Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

PENATALAKSANAAN PEMBERIAN TERAPI ANTIRETROVIRAL (ARV)


PADA PASIEN HIV/AIDS

Disusun Oleh:

Nama: Ukhra ismail

NIM : Sdk191011

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES)

DATU KAMANRE

TAHUN AKADEMIK 2021

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadiran Allah SWT karena atas rahmat dan
hidayah-Nya sehingga makalah tentang PENATALAKSANAAN PEMBERIAN TERAPI
ANTIRETROVIRAL (ARV) PADA PASIEN HIV/AIDS dapat terselesaikan dengan baik
sebagai salah satu acuan untuk mahasiswa dalam proses perkuliahan.

Dalam makalah ini penulis tidak menutup mata akan segala kekurangannya baik
bahasanya maupun susunannya, hal ini tidak lain karena keterbatasan penulis dalam
pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki. Demikian mudah-mudahan karya ini dapat
bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya.

Untuk selanjutnya dengan segala kerendahan hati penulis mohon saran-saran yang
sifatnya konstruktif bagi siapapun yang membacanya. Semoga makalah ini benar-
benarbermanfaat dan dapat bernilai Ibadah di sisi Allah SWT. Aamiin.

Luwu, 29 Maret 2021

2
BAB I

LATAR BELAKANG

Human Immunodeficiency Virus(HIV) merupakan virus penyebab dari Acquired


Immuno Deficiency Syndrome(AIDS).Penyakit ini merupakan kumpulan gejala yang
disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi oleh virus HIV. Infeksi HIV
merupakan kejadian pandemik. Sejak pertama kali ditemukan (1987) sampai dengan Juni
2012, kasus HIV-AIDS tersebar di 378 dari 498 (76%) kabupaten/kota di seluruh provinsi di
Indonesia. Penyakit ini menyerang imunitas seseorang. Kecepatan progresinya bervariasi
antara individu yang satu dengan individu yang lain, tergantung pada faktor virus dan faktor
host. AIDS (AccquiredImmunodeficiencySyndrom) adalah stadium akhir pada serangkaian
abnormalitas imunologis dan klinis yang dikenal sebagai spektrum infeksi Human
Immunodificiency Virus (HIV). HIV adalah suatu retrovirus yang dapat menyebabkan
penurunan sistem imun. Virus ini menginfeksi sel yang mempunyai molekul
ClusterOfDifferentiation 4 (CD4) terutama limfosit T, retrovirus memiliki enzim
ReverseTranscriptase sehingga mampu mengubah RNA virus menjadi DNA (Guatellietal.,
2002)

3
BAB II

PEMBAHASAN

Indonesia termasuk negara yang cepat mengalami penambahan jumlah penderita


HIV/AIDS. Sejak tahun 1987 sampai dengan tahun 2014, HIV-AIDS tersebar di 386 (77,5%)
dari 498 Kabupaten/kota diseluruhpropinsi di Indonesia.Berdasarkan data laporan
perkembangan HIV-AIDS triwulan IV tahun 2014 diketahui jumlah kumulatif kasus HIV
sebesar 160.138 kasus sedangkan jumlah kumulatif penderita AIDS sebanyak 65.790 orang.
Menurut data dari Dinas Kesehatan Provinsi Kepulauan Riau, juga mengalami peningkatan
kasus setiap tahunnya, sampai dengan tahun 2014 tercatat 4.875 kasus HIV. hubungan seks
dengan pekerja seks komersial (PSK) menjadi faktor utama perkembangan HIV dengan
persentase mencapai 42%. (Ditjen PP&PL Depkes 2014). Kombinasi antiretroviral (ARV)
merupakan dasar penatalaksanaan pemberian antiretroviral terhadap pasien HIV/AIDS,
karena dapat mengurangi resistensi, menekan replikasi HIV secara efektif sehingga
penularan, infeksioportunistik dan komplikasi lainnya dapat dihindari serta meningkatkan
kualitas dan harapan hidup dari pasien HIV/AIDS. Terapi secara dini dapat melindungi
sistem kekebalan tubuh dari kerusakan oleh HIV.

Kerusakan kekebalan dialami sebagai jumlah ClusterofDifferentiation (CD4) yang


lebih rendah dan ViralLoad (VL) yang lebih tinggi (Mc Evoy, 2004).Pemberian
Antiretroviral pada umumnya diberikan dalam bentuk kombinasi karena dapat menurunkan
kejadian resistensi dan keumungkinan efek samping kecil, Alvarez (2004) menyatakan bahwa
efektivitas kombinasi 3 jenis Antiretroviral lebih baik daripada 2 jenis Antiretroviral, dimana
terjadi penurunan beban virus sampai tidak terdeteksi dan terjadi peningkatan CD4.Saat yang
paling tepat untuk memulai pengobatan dengan antiretroviral adalah sebelum pasien jatuh
sakit atau munculnya infeksi oportunistik (IO) yang pertama. Perkembangan penyakit akan
lebih cepat apabila terapi antiretroviraldimulai saat CD4 <200 sel/mm3dibandingkan bila
terapi dimulai pada CD4 di atas jumlah tersebut (WHO, 2004). Pedoman WHO tahun 2008
merekomendasikan ARV diberikan jika CD4 kurang dari 350 sel/ mm3Respon virologi dan
imunologi terhadap HighlyActiveAntiretroviralTherapy (HAART) tergantung dari ViralLoad
dan jumlah CD4. Semakin tinggi CD4 ODHA (Orang Dengan HIV dan AIDS) ketika
memulai pengobatan HIV semakin tinggi jumlah kenaikan CD4 mereka (Evans, 2007).

Pasien yang memulai terapi dengan jumlah CD4 kurang dari 200 sel/mm3hampir
mendekati dua kali kegagalan pengobatan dibandingkan dengan pasien yang memulai terapi

4
dengan CD4 lebih dari 200 sel/mm3(Robbin, 2007). Respon yang cukup dari pasien yang
mendapat terapi antiretroviral didefinisikan sebagai peningkatan CD4 antara 50-150 sel/mm3,
dengan respon cepat pada tiga bulan pertama pengobatan (WHO, 2009).Menurut Hughes
(2007) pasien yang terinfeksi HIV yang diberi obat ARV saat CD4-nya kurang dari 350
sel/mm3lebih cepat meningkat CD4-nya hingga di atas 500 sel/mm3 Jika CD4 pasien bisa
bertahan di atas 500 sel/mm3selama lebih dari lima tahun, kemampuannya bertahan hidup
hampir sama dengan orang yang tidak terinfeksi HIV. Dua golongan antiretroviral yang
penggunaanya dianjurkan oleh World HealthOrganization (WHO) adalah penghambat
ReverseTranscriptase (PRT) yang terdiri dari analog nukleosida dan analog nonnukleosida,
serta penghambat Protease (PP) HIV. Ketiga jenis ini dipakai secara kombinasi dan tidak
dianjurkan pada pemakaian tunggal. Penggunaan kombinasi antiretroviral merupakan
farmakoterapi yang rasional, sebab masing-masing preparat bekerja pada tempat yang
berlainan atau memberikan efek sinergis terhadap obat lainnya (Wibowo, 2002).

Setelah terapi ARV di mulai, kegagalan terapi dapat didefinisikan berdasarkan kriteria
klinis, imunologis maupun virologis. Pada tempat dimana tidak tersedia sarana pemeriksaan
CD4 dan atau viralload, maka diagnosis kegagalan terapi ditegakkan dengan panduan
pemeriksaan CD4 dan atau viral load setelah pada pemeriksaan fisik dijumpai tampilan gejala
klinis yang mengarah pada kegagalan terapi. Untuk negara berkembang termasuk Indonesia
dimana sarana dan prasarana tidak memadai, pemantauan klinis dan pemeriksaan CD4 lebih
mungkin dilakukan untuk memantau keberhasilan terapi karena kendala biaya pemeriksaan
viralload yang mahal, indikator kegagalan terapi dengan menggunakan CD4 pasien kembali
pada nilai awal CD4 sebelum terapi atau nilai CD4 lebih rendah daripada awal terapi ARV
atau CD menurun 50% dari nilai tertinggi yang pernah dicapai selama terapi atau pasien tidak
mencapai jumlah CD4>100sel/mm3

Penatalaksanaan untuk kasus HIV (human immunodeficiency virus) adalah dengan


memberikan terapi antiretroviral (ARV) yang berfungsi untuk mencegah sistem imun
semakin berkurang yang berisiko mempermudah timbulnya infeksi oportunistik. Hingga kini,
belum terdapat penatalaksanaan yang bersifat kuratif untuk menangani infeksi HIV. Walau
demikian, terdapat penatalaksanaan HIV yang diberikan seumur hidup dan bertujuan untuk
mengurangi aktivitas HIV dalam tubuh penderita sehingga memberi kesempatan bagi sistem
imun, terutama CD4 untuk dapat diproduksi dalam jumlah yang normal. Pengobatan kuratif
dan vaksinasi HIV masih memerlukan penelitian lebih lanjut.

5
Terapi Antiretroviral (ARV)

Prinsip pemberian ARV menggunakan 3 jenis obat dengan dosis terapeutik. Jenis golongan
ARV yang rutin digunakan:

 NRTI (nucleoside and nucleotide reverse transcriptaser inhibitors) dan NNRTI (non-
nucleoside reverse transcriptase inhibitors): berfungsi sebagai penghambat kinerja
enzim reverse transcriptase (enzim yang membantu HIV untuk berkembang dan aktif
dalam tubuh pejamu)

 PI (protease inhibitors), menghalangi proses penyatuan dan maturasi HIV

 INSTI (integrase strand transfer inhibitors), mencegah DNA HIV masuk ke dalam
nukleus

 Pemberian ARV diinisiasi sedini mungkin sejak penderita terbukti menderita infeksi
HIV.

ARV Lini Pertama untuk Dewasa

Pilihan ARV lini pertama untuk dewasa adalah sebagai berikut:

 TDF (Tenofovir) 300mg + 3TC (Lamivudine) 150mg atau FTC (Emtricitabine)


200mg + EFV (Efavirenz) 600mg: Umumnya dalam bentuk KDT (kombinasi dosis
tetap)

 AZT (Zidovudine) 300mg +3TC (Lamivudine) 150mg + EFV(Efavirenz) 600mg atau


NVP (Nevirapine) 150mg

 TDF (Tenofovir) 300mg +3TC (Lamivudine) 150mg atau FTC (Emtricitabine) 200mg
+ NVP (Nevirapine) 150mg

 TDF tidak boleh dimulai jika CCT (creatine clearance test) < 50ml/menit, atau pada
kasus diabetes lama, hipertensi tak terkontrol dan gagal ginjal. AZT tidak boleh
digunakan bila Hb <10g/dL sebelum terapi. Kombinasi 3 dosis tetap (KDT) yang
umum tersedia: TDF+3TC+EFV.

6
Efek Samping ARV

Selama 1 bulan awal pemberian ARV, penting untuk dilakukan evaluasi untuk memantau
respon tubuh terhadap pengobatan, baik efek yang dirasakan secara fisik maupun psikologis.
Efek yang sering dirasakan pada awal penggunaan ARV berupa mual, urtika,
limbung/kehilangan keseimbangan, lemas, pusing, dan gangguan tidur. Keadaan ini dapat
timbul pada masa awal penggunaan ARV, dan akan berkurang saat kadar ARV mulai stabil
dalam darah.

Follow Up Terapi

Pemantauan rutin dilakukan setiap 3 hingga 6 bulan sekali. Yang dipantau termasuk dari
keluhan yang dirasakan selama penggunaan ARV, pemeriksaan fisik, hingga pemeriksaan
laboratorium terutama CD4, viral load dan baseline.

7
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Penatalaksanaan untuk kasus HIV (human immunodeficiency virus) adalah


dengan memberikan terapi antiretroviral (ARV) yang berfungsi untuk mencegah
sistem imun semakin berkurang yang berisiko mempermudah timbulnya infeksi
oportunistik. Hingga kini, belum terdapat penatalaksanaan yang bersifat kuratif untuk
menangani infeksi HIV. Walau demikian, terdapat penatalaksanaan HIV yang
diberikan seumur hidup dan bertujuan untuk mengurangi aktivitas HIV dalam tubuh
penderita sehingga memberi kesempatan bagi sistem imun, terutama CD4 untuk dapat
diproduksi dalam jumlah yang normal. Pengobatan kuratif dan vaksinasi HIV masih
memerlukan penelitian lebih lanjut.

8
DAFTAR PUSTAKA

https://www.who.int.mediacentre/factsheets/fs360/en/

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Penanggulangan HIV/AID. NO.21.2013

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Pengobatan Antiretroviral. No.


87.2014.

Anda mungkin juga menyukai