Anda di halaman 1dari 12

BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

I. Definisi
Epilepsi, gangguan konvulsif, gangguan kejang, atau kejang
serebrum mengacu pada disfungsi system saraf pusat yang paroksimal
rekuren dan bermanifestasi sebagai perubahan perilaku yang stereotipikal,
yang merupakan suatu kompleks gejala yang timbul akibat gangguan fungsi.
Pada bayi baru lahir, istilah “kejang” digunakan secara generic untuk semua
perubahan transien paroksimal pada fungsi saraf. Kejang pada bayi baru
lahir mungkin fragmenter, tidak terorganisasi, dan terbatas dalam ekspresi
klinisnya, (Rudolph, 2007).
Kejang pada bayi baru lahir sering tidak dikenali karena bentuknya
berbeda dnegan kejang pada anak atau orang dewasa. Hal ini disebabkan
ketidakmatangan organisasi korteks pada bayi baru lahir. Kejang umum
tonik-klonik jarang pada bayi baru lahir. Manifestasi kejang pada bayi baru
lahir dapat berupa tremor, hiperaktif, kejang-kejang, tiba-tiba menangis
melengking, tonus otot hilang disertai atau tidak dnegan hilangnya
kesadaran, gerakan yang tidak menentu (involuntary movements), nistagmus
atau mata mengedip-ngedip paroksismal, gerakan seperti mengunyah dan
menelan (fenomena oral dan buktal), bahkan apnu. Dalam prinsip setiap
gerakan yang tidak biasa pada bayi baru lahir apabila berlangsung berulang-
ulang dan periodic, harus dipikirkan kemungkinan manifestasi kejang,
(Saifuddin dkk, 2006).
II. Etiologi
Kejang mungkin berasal dari setiap ganggan serebrum yang sesaat
atau menetap, tetapi hanya beberapa kausa yang terjadi secara teratur
dijumpai. Pada sekitar 25% bayi dengan kejang, penyebab tidak diketahui,
(Rudolph, 2007).
1. Penyulit perinatal/komplikasi perinatal
Penyulit-penyulit ini menyebabkan 1/3 dari kejang pada bayi cukup
bulan dan sekitar ½ dari kejang pada bayi premature. Asfiksia neonates
merupakan factor utama pada bayi cukup bulan, dan perdarahan
intaventrikel pada bayi premature.
Ensefalopati hipoksik-iskemik saat ini merupakan satu-satunya
penyebab tersering kejang pada bayi baru lahir, tetapi diagnosis mungkin
sulit ditegakkan. Menurut Saifuddin dkk, biasanya kejang akibat
hipoksi-ishkemik ensefalopati timbul pada 24 jam pertama kelahiran.
Pada kejang yang disebabkan perdarahan intraventrikel (IVH), sering
berkaitan dengan riwayat persalinan yang sulit dan paling sering terjadi
pada bayi hampir cukup bulan. Diantara kejang bayi tampak sehat dan
baik. Kejang biasanya terorganisasi baik dan transien, serta cepat
berespons terhadap obat antiepilepsi. Sebagian besar bayi dengan kejang
akibat IVH adalah bayi premature yang keadaannya memburuk secara
perlahan setelah lahir atau yang sakit berat akibat penurunan mendadak
status neorologik. Diantara kejang, bayi tetap kurang responsive dan
tidak stabil, dan serangan mungkin berlangsung terus walaupun pasien
mendapat terapi antikonvulsan dosis tinggi. Bayi dnegan IVH biasanya
mengalami kejang jenis minimal atau klonik-multifokal. Berdasarkan
penelitian dengan pemindaian CT, jelas bahwa dapat terjadi perdarahan
intrakranium ringan dengan hanya sedikit manifestasi klinik, (Rudolph,
2007).
2. Hipoglikemia
Hipoglikemia yang signifikan didefinisikan sebagai kadar glukosa
dibawah 30 mg/dL dalam 72 jam pertama kehidupan pada bayi cukup
bulan dan kurang dari 40 mg/dL sesudahnya, atau kurang dari 20 mg/dL
pada bayi premature atau bayi berat lahir rendah. Walaupun
hipoglikemia sering dijumpai pada gangguan kejang neonates, tetapi
hubungan sebab-akibat antara hipoglikemia dan kejang sering
meragukan. Bayi dengan berbagai gangguan pada otaknya mungkin
mengalami hipoglikemia, dan perbaikan terhadap hipoglikemianya
mungkin dapat menghentikan kejang dan memperbaiki status neurologis
tetapi mungkin juga tidak. Juga, korelasi Antara kadar glukosa darah dan
keparahan kelainan neurologik juga rendah. Namun, hipoglikemia harus
segera diperbaiki karena apabila menetap dapat memperparah setiap
gangguan neurologic lain. Pada kenyataannya, semua bayi baru lahir
yang kejang diobati dengan suplemen glukosa walaupun tidak terbukti
adanya hipoglikemia, (Rudolph, 2007).
3. Hipokalsemia
Hipokalsemia didefinisikan sebagai kadar kalsium serum dibawah 7,0
mg/dL disertai kadar fosfor serum yang normal atau meninggi. Sebagian
besar hipokalsemia dijumpai pada beberapa hari pertama kelahiran pada
bayi premature, atau pada bayi yang mengalami cedera perinatal
menetap. Kejang pada bayi-bayi ini umum terjadi karena kerusakan otak
yang mendasari, walaupun hipokalsemia yang menyertai juga dapat
memicu gangguan kejang. Kegagalan konsentrasi kalsium serum
berespons terhadap pemberian garam kalsium intravena harus
menimbulkan kecurigaan adanya hipomagnesemia, (Rudolph, 2007).
4. Infeksi
Infeksi susunan saraf pusat merupakan penyebab pada 10% kejang
neonates. Sekitar 2/3 organisme penyebab adalah bakteri, biasanya
gram-negatif, dan sisanya oleh agen infeksiosa lain, termasuk
sitomegalovirus, virus herpes simpleks (tipe-II), enterovirus, virus
rubella, dan toksoplasma, (Rudolph, 2007).
5. Anomaly perkembangan
Kejang neonates dapat terjadi akibat malformasi serebrum. Malformasi
tersebut meliputi heterotopia substansi drisea, polimikrogiria,
holoprosensefalus, dan anensefalus, (Rudolph, 2007).
6. Kejang neonates familial
Kejang biasanya bertipe klonik dan mulai dalam minggu pertama
kehidupan. EEG antarikus normal atau memperlihatkan kelainan
nonspesifik ringan. Kecuali riwayat keluarga, tidak ada factor lain yang
dapat diidentifikasi, dan pemeriksaan neurologic normal. Kejang
biasanya reda sopntan. Pada beberapa bayi yang terkena penyakit ini
dilaporkan terjadi kematian atau epilepsy di kemudian hari, (Rudolph,
2007).
7. Kelainan metabolism
Menurut Sifudin kelainan metabolisme yang menjadi penyebab kejang
pada neonates diataranya : hipoglikemia, hipokalsemia,
hipomagnesemia, hiponatremia, hypernatremia, hiperbilirubinemia,
ketergantungan piridoksin, dan kelainan metabolisme asam amino.
3-25% penyebab demam pada neonates tidak diketahui penyebabnya.

III. Patofisiologi

Dalam Buku Ajar Neonatologi, mekanisme dasar terjadinya kejang


akibat loncatan muatan listrik yang berlebihan dan sinkron pada otak atau
depolarisasi otak yang mengakibatkan gerakan yang berulang. Terjadinya
depolarisasi pada syaraf akibat masuknya natrium dan repolarisasi terjadi
karena keluarnya kalium melalui membrane sel. Untuk mempertahankan
potensial membrane memerlukan energi yang berasal dari ATP dan
tergantung pada mekanisme pompa yaitu keluarnya Natrium dan masuknya
Kalium.

Dalam keadaan normal, membran sel neuron dapat dilalui oleh ion
K, ion Na, dan elektrolit seperti Cl. Konsentrasi K+ dalam sel neuron lebih
tinggi daripada di luar sel, sedangkan konsentrasi Na+ di dalam sel lebih
rendah daripada di luar sel. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di
dalam dan di luar sel maka terdapat perbedaan potensial membran.

Pada keadaan demam, kenaikan suhu 1 derajat celcius akan


menyebabkan metabolisme basal meningkat 10 – 15% dan kebutuhan
oksigen meningkat 20%. Jadi pada kenaikan suhu tertentu dapat terjadi
perubahan keseimbangan dari membran dan dalam waktu yang singkat
terjadi difusi dari ion kalium maupun natrium melalui membran, dengan
akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini sedemikian
besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel
lainnya dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmitter sehingga
terjadi kejang.
Tidak semua kejang neonates disebabkan oleh mekanisme
patofisiologi yang sama. Sebagian berkaitan dengan lepas muatan EEG
simultan, sehingga mencerminkan proses epileptic konvensional yang
dimodifikasi oleh patologi dan immaturitas otak. Kejang lain tidak konsisten
atau tidak disertai oleh perubahan EEG, sehingga mungkin berasal dari
mekanisme epileptic yang tidak terdeteksi (di kulit kepala) atau akibat
disfungsi non epileptic system motoric di tingkat subkorteks atau batang
otak.
Kejang dengan lepas muatan EEG berupa kejang klonik fokal atau
multifocal, kejang tonik fokal (termasuk deviasi mata), sebagian kejang
mioklonik generalisata, dan apnea iktus secara konsisten berkiatan dengan
pola iktus EEG.
Sedangkan kejang dengan perubahan EEG yang inkonsisten atau
tanpa perubahan EEG biasanya mentap, gerakan bola mata, slaivasi
berlebihan dan berbagai fenomena otonom yang timbul sendiri, misalnya
perubahan denyut jantung dan tekanan darah, mungkin berkaitan dengan
lepas muatan EEG tetapi lebih sering tidak. Otomatisme motoric termasuk
berbgaai gerakan mulut-pipi-lidah, gerakan progresi, misalnya menapak,
mengayuh, atau berenang, dan aktivitas motoric asinkron kompleks
(menggelepar, menggeliat) jarang disertai oleh aktivitas kejang EEG. Kejang
tonik generalisata pada bayi baru lahir tidak memiliki gambaran EEG,
(Rudolph, 2007).

IV. Klasifikasi

Menurut Volpe (1989), kejang pada bayi baru lahir yang


diklasifikasikan berdasarkan gambaran klinis adalah sebagai berikut :
1. kejang Subtle
Kejang subtle meliputi :
a. Gerakan sterotip berulang pada ekstremitas seperti gerakan mengayuh
sepeda atau berenang
b. Deviasi atau kejut pada bola mata secara horizontal (mata seperti
matahari setengah terbenam dimana pupil masih terlihat pada waktu
bayi tidur) tanapa gerakan cepat; mata mengedip berulang; kelopak
mata bergetar berulang-ulang.
c. Gerakan pada wajah berulang seperti ngiler, gerakan mengisap atau
mengunyah atau gerakan lain pada pipi dan lidah.
d. Apnea atau perubahan tiiba-tiba pada pola pernapasan (bila apnea saja
terutama pada bayi kurang bulan bukan kejang, tetapi bila apnea
disertai gerakan lainnya kemungkinan adalah kejang).
e. Bisa terjadi pada bayi yang lahir cukup bulan atau bayi kurang bulan
(prematur).
2. Kejang Tonik
Kejang tonik meliputi kejang tonik fokal atau umum
a. Kejang tonik fokal, gambarannya adalah :
1. Kejang yang tampak dari salah satu ekstremitas atau batang tubuh
atau deviasi tonik kepala atau mata.
2. Sebagian besar kejang tonik terjadi bersamaan dengan penyakit
sistem syaraf pusat yang difus dan perdarahan intraventrikuler.
3. Tampak lebih sering pada bayi prematur.
b. Kejang tonik umum gambaranya adalah :
1. Fleksi atau ekstensi tonik pada ekstremitas bagian atas, leher atau
batang tubuh dan berkaitan dengan eksistensi tonus pada
ekstremitas bagian bawah.
2. Pada 85% kasus kejang tonik tidak berkaitan dengan perubahan
otonomis seperti meningkatnya detak jantung, tekanan darah atau
kulit memerah.
3. Biasanya terjadi pada bayi kurang bulan (prematur).
3. Kejang Klonik
Kejang klonik meliputi :
a. Terdiri dari dari gerakan kejut pada ekstremitas yang perlahan dan
berirama (1-3 detik/ menit)
b. Perubahan posisi atau memegang ekstremitas yang bergerak tidak
akan menghambat gerakan tersebut.
c. Penyebabnya bisa focal maupun multi local.
d. Tidak terjadi hilang kesadaran dan berkaitan dengan trauma focal,
infark metabolisme atau gangguan.
e. Biasanya terjadi pada bayi baru lahir cukup bulan.
4. Kejang Myoklonik :
Kejang myoklonik meliputi :
a. Kejang myoklonik focal, multi-focal atau umum.
b. Kejang mioklonik focal tampak melibatkan otot fleksor pada
ekstremitas
c. Kejang mioklonik multi-focal tampak sebagai gerakan kejutan yang
tidak sinkron pada beberapa bagian tubuh.
d. Kejang mioklonik umum tampak sangat jelas berupa fleksi masif pada
kepala dan batang tubuh dengan ekstensi atau fleksi pada ekstremitas .
e. Sering mengindikasikan etologi metabolik.
Kejang mioklonik paling jarang terjadi bila dibandingkan dengan
kejang lainnya.

V. Diagnosis
Terjadinya kejang neonatal merupakan pertanda klinis penting yang
mengindikasikan kelainan otak pada neonatus. Identifikasi kejang neonatal
sangat penting dalam pengelolaan neonatus berisiko tinggi. Namun,
diagnosis dan penanganan kejang neonatal sangat menantang, karena
disosiasi elektroklinis merupakan ciri khas kejang neonatal. Kejang neonatal
sering tidak disertai gejala klinis apapun yang dapat dikenali bahkan pada
pengamatan ketat, sedangkan fenomena motorik yang dianggap sebagai
kejang tidak terkait dengan ictal electroencephalography (EEG) berkorelasi.
Untuk alasan ini, kejang neonatal harus didiagnosis berdasarkan temuan
EEG ictal dan kemanjuran pengobatan harus dievaluasi dengan
menggunakan pemantauan EEG terus menerus. EEG juga berguna untuk
mendiagnosa etiologi dasar kejang neonatal. Meskipun EEG konvensional
adalah standar emas untuk diagnosis kejang neonatal, amplitudo terintegrasi
EEG (aEEG) dapat dianggap sebagai pilihan. Namun, aEEG memiliki
keterbatasan substansial. Dalam perawatan dua aspek harus diperhatikan.
Pertama, kejang neonatal sendiri memerlukan terapi darurat dan kedua,
terapi spesifik etiologi penting untuk mencegah cedera otak lebih lanjut.
Saat ini, bukti terbatas pada pengobatan kejang neonatal. Untuk
mendapatkan pengobatan yang efektif, penelitian yang menggunakan
pemantauan EEG / aEEG terus menerus dan tindak lanjut jangka panjang
diperlukan. Penggunaan EEG / aEEG secara luas diharapkan dapat
mengatasi beberapa masalah dalam diagnosis dan pengobatan kejang
neonatal (Oumura, 2012).

VI. Penatalaksanaan
Manajemen awal kejang pada bayi baru lahir :
1. Bayi diletakkan dalam tempat yang hangat. Pastikan bahwa bayi tidak
kedinginan. Suhu bayi dipertahankan 36,5-370C.
2. Sebelum menghentikan maka lakukan : semua pakaian ketat dibuka,
posisi kepala sebaiknya miring untuk mencegah asripasi isi lambung
3. Jalan nafas bayi dibersihkan dengan tindakan penghisapan lender
diseputar mulut, hidung, dan nasofaring.
4. Bila bayi apnea, dilakukan pertolongan agar bayi bernafas lagi dnegan
alat bantu balon dna sungkup, diberi O2 dengan kecepatan 2 L/menit
5. Dilakukan pemasangan infus IV di pembuluh darah perifer, ditangan,
kaki atau kepala. Bila bayi diduga dilahirkan oleh ibu dnegan penyakit
diabetes mellitus, dilakukan pemasangan infus melalui vena umbilikalis
6. Bila kadar glukosa darah kurang dari 45mg, tangani hipoglikemia
sebelum melanjutkan manajemen kejang seperti dibawah ini, untuk
menyingkirkan kemungkinan hipoglikemia sebagai penyebab kejang.
7. Bila bayi dalam keadaan kejang atau bayi kejang dalam beberapa jam
terakhir, beri injeksi fenobarbital 20 mg/kg bb secara IV, diberikan
pelan-pelan dalam waktu 5 menit.
- Bila jalur IV belum terpasang, beri injeksi fenobarbital 20mg/kgbb
dosis tunggal secara IM
- Bila kejang tidak berhenti dalam waktu 30 menit, beri ulang
fenobarbital 10 mg/kgbb IV atau IM. Dapat diulangi sekali lagi 30
menit kemudian bila perlu.
- Bila kejang masih berlanjut atau berulang, beri injeksi fenitoin 20
mg/kg bb, dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
a. Fenitoin hanya boleh diberikan secara IV
b. Campur dosis fenitoin ke dalam 15 mL garam fisiologis dan
diberikan dengan kecepatan 0,5 mL/menit selama 30 menit.
Fenitoin hanya boleh dicampur dengan garam fisiologis sebab
jenis cairan lain akan menyebabkan kristalisasi.
c. Monitor denyut jantung selama pemberian fenitoin
- Jika bayi tetap kejang, maka pilihan selanjutnya adalah lorazepam
0,05-1 mg/kg BB, dosis bisa diulang sampai 15 mg/kgBB. Diazepam
juga bisa diberikan 0,25 mg/kgBB selama 2-5 menit, (Effendi, 2013).
PERHATIAN!!!
Jangan menggunakan diazepam untuk kejang neonatus, karena
diazepam yang diberikan dengan fenobarbital akan menaikkan resiko
kolaps vaskuler dan gagal nafas.
8. Dilakukan anamnesis mengenai keadaan bayi untuk mencari factor
penyebab kejang(perhatikan riwayat kehamilan, persalinan dan
kelahiran) :
- Apakah kemungkinan bayi dilahirkan oleh ibu dengan penyakit
diabetes mellitus;
- Apakah kemungkinan bayi premature;
- Apakah kemungkinan bayi mengalami asfiksia;
- Apakah kemungkinan ibu bayi pengidap/menggunakan bahan
narkotika;
9. Bila kejang sudah teratasi, diambil bahan untuk pemeriksaan
laboratorium untuk mencrai factor penyebab kejang, misalnya :
- Darah tepi
- Elektrolit darah
- Gula darah
- Kimia darah (kalsium, magnesium)
- Kultur darah
- Pemeriksaan TORCH, dan lain-lain
10. Bila ada kecurigaan kearah sepsis, dilakukan pemeriksaan pungsi lumbal
11. Obat diberikan sesuai hasil penilaian ulang

Perawatan lanjut kejang :


1. Amati bayi untuk melihat kemungkinan kejang berulang, khususnya cari
kejang suble
2. Bila kejang berulang dalam waktu 2 hari, beri fenobarbital 5
mg/kgbb/hari per oral, sampai batas kejang selama 7 hari. Bila kejang
berulang setelah 2 hari bebas kejang, ulangi pengobatan seperti
manajemen awal kejang.
3. Lanjutkan pemberian cairan IV :
- Batasi volume cairan sampai dengan 60mL/kg/hari pada hari
pertama
- Monitor diuresis
- Bila bayi kencing kurang dari 6 kali/hari, atau tidak ada produksi
urine sama sekali, jangan menambah cairan pada hari berikutnya
- Bila jumlah urine mulai meningkat, naikkan volume cairan IV
4. Berikan perawatan umum untuk bayi
- Hindarkan stimulasi suara dna memegang bayi yang berlebihan
- Pegang dan gerakan bayi dengan pelan untuk menghindarkan trauma
karena tonus ototnya masih lemah
- Jelaskan pada ibu bahwa fenobarbital dapat menyebabkan bayi
mengantuk untuk beberapa hari.
5. Bila bayi sudah 3 jam tidka kejang, dianjurkan menyusu ASI. Bila bayi
tidak mau menyusu ASI, beri ASI peras dengan menggunakan salah satu
alternative cara pemberian minum
6. Bila bayi mendapat fenobarbital setiap hari :
- Lanjutkan fenobarbital sampai 7 hari setelah kejang yang terakhir
- Bila fenobarbital sudah dihentikan, lanjutkan amati sampai 3 hari
berikutnya
7. Jelaskan pada ibu bahwa bila kejnag sudah berhenti dan bayi dapat
minum smapai umur 7 hari, kemungkinan bayi akan sembuh sempurna
8. Anjurkan ibu untuk memegang dan mengelus bayinya untuk membantu
mengurangi iritabel
9. Bila bayi mendapat fenobarbital setiap hari:
- Nilai pemberian minumnya, bantu untuk menemukan cara yang
paling baik untuk memberi minum bila bayi tidak dapat menyusu.
Bila bayi minum pelan sekali, anjurkan ibu untuk menyusui sering
sekali
- Bila kondisi bayi tidak membaik setelah 1 minggu, (bayi berlanjut
menjadi letargis, tidak mau menyusu atau malas minum, atau masih
kejang), kemungkinan bayi menderita kerusakan otak yang berat dan
akan merupakan masalah jangka panjang (Sudarti, 2012).

VII. Komplikasi
1. Kejang pada neonatus sering berhubungan dengan penyakit yang berat
dan memerlukan penanganan yang lebih spesifik.
2. Kejang pada neonatus memerlukan intervensi khusus seperti pemberian
bantuan nutrisi dan respirasi yang berhubungan dengan penyakit yang
bersangkutan.
3. Harus berhati-hati karena pada keadaan tertentu, kejang pada neonatus
dapat mengakibatkan kelainan otak
4. Kejang yang terjadi terus-menerus menyebabkan hipoksia serebral
progresif, perubahan aliran darah otak, edema cerebral dan asidosis
laktat. Perubahan tersebut tampak pada pemeriksaan usg dopler dan
spektroskopi resonansi magnetic.
5. Kronik seizures
6. Cedera neurologis ireversible
7.  Mental retardation
8. Cerebral palsy
VIII. Prognosis
Tingginya angka morbiditas dan mortalitas di Antara bayi baru lahir
yang mengalami kejang berkaitan langsung dengan keparahan factor
etiologic yang memiliki keterkaitan erat dengan kerusakan otak permanen.
Asfiksia perinatus, perdarahan intraventrikel yang parah dan malformasi
serebrum khususnya memiliki dampak yang buruk terhadap perkembangan
saraf. Kejang rekuren dari hari pertama kehidupan yang mengganggu
pernafasan dan jadwal makan dikaitkan dengan peningkatan morbiditas,
terutama jika skor Apgar pada menit kelima rendah. EEG yang normal pada
awal kejang berkaitan dengan prognosis yang baik. Sebaliknya, beberapa
pola EEG pada bayi cukup bulan, termasuk spikes multifocal atau proses
iktus, aktivitas latar suppression-burst, dan rekanan iso elektrik biasanya
mengisyaratkan prognosis yang fatal atau kecacatan otak pada lebih dari
90% kasus, (Rudolph, 2007).
Menurut Sifuddin dkk, prognosis kejang pada bayi baru lahir
berhubungan dengan kelinan saraf pusat

KELAINAN SARAF PERKEMBANGAN NORMAL


Hipoksi-ishkemik ensefalopati 50%
Perdarahan subarachnoid primer 90%
Perdarahan intraventrikuler <10%
Hipokalsemia :
- Dini 50%
- Lanjut 80-100%
Hipoglikemia 50%
Meningitis bakterialis 20-50%
Cacat perkembangan 0%

Anda mungkin juga menyukai