Anda di halaman 1dari 33

ASUHAN KEPERAWATAN KELUARGA LANSIA DENGAN

INKONTINENSIA URIN

(Disusun untuk memenuhi tugas askep angkatan semester 6

DOSEN PEMBIMBING :
Ns. Anny Rosiana Masyitoh, M.Kep, Sp.Kep.J

DISUSUN OLEH :

1. Rohmatul Aimah 920173085

2. Satya Devana 920173086

3. Sheila Firdayani 920173087

4. Tri Siswanti 920173089

5. Vina Handayani 920173090

6. Yoga Dzaky M. 920173091

7. Wahyu Khoddriatul K. 920173093

8. Afiyanti Riyana D. 920173142

S1 KEPERAWATAN

FAKULTAS KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KUDUS


2020
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan asuhan keperawatan dengan judul “INKONTINENSIA URIN” telah di


periksa dan di koreksi untuk mendapatkan persetujuan dan pembimbing untuk mengikuti
seminar angkatan pada hari Jumat 3 Juli 2020 tingkat III prodi S1 Keperawatan Semester
6.

Telah disetujui pada

Hari : Selasa

Tanggal : 30 Juni 2020

Disusun Oleh Kelompok 3

1. Rohmatul Aimah 920173085

2. Satya Devana 920173086

3. Sheila Firdayani 920173087

4. Tri Siswanti 920173089

5. Vina Handayani 920173090

6. Yoga Dzaky M. 920173091

7. Wahyu Khoddriatul K. 920173093

8. Afiyanti Riyana D. 920173142

Pembimbing Asuhan Keperawatan

Ns. Anny Rosiana Masyitoh, M.Kep, Sp.Kep.J

(NIDM : 0616087801)
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Inkontinensia urin adalah kondisi abnormal dan lebih banyak mempengaruhi


wanita (perbandingan 2:1) sampai usia 80 tahun. Selanjutnya kejadian ini memiliki
frekuensi yang sama pada wanita dan pria (Flathery, 2013) dalam Perry, 2009. Wanita
lansia, terutama yang telah memiliki anak, biasanya mengalami inkontinensia stress,
yaitu pengeluaran urin involunter yang terjadi saat mereka batuk, bersin, atau
mengangkat benda. Ini terjadi akibat melemahnya otot dasar panggul dan kandung
kemih (detrusor) (Perry, 2011). Penurunan tonus otot dasar panggul menyebabkan
kebocoran urin akibat penekanan (Ulmsten, 1995) dalam Perry, 2011.
Menurut data dari Program Perlindungan Sosial (PPLS) di wilayah Kabupaten
Klaten pada 2015 terdapat 869.474 jiwa penduduk yang berusia lanjut (lansia) bila
dipresentasekan sebanyak 59% dari total penduduk klaten yang berjumlah 1.469.253
jiwa (Chandra, 2015). Prevalensi inkontinensia urin pada wanita kurang lebih 40%,
diantaranya sudah dalam keadaaan cukup parah ketika datang berobat. Survei yang
dilakukan di berbagai Negara Asia didapatkan bahwa prevalensi inkontinensia urin
adalah 14,8% pada wanita dan 6,8% pada pria (Purnomo, 2011).

Inkontinensia urin adalah ketidakmampuan seseorang untuk menahan keluarnya


urin. Keadaan ini dapat menimbulkan berbagai permasalahan, antara lain, masalah
medik, sosial, maupun ekonomi. Masalah medik berupa iritasi dan kerusakan kulit
disekitar kemaluan akibat urin, masalah sosial berupa perasaan malu, mengisolasi diri
dan mengurung diri dirumah. Pemakaian pampers atau perlengkapan lain guna
menjaga supaya tidak selalu basah oleh urin dan memerlukan biaya yang tidak sedikit
sehingga akan menambah masalah ekonomi (Purnomo, 2011). Langkah awal yang
dilakukan untuk menghadapi berbagai masalah yang terjadi pada lansia terutama
dalam menghadapi inkontinensia urin adalah melakukan kegel exercise. Menurut
Lianne McCabe, 2014 (Journal University Health Network Patient Education), kegel
exercise merupakan suatu latihan yang dikembangkan pertama kali oleh Arnold Kegel
pada tahun 1940 yang sangat efektif untuk membantu mempertahankan kekuatan otot
dasar panggul.
Berdasarkan penjabaran di atas, penulis ingin mengetahui lebih lanjut tentang
pengaruh pemberian kegel exercise terhadap penurunan inkontinensia urin pada
lansia.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana konsep keluarga?

2. Bagaimana konsep Lansia?

3. Bagaimana konsep asuhan keperawatan keluarga lansia dengan Inkontinensia Urin?

C. Tujuan

1. mengetahui konsep keluarga

2. mengetahui konsep lansia

3. mengetahui konsep asuhan keperawatan keluarga lansia dengan Inkontinensia Urin


BAB II

Landasan Teori

A. Konsep Keluarga
1. Definisi Keluarga

Keluarga merupakan perkumpulan dua atau lebih individu yang diikat


oleh hubungan darah, perkawinan atau adopsi, dan tiap-tiap anggota keluarga
selalu berinteraksi satu dengan yang lainnya (Mubarak,2010).

Keluarga adalah dua atau lebih dari dua individu yanng bergabung
karena hubungan darah, hubungan perkawinan atau pengangkatan dan mereka
hidup dalam satu rumah tangga, berinteraksi satu sama lain, dan didalam
perannya masing-masing menciptakan serta mempertahankan kebudayaan
(Friedman,2010).

Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari kepala
keluarga dan beberapa orang yang berkumpul serta tinggal disuatu tempat
dibawah satu atap dalam keadaan saling bergantung (Zaidin Ali,2010).

Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat, dan terdiri dari 2 atau
lebih orang yang diikat oleh perkawinan dan adopsi yang hidup dalam satu
atap, dan mempunyai peran masing-masing dalam mempertahankan
kebudayaan, serta saling bergantung satu sama lain.

2. Fungsi Keluarga
Fungsi keluarga menurut Friedman (2010) adalah :
a. Fungsi afektif
b. Fungsi sosialisasi
c. Fungsi reproduksi
d. Fungsi ekonomi
e. Fungsi perawatan keluarga

3. Struktur dan Peran Keluarga

Setiap anggota keluarga mempunyai peran masing-masing, ayah


sebagai pemimpin keluarga, pencari nafkah, pendidik, pelindung/pengayom,
dan pemberi rasa aman kepada anggota keluarga. Ibu sebagai pengurus rumah
tangga, pengasuh, pendidik anak-anak, pelindung keluarga, dan juga sebagai
pencari nafkah tambahan keluarga. Selain itu, sebagai anggota keluarga
masyarakat, anak berperan sebagai pelaku psikososial sesuai dengan
perkembangan fisik, mental, sosial, dan spiritual (Ali,2010).

4. Tugas Keluarga dalam Bidang Kesehatan


Menurut Friedman (2010) mengidentifikasi lima dasar fungsi keluarga
mempunyai tugas dibidang kesehatan yang perlu dipahami dan dilakukan,
meliputi :
a. Mengenal masalah kesehatan keluarga.
b. Memutuskan tindakan kesehatan yang tepat bagi kelurga.
c. Merawat anggota keluarga yang mengalami gangguan
kesehatan.
d. Menciptakan lingkungan yang mendukung kesehatan keluarga.
e. Memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan disekitarnya.

B. Lansia
1. Definisi Lansia

Secara biologis adalah proses penuaan secara terus menerus, yang


ditandai dengan menurunnya daya tahan fisik yaitu semakin rentannya
terhadap serangan penyakit yang dapat menyebabkan kematian
(Wulansari,2011).

Seseorang dikatakan lansia ialah apabila berusia 60 tahun atau lebih,


karena faktor tertentu tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya baik secara
jasmani, rohani, maupun sosail (Nugroho,2012).

Lansia merupakan tahap akhir dri setiap orang. Masa tua merupakan
masa hidup manusia yang terakhir, dimana pada hari ini seseorang akan
mengalami kemunduran fisik, mental, dan sosial secara bertahap sehingga
tidak dapat melakukan tugasnya sehari-hari (tahap penurunan). Penuaan
merupakan perubahan komunikatif pada makhluk hidup, termasuk tubuh,
jaringan dalam sel yang mengalami penurunan kapasitas fungsional. Pada
manusia, penuaan dihubungkan dengan perubahan degeneratif pada kulit,
tulang, jantung, pembuluh drah, paru-paru, saraf, and jaringan tubuh lainnya.
Dengan itu kemampuan regeneratif yang terbatas, mereka lebih rentan terkena
berbagai penyakit, sindroma, dan kesakitan dibandingkan dengan orang
dewasa lain (akholifah,2016)

Lansia adalah proses penuaan, yang ditandai dengan perubahan fisik,


mental, dan sosial. Akibat dari proses penuaan ini lansia mengalami penuaan
untuk memenuhi kebutuhan dasarnya.

2. Proses Penuaan

Menurut Depkes RI (2016) tentang proses menua yaitu :

a. Teori-teori biologi

1) Teori gentik

Menurut teori ini menua telah terprogram secara genetik


untuk spesies-spesies tertentu. Menua terjadi sebagai akibat dari
perubahan biokimia yang diprogram oleh molekul-molekul/DNA
dan setiap sel pada saatnya akan mengalami mutasi sehingga
terjadi perubahan kemampuan fungsional sel.

2) Teori pemakaian dan rusak

Kelebihan usaha dan stress menyebabkan sel-sel tubuh


telah lelah (rusak).

3) Reaksi dan kekebalan sendiri (auto imun theory)

Didalam proses metabolisme tubuh, suatu saat diproduksi


suatu zat khusus. Ada jarinagn tubuh tertentu yang tidak tahan
terhadap zat tersebut sehingga jaringan tubuh menjadi lemah dan
sakit.

4) Teory “Immunology slow virus” (Immunology slow virus theory)

Sistem imun menjadi efektif dengan bertambahnya usia


dan masuknya virus ke dalam tubuh dapat menyebabkan
kerusakan organ tubuh.
5) Teori stress

Menua terjadi akibat hilangnya sel-sel yang biasa


digunakan tubuh. Regenerasi jaringan tidak dapat
mempertahankan kestabilan lingkungan internal, kelebihan usaha
dan stress menyebabkan sel-sel tubuh telah terpakai.

6) Teori radikal bebas

Radikal bebas dapat terbentuk dialam bebas, tidak


stabilnya radikal bebas (kelompok atom) mengakibatkan oksidasi
oksigen bahan-bahan organik seperti karbohidrat dan protein.
Radikal bebas ini dapat menyebabkan sel-sel tidak dapat
regenerasi.

7) Teori rantai silang

Sel-sel yang tua atau usang, reaksi kimianya menyebabkan


ikatan yang kuat, khususnya jaringan kolagen. Ikatan ini
menyebabkan kurangnya elastis, kekacauan dan hilangnya fungsi.

8) Teori program

Kemampuan organisme untuk menetapkan jumlah sel yang


membelah setelah sel-sel tersebut mati.

b. Teori-teori sosial

1) Aktivitas atau kegiatan (Activity theory)

Lansia mengalami penurunan jumlah kegiatan yang dapat


dilakukannya. Teori ini menyatakan bahwa lansia yang sukses
adalah mereka yang aktif dan ikut banyak dalam kegiatan sosial.
Ukuran optimum (pola hidup) dilanjutkan pada cara hidup dari
lansia berupa mempertahankan hubungan antara sistem sosial dan
individu agar tetap steril.

2) Kepribadian berlanjut (Contuity theory)


Dasar kepribadian atau tingkah laku tidak berubah pada
lansia. Paa teori ini menyatakan bahwa perubahan yang terjadi
pada seseorang lansia sangat dipengaruhi oleh tipe personality
yang dimiliki.

3) Teori pembebasan (Disengagement theory)

Teori ini menyatakan bahwa dengan bertambahnya usia,


seseorang secara berangsur-angsur mulai melepaskan diri dari
kehidupan sosialnya. Keadaan ini mengakibatkan interaksi sosial
lanjut usia menurun, baik secara kualitas maupun kuantitas
sehingga sering terjadi kehilangan ganda (implesoss), yaitu
kehilangan peran, hambatan kontak sosial, kekurangannya kontak
komitmen.

3. Klasifikasi Lansia

Menurut Depkes RI (2012) kalsifikasi terdiri dari :

a. Pra lansia yaitu seseorang yang berusia antara 45-59 tahun.

b. Lansia ialah seseorang yang berusia 60 tahun/lebih.

c. Lansia resiko tinggi ialah seseorang yang berusia 60 tahun lebih


dengan masalah kesehatan.

d. Lansia potensial ialahlansia yang mampu melakukan pekerjaan dan


kegiatan yang dapat menghasilkan barang atau jasa.

e. Lansia tidak potensial ialah lansia yang tidak berdaya mencari


nafkah, sehingga hidupnya tergantung pada bantuan orang lain.

4. Perubahan Pada Lansia (Azizah dan Lilik M,2011)

Semakin bertambahnya umur manusia, terjadi proses penuaan secara


degeneratif yang akan berdampak pada perubahan. Perubahan pada diri
manusia, tidak hanya perubahan fisik, tetapi juga kognitif, perasaan, sosial,
dan seksual.

5. Tujuan Pelayanan Kesehatan pada Lansia


Tujuan pelayanan pada lansia menurut Depkes RI (2016) terdiri dari :

a. Mempertahankan derajat kesehatan pada lansia pada taraf yang


setinggi-tingginya.

b. Memelihara kondisi kesehatan dengan aktifitas-aktifitas fisik dan


mental.

c. Mencari upaya semaksimal mungkin agar para lansia yang menderita


suatu penyakit atau gangguan masih dapat mempertahankan
kemandirian yang optimal.

d. Mendampingi dan memberikan bantuan moral dan perhatian pada


lansia yang berada dlam fase terminal sehingga lansia dapat
menghadapi kematian dengan tenang dan bermartabat. Fungsi
pelayanan dapat dilaksanakan pada pusat pelayanan sosial lansia,
pusat informasi pelayanan sosial lansia, dan pusat pengambangan
pelayanan sosial lansia dan pusat pemberdayaan.

6. Tugas Perkembangan Lanjut Usia

Individu dalam setiap tahapan usia memiliki tugas dan perkembangan


yang berbeda, begitu juga dengan usia lanjut. Lansia memiliki tugas
perkembangan untuk mencapai integritas diri yang utuh. Menurut Havighurst
dalam Kozier (2010) ada enam jenis tugas perkembangan yang hartus
dilakukan oleh lansia, yaitu :

a. Menyesuaikan diri dengan kekuatan fisik dan kesehatan tubuh yang


menurun.

b. Menyesuaikan diri dengan masa pensiun dan pendapatan yang


menurun.

c. Menyesuaikan diri dengan kematian pasangan.

d. Membentuk hubungan baik dengan orang seusianya.

e. Mempersiapka kehidupan baru.


f. Melakukan penyesuaian terhadap kehidupan sosial masyarakat
secara santai.

g. Mempersiapkan diri untuk kematiannya.

7. Tugas Perkembangan Keluarga dengan Lansia

Tugas perkembangan keluarga dengan lansia merupakan bagian dari


teori perkembangan keluarga. Menurut Kaakinen, Duff, dan Hanson (2010),
Duvall mendeskripsikan teori perkembangan yang berbeda-beda. Pada
perkembangan keluarga dengan orang lanjut usia memiliki tugas utama ialah
menjaga hubungan dekat diantara kerabat. (Kaakinen, et alb, 2010).

Tugas lain pada tahap perkembangan keluarga dengan orang lanjut


usia ialah menjaga kondisi kesehatan, menjaga keutuhan tempat tinggal, serta
menerima kehilangan orang-orang yang dicintainya (Kaakinen, et, ai, 2010).

C. Inkontinensia Urin
1. Definisi
Inkontinensia urin adalah kondisi yang ditandai oleh defek springter
kandung kemih atau disfungsi neurologis yang menyebabkan hilangnya
control terhadap buang air kecil. Masalah inkontinensia urun ini bukan saja
menimbulkan persoalan fisik melainkan menyebabkan masalah psikologis,
sosial, dan ekonomi sehingga mempengaruhi kualitas hidup lansia
(Amelia.R.2010).,
Inkontinensia urun merupakan keluarnya urin tidak disadari dan pada
waktu yang tidak diinginkan (tanpa memperhatikan frekuensi dan jumlah)
yang mengakibatkan masalah sosial dan higienisitas penderitanya (Juananda.,
dkk., 2017).
Inkontinensia urin adalah pengeluaran urin involunter atau kebocoran
urin yang sangat nyata dan menimbulkan masalah sosial atau higienis
(Karjoyo, dkk. 2017).
Inkontinensisa urin adalah suatu kondisindimana urin keluar secara
tidak sadar dan terus-menerus, sehingga menimbulkan dampak psikologis
sosial, dan pola kebersihan (Hygiene).
2. Etiologi
Secara umum inkontinensia urin disebabkan oleh perubahan pada
anatomi dan fungsi organ kemih lansia, obesitas, menopouse, usia lanjut.
Penambahan berat badan dan tekanan selama hamil dapat menyebabkan
melemahnya otot dasar panggul rusak akibat regangan otot dan jaringan
penunjang serta robekan jalan lahir, sehingga dapat meningkatkan resiko
terjadinya inkontinensia urin khususnya pada wanita karena menurunnya
kadar hormon esterogen pada usia menopouse akan terjadi penurunan tonus
otot vagina dan otot pintu saluran kemih sehingga menyebabkan terjadinya
inkontinensia urin (Moa, dkk. 2017).

3. Klasifikasi
Menurut Cameron (2013) klasifikasi inkontinensia urin ada 2, yaitu :
a. Inkontinensia urin akut
Inkontinensia urin ini terjadi kurang dari 6 bulan dan biasanya
terjadi secara mendadak. Kondisi ini berkaitan dengan penyakit akut
yang diderita dan akan menghilang ketika penyakitnya sudah bisa
ditangani atau sembuh.

b. Inkontinensia urin kronik


Inkontinensia ini terjadi karena kapasitas kandung kemih yang
menurun serta lemahnya kontraksi otot detrusor yang mengakibatkan
kegagalan dalam pengosongan kandung kemih. Inkontinensia urin
kronik dikelompokkan menjadi 4, dinataranya sebagai berikut :

1) Inkontinensia urin tipe setetes


Keadaan ini terjadi karena terdapat tekanan didalam perut,
kelemahan pada otot dibagian dasar panggul, tindakan operasi, dan
esterogen yang menurun. Gejala yang timbul adalah kencing saat
tertawa, batuk, bersin, atau hal-hal yang mengakibatkan tekanan
pada perut. Penanganan yang bisa dilakukan adalah dengan
melakukan senam kegel secara rutin, mengonsumsi obat, atau juga
bisa dilakukan tindakan operasi.
2) Inkontinensia urine tipe fungsional
Inkontinensia ini terjadi karena adanya penurunan fungsi
kognitif dan fisik seperti pada pasien dimensi berat atau adanya
gangguan neurologik dan mobilitas serta gangguan psikologis.
Inkontinensia ini ditandai dengan ketidakmampuan mencapai tonet
untuk berkemih.

3) Inkontinensia urine tipe overflow


Inkontinensia ini terjadi karena otot detrusor pada kandung
kemih melemah sementara isi dalam kandung kemih yang terlalu
banyak sehingga urin mengalir keluar. Gejala yang timbul adalah
rasa tidak puas dalam berkemih, merasa urin masih tersisa di
kandung kemih, urin keluar sedikit dan mengalir pelan.

4) Inkontinensia urine tipe urge


Inkontinensia ini terjadi karena ketidakstabilan kandung kemih
yang menyebabkan otot detrusor bereaksi secara berlebihan. Gejala
yang ditimbulkan adalah tidak mampu menahan berkemih ketika
terasa sensasi ingin berkemih, seing kencing saat malam hari, serta
kencing berulang kali.

4. Tanda dan gejala


Gejala inkontinensia urin yang biasanya terjadi adalah kencing
sewaktu batuk, mengedan, tertawa, bersin, berlari, serta perasaan ingin
kencing yang mendadak, kencing berulang kali, dankencing dimalam hari.
(Moa, dkk, 2017).

5. Patofisiologi
Pada lanjut usia inkontinensia urin berkaitan erat dengan anatomi dan
fisiologi juga dipengaruhi oleh faktor fungsional, psikologis, dan lingkungan.
Pada tingkat yang paling dasar, proses berkemih diatur oleh reflek yang
berpusat dipusat berkemih diserum. Jalur aferen membawa informasi
mengenai volume kandung kemih di medula spinalis (Dormojo, 2000 dalam
Pengisian kandung kemih dilakukan dengan cara relaksasi kandung
kemih melalui penghambatan kerja saraf parasimpatis dan kontraksi leher
kandung kemih yang dipersarafi oleh saraf simpatis serta saraf somatik yang
mempersarafi otot dasar panggul.
Pengosongan kandung kemih melalui persyarafan kolinergik
parasimpatis yang menyebabkan kontraksi kandung kemih, sedangkan
simpatis kandung kemih berkurang jika kortek serebri menekan pusat
penghambatan, akan merangsang timbulnya berkemih. Hilangnya
penghambatan pusat kortikal ini dapat disebabkan karena usia sehingga lansia
sering mengalami inkontinensia urin. Karena dengan kerusakan dapat
mengganggu koordinasi antara kontraksi kandung kemih dan relaksasi uretra
yang mana gangguan kontraksi kandung kemih akan menimbulkan
inkontinensia.

6. Pengkajian
a. Keperawatan
1) Bantuan toileting (avoiding/toileting asisstance)
- Jadwal berkemih, jadwal direkomendasikan disusun untuk
satu hari penuh.
- Latih merubah kebiasaan.
- Promted volding (mengatakan dengan bisikan pada diri
sendiri untuk menahan atau mengatur BAK).

2) Bladder training/ bladder re-education


Bladder training sangat direkomendasikan pada pasien yang
mengalami inkontinensia urge atau Overactive Bladder (OAB) dan
juga bila dilakukan untuk pasien dengan stress inkontinensia.
Latihan yang dilakukan dalam bladder training adalah menunda
berkemih sampai dengan batas waktu yang telah ditentukan untuk
melatih fungsi bladder dalam menampung urin sesuai ukuran
normal.
3) Latihan otot dan panggul
Latihan otot dan dasar panggul sangat berpengaruh dalam
memperbaiki stress inkontinensia. Tujuan latihan ini adalah untuk
meningkatkan kekuasaan otot periuretra dan otot dasar pelvis.
Pasien yang dapat melakukan latihan ini sebaiknya memiliki
beberapa kriteria seperti :
a) Kondisi anatomi normal dan intace.
b) Tidak terdapat organ pelvis prolops.
c) Kekuatan kontraktivitas otot cukup.

b. Penatalaksanaan Medik
1) Terapi obat disesuaikan denganpenyebab inkontinensia. Akibat
diresepkan dengan jika inkontinensia akibat dari inflamasi yang
disebab

kan oleh infeksi bakteri. Obat antikolinergik digunakan untuk memperbaiki


fungsi kandung kemih dan mengobati spasme kandung kemih jika
dicurigai ada ketidakstabilan pada detrusor. Obat antipasmadik
diresepkan untuk hiperrefleksia detrusor aktivitas otot polos kandung
kemih. Esterogen dalam bentuk ora;, topikal, maupun supositoria,
digunakan jika ada vaginitis atrofik. Inkontinensia stress kadang dapat
diterapi dengan obat anti depresan.
2) Terapi perilaku meliputi latihan berkemih, latihan kebiasaan dan waktu
berkemih, penyegaran berkemih, dan latihan otot panggul (latihan kegel).
Pendekatann yang dipilih disesuaikan dengan masalah pasien yang
mendasari. Latihan kebiasaan dan latihan berkemih sangat sesuai untuk
pasien yang mengalami inkontinensia urgensi. Latihan otot panggul
sangat baik digunakan oleh pasien dengan fungsi kognitif yang utuh
yang mengalami inkontinensia stress. Intervensi perilaku umumnya
tidak dipilih untuk pasien yang mengalami inkontinensia sekunder
akibat overflow. Tekhnik tambahan, seperti umpan biologis dan
rangsangan listrik, berfungsi sebagai tambahan pada terapi perilaku.
Latihan kebiasaan, bermanfaat bagi pasien yang mengalami demenstri
atau kerusakan kognitif, mencakup menjaga jadwl berkemih yang tetap
biasanya setiap 2 smpai 4 jam.
3) Spiral dapat diresepkan bagi pasien wanita yang mengalami kelainan
anatomi seperti pralops uterus berak atau relaksasi pelvik. Spiral
tersebut dapat dipakai secara internal, seperti diafragma kontrasepsi,
dan menstabilkan dasar kandung kemih serta uretra, yang mencegah
inkontinensia selama ketegangan fisik.
4) Toileting terjadwal
5) Penggunaan pads
6) Indwelling kateter jika retensi urin tidak dapat dikoreksi secara medik/
pembedahan dan untukkenyamanan klien terakhir.

7. Pemeriksaan Penunjang (Harrina, 2018)


a. Urinalis
b. USG
c. Urodinamik
Pemeriksaan urinalis dapat menilai adanya infeksi saluran kemih
(ISK), proteinuria, hematura, atau glikosuria.

8. Manajement Keperawatan
a. Pengkajian
Proses pengkajian keluarga ditandai dengan pengumpulan informasi
yang terus-menerus keputusan profesional yang mengandung arti terhadap
informasi yang dikumpulkan. Dengan kata lain, data dikumpulkan secara
sistematik meggunakan alat pengkajian keluarga, kemudian diklasifikasikan
dan sianalisis menginterprestasikan artinya (Friedman, 2010).
Berikut adalah bentuk pengkajian keluarga menurut Friedman (2010) :
1) Mengidentifikasi data
a) Nama keluarga
b) Alamat dan telephone
c) Komposisi keluarga
d) Tipe bentuk keluarga
e) Latar belakang kebudayaan
- Pernyataan keluarga atau anggota keluarga mengenai
latar belakangetnik (identifikasi diri) ?
- Bahasa yang digunakan dirumah ? Apakah semua
anggota keluarga berbicara bahasa jawa, Indonesia,
dll.
- Negara asal
- Tempat tinggal keluargaa
- Aktivitas keagamaan, sosial kebudayaan, rekreasi,
pendidikan.
- Kebiasaan diet, dan berpakaian
- Dekorasi rumah
- Keberadaan peran dan struktur kekuasaan keluarga.
- Penggunaan praktisi dan jasa keperawatan kesehatan
keluarga.

2) Identifikasi religius
a) Apakah agama keluarga ?
b) Apakah anggota keluarga berada dalam keyakinan dan
praktik religius mereka ?
c) Sejauh mana keluarga aktif terlibat dalam tempat ibadah ?
d) Apa praktik keagamaan yang diikuti keluarga ?
e) Apa keyakinan dalam nilai keagamaan yang berpusat dalam
kehidupan keluarga ?

3) Status kelas sosial


- Identifikasi kelas sosial keluarga, berdasarkan pada
indikator diatas.
- Status ekonomi
- Siapakah pencari nafkah di dalam keluarga ?
- Apakah keluarga menerima bantuan atau dana
pengganti ?
- Apakah keluarga menganggap pendapatan mereka
memadai ?

4) Mobilitas kelas sosial


5) Tahap perkembangan keluarga
a) Tahap perkembangan keluarga saat ini
Tahap perkembangan keluarga saat ini adalah
keluarga dengan lansia
b) Sejauh mana keluarga memenuhi tugas perkembangan
yang sesuai dengan tahap perkembangan saat ini :
- Menjaga kkondisi kesehatan
- Menjaga kebutuhan tempat tinggal
- Menerima kehilangan orang-orang yang dicintainya.
c) Riwayat keluarga dari lahir hingga saat ini, termasuk
riwayat perkembangan dan kejadian serta pengalaman
kesehatan yang unik atau berkaitan dengan kesehatan
(perceraian, kematian, kehhilangan, dll.) yang terjadi
dalam kehidupan keluarga (gunakan genogram untuk
mengumpulkan data inti).
d) Keluarga asal kedua orang tua (seperti apa kehidupan
asalnya : hubungan masa silam dan saat dengan orang
tua (nenek-nenek) dari orang tua mereka).

6) Data lingkungan
Data lingkungan keluarga meliputi seluruh alam kehidupan
keluarga. Mulai dari pertimbangan area yang terkecil seperti aspek
dalam rumah hingga komunitas yang lebih besar tempat, keluarga
tunggal.
a) Karakteristik rumah
- Uraikan tipe tempat tinggal (rumah, apartemen, sewa
kamar, dll.).Apakah keluarga memiliki rumah sendiri
atau menyewa rumah ?
- Uraikan kondisi rumah (baik interior maupun eksterior
rumah ). Interior rumah meliputi jumlah ruang dan
jenis ruang (ruang tamu, ruang tidur, dll.).
penggunaan ruang-ruang tersebut dan bagaimana
ruang tersebut diatur. Bagaimana kondisi dan
kecukupan perabot ?. Apakah lantai, tangga,
pemagaran, dan struktur lainnya dalam kondisi yang
memadai ?
b) Didapur, amati suplai air minum sanitasi dan adekuasi lemari
es ?
c) Dikamar mandi, amati sanitasi air, fasilitas toilet, ada
tidaknya sabun, dan handuk ?
d) Kaji pengaturan tidur dirumah, apakah pengaturan tersebut
memadai bagi para anggota keluarga dengan pertimbangan
usia mereka, hubungan, dan kebutuhan khusus lainnya.
e) Amati keadaan rumah kebersihan dan sanitasi rumah.
f) Identifikasi unit teritorial keluarga.
g) Evaluasi pengaturan privasi dan bagaimana perasaan
keluarga menjadi adejulasi privasi.
h) Evaluasi ada atau tidak adanya bahaya keamanan.
i) Evaluasi adekulasi pembuangan sampah.
j) Kaji perasaan puas/tidak puas terhadap penataan rumah

7) Karakteristik lingkungan sekitar dan komunitas yang lebih besar.


a) Karakteristik dari lingkungana sekitar dan komunitas
(Tipe lingkungan, tipe tempat tinggal, kondisi hunian,
sanitasi jalan raya, masalah kemacetan lalu lintas, jenis
industri dilingkungan, maslalah polusi udara, sungai, suara).
b) Karakteristik demografi dari lingkungan dan komunitas
(Karakteristik etnik, dan kelas sosial penghuni, pekerjaan,
hobi, kepribadian, populasi, perubahan demografi baru-baru
ini).
c) Pelayanan kesehatan dan pelayanan dasar apa yang ada
dalam komunitas ?
(Fasilitas pemasaran, instruksi kesehatan, lembaga pelayanan
sosial, pelayanan tempat suci otomatis untuk kebutuhan
keluarga, tempat beribadah keluarga).
d) Kemudahan akses sekolah dan komunitas serta kondisi
sekolah.
e) Fasilitas rekreasi
f) Tersedianya transportasi umum.
g) Insiden kejahatan

8) Mobilitas geografis keluarga


(Lama keluarga tinggal dalam lingkungan tersebut, riwayat
mobilitas geografis keluarga).

9) Asosiasi transaksi keluarga dengan komunitas


(Anggota keluarga yang menggunakan pelayanan komunitas
atau lembaga pelayanan apa yang dikenal komunitas, jumlah
penggunaan pelayanan, wilayah yang sering dikunjungi,
bagaimana cara keluarga memandang komunitasnya).

10) Struktur keluarga


a) Pola komunikasi
(Frekuensi komunikasi antar keluarga, pesan-pesan
emosional (efektif) disampaikan didalam keluarga dan sub
sistem keluarga).
b) Struktur kekuasaan
(Siapa yang mengambil keputusan).
c) Struktur peran
(posisi dan peran, penerimaan terhadap peran formal,
peran informasi yang terdapat dikeluarga, tujuan peran-peran
yang terdapat dikeluarga, orang yang menjadi model yang
mempengaruhi seorang anggota keluarga dalam hidup).
d) Nilai keluarga
(Kesetiaan antara nilai keluarga dan kelompok rujukan
keluarga, kesesuaian antara keluarga dan nilai masing-
masing).

11) Fungsi Keluarga


a) Fungsi afektif
- Saling asuh, keakraban, dan identifikasi.
- Keterpisahan dan ketertarikan.
- Pola kebutuhan-respons keluarga.
b) Fungsi sosialisasi
- Kaji praktik keluarga dalam membesarkan anak dan isu
berikut.
- Kaji seberapa adaptif praktik keluarga.
- Penerima tanggung jawab untuk peran membesarkan anak.
- Sikap menghargai anak-anak.
- Keyakinan buadya apa yang mempengaruhi.
- Faktor sosial yang mempengaruhi pola asuh anak.
- Kaji resiko dlam mengasuh anak.
c) Fungsi perawatan kesehatan
- Keyakinan, niali, dan perilaku kesehatan.
- Tingkat pengetahuan keluarga tentang sehat-sakit.
- Status kesehatan keluarga dan kerentanan terhadap sakit
yang dirasa.
- Praktik diet keluarga.
- Kebiasaan tidur dan istirahat.
- Praktik aktivitas fisik dan rekreasi.
- Praktik penggunaan obat.
- Peran keluarga dalam praktik keperawatan diri.
- Tindakan pencegahan secara medis.
- Terapi komplementer dan alternatif.
- Riwayat kesehatan keluarga.
- Layanan perawatan kesehatan diterima.
- Perasaan dalam persepsi mengenai pelayanan kesehatan.
- Pelayanan kesehatan darurat.
- Sumber pembayaran.
- Logistik untuk mendapatkan perawatan.
d) Stress, koping, dan adaptasi keluarga.
- Stressor, kekuatan, dan persepsi keluarga.
- Strategi kopingkeluarga
- Adaptasi lingkungan
- Melacak stressor, koping, adaptasi sepanjang waktu.

12) Pengkajian fisik


Pada keperawatan keluarga, pengkajian fisik dilakukan
pada semua anggota keluarga, namun pada skep keluarga ini akan
dibahas khusus pada lansia dengan inkontinensia urin.
a) Pengkajian umum dan kemampuan fungsional meliputi
kemampuan fisik klien untuk melakukan mobilisasi,
kesadaran, dan ketangkasan. Metode yang didapat
digunakan untuk menguji klien adalah dengan meminta
klien berjalan dari meja periksa ke tempat tidur, meminta
klien berkemih untuk pemeriksaan spesimen urin.
b) Lakukan pengkajian untuk melihat adanya abnormalitas
yang berpengaruh langsung terhadap UI
c) Pengkajian kekuatan otot pelvis, tujuan pemeriksaan ini
adalah untuk melihat fungsi neuromuskular dan
kemampuan otot dasar panggul yang sangat berperan saat
berkemih. Metode yang digunakan adalah dengan meminta
klien mengkontraksikan dan merilekskan bagian otot dasar
panggul. Pengkajian ini juga dapat dilakukan dengan
komputer yaitu dengan elektomyography dan pemeriksaan
tekanan menggunakan probe yang snsitif dengan
memasukkan probe pada vagina atau rektal dan meminta
klien untuk mengkontraksikan otot dasar panggul kekuatan
normalnya adalah antara 35-42 cm H2O.
d) Pengkajian terhadap kulit sekitar perimeal untuk melihat
adanya lesi atau ekskoriasi terkait dengan seringnya
kebocoran berkemih.
e) Pengkajian rektal, pada wanita kepentingan pengkajian rektal
untuk memvalidasi penyebab terjadinya UI yaitu mengkaji
adanya massa atau tumor. Sedangkan pada laki-laki digital
rektal examination (DRE) berfungsi untuk mengetahui
adanya massa ataupembesaran prostat.

b. Diagnosa keparawatan
1) Ketidakmampuan keluarga mengenal masalah inkontinensia urin.
2) Ketidakmampuan keluarga mengambil keputusan yang tepat untuk
mengatasi penyakit inkontinensia urin.
3) Ketidakmampuan keluarga merawat anggota keluarga dengan
inkontinensia urin.
4) Ketidakmampuan keluarga dalam memelihara atau memodifikasi
lingkungan yang dapat mempengaruhi penyakit inkontinensia urin.
5) Ketidakmampuan keluarga menggunakan fasilitas kesehatan guna
perawatan dan pengobatan inkontinensia urin.

c. Prioritas masalah
Cara memprioritaskan masalah keperawatan keluarga adalah dengan
menggunakan scoring komponen dan prioritas masalah keperawatan
keluarga adalah riteria, bobot, dan pembenaran.
Kriteria prioritas masalah keperawatan keluarga adalah berikut ini,
1) Sifat masalah, kriteria sifat masalah ini dapat ditemukan denga melihat
kategori diagnosis keperawatan. Adapun skornya adalah,diagnosis
keperawatan potensial skor 1 diagnosis keperawatan risiko skor 2, dan
diagnosis keperawatan aktual skor 3.
2) Kriteriakedua,adalah kemungkinan untuk diubah. Kriteria ini dapat
ditentukan dengan melihat pengetahuan, sumberdaya keluarga, sumber
daya perawatanyang tersedia, dan dukungan masyarakatnya. Kriteria
kemungkinan untuk diubah ini sornya terdiri atas, mudah dengan skor
2, sebagian 1, dan tidak dapat dengan skor nol.
3) Kriteria ketiga adalah potensial untuk dicegah. Kriteria inidapat
ditentukan dengan melihat kepelikan masalah, lamanya masalah, dan
tindakan yang sedang dilakukan. sor dari kriteria ini terdiri atas tinggi
skore 3, cukup dengan skor 2, dan rendah dengan skor 1.
4) Kriteria terakhir adalah menonjolnya masalah. Kriteria ini dapat
ditentukan berdasarkan persepsi keluarga dalam melihat masalah.
Penilaian dari kriteria terdiri atas, segera dengan skor 2, tidak perlu
segera skornya 1, dan tidak dirasakan dengan skor 0.
Cara perhitungan sokor adalah sebagai berikut.
1) Tentukan skor dari masing – masing kriteria untuk setiap masalah
keperawatan yang terjadi. Skor yang ditentukan akan dibagi dengan
nilai tertinggi, kemudian dikalikan bobot dari masing – masing kriteria.
Bobot merupakan nilai konstanta dari tiap kriteria daan tidak bisa
diubah(skor/ angka tertinggi x bobot)
2) Jumlahkan skor darimasing – masing kriteria untuk tiap diagnosis
keperawatan keluarga.
3) Sor tertinggi yang diperoleh adalah diagnosis keperawatan keluarga
yang prioritas.
Skor yang dilakukan di tiap – tiap kriteria harus diberikan pembenaran
sebagai justifikasi dari skor yang telah ditentukan oleh perawat, justifikasi
yang diberikan berdasarkan data yang ditemukan oleh perawat, justifikasi
yang diberikan berdasarkan data yang ditemukan dari klien dan keluarga.

Tabel. Skoring prioritas Masalah

NO KRITERIA SKOR BOBOT

1. Sifat masalah 1
Skala:
 Tidak / kurang sehat 3
 Ancaman kesehatan 2

 Keadaan sejahtera 1

2. Kemungkinan Masalah 2
Skala:
 Mudah 2
 Sebagian 1

 Tidak dapat diubah 0

3. Potensial Masalah Dapat 1


dicegah
Skala: 3
 Tinggi
2
 Cukup 1

 Rendah

4 Menonjol Masalah 1
Skala:
 Masalah berat harus 2
ditangani
 Ada masalah tidak 1
perlu ditangani
 Masalah Tidak 0
dirasakan
d. Intervensi Keperawatan

DX TUJUAN KRITERIA EVALUASI INTERVENSI


KEP
UMUM KHUSUS KRITERIA STANDAR

1 Setelah Tujuan khusus:  Kaji tingkat


dilakukan Setelah melakukan pengetahuan
kunjungan kunjungan 1 x 60 pasien dan
diharapkan menit keluarga keluarga
keluarga dapat mencapai: tentang
mampu TUK 1: inkontinensi
mengenal Keluarga mampu a urin
masalah megenal masalah  Beerikan
inkontinensia inkontinensia Urin, informasi
urin. dengan Verbal Keluarga mampu tentang
menyebutkan: menyebutkan pengertian,
a. Pengertian, pengertian, penyebab,
penyebab, penyebab, tanda tanda dan
tanda dan dan gejala dari gejala dari
gejala dari inkontinensia urin. inkontinensi
inkontinensia a urin
urin. Verbal Keluarga  Berikan
termotivasi untuk motivasi dan
mengenal masalah harapan
inkontinensia urin tentang
b. Motivasi kesehatan
keluarga untuk keluarga dan
mengenal pasien
masalah
inkontinensia
urin.

2. Setelah Setelah dilakukan  Memberikan


dilakukan kunjungan 1 x 60 lingkungan
kunjungan menit diharapkan yang nyaman
keluarga keluarga mampu bagi
mampu mengambil keluarga
mengambil keputusan yang untuk pasien
keputusan tepat, dengan: (memberikan
dengan tepat Verbal Keluarga mengerti sprei anti air)
TUK 1: tentang alternatif  Menghindari
a. Memberikan pencegahan faktor
informasi inkontinensia urin. pencetus
tentang  Sarankan
alternatif kepada
pencegahan Keluarga mampu keluarga
dapat diambil Verbal membuat untuk
untuk keputusan apabila membawa
mengatasi pasien mengalami pasien ketika
klien gangguan mengalami
inkontinensia inkontinensia urin masalah
urin kesehatan.
b. Mendiskusikan Keluarga mampu  Beritahu
akibat bila mengambil akibat bila
tidak Verbal keputusan tentang tidak
melakukan tindakan yang mendapat
tindakan diambil pada perawatan
keperawatan anggota keluarga dengan tepat.
untuk yang terkena
mengatasi Inkontinensia
inkontinensia Urin.
urin.
c. Memberikan
kesempatan
untuk
mengambil
keputusan
tentang
tindakan
kesehatan yang
diambil pada
anggota
keluarga yang
terena
inkontinensia
urin.

3. Setelah Setelah melakukan  Latih pasien


dilakukan kunjungan 3 x 60 dan keluarga
kunjungan menit diharapkan tentang kegel
diharapan keluarga keluarga exercise
keluarga mampu melakukan  Sarankan
mampu perawatan kepadakeluar
merawat dengan : Verbal Keluarga mampu ga untuk
pasien TUK1: melakukan batuan
inkontinensia Sarankan atau perawatan secara toileting
urine anjurkan kepada berkala. kepada
keluarga untuk pasien
melaukan Keluarga mampu inontinensia
perawatan secara Verbal melakukan urin
teratur perawatan seperti  Sarankan
yang dicontohkan. kepada
keluarga
TUK 2: untuk
Mendemontrasikan bledder
tekhnik latihan training
perawatan  Ajarkan
senam kegel,
jabarkan
bentuk ADL,
dan ajrkan
Bledder
Training

4. Setelah Setelah dilakukan  Bangun


dilakukan kunjungan 3 x60 hubungan
kunjungan menit diharapkan pribadi
diharapkan keluarga mampu dengan
keluarga memelihara pasien dan
mampu lingkungan Verbal Keluarga mampu anggota
memelihara dengan: memberikan keluarga
lingkungan. TUK 1: semangat pada yang akan
Memberikan penderita untuk terlibat
semangat pada mempengaruhi dalam
penderita terutama kesembuhan. perawatan
yang berasal dari  Identifikasi
keluarga untuk harapan
mempengaruhi Fisiologis Keluarga mampu Keluarga
terhadap proses memodifikasi  Gunakan
penyembuhan lingkungan Alas tempat
dengan baik. tidur anti air.
TUK 2:  Jaga
Modifikasi kebersihan
lingkungan yang tempat tidur
dapat mendukung pasien
proses
penyembuhann
klien

5. Setelah Setelah dilakukan  Kenalkan


dilakukan kunjungan 1 x 60 bentuk –
kunjungan menit diharapan bentuk
diharapkan keluarga mampu pelayanan
keluarga mengenal sumber kesehatan
mampu – sumber Verbal Keluarga mampu  Kenalkan
mengenal pelayanan dengan: mengenalsumber bentuk –
sumber – TUK 1: – sumber bentuk
sumber Memberikan pelayanan pembiayaan
pelayanan informasi sumber kesehatan.  Berikan
– sumber yang motivasi
dapat digunakan kepada
untuk memperoleh Verbal keluarga
pelayanan Keluarga mampu  Berikan
kesehatan. memberikan saran kepada
motivasin kepada keluarga
TUK 2 pasien dan fasilitas
Memberikan keluarga mampu rujukan yang
motivasi agar untuk dapat
eluarga memanfaatkan digunakan.
memanfaatkan sumber – sumber
sumber – sumber yang ada secara
yang ada secara berkesinambungan
berkesinambungan
DAFTAR PUSTAKA

1. Friedman, M. 2010. Buku Ajar Keperawatan Keluarga Riset Teori dan praktik
edisi ke.5. jakarta : EGC
2. Ali, Z. 2010 pengantar keperawatan keluarga. Jakarta : EDC
3. Nugroho, 2012. Keperawatan genetik & gerretrik edisi 8 Jakarta : EGC
4. Kholifah, S. N. 2016. Modul Bahan Ajar cetak Keperawatan Gerontik,
Jakarta: Kemeskes RI pusdik SDM kesehatan.
5. Mubarok, wahit iqbal,et al. 2010. Ilmu keperawatan komunitas: konsep dan
Aplikasi. Jakarta: Salemba Medika
6. Kaakinen, JR. Et al. 2010. Family health care Nursing, Theory Proctios and
research 4th edition. United statesof America, F. A. Davis comparty
7. Kemenkes, RI. 2016. Situasi lanjut usia (lansia) di indonesia infodatim pusat
data dan informasi. Kementerian Kesehatan Republik indonesia ISSN: 2442.
7659
8. Azizah & Lilik, M.201. keperawatan Lanjut Usia Yogyakarta: Graha lumus
9. Kozier. 2010. Buku Ajar Praktik Keperawatan Klinis. Edisi 5 Jakarta, EGC.
10. Amelia, R, 2020. Pravolensi dan Faktor Resiko Inkontinensia Urin pada lansia
panti sosial tuna werdha (PSIW) Sumatra Barat, Healt & Medical jurnal, Vol
11 No 1 Januari 2020.
11. Juananda, Desby., DKK., 2017. Inkontinensia urin pada lanjut usia dipanti
werdha provinsi Riau. Jurnal Kesehatan Melayu, EISSN 2597-74C7
12. Karjoyo, J.D. 2017. Pengaruh Senam Kegel terhadap pengaruh Frekuensi
Inkontinensia urine pada lanjut usia di wilayah kerja puskesmas tumpaan
minehasa selatan. E. Journal Keperawatan (e-kep) volume 5

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Perawatan keluarga yang kompherensif merupakan suatu proses yang rumit,
sehingga memerlukan suatu pendekatan yang logus dan sistematis. Dimana
dalam proses keperawatn keluarga akan relatif berbeda pada fokus
perawatannya.
Perbedaan fokus perawatan tergantung pada konseptualisasi keluarga.
Dalam prakteknya, proses keperawatan keluarga menggunakan dua tingkatan
yaitu, tingkatan ini digunakan untuk mengkaji dan melaksanakan keperawatan
keluarga dengan mengikuti langkah – langkah dalam proses keperawatan
keluarga yaitu pengkajian (pengkajian terhadap keluarga dan pengkajian
anggota keluarga secara individu), indentifikasi masalah keluarga dan individu
(diagnosa keperawatan), rencana perawatan, intervensi dan evaluasi
keperawatan .

B. SARAN
Hal –hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan diagnosis keperawatan :
1. Berorientasi kepada klien, keluarga dan masyarakat
2. Bersifat aktual atau potensial
3. Dapat diatasi dengan intervensi keperawatan
4. Menyatakan masalah kesehatan individu, keluarga dan masyarakat, serta
faktor- faktor penyebab timbulnya masalah tersebut.

Anda mungkin juga menyukai