Disusun Oleh:
NIM : Sdk191011
DATU KAMANRE
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadiran Allah SWT karena atas rahmat dan
hidayah-Nya sehingga makalah tentang PENATALAKSANAAN PEMBERIAN TERAPI
ANTIRETROVIRAL (ARV) PADA PASIEN HIV/AIDS dapat terselesaikan dengan baik
sebagai salah satu acuan untuk mahasiswa dalam proses perkuliahan.
Dalam makalah ini penulis tidak menutup mata akan segala kekurangannya baik
bahasanya maupun susunannya, hal ini tidak lain karena keterbatasan penulis dalam
pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki. Demikian mudah-mudahan karya ini dapat
bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya.
Untuk selanjutnya dengan segala kerendahan hati penulis mohon saran-saran yang
sifatnya konstruktif bagi siapapun yang membacanya. Semoga makalah ini benar-
benarbermanfaat dan dapat bernilai Ibadah di sisi Allah SWT. Aamiin.
2
BAB I
LATAR BELAKANG
3
BAB II
PEMBAHASAN
Pasien yang memulai terapi dengan jumlah CD4 kurang dari 200 sel/mm3hampir
mendekati dua kali kegagalan pengobatan dibandingkan dengan pasien yang memulai terapi
4
dengan CD4 lebih dari 200 sel/mm3(Robbin, 2007). Respon yang cukup dari pasien yang
mendapat terapi antiretroviral didefinisikan sebagai peningkatan CD4 antara 50-150 sel/mm3,
dengan respon cepat pada tiga bulan pertama pengobatan (WHO, 2009).Menurut Hughes
(2007) pasien yang terinfeksi HIV yang diberi obat ARV saat CD4-nya kurang dari 350
sel/mm3lebih cepat meningkat CD4-nya hingga di atas 500 sel/mm3 Jika CD4 pasien bisa
bertahan di atas 500 sel/mm3selama lebih dari lima tahun, kemampuannya bertahan hidup
hampir sama dengan orang yang tidak terinfeksi HIV. Dua golongan antiretroviral yang
penggunaanya dianjurkan oleh World HealthOrganization (WHO) adalah penghambat
ReverseTranscriptase (PRT) yang terdiri dari analog nukleosida dan analog nonnukleosida,
serta penghambat Protease (PP) HIV. Ketiga jenis ini dipakai secara kombinasi dan tidak
dianjurkan pada pemakaian tunggal. Penggunaan kombinasi antiretroviral merupakan
farmakoterapi yang rasional, sebab masing-masing preparat bekerja pada tempat yang
berlainan atau memberikan efek sinergis terhadap obat lainnya (Wibowo, 2002).
Setelah terapi ARV di mulai, kegagalan terapi dapat didefinisikan berdasarkan kriteria
klinis, imunologis maupun virologis. Pada tempat dimana tidak tersedia sarana pemeriksaan
CD4 dan atau viralload, maka diagnosis kegagalan terapi ditegakkan dengan panduan
pemeriksaan CD4 dan atau viral load setelah pada pemeriksaan fisik dijumpai tampilan gejala
klinis yang mengarah pada kegagalan terapi. Untuk negara berkembang termasuk Indonesia
dimana sarana dan prasarana tidak memadai, pemantauan klinis dan pemeriksaan CD4 lebih
mungkin dilakukan untuk memantau keberhasilan terapi karena kendala biaya pemeriksaan
viralload yang mahal, indikator kegagalan terapi dengan menggunakan CD4 pasien kembali
pada nilai awal CD4 sebelum terapi atau nilai CD4 lebih rendah daripada awal terapi ARV
atau CD menurun 50% dari nilai tertinggi yang pernah dicapai selama terapi atau pasien tidak
mencapai jumlah CD4>100sel/mm3
5
Terapi Antiretroviral (ARV)
Prinsip pemberian ARV menggunakan 3 jenis obat dengan dosis terapeutik. Jenis golongan
ARV yang rutin digunakan:
NRTI (nucleoside and nucleotide reverse transcriptaser inhibitors) dan NNRTI (non-
nucleoside reverse transcriptase inhibitors): berfungsi sebagai penghambat kinerja
enzim reverse transcriptase (enzim yang membantu HIV untuk berkembang dan aktif
dalam tubuh pejamu)
INSTI (integrase strand transfer inhibitors), mencegah DNA HIV masuk ke dalam
nukleus
Pemberian ARV diinisiasi sedini mungkin sejak penderita terbukti menderita infeksi
HIV.
TDF (Tenofovir) 300mg +3TC (Lamivudine) 150mg atau FTC (Emtricitabine) 200mg
+ NVP (Nevirapine) 150mg
TDF tidak boleh dimulai jika CCT (creatine clearance test) < 50ml/menit, atau pada
kasus diabetes lama, hipertensi tak terkontrol dan gagal ginjal. AZT tidak boleh
digunakan bila Hb <10g/dL sebelum terapi. Kombinasi 3 dosis tetap (KDT) yang
umum tersedia: TDF+3TC+EFV.
6
Efek Samping ARV
Selama 1 bulan awal pemberian ARV, penting untuk dilakukan evaluasi untuk memantau
respon tubuh terhadap pengobatan, baik efek yang dirasakan secara fisik maupun psikologis.
Efek yang sering dirasakan pada awal penggunaan ARV berupa mual, urtika,
limbung/kehilangan keseimbangan, lemas, pusing, dan gangguan tidur. Keadaan ini dapat
timbul pada masa awal penggunaan ARV, dan akan berkurang saat kadar ARV mulai stabil
dalam darah.
Follow Up Terapi
Pemantauan rutin dilakukan setiap 3 hingga 6 bulan sekali. Yang dipantau termasuk dari
keluhan yang dirasakan selama penggunaan ARV, pemeriksaan fisik, hingga pemeriksaan
laboratorium terutama CD4, viral load dan baseline.
7
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
8
DAFTAR PUSTAKA
https://www.who.int.mediacentre/factsheets/fs360/en/