Anda di halaman 1dari 48

RANCANGAN ISI BUKU

1. PEMILU DAN PILKADA


2. SISTEM ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN
3. PERUNDANG-UNDANGAN YANG MENGATUR
PILKADA
4. TAHAPAN PEMILU DAN PILKADA
5. TAHAPAN KRUSIAL PILKADA
6. POTENSI-POTENSI KECURANGAN
7. KECURANGAN BERBASIS DPT
8. MENGUNGKAP KECURANGAN BERBASIS DPT
9. SOLUSI-SOLUSI ANTISIPASI KECURANGAN
10. SISTEM PEMILU DAN PILKADA USULAN
11. PENUTUP
BAB 1

Pemilihan Umum

Secara sederhana, Pemilihan Umum (Pemilu) dapat diartikan


sebagai sarana untuk memilih pemimpin, baik pemerintahan
(eksekutif), maupun wakil rakyat (legislatif). Namun agar lebih
tepat dan jelas, berikut ini diberikan pendapat beberapa pakar
terkait definisi Pemilu.

Menurut Ramlan Surbakti (1992:181), Pemilu diartikan


sebagai “mekanisme penyeleksian dan pendelegasian atau
penyerahan kedaulatan kepada orang atau partai yang dipercayai.

Menurut Harris G. Warren dan kawan-kawan,


mendefinisikan sebagai berikut: “Elections are the accostions
when citizens choose their officials and cecide, what they want the
government to doing these decisions citizens determine what rights
they want to have and keep.”

Menurut Ali Moertopo,  mendefinisikan: “Pada hakekatnya,


pemilu adalah sarana bagi rakyat untuk menjalankn kedaulatannya
sesuai dengan azas yang bermaktub dalam Pembukaan UUD 1945.
Pemilu itu sendiri pada dasarnya adalah suatu Lembaga Demokrasi
yang memilih anggota-anggota perwakilan rakyat dalam MPR,
DPR, DPRD, yang pada gilirannya bertugas untuk bersama-sama
dengan pemerintah, menetapkan politik dan jalannya pemerintahan
negara”.

Menurut Suryo Untoro, “Pemilihan Umum adalah suatu


pemilihan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia yang
mempunyai hak pilih, untuk memilih wakil-wakilnya yang duduk
dalam Badan Perwakilan Rakyat, yakni Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat I dan Tingkat II
(DPRD I dan DPRD II)”.

Definisi Pemilu tersebut diutarakan sebelum era-reformasi, di


mana Pemilu kala itu hanya untuk memilih wakil-wakil rakyat saja.
Namun setelah era-reformasi, Presiden dan Wakil Presiden dipilih
langsung oleh rakyat. Demikian pula dengan kepala daerah, baik
bupati, walikota dan gubernur juga dipilih langsung oleh rakyat.
Oleh karena itu, defenisi Pemilu tersebut perlu diperluas lagi.

Dengan demikian, definisi Pemilu dapat diartikan sebagai


sarana yang digunakan untuk mewujudkan partisipasi politik rakyat
dalam pemerintahan untuk memilih wakil-wakilnya (legislatif) dan
pemimpin-pemimpinnya (eksekutif). Pemilu juga merupakan
sarana pemindahan kekuasaan yang sah, aman dan demokratis.

Indonesia adalah negara yang menganut Sistem Demokrasi


sebagaimana dinyatakan pada Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun 1945)
yang berbunyi, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.

Salah satu ciri negara demokrasi adalah, dilaksanakannya


Pemilu untuk memilih wakil rakyat, memilih pemimpin nasional,
bahkan memilih pemimpin daerah. Dapat dikatakan, setiap negara
yang menganut sistem demokrasi pasti melaksanakan Pemilu.
Namun tidak pula dapat disimpulkan, bahwa pelaksanaan Pemilu di
setiap negara pasti sama demokratisnya. Justru pelaksanaan Pemilu
menjadi parameter yang digunakan untuk mengukur apakah suatu
negara demokrasi benar-benar berlaku demokratis.

Pada Pasal 22E UUD Tahun 1945 ditegaskan, Pemilu


merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang
diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan
adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Artinya, di dalam konstitusi telah diamanahkan agar
pelaksanaan Pemilu berlangsung secara demokratis, sehingga dapat
dihasilkan pemerintahan negara yang demokratis pula.

Untuk menjamin pelaksanaan Pemilu agar berlangsung secara


demokratis, dan bebas dari pengaruh pihak manapun, UUD Tahun
1945 juga mengamanahkan agar Pemilu dilaksanakan oleh suatu
komisi penyelenggara Pemilu sebagaimana tertuang pada Pasal
22E ayat (5), yang berbunyi “Pemilihan Umum diselenggarakan
oleh suatu Komisi Pemilihan Umum yang bersifat nasional, tetap
dan mandiri”.

Tugas utama Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai


penyelenggara Pemilu adalah menjamin terlaksananya Pemilu yang
demokratis, bebas dari pengaruh dan kepentingan pihak manapun.
Untuk mewujudkannya, KPU harus bekerja secara profesional,
mandiri dan memiliki integritas yang tinggi. Sebagai subjek
penyelenggaraan Pemilu, KPU memiliki peranan yang sangat
penting untuk menentukan keberlangsungan Pemilu yang
berkualitas dan demokratis.

1.1. Tiga Jenis Pemilu di Indonesia

Sejak era-reformasi dan amandemen UUD Tahun 1945,


terdapat tiga jenis pemilihan umum di Indonesia, yaitu Pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres), Pemilihan Legislatif (Pileg)
dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Ketiga jenis Pemilu ini
adalah pemilihan yang dilaksanakan langsung oleh rakyat.

Pasal 6A UUD Tahun 1945 mengatur tentang pemilihan


Presiden dan Wakil Presiden yang dipilih secara langsung oleh
rakyat dalam satu pasangan yang diusulkan oleh partai politik
(parpol) atau gabungan parpol. Pelaksanaan Pilpres di mana rakyat
memilih secara langsung Presiden dan Wakil Presiden dimulai
sejak tahun 2004. Sebelum era-reformasi, Presiden dan Wakil
Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia (MPR RI).
Sejak era-reformasi dan hasil amandemen UUD Tahun 1945,
ada dua jenis dewan perwakilan sebagai wakil rakyat, yaitu Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Kedua dewan
perwakilan ini dipilih langsung oleh rakyat.

Pemilihan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan


Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dipilih langsung oleh
rakyat sebagaimana diamanahkan pada Pasal 19 UUD Tahun 1945.
Demikian halnya dengan pemilihan Anggota Dewan Perwakilan
Daerah (DPD) juga dipilih langsung oleh rakyat sebagaimana
tertuang pada Pasal 22C UUD Tahun 1945.

Berdasarkan ketentuan umum pasal 1 UU Nomor 10 Tahun


2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, yang
dimaksud dengan Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD adalah
pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD dan DPRD provinsi dan
DPRD kabupaten/kota dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.

Pasal 18 ayat (4) UUD Tahun 1945 mengatur tentang Pemilu


Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pilkada) yang
demokratis. Keterangan pada Pasal 18 ayat (4) ini tidak secara
eksplisit mengamanahkan apakah kepala daerah dipilih langsung
oleh rakyat atau melalui mekanisme pemilihan di DPRD.
Namun sejak tahun 2005, telah diselenggarakan Pilkada secara
langsung, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
Penyelenggaraan ini diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah yang menyebutkan bahwa “Kepala
daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon
yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur dan adil”.

Pilkada masuk ke dalam kategori Pemilu setelah berlakunya


UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan
Umum. Pada tahun 2008, tepatnya setelah diberlakukannya UU
Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pilkada adalah
pemilihan umum untuk memilih pasangan calon kepala daerah dan
wakil kepala daerah yang diusulkan oleh parpol atau gabungan
parpol atau pasangan calon perseorangan. Sejak saat itu, pemilihan
kepala daerah disebut Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah (Pemilukada).

Pada tahun 2011, diterbitkan Undang-undang Nomor 15


tentang Penyelenggara Pemilihan Umum. Salah satu yang diatur di
dalam undang-undang tersebut adalah pemilihan kepala daerah
yang disebut dengan istilah Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali
Kota.

Kita semua masih mengingat peristiwa krusial yang terjadi


tahun 2014, pada saat sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia (DPR RI) kembali dibahas pemilihan kepala
daerah. Sidang Paripurna DRI RI yang berlangsung pada tanggal
24 September 2014 tersebut memutuskan, Pemilihan Kepala
Daerah dikembalikan secara tidak langsung. Dengan kata lain,
kepala daerah kembali dipilih oleh anggota DPRD.

Pemilihan kepala daerah menjadi tidak langsung ditentukan


melalui pemungutan suara yang didukung oleh 226 anggota DPR-
RI yang terdiri Fraksi Partai Golkar sejumlah 73 orang, Fraksi
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sejumlah 55 orang, Fraksi Partai
Amanat Nasional (PAN) sejumlah 44 orang, dan Fraksi Partai
Gerindra sejumlah 32 orang.

Pada saat pemungutan suara untuk menentukan pengesahan


atau penolakan rancangan undang-undang tersebut, fraksi Partai
Demokrat sebagai partai utama pendukung pemerintahan Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) memutuskan untuk walk out.
Berbagai pihak menyayangkan langkah yang diambil oleh Partai
Demokrat mengingat usulan pembahasan undang-undang tersebut
adalah inisiatif pemerintah.

Keputusan yang mengembalikan pemilihan kepala daerah


menjadi tidak langsung, telah mengecewakan berbagai pihak.
Keputusan ini dinilai sebagai langkah mundur pembangunan
demokrasi di Indonesia. Beberapa pihak menginginkan agar
keputusan itu digagalkan, namun di sisi lain, sebagian pihak
menganggap penyelenggaraan Pemilukada langsung atau tidak
langsung sama saja.

Sejumlah elemen masyarakat yang tergabung dalam Koalisi


Masyarakat Sipil mengajukan uji materi UU Pemilihan Kepala
Daerah ke Mahkamah Konstitusi. Menurut mereka, DPRD
bukanlah pemegang kedaulatan tertinggi sehingga pemilihan kepala
daerah melalui DPRD bertentangan dengan prinsip kedaulatan
rakyat. Tokoh agama dari Konferensi Waligereja Indonesia (KWI),
Romo Benny Susetyo, menilai mekanisme Pilkada melalui DPRD
akan melahirkan Orde Baru jilid 2, atau bahkan bisa jadi lebih
buruk. Menurutnya, melalui UU Pilkada yang baru diputuskan
tersebut, kekuatan kapital bakal mendikte keputusan dan akan
menghabisi daulat rakyat, dan hanya akan melindungi kepentingan
suatu golongan saja.

Masyarakat pun mengungkapkan kritik terhadap hasil sidang


tersebut melalui jejaring sosial, baik melalui Facebook atau
Twitter. Di Twitter tanda pagar (tagar) ShameOnYouSBY muncul
sebagai kekecewaan masyarakat kepada sikap Presiden SBY dan
Partai Demokrat. Tagar ini sempat menjadi topik teraktual dunia
sekitar 48 jam. Selain kepada SBY dan Partai Demokrat, para
netizen juga menunjukkan kemarahan dan kekecewaan kepada
Koalisi Merah Putih (KMP) yang mendukung undang-undang
tersebut.
Kekecewaan warga tidak hanya berlangsung di dunia maya
saja, namun juga di dunia nyata. Warga yang berkumpul dan
menamakan komunitasnya sebagai "Koalisi Kawal RUU Pilkada"
menentang pemilihan kepala daerah dilakukan oleh DPRD. Mereka
berkumpul di kawasan Bundaran Hotel Indonesia dan membuat
tulisan #ShameOnYouSBY dan #ShamedByYou di badan jalan.

Selain menulis tagar, para pengunjuk rasa juga meneriakkan


"SBY Pembohong, SBY Penipu" sambil membawa spanduk
bergambar wajah Presiden SBY beserta beberapa tokoh Koalisi
Merah Putih. Di spanduk tersebut, wajah SBY dan tokoh-tokoh
KMP diberi tanda silang dan di bawahnya diberi tulisan "Mereka
adalah Penghianat Demokrasi".

Presiden SBY mengaku terus mengikuti dinamika dan


perkembangan politik di Indonesia setelah pemungutan suara RUU
Pilkada di DPR. Pada tanggal 27 September 2014, di sela-sela
kunjungan kerja ke Amerika dan Jepang, SBY akhirnya
menanggapi aksi kekecewaan masyarakat tersebut dengan
mengatakan, bahwa dia sudah memahami protes kemarahan dan
perlawanan dari rakyat. Bahkan SBY menuliskan pengakuannya di
akun tweeter @SBYudhoyono yang berbunyi, “Sebagai presiden,
saya berat untuk tanda tangani undang-undang ini karena merebut
hak rakyat”.

Sebaliknya, SBY mengakui bahwa, kepala daerah harus tetap


dipilih langsung oleh masyarakat, tetapi dengan sepuluh syarat.
Kesepuluh syarat yang dimaksudkan SBY adalah sebagai langkah
perbaikan, karena pilkada langsung juga banyak mengandung
masalah, seperti korupsi terjadi selama 10 setelah pilkada
langsung. Presiden SBY juga menegaskan bahwa, pilkada yang
dilakukan oleh DPRD adalah sebuah kemunduran dan tidak tepat.
Maka, ia berjanji akan terus berjuang agar undang-undang tersebut
sesuai dengan kehendak rakyat.

Langkah yang diambil oleh Presiden SBY untuk mementahkan


RUU Pilkada adalah mengkonsultasikannya kepada Ketua
Mahkamah Konstitusi (MK), Hamdan Zoelva. Berdasarkan dalil
Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 disebutkan bahwa, setiap rancangan
undang undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat
persetujuan bersama. Selanjutnya Pasal 20 ayat (3) menjelaskan
bahwa, jika rancangan undang undang tidak mendapat persetujuan
bersama, maka tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR
masa itu. Ruang hukum inilah yang akan digunakan Presiden untuk
menolak pilkada dilakukan oleh DPRD. Menurut Hamdan, menteri
yang ditunjuk sebagai wakil pemerintah saat pengesahan RUU
berhak memberikan persetujuan. Pasalnya, menteri itu dianggap
sebagai wakil dari presiden.

Pakar Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra


menyarankan agar SBY dan presiden terpilih Joko Widodo tidak
menandatangani RUU Pilkada, sehingga UU Nomor 12 Tahun
2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah akan tetap menjadi acuan terhadap
pilkada langsung oleh rakyat.

Akhirnya pada tanggal 20 Januari 2015, Sidang Paripurna DPR


yang dipimpin Wakil Ketua DPR Agus Hermanto, secara aklamasi
menyetujui pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang
Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati dan Wali Kota menjadi undang-undang. Selain itu, pada
sidang paripurna tersebut, DPR juga menyetujui Perpu Nomor 2
Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah menjadi undang-undang.

Sebelumnya, Ketua Komisi II DPR Rambe Kamarul Zaman


dalam laporannya di hadapan peserta sidang paripurna itu
mengatakan, dengan disahkanya Perppu ini, DPR meminta kepada
Pemerintah untuk sesegera mungkin mengundangkannya, agar
proses perbaikan dapat lebih cepat dilakukan.

Dalam laporannya, Rambe menjelaskan, terdapat kesepakatan,


bahwa masih terdapat permasalahan dalam Perppu No.1 dan 2
Tahun 2014, sehingga memerlukan perbaikan sesegera mungkin
dan dengan usul inisiatif DPR RI Komisi II, untuk mengajukan
RUU perbaikan nantinya, dan untuk dapat disahkan pada masa
sidang sekarang ini.

“Hal ini guna pemenuhan kebutuhan landasan yuridis yang


komprehensif dan lebih baik dalam penyelenggaraan pemilihan
kepala daerah terutama tahun 2015 yang sudah memasuki tahapan
persiapan,”kata Rambe.

Oleh karena itu, segera setelah pengesahan Perppu tersebut didalam


Rapat Paripurna ini, menurut Rambe, harus segera diajukan RUU
tentang Perubahan atas UU tentang Penetapan Perppu menjadi UU
melalui mekanisme yang berlaku dan sesuai peraturan perundang-
undangan. “Dengan demikian akan dihasilkan produk hukum yang
lebih baik,”ujarnya.

Pilkada Serentak

Dengan persetujuan DPR itu, maka pelaksanaan Pilkada yang


semula disetujui oleh DPR-RI dilakukan melalui DPRD
sebagaimana tertuang dalam Pasal 3 ayat (1,2) Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Walikota akan kembali ke pemilihan langsung sebagaimana
tertuang dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2014.

Pasal 201 Ayat (1) Perppu ini menyebutkan, pemungutan suara


serentak dalam Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang
masa jabatannya berakhir tahun 2015 dilaksanakan pada hari dan
tahun yang sama pada tahun 2015.

Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengatakan, setelah


persetujuan itu pemerintah dan DPR perlu lebih lanjut melakukan
pembahasan untuk menyelesaikan kedua undang-undang itu karena
masa persidangan kedua DPR terbatas.

“Pemerintah optimistis dengan diberlakukannya Pilkada serentak


pada 2015, tidak akan mengganggu proses tahapan pilkada yang
dilakukan oleh KPU dan KPU Daerah,” kata Tjahjo.

Mengenai perubahan-perubahan atas materi dalam muatan Perppu


No.1 Tahun 2014 yang telah disetujui dan ditetapkan menjadi UU,
salah satunya mengenai tahapan pelaksanaan, penyelesaian
sengketa, dampak Pilkada serentak, menurut Mendagri, hal ini
perlu dibicarakan lebih lanjut, karena terbatasnya waktu
persidangan ini, sehingga secara intensif pemerintah membuka diri
bersama dengan DPR, sehingga akan secara cepat menyelesaikan
perubahan UU ini.

Mendagri meyakini, perubahan terbatas itu tidak akan mengganggu


proses tahapan-tahapan Pilkada yang ditetapkan oleh
penyelenggara pemilihan umum Gubernur, Bupati dan Walikota.
“Hal ini mengingat, bahwa pada tahun 2015, terdapat 204 daerah
otonom yang akan melakukan pemilihan Gubernur, Bupati dan
Walikota,”terangnya.

apat Paripurna DPR, Selasa (17/2) menyetujui revisi UU Pilkada


dan UU Pemda menjadi UU.
“Kami ingin menanyakan kepada siding dewan yang terhormat,
apakah RUU tentang Perubahan Atas UU No.1 Tahun 2015 tentang
Penetapan Perppu No.1 Tahun 2014 tentang Pilkada, dan RUU
tentang Perubahan kedua atas UU No.23 Tahun 2014 tentang
Pemda, dapat disetujui untuk disahkan menjadi Undang-Undang,?”
tanya pimpinan Rapat Paripurna Wakil Ketua DPR Fadli Zon

“Setuju…,” jawab anggota dewan, dan palu diketuk.

Sebelumnya, dalan laporannya dihadapan sidang Rapat Paripurna,


Ketua Komisi II DPR Rambe Kamarul Zaman menjelaskan,
terhadap RUU tentang Perubahan Atas UU No.1 Tahun 2015
tentang penetapan Perppu No.1 Tahun 2014 tentang Pilkada, dalam
pembicaraan Tk I di Komisi II dicapai beberapa hal, diantaranya,
terkait pemilihan secara berpasangan, Komisi II dan DPR berhasil
memutuskan bahwa pengajuan dilakukan secara berpasangan.

“Yaitu seorang calon gubernur, bupati dan walikota, serta seorang


wakil gubernur, bupati dan walikota secara paket dalam pemilihan
secara langsung oleh rakyak,” terangnya.

Selanjutnya, uji publik atau sosialisasi, Komisi II dan Pemerintah


menyepakati bahwa proses ini dihapus dengan alasan proses
tersebut menjadi domain atau kewajiban parpol atau gabungan
parpol yang mengusung pasangan calon, termasuk calon
perseorangan yang juga harus melakukan proses sosialisasi kepada
masyarakat
“Hal ini mengingat bahwa Parpol atau gabungan parpol adalah
institusi yang memiliki fungsi melakukan seleksi atau rekruetmen
calon pemimpin untuk ditawarkan kepada masyarakat, sehingga
harus menjadi perhatian bagi Parpol untuk senantiasa melakukan
proses tersebut secara akuntabel dan demokratis,” ujarnya.

Penyelenggara pemilu tambah Rambe, disepakati juga tetap


diselenggarakan oleh KPU dan Bawaslu, dan mengenai persyaratan
disepakati dua hal yaitu usia dan pendidikan pasangan calon,
dimana minimal 30 tahun untuk calon gubernur atau wakil
gubernur, dan minimal 25 tahun untuk calon bupati dan wakil serta
walikota beserta wakilnya.

Terkait ambang batas, jelas Rambe, perolehan kemenangan


pasangan calon ditentukan berdasarkan perolehan suara terbanyak,
“Salah satu tujuan yang hendak dicapai adalah efisiensi baik dari
sisi waktu maupun anggaran,” terang Rambe yang juga politisi dari
partai Golkar.

Dalam laporan juga dijelaskan, mengenai kesepakatan bahwa akan


dilaksanakan pilkada serentak dalam beberapa tahap yang dimulai
Desember 2015, serta pelaksanaan pemilihan serentak nasional
tahun 2027.

Perubahan UU Pemda
Adapun mengenai substansi RUU perubahan atas UU No.2 Tahun
2015 tentang Penetapan Perppu No.2 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, lebih sebagai implikasi dari hasil
pembahasan RUU tentang perubahan Atas UU No.1 Tahun 2015
tentang Pilkada.

“Penyesuaian pertama diawali dengan perubahan judul yang diubah


menjadi RUU tentang Perubahan Kedua Atas UU No.23 Tahun
2014 tentang Pemda, alasannya karena materi yang diubah dalam
Perppu No.2 Tahun 2014 yang ditetapkan menjadi UU No.2 Tahun
2015 hanya terkait dengan satu pasal tentang kewenangan DPRD
dalam memilih kepala daerah yang dihapus,” jelas Rambe.

Ia menambahkan, diantara beberapa materi yang harus


menyesuaikan dengan hasil pembahasan RUU tentang Perubahan
Atas UU No.1 Tahun 2015 adalah terkait dengan peran wakil
kepala daerah akibat diputuskannya bahwa pilkada diikuti oleh
pasangan calon yang terdiri atas kepala daerah dan wakil kepala
daerah.

“Dengan demikian ada beberapa pasal yang menyesuaikan dengan


hasil tersebut,” ujarnya.

Selain itu, lanjutnya, RUU ini mencoba merumuskan agar


hubungan antara kepala daerah dan wakilnya berjalan harmonis
hingga akhir masa jabatan, sehingga diatur adanya kewajiban bagi
wakil kepala daerah menandatangani fakta integritas serta
melakukan tugasnya bersama kepala daerah hingga akhir masa
jabatan.

Ditempat yang sama, Mendagri Tjahjo Kumolo dihadapan sidang


paripurna memaparkan tentang cepatnya proses revisi atas dua UU
ini, “Ini memang sudah menjadi kesepakatan DPR, DPD dan
pemerintah sejak awal,” terangnya.

Disini Tjahjo berharap agar UU Pilakda langsung ini tidak diubah-


ubah lagi, “Komitmen Perppu adalah pilkada serentak yang dimulai
pada tahun 2015,  tahun 2019 agenda Pileg dan Pilpres serentak,
untuk itu yang disepakati bersama semoga tidak diubah lagi oleh
anggota DPR yang akan dipilih tahun 2019,” harapnya.
(nt)/foto:iwan armanias/parle/iw.

Penyelenggaraan

Pilkada diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU)


Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota dengan diawasi oleh Panitia
Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu) Provinsi dan Panwaslu
Kabupaten/Kota.

Khusus di Aceh, Pilkada diselenggarakan oleh Komisi Independen


Pemilihan (KIP) dengan diawasi oleh Panitia Pengawas Pemilihan
Aceh (Panwaslih Aceh).
Peserta

Kegiatan para anggota, kader, relawan dan simpatisan partai politik


Indonesia. Beberapa dari mereka berusaha melalui pengajaran
pengkaderan dan pelatihan untuk keberhasilan partainya. Partai
politik diseleksi untuk mengikutii dan penyelenggaraan Pemilihan
Umum, lalu Pemilihan Presiden dan Pemilihan Kepala Daerah.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, peserta


pilkada adalah pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik
atau gabungan partai politik. Ketentuan ini diubah dengan Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa peserta
pilkada juga dapat berasal dari pasangan calon perseorangan yang
didukung oleh sejumlah orang. Undang-undang ini menindaklanjuti
keputusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan beberapa pasal
menyangkut peserta Pilkada dalam Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004.
Khusus di Aceh, peserta Pilkada juga dapat diusulkan oleh partai
politik lokal

Pilkada Serentak 2015

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Daftar pemilihan umum


kepala daerah di Indonesia 2015

Pemerintah eksekutif dan legislatif telah menyepakati pilkada


serentak untuk daerah-daerah yang akan habis masa jabatannya
pada tahun 2015 dan semuanya diselenggarakan pada 9 Desember
2015[3]. Daftar wilayah yang akan menjalankan pilkada serentak
yaitu:[4] [5]

Berdasarkan hasil sidang paripurna DPR RI tersebut, akhirnya


pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota yang
mengamanahkan kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat.
Selanjutnya pemerintah dan DPR RI menyepakati Perpu
tersebut menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 dan
selanjutnya diubah menjadi Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2015. Dengan demikian, Undang-Undang (UU) secara tegas
memberikan hak kepada masyarakat daerah untuk memilih
kepala daerahnya melalui mekanisme Pilkada.
1.2. Tujuan dan Fungsi Pemilu

Pelaksanaan Pemilu di negara-negara yang menganut sistem


demokrasi, bukan hanya sekedar wujud pesta rakyat semata, tetapi
pelaksanaan Pemilu memiliki tujuan dan fungsi yang jelas.

Adapun tujuan dilaksanakannya Pemilu, secara umum adalah


sebagai berikut :
a. Untuk mewujudkan kedaulatan rakyat.
b. Untuk mewujudkan hak asasi politik rakyat.
c. Untuk memilih Presiden, Wakil Presiden, anggota DPR
RI, anggota DPD, anggota DPRD Provinsi, anggota
DPRD Kabupaten/Kota, Gubernur, Bupati dan Walikota.
d. Untuk mengganti penguasa (pemerintah) secara damai,
aman, dan tertib (konstitusional).
e. Untuk menjamin kesinambungan pembangunan nasional.

Sedangkan fungsi dari pelaksanaan Pemilu, secara umum adalah


sebagai berikut:
a. Sarana bagi rakyat untuk mengutarakan pendapatnya.
b. Sarana mengubah kebijakan pemerintah.
c. Sarana mengganti pemerintah yang berkuasa.
d. Sarana menuntut pertanggungjawaban pemerintah yang
berkuasa.
e. Sarana menyalurkan aspirasi daerah (lokal).
Pelaksanaan Pemilu di suatu negara memiliki makna yang sangat
strategis dalam proses demokrasi. Adapun makna strategis yang
dimaksud adalah:
a. Pemilu sebagai parameter yang menunjukkan seberapa
besar dukungan rakyat kepada pemerintah, pejabat atau
partai politik.
b. Pemilu sebagai sarana kesepakatan politik antara rakyat
dengan partai, wakil rakyat dan penguasa.
c. Pemilu sebagai sarana untuk meningkatkan sensitifitas
pemerintah (penguasa) dan anggota legislatif terhadap
aspirasi rakyat.

1.3. Berbagai Bentuk Sistem Pemilu

Sistem Pemilu yang dikenal di dunia dapat diklasifikasikan menjadi


tiga tipe berdasarkan keunikan dari masing-masing sistem Pemilu
tersebut. Pengklasifikasian sistem Pemilu yang digunakan dalam
buku ini didasarkan pada The ACE Project, kerjasama antara PBB,
IFES dan IDEA Internasional, yang menjelaskan tentang sistem
dan manajemen Pemilu. Adapun ketiga klasifikasi sistem Pemilu
tersebut adalah:

A. Sistem Mayoritas/Pluralitas (Majoritarian/Plurality)

Sistem Pemilu seperti ini didasarkan pada jumlah perolehan suara


terbesar atau suara mayoritas dari jumlah suara yang sah. Artinya,
seorang kandidat harus memperoleh suara terbesar atau suara
mayoritas dari jumlah suara yang sah di suatu distrik agar dapat
terpilih dari daerah pemilihan (distrik) tersebut.

Adapun varian dari sistem Pemilu mayoritas/pluralitas ini meliputi:


 First Past The Post (FPTP)
 Block Vote dan Party Block Vote
 Alternative Vote (AV)
 Dua Putaran (Two Round)

B. Sistem Representasi Proporsional (RP)

Sistem Pemilu RP menerapkan distrik-distrik berwakil majemuk.


Adapun jumlah wakil yang terpilih dari suatu distrik ditentukan
oleh prosentase suara sah yang diraih suatu partai atau seorang
kandidat peserta pemilu di distrik tersebut.

Adapun varian dari sistem Pemilu RP adalah meliputi:


 Representasi Proporsional Daftar (List Proportional
Representation)
 Mixed Member Proportional (MMP)
 Single Transferable Vote (STV)

C. Sistem Semi-Proporsional

Sistem Pemilu seperti ini menerapkan, apabila suatu partai politik


tidak mendapat dukungan suara terbanyak, akan tetapi masih
memungkinkan untuk memperoleh perwakilan. Sistem Pemilu
Semi-Proporsional tidak memberikan alokasi perwakilan menurut
prosentase perolehan suara partai seperti pada sistem Pemilu RP,
akan tetapi prosentase suara berlaku apabila masih ada kursi
perwakilan yang belum dibagikan. Dengan kata lain, pada sistem
Pemilu seperti ini, banyaknya perwakilan ditentukan sebelumnya.

Adapun varian dari sistem Pemilu ini terdiri dari:


 Paralel
 Single Non Transferable Vote (SNTV)
 Limited Vote (LV)

Saat ini berbagai macam usulan tentang sistem pemilu mana yang
patut diterapkan di Indonesia untuk Pemilu DPR & DPD lebih
mengarah pada sistem-sistem mayoritas pluralitas atau representasi
proporsional. Tidak ada satupun usulan yang mendukung
penerapan sistem semi-proporsional yang disebutkan di atas.

Deskripsi Singkat Sistim Pemilu Yang Diusulkan Pada DPR

1. Sistim Mayoritas/Pluralitas
Sistem-sistem mayoritas/pluralitas didasarkan pada daerah-
daerah pemilihan (distrik) didalam wilayah yang berada dibawah
wewenang sebuah badan terpilih, seperti DPRD II . Sistem ini
dapat secara efektif diterapkan di distrik dengan wakil tunggal atau
majemuk. Kandidat atau partai yang memenangkan jumlah suara
terbanyak (pluralitas) atau, mayoritas (apapun definisinya) dalam
suatu daerah pemilihan memenangkan semua posisi perwakilan
untuk daerah pemilihann tersebut.
a. First Past The Post (FPTP)
 Sistem tipe ini secara menonjol diterapkan di Inggris dan
daerah-daerah bekas jajahannya.
 Sistem ini didasarkan pada ‘distrik-distrik wakil tunggal’ –
satu wakil dipilih dari setiap daerah pemilihan.
 Pemenang di setiap daerah pemilihan merupakan kandidat
yang mendapatkan suara terbanyak. Ini tidak selalu berarti
kandidat yang memperoleh suara mayoritas.

Beberapa Kelebihan yang Signifikan dari ‘First Past The Post’


 FPTP dapat mengkonsolidasi dan membatasi jumlah partai,
biasanya menjadi dua partai yang memiliki jangkauan luas,
sehingga para pemilih memiliki pilihan yang jelas. Hal ini
dapat membatasi kemungkinan adanya partai-partai yang
ekstrim;
 Memiliki kecenderungan untuk menghasilkan pemerintahan
yang kuat, dan berasal dari satu partai;
 Pemilihan dengan sistem FPTP cenderung membuat partai-
partai bertanggungjawab atas tindakan-tindakan mereka;
 Dapat mendorong adanya pihak oposisi untuk membuat
pemerintah bertanggungjawab;
 Seperti sistem lain yang berdasarkan pada daerah
pemilihan, dapat membuat hubungan yang erat antara
pemilih dan wakilnya, juga lebih menjamin akuntabilitas
wakil rakyat terhadap pemilihnya;
 Memungkinkan kandidat independen untuk mengikuti
pemilu;
 Menyeimbangkan fokus antara partai politik dan para
kandidat secara individual.
 Merupakan sistem yang sederhana untuk dimengerti dan
digunakan oleh para pemilih, serta mudah dalam
pelaksanaannya.

Beberapa Kekurangan Sistim ‘First Past The Post’


 Kursi-kursi yang dimenangkan sangat tidak proporsional
dengan keseluruhan suara yang diperoleh dalam pemilu.
Partai dengan jumlah suara mayoritas atau terbanyak,
mungkin tidak mendapatkan mayoritas, atau bagian terbesar
dari jumlah kursi yang ada. Partai dengan proporsi yang
menonjol dari keseluruhan jumlah suara mungkin tidak
mendapatkan kursi sama sekali;
 Proses ‘pemenang memperoleh semua’ (the winner takes
all) mengakibatkan sebagian besar dari suara yang ada
terbuang. Para pemilih ini tidak terwakili dan partai-partai
minoritas tidak terikutsertakan dalam perwakilan yang
‘adil’;
 Sistem pluralitas berarti bahwa kandidat yang menang
mungkin hanya didukung oleh 30-40% pemilih, atau
mungkin kurang dari itu;
 Sebagaimana lazimnya sistem distrik wakil tunggal, FPTP
tidak memberikan insentif untuk kandidat-kandidat dari
partai-partai minoritas;
 Menghalangi berkembangnya sistem multi partai yang
pluralisits;
 Dapat menciptakan dominasi partai daerah dan mendorong
adanya partai-partai yang berhaluan etnis/kesukuan;
 Tidak sensitif atau teramat sensitif terhadap perubahan
opini public
 Dapat dipengaruhi manipulasi dari batas-batas daerah
pemilihan.
b. Alternative Vote (Preferential Voting atau AV)
 Diterapkan di Australia, dan di Nauru dalam bentuk yang
telah dimodifikasi. Sistem ini juga pernah diterapkan di Fiji,
hanya sekali, pada tahun 1999, dan juga di Papua Nugini
dari tahun 1964 sampai 1975, ketika masih berada dibawah
administrasi Australia.
 Sistem Alternative Vote biasanya menggunakan distrik
wakil tunggal (dapat diterapkan untuk pemilu dengan
distrik wakil majemuk, misalnya untuk Senat Australia
sampai tahun 1949, sistem ini cenderung menghasilkan
hasil yang lebih tidak berimbang dibandingkan dengan
sistem-sistem Block Vote).
 Pada sistem full preferential voting, para pemilih harus
mengurutkan semua kandidat sesuai urutan preferensi
mereka (1,2,3,4, dan seterusnya).
 Pada sistem optional preferential voting, para pemilih
memiliki pilihan untuk menandai hanya satu kandidat atau
memilih mengurutkan beberapa atau semua kandidat.
 Pada sistem ‘ticket voting’ pemilih memilih sebuah partai
politik, dan preferensi pemilih akan sama dengan urutan
preferensi yang telah ditentukan partai yang bersangkutan,
yang diumumkan oleh semua partai politik kepada
pelaksana pemilu sebelum hari pemilihan.
 Pemenangnya adalah kandidat dengan perolehan 50% + 1
dari suara sah yang ada di distrik yang bersangkutan.
Apabila ketentuan ini tidak tercapai dari preferensi pertama
para pemilih, maka kandidat dengan jumlah pilihan pertama
yang terrendah akan disingkirkan, dan pilihan kedua yang
ditandai di kertas suara kandidat tersebut dibagikan ke
kandidat lainnya. Proses eliminasi kandidat dengan jumlah
suara terrendah dan membagikan kertas suaranya kepada
kandidat lain yang tertinggal, dimana kepada mereka
pemilih telah menentukan pilihan berikutnya, berlanjut
sampai seorang kandidat memperoleh 50% + 1 total suara.

Beberapa Kelebihan dari Alternative Vote


 Sistem Alternative Vote memiliki kelebihan dalam
mempererat hubungan pemilih dengan para wakil mereka,
seperti juga halnya dalam sistem-sistem lain yang berdasar
kepada distrik.
 Sistem Alternative Vote memungkinkan pemilih untuk
mendapatkan lebih dari satu kesempatan untuk menentukan
siapa yang akan menjadi wakil mereka, meskipun
argumentasi ini menjadi kurang kuat apabila varian ‘ticket
voting’ diterapkan.
 Berkat adanya persyaratan dukungan mayoritas bagi
seorang kandidat untuk dapat terpilih, sistem ini
memberikan legitimasi kuat kepada para kandidat yang
terpilih.
 Mendorong adanya kerjasama antar partai politik dan
mengurangi efek-efek ekstrimisme.
 Memungkinkan partai-partai kecil terfokus untuk
berkoordinasi tanpa harus beraliansi secara formal.
 Lebih murah untuk dilaksanakan dibandingkan dengan
system majority yang lain seperti sistem dua putaran.

Beberapa Kekurangan Sistim Alternative Vote


 Hasilnya tidak proporsional, seringkali memberi peluang
bagi terbentuknya suatu pemerintahan yang dikuasai suatu
partai dengan proporsi suara yang lebih kecil dalam total
jumlah suara.
 Sistem-sistem Alternative Vote ini seringkali memberikan
kemenangan kepada kandidat yang tidak memperoleh suara
preferensi teratas pertama dan justru kandidat yang
memperoleh suara preferensi teratas kedua dan ketiga
sering menjadi pemenang.
 Membutuhkan tingkat melek-huruf dan numerasi yang
tinggi diantara populasi pemilih. Apabila tidak terpenuhi
dapat menimbulkan banyaknya suara yang tidak sah
sehingga akhirnya legitimasi pemilu dipertanyakan.
 Membutuhkan program pendidikan pemilih yang lebih
rumit dan intensif.
 Kertas suara untuk distrik pemilihan harus dikumpulkan di
suatu lokasi untuk penghitungan suara dan penentuan hasil
sesuai sistem ini. Hal ini menimbulkan implikasi pada
aspek keamanan, transparansi dan logistik.
 Kerumitan penghitungan suara mungkin melebihi kapasitas
pelatihan dan penerapan administrator pemilu, dan tidak
sepenuhnya dapat dipahami partai dan para pengamat.
Bahkan dalam situasi yang ideal pun, akan membutuhkan
waktu lama untuk menentukan pemenang. Ini bukanlah
sistem yang mudah dan sederhana.
 Membuka peluang bagi adanya kesepakatan-kesepakatan
bawah tangan dan praktek politik uang untuk menunjang
upaya partai politik untuk mempengaruhi preferensi
pemilih.
 Dapat dipengaruhi oleh manipulasi batas-batas daerah
pemilihan.
2. Sistem Representasi Proporsional (RP)
Tujuan awal sistem proportional representation adalah
untuk menghasilkan lembaga perwakilan dimana proporsi kursi-
kursi yang dimenangkan oleh tiap-tiap partai kurang lebih
merefleksikan proporsi jumlah suara yang diperoleh tiap-tiap
partai. Kandidat-kandidat dipilih dari distrik-distrik dengan wakil
majemuk. Negara secara keseluruhan mungkin merupakan satu
daerah pemilihan tempat para wakil dipilih, atau mungkin ada
beberapa daerah pemilihan kabupaten/kota atau regional darimana
para wakil dipilih. Semakin besar jumlah daerah pemilihan yang
digunakan, semakin kecil kemungkinan komposisi lembaga
perwakilan akan mencerminkan proporsi suara yang dimenangkan
oleh tiap partai.
a. Representasi Proporsional Daftar (RP Daftar)
Sejumlah bentuk RP Daftar diterapkan di sekitar 70 negara.
Semua bentuk RP memiliki karakteristik umum sebagai berikut:
 Partai memberikan daftar kandidat yang sama jumlahnya
dengan kursi yang tersedia di daerah pemilihan.
 Para pemilih memilih untuk satu partai. Jumlah kursi yang
diperoleh tiaptiap partai ditentukan oleh dan secara
langsung berkaitan dengan proporsi jumlah suara yang
diperolehnya di daerah pemilihan yang bersangkutan.
 Jumlah kursi yang diperoleh tiap-tiap partai dapat
ditentukan dengan menggunakan rumus yang dapat berupa
metode ‘sisa terbanyak’ (largest remainder) atau metode
‘rata-rata tertinggi’ (highest average). Setiap cara yang
berbeda dalam penghitungan suara ini menimbulkan hasil
yang sedikit berbeda – dalam hal jumlah wakil yang terpilih
dari tiap-tiap partai politik.
 Mungkin ada persyaratan yang harus dipenuhi partai
(thresholds) agar dapat diikutsertakan dalam pembagian
kursi – misalnya, memperoleh presentase suara minimal
tertentu.
Varian-varian dari RP Daftar dapat dibedakan berdasarkan
pemilihan kandidat yang terpilih untuk mengisi kursi yang
dimenangkan oleh tiap-tiap partai.
Daftar Tertutup
 erupakan bentuk yang paling banyak digunakan di dunia
ini. Kursi yang dimenangkan oleh partai politik diisi dengan
kandidat-kandidat sesuai dengan ranking mereka dalam
daftar kandidat yang ditentukan oleh partai. Biasanya,
hanya nama partai yang dimunculkan dalam surat suara,
meskipun urutan kandidat-kandidat dalam daftar partai
biasanya diumumkan dan biasanya tidak dapat diubah
setelah tanggal nominasi tertentu. Oleh karena itu, partai
politik memiliki kekuasaan yang cukup besar dalam
penentuan kandidat partai yang terpilih untuk mengisi
kursikursi yang tersedia.

Daftar Terbuka
 Pemilih memilih partai politik yang mereka sukai dan
dalam daftar partai politik tersebut, juga memilih kandidat
yang mereka inginkan untuk mengisi kursi yang
dimenangkan oleh partai tersebut. Biasanya, jumlah
kandidat dalam daftar partai yang ditampilkan dalam surat
suara adalah dua kali jumlah kursi yang tersedia. Para
pemilih secara umum dapat memilih kandidat-kandidat
dalam daftar kandidat suatu partai sebanyak kursi yang
tersedia. Memilih kandidat dari partai-partai yang berbeda
(Ticket splitting) biasanya tidak diperbolehkan.

Daftar Bebas
 Contoh dari sistem ini diterapkan di Swiss. Tiap-tiap partai
politik menentukan daftar kandidatnya, dengan partai dan
tiap-tiap kandidat ditampilkan secara terpisah dalam surat
suara. Pemilih dapat memilih dari daftar partai sebagaimana
adanya, atau mencoret atau mengulangi namanama,
membagi pilihan mereka diantara daftar-daftar partai atau
memilih nama-nama dari daftar manapun dengan membuat
daftar mereka sendiridi dalam sebuah surat suara kosong.

Beberapa Kelebihan Sistem RP Daftar


 RP Daftar merupakan sistem yang inklusif, memungkinkan
badan legislatif terdiri dari wakil rakyat yang berasal dari
berbagai macam kekuatan politik, termasuk kelompok
minoritas dalam masyarakat.
 Cukup akurat dalam menterjemahkan proporsi suara yang
dimenangkan menjadi persentase wakil yang terpilih.
 Pada Sistem RP Daftar, hanya sedikit pemilih yang tidak
terwakili suara mereka yang terbuang, oleh karena itu
jumlah pemilih lebih besar.
 RP Daftar menghasilkan keragaman dalam sistem multi
partai.
 RP Daftar menghasilkan keragaman dalam nominasi
kandidat, dan membantu terpilihnya kandidat dari
kelompok minoritas. Contohnya, proporsi anggota legislatif
perempuan biasanya lebih tinggi dibawah sistem-sistem
RP.
 RP Daftar cenderung menghalangi adanya dominasi
regional partaipartai tertentu.
 Beberapa bukti empiris dari Eropa menunjukkan bahwa
sistem ini menghasilkan pemerintahan yang lebih efektif.
 Dalam varian sistem RP daftar tertutup, pemilih dapat
memahami dengan mudah dan secara relatif lebih mudah
untuk dilaksanakan.
 RP Daftar menciptakan contoh yang sangat nyata mengenai
sharing kekuasaan dan kerjasama.

Beberapa Kekurangan dari RP Daftar


 Dibawah sistem RP Daftar, seringkali tidak ada hubungan
yang kuat antara para pemilih dengan wakilnya.
 Terutama dalam RP Daftar Tertutup, para pemilih tidak
memiliki pengaruh dalam menentukan wakil mereka. Hal
ini dapat berakibat pada kurangnya akuntabilitas para wakil
terhadap pemilihnya. Dengan demikian kekuasaan para
pimpinan partai politik dalam menentukan daftar calon
legislatif sangat dominan
 Dalam penggunaan sistem RP Daftar, sangat jarang bagi
suatu partai untuk menjadi mayoritas dalam badan legislatif.
Koalisi pemerintahan yang dihasilkan akan membutuhkan
kompromi kebijakan, dan dapat memperlambat tindakan
dan secara internal tidak sestabil pemerintahan yang berasal
dari satu partai.
 RP Daftar membutuhkan sistem partai yang berfungsi
dengan baik.
 Terutama dalam sistem RP Daftar Tertutup, kurang dapat
mengakomodasi kandidat independen.
 RP Daftar menghasilkan banyak partai dan dapat
menimbulkan fragmentasi sistem partai menjadi partai-
partai yang hanya mengetengahkan satu wacana tertentu
atau suatu ‘kepribadian’ tertentu.
 Memungkinkan bertahannya partai-partai ekstrimis.
 Pemerintahan terpilih dibawah RP Daftar akan menjadi
kurang bertanggung jawab karena lebih sulit untuk
menjatuhkan sebuah partai dari kekuasaan. Bahkan partai
yang tidak populer dapat bertahan dalam koalisi
pemerintahan setelah pemilu.
 Versi yang lebih rumit (RP Daftar Terbuka dan Daftar
Bebas) mungkin lebih sulit untuk dimengerti dan
dilaksanakan.

B. Mixed Member Proportional (MMP)


 Diterapkan di Jerman, Selandia Baru, Mexico, Bolivia,
Italia, dan lain-lain.
 Pemilih mendapatkan dua surat suara yang berbeda, atau
satu surat suara yang terdiri dari dua sistem pemilihan: satu
untuk pilihan partai (biasanya secara nasional), yang lain
untuk kandidat di daerah pemilihan mereka (distrik lokal).
 Dimungkinkan adanya rasio yang berbeda-beda dari kursi
representasi proporsional terhadap kursi daerah pemilihan –
biasanya, antara 25 % - 50 % kursi merupakan kursi
representasi proporsional.
 Bagian tiap-tiap partai dari keseluruhan jumlah kursi dalam
badan legislative secara langsung ditentukan berdasarkan
proporsi suara pemilihan RP. Untuk menentukan anggota
partai yang terpilih:
 Semua kandidat partai yang menang dari pemilihan distrik
dinyatakan terpilih. Sejumlah kandidat tambahan dari daftar
partai untuk pemilihan RP dinyatakan terpilih untuk
membuat presentase jumlah wakil sama dengan presentase
suara pemilihan RP.
 Ketentuan khusus mungkin dibutuhkan, termasuk jumlah
parlemen yang fleksibel, untuk menangani situasi dimana
kursi yang dimenangkan sebuah partai dari distrik melebihi
jumlah kursi yang diperolehnya dari persentase suara RP.

Beberapa Kelebihan yang Signifikan dari MMP


 MMP memiliki kelebihan yang mirip dengan sistem RP,
contohnya:
 Menghasilkan keuntungan proporsional dari sistem
pemilihan RP secara keseluruhan – ada hubungan
langsung antara suara yang diperoleh dengan jumlah
kursi yang dimenangkan – sementara juga menjamin
pemilih memperoleh representasi geografis yang
bertanggung jawab.
 Memungkinkan pemilih memiliki dua suara – sehingga
suara dapat dibagi antara partai/orang yang mewakili
bagian yang berbeda dari pandangan pemilih.
 Merupakan sistem yang inklusif, sehingga
memungkinkan badan legislatif untuk terdiri dari
berbagai macam gerakan polotik, termasuk minoritas
dalam masyarakat.
 Di bawah MMP, sedikit suara yang terbuang, sehingga
jumlah pemilih yang memilih lebih besar.
 Menghasilkan keragaman dalam nominasi kandidat
untuk pemilihan, membantu terpilihnya wakil dari
kelompok minoritas dan menyediakan perwakilan untuk
partai-partai minoritas.

Beberapa Kekurangan Sistim MMP


 MMP cenderung memenghasilkan koalisi atau
pemerintahan yang lemah, sulit untuk dijatuhkan dari
kekuasaan.
 Di bawah MMP, suara untuk perwakilan lokal kurang
penting dibandingkan suara untuk partai politik dalam
menentukan alokasi kursi secara keseluruhan. MMP dapat
menimbulkan dua kelas perwakilan dalam parlemen,
masing-masing dengan agenda yang berbeda, walaupun
berasal dari partai yang sama.
 Pemilih sulit memahami bagaimana kursi-kursi
dialokasikan dalam MMP, dan mungkin membutuhkan
usaha pendidikan pemilih yang substansial.
 MMP dapat memberi peluang bagi ‘strategic voting’
dimana pemilih dianjurkan oleh partai politik yang
didukungnya untuk memilih kandidat dari partai lain, tapi
bersimpati pada partai yang mereka dukung, untuk
memaksimalkan kursi partai mereka dibawah alokasi RP.
 MMP lebih rumit untuk diterapkan oleh pemilih dan
administrator pemilu, dibandingkan dengan sistem RP
Daftar. Namun hasil proporsional yang diperolehnya sama
kualitasnya..
Deskripsi Singkat Usulan Sistem Pemilu Untuk DPD
a. RP Daftar (List Proportional Representation)
Karakteristik dasar, kelebihan dan kekurangan sistem-
sistem ini telah diuraikan diatas.
Block Vote
 Sistem-sistem Block Vote diterapkan di Bermuda, Maldives,
Kuwait, Mauritius dan Palestina, sementara sistem Party
Block Vote diterapkan di Djibouti, Lebanon, Tunisia dan
Senegal, dan untuk sebagian besar distrik di Singapura.
 Block Vote merupakan bentuk FPTP dalam distrik wakil
majemuk Biasanya, pemilih dapat memilih sebanyak
kandidat yang ada. Maka, apabila ada 5 wakil yang harus
dipilih, tiap-tiap pemilih dapat memilih sampai lima
kandidat.
 Kandidat pemenang di setiap distrik adalah pemenang suara
tertinggi n, dimana n adalah jumlah kursi untuk dipilih.

Beberapa Kelebihan Sistem Block Vote


 Sistem Block Vote sering dianggap dapat menjamin
keterwakilan kaum minoritas terwakili dalam badan
legislatif. Namun penelitian empiris di negara-negara
seperti Singapura tidak sepenuhnya mendukung klaim ini;
 Sistem ini menguatkan partai-partai dan juga
memungkinkan pemilihuntuk memilih dari kandidat yang
tersedia;
 Sangat mudah untuk diterapkan dan dilaksanakan;dan
 Menggunakan distrik wakil majemuk yang lebih besar,
tetapi dengan kandidat yang bertanggungjawab secara
langsung kepada pemilihnya.

Beberapa Kekurangan Sistem Block Vote


 Sistem ini cenderung memperparah kekurangan FPTP
 Merupakan sistem yang paling tidak proporsional
dibandingkan dengan semua sistem lainnya, dan dapat
mengakibatkan partai yang memperoleh suara terbanyak
untuk memenangkan semua, atau hamper semua, kursi
dalam distrik wakil majemuk.
 Proses’the winner takes all’ menandakan bahwa sebagian
besar suara terbuang. Para pemilih ini tidak terwakili dan
partai-partai minoritas dikecualikan dari suatu representasi
yang adil.
 Sistem ini dapat dipengaruhi oleh manipulasi batas-batas
daerah pemilihan;
 Sistem ini menghambat pertumbuhan sistem multi partai
yang pluralistis;dan
 Tidak sensitif atau terlalu sensitif terhadap perubahan-
perubahan opini publik.

1.4. Sistem Pemilu Indonesia

Menurut Ramlan Surbakti dalam bukunya yang berjudul


“Merancang Sistem Politik Demokrasi” didefinisikan bahwa,
“Sistem Pemilu adalah seperangkat ketentuan dan prosedur yang
menentukan bagaiamana suara pemilih diberikan dan bagaimana
mengkonversikan suara pemilih menjadi kursi penyelenggara
negara dalam lembaga legislatif dan eksekutif, baik pada tingkat
naional maupun lokal”.

Dieter Nohlen mendefinisikan sistem pemilihan umum dalam 2


pengertian, dalam arti luas dan dalam arti sempit. Dalam arti luas,
sistem pemilihan umum adalah “…. segala proses yang
berhubungan dengan hak pilih, administrasi pemilihan dan perilaku
pemilih." Lebih lanjut Nohlen menyebutkan pengertian sempit
sistem pemilihan umum adalah “… cara dengan mana pemilih
dapat mengekspresikan pilihan politiknya melalui pemberian suara,
di mana suara tersebut ditransformasikan menjadi kursi di parlemen
atau pejabat publik."

Definisi lain diberikan oleh Matias Iaryczower and Andrea


Mattozzi dari California Institute of Technology. Menurut mereka,
yang dimaksud dengan sistem pemilihan umum adalah “…
menerjemahkan suara yang diberikan saat Pemilu menjadi
sejumlah kursi yang dimenangkan oleh setiap partai di dewan
legislatif nasional. Dengan memastikan bagaimana pilihan pemilih
terpetakan secara baik dalam tiap kebijakan yang dihasilkan,
menjadikan sistem pemilihan umum sebagai lembaga penting
dalam demokrasi perwakilan."
Namun demikian, penulis memberikan definisi dengan pendekatan
berbasis teknologi informasi. Definisi dari Sistem Pemilu adalah
“serangkaian komponen atau subsistem yang bekerja secara
bersama-sama untuk mengumpulkan suara pemilih serta
mengubahnya menjadi representasi kursi-kursi perwakilan di
legislatif maupun eksekutif”.

Adapun komponen-komponen sistem pemilu yang dimaksud


adalah semua yang terlibat langsung, baik sebagai subjek maupun
objek dalam pelaksanaan Pemilu dan Pilkada itu sendiri. Adapun
Sistem Pemilu terdiri dari empat komponen penting, yaitu:
1. Regulasi (Undang-Undangan Pemilu);
2. Penyelenggara Pemilu (KPU, Bawaslu, dan DKPP);
3. Aturan Teknis (Aturan Pelaksana/PKPU);
4. Prosedur (Tahapan Pemilu dan formulasi/rule);
5. Perangkat dan Media (Peralatan/media Pemilu).

Adapun keterkaitan antar subsistem Pemilu dapat ditunjukkan pada


gambar 1 berikut ini.
Penyelenggara
Undang-Undang Pemilu
en

Pe
ny
gg
ar

el
a

PKPU -1 PKPU -2 PKPU -3 ... PKPU -n

Tahapan Tahapan Tahapan ... Tahapan


Ke-1 Ke-2 Ke-3 Ke-n
(awal) Pe m (final)
Pem DPT buata
n hasil
DP lih

DPS buata
i

n
Pem
T
DPT

Kontestan

Gambar 1. Sistem Pemilu

Dari gambar 1 Sistem Pemilu di atas dapat dijelaskan sebagai


berikut:

Subsistem Undang-Undang Pemilu sebagai dasar hukum


pelaksanaan Pemilu yang memberikan kewenangan kepada
Penyelenggara Pemilu untuk menyelenggarakan Pemilu.
Selanjutnya, berdasarkan Undang-Undang Pemilu, Penyelenggara
Pemilu membuat aturan Pelaksana berupa Peraturan Komisi
Pemilihan Umum (PKPU) yang mengatur teknis pelaksanaan setiap
tahapan Pemilu. Selain membentuk PKPU, Penyelenggara Pemilu
juga menyususn Daftar Pemilih Sementara (DPS) dan Daftar
Pemilih Tetap (DPT) sebagai dasar pemilih menggunakan hak
pilihnya. Terkait dari pelaksanaan PKPU yang direpresentasikan
dalam bentuk tahapan-tahapan Pemilu, akan dijelaskan pada bab 3.
Untuk menciptakan pemerintahan negara dan daerah yang
demokratis, maka Pemilu dan Pilkada yang diselenggarakan harus
berkualitas yang dapat menjamin pelaksanaan hak politik
masyarakat. Untuk menciptakan Pemilu dan Pilkada yang
berkualitas, diperlukan suatu sistem Pemilu yang baik, yang
memenuhi asas-asas sebagai berikut:
1. Terbuka (masyarakat dapat mengetahui proses Pemilu);
2. Efektif (Pemilu berdaya guna/hasil berkualitas);
3. Efisien (Pemilu dilaksanakan dalam batas waktu singkat);
4. Akuntabel (Hasil Pemilu dapat dipercaya);
5. Terukur (Setiap tahapan Pemilu dapat diuji).

Adapun Sistem Pemilu di berbagai negara demokrasi adalah


berbeda. Perbedaan ini dikarenakan konstitusi dan keadaan negara
masing-masing.

bahwa, pusat kendali pelaksanaan Pemilu adalah subsistem manus

tentunya tidak terlepas dari berbagai komponen penyusun


sistem itu sendiri, baik komponen perangkat keras, perangkat
lunak, perangkat manusianya, perangkat regulasi dan perangkat
alat bantu pelasna Pemilu.

diperlukan sebagai sarana untuk mewujudkan kedaulatan rakyat


dalam pemerintahan engara yang demokratis brdasrakan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.

yang Pelaksanaan Pemilu di suatu negara menandakan bahwa,


negara tersebut menganut sistem demokrasi. Indonesia sebagai
negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, pelaksanaan Pemilu
telah diatur di dalam konstitusinya Pasal 22E UUD 1945.

dilaksanakan menurut aturan dan keadaan negara masing-masing.


secara demokratis sebagaimana diamanahkan pada Pasal 22E

1.5. Asas Pemilu

Pemilu dilaksanakan berdasarkan asas langsung,


umum, bebas, rahasia, jujur dan adil (Pasal 2 UU No. 10
Tahun 2008).
a. Asas Langsung, berarti setiap pemilih secara langsung
memberikan suaranya tanpa perantaraan dan tingkatan.
b. Asas Umum, berarti pemilihan berlaku menyeluruh
bagi semua warga Negara Indonesia yang memenuhi
persyaratan tanpa diskriminasi.
c. Asas Bebas, berarti warga negara yang berhak memilih
dapat menggunakan haknya dan dijamin keamanannya
melakukan pemilihan menurut hati nuraninya tanpa
adanya pengaruh, tekanan, dan paksaan dari siapapun
dan dengan cara apapun.
d. Asas Rahasia, berarti setiap pemilih dijamin tidak akan
diketahui oleh siapapun dengan jalan apapun siapa
yang dipilihnya.
e. Asas Jujur, berarti bahwa dalam penyelenggaraan
Pemilu, penyelenggara/ pelaksana, pemerintah dan
partai politik peserta Pemilu, pengawas, dan pemantau
Pemilu termasuk pemilih, serta semua pihak yang
terlibat secara langsung, harus bersikap dan bertindak
jujur sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
f. Asas Adil, berarti setiap pemilih dan partai politik
peserta Pemilu mendapat perlakuan yang sama, serta
bebas dari kecurangan pihak manapun.
BAB 4

Tahapan Pemilu dan Pilkada

1. Pemutakhiran data pemilih dan penyusunan daftar pemilih, Kegiatan


awal yang perlu dilakukan untuk melaksanakan pemilu adalah pendaftaran
orang-orang yang memilki hak untuk memilih, misalnya yang sudah berusia
minimal 17 tahun, bukan anggota TNI/Polri, tidak terganggu jiwanya dan
sebagainya. Pendaftaran pemilih sangat penting untuk memastikan hanya
mereka yang berhak yang bisa menggunakan hak pilihnya, juga untuk
pengadaan logistik pemilu seperti pencetakan surat suara, pembuatan
Tempat Pemungutan Suara (TPS), bilik dan kotak suara dan sebagainya.
2. Pendaftaran dan Penetapan Peserta Pemilu, KPU juga perlu mendaftar
siapa yang boleh jadi peserta pemilu? Tidak semua orang atau partai boleh
ikut pemilu, tanpa ada syarat yang harus dipenuhi. Bisa kacau bro. Ada
syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk bisa didaftarkan sebagai peserta
pemilu. Nah, tugas KPU adalah memverifikasi (memeriksa) kelengkapan
syarat-syarat itu sehingga mereka bisa ditetapkan sebagai peserta pemilu.
3. Penetapan jumlah kursi dan penetapan daerah pemilihan, Pemilu
dimaksudkan untuk memperebutkan kursi di DPR, DPD atau DPRD.
Berapa jumlah kursinya? Nah, hal itu perlu diatur berdasarkan wilayah
tertentu yang disebut dengan daerah pemilihan.
4. Pencalonan anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota, Tahap selanjutnya adalah pencalonan anggota DPR,
DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Partai politik akan
mengajukan daftar calon untuk dipilih rakyat dalam pemilu secara
langsung.
5. Masa kampanye, ini tahapan yang paling heboh. Banyak poster, spanduk,
kumpulan massa dan bahkan arak-arakan di jalan-jalan. Tujuan kampanye
sebenarnya untuk memperkenalkan visi, misi dan program partai atau calon
kepada rakyat kalau mereka terpilih sebagai wakil rakyat.
6. Masa tenang, Masa tenang adalah masa antara berakhirnya kampanye dan
pemungutan suara. Saat itu semua bentuk kampanye harus dihentikan dan
semua pihak fokus pada persiapan pemungutan suara. Itulah yang disebut
masa tenang.
7. Pemungutan dan penghitungan suara, Inilah tahapan yang dinanti-nanti
semua pihak yang terlibat dalam pemilu. Saat itu rakyat diberi kesempatan
untuk mendatangi TPS guna memilih calon pemimpin atau wakil rakyat
yang mereka nilai layak mewakili mereka. Setelah pemungutan suara usai,
akan dilakukan penghitungan suara. Kamu bisa berpartisipasi secara aktif
mengawasi atau memantau pelaksanaan pemungutan dan penghitungan
suara di TPS.
8. Penetapan hasil Pemilu, Setelah suara dihitung, barulah hasilnya
ditetapkan. Saat itu akan diketahui siapa yang keluar sebagai pemenang
dalam pemilu, siapa saja yang terpilih jadi wakil rakyat, berapa banyak
jumlah suara yang diperoleh setiap peserta pemilu.
9. Pengucapan sumpah/janji anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan
DPRD kabupaten/kota. Setelah KPU menetapkan hasil pemilu dan calon
terpilih, para calon wakil rakyat itu akan dilantik sebagai anggota DPR,
DPD dan DPRD.

Anda mungkin juga menyukai