Anda di halaman 1dari 6

BAB II

PEMBAHASAN

TAHAP-TAHAP PERKEMBANGAN ILMU HADITS

Ilmu Hadits telah melalui tahap-tahap perkembangan dalam sejarah.


Berdasarkan pengamatan sejarah telah mengemukakan penjelasan tentang tahap-
tahap perkembangan Hadits hingga dewasa ini. Tahap-tahap perkembangan
Hadits tersebut ada tujuh, yang secara singkat kami kemukakan sebagai berikut
ini.

1. Tahap Pertama, Kelahiran Ilmu Hadits

Tahap ini berlangsung pada masa sahabat sampai penghujung pertama


Hijriyah.

Kerika Nabi saw. wafat, para sahabatlah yang membawa panji-panji islam.
Kafilah ini berjalan mengawalinya demi menyelamatkan kemanusiaan dan
menyampaikan segala sesuatu yang diajarkan oleh Rasul saw. Waktu itu mereka
telah menghafal Al-Quran dengan sempurna seperti halnya mereka menguasai dan
memelihara hadits Nabi.

a. Faktor Pendukung Pemeliharaan Hadits


Di antara faktor pendukung pemeliharaan hadits yang terpenting adalah
sebagai berikut.
1) Kejernihan Hati dan Kuatnya Daya Hafal
Bangsa Arab dahulunya adalah umat yang tidak bisa membaca dan
menulis. Mereka hanya mengandalkan ingatan mereka, dan ingatan itu akan
berkembang semakin kuat apabila sering dipergunakan saat diperlukan.
Kesederhanaan mereka yang jauh dari peradaban kota menjadikan mereka
berhati jernih. Karena itu mereka dikenal sebagai bangsa yang kuat daya
hafalannya yang sulit dicari tandingannya dan kecerdasan mereka sangat
mengagumkan.
2) Minat yang Kuat terhadap Agama
Bangsa Arab percaya bahwa tidak ada kebahagiaan di dunia dan
keberuntungan di akhirat. Dan merekan percaya bahwa tidak ada jalan menuju
kemuliaan dan kedudukan yang terhormat di antara umay islam kecuali Agama
Iskam ini. Oleh karena itu, mereka mempelajari hadits Nabi dengan penuh
perhatian. Apabila perhatian seseorang terhadap suatu masalah sangat besar
maka dia akan benar-benar menyimpannya dalam ingatan yang tidak pernah
dilupakan.

3) Kedudukan Hadits dalam Agama Islam


Sebagaimana Hadits telah merupakan sendi asasi yang telah membentuk
pola piker pada zaman sahabat serta sikap perbuatan dan etika mereka. Sebab
mereka senantiasa tunduk kepada Rasulullah saw. dalam segala hal. Setiap kali
mereka mendapar suatu kalimat dari Nabi maka perkataan tersebut akan
mendarah daging dan menjelma pada perilaku mereka.

4) Nabi Tahu Bahwa para Sahabat Akan Menjadi Pengganti Beliau dalam
Mengemban Amanah dan Menyampaikan Risalah
Rasulullah menempuh beberapa metode untuk menyampaikan hadits
kepada mereka dan menempuh jalan hikmah agar mereka mampu mengemban
tanggung jawab. Nabi tidak menyampaikan hadits secara beruntun melainkan
sedikit demi sedikit. Beliau tidak berbicara panjang lebar, melainkan dengan
sederhana. Nabi seringkali mengulangi pembicaraannya agar dapat ditangkap
oleh hati orang-orang yang mendengarnya.

5) Penulisan Hadits
Penulisan hadits pada tahap ini sekedar menghimpun hadits ke dalam
lembaran-lembaran saja. Karenanya tidak menggnakan sistematika tertentu.
Pada pertengahan abad kedua, penulisan hadits mulai sistematis, yakni
berdasarkan bab-bab tertentu.
Sebenarnya penulisan hadits di masa Rasulullah saw. telah mencangkup
sejumlah besar hadits apabila dikumpulkan akan menjadi sebuah kitabyang
cukup tebal. Di antara tulisan hadits pada waktu itu adalah sebagai berikut.
a) Al-shahifah al-Shadiqah
Ditulis oleh Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash. Ia berkata, “Saya hafal
seribu buah kata mutiara dari Nabi saw.”
b) Shahifah Ali bin Abi Thallib
Shahifah ini sangat tipis dan hanya berisi hadits-hadits tentang
ketentuan hukum diat dan pembebasan tawanan.
c) Shahifah Sa’ad bin ‘Ubadah
Sa’ad bind Ubadah adalah seorang sahabat senior. At-Turmudzi
meriwayatkan dalam kitabnya dari Ibnu Sa’ad bin Ubadah, ia berkata
”Kami temukan dalam kitab Sa’ad bahwa Rasulullah menjatuhkan
hukuman berdasarkan sumpah dan seorang saksi”.
d) Surat-surat Rasulullah Saw.
Surat-surat tersebut merupakan surat kepada para pegawai dan
gubernur beliau berkenaan dengan pengaturan wilayah Islam dan
negara-negara terdekat serta penjelasan hukum-hukum agama.

b. Pedoman Periwayatan Hadits pada Masa Sahabat


Para sabahbat adalah penyambung lidah Rasulullah saw. untuk
melaksanakan itu mereka mengerahkan seluruh kemampuan kemanusiawinya,
dengan teteap tidak melalaikan suatu dari perkara yang sangat mulia, yaitu
memelihara peninggalan beliau dari berbagai perubahan.
Rasulullah membebankan dosan pembuat hadits palsu kepada seseorang
yang ikut meriwayatkannya.

Para sahabat menggunakan periwayatan hadits yang sangat sederhana,


sesuai dengan kebutuhan masyarakat waktu untuk memastikan kesahilan dan
menjauhi kesalahan. Kemudian kaidah ini senantiasa berkembang sejalan
dengan perkembangan zaman hingg mencapai puncakya.
c. Pedoman Periwayatan Hadits yang Terpenting pada Masa Sahabat
1) Pengurangan Riwayat dari Rasulullah Saw.
Ini karena adanya kekhawatiran bahwa orang-orang yang banyak
meriwayatkan hadits mudah tergelincir karena salah atau lupa, yang
pada gilirannya mereka akan berdusta atas nama Rasulullah tanpa
disadari.
2) Berhati-hati dalam Menerima dan Menyampaikan Hadits
Merintis ketelitian dalam menerima hadits dan bersikap tawaqquf yaitu
tidak menerima dan tidak menolak terhadap hadits yang hanya
diriwayatkan seseorang apabila hadits itu meragukan.
3) Pengujian terhadap Setiap Riwayat
Hal ini dilakukan dengan cara membandingkan setiap riwayat yang
diterima dengan nash atau kaidah agama. Apabila menyalahi salah satu
dari nash maka hadits tersebut akan segera ditolak.

2. Tahap Kedua, Tahap Penyempurnaan


Pada tahap ini ilmu hadits mencapai tahap kesempurnaannya, karena setiap
cabangnya dapat berdiri sendiri dan sejalan dengan kaidah-kaidah yang telah
ditetapkan dan dipergunakan oleh para ulama. Namun, tahap ini ditandai oleh
sejumlah peristiwa yang menonjol
a. Melemahnya daya hafal di kalangan umat Islam
b. Panjang dan bercabangnya sanad-sanad hadits, lantaran bentangan jarak,
waktu, dan semakin banyaknya rawi
c. Munculnya sejumlah kelompok islam yang menyimpang dari kebenaran.
Untuk mengantisipasi kekacauan ini para imam umat Islam bangkit
dengan langkah yang dapat menutup pengaruh yang mungkin timbul, antara
lain.
1) Pembukuan Hadits secara Resmi. Umar bin Abdul Aziz merasakan
adanya kebutuhan yang sangat mendesak untuk memelihara
perbendaharaan Sunah. Untuk itu, diedarkannya surat perintah di
seluruh wilayah kekuasaannya agar setiap orang yang hafal hadits
menuliskan dan membukukannya supaya tiada hadits yang akan hilang
setelah itu.
2) Sikap para ulama yang lebih kritis terhadap para rawi hadits. Karena
pada waktu itu banyak ditemukan kelemahan, baik daya hafal ataupun
unsur-unsur nafsu dan perbuatan bid’ah.
3) Sikap tawaqquf yaitu tidak menolak dan tidak menerima apabila
mendapatkan hadits dari seseorang yang tidak mereka kenal sebagai
ahli hadits.
4) Sikap menelusuri sejumlah gadits untuk mengungkap kecacatan yang
mungkin tersembunyi da dalamnya, lalu untuk setiap hal batu mereka
membuat kaidah dan formula khusus dalam upaya pengenalannya.

3. Tahap Ketiga, Tahap Pembukuan Ilmu Hadits Secara Terpisah


Tahap ini berlangsung sejak abad ketiga sampai pertengahan abad keempat
Hijriyah. Dalam tahap ini ditandai dengan inisiatif para ulama untuk membukukan
hadits Rasul secara khusus. Kemudian datanglah al-Bukhari dengan inisiatif baru,
yakni membukukan hadits-hadits sahih secara khusus dan disusun berdasarkan
bab-bab tertentu, agar mudah dacari dan dipahami hadits-haditsnya.
Dalam tahap ini setiap cabang ilmu hadits telah berdiri sebagai suatu ilmu
tersendiri, seperti ilmu hadits sahih, ilmu hadits mursal, ilmu al-Asma wa ‘al-
Kuna, dan sebagainya. Para ulama pun telak menyusun kitab khusus untuk setiap
cabang tersebut.
Akan tetapi, dalam tahap ini belum dijumpai tulisan yang pembahasanya
mencangkup seluruh kaidah cabang-cabang ilmu hadits dengan batasan istilah-
istilahnya, karena mereka masih mengandalkan hafalan dan penguasaannya
terhadap semua itu kecuali kitab kecil yang berjudul al-Ilal al-Shaghir karya
imam at-Turmudzi.

4. Tahap Keempat, Penyusunan Kitab-Kitab Induk ‘Ulum al-Hadits dan


Penyebarannya
Tahap ini bermula pada petengahan abad keempat dan berakhir pada
permulaan abad ketujuh. Para ulama pada periode ini menekuni dan mendalami
kitab-kitab yang disusun oleh ulama sebelumnya dan notabene perintis dalam
pembukuan hadits dan ilmu hadits. Dalam periode ini dijumpai kitab-kitab yang
menjadi rujukan para ulama dalam menyusun kitab-kitab sejenis dalam periode
berikutnya. Diantara kitab-kitab tersebut adalah sebagai berikut
a. Al-Muhaddits al-Fashil Baina ar-Rawi wa al-Wa’i, karya al-Qadhi Abu
Muhammad ar-Ramahurmuzi al-Hasan bid Abdirrahman bin Kallad.
Kitab ini nerupakan kitab terbesar dalam bidangnya sampai saat itu.
Pembahasaannya membahas tata tertib rawi dan muhaddits, teknik
penyampaian dan penerimaan hadits, kesungguhan ulama dalam mengemban
ilmu ini, dam hal lain yang berkaitan dengan disiplin ilmu hadits.
b.

Anda mungkin juga menyukai