari
http://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/5129

29

Anda mungkin juga menyukai