Anda di halaman 1dari 13

1

DISKRESI PIMPINAN PENGADILAN MENGENAI PENGANGKATAN

PELAKSANA HARIAN KETUA PENGADILAN

Oleh :

Lanka Asmar, S.HI.M.H


Hakim Pengadilan Agama Balige

A. PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara hukum (rechtstaat). Konsep negara hukum


telah ada sejak zaman Yunani 2500 tahun yang lalu, yang dimunculkan pertama kali
oleh Plato dengan karyanya Politea (the Republic), Politicos (the Stateman), dan
Nomoi (the Law). Ide negara hukum pada bangsa Yunani muncul sebagai reaksi
terhadap kesewenang-wenangan penguasa pada waktu itu, sehingga ide negara
hukum ini dapat dipahami sebagai antithesis kesewenang-wenangan penguasa
tersebut. Demikian pula konsep negara hukum yang berkembang pada abad ke 17
dan 18, lahir sebagai reaksi menentang kesewenang-wenangan raja yang berkuasa
secara mutlak di Eropa pada zaman itu, yang dikembangkan oleh John Locke,
Montesquieu dan Rosseau.1

John Locke mengeluarkan karya “Two Treaties of Civil Government” yang


merupakan dasar pembenar Revolusi Inggris pada tahun 1688-1689. Ide gagasan
John Locke adalah gagasan persamaan kedudukan manusia sebagai makhluk
ciptaan Tuhan, raja dan rakyat pada dasarnya memiliki kedudukan yang sama
sebagai ciptaan Tuhan. Dengan kata lain, raja tidak memiliki hak istimewa untuk
memerintah rakyat. Sedangkan ajaran Montesquieu melahirkan doktrin pemisahan
kekuasan yang lebih dikenal dengan asas “trias politica” (tiga cabang kekuasaan).
Ajaran trias politica bertujuan menentang kekuasaan raja yang absolute dan apabila
kekuasaan yudisial bersatu dengan kekuasaan legislative dan eksekutif kehidupan
negara akan dihadapkan dengan pada pengawasan yang sewenang-wenang,

1
Hotma P Sibuea, Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan dan Asas-asas Umum Pemerintahan
Yang Baik, PT. Gelora Aksara Pratama, Jakarta, 2010, Hal. 8-11
2

karena hakim menjadi pembentuk Undang-undang, jika yudisial bersatu dengan


eksekutif, hakim akan berprilaku jahat dan kejam. Oleh sebab itu mesti ada
pemisahan kekuasaan negara. 2

Undang-Undang Dasar 1945 menganut ajaran pemisahan kekuasaan dari


Montesquieu, hal ini terlihat dengan dijaminnya kekuasan kehakiman berdasarkan
pasal 24 ayat (1) dan (2) UUD 1945. Dalam Undang-undang Dasar (UUD) 1945
dijelaskan bahwa Mahkamah Agung RI dan peradilan yang berada di dalam
lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan peradilan
militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara adalah pelaku kekuasaan
kehakiman yang merdeka disamping Mahkamah Konstitusi. Reformasi di bidang
hukum (amandemen UUD 1945) telah menempatkan Mahkamah Agung RI tidak lagi
sebagai satu-satunya kekuasaan kehakiman, tetapi Mahkamah Agung RI hanya
salah satu pelaku kekuasaan kehakiman.3

Di dalam struktrur organisasi Mahkamah Agung RI dibentuklah pimpinan


yang terdiri dari seorang ketua dan 2 (dua) wakil ketua dan beberapa orang ketua
muda (pasal 5 ayat 1 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah
Agung RI). Wakil Ketua Mahkamah Agung terdiri dari Wakil Ketua bidang yudisial
dan Wakil Ketua bidang Non Yudisial. Sedangkan untuk struktur organisasi pimpinan
pada Pengadilan Tinggi dan Pengadilan tingkat pertama berdasarkan pasal 1 ayat 4
Peraturan Bersama Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial RI Nomor :
02/PB/MA/IX/2012 terdiri dari :

1. Ketua dan Wakil Ketua pada Pengadilan Tingkat Banding dan Pengadilan
Tingkat Pertama pada lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama
Peradilan Tata Usaha Negara
2. Kepala dan Wakil Kepala pada Pengadilan Militer Utama, Pengadilan
Militer Tinggi, dan Pengadilan Militer
3. Ketua dan Wakil Ketua pada Pengadilan Pajak

Pimpinan Mahkamah Agung RI, Pengadilan Tinggi/Banding dan Pengadilan


Tingkat pertama merupakan pejabat Negara sesuai dengan pasal 122 huruf (e)

2
Ibid, hal. 22-25
3
Titik Triwulan dkk, Hukum Tata Usaha Negara dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara
Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2011, hal. 83
3

Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN).


Sehingga dalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 2010 tentang keprotokolan diatur
tentang tata tempat Pimpinan Mahkamah Agung dan pimpinan pengadilan dalam
acara kenegaraan. Namun dalam tulisan ini dibatasi hanya mengenai pimpinan
pengadilan tingkat pertama. Pimpinan pengadilan tingkat pertama dapat melakukan
perbuatan tata usaha Negara yang dikelompokkan dalam 3 macam perbuatan : 4

a. Mengeluarkan keputusan (beschikking)


b. Mengeluarkan peraturan (regeling)
c. Melakukan perbuatan materil (materiele daad)

Pimpinan pengadilan hendaknya juga memperhatikan asas-asas


pemerintahan yang baik yaitu 1. asas kepastian hukum, 2. asas keseimbangan,
3. asas kesamaan dalam mengambil keputusan, 4. asas bertindak cermat, 5. asas
motivasi dalam setiap keputusan, 6. asas larangan mencampuradukkan
kewenangan 7. Asas permainan yang layak 8. Asas keadilan atau kewajaran
9. Asas menanggapi penghargaan yang wajar 10. Asas meniadakan akibat
keputusan yang batal 11. Asas perlindungan atas pandangan (cara) hidup pribadi. 5

Dalam pelaksanaan kepemimpinan di pengadilan, terbuka peluang untuk


mengangkat Pelaksana Harian (Plh) jika Pimpinan pengadilan (ketua dan wakil
ketua berhalangan). Oleh sebab itu penulis ingin mengangkat permasalahan yaitu :

a. Bagaimana aturan pengangkatan Plh Ketua Pengadilan ?


b. Bagaimana tugas dan fungsi Plh Ketua di Pengadilan?
c. Bagaimana diskresi pimpinan pengadilan mengangkat Plh Ketua?

B. PEMBAHASAN

1. Aturan pengangkatan Pelaksana Harian (Plh) Ketua Pengadilan

Pengangkatan Pelaksana Harian (Plh) Ketua Pengadilan merupakan suatu


kebijakan dari pimpinan pengadilan. Kebijakan menurut Thomas Dye adalah pilihan
untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu (whatever governments choose to

4
Ibid, hal. 313
5
Hotma P Sibuea, Op.cit, Hal. 158
4

do or not to do). Menurut Friedrich fungsi suatu kebijakan adalah tujuan (goals),
6
sasaran (objective), atau kehendak (purpose). Artinya wewenang untuk membuat
kebijakan hanya ada pada jabatan yang lebih tinggi. Hal ini dapat dimengerti karena
pada jabatan tersebut terdapat fungsi pengaturan (regulasi). Sementara itu, pada
jabatan-jabatan yang rendah terdapat fungsi pelaksanaan atau teknis.

Pimpinan Pengadilan tingkat pertama yang merupakan simbol kekuasaan


yudikatif di kabupaten dan kotamadya, Kepala Daerah (Bupati/Walikota) yang
merupakan simbol kekuasan eksekutif, dan Pimpinan DPRD tingkat II yang
merupakan simbol kekuasan legislatif tentunya mempunyai kebijakan dan aturan
masing-masing dalam menetapkan pengganti pimpinan jika berhalangan.. Misalnya
kalau kita lihat pasal 26 ayat 1 huruf (g) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah dijelaskan bahwa Wakil Kepala Daerah mempunyai
tugas melaksanakan tugas dan wewenang kepala daerah apabila kepala daerah
berhalangan. Tugas wakil Ketua Pengadilan juga melaksanakan tugas dan
wewenang apabila Ketua Pengadilan berhalangan. Artinya antara Ketua dan Wakil
Ketua Pengadilan adalah satu paket pimpinan. Namun perbedaan antara Ketua
Pengadilan dan Wakil Ketua Pengadilan terdapat dalam tata cara penyumpahan.
Misalnya bagi Ketua Pengadilan Agama yang disumpah dihadapan Ketua
Pengadilan Tinggi Agama (pasal 16 ayat 4 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006
tentang Peradilan Agama), sedangkan bagi Wakil Ketua Pengadilan Agama
mengucapkan sumpah di hadapan Ketua Pengadilan Agama (pasal 16 ayat 3
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006)

Setelah disahkan RUU ASN menjadi Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014


tentang ASN, maka terdapat beberapa perubahan aturan kepegawaian. Begitu juga
mengenai pengertian Badan Kepegawaian Negara (BKN), dalam Undang-undang
sebelumnya yaitu Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 dan Undang-undang
Nomor 43 Tahun 1999 tidak dijelaskan secara detail. Namun dalam pasal 1 ayat 21
Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN dijelaskan pengertian Badan
Kepagawain Negara (BKN) adalah lembaga pemerintah non kementerian yang
diberi kewenangan melakukan pembinaan dan menyelenggarakan Manajemen ASN
secara Nasional sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini. Berdasarkan pasal

6
Said Zainal Abidin, Kebijakan Publik, Salemba Humanika, Jakarta : 2012 Hal. 5-6
5

48 huruf (e) Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN dijelaskan bahwa
BKN mempunyai tugas menyusun norma, standar, dan prosedur teknis pelaksanaan
kebijakan Manajemen ASN.

BKN mengatur Pelaksana Tugas (Plt) berbeda dengan Pelaksana Harian


(Plh). Pelaksana Tugas (Plt) diatur dalam Surat Kepala Badan Kepegawaian Negara
(BKN) Nomor : K.26-20/V.24-25/99 tentang tata cara pengangkatan PNS sebagai
Pelaksana Tugas (Plt), yang menyatakan bahwa Pelaksana Tugas (Plt) diangkat
dalam Surat Perintah oleh Pejabat Pembina Kepegawaian (lihat huruf 2 poin 1),
sedangkan Pelaksana Harian (Plh) diangkat oleh pejabat yang tidak dapat
melaksanakan tugas (point 1 Surat Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN)
Nomor: K.26.3/V.5-10/99)

Berdasarkan Surat Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Nomor:


K.26.3/V.5-10/99 tentang Penunjukan Pejabat Pelaksana Harian (Plh) tanggal 18
Januari 2002 yang dikeluarkan oleh Prijono Tjiptoherijanto dijelaskan bahwa apabila
pimpinan pengadilan (ketua dan Wakil Ketua Pengadilan) berhalangan atau pejabat
tidak dapat melaksanakan tugas dengan alasan sedang melaksanakan kunjungan
ke daerah atau ke luar negeri, mengikuti pendidikan dan pelatihan/kursus,
menunaikan ibadah haji, dirawat di rumah sakit, cuti atau alasan lain segera
menunjuk pejabat lain di lingkungannya sebagai Pelaksana Harian (Plh) dengan
ketentuan :

1. Pejabat eselon I, maka pimpinan instansi menunjuk seorang pejabat


eselon I lainnya atau seorang pejabat eselon II di lingkungan pejabat
yang berhalangan
2. Pejabat eselon II, maka pejabat eselon I yang membawahi pejabat yang
berhalangan tersebut menunjuk seorang pejabat eselon II lain di
lingkungannya atau seorang pejabat eselon III di lingkungan pejabat yang
berhalangan tersebut
3. Pejabat eselon III, maka pejabat eselon II yang membawahi pejabat yang
berhalangan tersebut menunjuk seorang pejabat eselon III lain di
lingkungannya atau seorang pejabat eselon IV di lingkungan pejabat yang
berhalangan tersebut
6

4. Pejabat eselon IV, maka pejabat eselon III yang membawahi pejabat yang
berhalangan tersebut menunjuk seorang pejabat eselon IV lain di
lingkungannya atau seorang staf di lingkungan pejabat yang berhalangan
tersebut.

Kemudian dalam surat tersebut juga dijelaskan bahwa apabila yang


berhalangan sementara adalah pimpinan instansi, maka pimpinan instansi tersebut
menunjuk seorang pejabat yang kedudukannya setingkat lebih rendah di
lingkungannya (lihat point ke 3 (tiga)). Dalam hal tersebut, dijelaskan batas waktu
untuk menetapkan Plh adalah sekurang-kurangnya adalah 7 (tujuh) hari kerja (lihat
point 2 (dua)). Artinya Pelaksana Harian (Plh) boleh ditetapkan, apabila ada
pimpinan pengadilan berhalangan 7 hari kerja.

Kemudian untuk menggantikan pimpinan pengadilan sesuai dalam surat


tersebut adalah seorang pejabat yang kedudukan setingkat lebih rendah, tentunya
untuk menggantikan pimpinan pengadilan sebagai Pelaksana Harian (Plh) adalah
seorang hakim. Namun bagaimana kriteria hakimnya? Kalau kita pahami dari surat
tersebut, Plh ditunjuk kepada pejabat kedudukan yang setingkat lebih rendah dari
pimpinan pengadilan yaitu hakim yang menduduki urutan paling senior.

Surat Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) tersebut kalau kita lihat dari
Hukum Administrasi Negara merupakan peraturan kebijakan “beleidsregel”. Menurut
Prof. Dr. Jimly Asshidiqie, SH, MH menjelaskan Peraturan kebijakan diperlukan
dalam rangka menjamin konsistensi tindakan administrasi. Konsistensi berlaku bagi
tindakan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan serta tindakan-
tindakan pada kebebasan berkehendak. Kebebasan bertindak dalam istilah yang
berbeda dapat digantikan dengan “diskresi” maupun “freis ermessen”.7

2. Tugas dan fungsi Plh Ketua di Pengadilan

Peraturan Kebijakan tentang Pelaksana Harian (Plh) yang dikeluarkan oleh


BKN adalah ketentuan sebagai administrasi negara. Peraturan kebijakan hanya
dibuat oleh Presiden atau pemerintah. Dengan demikian, cabang-cabang

7
Enrico Simanjuntak, “Peradilan Administrasi dan Problematika Peraturan Kebijakan”, Majalah Varia
Peradilan Tahun XXVI No, 305, Jakarta : 2011, Hal. 30
7

pemerintahan lain tidak diperbolehkan membuat peraturan kebijakan. Cabang-


cabang pemerintah lain, hanya membuat peraturan internal (kerumah tanggaan)
yang semata-mata berlaku ke dalam, kecuali Undang-undang mengatur khusus.
Misalnya : Mahkamah Agung RI dapat membuat Peraturan Mahkamah Agung
8
(PERMA) berdasarkan ketentuan Undang-undang.

Peraturan kebijakan pada dasarnya ditujukan kepada badan atau pejabat


administrasi negara. Ketentuan tersebut tidak akan mengenai masyarakat umum.
Pengujian terhadap peraturan kebijakan lebih diarahkan kepada “doelmatigheid” dan
karena itu batu ujinya adalah asas-asas umum penyelenggaraan pemerintahan yang
baik.

Sebagai peraturan kebijakan yang berbentuk surat edaran, Surat Kepala BKN
tersebut menjelaskan tentang penunjukan Pelaksana Harian (Plh) harus berdasaran
Surat Perintah dengan ketentuan :

1. Dalam surat perintah harus disebutkan tugas-tugas yang dapat dilakukan


selama pejabat defenitif tersebut berhalangan sementara.
Dalam hal ini tentunya pimpinan pengadilan dalam Surat Perintah mesti
menjelaskan tugas-tugas yang dipegang oleh Plh Ketua Pengadilan.
2. Pejabat Pelaksana Harian tidak memiliki kewenangan untuk mengambil
atau menetapkan keputusan mengikat seperti pembuatan DP3, penetapan
surat keputusan, penjatuhan hukuman disiplin dan sebagainya
3. Pengangkatan sebagai Pelaksana Harian tidak boleh menyebabkan yang
bersangkutan dibebaskan dari jabatan defenitifnya dan yang bersangkutan
tetap melaksanakan tugas dalam jabatan defenitifnya
4. Pejabat yang ditunjuk sebagai pelaksana harian tidak membawa dampak
terhadap kepegawaian dan tidak diberikan tunjangan jabatan dalam
kedudukannya sebagai Pelaksana Harian
3. Diskresi Pimpinan Pengadilan mengangkat Pelaksana Harian (Plh) Ketua

Menurut Wahyudi Kumarotomo dijelaskan bahwa makin tinggi kedudukan


seorang pejabat, makin dituntu syarat kearifan, karena semakin banyak terlibat
dalam bidang manajerial ketimbang bidang teknis. Logikanya adalah bahwa semakin

8
Bagir Manan, “Peraturan Kebijakan”, Majalah Varia Peradilan Tahun XXIII No. 277, Jakarta : 2008
Hal. 8
8

tinggi jabatan seseorang, semakin banyak orang lain yang akan dipengaruhi oleh
keputusan-keputusan pejabat tersebut, sehingga semakin besar resiko ketidak
puasan di antara bawahan atau masyarakat. Pejabat yang arif adalah pejabat yang
mampu menjaga supaya keputusan-keputusannya diterima oleh sebagian besar
orang dengan landasan kebenaran yang hakiki. 9

Dalam membuat kebijakan, seorang pejabat dapat menggunakan


interprestasinya terhadap gagasan tertentu, individu maupun kelompok secara
positif maupun negatif. Demikian pula, dalam esensi kebijakan yang diambilnya dia
dapat melibatkan atau tidak melibatkan kelompok maupun objek tertentu dalam
proses kebijakan. Keputusan berarti memilih satu alternative dan melepaskan
10
alternative yang lain. Dalam membuat kebijakan diperlukan 3 hal yaitu :

1. Optimisme yaitu kecendrungan untuk mendapatkan hasil-hasil yang


positif.
2. Keberanian (courage). Pembuat kebijakan harus berani menolak tekanan-
tekanan yang tidak sah dari pengaruh kelompok-kelompok kepentingan
yang kuat, intimidasi dari para pakar dan orang-orang yang mengandalkan
favoritisme.
3. Keadilan yang berwatak kemurahan hati (Fairness Tempered With
Charity). Sifat ini menunjukkan kemampuan untuk menyeimbangkan
komitmen yang sama serta kepekaan atas perbedaan individual. Oleh
karena itu kearifan seorang pemimpin diperlukan untuk perumus kebijakan
yang baik.

Pimpinan Pengadilan mesti memperhatikkan kode etik hakim yaitu berprilaku


adil, berprilaku jujur, berpilaku arif dan bijaksana, berprilaku mandiri, berintegritas
tinggi, bertanggung jawab, menjunjung tinggi harga diri, berdisiplin tinggi, berprilaku
rendah hati, dan bersikap professional. Kode Etik Hakim tersebut apabila
dilaksanakan dengan sungguh-sungguh akan melahirkan pimpinan yang dihormati
oleh warga peradilan baik hakim maupun pegawai.

9
Wahyudi Kumorotmo, “Etika Administrasi Negara”, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta : 2011 Hal
372-373,
10
Ibid, Hal 372-379.
9

Pimpinan pengadilan dalam menjalankan tugas manajerial di pengadilan,


dapat menggunakan diskresi atau “freis ermessen”. Diskresi mengandung arti
kemerdekaan atau kebebasan untuk membuat pertimbangan, penilaian dan
perkiraan. Secara istilah disresi mengandung arti hak atau kewenangan pejabat
administrasi negara untuk mengambil suatu tindakan yang dianggap pantas atau
patut sesuai dengan keadaan factual yang dihadapi oleh pajabat administrasi negara
yang bersangkutan. Kepantasan atau kepatutan tersebut didasarkan kepada
pertimbangan bahwa jika suatu tindakan tidak dilakukan kemungkinan besar
kerugian atau kerusakan yang lebih besar. Ukuran diskresi tidak dapat
dipertanggung jawabkan secara hukum adalah kepatutan (moral) dan kelayakan
(akal sehat). Diskresi tidak boleh dilakukan tanpa dasar atau bertindak sewenang-
11
wenang atau pertimbangan subjektif individual

Menurut Ridhwan HR, syarat suatu diskresi adalah : 12

1. Belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang


penyelesaian in concreto terhadap suatu masalah, padahal masalah
tersebut menyelesaikan yang segera
2. Peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar tindakan aparat
pemerintah telah memberikan kebebasan sepenuhnya
3. Adanya delegasi perundang-undangan, yaitu pemberian kekuasaan untuk
mengatur sendiri kepada pemerintah yang sebenarnya, kekuasaan ini
dimiliki oleh aparat yang lebih tinggi tingkatannya.

Dalam kondisi pertama, diskresi mengandung arti sebagai tindakan


pemerintah yang dilakukan atas inisiatif sendiri, akibat terjadi kekosongan
hukum.Dalam hal ini timbul permasalahan apakah penunjukkan Pelaksana Harian
(Plh) Ketua Pengadilan mesti 7 hari kerja?apabila pimpinan pengadilan (Ketua dan
Wakil Ketua Pengadilan) berhalangan selama 3 hari kerja apa tindakan yang mesti
dilakukan?Tentunya ini merupakan kekosongan hukum. Namun dalam prakteknya
telah banyak dilakukan diskresi oleh pimpinan pengadilan menunjuk Pelaksana
Harian (Plh) dalam jangka waktu kurang dari 7 hari kerja tersebut.

11
Hotma P Sibuea, Op.Cit, hal. 70-71
12
Ibid, hal 73-75
10

Diskresi pada dasarnya terbagi 2 macam yaitu diskresi bebas dan diskresi
terikat. Diskresi terikat adalah ruang pertimbangan yang diberikan kepada pejabat
dibatasi oleh Undang-undang, sehingga ruang pertimbangan bersifat terbatas.
Sedangkan diskresi bebas adalah ruang pertimbangan tersebut tidak dibatasi secara
khusus oleh Undang-undang, undang-undang hanya memberi batas secara umum,
sehingga pejabat administrasi negara bebas mengambil keputusan apa saja asalkan
tidak melampaui atau melanggar batas-batas tersebut.13

Pelaksanaan diskresi pimpinan pengadilan ini didasarkan kepada “Teori


Perintah” yang dikemukakan oleh John Austin yang menyatakan bahwa perintah
oleh seorang pemangku otoritas, selama perintah tersebut sah secara hukum dan
dilakukan sesuai dan tidak melampaui wewenang yang diberikan oleh hukum, dapat
disebut perintah hukum, maka perintah tersebut wajib dilaksanakan dan bagi yang
mengabaikan dapat dikenai sanksi hukum14

C. KESIMPULAN

1. Aturan mengenai pengangkatan Pelaksana Harian (Plh) Ketua Pengadilan


diatur oleh Surat Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Nomor:
K.26.3/V.5-10/99 tentang Penunjukan Pejabat Pelaksana Harian (Plh) tanggal
18 Januari 2002 yang dikeluarkan oleh Prijono Tjiptoherijanto yang pada intinya
Plh dapat diangkat apabila pimpinan pengadilan berhalangan selama 7 (tujuh)
hari kerja dan ditunjuk pejabat yang kedudukannya setingkat lebih rendah dari
pimpinan pengadilan. Oleh karena pimpinan Pengadilan adalah dari kalangan
hakim, tentunya untuk menggantikan pimpinan pengadilan adalah hakim yang
paling senior. Penunjukan Plh mesti dalam bentuk Surat Perintah.
2. Berdasarkan Surat Kepala Badan Kepegawaian Negara, maka tugas Plh mesti
disebutkan dalam Surat Perintah. Namun Plh Ketua Pengadilan tidak boleh
memiliki kewenangan untuk mengambil atau menetapkan keputusan mengikat
seperti pembuatan DP3, penetapan surat keputusan, penjatuhan hukuman
disiplin dan sebagainya.

13
Ibid, hal. 79-80
14
Munir Fuady, Teori-teori besar (Grand Theory) Dalam Hukum, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta 2013 Hal. 96
11

3. Diskresi Pimpinan Pengadilan mengangkat Pelaksana Harian (Plh) Ketua harus


memiliki batasan-batasan yang ketat. Karena diskresi merupakan kebebasan
bertindak dari pimpinan pengadilan. Apabila pimpinan pengadilan hendak
melakukan diskresi, hendaknya memperhatikan kriteria diskresi bebas atau
diskresi terikat. Misalnya : meskipun dalam Surat Kepala BKN diatur syarat
menetapkan Plh adalah apabila pimpinan pengadilan berhalangan 7 hari kerja,
namun oleh diskresi pimpinan pengadilan boleh menetapkan Plh dalam jangka
waktu 2 hari kerja, apabila pimpinan pengadilan berhalangan, tentunya dengan
syarat yang ketat.
12

DAFTAR PUSTAKA

a. Buku

Kumorotmo, Wahyudi “Etika Administrasi Negara”, PT. Raja Grafindo Persada,


Jakarta : 2011

Sibuea, Hotma P, Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan dan Asas-asas Umum
Pemerintahan Yang Baik, PT. Gelora Aksara Pratama, Jakarta, 2010

Triwulan, Titik, Hukum Tata Usaha Negara dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha
Negara Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2011

Zainal Abidin, Said Kebijakan Publik, Salemba Humanika, Jakarta : 2012

b. Jurnal/Majalah

Enrico Simanjuntak, “Peradilan Administrasi dan Problematika Peraturan Kebijakan”,


Majalah Varia Peradilan Tahun XXVI No, 305, Jakarta : 2011

Bagir Manan, “Peraturan Kebijakan”, Majalah Varia Peradilan Tahun XXIII No. 277,
Jakarta : 2008

c. Peraturan perundang-undangan

Undang-undang Dasar 1945

Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian

Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-pokok Kepegawaian

Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama

Surat Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Nomor: K.26.3/V.5-10/99 tentang


Penunjukan Pejabat Pelaksana Harian (Plh)
13

Surat Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Nomor : K.26-20/V.24-25/99


tentang tata cara pengangkatan PNS sebagai Pelaksana Tugas (Plt)

Anda mungkin juga menyukai