SEPSIS
1
KATA PENGANTAR
Penulis,
2
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
1.2. Rumusan Masalah 2
1.3. Tujuan 2
1.4. Manfaat 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1. Tinjauan Konsep Dasar Teori 4
2.1.1. Definisi Syok 4
2.1.2. Derajat Syok 5
2.1.3. Epidemologi 6
2.1.4. Etiologi 6
2.1.5. Patofisiologi 6
2.1.6. Manifestasi Klinis 9
2.1.7. Pemeriksaan Diagnostik 10
2.1.8. Komplikasi 12
2.1.9. Penatalaksanaan 12
2.1.10. Pencgahan 16
2.2. Tinjauan Teori Asuhan keperawata 20
3.2.1. Pengkajian 20
3.2.2. Diagnosa Keperawatan 23
3.2.3. Intervensi 23
3.2.4. Implementasi 27
3.2.5. Evaluasi 27
BAB III PENUTUP
3.1. Kesimpulan 28
3.2. Saran 28
DAFTAR PUSTAKA
3
BAB I
PENDAHULUAN
4
1.3. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan dalam penyusunan
asuahan keperawatan teoritis, sebagai berikut:
1.3.1. Tujuan Umum.
Untuk mengetahui asuhan keperawatan dengan Sepsis
1.3.2. Tujuan Khusus.
1. Untuk mengetahui konsep dasar teori Sepsis.
2. Untuk mengetahui tinjauan teori asuhan keperawatan dengan teori
Sepsis.
1.4. Manfaat
Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penyusunan asuhan
keperawatan teoritis, sebagai berikut:
1.4.1. Manfaat Teoritis.
1. Secara teoritis makalah ini diharapkan dapat menambah wawasan
dan ilmu pengetahuan para pembaca tentang masalah dengan
Sepsis.
2. Sebagai acuan dan pengembangan materi untuk penyusunan
asuhan keperawatan berikutnya khususnya mengenai asuhan
keperawatan dengan Sepsis.
5
Sebagai bahan masukan berupa literatur dan pengembangan materi
dalam pembelajaran tentang asuhan keperawatan mengenai Sepsis.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.2. Etiologi
Sepsis dapat disebabkan oleh infeksi bakteri gram negatif 70%
(pseudomonas auriginosa, klebsiella, enterobakter, echoli, proteus).
Infeksi bakteri gram positif 20-40% (stafilokokus aureus, stretokokus,
pneumokokus), infeksi jamur dan virus 2-3% (dengue hemorrhagic
fever, herpes viruses), protozoa (malaria falciparum). Sedangkan pada
kultur yang sering ditemukan adalah pseudomonas, disusul oleh
stapilokokus dan pneumokokus. Shock sepsis yang terjadi karena
infeksi gram negatif adalah 40% dari kasus, sedangkan gram positif
adalah 5-15% dari kasus (Root, 1991). Penyebab terbesar sepsis adalah
bakteri gram (-) yang memproduksi endotoksin glikoprotein kompleks
sedangkan bakteri gram (+) memproduksi eksotoksin yang merupakan
komponen utama membran terluar dari bakteri menghasilkan berbagai
produk yang dapat menstimulasi sel imun. Sel tersebut akan terpacu
untuk melepaskan mediator inflamasi. Produk yang berperan penting
terhadap sepsis adalah lipopolisakarida (LPS).
LPS merangsang peradangan jaringan, demam dan syok pada
penderita yang terinfeksi. Struktur lipid A dalam LPS bertanggung
jawab terhadap reaksi dalam tubuh penderita. LPS endotoksin gram (-)
dinyatakan sebagai penyebab sepsis terbanyak, dia dapat langsung
mengaktifkan sistme imun selular dan humoral, yang dapat
menimbulkan perkembangan gejala septikemia. LPS sendiri tidak
mempunyai sifat toksik tetapi merangsang pengeluaran mediator
inflamasi yang bertanggung jawab terhadap sepsis. Makrofag
mengeluarkan polipeptida, yang disebut faktor nekrosis tumor (Tumor
necrosis factor /TNF) dan interleukin 1 (IL1), IL-6 dan IL-8 yang
merupakan mediator kunci dan sering meningkat sangat tinggi pada
penderita immunocompromise (IC) yang mengalami sepsis. Kultur
7
darah positif pada 20-40% kasus sepsis dan pada 40-70% kasus syok
septik.
Dari kasus-kasus dengan kultur darah yang positif, terdapat hingga
70% isolat yang ditumbuhi oleh satu spesies bakteri gram positif atau
gram negatif saja; sisanya ditumbuhi fungus atau mikroorganisme
campuran lainnya. Sepsis dapat dipicu oleh infeksi di bagian manapun
dari tubuh.Daerah infeksi yang paling sering menyebabkan sepsis
adalah paru-paru, saluran kemih, perut, dan panggul. Jenis infeksi yang
sering dihubungkan dengan sepsis yaitu:
a. Infeksi paru-paru (pneumonia)
b. Flu (influenza)
c. Appendisitis
d. Infeksi lapisan saluran pencernaan (peritonitis)
e. Infeksi kandung kemih, uretra, atau ginjal (infeksi traktus
urinarius)
f. Infeksi kulit, seperti selulitis, sering disebabkan ketika infus atau
kateter telah dimasukkan ke dalam tubuh melalui kulit
g. Infeksi pasca operasi
2.1.3. Patofisiologi
Respon inflamasi sistemik timbul bila benda asing di dalam darah
atau jaringan diketahui oleh tuan rumah. Respon ini bertujuan untuk
menetralisir mikroorganisme dan produknya sampai bersih, tetapi dapat
terjadi efek negative pada tuan rumah, terutama kerusakan jaringan.
Sitokin proinflamasi dan antiinflamasi yang diaktifkan di ruang
intravascular melalui kehadiran material mikroba mempunyai efek
merusak. Respon inflamasi yang berlebihan berperan terhadap
gangguan hemodinamik dan iskemia jaringan dan berakhir sebagai
multiple organ dysfunction. Patofisiologi sepsis adalah complex karena
memberikan efek pada hemodinamik.
Faktor koagulasi, respon kekebalan, dan proses metabolik
berkaitan dengan serangkaian reaksi biokimia yang distimulasi
8
mediator endogen. Produksi mediator endogen dirangsang oleh
endotoksin, suatu lipopolisakarida yang merupakan bagian dari dinding
sel bakteri gram-negatif. Endotoksin dilepaskan dan memulai
kegiatannya setelah bakteri telah dihancurkan oleh sistem kekebalan
tubuh inang atau dengan terapi antibodi. Oleh karena itu, sepsis dapat
terjadi meskipun bakteri tidak lagi beredar pada sirkulasi intravaskular.
Bakteri Gram positif tidak menghasilkan endotoksin. Namun, mediator
kimia endogen dari respon sepsis diaktifkan dalam gram sepsis positif.
bakteri Gram positif, jamur dan virus dapat menghasilkan respon
inflamasi sistemik yang mirip dengan sepsis gram negatif, walaupun
biasanya tidak parah. Meskipun tidak adanya endotoksin dalam
beberapa bentuk sepsis, efek endotoksin dapat digunakan sebagai model
untuk menjelaskan perubahan physiologyc terlihat pada SIRS, sepsis
9
dan pada orang dewasa diatas 65 tahun (Gossman &
Plantz, 2008). Infeksi menjadi keluhan utama pada
pasien (Hinds et.al,2012). Perubahan status mental
yang tidak dapat dijelaskan (LaRosa, 2010) juga
merupakan tanda dan gejala pada sepsis. Adanya
tanda dan gejala disseminated intravascular
coagulation (DIC) meningkatkankan angka
mortalitas (Saadat, 2008). Pada sepsis berat muncul
dampak dari penurunan perfusi mempengaruhi
setidaknya satu organ dengan gangguan kesadaran,
hipoksemia (PO2 <75 mmHg), peningkatan laktat
plasma, atau oliguria (≤30 ml / jam meskipun sudah
diberikan cairan). Sekitar satu perempat dari
pasien mengalami sindrom gangguan pernapasan
akut (ARDS) dengan infiltrat paru bilateral,
hipoksemia (PO2 <70 mmHg, FiO2 >0,4), dan kapiler
paru tekanan <18 mmHg. Pada syok septik terjadi
hipoperfusi organ (Weber & Fontana, 2007).
Diagnosis sepsis sering terlewat, khususnya pada pasien usia lanjut
yang tandatanda klasik sering tidak muncul. Gejala ringan, takikardia
dan takipnea menjadi satusatunya petunjuk, Sehingga masih diperlukan
pemeriksaan lebih lanjut yang dapat dikaitkan dengan hipotensi,
penurunan output urin, peningkatan kreatinin plasma, intoleransi
glukosa dan lainnya (Hinds et.al,2012).
10
peningkatan PaCO2, serta perubahan morfologi dan jumlah
neutrofil. Peningkatan neutrofil serta peningkatan leukosit imatur,
vakuolasi neutrofil, granular toksik, dan badan Dohle cenderung
menandakan infeksi bakteri. Neutropenia merupakan tanda kurang
baik yang menandakan perburukan sepsis. Pemeriksaan cairan
serebrospinal dapat menunjukkan neutrofil dan bakteri. Pada
stadium awal meningitis, bakteri dapat dideteksi dalam cairan
serebrospinal sebelum terjadi suatu respons inflamasi.
2. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang digunakan foto toraks, pemeriksaan
dengan prosedur radiografi dan radioisotop lain sesuai dengan
dugaan sumber infeksi primer (Opal, 2012).
i. Komplikasi
1. Kegagalan multi organ akibat penurunan aliran darah dan
hipoksia jaringan yang berkepanjangan
2. Sindrom distres pernapasan dewasa akibat destruksi pertemuan
alveolus kapiler karena hipoksia
3. Acute Renal Failure (Chronic Kidney Disease)
4. Perdarahan usus
5. Gagal hati
6. Gagal jantung
7. Kematian
ii. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan hipotensi dan syok septik merupakan tindakan
resusitasi yang perlu dilakukan sesegera mungkin. Resusitasi
dilakukan secara intensif dalam 6 jam pertama, dimulai sejak pasien
tiba di unit gawat darurat. Tindakan mencakup airway: a) breathing;
b) circulation; c) oksigenasi, terapi cairan, vasopresor/inotropik, dan
transfusi bila diperlukan. Pemantauan dengan kateter vena sentral
sebaiknya dilakukan untuk mencapai tekanan vena sentral (CVP) 8-
11
12 mmHg, tekanan arteri rata-rata (MAP)>65 mmHg dan produksi
urin >0,5 ml/kgBB/jam.
1. Oksigenasi
Hipoksemia dan hipoksia pada sepsis dapat terjadi sebagai akibat
disfungsi atau kegagalan sistem respirasi karena gangguan ventilasi
maupun perfusi. Transpor oksigen ke jaringan juga dapat terganggu
akibat keadaan hipovolemik dan disfungsi miokard menyebabkan
penurunan curah jantung. Kadar hemoglobin yang rendah akibat
perdarahan menyebabkan daya angkut oleh eritrosit menurun.
Transpor oksigen ke jaringan dipengaruhi juga oleh gangguan
perfusi akibat disfungsi vaskuler, mikrotrombus dan gangguan
penggunaan oksigen oleh jaringan yang mengalami iskemia.
Oksigenasi bertujuan mengatasi hipoksia dengan upaya
meningkatkan saturasi oksigen di darah, meningkatkan transpor
oksigen dan memperbaiki utilisasi oksigen di jaringan.
2. Terapi cairan
Hipovolemia pada sepsis perlu segera diatasi dengan pemberian
cairan baik kristaloid maupun koloid. Volume cairan yang diberikan
perlu dimonitor kecukupannya agar tidak kurang ataupun berlebih.
Secara klinis respon terhadap pemberian cairan dapat terlihat dari
peningkatan tekanan darah, penurunan ferkuensi jantung, kecukupan
isi nadi, perabaan kulit dan ekstremitas, produksi urin, dan
membaiknya penurunan kesadaran. Perlu diperhatikan tanda
kelebihan cairan berupa peningkatan tekanan vena jugular, ronki,
gallop S3, dan penurunan saturasi oksigen.
Pada keadaan serum albumin yang rendah (< 2 g/dl) disertai tekanan
hidrostatik melebihi tekanan onkotik plasma, koreksi albumin perlu
diberikan. Transfusi eritrosit (PRC) perlu diberikan pada keadaan
perdarahan aktif, atau bila kadar Hb rendah pada keadaan tertentu
misalnya iskemia miokardial dan renjatan septik. Kadar Hb yang
akan dicapai pada sepsis dipertahankan pada 8-10 g/dl.
12
3. Vasopresor dan inotropik
Vasopresor sebaiknya diberikan setelah keadaan hipovolemik
teratasi dengan pemberian cairan secara adekuat, tetapi pasien masih
mengalami hipotensi. Terapi vasopresor diberikan mulai dosis
rendah secara titrasi untuk mencapai MAP 60 mmHg, atau tekanan
sistolik 90 mmHg. Untuk vasopresor dapat digunakan dopamin
dengan dosis >8 mcg/kg/menit, norepinefrin 0,03-1,5 mcg/kg/menit,
fenileferin 0,5-8 mcg/kg/menit atau epinefrin 0,1-0,5 mcg/kg/menit.
Inotropik yang dapat digunakan adalah dobutamin dosis 2-28
mcg/kg/menit, dopamin 3-8 mc/kg/menit, epinefrin 0,1-0,5
mcg/kg/menit atau inhibitor fosfodiesterase (amrinon dan milrinon).
4. Bikarbonat
Secara empirik, bikarbonat dapat diberikan bila pH <7,2 atau serum
bikarbonat <9 meq/l, dengan disertai upaya untuk memperbaiki
keadaan hemodinamik.
5. Disfungsi renal
Sebagai terapi pengganti gagal ginjal akut dapat dilakukan
hemodialisis maupun hemofiltrasi kontinu (continuous
hemofiltration). Pada hemodialisis digunakan gradien tekanan
osmotik dalam filtrasi substansi plasma, sedangkan pada hemofiltrasi
digunakan gradien tekanan hidrostatik. Hemofiltrasi dilakukan
kontinu selama perawatan, sedangkan bila kondisi telah stabil dapat
dilakukan hemodialisis.
6. Nutrisi
Pada sepsis kecukupan nutrisi berupa kalori, protein, asam lemak,
cairan, vitamin dan mineral perlu diberikan sedini mungkin,
diutamakan pemberian secara enteral dan bila tidak memungkinkan
beru diberikan secara parenteral.
7. Kortikosteroid
Saat ini terapi kortikosteroid diberikan hanya pada indikasi
insufisiensi adrenal, dan diberikan secara empirik bila terdapat
13
dugaan keadaan tersebut. Hidrokortison dengan dosis 50mg bolus
intravena 4 kali selama 7 hari pada pasien renjatan septik
menunjukkan penurunan mortalitas dibanding kontrol (Chen dan
Pohan, 2007).
2.1.10 Pencegahan
a. rutin melakukan vaksinasi
b. menjaga kebersihan diri, termasuk mandi teratur dan rajin
mencuci tangan
c. segera melakukan perawatan jika mengalami gejala-gejala
infeksi.
A. Pengkajian
1. Pengkajian Primer
a. Airway
14
Tindakan pertama kali yang dilakukan adalah memeriksa responsivitas
pasien dengan mengajak pasien berbicara untuk memastikan ada atau
tidaknya gangguan/sumbatan jalan nafas. Seorang pasien yang dapat
berbicara dengan jelas maka jalan nafas pasien terbuka. Yang perlu
diperhatikan dalam pengkajian airway pada pasien antara lain :
c. Agitasi (hipoksia).
e. Sianosis.
b) Lakukan suction
15
airway, laryngeal mask
airway
d) Lakukan intubasi
b. Breathing
16
asimetris akibat dari raktur segmen iga sehingga
dinding dada bergerak ke dalam ketika inspirasi dan
akan mengembang ketika ekspirasi. Ketika di palpasi
dinding dada pasien akan ditemukan krepitasi.
c. Circulation
17
ektremitas awal yang digunakan untuk mengkaji
gagal untuk merespon.
4. Unrespond, jika pasien tidak merespon baik itu
stimulus nyeri.
e. Exposure
4. Pengkajian sekunder
a. Anamnesis
18
dikonsumsi, dikonsumsi berapa jam sebelum kejadian), E :
events, hal-hal yang bersangkutan dengan sebab cedera
(kejadian yang menyebabkan adanya keluhan utama).
1. FOKUS PENGKAJIAN
1. Identitas klien
19
jantung >90x/menit, frekuensi nafas >20x/menit dan jumlah sel darah
putih >12.000/mm
5. Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat infeksi pneumonia, PPOK atau semua infeksi yang
ada pada tubuh, peningkatan bilirubin, penyakit jantung, anemia.
Pengkajian pemakaian obat-obat yang sering digunakan klien. Adanya
riwayat merokok, penggunaan alcohol. Pengkajian riwayat ini dapat
mendukung pengkajian dari riwayat penyakit sekarang dan merupakan
data dasar untuk mengkaji lebih jauh dan untuk memberikan tindakan
selanjutnya.
6. Data Bio-Psiko-Sosial-Spiritual
1) Bernafas
Pasien dapat mengalami peningkatan pernafasan (>20x/menit atau
PaC02 <32 MMhg) sebagai kompensasi akibat asidosis metabolic.
2) Nutrisi
Mengalami kelemahan otot pengunyah sehingga pasien tidak dapat
mengunyah makanan keras.
3) Eliminasi
Terjadi produksi urine yang menurun.
4) Aktivitas
Terjadi gangguan mobilitas
5) Istirahat
Pasien istirahat dengan normal.
6) Pengaturan Suhu
Suhu tubuh pasien terjadi peningkatan.
7) Kebersihan/Hygiene
Pasien tidak dapat melakukan personal hygiene secara mandiri
akibat kelemahan yang dialami.
8) Rasa aman
Pasien dan keluarga biasanya merasa khawatir terhadap perubahan
yang terjadi.
20
9) Rasa Nyaman
Kadang pasien mengalami ganguan pernafasan yang mmebuat
pasien merasa tidak nyaman
10) Sosial
Terjadi gangguan pada pasien karena penurunan status mental yang
tiba tiba
11) Pengetahuan/Belajar
Kebanyakan pasien tidak mengetahui penyakit yang dialaminya
serta apa pemicu munculnya syok tersebut.
12) Rekreasi
Pasien tidak dapat keluar rumah karena peningkatan suhu tubuh.
7. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum
Mengalami penurunan kesadaranTanda – tanda vital : terjadi
peningkatan denyut nadi (takikardi) lebih dari 90x/menit
respirasi/pernafasan meningkat. Suhu meningkat.
2) Sistem integument
Edema, kulit hangat, kering, kulit berkeringat
3) Kepala
Lakukan inspeksi dan palpasi pada seluruh kepala dan wajah untuk
mengetahui adanya pigmentasi, laserasi, massa, kontusio, fraktur
dan luka termal, ruam, perdarahan, dan nyeri tekan.
4) Mata
Periksa kornea ada cedera atau tidak, ukuran pupil apakah isokor
atau anisokor serta bagaimana refleks cahayanya, apakah pupil
mengalami miosis atau midriasis, adanya icterus, ketajaman mata
(macies visus dan acies campus), apakah konjungtiva anemis atau
adanya kemerahan.
5) Telinga
Periksa danya nyeri tinnitus, pembengkakan, penurunan atau
21
hilangnya pendengaran, periksa dengan senter mengenai keutuhan
membrane timpani atau adanya hemotimpanum.
6) Hidung
Periksa danya perdarahan, perasaan nyeri, penyumbatan penciuman,
apabila ada deformitas lakukan palpasi akan kemungkinan krepitasi
dari suatu fraktur.
7) Mulut dan faringInspeksi pada bagian mukosa, adanya lesi.
8) Leher
Simetris, kaku kuduk, tidak ada benjolan limphe nodul.
9) Thoraks
a) Inspeksi : Inspeksi dinding dada bagian depan, samping, dan
belakang untuk mengetahui adanya trauma tumpul/tajam,
luka, lecet, memar, ruam, ekimosis, bekas luka, frekuensi
dan kedalaman pernafasan, kesimetrisan expansi dinding
dada, penggunaan otot pernafasan tambahan, frekuensi dan
irama denyut jantung. Pada pasien flail chest, pasien akan
mengalami pernafasan parodoksal/ takut untuk bernafas.
b) Palpasi : Palpasi seluruh dinding dada untuk mengetahui
adanya trauma tajam/tumpul. Pada pasien dengan flail chest
akan ditemukan krepitasi dan nyeri tekan saat dilakukan
palpasi pada dada.
c) Perkusi : Untuk mengetahui kemungkinan hipersonor dan
keredupan.
d) Auskultasi : suara nafas tambahan (apakah ada ronki,
wheezing) dan bunyi jantung (murmur, gallop) Gerakan
dada tidak simetris, retraksi supra sternal (-), retraksi
intercoste (-), perkusi resonan, rhonchi -/- pada basal paru,
wheezing -/-, vocal fremitus tidak teridentifikasi.
10) Jantung
Batas jantung kiri ics 2 sternal kiri dan ics 4 sternal kiri, batas kanan
ics 2 sternal kanan dan ics 5 mid axilla kanan, perkusi dullness.
22
Bunyi S1 dan S2 tunggal; dalam batas normal, gallop(-), mumur (-).
capillary refill 2 detik.
11) Abdomen
Inspeksi abdomen bagian depan dan belakang untuk adanya trauma
tajam, tumpul, dan perdarahan internal, adakah distensi abdomen,
acites, luka, memar. Auskultasi bising usus, perkusi abdomen untuk
mendapatkan nyeri lepas (ringan). Palpasi abdomen untuk
mengetahui adakah kekakuan atau nyeri tekan, hepatomegaly.
12) Genitalia-Anus
Produksi urine menurun
13) Ekstremitas
Inspeksi adanya kemerahan, edema, ruam, lesi, paralisis,
atropi/hipertropi, pada jari-jari periksa adanya clubbing finger,
serta catat adanya nyeri tekan, dan hitung berapa detik kapiler
refill, palpasi untuk memeriksa denyut nadi distal. Pada pasien
biasanya akral hangat, kaji edema , kaji kekuatan otot , gerak yang
tidak disadari, atropi atau tidak, capillary refill, Perifer tampak
pucat atau tidak.
14) Neurologis : Pemeriksaan neurologis yang diteliti meliputi
pemeriksaan tingkat kesadaran, ukran dan reaksi pupil. Pada
pemeriksaan neurologis inspeksi adanya kejang, twitching, parese,
hemiplegia tau hemiparase (gangguan peregerakan), distaksia
(kesukaran dalam mengkoordinassi otot),rangsangan meningeal
dan kaji pula adanya vertigo dan respon sensori. (Khumairoh, 201
23
INTERVENSI
No DIAGNOSA TUJUAN INTERVENSI RASIONAL
1 Hipertermia Setelah diberikan 1. Identifikasi 1. Untuk mengetahui apa
berhubungan asuhan keperawatan penyebab penyebab hipertermia
dengan proses selama 24 X jam hipertermi dan agar dapat
infeksi diharapkan suhu 2. Monitor suhu tubuh mencegah terjadinya
tubuh pasien dapat 3. Berikan cairan oral hipertermia tersebut
kembali normal 4. Anjurkan pasien 2. Untuk mengetahui
dengan kriteria hasil : untuk apakah terjadi
melonggarkan peningkatan suhu tubuh
1. Suhu tubuh
pakaian pasien pasien
membaik
5. Anjurkan tirah 3. Untuk memenuhi
2. Menggigil
baring asupan cairan pasien
menurun
6. Kolaborasi 4. Longgarkan pakaian
Tekanan darah
pemberian cairan pasien agar suhu tubuh
membaik
dan elektrolit pasien dapat menurun
intrevena dan gunakan pakaian
yang mudah
5. Pasien berbaring di
tempat tidur untuk
mengoptimalkan fungsi
organ pasien
6. Agar pasien tidak
mengalami dehidrasi
dan untuk mencukupi
kebutuhan asupan
cairan pasien
24
No DIAGNOSA TUJUAN INTERVENSI RASIONAL
2 Resiko infeksi Setelah diberikan 1. Monitor tanda dan 1. Tanda dan gejala
berhubungan asuhan keperawatan gejala infeksi lokal infeksi lokal dan
dengan selama 24 X jam dan sistemik sistemik harus di
ketidakadekuatan diharapkan resiko 2. Cuci tangan monitor agar bisa
pertahanan tubuh infeksi pasien dapat sebelum dan ditindaklanjuti segera
primer / sekunder menurun dengan sesudah kontak jika terjadi infeksi pada
kriteria hasil: dengan pasien dan pasien
lingkungan pasien 2. Mencuci tangan
1. Demam
3. Jelaskan tanda dan sebelum dan sesudah
menurun
gejala infeksi kontak dengan pasien
2. Nafsu makan
4. Anjurkan dan lingkungan pasien
meningkat
meningkatkan bertujuan untuk
Kebersihan
asupan cairan mencegah
badan
5. Ajarkan cara 3. Pasien dan keluarga
meningkat
mencuci tangan pasien harus
dengan benar mengetahui tanda dan
gejala infeksi untuk
mencegah infeksi pada
pasien.
4. Asupan cairan pada
pasien harus
ditingkatkan untuk
mencegah resiko
infeksi yang terjadi
pada pasien.
5. Cara mencuci tangan
yang baik dan benar
yaitu dengan 6 langkah
mencuci tangan
menggunakan sabun
25
dan air mengalir
D. IMPLEMENTASI
26
Pelaksanaan atau implementasi merupakan tahap keempat dalam
proses keperawatan dengan melaksanakan berbagai strategi keperawatan
(tindakan keperawatan yang telah direncanakan). Dalam tahap ini perawat
harus mengetahui berbagai hal, diantaranya bahaya fisik dan perlindungan
kepada pasien, teknik komunikais, kemampuan dalam prosedur tindakan,
pemahaman dalam hak-hak pasien dan perkembangan pasien. Dalam tahap
pelaksanaan ada tiga tindakan yaitu, tindakan mandiri, delegatif, dan
tindakan kolaborasi.
E. EVALUASI
27
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sepsis adalah suatu respon sistemik terhadap infeksi.Pada sepsis gejala klinis yang
terdapat pada SIRS diikuti oleh adanya bukti infeksi.Terminologi sepsis masih
membingungkan karena penggunaan yang tidak tepat dan berbagai macam definisi
yang meyebabkan kebingungan pada literatur medis.saat ini telah dibuat
standardisasi terminologi infeksi, bakteriemia, sepsis, dan septic syok sebagai
usaha untuk meningkatkan kemampuan untuk mendiagnosis, mengobati, dan
membuat formulasi untuk prognosa dari infeksi ini. Dalam terminologi yang baru,
sepsis mewakili subgrup dalam “Systemic Inflamatory Response Syndrome”
(SIRS) (Gordon MC 1997, Wheeler AP 2004).
3.2 Saran
1. Pasien dan Keluarga
Keluarga dapat membawa pasien segera ke pelayanan kesehatan untuk
mendapatkan penanngana yang tepat terkait terjadinya syok sepsis.
2. Perawat
Perawat harus memberikan asuhan keperawatan secara holistic dan
menyeluruh (bio, psiko,social, dan spiritual) terutama pada asuhan keperawatan
gawat darurat bagi pasien yang memerlukan pelayanan secara tepat dan cepat.
Selain itu, perawat juga diharapkan dapat memberikan pengarahan kepada
keluarga tentang syok sepsis dan memberikan motivasi cara syok sepsis
sehingga keluarga mampu menjaga kesehatan dengan optimal.
DAFTAR PUSTAKA
28
Aziz, AH. 2017. Bab II Tinjaun Pustaka Dokumentasi Keperawatan. Diakses tanggal 6
September 2019, dari
http://repository.ump.ac.id/3810/3/Ahmad%20H%20Aziz%20BAB%20II.pdf
Fitria, C. N. (2010). SYOK DAN PENANGANANNYA. Gaster: Jurnal Kesehatan, 7(2),
593-604.
Nanda, N.N. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan NANDA NIC-NOC. (Nurarif,
A.H. & Kusuma, H, Ed). Yogyakarta: Medication.
Permenkes, 2014. Panduan praktik klinis bagi dokter di fasilitas pelayanan kesehatan
primer. Diakses tanggal 6 September 2019, dari
https://peraturan.bkpm.go.id/jdih/userfiles/batang/Permenkes_5_2014.pdf
Salsabilla, N. A. (2019). Analisis pencegahan dan penanganan anafilaksis di
masyarakat. INA-Rxiv. June, 25.
Silalahi, M.L. 2018. Tingkat pengetahuan dan perilaku dokter gigi terhadap anafilaktik syok
akibat anestesi lokal dan natural rubber latex serta penatalaksanaannya di
ruangan praktik dokter gigi di kota medan. Diakses tanggal 6 September 2019, dari
http://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/5129
29