Gladys Vania Gracia - Hukum Tata Negara
Gladys Vania Gracia - Hukum Tata Negara
Oleh :
Gladys Vania Gracia
2004551168
Reguler Pagi
ISU HUKUM
Memperoleh pelayanan Kesehatan yang tepat dan terbaik adalah hak asasi setiap
manusia namun apa yang terjadi apabila seorang dokter melakukan kesalahan diagnosis pada
pasien? Apa pertanggung jawabannya? Apakah ada hukum yang bisa mengatasi persoalan
tersebut?
1
Dalmy Iskandar, Rumah Sakit, Tenaga Kesehatan dan Pasien, Jakarta: Sinar Grafika, (1998), hlm 2
BAB II
ISI
Kajian Teoritis
a. Definisi Diagnosis
Diagnosis adalah prosedur yang dilakukan oleh dokter untuk mengetahui kondisi
2
pasien. Diagnosis juga diartikan sebagai hasil evaluasi yang telah dilakukan Indikator
diagnostik dilakukan dengan berbagai cara yaitu melalui pemeriksaan fisik, pemeriksaan
laboratorium, dan lain-lain, serta penggunaan teknologi komputer. Dalam proses evaluasi,
program yang dirancang khusus untuk mengetahui penyakit pasien merupakan fungsi utama
dalam mendiagnosis pasien yang telah menjalani beberapa tahapan pemeriksaan mulai dari
pemeriksaan, pemeriksaan fisik hingga pemeriksaan penunjang lainnya. Menurut Pasal 35
ayat (1) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2009 (Tentang Praktik Kedokteran), dokter
(dokter umum, dokter spesialis, dan dokter gigi) yang terdaftar dengan surat tanda
pendaftaran memiliki kewenangan sebagai berikut untuk melaksanakan tugas sesuai
kewenangannya:
o 1)Melakukan interview dengan pasiennya mengenai kondisi pasien tersebut
o 2)Melakukan pemeriksaan fisik mapun mental
o 3)Menimbang apakah pemeriksaan tambahan dibutuhkan atau tidak
o 4)Membacakan diagnose pasien
o 5)Memutuskan jadwal serta metode pemeriksaan pasien
o 6)Melakukan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi
o 7)Menulis resep obat dan alat kesehatan;
o 8)Menerbitkan surat keterangan dokter atau dokter gigi;
o 9)Menyimpan obat dalam jumlah dan jenis yang diizinkan;
o 10)Meracikdan menyerahkan obat kepada pasien, bagi yang praktik di daerah
terpencil yang tidak ada apotik.
b. Kesalahan Diagnosis
Kesalahan diagnosis merupakan kesalahan medis yang terjadi selepas prosedur
diagnosis dan pemeriksaan intensif yang di lakukan terhadap pasien oleh seorang
dokter.3Sedangkan untuk dikategorikan sebagai malpraktik, kelalaian yang dilakukan
seorang dokter dalam melakukan diagnosis harus terlebih dulu di perhatikan apakah dokter
tersebut telah menjalankan tugasnya berdasarkan Standar Profesi yang dimiliknya
Atau bahkan jika dokter yang bersangkutan terbukti melakukan kesalahan dalam
mendiagnosis, tetapi tindakan medik yang dilakukan sesuai dengan peraturan,maka hal
tersebut bukanlah termasuk tindakan malpraktek medik/kelalaian medis.
2
Mulyadi, Diagnosis Kesulitan Belajar & Bimbingan Terhadap Kesulitan Belajar Khusus, (Yogyakarta: Nuha
Litera, 2009), hal. 01
3
Zaeni Asyhadie, Aspek-Aspek Hukum Kesehatan di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Depok, 2017, hlm 68
PEMBAHASAN
Jika terbukti diagnosa dokter salah, ada tindakan medis yang dilakukan sesuai dengan
ketentuan bukan merupakan malpraktek medik / kelalaian medik. Peraturan tersebut antara
lain:
1) Peraturan Perundang-Undangan:
a) Pasal 50 UU NO 29 Tahun 2004 Tentang PraktikKedokteran: -Memperoleh
perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan
standar prosedur operasional. -Memberikan pelayanan medis menurut standar profesi
dan standar proseduroperasional.
b) Pasal 24 ayat 1 UU NO 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan: Tenaga kesehatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 harus memenuhi ketentuan kode etik, standar
profesi, hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan standar
proseduroperasional.
c) Pasal 1 UU No 36 Tahun 2004 Tentang Tenaga Kesehatan Ayat (14):
Standar Prosedur Operasional adalah suatu perangkat instruksi/langkah-langkah yang
dibakukan untuk menyelesaikan proses kerja rutin tertentu dengan memberikan langkah
yang benar dan terbaik berdasarkan konsensus bersama untuk melaksanakan berbagai
kegiatan dan fungsi pelayanan yang dibuat oleh Fasilitas Pelayanan Kesehatan berdasarkan
Standar Profesi.4
2)Kode Etik Kedokteran Indonesia(“KODEKI”):
Pasal 1: Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayatidan mengamalkan
sumpah dokter.
Pasal 2: Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai
dengan standar profesi yang tertinggi.
Pasal 6: Setiap dokter harus senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan dan
menerapkan setiap penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum diuji
kebenarannya dan hal-hal yang dapat menimbulkan keresahan masyarakat.
Pasal 10: Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala
ilmu dan keterampilan nya untuk kepentingan pasien. Dalam hal ini ia tidak mampu
melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, maka atas persetujuan pasien, ia wajib
merujuk pasien kepada dokter yang mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut.
Pasal 11: dokter harus memberikan kesempatan kepada pasien agar senantiasa
dapat berhubungan dengan keluarga dan penasehatnya dalam beribadat dan atau dalam
masalah lainnya.5
4
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2004 Tentang Tenaga Kesehatan Kode Etik Kedokteran Indonesia
(“KODEKI”)
5
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2009 tentang Praktek Kedokteran dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2009 Tentang Kesehatan
Standar Profesi Kedokteran
Dokter harus memenuhi kewajibannya sebagai tenaga kesehatan sesuai dengan
ketiga peraturan di atas, dan dapat disimpulkan bahwa tidak semua kesalahan dalam
perilaku medis dokter diklasifikasikan sebagai kecelakaan medis. 6 Didefinisikan
dalam "Kamus Besar Bahasa Indonesia", standar profesi adalah standar yang diartikan
sebagai keterampilan dasar yang harus dikuasai oleh peserta profesional dalam
melaksanakan tanggung jawabnya kepada masyarakat luas yang secara langsung
dirancang oleh organisasi profesi. Lebih lanjut Bapak Fakih mengemukakan dalam
seminar nasional bahwa jika kondisi berikut ini terjadi maka tidak akan terjadi
kesalahan dalam tindakan sanitasi7:
Resiko dalam pengobatan adalah resiko inheren, resiko akibat reaksi alergi, dan resiko
komplikasi pada tubuh pasien akibat pengobatan.
Kesalahan pemeriksaan klinis
Terjadi kecelakaan medis
Resiko yang sudah diketahui pasien sebelumnya. Resiko ini seringkali besar dan
berbahaya. Kelalaian pasien sendiri.
Saat menentukan kesalahan diagnosis karena malpraktik medis dokter, Anda dapat
menggunakan standar yang telah ditentukan untuk memeriksa:
1) Harus ditentukan apakah dokter yang bersangkutan memenuhi faktor kelalaian,
dalam hal ini dokter perlu bekerja keras untuk memastikan tidak ada kesalahan
diagnosis akibat kesalahan, seperti kesalahan dalam membaca hasil pemeriksaan
pasien.
2) Perilaku dokter dalam menjalankan tugasnya harus sejalan dengan kedokteran. Hal
ini sangat penting dan dapat membuktikan bahwa tingkah laku dokter adalah
penyimpangannya.
3) Keterampilan rata-rata tenaga medis.
4) Terjadi dalam kondisi serupa.
5) Perilaku medis yang diupayakan harus sesuai tujuan perilaku medis.
Ketentuan Hukum Dalam Hal Menuntut Dokter Akibat Kesalahan Diagnosis yang
dilakukannya
a. Tanggung Jawab Etis
Dokter harus mematuhi Kode Etik dan “Sumpah Dokter”, yang mengatur jenis-jenis
pelanggaran etika murni dan pelanggaran etika yang melanggar hukum. Untuk lebih
spesifiknya, berikut ini adalah beberapa contoh pelanggaran etika murni dan
pelanggaran etika (pelanggaran moral yang disertai tindakan ilegal), yaitu:
1) Pelanggaran etika murni
Meminta penghargaan secara tidak sah dan berlebihan dari anggota keluarga
pasien
Pemindahan pasien tanpa izin sebelumnya dari keluarga pasien
Arogansi / memuji diri sendiri di depan pasien
Pendidikan kedokteran yang diterima tidak sesuai dengan profesi dokter
Kesampingkan kesehatan Anda
2) Pelanggaran etika
Dokter yang melayani pasien tidak memenuhi standar yang ditentukan
Membuat sertifikat ilegal / palsu
Aborrtus Provokatus
Penularan umum, tidak bertanggung jawab atas pekerjaan dokter.
9
c. Tanggung Jawab Pidana
UU No. 29 tentang praktik kedokteran tahun 2004 mengatur tentang
pertanggungjawaban pidana dokter. Enam pasal menjelaskan tindak pidana yang
dilakukan oleh bidang kesehatan, antara lain:
1) Kejahatan medis yang sebenarnya tanpa Surat Tanda Registrasi (STR) (Pasal 75)
2) Kejahatan praktik kedokteran tanpa surat izin praktek (SIP) (Pasal 76)
3) Kejahatan yang menggunakan gelar atau bentuk tanda lain untuk memberi kesan
kepada orang lain. dokter dengan STR dan SIP (Pasal 77)
4) Tindak pidana penggunaan alat dan cara pelayanan kesehatan, menimbulkan kesan
dokter dengan STR dan SIP (Pasal 78)
5) Kartu nama tindak pidana praktek dokter, Tidak ada medis catatan dibuat dan tidak
berdasarkan standar profesional (Pasal 79).
6) Tindak pidana mempekerjakan dokter tanpa SIP (Pasal 80)
Pada saat yang sama juga, pelanggaran kontrak membutuhkan kesepakatan antara
dokter dan pasien. Berdasarkan kesepakatan ini biasanya akan dihasilkan kesepakatan
bisnis (inspanningverbintenis), kesepakatan hasil / hasil (resultatverbintenis) atau
kesepakatan hasil bersyarat (hasil verbintens voorbehaud). Disebut partisipasi bisnis
atau (inspanningverbintenis) karena dilandasi kewajiban bisnis. Dokter harus
berusaha semaksimal mungkin agar usahanya dapat menyembuhkan penyakit pasien.
Hal ini tidak sama dengan kewajiban berdasarkan hasil / akibat (result). Oleh karena
itu, dokter tidak dapat mengukurnya dari hasil yang dihasilkannya, tetapi harus
melakukan kemampuan terbaiknya untuk pasien.11
10
Soewono, Hendrojono. Batas Pertanggungjawaban Hukum Malpraktek Dokter. (Surabaya: Srikandi, 2007).
11
Wiradharma, Danny. Penuntun Kuliah Hukum Kedokteran, (Tangerang: Binarupa Aksara).
Dokter harus memberikan perawatan dan perawatan sesuai dengan standar
profesional. Berdasarkan kesulitan penyakit atau perawatan tertentu atau faktor lain
(seperti pengalaman dokter atau kelengkapan fasilitas) untuk mengevaluasi hasil
gabungan dari kedua kondisi ini (hasil dalam kasus Volbinemia), Evaluasi tingkat
kinerja yang diharapkan dan tingkat kegagalan dapat diperkirakan. Dengan demikian,
pasien dapat mengevaluasi upaya dokter dalam memenuhi kewajiban yang diatur
dalam perjanjian dan menentukan apakah kerugian yang diderita disebabkan oleh
kesalahan / kelalaian dokter atau faktor risiko pasien. Jika terbukti ada pelanggaran
kontrak, pasien dan keluarga bisa mengajukan gugatan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas dapat ditarik suatu kesimpulan ada beberapa hal yang
menjadi indikator misdiagnosis, antara lain :
a. Jumlah tenaga medis yang masih di bawah target, dan minimnya fasilitas medis tambahan.
b. Dalam menjalankan tugasnya, dokter bukannya tanpa kesalahan, misalnya misdiagnosis.
Jika hal ini terjadi, Anda dapat menggugat dokter tersebut sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, standar profesi, SOP dan dasar hukum KODEKI.
Saran
Setelah penjelasan di atas, ada beberapa saran yang sesuai dengan temanya, yaitu:
a. Pemerintah harus memberikan perhatian khusus untuk menambah jumlah tenaga medis
(dokter) dan meningkatkan fasilitas penunjang pemeriksaan guna meminimalisir terjadinya
misdiagnosis pasien.
b. Menurut penafsiran peraturan perundang-undangan yang relevan, dokter wajib
menjalankan tugasnya, termasuk dalam mendiagnosis pasien, mematuhi etika kedokteran,
standar profesional, dan prosedur operasi standar.
c. Untuk mengurangi kecelakaan medis, disarankan agar dokter memberikan informasi
kepada pasien yang terkena dampak setelah mengikuti pelayanan medis, sehingga membuat
pasien lebih percaya diri dalam pelayanan medis dan mengurangi dampak malpraktek medis.
Selain itu, diperlukan juga regulasi tertulis tentang bentuk pertanggungjawaban dokter dalam
malpraktik medik.
d. Hubungan dokter-pasien harus serasi mungkin agar bila timbul perselisihan dapat
diselesaikan dengan cara yang bersahabat.
e. Jika semua resiko kesehatan atau kelalaian ditanggung oleh dokter atau rumah sakit. Oleh
karena itu, dokter dan rumah sakit harus lebih berhati-hati dan teliti saat merawat pasien.
Daftar Pustaka
A.Buku
Ari Yunanto & Helmi. (2010). Hukum Pidana Malpraktik Medik. Yogyakarta: Andi Offset.
Dalmy, Iskandar. (1998). Rumah Sakit, Tenaga Kesehatan dan Pasien, Jakarta: Sinar Grafika,
Iskandar, Dalmy. (1998). Rumah Sakit, Tenaga Kesehatan dan Pasien. Jakarta:Sinar Grafika.
M. Nasser SpKK.D.Law. (2011). Sengketa Medis Dalam Pelayanan Kesehatan.
Soemitro, Ronny Hanitijo. (1985). Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta:Balai Aksara.
M. Fakih, “Perlindungan Hukum Tenaga Kesehatan Dalam Melakukan Pelayanan Kesehatan
di Fasilitas Pelayanan Kesehatan”,Seminar NasionalUniversitas Gajah Mada, (2017).
Soewono, Hendrojono. Batas Pertanggungjawaban Hukum Malpraktek Dokter. (Surabaya:
Srikandi, 2007).
Wiradharma, Danny. Penuntun Kuliah Hukum Kedokteran, (Tangerang: Binarupa Aksara).
Fred Ameln, Kapita Selekta Hukum Kedokteran, Jakarta: Grafikatama Jaya, (1991), hlm.87.
Mulyadi, Diagnosis Kesulitan Belajar & Bimbingan Terhadap Kesulitan Belajar Khusus,
(Yogyakarta: Nuha Litera, 2009), hal. 01
Zaeni Asyhadie, Aspek-Aspek Hukum Kesehatan di Indonesia, Raja Grafindo Persada,
Depok, 2017, hlm 68
B.Peraturan Hukum
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2004 Tentang Tenaga Kesehatan Kode Etik
Kedokteran Indonesia (“KODEKI”)
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2009 tentang Praktek Kedokteran
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan