Anda di halaman 1dari 9

Nama : Hasanatul Fitriani

NPM:1102019241
Kelas:B
Kelompok:B-2

1. Hipersensitifitas tipe I
a. Definisi
Reaksi hipersensitifitas tipe I adalah suatu reaksi yang terjadi secara cepat atau reaksi
anafilaksis atau reaksi alergi mengikuti kombinasi suatu antigen dengan antibodi yang terlebih
dahulu diikat pada permukaan sel basofilia (sel mast) dan basofil.

b. Mekanisme
1) Fase Sensitisasi, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE
sampai diikatnya oleh reseptor spesifik (Fcε -R) pada permukaan sel mast dan
basofil.
2) Fase Aktivasi, yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan
antigen yang spesifik dan sel mast melepas isinya yang berisikan granul yang
menimbulkan reaksi.
3) Fase Efektor, yaitu waktu terjadi respons yang kompleks (anafilaksis)
sebagai efek mediator-mediator yang dilepas sel mast dengan aktivitas
farmakologik (Baratawidjaja, 2006). Mekanisme alergi, misalnya terhadap
makanan, dapat dijelaskan sebagai berikut. Secara imunologis, antigen protein
utuh masuk ke sirkulasi dan disebarkan ke seluruh tubuh.
Prosesnya adalah sebagai berikut:
· Ketika suatu alergen masuk ke dalam tubuh, pertama kali ia akan terpajan oleh makrofag.
Makrofag akan mempresentasikan epitop alergen tersebut ke permukaannya, sehingga
makrofag bertindak sebagai antigen presenting cells (APC). APC akan mempresentasikan
molekul MHC-II pada Sel limfosit Th2, dan sel Th2 mengeluarkan mediator IL-4
(interleukin-4) untuk menstimulasi sel B untuk berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi
sel Plasma. Sel Plasma akan menghasilkan antibodi IgE dan IgE ini akan berikatan di
reseptor FC-εR di sel Mast/basofil di jaringan. Ikatan ini mampu bertahan dalam beberapa
minggu karena sifat khas IgE yang memiliki afinitas yang tinggi terhadap sel mast dan
basofil. Ini merupakan mekanisme respon imun yang masih normal.
· Namun, ketika alergen yang sama kembali muncul, ia akan berikatan dengan IgE yang
melekat di reseptor FC-εR sel Mast/basofil tadi. Perlekatan ini tersusun sedimikian rupa
sehingga membuat semacam jembatan silang (crosslinking)  antar dua IgE di permukaan
(yaitu antar dua IgE yang bivalen atau multivalen, tidak bekerja jika igE ini univalen). Hal
inilah yang akan menginduksi serangkaian mekanisme biokimiawi intraseluler secara
kaskade, sehingga terjadi granulasi sel Mast/basofil. Degranulasi ini mengakibatkan
pelepasan mediator-mediator alergik yang terkandung di dalam granulnya seperti histamin,
heparnin, faktor kemotaktik eosinofil, danplatelet activating factor (PAF). Selain itu,
peristiwa crosslinking tersebut ternyata juga merangsang sel Mast untuk membentuk
substansi baru lainnya, seperti LTB4, LTC4, LTD4, prostaglandin dan tromboksan.
Mediator utama yang dilepaskan oleh sel Mast ini diperkirakan adalah histamin, yang
menyebabkan kontraksi otot polos, bronkokonstriksi, vasodilatasi pembuluh darah,
peningkatan permeabilitas vaskular, edema pada mukosa dan hipersekresi.

2. Hipersensitifitas tipe II
a. Definisi
Reaksi hipersensitifitas tipe II disebut juga dengan reaksi sitotoksik, atau sitolisis. Reaksi
ini melibatkan antibodi IgG dan IgM yang bekerja pada antigen yang terdapat di permukaan sel
atau jaringan tertentu. Antigen yang berikatan di sel tertentu bisa berupa mikroba atau molekul2
kecil lain (hapten). Ketika pertama kali datang, antigen tersebut akan mensensitisasi sel B untuk
menghasilkan antibodi IgG dan IgM. Ketika terjadi pemaparan berikutnya oleh antigen yang sama
di permukaan sel sasaran, IgG dan IgM ini akan berikatan dengan antigen tersebut. Ketika sel
efektor (seperti makrofag, netrofil, monosit, sel T cytotoxic ataupun sel NK) mendekat, kompleks
antigen-antibodi di permukaan sel sasaran tersebut akan dihancurkan olehnya. Hal ini mungkin
dapat menyebabkan kerusakan pada sel sasaran itu sendiri, sehingga itulah kenapa reaksi ini
disebut reaksi sitotoksik/sitolisis (sito = sel, toksik = merusak, lisis = menghancurkan).
b. Mekanisme

· Proses sitolisis oleh sel efektor. Antibodi IgG/IgM yang melekat dengan antigen sasaran,
jika dihinggapi sel efektor, ia (antibodi) akan berinteraksi dengan reseptor Fc yang terdapat
di permukaan sel efektor itu. Akibatnya, sel efektor melepaskan semacam zat toksik yang
akan menginduksi kematian sel sasaran. Mekanisme ini disebut ADCC (Antibody
Dependent Cellular Cytotoxicity).

· Proses sitolisis oleh komplemen. Kompleks antigen-antibodi di permukaan sel sasaran


didatangi oleh komplemen C1qrs, berikatan dan merangsang terjadinya aktivasi komplemen
jalur klasik yang akan berujung kepada kehancuran sel.

· Proses sitolisis oleh sel efektor dengan bantuan komplemen. Komplemen C3b yang
berikatan dengan antibodi akan berikatan di reseptor C3 pada pemukaan sel efektor. Hal ini
akan meningkatkan proses sitolisis oleh sel efektor.

3. Hipersensitifitas tipe III


a. Definisi
Reaksi hipersensitivitas tipe III atau yang disebut juga reaksi kompleks imun adalah reaksi
imun tubuh yang melibatkan kompleks imun yang kemudian mengaktifkan komplemen sehingga
terbentuklah respons inflamasi melalui infiltrasi masif neutrofil.
b. Mekanisme

Prosesnya adalah sebagai berikut:


Seperti tipe yang lainnya, ketika antigen pertama kali masuk, ia akan mensensitisasi
pembentukan antibodi IgG dan IgM yang spesifik. Ketika pemaparan berikutnya oleh antigen yang
sama, IgG dan IgM spesifik ini akan berikatan dengan antigen tersebut di dalam serum
membentuk ikatan antigen-antibodi kompleks. Kompleks ini akan mengendap di salah satu tempat
dalam jaringan tubuh (misalnya di endotel pembuluh darah dan ekstraseluler) sehingga
menimbulkan reaksi inflamasi. Aktifitas komplemen pun akan aktif sehingga dihasilkanlah
mediator-mediator inflamasi seperti anafilatoksin, opsonin, kemotaksin, adherens imun dan kinin
yang memungkinkan makrofag/sel efektor datang dan melisisnya. Akan tetapi, karena kompleks
antigen antibodi ini mengendap di jaringan, aktifitas sel efektor terhadapnya juga akan merusak
jaringan di sekitarnya tersebut. Inilah yang akan membuat kerusakan dan menimbulkan gejala
klinis, dimana keseluruhannya terjadi dalam jangka waktu 2-8 jam setelah pemaparan antigen
yang sama untuk kedua kalinya.
Jika komplemen diikat, anafilaktoksin akan dilepaskan sebagai hasil pemecahan C3 dan C5
dan menyebabkan pelepasan histamin serta perubahan permeabilitas pembuluh darah. Faktor-
faktor kemotaktik juga dihasilkan, ini menyebabkan → pemasukan leukosit-leukosit PMN yang
mulai menfagositosis kompleks-kompleks imun. Deretan reaksi diatas juga mengakibatkan →
pelepasan zat-zat ekstraselular yang berasal dari granula-granula polimorf yakni;
· enzim-enzim proteolitik (termasuk kolagenase dan protein-protein netral),
· enzim-enzim pembentukan kinin protein-protein polikationik yang meningkatkan
permeabilitas pembuluh darah melalui mekanisme mastolitik atau histamin bebas.
Hal ini akan merusak jaringan setempat dan memperkuat reaksi peradangan yang
ditimbulkan. Kerusakan lebih lanjut dapat disebabkan oleh reaksi lisis dimana C5-6-7 yang telah
diaktifkan menyerang sel-sel disekitarnya dan mengikat C8-9. Dalam keadaan tertentu, trombosit
akan menggumpal dengan dua konsekuensi, yaitu menjadi sumber yang menyediakan zat-zat
amina vasoaktif dan juga membentuk mikrotrombi yang dapat mengakibatkan iskemia setempat.

4. Hipersensitifitas tipe 4
a. Definisi

Merupakan hipersensitivitas tipe lambat yang dikontrol sebagian besar oleh reaktivitas sel T
terhadap antigen. Reaksi hipersensitivitas tipe IV telah dibagi dalam DTH yang terjadi melalui sel
CD4+ dan T Cell Mediated Cytolysis yang terjadi melalui sel CD8+ .
b. Mekanisme

· Fase sensitasi
Membutuhkan waktu 1-2 minggu setelah kontak primer dengan antigen. Th diaktifkan oleh
APC melalui MHC-II. Berbagai APC (sel Langerhans/SD pada kulit dan makrofag) menangkap
antigen dan membawanya ke kelenjar limfoid regional untuk dipresentasikan ke sel T sehingga
terjadi proliferasi sel Th1 (umumnya).

· Fase efektor
Pajanan ulang dapat menginduksi sel efektor sehingga mengaktifkan sel Th1 dan melepas
sitokin yang menyebabkan :
- Aktifnya sistem kemotaksis dengan adanya zat kemokin (makrofag dan sel inflamasi).
Gejala biasanya muncul nampak 24 jam setelah kontak kedua.
- Menginduksi monosit menempel pada endotel vaskular, bermigrasi ke jaringan sekitar.
- Mengaktifkan makrofag yang berperan sebagai APC, sel efektor, dan menginduksi sel
Th1 untuk reaksi inflamasi dan menekan sel Th2.

Mekanisme kedua reaksi adalah sama, perbedaannya terletak pada sel T yang teraktivasi.
Pada Delayed Type Hypersensitivity Tipe IV, sel Th1 yang teraktivasi dan pada T Cell Mediated
Cytolysis, sel Tc/CTL/ CD8+ yang teraktivasi.
Granuloma terbentuk pada : TB, Lepra, Skistosomiasis, Lesmaniasis dan Sarkoidasis.

5. Tata laksana dan pencegahan


a. Tata laksana
Tata laksana alergi obat adalah menghindari faktor yang menimbulkan gejala,
mengobati reaksi secara benar dan cara-cara khusus seperti threating through, tes dosing,
desensitisasi dan pramedikasi terhadap obat-obat tertentu.

Imunoterapi
Meskipun disarankan untuk rinitis alergi, injeksi imunoterapi subkutan atau injeksi tidak disarankan
sebagai terapi alergi makanan. Walaupun begitu, saat ini dilakukan berbagai penelitian mengenai
imunoterapi yang diberikan melalui jalur oral, sublingual, atau epikutan (patch). Imunoterapi
melalui jalur epikutan memberikan hasil toleransi yang memuaskan, meskipun menimbulkan efek
samping lokal pada kulit yang bersentuhan dengan patch.

b. Pencegahan
Hindari alergen,olahraga,gunakan pelindung (masker).

6. Antihistamin dan Kortikosteroid


A. Antihistamin
Antihistamin atau antagonis histamin adalah zat yang mampu mencegah pelepasan atau
kerja histamin. Ada banyak golongan obat yang termasuk dalam antihistamin, yaitu antergan,
neontergan, difenhidramin, dan tripelenamin yang efektif untuk mengobati edema, eritem, dan
pruritus, dan yang baru ini ditemukan adalah burinamid, metiamid, dan simetidin untuk
menghambat sekresi asam lambung akibat histamin. Ada 2 jenis antihistamin, yaitu Antagonis
reseptor H1 (AH1) dan Antagonis reseptor H2 (AH2).

1). Antagonis reseptor H1 (AH1)


a. Farmakodinamik :
AH1 menghambat efek histamin pada pembuluh darah, bronkus, bermacam otot polos,
selain itu AH1 bermanfaat untuk mengobati reaksi hipersensitivitas atau keadaan lain
yang disertai penglepasan histamin endogen berlebihan.
b. Farmakokinetik :
Efek yang ditimbulkan dari antihistamin 15-30 menit setelah pemberian oral dan
maksimal setelah 1-2 jam. Lama kerja AH1 umumnya 4-6 jam. Kadar tertinggi
terdapat pada paru-paru sedangkan pada limpa, ginjal, otak, otot, dan kulit kadarnya
lebih rendah. Tempat utama biotransformasi AH1 ialah hati. AH1 disekresi melalui
urin setelah 24 jam, terutama dalam bentuk metabolitnya
c. Indikasi :
AH1 berguna untuk pengobatan simtomatik berbagai penyakit alergi dan mencegah
atau mengobati mabuk perjalanan.
d. Efek samping :
Efek samping yang paling sering adalah sedasi. Efek samping yang berhubungan
dengan AH1 adalah vertigo, tinitus, lelah, penat, inkoordinasi, penglihatan kabur,
diplopia, euforia, gelisah, insomnia, tremor, nafsu makan berkurang, mual, muntah,
keluhan pada epigastrium, konstipasi atau diare,mulut kering, disuria, palpitasi,
hipotensi, sakit kepala, rasa berat, dan lemah pada tangan.

2). Antagonis reseptor H2 (AH2)


Antagonis reseptor H2 bekerja menghambat sekresi asam lambung. Antagonis reseptor H2 yang ada
dewasa ini adalah simetidin, ranitidin, famotidine, dan nizatidin.

1. Simetidin dan Ranitidin


a. Farmakodinamik :
Simetadin dan ranitidin menghambat reseptor H2 secara selektif dan reversible.
Kerjanya menghambat sekresi asam lambung. Simetadin dan ranitidin juga
mengganggu volume dan kadar pepsin cairan lambung.
b. Farmakokinetik :
Absorpsi simetidin diperlambat oleh makan, sehingga simetidin diberikan bersama
atau segera setelah makan dengan maksud untuk memperanjang efek pada periode
pasca makan. Ranitidin mengalami metabolisme lintas pertama di hati dalam jumlah
cukup besar setelah pemberian oral. Ranitidin dan metabolitnya diekskresi terutama
melalui ginjal, sisanya melalui tinja.
c. Indikasi :
Efektif untuk mengtasi gejala akut tukak duodenum dan mempercepat
penyembuhannya. Selain itu, juga efektif untuk mengatasi gejala dan mempercepat
penyembuhan tukak lambung. Dapat pula untuk gangguan refluks lambung-esofagus.
d. Efek samping :
Efek sampingnya rendah, yaitu penghambatan terhadap resptor H2, seperti nyeri
kepala, pusing, malaise, mialgia, mual, diare, konstipasi, ruam, kulit, pruritus,
kehilangan libido dan impoten.

2. Famotidin
a. Farmakodinamik :
Famotidin merupakan AH2sehingga dapat menghambat sekresi asam lambung pada
keadaan basal, malam, dan akibat distimulasi oleh pentagastrin. Famotidin 3 kali lebih
poten daripada ramitidin dan 20 kali lebih poten daripada simetidin.
b. Farmakokinetik :
Famotidin mencapai kadarpuncak di plasma kira kira dalam 2 jam setelah penggunaan
secara oral, masa paruh eliminasi 3-8 jam. Metabolit utama adalah famotidin-S-oksida.
Pada pasien gagal ginjal berat masa paruh eliminasi dapat melibihi20 jam.
c. Indikasi :
Efektifitas pbat ini untuk tukak duodenum dan tukak lambung, refluks esofagitis, dan
untuk pasiendengan sindrom Zollinger-Ellison.
d. Efek samping :
Efek samping ringan dan jarang terjadi, seperti sakit kepala, pusing, konstipasi dan
diare, dan tidak menimbulkan efek antiandrogenik.

3. Nizatidin
a. Farmakodinamik :
Potensi nizatin daam menghambat sekresi asam lambung.
b. Farmakokinetik :
Kadar puncak dalam serum setelah pemberian oral dicapai dalam 1 jam, masa paruh
plasma sekitar 1,5 jam dan lama kerja sampai dengn 10 jam, disekresi melalui ginjal.
c. Indikasi :
Efektifitas untuk tukak duodenum diberikan satu atau dua kali sehari selama 8
minggu, tukak lambung, refluks esofagitis, sindrom Zollinger-Ellion.
d. Efek samping :
Efek samping ringan saluran cerna dapat terjadi, dan tidak memiliki efek
antiandrogenik.

B. Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah suatu kelompok hormon steroid yang dihasilkan di kulit kelenjar
adrenal. Hormon ini berperan pada banyak sistem fisiologis pada tubuh, misalnya tanggapan
terhadap stres, tanggapan sistem kekebalan tubuh, dan pengaturan inflamasi, metabolisme
karbohidrat, pemecahan protein, kadar elektrolit darah, serta tingkah laku. Kortikosteroid bekerja
dengan mempengaruhi kecepatan sintesis protein. Molekul hormon memasuki sel melewati
membran plasma secara difusi pasif.

a. Farmakodinamik :
- Kortikosteroid mempengaruhi metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak.selain itu juga
mempengaruhi fungsi sistem kardiovaskular, ginjal, otot lurik, sistem saraf dan organ lain.
- Dalam klinik umumnya kortikosteroid dibedakan menjadi dua golongan besar yaitu
glukokortikoid dan mineralokortikoid.
1. Efek utama glukokortikoid ialah pada penyimpanan glikogen hepar dan efek anti-
inflamasi, sedangkan pengaruhnya pada keseimbangan air dan elektrolit kecil.
2. Efek pada mineralokortikoid ialah terhadap keseimbangan air dan elektrolit,
sedangkan pengaruhnya pada penyimpanan glikogen hepar sangat kecil.
- Sediaan kortikosteroid dapat dibedakan menjadi 3 golongan berdasarkan massa kerjanya.
1. Sediaan kerja singkat mempunyai masa paruh biologis kurang dari 12 jam.
2. Sediaan kerja sedang mempunyai masa paruh biologis antara 12-36 jam.
3. Sediaan kerja lama mempunyai masa paruh biologis lebih dari 36 jam.

b. Farmakokinetik
Perubahan struktur kimia sangat mempengaruhi kecepatan absorpsi, mulai kerja dan lama
kerja karena juga mempengaruhi afinitas terhadap reseptor dan ikatan protein.
Glukokortikoid dapat di absorpsi melalui kulit, sakus konjungtiva dan ruang sinovial.
Penggunaan jangka panjang atau pada daerah kulit yang luas dapat menyebabkan efek sistematik,
antara lain supresi korteks adrenal.

c. Indikasi
Dari pengalaman klinis diajukan 6 prinsip yang harus diperhatikan sebelum obat ini digunakan :
- Untuk tiap penyakit pada tiap pasien, dosis efektif harus ditetapkan dengan trial dan
error dan harus di evaluasi dari waktu ke waktu sesuai dengan perubahan penyakit.
- Suatu dosis tunggal besar kortikosteroid umumnya tidak berbahaya.
- Penggunaan kortikosteroid untuk beberapa hari tanpa adanya kontraindikasi spesifik,
tidak membahayakan kecuali dengan dosis sangat besar.
- Bila pengobatan diperpanjang sampai 2 minggu atau lebih dari hingga dosis melebihi
dosis substisusi, insidens efek samping dan efek letal potensial akan bertambah.
- Kecuali untuk insufisiensi adrenal, penggunaan kortikosteroid bukan merupakan terapi
kausal ataupun kuratif tetapi hanya bersifat paliatif karena efek anti-inflamasinya.
- Penghentian pengobatan tiba-tiba pada terapi jangka panjang dengan dosis besar,
mempunyai risiko insufisiensi adrenal yang hebat dan dapat mengancam jiwa pasien.

d. Kontraindikasi :
Sebenarnya sampai sekarang tidak ada kontraindikasi absolut kortikosteroid. Pemberian
dosis tunggal besar bila diperlukan selalu dapat dibenarkan, keadaan yang mungkin dapat
merupakan kontraindikasi relatif dapat dilupakan, terutama pada keadaan yang mengancam jiwa
pasien.
Bila obat akan diberikan untuk beberapa hari atu beberapa minggu, kontraindikasi relatif
yaitu diabetes melitustukak peptik/duodenum, infeksi berat, hipertensi atau gangguan sistem
kardiovaskular lainnya.

e. Efek samping :
- Efek samping dapat timbul karena peenghentian pemberian secara tiba-tiba atau
pemberian terus-menerus terutama dengan dosis besar.
- Pemberian kortikosteroid jangka lama yang dihentikan tiba-tiba dapat menimbulkan
insifisiensi adrenalm akut dengan gejala demam, malgia, artralgia dan malaise.
- Komplikasi yang timbul akibat pengobatan lama ialah gangguan cairan dan elektrolit,
hiperglikemia dan glikosuria, mudah mendapat infeksi terutama tuberkulosis, pasien
tukak peptik mungkin dapat mengalami pendarahan atau perforasi, osteoporosis dll.
- Alkalosis hipokalemik jarang terjadi pada pasien dengan pengobatan derivat
kortikosteroid sintetik.
- Tukak peptik ialah komplikasi yang kadang-kadang terjadi pada pengobatan dengan
kortikosteroid. Sebab itu bila bila ada kecurigaan dianjurkan untuk melaakukan
pemeriksaan radiologik terhadap saluran cerna bagian atas sebelum obat diberikan.
8. perspektif Islam terhadap Alergi obat
Maslahah :
Kitab al-Mustashfa, Imam al-Ghazali mengemukakan penjelasan tentang al-maslahah yaitu:
“Pada dasarnya al-maslahah adalah suatu gambaran untuk mengabil manfaat atau menghindarkan
kemudaratan, tapi bukan itu yang kami maksudkan, sebab meraih manfaat dan menghindarkan
kemudaratan terseut bukanlah tujuan kemasalahatan manusia dalam mencapai maksudnya. Yang
kami maksud dengan maslahah adalah memelihara tujuan syara.
Ungkapan al-Ghazali ini memberikan isyarat bahwa ada dua bentuk kemaslahatan, yaitu
1. Kemasalahatan menurut manusia, dan
2. Kemaslahatan menurut syari’at.

Dalam sebuah riwayat dari Abu Hurairah dikisahkan bahwa seorang Anshar terluka di
perang Uhud. Rasulullah pun memanggil dua orang dokter yang ada di kota Madinah, lalu
bersabda, “Obatilah dia.”
Dalam riwayat lain ada seorang sahabat bertanya,”Wahai Rasulullah, apakah ada kebaikan
dalam ilmu kedokteran?” Rasullah menjawab, “Ya,”
Begitu pula yang diriwayatkan dari Hilal bin Yasaf bahwa seorang lelaki menderita sakit di
zaman Rasulullah. Mengetahui hal itu, beliau bersabda, “Panggilkan dokter.” Lalu Hilal bertanya,
“Wahai Rasulullah, apakah dokter bisa melakukan sesuatu untuknya?” “Ya,” jawab beliau. (HR
Ahmad dalam Musnad: V/371 dan Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf: V/21)
Hilal meriwayatkan bahwa Rasulullah mnjenguk orang sakit lalu bersabda, “Panggilkan
dokter!” kemudian ada yang bertanya, “Bahkan engkau mengatakan hal itu, wahai Rasulullah?”
“Ya,” jawab beliau.
Berdasarkan pemaparan di atas, tampak jelas bagaimana Rasulullah menganjurkan kita
untuk berobat dan berusaha menggunakan ilmu kedokteran yang diciptakan Allah untuk kita. Kita
juga ditekankan agar tidak menyerah pada penyakit karena Rasulullah bersabda, “Seorang mukmin
yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah.” (HR Muslim (34) dan
Ahmad: II/380)

Anda mungkin juga menyukai