Anda di halaman 1dari 18

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT yang masih
memberikan nafas kehidupan, sehingga saya dapat menyelesaikan pembuatan
makalah ini dengan judul “Rule Of Law & HAM”.

Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Pendidikan Kewarganegaraan. Dalam makalah ini membahas tentang Rule Of
Law dan HAM. Akhirnya saya sampaikan terima kasih atas perhatiannya terhadap
makalah ini, dan penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi diri saya
sendiri dan khususnya pembaca pada umumnya. Tak ada gading yang tak retak,
begitulah adanya makalah ini.

Dengan segala kerendahan hati, saran-saran dan kritik yang konstruktif


sangat saya harapkan dari para pembaca guna peningkatan pembuatan makalah
pada tugas yang lain dan pada waktu mendatang.

Makassar, Oktober 2019

Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pasal 1 ayat (3) Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar (UUD) 1945


menegaskan bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas negara hukum (the rule of
law). Pakar ilmu sosial, Franz-Magnis Suseno (1990), melihat bahwa
perlindungan HAM adalah salah satu elemen dari the rule of law, selain hukum
yang adil. Kita bisa melacak akar prinsip the rule of law dari putusan- putusan
pengadilan internasional seperti Pengadilan Hak Azasi Manusia (HAM) Eropa
dan Komite HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), untuk mengetahui
pembahasan antara the rule of law dan Hak Asasi Manusia. Pembukaan UUD
1945 menyatakan terbentuknya Negara adalah untuk “melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan
dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Dinyatakan
bahwa untuk itu, UUD 1945 harus mengandung ketentuan yang “mewajibkan
Pemerintah dan penyelenggara Negara untuk memelihara budi pekerti
kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur.”
UUD 1945 selanjutnya menegaskan bahwa “Negara Indonesia berdasar atas
hukum (rechsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machtstaat).

Hak asasi manusia (HAM) merupakan hak-hak yang (seharusnya) diakui


secara universal sebagai hak-hak yang melekat pada manusia karena hakekat dan
kodrat kelahiran manusia itu sebagai manusia. Dikatakan ‘universal’ karena hak-
hak ini dinyatakan sebagai bagian dari kemanusiaan setiap sosok manusia, tak
peduli apapun warna kulitnya, jenis kelaminnya, usianya, latar belakang kultural
dan pula agama atau kepercayaan spiritualitasnya. Sementara itu dikatakan
‘melekat’ atau ‘inheren’ karena hak-hak itu dimiliki sesiapapun yang manusia
berkat kodrat kelahirannya sebagai manusia dan bukan karena pemberian oleh
suatu organisasi kekuasaan manapun. Karena dikatakan ‘melekat’ itu pulalah
maka pada dasarnya hak-hak ini tidak sesaatpun boleh dirampas atau dicabut.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu Rule Of Law ?
2. Bagaimanakah prinsip – prinsip yang terdapat dalam Rule Of Law ?
3. Apa yang dimaksud dengan HAM?
4. Bagaimanakan Sejarah perkembangan HAM?
5. Apa saja pengelompokan dalam HAM?
6. Bagaimana HAM di Indonesia?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui mengenai Rule of Law
2. Untuk mengetahui prinsip – prinsip dalam Rule Of Law
3. Untuk mengetahui pengertian dari HAM
4. Untuk mengetahui sejarah perkembangan HAM
5. Untuk mengetahui Pengelompokan dalam HAM
6. Untuk mengetahui Seperti apa HAM di indonesia

D. Manfaat
1. Mahasiswa dapat mengetahui mengenai Rule Of Law
2. Mahasiswa dapat mengetahui prinsip dalam Rule Of Law
3. Mahasiswa dapat mengetahui apa itu HAM
4. Mahasiswa dapat mengetahui sejarah perkembangan HAM
5. Mahasiswa dapat mengetahui pengelompokan dalam HAM
6. Mahasiswa dapat mengetahui Seperti apa HAM di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
A. Rule Of Law
Rule of Law adalah kekuasaan publik yang diatur secara legal.
Berdasarkan pengertian tersebut maka setiap negara yang legal senantiasa
menegakkan Rule of Law. Rule of Law berdasarkan substansi atau isinya sangat
berkaitan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam suatu
negara. Konsekuensinya setiap negara akan mengatakan mendasarkan pada Rule
of Law dalam kehidupan kenegaraannya, meskipun negara tersebut adalah negara
otoriter.
Menurut Philipus M. Hadjon dalam Buku Pendidikan Kewarganegaraan
misalnya bahwa Negara hukum yang menurut istilah bahasa Belanda rechtsstaat
lahir dari suatu perjuangan menentang absolutism, yaitu dari kekuasaan raja yang
sewenang-wenang untuk mewujudkan Negara yang didasarkan pada suatu
peraturan perundang-undangan. ( Buku Pendidikan Kewarganegaraan) Dalam
Undang-Undang Dasar 1945, Negara Indonesia adalah negara hukum bukan
negara kekuasaan. Di dalamnya terkandung pengertian adanya pengakuan
terhadap prinsip supremasi hukum dan konstitusi, dianutnya prinsip pemisahan
dan pembatasan kekuasaan menurut sistem konstitusional yang diatur dalam
UUD, adanya prinsip peradilan yang bebas dan tidak memihak yang menjamin
persamaan setiap warga negara dalam hukum, serta menjamin keadilan bagi
setiap orang termasuk terhadap penyalahgunaan wewenang oleh setiap penguasa.
Oleh karena itu, Indonesia menganut prinsip “Rule of Law,and not of Man”.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa pengertian Rule of Law tidak dapat
dipisahkan dengan pengertian Negara hukum. Negara yang menganut sistem Rule
of Law harus memiliki prinsip-prinsip yang jelas.

B. Prinsip – Prinsip Rule Of Law

Prinsip-prinsip rule of law secara hakiki (materiil) erat kaitannya


dengan (penyelenggaraan menyangkut ketentuan-ketentuan hukum) “the
enforcement of the rules of law” dalam penyelenggaraan pemerintahan, terutama
dalam penegakan hukum dan implementasi prinsip-prinsip rule of law.

Berdasarkan pengalaman berbagai Negara dan hasil kajian, menunjukan


keberhasilan “the enforcement of the rules of law” bergantung pada kepribadian
nasional setiap bangsa (Sunarjati Hartono: 1982). Hal ini didukung kenyataan
bahwa rule of law merupakan institusi sosial yang memiliki struktur sosiologis
yang khas dan mempunyai akar budayanya yang khas pula. Karena bersifat
legalisme maka mengandung gagasan bahwa keadilan dapat dilayani dengan
pembuatan sistem peraturan dan prosedur yang sengaja bersifat objektif, tidak
memihak, tidak personal dan otonom.

Secara kuantitatif, peraturan perundang-undangan yang terkait rule of


law telah banyak dihasilkan di Indonesia, tetapi implementasinya belum
mencapai hasil yang optimal sehingga rasa keadilan sebagai perwujudan
pelaksanaan rule of law belum dirasakan di masyarakat.
1. Negara yang menganut sistem Rule of Law harus memiliki prinsip-prinsip
yang jelas, terutama dalam hubungannya dengan realisasi Rule of Law itu
sendiri.
2. Menurut Albert Venn Dicey dalam Introduction to the Law of The
Constitution, memperkenal istilah the Rule of Law yang secara sederhana
diartikan sebagai suatu keteraturan hukum.
3. Menurut Dicey terdapat tiga unsur yang fundamental dalam Rule of Law,
yaitu:
a. Supremasi aturan-aturan hukum, tidak adanya kekuasaan sewenang-
wenang, dalam arti seseorang hanya boleh dihukum, jikalau memang
melanggar hukum.
b. Kedudukan yang sama di muka hukum.
c. Terjaminnya hak-hak asasi manusia oleh UU serta keputusan-
keputusan pengadilan.

C. Pengertian HAM ( Hak Asasi Manusia)


Hak asasi manusia (HAM) secara tegas di atur dalam Undang Undang No.
39 tahun 1999 pasal 2 tentang asas-asas dasar yang menyatakan “Negara
Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan
kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak
terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi
peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan
serta keadilan.”
Hak asasi manusia dalam pengertian umum adalah hak-hak dasar yang
dimiliki setiap pribadi manusia sebagai anugerah Tuhan yang dibawa sejak lahir.
Ini berarti bahwa sebagai anugerah dari Tuhan kepada makhluknya, hak asasi
tidak dapat dipisahkan dari eksistensi pribadi manusia itu sendiri. Hak asasi tidak
dapat dicabut oleh suatu kekuasaan atau oleh sebab-sebab lainnya, karena jika hal
itu terjadi maka manusia kehilangan martabat yang sebenarnya menjadi inti nilai
kemanusiaan.Hak asasi mencangkup hak hidup,hak kemerdekaan/kebebasan dan
hak memiliki sesuatu. Ditinjau dari berbagai bidang, HAM meliputi :
a. Hak asasi pribadi (Personal Rights)

Contoh : hak kemerdekaan, hak menyatakan pendapat, hak memeluk agama.

Hak asasi politik (Political Rights) yaitu hak untuk diakui sebagai warga
negara Misalnya : memilih dan dipilih, hak berserikat dan hak berkumpul.

b. Hak asasi ekonomi (Property Rights)

Misalnya : hak memiliki sesuatu, hak mengarahkan perjanjian, hak bekerja


dan mendapatkan hidup yang layak.

c. Hak asasi sosial dan kebuadayaan (Sosial & Cultural Rights).

Misalnya : mendapatkan pendidikan, hak mendapatkan santunan, hak


pensiun,

hak mengembangkan kebudayaan dan hak berkspresi.

d. Hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan


Pemerintah (Rights Of Legal Equality)
e. Hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum.

D. Sejarah HAM
Pada umumnya para pakar Eropa berpendapat bahwa lahirnya HAM
dimulai dengan lahirnya Magna Charta pada tahun 1215 di Inggris. Magna Charta
antara lain mencanangkan bahwa raja yang tadinya memiliki kekuasaan absolut
(raja yang menciptakan hukum, tetapi ia sendiri tidak terikat pada hukum),
menjadi dibatasi kekuasaannya dan mulai dapat dimintai pertanggungjawaban di
muka umum. Dari sinilah lahir doktrin raja tidak kebal hukum lagi dan mulai
bertanggungjawab kepada hukum. Sejak itu mulai dipraktekkan kalau raja
melanggar hukum harus diadili dan harus mempertanggungjawabkan
kebijakasanaannya kepada parlemen. Jadi, sudah mulai dinyatakan dalam hukum
bahwa raja terikat kepada hukum dan bertanggungjawab kepada rakyat, walaupun
kekuasaan membuat Undang-undang pada masa itu lebih banyak berada di tangan
raja. Dengan demikian, kekuasaan raja mulai dibatasi sebagai embrio lahirnya
monarkhi konstitusional yang berintikan kekuasaan raja sebagai simbol belaka.

Lahirnya Magna Charta ini kemudian diikuti oleh perkembangan yang


lebih konkret, dengan lahirnya Bill of Rights di Inggris pada tahun 1689. Pada
masa itu mulai timbul adagium yang intinya adalah bahwa manusia sama di
muka hukum (equality before the law). Adagium ini memperkuat dorongan
timbulnya negara hukum dan demokrasi. kemudian berkembang lagi dengan
lahirnya teori Roesseau (tentang contract social/perjanjian masyarakat),
Motesquieu dengan Trias Politikanya yang mengajarkan pemisahan kekuasaan
guna mencegah tirani, John Locke di Inggris dan Thomas Jefferson di Amerika
dengan hak-hak dasar kebebasan dan persamaan yang dicanangkannya.

Perkembangan HAM selanjutnya ditandai dengan munculnya The


American Declaration of Independence yang lahir dari paham Roesseau dan
Montesqueu. Mulailah dipertegas bahwa manusia adalah merdeka sejak di dalam
oerut ibunya, sehingga tidaklah logis bila sesudah lahir, ia harus dibelenggu.
Selanjutnya pada tahun 1789 lahirlah The French Declaration, dimana
hak-hak yang lebih rinci lagi melahirkan dasar The Rule of Law. Antara lain
dinyatakah tidak boleh ada penangkapan dan penahanan yang semena-mena,
termasuk ditangkap tanpa alasan yang sah dan ditahan tanpa surat perintah yang
dikeluarkan oleh pejabat yang sah. Dinyatakan pula presumption of innocence,
artinya orang-orang yang ditangkap kemudian ditahan dan dituduh, berhak
dinyatakan tidak bersalah sampai ada keputusan pengadilan yang berkekuatan
hukum tetap yang menyatakan ia bersalah. Dipertegas juga dengan freedom of
expression (bebas mengelaurkan pendapat), freedom of religion (bebas menganut
keyakinan/agama yang dikehendaki), the right of property (perlindungan terhadap
hak milik) dan hak-hak dasar lainnya.
Perlu juga diketahui The Four Freedoms dari Presiden Roosevelt yang
dicanangkan pada tanggal 6 Januari 1941, dikutip dari Encyclopedia Americana,
p.654 tersebut di bawah ini :
"The first is freedom of speech and expression everywhere in the world. The
second is freedom of every person to worship God in his own way-every where in
the world. The third is freedom from want which, translated into world terms,
means economic understandings which will secure to every nation a healthy
peacetime life for its inhabitants-every where in the world. The fourth is freedom
from fear-which, translated into world terms, means a worldwide reduction of
armaments to such a point and in such a through fashion that no nation will be in
a position to commit an act of physical agression against any neighbor-anywhere
in the world."
Semua hak-hak ini setelah Perang Dunia II (sesudah Hitler memusnahkan berjuta-
juta manusia) dijadikan dasar pemikiran untuk melahirkan rumusan HAM yang
bersifat universal, yang kemudian dikenal dengan The Universal Declarationof
Human Rights yang diciptakan oleh PBB pada tahun 1948.

E. Pengelompokan HAM
Alam dunia internasional, HAM diberdakan menjadi beberapa kelompok
yang bersifat kolektif maupun individual. Berikut ini adalah pengelompokan Hak
Asasi Manusia berdasarkan pengakuan secara internasional.
1. Hak sipil dan politik; hak yang dimaksud di sini adalah:

 Hak setiap manusia untuk menentukan nasib hidupnya masing-masing


dengan tidak adanya intervensi dari negara kecuali dalam hal
penguasaan.
 Hak untuk hidup nyaman, aman, dan tenteram dengan adanya jaminan
dari pemimipin negara terhadap warga negaranya.
 Hak untuk tidak dihukum mati; karena pada masa sebelum adanya
undang-undang tentang HAM banyak pemimpin sewenang-wenang
membunuh orang lain tanpa hukum yang jelas.
 Hak untuk tidak disiksa.
 Hak atas peradilan yang adil.

2. Hak ekonomi, sosial, dan budaya; hak yang dimaksud di sini adalah:

 Hak untuk bekerja, karena setiap manusia memiliki tanggung jawab


untuk memenuhi kebutuhannya sendiri.
 Hak untuk mendapat upah yang sama; maksudnya bahwa tidak boleh
ada diskriminasi dalam pemberian upah yang sesuai kemampuan.
 Hak atas kesehatan dan perumahan.

3. Hak pembangunan; hak yang dimaksud di sini adalah:

 Hak untuk mendapatkan rumah yang layak


 Hak untuk memperoleh lingkungan yang sehat
 Hak untuk mendapat layanan kesehatan yang layak

F. HAM di Indonesia
1. Periode Tahun 1945 – 1950

Pemikiran HAM pada periode awal kemerdekaan masih menekankan


pada hak untuk merdeka, hak kebebasan untuk berserikat melalui organisasi
politik yang didirikan serta hak kebebasan untuk menyampaikan pendapat
terutama di parlemen.

Pemikiran HAM telah mendapat legitimasi secara formal karena telah


memperoleh pengaturan dan masuk ke dalam hukum dasar negara
(konstitusi), yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Bersamaan dengan itu prinsip kedaulatan rakyat dan negara berdasarkan
atas hukum dijadikan sebagai sendi bagi penyelenggaraan negara Indonesia
merdeka. Komitmen terhadap HAM pada periode awal kemerdekaan
sebagaimana ditunjukkan dalam Maklumat Pemerintah tanggal 1 November
1945 yang tertulis dalam buku 30 Tahun Indonesia Merdeka menyatakan: “…
sedikit hari lagi kita akan mengadakan pemilihan umum sebagai bukti bahwa
bagi kita cita-cita dan dasar kerakyatan itu benar-benar dasar dan pedoman
penghidupan masyarakat dan negara kita. Mungkin sebagai akibat pemilihan
itu pemerintah akan berganti dan UUD kita akan disempurnakan menurut
kehendak rakyat yang terbanyak. ”

Langkah selanjutnya memberikan keleluasaan kepada rakyat untuk


mendirikan partai politik. Sebagaimana tertera dalam Maklumat Pemerintah
tanggal 3 November 1945 yang antara lain menyatakan sebagai berikut.
1) Pemerintah menyukai timbulnya partai-partai politik, karena dengan
adanya partai-partai politik itulah dapat dipimpin ke jalan yang
teratur segala aliran paham yang ada dalam masyarakat.
2) Pemerintah berharap partai-partai itu telah tersusun sebelum
dilangsungkannya pemilihan anggota badan perwakilan rakyat pada
bulan Januari 1946.
Hal yang sangat penting dalam kaitan dengan HAM adalah adanya
perubahan mendasar dan signifikan terhadap sistem pemerintahan dari
presidensial menjadi sistem parlementer, sebagaimana tertuang dalam
Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945, yang tertulis dalam
buku30 Tahun Indonesia Merdeka. Isi Maklumat tersebut adalah sebagai
berikut. “Pemerintah Republik Indonesia setelah mengalami ujian-ujian yang
ketat dengan selamat, dalam tingkatan pertama dari usahanya menegakkan
diri, merasa bahwa saat sekarang sudah tepat utnuk menjalankan macam-
macam tindakan darurat guna menyempurnakan tata usaha negara kepada
susunan demokrasi. Yang terpenting dalam perubahanperubahan susunan
kabinet baru itu ialah tanggung jawab ada di dalam tangan menteri”.

2. Periode Tahun 1950 – 1959

Periode 1950-1959 dalam perjalanan negara Indonesia dikenal dengan


sebutan periode demokrasi parlementer. Pemikiran HAM pada periode ini
mendapatkan momentum yang sangat membanggakan, karena suasana
kebebasan yang menjadi semangat demokrasi liberal atau demokrasi
parlementer mendapatkan tempat di kalangan elit politik. Seperti
dikemukakan oleh Prof. Bagir Manan dalam buku “Perkembangan Pemikiran
dan Pengaturan HAM di Indonesia menyatakan bahwa pemikiran dan
aktualisasi HAM pada periode ini mengalami “pasang” dan menikmati
“bulan madu” kebebasan. Indikatornya menurut ahli hukum tata negara
ini ada 5 (lima) aspek. Pertama, semakin banyak tumbuh partai-partai politik
dengan beragam ideologinya masing-masing. Kedua, Kebebasan pers sebagai
salah satu pilar demokrasi betul-betul menikmati kebebasannya. Ketiga,
pemilihan umum sebagai pilar lain dari demokrasi harus berlangsung dalam
suasana kebebasan, fair (adil) dan demokratis. Keempat, parlemen atau
dewan perwakilan rakyat sebagai representasi dari kedaulatan rakyat
menunjukkan kinerja dan kelasnya sebagai wakil rakyat dengan
melakukan kontrol yang semakin efektif terhadap eksekutif. Kelima, wacana
dan pemikiran tentang HAM mendapatkan iklim yang kondusif sejalan
dengan tumbuhnya kekuasaan yang memberikan ruang kebebasan. Dalam
perdebatan di Konstituante misalnya, berbagai partai politik yang berbeda
aliran dan ideologi sepakat tentang substansi HAM universal dan pentingnya
HAM masuk dalam UUD serta menjadi bab tersendiri. Bahkan diusulkan
oleh anggota Konstituante keberadaannya mendahului bab-bab UUD.
3. Periode Tahun 1959 – 1966

Pada periode ini sistem pemerintahan yang berlaku adalah sistem


demokrasi terpimpin sebagai reaksi penolakan Soekarno terhadap sistem
demokrasi parlementer. Pada sistem ini (demokrasi terpimpin), kekuasaan
terpusat dan berada di tangan Presiden. Akibat dari sistem demokrasi
terpimpin, Presiden melakukan tindakan inkonstitusional, baik pada tataran
suprastruktur politik maupun dalam tataran infrastruktur politik. Dalam kaitan
dengan HAM, telah terjadi pemasungan hak asasi manusia, yaitu hak sipil
dan hak politik seperti hak untuk berserikat, berkumpul, dan
mengeluarkan pikiran dengan tulisan. Dengan kata lain, telah terjadi sikap
restriktif (pembatasan yang ketat oleh kekuasaan) terhadap hak sipil dan hak
politik warga negara.

4. Periode Tahun 1966 – 1998

Setelah terjadi peralihan pemerintahan dari Soekarno ke


Soeharto, ada semangat untuk menegakkan HAM. Pada masa awal periode
ini telah diadakan berbagai seminar tentang HAM. Salah satu seminar
tentang HAM dilaksanakan pada tahun 1967 yang merekomendasikan
gagasan tentang perlunya pembentukan pengadilan HAM, pembentukan
komisi, dan pengadilan HAM untuk wilayah Asia. Selanjutnya, pada tahun
1968 diadakan Seminar Nasional Hukum II yang merekomendasikan
perlunya hak uji materiil (judicial review) guna melindungi HAM. Hak uji
materiil tidak lain diadakan dalam rangka pelaksanaan TAP MPRS No.
XIV/MPRS/1966. MPRS melalui Panitia Ad Hoc IV telah menyiapkan
rumusan yang akan dituangkan dalam Piagam tentang Hak-Hak Asasi
Manusia dan Hak-Hak serta Kewajiban Warga Negara. Dalam buku 30 Tahun
Indonesia Merdeka, Ketua MPRS, A.H. Nasution dalam pidatonya
menyatakansebagai berikut. “Isi hakikat daripada Piagam tersebut adalah hak-
hak yang dimiliki oleh manusia sebagai ciptaan Tuhan yang dibekali dengan
hak-hak asasi, yang berimbalan dengan kewajiban-kewajiban. Dalam
pengabdian sepenuhnya kepada Tuhan Yang Maha Esa manusia melakukan
hak-hak dan kewajiban kewajibannya dalam hubungan yang timbal balik : a.
antarmanusia dengan manusia; b. antarmanusia dengan Bangsa, Negara dan
Tanah Air ;antarBangsa.

Konsepsi HAM ini sesuai dengan kepribadian Pancasila yang


menghargai hak individu dalam keselarasannya dengan kewajiban individu
terhadap masyarakat”. Sementara itu, pada sekitar awal tahun 1970-an sampai
periode akhir 1980-an persoalan HAM di Indonesia mengalami kemunduran,
karena HAM tidak lagi dihormati, dilindungi dan ditegakkan. Pemikiran
penguasa pada masa ini sangat diwarnai oleh sikap penolakannya terhadap
HAM sebagai produk Barat dan individualistik serta bertentangan dengan
paham kekeluargaan yang dianut bangsa Indonesia. Pemerintah pada masa ini
bersifat mempertahankan produk hukum yang umumnya membangun
pelaksanaan HAM. Sikap pemerintah tercermin dalam ungkapan bahwa HAM
adalah produk pemikiran Barat yang tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur
budaya bangsa yang tercermin dalam Pancasila. Selain itu, Bangsa Indonesia
sudah terlebih dahulu mengenal HAM sebagaimana tertuang dalam rumusan
UUD 1945 yang lahir lebih dulu dibandingkan dengan Deklarasi
Universal HAM. Selain itu, sikap pemerintah ini didasarkan pada
anggapan bahwa isu HAM seringkali digunakan oleh negara- negara Barat
untuk memojokkan negara yang sedang berkembang seperti halnya Indonesia.
Meskipun mengalami kemandegan bahkan kemunduran, pemikiran HAM
nampaknya terus ada pada periode ini terutama di kalangan masyarakat yang
dimotori oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan akademisi yang fokus
terhadap penegakan HAM.

Upaya masyarakat dilakukan melalui pembentukan jaringan dan


lobi internasional terkait dengan pelanggaran HAM yang terjadi seperti kasus
Tanjung Priok, kasus Kedung Ombo, kasus DOM di Aceh, kasus Irian Jaya,
dan sebagainya. Upaya yang dilakukan oleh masyarakat menjelang periode
1990-an nampaknya memperoleh hasil yang menggembirakan karena terjadi
pergeseran strategi pemerintah dari represif dan defensif ke strategi
akomodatif terhadap tuntutan yang berkaitan dengan penegakan HAM. Salah
satu sikap akomodatif pemerintah terhadap tuntutan penegakan HAM adalah
dibentuknya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM)
berdasarkan KEPRES Nomor 50 Tahun 1993 tertanggal 7 Juni 1993.
Lembaga ini bertugas untuk memantau dan menyelidiki pelaksanaan HAM
serta memberi pendapat, pertimbangan, dan saran kepada pemerintah perihal
pelaksanaan HAM. Selain itu, Komisi ini bertujuan untuk membantu
pengembangan kondisi-kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan HAM yang
sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (termasuk hasil amandemen Undang- Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945), Piagam PBB, Deklarasi Universal
HAM, Piagam Madinah, Khutbah Wada’, Deklarasi Kairo, dan deklarasi
atau perundang-undangan lainnya yang terkait dengan penegakan HAM.
5. Periode Tahun 1998 – Sekarang.

Pergantian pemerintahan pada tahun 1998 memberikan dampak yang


sangat besar pada pemajuan dan perlindungan HAM di Indonesia. Pada saat
ini dilakukan pengkajian terhadap beberapa kebijakan pemerintah pada masa
orde baru yang berlawanan dengan pemajuan dan perlindungan HAM.
Selanjutnya, dilakukan penyusunan peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan pemberlakuan HAM dalam kehidupan ketatanegaraan dan
kemasyarakatan di Indonesia. Demikian pula pengkajian dan ratifikasi
terhadap instrumen HAM internasional semakin ditingkatkan. Hasil dari
pengkajian tersebut menunjukkan banyaknya norma dan ketentuan hukum
nasional khususnya yang terkait dengan penegakan HAM diadopsi dari
hukum dan instrumen internasional dalam bidang HAM.

Strategi penegakan HAM pada periode ini dilakukan melalui dua


tahap, yaitu tahap status penentuan (prescriptive status) dan tahap penataan
aturan secara konsisten (rule consistent behaviour). Pada tahap status
penentuan (prescriptive status) telah ditetapkan beberapa ketentuan
perundang-undangan tentang HAM, seperti amandemen konstitusi negara
(Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945), ketetapan
MPR (TAP MPR), Undang-Undang (UU), peraturan pemerintah dan
ketentuan perundang-undangan lainnya. Adapun, tahap penataan aturan secara
konsisten (rule consistent behaviour) mulai dilakukan pada masa
pemerintahan Presiden Habibie. Tahapl ini ditandai dengan penghormatan
dan pemajuan HAM dengan dikeluarkannya TAP MPR No.
XVII/MPR/1998 tentang HAM dan disahkannya (diratifikasi) sejumlah
konvensi HAM, yaitu Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan Kejam
Lainnya dengan UU Nomor 5/1999; Konvensi ILO Nomor 87 tentang
Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi dengan
keppres Nomor 83/1998; Konvensi ILO Nomor 105 tentang Penghapusan
Kerja Paksa dengan UU Nomor 19/1999; Konvensi ILO Nomor 111 tentang
Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan dengan UU Nomor 21/1999;
Konvensi ILO Nomor 138 tentang Usia Minimum untuk Diperbolehkan
Bekerja dengan UU Nomor 20/1999. Selain itu, juga dicanangkan program
“Rencana Aksi Nasional HAM” pada tanggal 15 Agustus 1998 yang
didasarkan pada empat hal sebagai berikut.
1. Persiapan pengesahan perangkat internasional di bidang HAM.

2. Desiminasi informasi dan pendidikan bidang HAM.

3. Penentuan skala prioritas pelaksanaan HAM.

4. Pelaksanaan isi perangkat internasional di bidang HAM yang telah


diratifikasi melalui perundang-undangan nasional.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada diri manusia yang
bersifat kodrati dan fundamental sebagai anugrah dari Tuhan yang harus
dihormati, dijaga dan dilindungi oleh setiap individu.

Rule of Law adalah gerakan masyarakat yang menghendaki bahwa


kekuasaan raja maupun penyelenggara negara harus dibatasi dan diatur melalui
suatu peraturan perundang-undangan dan pelaksanaan dalam hubungannya
dengan segala peraturan perundang-undangan

Dalam peraturan perundang undangan RI paling tidak terdapat empat


bentuk hokum tertulis yang memuat aturan tentang HAM. Pertama, dalam
konstitusi (Undang- undang Dasar Negara). Kedua, dalam ketetapan MPR (TAP
MPR). Ketiga, dalam Undang-undang. Keempat, dalam peraturan pelaksanaan
perundang-undangan seperti peraturan pemerintah, keputusan presiden dan
peraturan pelaksanaan lainnya.

Pelanggaran Hak Asasi Manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau


kelompok orang termasuk aparat negara, baik disengaja maupun tidak disengaja
atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau
mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh
undang-undang dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan
memperoleh penyesalan hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme
hukum yang berlaku.

Sebagai warga negara indonesia kita diwajibkan untuk mengetahui


prinsip-prinsip hukum yang ada dinegara kita.

 Mempunyai jiwa bela negara yang kuat


 Mematuhi peraturan hukum yang berlaku karena negara indonesia
merupakan negara hukum
 Sebagai makhluk tuhan kita mempunya hak asasi yang melekat dalam diri
kita sejak lahir maka dari itu hormati hak asasi yang dimiliki oleh orang lain
juga.

B. Saran
Kepada para pembaca agar mencari informasi lain mengenai Rule Of Law
dan HAM
DAFTAR PUSTAKA

F.S Catherine dkk.2010.The Rule Of Law dan Hak Asasi Manusia. Universitas
Airlangga. Surabaya
Malinda, Giovani. 2016. Pengelompokan Ham menurut UU HAM Yusri, Fathul
Wahid.2017. HAM di Indonesia
Puspita, Imami Diyah. 2015. Makalah PKN Rule Of Law dan Hak Asasi
Manusia.Bangkalan
Sadega, Ega. 2015. Makalah HAM.

Anda mungkin juga menyukai