Anda di halaman 1dari 50

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN KRITIS PADA PASIEN NY.S DENGAN


GANGGUAN SISTEM SARAF PADA KASUS CEDERA OTAK SEDANG
(COS)

Oleh:
REZMA RAHAYU ARYANTI
088STYJ21

YAYASAN RUMAH SAKIT ISLAM NUSA TENGGARA BARAT


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN YARSI MATARAM
PROGRAM STUDI PROFESI NERS
MATARAM
2021
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN KRITIS PADA PASIEN NY.S DENGAN
GANGGUAN SISTEM SARAF PADA KASUS CEDERA OTAK SEDANG
(COS)
A. Konsep Dasar Penyakit
1. Pengertian
Cedera otak adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang
disertai atau tanpa pendarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti
terputusnya kontinuitas otak (Pretyana D A, 2017). Cedera kepala
merupakan adanya pukulan atau benturan mendadak pada kepala dengan
atau tanpa kehilangan kesadaran (Febriyanti dkk, 2017).
Cedera otak adalah salah satu penyebab kematian.Secara global insiden
cedera otak meningkat dengan tajam terutama karena peningkatan
penggunaan kendaraan bermotor (Ucha & Rekha, 2016).
2. Etiologi
Etiologi cedera otak menurut Amin & Hardhi, (2013) yaitu:
a. Cedera akselerasi terjadi jika objek bergerak menghantam kepala yang
tidak bergerak
b. Cedera deselerasi terjadi jika kepala yang bergerak membentur obyek
diam, seperti pada kasus jatuh atau tabrakan mobil ketika kepala
membentur kaca depan mobil
c. Cedera akselerasi-deselerasi sering terjadi dalam kasus kecelakaan
kendaraan bermotor dan episode kekerasan fisik
d. Cedera coup-countre coup terjadi jika kepala terbentur yang
menyebabkan otak bergerak dalam ruang kranial dan dengan kuat
mengenai area tulang tengkorak yang berlawanan serta area kepala yang
pertama kali terbentur
e. Cedera rotasional terjadi jika pukulan menyebabkan otak berputar dalam
rongga tengkorak, yang mengakibatkan peregangan atau robeknya
neuron dalam substansia alba serta robeknya pembuluh darah yang
memfiksasi otak dengan bagian dalam rongga tengkorak
3. Klasifikasi
Cedera otak dapat dibagi menjadi 3 menurut Prasetyo, (2016) yaitu :
a. Cedera Otak Ringan
Glaslow Coma Scale > 12, tidak ada kelainan dalam CT-Scan,
tiada lesi operatif dalam 48 jam rawat inap di Rumah Sakit. Trauma otak
ringan atau cedera otak ringan adalah hilangnya fungsi neurologi atau
menurunnya kesadaran tanpa menyebabkan kerusakan lainnya. Cedera
otak ringan adalah trauma kepala dengan GCS : 15 (sadar penuh) tidak
kehilangan kesadaran, mengeluh pusing dan nyeri kepala, hematoma,
laserasi dan abrasi. Cedera otak ringan adalah cedera otak karena tekanan
atau terkena benda tumpul. Cedera otak ringan adalah cedera otak
tertutup yang ditandai dengan hilangnya kesadaran sementara. Pada suatu
penelitian kadar laktat rata-rata pada penderita cedera otaka ringan 1,59
mmol/L.
b. Cedera Otak Sedang
Glaslow Coma Scale 9-12, lesi operatif dan abnormalitas dalam
CT-Scan dalam 48 jam rawat inap di Rumah Sakit. Pasien mungkin
bingung atau somnolen namun tetap mampu untuk mengikuti perintah
sederhana (GCS 9-13). Pada suatu penelitian cedera otak sedang
mencatat bahwa kadar asam laktat rata-rata 3,15 mmol/L.
c. Cedera Otak Berat
Glaslow Coma Scale < 9 dalam 48 jam rawat inap di Rumah Sakit.
Hampir 100% cedera otak berat dan 66% cedera otak sedang
menyebabkan cacat yang permanen. Pada cedera kepala berat terjadinya
cedera otak primer sering kali disertai cedera otak sekunder apabila
proses patofisiologi sekunder yang menyertai tidak segera dicegah dan
dihentikan. Penelitian pada penderita cedera otak secara klinis dan
eksperimental menunjukan bahwa pada cedera otak berat dapat disertai
dengan peningkatan titer asam laktat dalam jaringan otak dan cairan
serebrospinalis (CSS) ini mencerminkan kondisi asidosis otak. Pada
suatu penelitian penderita cedera otak berat menunjukan kadar rata-rata
asam laktat 3,25 mmol/L.
4. Manifestasi Klinis

Tanda gejala pada pasien dengan cedera otak menurut Wijaya dan Putri
(2013), adalah :
a. Cedera otak ringan – sedang
1) Diorientasi ringan
2) Amnesia post traumatic
3) Hilang memori sesaat
4) Sakit kepala
5) Mual muntah
6) Vertigo dalam perubahan posisi
7) Gangguan pendengaran
b. Cedera otak sedang – berat
1) Oedema pulmonal
2) Kejang
3) Infeksi
4) Tanda herniasi otak
5) Hemiparase
6) Gangguan syaraf kranial
5. Patofisiologi
Proses patofisiologi cedera otak dibagi menjadi dua yang didasarkan pada
asumsi bahwa kerusakan otak pada awalnya disebabkan oleh kekuatan fisik
yang lalu diikuti proses patologis yang terjadi segera dan sebagian besar
bersifat permanen. Dari tahapan itu, Arifin (2002) membagi cedera kepala
menjadi dua :
a. Cedera otak primer
Cedera otak primer (COP) adalah cedera yang terjadi sebagai
akibat langsung dari efek mekanik dari luar pada otak yang menimbulkan
kontusio dan laserasi parenkim otak dan kerusakan akson pada substantia
alba hemisper otak hingga batang otak.
b. Cedera otak sekunder
Cedera otak sekunder (COS) yaitu cedera otak yang terjadi akibat
proses metabolisme dan homeostatis ion sel otak, hemodinamika
intrakranial dan kompartement cairan serebrosspinal (CSS) yang dimulai
segera setelah trauma tetapi tidak tampak secara klinis segera setelah
trauma. Cedera otak sekunder ini disebabkan oleh banyak faktor antara
lain kerusakan sawar darah otak, gangguan aliran darah otak, gangguan
metabolisme dan homeostatis ion sel otak, gangguan hormonal,
pengeluaran neurotransmitter dan reactive oxygen species, infeksi dan
asidosis. Kelainan utama ini meliputi perdarahan intrakranial, edema
otak, peningkatan tekanan intrakranial dan kerusakan otak.
Cedera kepala menyebabkan sebagian sel yang terkena benturan
mati atau rusak irreversible, proses ini disebut proses primer dan sel otak
disekelilingnya akan mengalami gangguan fungsional tetapi belum mati
dan bila keadaan menguntungkan sel akan sembuh dalam beberapa
menit, jam atau hari. Proses selanjutnya disebut proses patologi sekunder.
Proses biokimiawi dan struktur massa yang rusak akan menyebabkan
kerusakan seluler yang luas pada sel yang cedera maupun sel yang tidak
cedera. Secara garis besar cedera kepala sekunder pasca trauma
diakibatkan oleh beberapa proses dan faktor dibawah ini :
1) Lesi massa, pergeseran garis tengah dan herniasi yang terdiri dari :
perdarahan intracranial dan edema serebral
2) Iskemik cerebri yang diakibatkan oleh : penurunan tekanan perfusi
serebral, hipotensi arterial, hipertensi intracranial, hiperpireksia dan
infeksi, hipokalsemia/anemia dan hipotensi, vasospasme serebri dan
kejang

Proses inflamasi terjadi segera setelah trauma yang ditandai dengan


aktifasi substansi mediator yang menyebabkan dilatasi pembuluh darah,
penurunan aliran darah, dan permeabilitas kapiler yang meningkat. Hal
ini menyebabkan akumulasi cairan (edema) dan leukosit pada daerah
trauma. Sel terbanyak yang berperan dalam respon inflamasi adalah sel
fagosit, terutama sel leukosit Polymorphonuclear (PMN), yang
terakumulasi dalam 30 - 60 menit yang memfagosit jaringan mati. Bila
penyebab respon inflamasi berlangsung melebihi waktu ini, antara waktu
5-6 jam akan terjadi infiltrasi sel leukosit mononuklear, makrofag, dan
limfosit. Makrofag ini membantu aktivitas sel polymorphonuclear
(PMN) dalam proses fagositosis (Riahi, 2006).
Inflamasi, yang merupakan respon dasar terhadap trauma sangat
berperan dalam terjadinya cedera sekunder. Pada tahap awal proses
inflamasi, akan terjadi perlekatan netrofil pada endotelium dengan
beberapa molekul perekat Intra Cellular Adhesion Molecules-1 (ICAM-
1). Proses perlekatan ini mempunyai kecenderungan merusak/merugikan
karena mengurangi aliran dalam mikrosirkulasi. Selain itu, netrofil juga
melepaskan senyawa toksik (radikal bebas), atau mediator lainnya
(prostaglandin, leukotrin) di mana senyawa-senyawa ini akan memacu
terjadinya cedera lebih lanjut. Makrofag juga mempunyai peranan
penting sebagai sel radang predominan pada cedera otak (Hergenroeder,
2008).
Patofisiologi cedera otak menurut Pretyana D A, (2017) yaitu:\
a. Pukulan langsung: dapat menyebabkan kerusakan otak pada sisi pukulan
(coup injury) atau pada sisi yang berlawanan dari pukulan ketika otak
bergerak dalam tengkorak dan mengenai dinding yang berlawanan.
b. Rotasi/deselerasi: fleksi, ektensi, atau rotasi leher menghasilkan serangan
pada otak yang menyerang titik-titik tulang dalam tengkorak (misalnya
pada sayap dari tulang sfenoid). Rotasi yang hebat juga menyebabkan
trauma robekan di dalam substansi putih
c. otak dan batang otak, menyebabkan cedera aksonal dan bintik-bintik
perdarahan intraserebral.
d. Tabrakan: otak seringkali terhindar dari trauma langsung kecuali jika
berat (terutama pada anak-anak dengan tengkorak yang elastis)
e. Peluru: Cenderung menyebabkan hilangnya jaringan seiring dengan
trauma. Pembengkakan otak merupakan masalah akibat disrupsi
tengkorak yang secara otomatis menekan otak :
1) Derajat cedera otak primer secara langsung berhubungan dengan
jumlah kekuatan yang mengenai kepala.
2) Kerusakan sekunder terjadi akibat : komplikasi sistem pernapasan
(hipoksia, hiperkarbia, obstruksi jalan napas), syok hipovolemik
(cedera kepala tidak menyebabkan syok hipovolemik – lihat penyebab
lain), perdarahan intrakranial, edema serebral, epilepsi, infeksi, dan
hidrosefalus.
6. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penujang yang dapat dilakukan pada pasien dengan cedera
kepala adalah:
a. Pemeriksaan neurologis
Pada pasien yang sadar dapat dilakukan pemeriksaan neurologis
lengkap. Pada pasien yang berada dalam keadaan koma hanya dapat
dilakukan pemeriksaan objektif. Bentuk pemeriksaan yang dilakukan
adalah tanda perangsangan meningen, yang berupa tes kaku kuduk yang
hanya boleh dilakukan bila kolumna vertebralis servikalis (ruas tulang
leher) normal. Tes ini tidak boleh dilakukan bila ada fraktur atau
dislokasi servikalis. Selain itu dilakukan perangsangan terhadap sel saraf
motorik dan sensorik (nervus kranialis). Saraf yang diperiksa yaitu saraf
1 sampai saraf 12 yaitu: nervus I (olfaktoris), nervus II (optikus), nervus
III (okulomotoris), nervus IV (troklealis), nervus V (trigeminus), nervus
VI (abdusens), nervus VII (fasialis), nervus VIII (oktavus), nervus IX
(glosofaringeus), nervus X (vagus), nervus XI (spinalis), nervus XII
(hipoglous), nervus spinalis (pada otot lidah), dan nervus hipoglosus
(pada otot belikat) berfungsi sebagai saraf sensorik dan motorik.
b. Pemeriksaan radiologis
1) Foto Rontgen Polos
Pada cedera kepala perlu dibuat foto rontgen kepala dan kolumna
vertebralis servikalis. Film diletakkan pada sisi lesi akibat benturan.
Bila lesi terdapat di daerah oksipital, buatkan foto anterior-posterior.
Bila lesi terdapat di daerah frontal buatkan foto posterior-anterior. Bila
lesi terdapat di daerah temporal, pariental atau frontal lateral kiri, film
diletakkan pada sisi kiri dan dibuat foto dari kanan ke kiri. Kalau
diduga ada fraktur basis kranii, maka dibuatkan foto basis kranii
dengan kepala menggantung dan sinar rontgen terarah tegak lurus
pada garis antar angulus mandibularis (tulang rahang bawah).
Foto kolumna vertebralis servikalis dibuat anterior-posterior dan
lateral untuk melihat adanya fraktur atau dislokasi. Pada foto polos
tengkorak mungkin dapat ditemukan garis fraktur atau fraktur impresi.
Tekanan intrakranial yang tinggi mungkin menimbulkan impressions
digitae.
2) Computed Temografik Scan (CT-scan)
Computed Temografik Scan (CT-Scan) diciptakan oleh Hounsfield
dan Ambrose pada tahun 1972. Dengan pemeriksaan ini kita dapat
melihat ke dalam rongga Computed Temografik Scan (CT-Scan)
kepala merupakan standard baku untuk mendeteksi perdarahan
intrakranial. Semua pasien dengan glasglow coma scale (GCS) <12
sebaiknya menjalankan pemeriksaan Computed Temografik Scan (CT-
Scan), sedangkan pada pasien dengan glasglow coma scale (GCS) >12
Computed Temografik Scan (CT-Scan) dilakukan hanya dengan
indikasi tertentu seperti: nyeri kepala hebat, adanya tanda-tanda
fraktur basis kranii, adanya riwayat cedera yang berat, muntah lebih
dari satu kali, penderita lansia (> 65 tahun) dengan penurunan
kesadaran atau anamnesia, kejang, riwayat gangguan vaskuler atau
menggunakan obat-obat anti koagulen, rasa baal pada tubuh,
gangguan keseimbangan atau berjalan, gangguan orientasi, berbicara,
membaca, dan menulis.
Computed Temografik Scan (CT-Scan) adalah suatu alat foto yang
membuat foto suatu objek dalam sudut 360 derajat melalui bidang
datar dalam jumlah yang tidak terbatas. Bayangan foto akan
direkonstruksi oleh komputer sehingga objek foto akan tampak secara
menyeluruh (luar dan dalam). Foto Computed Temografik Scan (CT-
Scan) akan tampak sebagai penampang-penampang melintang dari
objeknya. Dengan Computed Temografik Scan (CT-Scan) isi kepala
secara anatomis akan tampak dengan jelas. Pada trauma kapitis,
fraktur, perdarahan dan edema akan tampak dengan jelas baik bentuk
maupun ukurannya (Sastrodiningrat, 2006). Indikasi pemeriksaan
Computed Temografik Scan (CT-scan) pada kasus trauma kepala
adalah seperti berikut (Irwana, 2009)
a) Bila secara klinis didapatkan klasifikasi trauma kepala sedang dan
berat
b) Trauma kepala ringan yang disertai fraktur tengkorak
c) Adanya kecurigaan dan tanda terjadinya fraktur basis kranii
d) Adanya deficit neurologi, seperti kejang dan penurunan gangguan
kesadaran
e) Sakit kepala yang berat\
f) Adanya tanda-tanda peningkatan tekanan intracranial atau herniasi
jaringan otak
g) Mengeliminasi kemungkinan perdarahan intraserebral

Pemeriksaan Computed Temografik Scan (CT-scan) kepala masih


merupakan gold standard bagi setiap pasien dengan cedera kepala.
Berdasarkan gambaran Computed Temografik Scan (CT-scan) kepala
dapat diketahui adanya gambaran abnormal yang sering menyertai
pasien cedera kepala (French, 1987). Jika tidak ada Computed
Temografik Scan (CT-scan) kepala pemeriksaan penunjang lainnya
adalah X-ray foto kepala untuk melihat adanya patah tulang tengkorak
atau wajah (Willmore, 2002).

3) Magnetic Resonance Imaging (MRI)


MRI adalah teknik pencitraan yang lebih sensitif dibandingkan
dengan Computed Temografik Scan (CT-Scan). Kelainan yang tidak
tampak pada Computed Temografik Scan (CT-Scan) dapat dilihat
dengan Magnetic Resonance Imaging (MRI). Namun, dibutuhkan
waktu pemeriksaan lebih lama dibandingkan dengan Computed
Temografik Scan (CT-Scan) sehingga tidak sesuai dengan situasi
gawat darurat.
4) Electroencephalogram (EEG)
Electroencephalogram (EEG) : Peran yang paling berguna dari
Electroencephalogram (EEG) pada cedera kepala mungkin untuk
membantu dalam diagnosis status epileptikus non konfulsif. Dapat
melihat perkembangan gelombang yang patologis. Dalam sebuah studi
landmark pemantauan Electroencephalogram (EEG) terus menerus
pada pasien rawat inap dengan cedera otak traumatik.
Kejang konfulsif dan non konfulsif tetap terlihat dalam 22%. Pada
tahun 2012 sebuah studi melaporkan bahwa perlambatan yang parah
pada pemantauan Electroencephalogram (EEG) terus menerus
berhubungan dengan gelombang delta atau pola penekanan melonjak
dikaitkan dengan hasil yang buruk pada bulan ketiga dan keenam pada
pasien dengan cedera otak traumati.
7. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien dengan cedera otak menurut
Pretyana D A (2017), antara lain:
a. Deficit neurologis
1) Infeksi sistemik (pneumonia, septikemia)
2) Infeksi bedah neuro (infeksi luka, osteomielitis, meningitis,
ventrikulitis, abses otak)
3) Osifikasi heterotrofik (nyeri tulang pada sendi-sendi yang menunjang
berat badan)
4) Epidural hematoma (EDH) adalah berkumpulnya darah di dalam
ruang epidural di antara tengkorak dan dura meter. Keadaan ini sering
di akibatkan karena terjadi fraktur tulang tengkorak yang
menyebabkan arteri meningeal tengah terputus atau rusak (laserasi)
dimana arteri ini berada diantara dura meter dan tengkorak daerah
inferior menuju bagian tipis tulang temporal dan terjadi hemoragik
sehingga menyebabkan penekanan pada otak.
8. Penatalaksanaan
Menurut Sezanne C. Smeltzer & Brenda G. Bare (2013), penatalaksanaan
cedera kepala adalah :
a. Dexamethason/ kalmetason sebagai pengobatan anti edema serebral,
dosis sesuai dengan berat ringannya trauma.
b. Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat) untuk mengurangi
vasodilatasi.
c. Pemberian analgetik.
d. Pengobatan antiedema dengan larutan hipertonis yaitu; manitol 20%,
glukosa 40% atau gliserol.
e. Antibiotik yang mengandung barier darah otak (pinicilin) atau untuk
infeksi anaerob diberikan metronidazole.
f. Makanan atau caioran infus dextrose 5%, aminousin, aminofel (18 jam
pertama dari terjadinya kecelakaan) 2-3 hari kemudian diberikan
makanan lunak.
g. Pembedahan.

Penatalaksanaan pada cedera kepala memiliki prinsip penanganan untuk


memonitor tekanan intrakranial pasien. Terapi medika mentosa digunakan
untuk menurunkan oedem otak bila terdapat oedem pada gambaran profil
Computed Temografik Scan (CT-Scan) pada pasien. Penurunan aktifitas
otak juga dibutuhkan dalam prinsip penatalaksanaan pada cedera kepala
agar dapat menurunkan hantaran oksigen dengan induksi koma. Pasien yang
mengalami kejang diberikan terapi profilaksis.
a. Terapi farmakologi
Terapi farmakologi menggunakan cairan intravena ditujukan untuk
mempertahankan status cairan dan menghindari dehidrasi.Bila ditemukan
peningkatan tekanan intracranial yang refrakter tanpa cedera difus,
autoregulasibaik dan fungsi kardiovaskular adekuat, pasien bisa
diberikan barbiturat. Mekanisme kerja barbiturat adalah dengan menekan
metabolism serebral, menurunkan aliran darah ke otak dan volume darah
serebral, merubah tonus vaskuler, menahan radikal bebas dari peroksidasi
lipid mengakibatkan supresi burst. Kureshi dan Suarez menunjukkan
penggunaan saline hipertonis efektif pada neuro trauma dengan hasil
pengkerutan otak sehingga menurunkan tekanan intrakranial,
mempertahankan volume intravaskular volume. Dengan akses vena
sentral diberikan NaCl 3% 75 cc/jam dengan Cl 50%, asetat 50% target
natrium 145-150 dengan monitor pemeriksaan natrium setiap 4-6 jam.
Setelah target tercapai dilanjutkan dengan NaCl fisiologis sampai 4-5
hari.
b. Terapi nutrisi
Dalam 2 minggu pertama pasien mengalami hipermetabolik,
kehilangan kurang lebih 15% berat badan tubuh per minggu. Penurunan
berat badan melebihi 30% akan meningkatkan mortalitas. diberikan
kebutuhan metabolism istirahat dengan 140% kalori/ hari dengan formula
berisi protein > 15% diberikan selama 7 hari. Pilihan enteral feeding
dapat mencegah kejadian hiperglikemi, infeksi.
c. Terapi prevensi kejang
Pada kejang awal dapat mencegah cedera lebih lanjut, peningkatan
tekanan intracranial (TIK), penghantaran dan konsumsi oksigen,
pelepasan neuro transmiter yang dapat mencegah berkembangnya kejang
onset lambat (mencegah efek kindling). Pemberian terapi profilaksis
dengan fenitoin, karbamazepin efektif pada minggu pertama.Faktor-
faktor terkait yang harus dievaluasi pada terapi prevensi kejang adalah
kondisi pasien yang hipoglikemi, gangguan elektrolit, dan infeksi.
Penanganan cedera kepala menurut tingkat berat cedera kepala, yaitu :
a. Penanganan cedera kepala ringan
Pasien dengan Computed Temografik Scan (CT-Scan) normal dapat
keluar dari unit gawat darurat (UGD) dengan peringatan apabila :
mengantuk atau sulit bangun (bangunkan setiap 2 jam), mual dan
muntah, kejang, perdarahan/keluar cairan dari hidung atau telinga, nyeri
kepala hebat, kelemahan/gangguan sensibilitas pada ekstrimitas, bingung
dan tingkah laku aneh, pupil anisokor, penglihatan dobel/gangguan visus,
nadi yang terlalu cepat/terlalu pelan, pola nafas yang abnormal.
b. Penanganan cedera kepala sedang
Beberapa ahli melakukan skoring cedera kepala sedang dengan
Glasgow Coma Scale Extended (GCSE) dengan menambahkan skala
Postrauman Amnesia (PTA) dengan sub skala 0-7 dimana skore 0
apabila mengalami amnesia lebih dari 3 bulan,dan skore 7 tidak ada
amnesia. Bachelor (2003) membagi cedera kepala sedang menjadi :
1) Risiko ringan : tidak ada gejala nyeri kepala, muntah dan dizziness
2) Risiko sedang ; ada riwayat penurunan kesadaran dan amnesia post
trauma
3) Risiko tinggi : nyeri kepala hebat, mual yang menetap dan muntah
Penanganan cedera kepala sedang sering kali terlambat mendapat
penanganan. Karena gejala yang timbul sering tidak dikenali. Gejala
terbanyak antara lain : mudah lupa, mengantuk, nyeri kepala,
gangguan konsentrasi dan dizziness. Penatalaksanaan utamanya
ditujukan pada penatalaksanaan gejala, strategi kompensasi dan
modifikasi lingkungan (terapi wicara dan okupasi) untuk disfungsi
kognitif ,dan psiko edukasi .
c. Penanganan cedera kepala berat
Diagnosis dan penanganan yang cepat meliputi:
1) Primary survey : stabilisasi cardio pulmoner
2) Secondary survey : penanganan cedera sistemik, pemeriksaan mini
neurologi dan ditentukan perlu penanganan pembedahan atau
perawatan di Intensive Care Unit (ICU).
B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Pengumpulan data klien baik subjektif atau objektif pada gangguan system
persyarafan sehubungan dengan cedera kepala tergantung pada bentuk,
lokasi, jenis injuri dan adanya komplikasi pada organ vital lainnya. Data
yang perlu di dapati adalah sebagai berikut :
a. Identitas klien dan keluarga (penanggung jawab) : nama, umur, jenis
kelamin, agama, alamat, golongan darah, hubungan klien dengan
keluarga.
b. Riwayat kesehatan : tingkat kesadaran Glow Coma Scale (GCS) (< 15),
muntah, dispnea atau takipnea, sakit kepala, wajah simetris atau tidak,
lemah, luka pada kepala, akumulasi pada saluran nafas kejang.
c. Riwayat penyakit dahulu haruslah diketahui dengan baik yang
berhubungan dengan sistem persyarafan maupun penyakit sistem
sistemik lainnya. Demikian pula riwayat penyakit keluarga terutama yang
mempunyai penyakit keturunan atau menular.
d. Riwayat kesehatan tersebut dapat dikaji dari klien atau keluarga sebagai
data subjektif. Data - data ini sangat berarti karena dapat mempengaruhi
prognosa klien.
1) Airway: Kaji kepatenan jalan nafas, observasi adanya lidah jatuh,
adanya benda asing pada jalan nafas (bekas muntahan, darah, sekret
yang tertahan), adanya edema pada mulut, faring, laring, disfagia,
suara stridor, gargling atau whezing yang menandakan adanya
masalah pada jalan nafas.
2) Breathing: Kaji keefektifan pola nafas, Respiratory Rate, abnormalitas
pernapasan, pola nafas, bunyi nafas tambahan, penggunaan otot bantu
nafas, adanya nafas cuping hidung, saturasi oksigen.
3) Circulation: kaji heart rate, tekanan darah, kekuatan nadi, capilarry
refill, akral, suhu tubuh, warna kulit, kelembapan kulit, perdarahan
ekternal jika ada.
4) Disability: berisi pengkajian kesadaran dengan GCS, ukuran dan
reaksi pupil.
5) Exposure: berisi pengkajian terhadap suhu serta adanya injury atau
kelainan lain atau lingkungan yang ada disekitar klien
e. Keadaan/ penampilan umum
1) Kesadaran: composmentis
2) Tanda-tanda vital
a) TD: 120 / 80 mmhg
b) Nadi: Frekuensi: 80 – 100 kali per menit, Irama: teratur
c) Respirasi: Frekuensi: 16 – 24 kali per menit, Irama: teratur
d) History (Sample)
Subjektif: berisi keluhan utama yang dirasakan pasien.
Alergi: kaji adanya alergi terhadap makanan atau obat.
Medikasi: kaji penggunaan obat yang sedang atau pernah
dikonsumsi.
Riwayat penyakit sebelumnya: riwayat penyakit sebelumnya yang
berhubungan dengan yang sekarang.
Last meal: berisi hasil pengkajian makanan atau minuman terakhir
yang pernah dikonsumsi oleh pasien sebelum datang ke IGD.
Event leading: berisi kronologi kejadian, lamanya gejala yang
dirasakan, penanganan yang telah dilakukan, gejala lain yang telah
dirasakan, lokasi nyeri atau keluhan lain yang dirasakan
f. Pemeriksaan fisik
1) Sistem respirasi: Suara nafas, pola nafas (kusmaull, cheyene stokes,
biot, hiperventilasi, ataksik), nafas berbunyi, stridor, tersedak, ronki,
mengi positif (kemungkinan karena aspirasi).
2) Kardiovaskuler: Pengaruh perdarahan organ atau pengaruh
peningkatan tekanan intracranial (TIK).
3) Kemampuan komunikasi: Kerusakan pada hemisfer dominan, disfagia
atau afasia akibat kerusakan saraf hipoglosus dan saraf fasialis.
4) Psikososial: Data ini penting untuk mengetahui dukungan yang
didapat pasien dari keluarga.
5) Aktivitas/istirahat: Lemah, lelah, kaku dan hilang keseimbangan,
perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, guadriparese, goyah dalam
berjalan (ataksia), cidera pada tulang dan kehilangan tonus otot.
6) Sirkulasi: Tekanan darah normal atau berubah (hiper/normotensi),
perubahan frekuensi jantung nadi bradikardi, takhikardi dan aritmia.
7) Integritas Ego: Perubahan tingkah laku/kepribadian, mudah
tersinggung, delirium, agitasi, cemas, bingung, impulsive dan depresi.
8) Eliminasi: buang air besar (BAB) atau buang air kecil (BAK)
mengalami inkontinensia/disfungsi.
9) Makanan/cairan: Mual, muntah, perubahan selera makan, muntah
(mungkin proyektil), gangguan menelan (batuk, disfagia).
10) Neurosensori: kehilangan kesadaran sementara, vertigo, tinitus,
kehilangan pendengaran, perubahan penglihatan, diplopia, gangguan
pengecapan/pembauan, perubahan kesadaran, koma. Perubahan
status mental (orientasi, kewaspadaan, atensi dan kinsentarsi)
perubahan pupil (respon terhadap cahaya), kehilangan penginderaan,
pengecapan dan pembauan serta pendengaran. Postur (dekortisasi,
desebrasi), kejang. Sensitive terhadap sentuhan / gerakan.
11) Nyeri/Keyamanan: sakit kepala dengan intensitas dan lokai yang
berbeda, wajah menyeringa, merintih, respon menarik pada rangsang
nyeri yang hebat, gelisah
12) Keamanan: Trauma/injuri kecelakaan, fraktur dislokasi, gangguan
penglihatan, gangguan range of motion (ROM), tonus otot hilang
kekuatan paralysis, demam, perubahan regulasi temperatur tubuh.
13) Penyuluhan/Pembelajaran: Riwayat penggunaan alcohol/obat-obatan
terlarang
g. Pemeriksaan penunjang
1) Computed Temografik Scan (CT-Scan) (tanpa/denga kontras) :
Mengidentifikasi adanya sol, hemoragik, menentukan ukuran
ventrikuler, pergeseran jaringan otak.
2) Magnetic Resonance Imaging (MRI) : Sama dengan Computed
Temografik Scan (CT-Scan) dengan atau tanpa kontras.
3) Angiografi serebral: Menunjukan kelainan sirkulasi serebral, seperti
pengeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma
4) Electroencephalogram (EEG) : Untuk memperlihatkan keberadaan
atau berkembangnya gelombang patologis.
5) Sinar-X : Mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur),
pergeseran struktur dari garis tengah (karena perdarahan, edema),
adanya fragmen tulang.
6) Brain Auditory Evoked Respons (BAER): Menentukan fungsi
korteks dan batang otak.
7) Positron Emission Tomography (PET): Menunjukan perubahan
aktifitas metabolisme pada otak.
8) Fungsi lumbal, cairan serebrosspinal (CSS): Dapat menduka
kemungkinan adanya perdarahan subarachnoid.
9) Gas Darah Artery (GDA) : Mengetahui adanya masalah ventilasi
atau oksigenasi yang akan dapat meningkatkan tekanan intracranial
(TIK).
10) Kimia /elektrolit darah : Mengetahui ketidak seimbangan yang
berperan dalam peningkatan tekanan intracranial (TIK)/perubahan
mental.
11) Pemeriksaan toksikologi: Mendeteksi obat yang mungkin
bertanggung jawab terhadap penurunan kesadaran.
12) Kadar antikonvulsan darah: dapat dilakukan untuk mengetahui
tingkat terapi yang cukup efektif untuk mengatasi kejang
2. Diagnosa Keperawatan
a. Analisa data

No Symptom Etiologi Problem

1 DS : Benturan kepala Gangguan


1. Mengeluh sulit mobilitas fisik
Trauma kepala
menggerakkan
ekstermitas Trauma akibat
2. Nyeri saat bergerak deselerasi/akselerasi
3. Enggan melakukan
Cedera jaringan
pergerakan
4. Merasa cemas saat Hematoma
bergerak
Perubahan pada cairan intra
DO :
dan ekstra sel → edema.
1. Kekeuatan otot
Peningkatan suplai darah ke
menurun
daerah trauma → vasodilatasi
2. Rentang gerak
menurun Tekanan intrakranial
3. Sendi kaku meningkat
4. Gerak tidak
Aliran darah keotak menurun
terkordinasi
5. Gerak terbatas Resiko perfusi serebral tidak
6. Fisik lemah efektif

Kerusakan hemisfer motorik

Penurunan kekuatan dan


tekanan otot

Gangguan mobilitas fisik

2 Data subyektif: Benturan kepala Nyeri akut

1. Pasien mengeluh nyeri Trauma kepala


Data obyektif
Trauma akibat
1. Tanda dan gejala deselerasi/akselerasi
mayor
robekan dan distorsi
a. Tampak meringis
b. Bersikap protektif jaringan sekitar tertekan
(seperti waspada,
Nyeri akut
posisi menghindar
nyeri)
c. Gelisah
d. Ferkuwensi nadi
meningkat
e. Sulit tidur
2. Tanda dan gejala
minor
a Tekanan darah
meningkat
b Pola nafas berubah
c Proses piker
terganggu
d Menarik diri
e Berfokus pada diri
sendiri
f Diaphoresis
3 DS: Benturan kepala Pola napas tidak
1. Dyspnea efektif
2. Ortopnea
Trauma kepala
DO:
1. Penggunaan otot Trauma akibat
bantu pernapasan deselerasi/akselerasi
2. Fase ekspirasi
Cedera jaringan
memanjang
3. Pola napas abnormal Hematoma
4. Pernapasan pused-lip
Perubahan pada cairan intra
5. Pernapasan cuping
dan ekstra sel → edema.
hidung
Peningkatan suplai darah ke
6. Diameter thoraks
daerah trauma → vasodilatasi
anterior-posterior
meningkat Tekanan intrakranial
7. Ventilasi semenit meningkat
menurun
Aliran darah keotak menurun
8. Kapasitas vital
menurun Resiko perfusi serebral tidak

9. Tekanan ekspirasi efektif

inspirasi menurun
Hipoksia jaringan
10. Ekskursi dada
berubah Gangguan pertukaran gas

Pernapasan dangkal

Pola nafas tidak efektif

4 DS : Benturan kepala Defisit Nutrisi


1. Klien mengatakan
Trauma kepala
cepat kenyang setelah
makan Trauma akibat
2. Klien mengeluh deselerasi/akselerasi
kram/nyeri abdomen
Cedera jaringan
3. Nafsu makan
menurun Hematoma

Perubahan pada cairan intra


DO :
dan ekstra sel → edema.
1. Pasien tampak kurus
Peningkatan suplai darah ke
dibawah rentang
daerah trauma → vasodilatasi
ideal
2. Bising usus hiperaktif Tekanan intrakranial
3. Membrane mukosa meningkat
pucat
Aliran darah keotak menurun
4. Sariawan
5. Serum albumin turun Resiko perfusi serebral tidak
6. Rambut robtok efektif
berlebihan
merangsang inferior hipofise
7. Diare
mengeluarkan steroid dan
adrenal

Sekresi HCL digaster↑

Defisit nutrisi

5 Data subyektif: Benturan kepala Gangguan


komunikasi verbal
- Trauma kepala

Data objektif Trauma akibat


deselerasi/akselerasi
1. Tidak mampu
berbicara atau Cedera jaringan
menndengar
Hematoma
2. Menunjukkan respon
tidak sesuai Perubahan pada cairan intra
3. Tidak ada kontak mata dan ekstra sel → edema.
4. Sulit memahami Peningkatan suplai darah ke
komunikasi daerah trauma → vasodilatasi
5. Sulit mempertahankan
komunikasi Tekanan intrakranial
6. Sulit menggunakan meningkat
ekspresi wajah atau
Aliran darah keotak menurun
tubuh
7. Gagap Resiko perfusi serebral tidak
8. Pelo efektif

penurunan kesadaran

kekacauan pola bahasa

gangguan komunikasi
verbal

6 Ds: pasien mengeluh Benturan kepala Gangguan menelan


sulit menelan
Trauma kepala
Do:
a. batuk sebelum Trauma akibat
menelan deselerasi/akselerasi
b. batuk setelah makan
Cedera jaringan
dan minum
c. tersedak Hematoma
d. makanan tertinggal
Perubahan pada cairan intra
dirongga mulut
dan ekstra sel → edema.
e. bolus masuk terlalu
Peningkatan suplai darah ke
cepat
daerah trauma → vasodilatasi
f. refluks nasal
g. tidak mampu Tekanan intrakranial
membersihkan meningkat
rongga mulut
Aliran darah keotak menurun
h. makanan jatuh dari
mulut Resiko perfusi serebral tidak
i. makanan terdorong efektif
keluar dari mulut
penurunan kesadaran
j. sulit mengunyah
gangguan menelan

7 DS: - Benturan kepala Resiko perfusi


serebral tidak
DO :- Trauma kepala
efektif
Trauma akibat
deselerasi/akselerasi

Cedera jaringan

Hematoma

Perubahan pada cairan intra


dan ekstra sel → edema.
Peningkatan suplai darah ke
daerah trauma → vasodilatasi

Tekanan intrakranial
meningkat

Aliran darah keotak menurun

Resiko perfusi serebral


tidak efektif

8 DS: - Benturan kepala Resiko


ketidakseimbangan
DO :- Trauma kepala
cairan dan
Trauma akibat elektrolit
deselerasi/akselerasi

Cedera jaringan

Hematoma

Perubahan pada cairan intra


dan ekstra sel → edema.
Peningkatan suplai darah ke
daerah trauma → vasodilatasi

Tekanan intrakranial
meningkat

Aliran darah keotak menurun

Resiko perfusi serebral tidak


efektif
Merangsang hipotalamus
Hipotalamus terviksasi
Produksi ADH & aldosteron
Retensi Na+H2O
Resiko ketidakseimbangan
cairan & elektrolit

9 DS: - Benturan kepala Resiko infeksi

DO :- Trauma kepala

Trauma akibat
deselerasi/akselerasi

Trauma pada jaringan lunak


Rusaknya jaringan kepala
Luka terbuka
Resiko infeksi

b. Diagnosa keperawatan
1) Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan perubahan persepsi
sensori dan kognitif, penurunan kekuatan dan kelemahan
2) Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera biologis kontraktur
(terputusnya jaringan tulang)
3) Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan obstruksi
trakeobronkial, neurovaskuler, kerusakan medula oblongata
neuromaskuler
4) Deficit nutrisi berhubungan dengan melemahnya otot yang digunakan
untuk mengunyah dan menelan
5) Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan cedera otak dan
penurunan keseadaran
6) Gangguan menelan berhubungan dengan penurunan kesadaran,
peningkatan tekanan intra kranial
7) Resiko perfusi serebral tidak efektif berhubungan dengan edema
serebral dan peningkatan tekanan intracranial
8) Resiko ketidakseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan
pengeluaran urine dan elektrolit meningkat
9) Resiko infeksi berhubungan dengan jaringan trauma, kerusakan kulit
kepala.
3. Intervensi Keperawatan

No SDKI SLKI SIKI


1 Gangguan mobilitas Mempertahankan Dukungan ambulasi
fisik berhubungan mobilitas fisik yang 1. identifikasi adanya
dengan perubahan efektif selama dalam nyeri atau keluhan
persepsi sensori dan perawatan. fisik lainnya
kognitif, penurunan Objektive: Dalam jangka 2. identifikasi
kekuatan dan waktu ……x24 jam toleransi fisik
kelemahan pasien akan : melakukan
1. Pergerakan ambulasi
ekstermitas 3. observasi frekuensi
2. Kekuatan otot jantung dan tekanan
3. Rentang gerak darah sebelum
(ROM) memulai ambulasi
a. Menurun 4. observasi kondisi
b. Cukup umum selama
c. Sedang melakukan
d. Cukup meningkat ambulasi
e. Meningkat 5. fasilitasi aktivitas
ambulasi dengan
4. nyeri alat bantu misalnya
5. kecemasan tongkat dan kruk
6. kaku sendi 6. fasilitasi melakukan
7. gerakan tidak mobilisasi fisik jika
terkoordinasi perlu
8. gerakan terbatas 7. libatkan keluarga
9. kelemahan fisik untuk membantu
a. meningkat pasien dalam
b. cukup meningkatkan
c. sedang ambulasi
d. cukup menurun 8. jelaskan tujuan dan
e. menurun prosedur ambulasi
9. anjurkan
melakukan
ambulasi dini
10. ajarkan ambulasi
sederhana yang
harus dilakukan
misalnya berjalan
dari tempat tidur
kekursi roda ,
berjalan dari tempat
tidur kekamar
mandi , berjalan
sesuai toleransi
Dukungan mobilisasi
1. identifikasi adanya
nyeri atau keluhan
fisik lainnya
2. identifikasi
toleransi fisik
melakukan
pergerakan
3. observasi prekuensi
jantung dan tekanan
darah sebelum
memulai mobilisasi
4. observasi kondisi
umum selama
melakukan
mobilisasi
5. fasilitasi aktivitas
mobilisasi dengan
alat bantu misalnya
pagar tempat tidur
6. fasilitasi melakukan
pergerakan jika
perlu
7. libatkan keluarga
untuk membantu
pasien dalam
meningkatkan
pergerakan
8. jelaskan tujuan dan
prosedur mobilisasi
9. anjurkan
melakukan
mobilisasi dini
10. anjurkan mobilisasi
sederhana yang
harus dilakukan
misalnya: duduk
ditempat tidur,
duduk disisi tempat
tidur, pindah dari
tempat tidur kekursi
2 Nyeri akut Dalam…….x 24 jam 1. Identifikasi lokasi
berhubungan dengan setelah dilakukannya karakteristik ,
agen cidera biologis tindakan keperawatan durasi , frekuensi ,
kontraktur klien menunjukan kualitas, intensitas
(terputusnya 1. Kemampuan nyeri
jaringan tulang) menuntaskan 2. Identifikasi skala
. aktivitas nyeri
Meningkat 3. Identifikasi respon
2. Keluhan nyeri nyeri non verbal
3. Meringis 4. Identifikasi factor
4. Sikap protektif yang mmperberat
5. Gelisah dan memperringan
6. Kesulitan tidur nyeri
7. Menarik diri 5. Identifikasi
8. Berfokus pada diri pengetahuan
sendiri pengetahuan dan
9. Diafhoresis keyakinan tentang
10. Perasaan despresi nyeri
(tertekan) 6. Identifikasi
11. Perasaan takut pengaruh budaya
mengalami cedera terhadap respon
berulang nyeri
12. Anoreksia 7. Identifikasi
13. Ketegangan otot pengaruh nyeri
14. Pupil dilatasi terhadap kualitas
15. Muntah hidup
16. Mual 8. Observasi
Menurun keberhasilan terapi
17. Frekuensi nadi komplementer yang
18. Pola nafas sudah diberikan
19. Tekanan darah 9. Observasi
20. Proses berpikir efeksamping
21. Focus penggunaan
22. Fungsi berkemih analgetik
23. Prilaku 10. Berikan teknik non
24. Nafsu makan farmakologis untuk
25. Pola tidur mengurangi rasa
Membaik nyeri Misalnya
TENS , hipnotis ,
akupuntur , terapi
music , biofeedback
, terapi pijat ,
aromatic , teknik
imajinasi
terbimbing ,
kompres hangat
dingin , terapi
bermain
11. Control lingkungan
yang memperberat
nyeri misalnya suhu
ruangan ,
pencahayaan ,
kebisingan
12. Fasilitas istirahat
dan tidur
13. Jelaskan penyebab ,
periode dan pemicu
nyeri
14. Jelaskan strategi
meredakan nyeri
15. Anjurkan
mengobservasi
nyeri secara
mandiri
16. Anjurkan
menggunakan
analgetik secara
mandiri
17. Ajarkan teknik
nonfarmakologis
untuk mengurangi
rasa nyeri
18. Kolaborasi dengan
dokter dan tim
lainnya dalam
pemberian
analgetik jika perlu
3 Pola nafas tidak Dalam…….x 24 jam 1. Observasi pola napas
efektif berhubungan setelah dilakukannya (frekuensi,
dengan obstruksi tindakan keperawatan kedalaman, usaha
trakeobronkial, klien menunjukan napas)
neurovaskuler, Meningkat 2. Observasi bunyi
kerusakan medula 1. Ventilasi semenit napas tambahan
oblongata 2. Kapasitas vital 3. Observasi sputum
neuromaskuler 3. Diameter thoraks 4. Pertahankan
anterior-posterior kepatenan jalan napas
4. Tekanan ekspirasi dengan head-tilt
5. Tekanan inspirasi 5. Posisikan semi
fowler atau fowler
Menurun 6. Berikan minuman
1. Dispnea hangat
2. Penggunaan otot 7. Lakukan fisioterapi
bantu napas dada, jika perlu
3. Pemanjangan fase 8. Lakukan pengisapan
ekspirasi lender kurang dari 15
4. Ortopnea detik
5. Pernapasan pursed-lip 9. Lakukan
6. Pernapasan cuping hiperoksigenasi
hidung sebelum melakukan
pengisapan
Membaik endotrakeal
1. Frekuensi napas 10. Keluarkan sumbatan
2. Kedalaman napas benda padat dengan
3. Ekskursi napas forsep McGill
11. Berikan oksigen jika
perlu
12. Anjurkan asupan
cairan 2000 ml/hr,
jika tidak
kontraindikasi
13. Ajarkan teknik batuk
efektif
14. Kolaborasi
pemberian
bronkodilator,
ekspektoran,
mukolitik jika perlu
4 Defisit nutrisi Dalam…….x 24 jam 1. Identifikasi status
berhubungan dengan setelah dilakukannya nutrisi, alergi,
melemahnya otot tindakan keperawatan intoleransi
yang digunakan klien menunjukan makanan, makanan
untuk mengunyah Meningkat yang disukai.
dan menelan 1. Porsi makan yang 2. Identifikasi
dihabiskan kebutuhan kalori
2. Kekuatan otot yang dan jenis nutriet
mengunyah dan 3. Identifikasi
menelan perlunya
3. Serum albumin penggunaan
4. Verbalisasi keinginan nasogastrik / NGT
untuk meningkatkan 4. Monitor asupan
nutrisi makanan, BB, hasil
5. Pengetahuan tantang pemeriksaan
pilihan makan minum laboratorium
yang sehat 5. Lakukan oral
6. Pengetahuan tentang hygine sebelum
standar asupan nutrisi makan
yang tepat 6. Fasilitasi
7. Penyimpanan dan menentukan
penyimpanan pedoman diet
makanan minuman 7. Sajikan makanan
yang tepat dengan menarik dan
suhu yang sesuai
Menurun 8. Berikan makanan
1. Perasaan cepat yang tinggi serat
kenyang untuk mencegah
2. Nyeri abdomen konstipasi
3. Sariawan 9. Berikan makanan
4. Rambut rontrok yang tinggi kalori
5. Diare dan tinggi protein
10. Berikan suplemen
Membaik makanan
1. BB, IMT, frekuensi 11. Hentikan pemberian
makan, nafsu makan, makanan melalui
bising usus, membran NGT jika asupan
mukosa oral dapat di
toleransi
12. Anjurkan posisi
duduk
13. Anjurkan program
diet yang
diprogramkan
14. Kolaborasi
pemberian medikasi
sebelum makan
15. Kolaborasi dengan
ahli gizi untuk
menentukan jumlah
kalori dan jenis
nutrien yang
dibutuhkan
5 Gangguan Dalam…….x 24 jam Promosi komunikasi :
komunikasi verbal setelah dilakukannya deficit bicara
berhubungan dengan tindakan keperawatan 1. Observasi
cedera otak dan klien menunjukan kecepatan tekanan
penurunan 1. Kemampuan kuantitas volume
keseadaran berbicara dan diksi bicara
2. Kemampuan 2. Observasi proses
mendengar kognitif anatomis
3. Kesesuaian ekspresi dan fisiologis yang
wajah/tubuh berkaitan dengan
4. Kontak mata bicara misalnya
a. Menurun memory ,
b. Cukup menurun pendengaran dan
c. Sedang bahasa
d. Cukup 3. Observasi Frustasi
meningkat marah , depresi atau
e. Meningkat hal lain yang
5. Afasia mengganggu bicara
6. Disfasia 4. Identifikasi prilaku
7. Apraksia emosional dan fisik
8. Disleksia sebagai bentuk
9. Dissatria komunikasi
10. Afonia 5. Gunakan metode
11. Dislalia komunikasi
12. Pelo alternative misalnya
13. Gagap menulis , mata
a. Meningkat erkedip , papan
b. Cukup komunikasi dengan
meningkat gambar dan huruf ,
c. Sedang isyarat tangan dan
d. Cukkup computer
menurun 6. Sesuaikan gaya
e. Menurun komunikasi dengan
14. Respon prilaku kebutuhan misalnya
15. Pemahaman berdiri didepan
komunikasi pasien ,
a. Memburuk mendengarkan
b. Cukup dengan seksama ,
memburuk tunjukkan satu
c. Sedang gagasan atau
d. Cukup membaik pemikiran sekaligus
e. Membaik , berbicaralah
dengan perlahan
sambil menghindari
triakan , gunakan
komunikasi
tertulis , atau
meminta bantuan
keluarga untuk
memahami ucapan
pasien
7. Ulangi apa yang
disampaikan pasien
8. Berikan dukungan
psikologis
9. Anjurkan bicara
perlahan
Promosi komunikasi
deficit pendengaran
1. Priksa kemampuan
pendengaran
2. Observasi
akumulasi serumen
berlebihan
3. Identifikasi metode
komunikasi
berlebihan yang
disukai pasien
misalnya lisan
,tulisan , gerakan
bibir bahasa isyarat
4. Gunakan bahasa
sederhana
5. Gunakan bahasa
isyarat jika perlu
6. Verifikasi apa yang
dikatakan atau
ditulis pasien
7. Vasilitasi
penggunaan alat
bantu dengar
8. Berhadapan dengan
pasien secara
langsung selama
berkomunikasi
9. Pertahankan kontak
mata selama
berkomunikasi
10. Hindari kebisingan
selama
berkomunikasi
11. Hindari
berkomunikasi
lebih dari 1 meter
dari pasien
12. Lakukan irigasi
telinga jika perlu
13. Pertahankan
kebersihan telinga
14. Anjarkan cara
membersihkan
serumen dengan
tepat
Promosi komunikasi
devisit visual
1. Periksa kemampuan
penglihatan
2. Observasi dampak
gangguan
pengelihatan
misalnya resiko
cedera, depresi,
kegelisahan,
kemampuan
melakukan aktivitas
sehari hari
3. Fasilitasi
peningkatan
stimulasi indra
lainnya misalnya
aroma, rasa dan
tekstur makanan
4. Sediakan
pencahayaan yang
cukup
5. Hindari penataan
letak lingkungan
tanpa memberitahu
6. Sediakan alat bantu
misalnya jam atau
telpon
7. Jelaskan
lingkungan pada
pasien
8. Ajarkan keluarga
cara membantu
pasien
berkomunikasi
9. Kolaborasi dengan
dokter atau tim
lainnya dalam
pemberian terapis
6 Gangguan menelan Dalam…….x 24 jam 1. Identifikasi diet
berhubungan dengan setelah dilakukannya yang dianjurkan
penurunan tindakan keperawatan 2. Observasi
kesadaran, klien menunjukan kemampuan
peningkatan tekanan 1. mempertahankan menelan
intra kranial makanan di mulut 3. Observasi status
2. reflek menelan hidrasi pasien jika
3. kemampuan perlu
mengosongkan 4. Ciptakan
mulut lingkungan yang
4. kemampuan menyenangkan
mengunyah selama makan
5. usaha menelan 5. Atur posisi yang
meningkat nyaman untuk
6. frekuensi tersendak makan dan minum
7. batuk 6. Lakukan oral
8. muntah hygiene sebelum
9. refluks lambung makan jika perlu
10. gelisah 7. Letakkan makanan
menurun yang sehat disisi
11. produksi saliva mata yang sehat
12. penerimaan 8. Sediakan sedotan
makanan untuk minum sesuai
13. kualitas suara kebutuhan
membaik 9. Siapkan makanan
dengan suhu yang
meningkatkan nafsu
makan
10. Sediakan makanan
dan minuman yang
disukai
11. Berikan bantuan
saat makan atau
minum sesuai
tingkat kemandirian
jika perlu
12. Jelaskan posisi
makanan pada
pasien yang
mengalami
gangguan
penglihatan dengan
menggunakan arah
jarum jam misalnya
sayur dijam 12.00 ,
rending dijam 15.00
13. Kolaborasi
pemberian obat
misalnya analgesic
dan antimetik
sesuai indikasi
14. Observasi tingkat
kesadaran, batuk,
muntah dan
kemampuan
menelan
15. Observasi status
pernapasan
16. Observasi bunyi
napas, terutama
setelah makan dan
minum
17. Periksa residu
gaster sebelum
memberi asupan
oral
18. Periksa kepatenan
selang nasogastric
sebelum
memberikan asupan
oral
19. Posisikan
semifowler (30-45
drajat) 30 menit
sebelum memberi
asupan oral
20. Pertahankan posisi
semifowler pada
pasien tidak sadar
21. Pertahankan
kepatenan jalan
napas
22. Lakukan
pengisapan jalan
napas jika produksi
sekrek meningkat
23. Hindari
memberikan
makanan melalui
selang
gastrointestinal jika
residu banyak
24. Berikan makanan
dengan ukuran
kecil atau lunak
25. Berikan obat oral
dalam bentuk cair
26. Anjurkan makan
secara perlahan
27. Ajarkan strategi
mencegah aspirasi
28. Ajarkan teknik
mengunyah atau
menelan jika perlu
7 Resiko perfusi Pasien akan Management
serebral tidak efektif mempertahanka peningkatan tekanan
berhubungan dengan n aliran darah ke intracranial
edema serebral dan otak yang efektif 1. identifikasi
peningkatan tekanan selama dalam penyebab
intracranial perawatan. peningkatan TIK
Objektif : misalnya lesi,
Dalam jangka gangguan
waktu 3x24 jam metabolisme,
pasien akan edema selebral
1. Tekanan systole 2. observasi tanda dan
dan diastole dalam gejala TIK
rentang yang misalnya tekanan
diharapkan (120/80 darah meningkat,
mmHg) tekanan nadi
2. Tidak ada tanda melebar, bradikardi,
tanda peningkatan polanafas irregular,
tekanan intrakranial kesadaran menurun
(tidak lebih dari 15 3. observasi MAP
mmHg) (Mean Arterial
3. Tingkat kesadaran Pressure)
4. Kognitif 4. observasi CVP
a. Menurun (Central venous
b. Cukup menurun pressure) jika perlu
c. Sedang 5. observasi ICP (intra
d. Cukup cranial pressure)
meningkat jika tersedia
e. Meningkat 6. observasi CPP
5. Tekanan intracranial (cerebral perfusion
6. Sakit kepala pressure)
7. Gelisah 7. observasi
8. kecemasan gelombang ICP
9. agitasi 8. Observasi status
10. demam pernapasan
a. meningkat 9. Observasi intake
b. cukup dan output cairan
meningkat 10. Observasi cairan
c. sedang serebro-spinalis
d. cukup menurun misalnya warna dan
e. menurun konsistensi
11. nilai rata-rata 11. Minimalkan
tekanan darah stimulus dengan
12. kesadaran menyediakan
13. tekanan darah lingkungan yang
sistolik tenang
14. tekanan darah 12. Berikan posisi semi
diastolic fowler
15. reflex saraf 13. Hindari manufer
a. membuurk valsava
b. cukup 14. Cegah terjadinya
memburuk kejang
c. sedang 15. Hindari
d. cukup membaik penggunaan PEEP
e. membaik 16. Hindari pemberian
cairan IV hipotonik
17. Atur ventilator agar
PaCO2 optimal
18. Pertahankan suhu
tubuh normal
19. Kolaborasi
pemberian sedasi
dan antikonvulsan
jika perlu
20. Kolaborasi
pemberian diuretic
osmosis jika perlu
21. Kolaborasi
pemberian pelunak
tinja jika perlu
Pemantauan Tekanan
Intrakranial
1. Identifikasi
penyebab
peningkatan TIK
misalnya lesi
menempati ruang,
gangguan
metabolisme,
edema serebral,
peningkatan
tekanan vena,
obstruksi aliran
cairan
serebrospinal,
hipertensi
intracranial
idiopatik
2. Observasi tekanan
darah
3. Observasi
pelebaran tekanan
nadi (selisih TDS
dan TDD)
4. Observasi
penurunan
frekkuensi jantung
5. Observasi
ireguleritas irama
napas
6. Observasi
penurunan tingkat
kesadaran
7. Observasi
perlambatan atau
ketidaksimetrisan
respon pupil
8. Observasi kadar
CO2 dan
pertahankan dalam
rentang yang di
indikasikan
9. Observasi tekanan
perfusi serebral
10. Observasi jumlah,
kecepatan, dan
karakteristik
drainase cairan
serebrospinal
11. Observasi efek
stimulus
lingkungan
terhadap TIK
12. Ambil sampel
drainase cairan
serebrospinal
13. Pertahankan
sterilisasi system
pemantauan
14. Pertahankan posisi
kepala dan leher
netral
15. Bilas system
pemantauan jika
perlu
16. Atur interval
pemantauan sesuai
kondisi pasien
17. Dekomentasi hasil
pemantauan
18. Jelaskan tujuan dan
prosedur
pemantauan
19. Informasikan hasil
pemantauan jika
perlu
8 Resiko Dalam…….x 24 jam 1. Monitor status
keseimbangan setelah dilakukannya hidrasi ( TTV, akral,
cairan dan elektrolit tindakan keperawatan pengfisian kapiler,
berhubungan dengan klien menunjukan kelembaban
pengeluaran urine Meningkat mukosa, turgor kulit,
dan elektrolit 8. Asupan cairan dan tekanan darah)
meningkat elektrolit 2. Monitor berat BB
9. Haluaran urin harian
10. Kelembaban membran 3. Monitor hasil
mukosa pemeriksaan hasil
11. Asupan makanan laboratorium
Menurun 4. Monitor status
6. Edema dinamik
7. Dehidrasi 5. Catat intake dan
8. Asites output dan hitung
9. Konfusi belens cairan
6. Berikan asupan
Membaik cairan
2. Ttv 7. Berikan cairan
3. Tekanan arteri rata- intravena
rata 8. Kolaborasi
4. Mata cekung pemberian diuretik
5. Turgor kulit dan BB
9 Resiko infeksi Dalam…….x 24 jam 1. Observasi tanda dan
berhubungan dengan setelah dilakukannya gejala infeksi local
jaringan trauma, tindakan keperawatan dan sistemik
kerusakan kulit klien menunjukan 2. Batasi jumlah
kepala Meningkat pengunjung
12. Kebersihan tangan 3. Berikan perawatan
13. Kebersihan badan luka pada area edema
14. Nafsu makan 4. Cuci tangan sebelum
dan sesudah kontak
Menurun dengan pasien dan
10. Demam lingkungan pasien
11. Kemerahan 5. Pertahankan teknik
12. Nyeri aseptic pada pasien
13. Bengkak beresiko tinggi
14. Vesikel 6. Jelaskan tanda dan
15. Cairan berbau busuk gejala infeksi
16. Sputum berwarna 7. Ajarkan cara cuci
hijau tangan dengan benar
17. Drainase purulent 8. Ajarkan etika batuk
18. Piuria 9. Ajarkan cara
19. Priode malaise memeriksa kondisi
20. Priode menggigil luka atau luka operasi
21. Latargi 10. Anjurkan
22. Gangguan kognitif meningkatkan asupan
nurisi
Membaik 11. Anjurkan
6. Kadar sel darah putih meningkatkan asupan
7. Kultur darah cairan
8. Kultur urine 12. Kolaborasi
9. Kultur area luka pemberian imunisasi
Kultur feses jika perlu

4. Implementasi Keperawatan
Merupakan tahap ke empat dalam tahap proses keperawatan dengan
melaksanakan berbagai strategi keperawatan (tindakan keperawatan) yang
telah direncanakan dalam rencana keperawatan. Dalam tahap ini perawat
harus mengetahui berbagai hal diantaranya bahaya-bahaya fisik dan
perlindungn pada pasien, tehnik komunikasi, kemampuan dalam prosedur
tindakan, pemahaman tentang hak-hak dari pasien serta dalam memahami
tingkat perkembngan pasien (Nursalam, 2006)
Menurut Nursalam, (2006) Tindakan keperawatan mencakup tindakan
independent (mandiri), dan kolaborasi.
a. Tindakan mandiri adalah aktifitas keperawatan yang didasarkan pada
kesimpulan atau keputusan sendiri dan bukan merupakan petunjuk atau
perintah dari petugas kesehatan lain.
b. Tindakan kolaborasi adalah tindakan yang didasarkan hasil keputusan
bersama seperti dokter dan petugas kesehatan lain.
5. Evaluasi
Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan
yang menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana tindakan
dan pelaksanaannya sudah berhasil dicapai (Nursalam, 2006)
Menurut Nursalam, (2006) evaluasi disusun dengan menggunakan SOAP
yang operasional dengan pengertian:
S : Ungkapan perasaan dan keluhan yang dirasakan secara obyektif oleh
keluarga setelah diberikan implementasi keperawatan.
O : Kedaan subyektif yang dapat diidentifikasi oleh perawat menggunakan
pengamat yang objektif setelah implemnatsi keperawatan.
A : Merupakan analisis perawat setelah mengetahui respon subjektif dan
masalah keluarga yang dibandingkan dengan krietria dan standar yang telah
ditentukan mengacu pada tujuan rencana keperawatan keluarga.
P : Perencanaan selanjutnya setelah perawat melakukan analisis pada tahap
ini ada 2 evaluasi yang dapat dilaksanakan oleh perawat.
DAFTAR PUSTAKA

Smetlzer, & Bare. 2005. Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah Brunner &
Suddart Edisi 8 Vol 1 Alih Bahasa : Kuncara Monica Ester. Jakarta : EGC
Sudoyo. A. W., dkk .2009 .Buku Ajar Penyakit Dalam .Edisi 4.Jakarta : Pusat
Penerbit Ilmu Penyakit Dalam FKUI
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2016. Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia :
Definisi dan Indikator Diagnostik. Jakarta : Dewan Pengurus Pusat
Persatuan Perawat Nasional Indonesia
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia :
Definisi dan Kriteria Hasil Keperawatan. Jakarta : Dewan Pengurus Pusat
Persatuan Perawat Nasional Indonesia
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia :
Definisi dan Tindakan Keperawatan. Jakarta : Dewan Pengurus Pusat
Persatuan Perawat Nasional Indonesia
Wijaya, A.S Dan Putri, Y.M. (2013). Keperawatan Medical Bedah 2,
Keperawatan Dewasa Teori dan Contoh Askep. Yogyakarta : Nuha Medika

Anda mungkin juga menyukai