Disusun oleh:
1. Irmayeni Nur. A (19121096)
2. Mayang Dwi. S (19121102)
3. Putri Lidiyawati (19121109)
A. Pengertian
Sindrom nefrotik (SN) ialah keadaan klinis yang ditandai oleh proteinuria,
hipoproteinemia, edema, dan dapat disertai dengan hiperlipidemia. Kadang- kadang
disertai hematuri, hipertensi dan menurunnya ecepatan filtrasi glomerulus. Sebab pasti
belum jelas, dianggap sebagai suatu penyakit autoimun. Sindrom nefrotik paling banyak
terjadi pada anak umur 3-4 tahun dengan perbandingan pasien wanita dan pria 1:2.
(Sundoyo dalam Nurarif dan Kusuma, 2015, p. 17).
Pada proses awal SN ringan untuk menegakkan diagnosis tidak semua gejala tersebut
harus ditemukan proteinuria masih merupakan tanda khas SN, tetapi pada SN berat yang
disertai kadar albumin serum rendah eskresi protein dalam urine juga berkembang.
Proteinuria juga berkontribusi terhadap berbagai kaomplikasi yang terjadi pada SN.
Hipoalbuminemia, hiperlipidemia dan lipiduria gangguan keseimbangn hidrogen,
hiperkoagulitas, gangguan metabolisme kalsium dan tulang serta hormon tiroid sering
dijumpai pada SN. Umunya pada SN fungsi ginjal normal kecuali sebagai khusus yang
berkembang menjadi tahap akhir (PGTA) pada beberapa episode SN dapat sembuh sendiri
dan menunjukkan respon yang baik terhadap terapi stroid, tetapi sebagian lain dapat
berkembang menjadi kronik. (Sudoyo, 2010, hal. 999).
C. Etiologi
Sindrom nefrotik dapat disebabkan oleh glomerulonefritis primer dan sekunder akibat
infeksi keganasan penyakit jaringan penghubung, obat atau toksin dan akibat penyakit
sistemik seperti:
1. Glomerulonefritis primer:
a. Glomerulonefritis minimal
b. Glomerulosklerosis fokal
c. Glomerulonefritis membranosa
d. Glomerulonefritis membranoproliferatif
e. Glomerulonefritis lain
2. Glomerulonefritis sekunder akibat:
a. Infeksi: HIV, hepatitis virus B dan C, sifilis, malaria, skisotoma, TBC, lepra.
b. Keganasan: adenokarsinoma paru, payudara, kolon, lomfoma hodgkin, mieloma
multipel, dan karsinoma ginjal.
c. Penyakit jaringan penghubung: lupus eritematosus sistemik, artritis reumathoid,
MCTD.
d. Efek obat dan toksin: obat antiinflamasi nonsteroid, preparat emas, penisilinamin,
probenesid, air raksa, kaptopril, heroin.
e. Lain-lain: DM, amiloidosis, preeklampsia, rejeksi alograf kronik, refluks
vesicoureter, atau sengatan lebah (Sudoyo dkk, 2006).
F. Komplikasi
1. Gagal ginjal kronis
2. Dehidrasi
3. Infeksi: infeksi pada SN terjadi akibat defek imunitas humoral, selular, dan gangguan
sistem komplemen.
4. Metabolisme kalsium dan tulang: vitamin D merupakan unsur penting dalam
metabolisme kalsium dan tulang pada manusia. Vitamin D yang terikat protein akan
diekskresikan melalui urin sehingga menyebabkan penurunan kadar plasma.
5. Hiperkoagulasi: komplikasi tromboeboli sering ditemukan pada SN akibat
peningkatan kogulasi intravaskular. Emboli paru dan trombosis vena dalam sering
dijumpai pada SN. Kelainan tersebut disebabkan oleh perubahan tingkat dan aktivitas
berbagai faktor. Mekanisme hiperkoagulasi pada SN cukup komplek meliputi
peningkatan fibrinogen, hiperagregasi trombosit dan penurunan fibrinolisis. Gangguan
yang terjadi disebabkan peningkatan sintesis protein oleh hati dan kehilangan protein
melalui urine.
6. Gangguan fungsi ginjal: pasien SN mempunyai potensi untuk mengalami gagal ginjal
akut melalui berbgai mekanisme. Penurunan volume plasma dan atau sepsis sering
menyebabkan timbulnya nekrosis tubular akut. Mekanisme lain yang diperkirakan
menjadi penyebab gagal ginjal akut adalah terjadinya edema intra renal yang
menyebabkan kompresi pada tubulus ginjal.
Sindrom nefrotik dapat progresif dan berkembang menjadi PGTA. Proteinuria
merupakan faktor resiko penentu terhad progresifitas SN. Progresifitas kerusakan
glomerulus, perkembangan glomerulusklosis, dan kerusakan tubuloin tertisum dikatakan
dengan proteinuria. Hiperlipidemia juga dihubungkan dengan mekanisme terjadinya
glomeulosklerosis dan fibrosis tubuloinstisium pada SN, walaupun peran terhadap
progresivitas penyakitnya belum diketahui dengan pasti. (Sudoyo dkk, 2010:1001).
H. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan Medis
Pengobatan sindroma nefrotik hanya bersifat simptomatik, untuk mengurangi atau
menghilangkan proteinuria dan memperbaiki keadaan hipoalbuminemia, mencegah
dan mengatasi komplikasinya, yaitu:
a. Istirahat sampai edema tinggal sedikit. Batasi asupan natrium sampai kurang lebih
1 gram/hari secara praktis dengan menggunakan garam secukupnya dan
menghindari makanan yang diasinkan. Diet protein 2-3 gram/kgBB/hari.
b. Bila edema tidak berkurang dengan pembatasan garam, dapat digunakan diuretik,
biasanya furosemid 1 mg/kgBB/hari. Bergantung pada beratnya edema dan respon
pengobatan. Bila edema refrakter, dapat digunakan hididroklortiazid (25-50
mg/hari) selama pengobatan diuretik perlu dipantau kemungkinan hipokalemi,
alkalosis metabolik dan kehilangan cairan intravaskuler berat.
c. Dengan antibiotik bila ada infeksi harus diperiksa kemungkinan adanya TBC
d. Diuretikum
Boleh diberikan diuretic jenis saluretik seperti hidroklorotiasid, klortahidon,
furosemid atau asam ektarinat. Dapat juga diberikan antagonis aldosteron seperti
spironolakton (alkadon) atau kombinasi saluretik dan antagonis aldosteron.
e. Kortikosteroid
International Cooperative Study of Kidney Disease in Children (ISKDC)
mengajukan cara pengobatan sebagai berikut:
a. Selama 28 hari prednison diberikan per oral dengan dosis 60 mg/hari/luas
permukaan badan (lpb) dengan maksimum 80 mg/hari.
b. Kemudian dilanjutkan dengan prednison per oral selama 28 hari dengan dosis
40 mg/hari/lpb, setiap 3 hari dalam satu minggu dengan dosis maksimum 60
mg/hari. Bila terdapat respons, maka pengobatan ini dilanjutkan secara
intermitten selama 4 minggu.
c. Tapering-off: prednison berangsur-angsur diturunkan, tiap minggu: 30 mg, 20
mg, 10 mg sampai akhirnya dihentikan.
d. Lain-lain
Fungsi asites, pungsi hidrotoraks dilakukan bila ada indikasi vital. Bila ada
gagal jantung, diberikan digitalis. (Behrman, 2000).
1) Diet
Diet untuk pasien SN adalah 35 kal/kgbb/hari, sebagian besar terdiri
dari karbohidrat diet rendah garam (2-3 gr/hari) rendah lemak harus
diberikan. Pembatasan asupan protein 0,8-1,0 gr/kgbb/hari dapat
mengurangi proteinuria. Tambahan vitamin D dapat diberikan kalau pasien
mengalami kekurangan vitamin.
2) Kemoterapi
Prednisolon digunakan secra luas. Merupakan kortokisteroid yang
mempunyai efek samping minimal. Dosis dikurangi setiap 10 hari hingga
dosis pemeliharaan sebesar 5 mg diberikan dua kali sehari. Diuresis
umumnya sering terjadi dengan cepat dan obat dihentikan setelah 6-10
minggu. Jika obat dilanjutkan atau diperpanjang, efek samping dapat
terjadi meliputi terhentinya pertumbuhan, osteoporosis, ulkus peptikum,
diabeters mellitus, konvulsi dan hipertensi.
Jika terjadi resisten steroid dapat diterapi dengan diuretika untuk
mengangkat cairan berlebihan, misalnya obat-abatan spironolakton dan
sitotoksik (imunosupresif). Pemilihan obat-obatan ini didasarkan pada
dugaan imunologis dari keadaan penyakit. Ini termasuk obat-obatan seperti
6-merkaptopurin dan siklofosfamid.
2. Penatalaksanaan Keperawatan
a. Tirah baring
Menjaga pasien dalam keadaan tirah baring selama beberapa harimungkin
diperlukan untuk meningkatkan diuresis guna mengurangi edema. Baringkan
pasien setengah duduk, karena adanya cairan di rongga thoraks akan menyebabkan
sesak nafas. Berikan alas bantal pada kedua kakinya sampai pada tumit (bantal
diletakkan memanjang, karena jika bantal melintang maka ujung kaki akan lebih
rendah dan akan menyebabkan edema hebat).
b. Terapi cairan
Jika klien dirawat di rumah sakit, maka intake dan output diukur secara cermat
da dicatat. Cairan diberikan untuk mengatasi kehilangan cairan dan berat badan
harian.
c. Perawatan kulit
Edema masif merupakan masalah dalam perawatan kulit. Trauma terhadap
kulit dengan pemakaian kantong urin yang sering, plester atau verban harus
dikurangi sampai minimum. Kantong urin dan plester harus diangkat dengan
lembut, menggunakan pelarut dan bukan dengan cara mengelupaskan. Daerah
popok harus dijaga tetap bersih dan kering dan scrotum harus disokong dengan
popok yang tidak menimbulkan kontriksi, hindarkan menggosok kulit.
d. Perawatan mata
Tidak jarang mata anak tertutup akibat edema kelopak mata dan untuk
mencegah alis mata yang melekat, mereka harus diswab dengan air hangat.
e. Penatalaksanaan krisis hipovolemik
Anak akan mengeluh nyeri abdomen dan mungkin juga muntah dan pingsan.
Terapinya dengan memberikan infus plasma intravena. Monitor nadi dan tekanan
darah.
f. Pencegahan infeksi. Anak yang mengalami sindrom nefrotik cenderung
mengalami infeksi dengan pneumokokus kendatipun infeksi virus juga merupakan
hal yang menganggu pada anak dengan steroid dan siklofosfamid.
g. Perawatan spesifik meliputi: mempertahankan grafik cairan yang tepat,
penimbangan harian, pencatatan tekanan darah dan pencegahan dekubitus.
h. Dukungan bagi orang tua dan anak
Orang tua dan anak sering kali tergangu dengan penampilan anak. Pengertian
akan perasan ini merupakan hal yang penting. Penyakit ini menimbulkan tegangan
yang berta pada keluarga dengan masa remisi, eksaserbasi dan masuk rumah sakit
secara periodik. Kondisi ini harus diterangkan pada orang tua sehingga mereka
mereka dapat mengerti perjalanan penyakit ini. Keadaan depresi dan frustasi akan
timbul pada mereka karena mengalami relaps yang memaksa perawatan di rumahn
sakit.
i. Bila pasien seorang anak laki-laki, berikan ganjal dibawah skrotum untuk
mencegah pembengkakan skrotum karena tergantung (pernah terjadi keadaan
skrotum akhirnya pecah dan menjadi penyebab kematian pasien).
I. Fokus Pengkajian
a. Pantau warna, jumlah, dan frekuensi kehilangan cairan
b. Observasi khususnya terhadap kehilangan cairan yang tinggi elektrolit
c. Pantau perdarahan
d. Identifikasi faktor-faktor yang berkontribusi terhadap bertambah buruknya dehidrasi
e. Tinjau ulang elektrolit, terutama natrium, kalium, klorida, dan kretinin
f. Monitor hasil laboratorium dan pantau urine setiap hari, adanya protein
g. Pengkajian pengetahuan keluarg tentang kondisi dan pengobatan
J. Fokus Intervensi
1. Diagnosa keperawatan nefrotik sindrom, yang muncul, yaitu:
a. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan kehilangan protein sekunder
terhadap peningkatan permiabilitas glomerulus.
b. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan malnutrisi
sekuder terhadap kehilangan protein dan penurunan nafsu makan.
c. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan imunitas tubuh yang menurun.
d. Ansietas berhubungan dengan lingkungan perawatan yang asing (dampak
hospitalisasi).
e. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelelahan.
f. Gangguan body image berhubungan dengan perubahan penampilan.
g. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan edema, penurunan pertahanan
tubuh.
h. Ketidakefektifan pola pernapasan berhubungan dengan fungsi pernapasan.
2. Intervensi Keperawatan
REFERENSI
Marcdante, & dkk. 2014. Ilmu Kesehatan Anak Esensial. Singapura: Saunders