LP Konstipasi MGG 1
LP Konstipasi MGG 1
I. DEFINISI
Konstipasi adalah buang air besar kurang dari tiga kali perminggu, dengan tinja
keras, kering dan sulit untuk dieliminasi. Konstipasi adalah sebuah gejala, dan bukan
merupakan penyakit (Huang dkk., 2014). Konstipasi merupakan keadaan yang sering
ditemukan pada anak dan dapat menimbulkan masalah sosial maupun psikologis
(Endyarni & Syarif, 2016).
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang sangat diperlukan untuk menegakkan diagnosis
konstipasi dan mencari penyebabnya. Pemeriksaan yang dapat dilakukan antara lain:
Pemeriksaan Diagnostik Hasil
1. Pemeriksaan foto polos abdomen 1. Ada/tidaknya retensi feses, batas
retensi feses, dan kelainan pada tulang
belakang
2. Pemeriksaan rectal toucher 2. Tekanan anus yang rendah dan teraba
adanya distensi rektum oleh massa
feses
3. Pemeriksaan fisik abdomen 3. Mengetahui peristaltik usus normal
atau abnormal
4. Manometri anorektal 4. Peningkatan ambang rangsang
terhadap distensi rektal dan
menurunnya kontraktilitas rektal
VI. PENATALAKSANAAN
a. Penatalaksanaan Medis
Terapi disimpaksi
Bila ada impaksi tinja, dilakukan terapi evakuasi tinja (disimpaksi).
Evakuasi tinja ini perlu dilakukan sebelum terapi rumatan. Dapat dilakukan
dengan obat per oral atau rektal. Program evakuasi tinja biasanya dilakukan
selama 2 sampai 5 hari hingga terjadi evakuasi tinja secara sempurna. Obat
per oral yang dapat digunakan adalah minyak mineral (paraffin liquid) 15 – 30
ml/usia (tahun) dosis maksimum 240ml per hari kecuali pada bayi. Larutan
polietilen glikol (PEG) 20ml/kg/jam maksimum 1000ml/jam diberikan dengan
pipa nasogastrik selama 4 jam per hari. Evakuasi dengan obat per rektal dapat
dilakukan menggunakan enema fosfat hipertonik (3ml/kg 2 kali sehari
maksimal 6 kali enema), enema garam fisiologis (600-1000ml) atau 120 ml
minyak mineral. Pada bayi digunakan supositoria gliserin 2 – 5 ml.
b. Penatalaksanaan Keperawatan
Terapi rumatan
Setelah proses evakuasi tinja berhasil dilakukan, terapi selanjutnya adalah
rumatan yang bertujuan untuk mencegah kekambuhan. Terapi rumatan ini
meliputi intervensi diet, modifikasi perilaku dan pemberian laksatif untuk
menjamin interval defekasi yang normal dengan evakuasi tinja yang
sempurna.
Anak dianjurkan untuk banyak minum air putih dan mengkonsumsi serat.
Buah-buahan seperti pepaya, semangka, bengkuang, dan melon banyak
mengandung serat dan air sehingga dapat digunakan untuk melunakkan tinja.
Serat dan sorbitol banyak terkandung dalam buah prune, pear, dan apel dapat
dikonsumsi dalam bentuk jus sehingga dapat meningkatkan frekuensi defekasi
dan melunakkan tinja. Jumlah serat yang dianjurkan dikonsumsi anak adalah
19 sampai 25 gram/hari. Pada kasus konstipasi dianjurkan mengkonsumsi
serat 25 sampai 38 gram/hari (Jurnalis dkk., 2013).
Komponen penting dalam terapi rumatan adalah modifikasi perilaku dan
latihan berhajat atau toilet training. Segera setelah makan pagi dan malam,
anak dianjurkan untuk buang air besar. Tidak perlu terlalu terburuburu, yang
akan membuat anak semakin tertekan, berilah waktu 10 sampai 15 menit bagi
anak untuk buang air besar. Toilet training yang dilakukan secara teratur akan
mengembangkan refleks gastrokolik dan selanjutnya akan membangkitkan
refleks defekasi (Jurnalis dkk., 2013).
Selain toilet training, latihan dan aktifitas fisik secara teratur membantu
melatih otot-otot yang mengatur defekasi. Aktifitas fisik juga berguna untuk
memperbaiki gerakan usus yang teratur, sehingga membantu feses melewati
anus. Monitor terhadap pola defekasi dan penggunaan obat serta efek samping
dapat diperoleh dari catatan harian yang dibuat oleh orangtua. Salah satu cara
untuk menjaga kepatuhan terapi adalah menstimulasi anak yang telah berhasil
dalam kegiatan ini dengan memberikan hadiah (Jurnalis dkk., 2013).
Pemberian asam palmitat, prebiotik oligosakarida dan whey protein yang
terhidrolisa sebagian dapat melunakkan feses tetapi tidak membuat perbedaan
dalam frekuensi buang air besar. Probiotik seperti Bifidobacterium lactis dan
Lactobacillus reuteri telah terbukti dapat meningkatkan frekuensi buang air
besar setelah pemberian selama 3 sampai 4 minggu (Jurnalis dkk., 2013).
Terapeutik
Edukasi
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian
analgetik, jika perlu
3. Risiko ketidakseimbangan Setelah dilakukan tindakan keperawatan Pemantauan Elektrolit (1.03122)
elektrolit berhubungan diharapkan keseimbangan elektrolit Observasi
dengan ketidakseimbangan meningkat. Kriteria hasil : Keseimbangan - Identifkasi kemungkinan
Elektrolit (L.03021)
cairan penyebab ketidakseimbangan
1. Serum natrium meningkat
elektrolit
2. Serum kalium meningkat
3. Serum klorida meningkat - Monitor kadar eletrolit serum
Endyarni, B., & Syarif, B. H. (2016). Konstipasi Fungsional (Vol. 6). Sari Pediatri.
Greenwald, B. J. (2010). Clinical Practice Guidelines for Pediatric Constipation. Journal of the
7599.2010.00517.x
Huang, R., Ho, S.-Y., Lo, W.-S., & Lam, T.-H. (2014). Physical Activity and Constipation in
Jurnalis, Y., Sarmen, S., & Sayoeti, Y. (2013). Konstipasi pada Anak. Cermin Dunia
Kedokteran.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (1 ed.). DPP
PPNI.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan