Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Sistem Pemilu dan Partai Politik
Disusun oleh :
Alwin 1198040009
Alya Ramadhaniati 1198040010
Arum Rumaesih 1198040011
Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa Yang senantiasa memberikan
karunia-Nya berupa nikmat iman dan kesehatan sehingga kita dapat menjalankan aktivitas
sehari-hari. Tidak lupa shawalat serta salam tercurahkan bagi Baginda Agung Rasulullah
SAW yang syafaatnya akan kita nantikan kelak. Suatu karunia yang besar dari Allah SWT
yang selanjutnya penulis syukuri, karena dengan kehendaknya, akhirnya penulis dapat
menyelesaikan makalah ini untuk memenuhi tugas dari mata kuliah Sistem Pemilu dan Partai
Politik yang berjudul ”Organisasi Partai "
Makalah ini merupakan hasil jerih payah penulis yang sangat maksimal sebagai
manusia yang tidak lepas dari salah dan khilaf. Namun penulis menyadari bahwa makalah ini
masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Jadi penulis memohon kritik dan
saran yang sifatnya membangun yang penulis harapkan dari kawan-kawan sekalian, tapi
perlu juga di ketahui bahwa kritikan dan saran dari kawan-kawan sekali kami akan
pertimbangkan.
Akhirnya, kepada Allah kita memohon. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita
sebagai penambah wawasan dan cakrawala pengetahuan. Dan dengan memanjatkan do’a dan
harapan semoga apa yang kita lakukan ini menjadi amal dan mendapat ridha dari Allah SWT
yang maha pengasih lagi maha penyayang.
Kelompok 3
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
.1 Latar Belakang
Sebuah organisasi politik yaitu yang menjalani ideologi tertentu atau dibentuk
dengan tujuan umum. Definisi lainnya adalah kelompok yang terorganisir yang anggota-
anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Bisa juga di
definisikan, perkumpulan (segolongan orang-orang) yang seasas, sehaluan, setujuan di
bidang politik. Baik yang berdasarkan partai kader atau struktur kepartaian yang
dimonopoli oleh sekelompok anggota partai yang terkemuka. Atau bisa juga berdasarkan
partai massa, yaitu partai politik yang mengutamakan kekuatan berdasarkan keunggulan
jumlah anggotanya. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan
merebut kedudukan politik (biasanya) dengan cara konstitusionil untuk melaksanakan
kebijakan-kebijakan mereka.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), partai politik berarti perkumpulan yang didirikan untuk
mewujudkan ideologi politik tertentu. Dalam sejarah Indonesia, keberadaan Partai politik di Indonesia
diawali dengan didirikannya organisasi Boedi Oetomo (BO), pada tahun 1908 di Jakarta oleh Dr.
Wahidin Soediro Hoesodo dkk. Walaupun pada waktu itu BO belum bertujuan ke politik murni, tetapi
keberadaan BO sudah diakui para peneliti dan pakar sejarah Indonesia sebagai perintis organisasi modern.
Dengan kata lain, BO merupakan cikal bakal dari organisasi massa atau organisasi politik di Indonesia.
Pada masa penjajahan Belanda, partai-partai politik tidak dapat hidup tenteram. Tiap partai yang bersuara
menentang dan bergerak tegas, akan segera dilarang, pemimpinnya ditangkap dan dipenjarakan atau
diasingkan. Partai politik yang pertama lahir di Indonesia adalah Indische Partij yang didirikan pada
tanggal 25 Desember 1912, di Bandung.
4
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui bagaimana dan mengapa ada kemiripan dari organisasi partai yang
berbeda
5
BAB II
PEMBAHASAN
Menurut Budiardjo partai politik adalah sekelompok orang yang terorganisasir yang
anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan citacita yang sama. Tujuan
kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik
(biasanya) dengan cara konstitusional untuk melkasnakan programnya. Sedangkan
menurut Giovani Sartori partai politik adalah suatu kelompok politik yang mengikuti
pemilihan umum dan, melalui pemilihan umum itu mampu menempatkan calon-calonya
untuk menduduki jabatn-jabatan politik.
Menurut Edmund Burke (2005) partai politik adalah lembaga yang terdiri dari atas
orang-orang yang bersatu, untuk memperomosikan kepentingan nasional secara bersama-
sama, berdasarkan prinsip-prinsip dan hal-hal yang mereka setujuai. Menurut
Lapalombara dan Anderson (1992) partai politik adalah setiap kelompok politik yang
memiliki label dan organisasi resmi yang menghubungkan antara pusat kekuasaan dengan
lokalitas, yang hadir saat pemelihan umum, dan memiliki kemmapuan untuk menmpatkan
kandidat pejabat publik melalui kegiatan pemilihan umum, baik bebas maupun tidak
bebas.
Menurut Sigmund Neuman (1963) partai politik adalah organisasi dari aktivitas-
aktivitas politik yang berusaha untuk menguasai kekuasaan pemerintah serta membuat
dukungan rakyat atas dasar persaiangan dengan suatu golongan atau golongan-goliongan
lain yang mempunyai pandangan yang berbeda. Sedangkan menurut R.H. Soltau
(1961:199) partai politik adalah sekelompok warga negara yang terorganisasi yang
bertindak sebagai suatu kesatuan politik yang dengan memnafaatkan kekuasaannya untuk
memilih dan mengusai pemerintahan dan melaksanakan kebijaksanaan umum mereka.
Menurut Badudu (2001: 100) bahwa: “Partai berasal dari dan kata “part” yang berarti
“bagian” dan menunjukkan kepada bagian dari para warga Negara. Sedang kata “partai”
menunjukkan kepada sekumpulan orang-orang. Jadi menunjukkan kepada sekumpulan
6
sejumlah warga dan suatu negara yang menggabungkan suatu kesatuan yang mempunyai
tujuan tertentu”
Partai politik adalah organisasi oleh sekelompok manusia yang melakukan kegiatan-
kegiatan politik dalam hal menjalankannya aktivitas politiknya sebagai pelaku maupun
anggota politik demi mencapai cita-cita yang diharapkan atas dasar persamaan kehendak.
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2008 tentang Partai Politik
menyatakan bahwa yang dimaksud dengan partai politik adalah “Organisasi social yang
dibentuk oleh sekelompok warga negara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar
persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota,
masyarakat, bangsa dan negara melalui pemilihan umum”. Kegiatan seseorang dalam
partai politik merupakan suatu bentuk partisipasi politik mencakup semua kegiatan
sukarela melalui mana seseorang turut serta dalam proses pemilihanpemilihan politik dan
turut serta secara langsung ataupun dengan wakil-wakil rakyat yang duduk dalam badan
itu, berkampanye dan menghadiri kelompok diskusi dan sebagainya. Kebalikan dari
partisipasi politik adalah “apatis”. Seseorang dinamakan apatis (secara politik) jika dia
tidak ikut serta dalam kegiatan-kegiatan tersebut di atas.
PENGUATAN PLATFORM
Satu hal penting yang perlu didorong dengan segera adalah menempatkan platform partai
sebagai bagian dari mekanisme kelembagaan partai yang dihormati dan menjadi pegangan
bagi partai politik dalam menjalankan roda organisasi sehari-hari. Ada dua hal penting yang
7
menjadi tawaran penguatan dalam mencapai hal tersebut, yaitu pertama, partai politik dapat
menegaskan kembali nilai-nilai politik ideal yang diinginkan oleh partai politik untuk
dikaitkan dengan kondisi dan realitas kekinian dari isu-isu menyangkut aspek ekonomi,
sosial, budaya, dan politik nasional. Proses tersebut nantinya harus didorong menjadi bagian
terpenting dalam kelembagaan di dalam partai, yakni di dalam AD/ART (anggaran
dasar/anggaran rumah tangga) yang disahkan dalam forum tertinggi partai. Di samping itu,
proses ini juga tidak melupakan dalam aspek kesejarahan partai, seperti tradisi, aliran atau
bahkan gagasan dan pandangan pemimpin partai yang mempengaruhi nilai-nilai di dalam
lingkup internal partai" Artinya partai politik akan memiliki strategi yang jelas berdasarkan
dua hal yakni aspek nilai yang dipegang teguh oleh masing-masing partai dan juga
disesuaikan dengan situasi dan kondisi ekonomi, sosial dan politikyang terkini.
Kedua, platform partai yang sudah jelas dan terarah diharapkan terintegrasi dalam mekanisme
kelembagaan internal partai yaitu proses diskusi dan sosialisasi yang intensif dengan
melibatkan semua stakeholder partai. Tujuannya adalah keterlibatan semua aspek di dalam
partai yang memiliki pandangan-pandangan yang bisa berbeda satu sama lain untuk saling
melengkapi. Hal yang penting dalam sosialisasi tersebut adalah kemampuan partai politik
dalam membangun konsensus mengenai aspek dan nilai yang dianut agar menjadimudah
dimengerti oleh semua pihak di dalam partai sehingga arah dan gerak dari partai akan
menjadi lebih mudah diinterpretasi hingga ke tingkatan aktifis partai yang paling rendah. Hal
menarik lainnya sebagai agenda partai dalam konteks pelembagaan dan sosialisasi adalah
dibukanya pintu dialog dan komunikasi lintas partai yang memiliki kesamaan pandangan.
REKRUTMEN POLITIK
Dari rangkaian diskusi dengan para narasumber dari beberapa partai, ada beberapa
permasalahan yang umumnya kini dialami partai-partai politik di lndonesia saat ini. Pertama,
partai belum memiliki prosedur rekrutmen yang mapan/ baik dalam tataran konsep maupun
dalam implementasinya. Persoalan inilah yang melatarbelakangi sebagian partai untuk
8
melakukan rekrutmen politik yang bersifat instan, antara lain dengan memasukkan kalangan
tertentu, khususnya publicfigure, pejabat atau mantan pejabat, dan kalangan pengusaha
sebagai anggota, pengurus/ dan bahkan calon anggota legislatif dan eksekutif tanpa kriteria
dan prosedur yang jelas. Kedua, partai masih terlalu mengandalkan model rekrutmen
konvensional, terutama bergantung pada basis dukungan lama, yang seringkali telah
mengalami pergeseran. lni menyebabkan partai relatif pasif dan kurang inovatif dalam
mengeksplorasi pendekatan yang lebih efektif dalam menjaga dan memperluas basis
pendukung. Salah satu contoh dampak dari situasi ini adalah kesulitan partai dalam merekrut
anggota.
KADERISASI PARTAI
KOHESIFITAS PARTAI
Seorang ahli, Miriam Budiardjo berpendapat bahwa politik merupakan suatu usaha untuk
mencapai sebuah kehidupan masyarakat yang lebih baik. Senada dengan hal tersebut, Peter
Merkl juga menjelaskan bahwa politik dalam bentuk yang paling baik ialah usaha dalam
mencapai suatu tatanan sosial yang baik dan berkeadilan.
Sementara itu, elektoral atau pemilihan umum merupakan bagian dari sistem politik.
Dengan demikian, politik elektoral dapat dimaknai sebagai salah satu sarana atau cara untuk
menetapkan orang-orang yang akan mewakili rakyat dalam sistem pemerintahan.
Salah satu argumen yang menjadi alasan dari sistem politik elektoral ini adalah bahwa
orang Amerika tinggal di wilayah yang luas dan tentunya akan kekurangan informasi yang
cukup untuk melakukan pemilihan secara langsung dan cerdas terhadap kandidat presiden.
Pada tahun 1780-an, ketika kehidupan jauh lebih bersifat lokal, pertimbangan tersebut
menjadi relevan. Namun, kemunculan awal partai presiden nasional menjadikan
pertimbangan tersebut sebagai barang usang dengan menghubungkan kandidat presiden ke
10
daftar kandidat lokal dan platform nasional, yang mengungkapkan apa saja yang
diperjuangkan oleh para kandidat kepada pemilih.
Tradisi ketiga adalah sosiologis; tradisi ini menghubungkan organisasi partai kepada
sebentuk sumber-daya tertentu yang tersedia bagi sebuah partai. Bentuk organisasional
mencerminkan pasokan-pasokan sumber daya. Kita akan perhatikan aspek-aspek dari
pendekatan ini dalam bagian selanjutnya. Sebelum beralih pada hal ini perlu kita ketahui
mengapa kedua pendekatan pertama ini berbeda, dan dimulai dengan menjelaskan kerangka-
kerja yang digunakan oleh Duverger dan Panebianco.
Tipologi Duverger tentang organisasi partai terdiri dari dua dimensi: (1) apakah struktur
tersebut ‘langsung’ atau ‘tidak-langsung’, dan (2) yang disebut sebagai ‘elemen-elemen
dasar’ partai tersebut.
Partai yang langsung dan tidak langsung. Dimensi pertama, yang beliau sebut sebagai
‘bidang horizontal’ melibatkan sebuah perbedaan antara partai yang berbentuk organisasi-
organisasi uniter (struktur ‘langsung’) dan partai-partai yang merupakan konfederasi badan-
badan lain (struktur ‘tidak langsung). Menurut Duverger, yang menemukan tipologi ini pada
awal 1950-an, struktur-struktur tidak langsung kurang begitu umum dan biasanya dapat
ditemukan di banyak partai-partai Sosialis dan partai Katolik. Tapi hal ini tidak berarti semua
bentuk-bentuk partai ini bersifat ‘tidak-langsung’; sementara Partai Buruh Inggris utamanya
tetap ‘tidak-langsung’, dengan merefleksikan fakta bahwa partai tersebut dibentuk oleh
serikat-serikat dagang, masyarakat-masyarakat kooperatif, dan masyarakat-masyarakat
sosialis yang kecil, Partai Sosialis Perancis pada saat itu (SFIO) selalu memiliki sebuah
struktur ‘langsung’. Sebuah partai bisa jadi kurang, atau lebih, ‘tidak langsung’, dan
Duverger menyebutkan, contohnya, bahwa selalu ada sebuah kecenderungan menuju
‘ketidak-langsungan’ diantara partai-partai agraria yang tidak pernah sejelas ‘ketidak-
langsungan’ partai-partai Katolik dan Sosialis.
Elemen-elemen dasar partai. ‘Elemen-elemen dasar’ tersebut, atau yang biasa Duverger
sebut ‘bidang horizontal’, adalah ‘unit-unit yang darinya partai-partai muncul’.[3] Sebuah
partai uniter yang ‘langsung’ memiliki elemen-elemen dasar, dan begitu juga dengan
berbagai badan yang darinya sebuah partai ‘tidak-langsung’ dibentuk. Duverger
mengidentifikasi empat jenis elemen dasar yang darinya sebuah partai dapat disusun—rapat
atau pertemuan (caucus), cabang, sel, dan milisi.
11
• Caucus.
Jelaslah dari deskripsi ini bahwa bentuk organisai caucus tersebut sepertinya
berhubungan dengan bentuk kader keanggotaan partai—salah satu kategori Duverger
yang telah dibahas dalam Bab 2. Duverger sendiri menyebut hubungan ini: ‘partai-
partai kader berhubungan dengan partai-partai caucus, terdesentralisasi dan terhubung
dengan sangat lemah.[5]
• Cabang (branch).
Bentuk kedua elemen dasar, cabang, juga dihubungkan oleh Duverger dengan
bentuk-bentuk partai yang beliau identifikasi dalam hubungannya dengan
keanggotaan—dalam hal ini adalah partai dengan keanggotaan massa. Struktur
cabang berbeda dari sebuah struktur caucus dalam dua hal utama. Cabang mencoba
untuk merekrut anggota sebagai cara untuk meningkatkan sumber daya yang tersedia
untuk mereka, dan anggota-anggota tersebut bukanlah kelompok-kelompok elit
politik lokal (atau, sebagaimana Duverger menyebutnya, orang-orang terkemuka
[notabilities]). Partai-partai berbasis-cabang juga berbeda dengan partai-partai
berbasis-caucus bahwa cabang-cabang yang berbeda saling berhubungan satu-sama-
lain. Sementara caucus-caucus secara individual biasanya mempertahankan sebuah
tingkat otonomi yang tinggi, yang berlawanan (vis-á-vis) dengan organisasi partai
nasional, partai-partai cabang sangat diatur dengan ketat oleh pusat. Ada juga
perbedaan signifikan antara parai-partai cabang dan caucus dengan memperhatikan
asal-usulnya. Sementara partai-partai caucus diciptakan secara internal (dalam badan
12
legislatif pra-demokratis oleh elit-elit politik), partai-partai cabang yang asli, dan
terutama partai Sosialis, diciptakan secara eksternal (oleh mereka yang didepak dari
kekuasaan politk dalam sebuah rezim).
• Sel (Cell).
Sel adalah ciptaan partai-partai komunis. Seperti partai caucus, tapi tidak seperti
partai-parti cabang, partai komunis lebih memperhatikan kualitas yang mereka rekrut
daripada jumlah mereka secara keseluruhan. Tapi mereka berbeda dari partai-partai
caucus dalam prinsip yang mengatur siapa yang diterima akan ditempatkan di tengah
dan tidak didikte oleh keadaan-keadaan politik lokal. Lebih lanjut, partai-partai
Komunis berbeda dari partai-partai cabang dan caucus bahwa unit-unit organisasional
kuncinya tidak dibedakan secara geografis (dihubungkan dengan unit-unit dan batas-
batas elektoral [yang berkaitan dengan pemilu]) tapi ada di tingkat tempat kerja.
Asumsinya bahwa mobilisasi kaum proletar lebih baik jika dilakukan dengan
mengembangkan organisasi-organisasi politik di pabrik-pabrik daripada di komunitas-
komunitas residensial. Hal ini menunjukkan sasaran partai-partai Komunis yang lebih
luas—aktivitas-aktivitas kepemiluan hanyalah sebuah cara, dan kerapkali bukanlah
sebuah cara yang penting, dalam mempersiapkan diri untuk meruntuhkan kapitalisme.
• Milisi (militia).
Milisi adalah bentuk organisasi yang diadopsi oleh partai-partai Fasis dan partai-
partai ekstrim sayap-kanan lainnya pada tahun-tahun masa perang; terlebih lagi dalam
kasus partai Komunis, organisasi ini dibentuk untuk melakukan banyak tugas-tugas
yang ada diluar politik-politik elektoral yang konvensional. Menurut Duverger, ‘milisi
adalah sebentuk angkatan bersenjata pribadi yang anggotanya diperoleh dari jalur-
jalur militer... karakter militer dari milisi tidak hanya muncul dalam komposisinya
tapi dalam strukturnya pula. Yang kemudian berbasis pada kelompok-kelompok yang
sangat kecil yang dibangun dalam bentuk piramida untuk membentuk unit-unit yang
lebih besar lagi’.[6]
Tipologi Duverger tentang organisasi partai sangatlah menarik, dan, harus ditambahkan
bahwa beliau mengembangkan beberapa gagasan penting mengapa partai-partai tertentu
seharusnya mengadopsi bentuk asli organisasinya. Akan tetapi, di jantung analisis beliau, ada
sebuah tantangan proposisi yang berkaitan dengan sesuatu yang beliau sebut ‘bidang
vertikal’: yaitu, bahwa partai cabang yang berbasis keanggotaan massa yang besar bersifat
13
superior terhadap partai caucus. Konsekuensinya, tekanan untuk melakukan kompetisi demi
mendapatkan suara dan mempertahankan dukungan mereka yang setia terhadap partai
berakhir pada partai caucus, baik dengan merubah diri mereka menjadi partai cabang atau
mengambil banyak bentuk-bentuk partai cabang lainnya (dengan begitu, menjadi sebentuk
hibrida antara bentuk caucus dan cabang sekaligus). Sel dan milisi cocok untuk partai-partai
dengan bentuk sasaran politik tertentu, tapi bagi banyak partai, bentuk elemen-elemen dasar
ini tidak akan cocok. Maka itu, adalah bentuk cabang yang menyediakan tantangan utama
bagi caucus, dan merupakan yang paling layak untuk memperoleh kuantitas besar sumber-
sumber daya politik.
“Menurut pengertian yang lebih modern, sosiorogi politik adalah ilmu tentang kekuasaan,
pemerintah, otoritas, komando, di daram semua masyarakat manusia, tidak hanya di dalam
masyarakat nasional. Leon Daguit, seorang ahli hukum, berkebangsaan perancis menyatakan
terdapat perbedaan antara pemerintah dan yang diperintah. Katanya, dalam setiap kelompok
manusia, mulai dari yang terkecir hingga yang terbesar, mulai dari yang rapuh hingga yang
paring stabil terdapat orang yang memerintah dan mereka yang mematuhinya. Terdapat
mereka yang membuat keputusan dan orang-orang yang menaati keputusan yang
bersangkutan. perbedaan tersebut merupakan fenomena politik yang fundamental yang
dijelaskan melalui studi perbandingan pada setiap masyarakat dan pada setiap tingkatan
sosial”(Duverger, Maurice. 2001).
Tentu saja, Duverger tidak memperdebatkan bahwa pada akhirnya semua partai-partai
politik akan menjadi identik dalam kaitannya dengan organisasinya. Beliau sangat sensitif
terhadap kenyataan bahwa sejarah organisasional tertentu dari sebuah partai benar-benar
mendesak agar partai dapat merubah strukturnya. Beliau juga mengakui bahwa ada cara yang
bebeda dalam menstrukturkan partai cabang. Meski demikian, landasan argumen beliau
adalah ‘penularan dari kiri’—bentuk organisasional dari partai-partai Sosialis superior
terhadap kemungkinan bentuk-bentuk lain, dan ia telah, dan akan terus untuk, dicontoh oleh
partai-partai lainnya. Ia bersifat superior karena besarnya kesempatan yang partai tersebut
berikan untuk memperoleh sumber-sumber daya yang diperlukan dalam organisasi elektoral.
Kemudian, pada akhirya faktor prinsipil dalam menentukan masa depan organisasi partai
yang mendorong partai untuk memodifikasi organisasinya agar menjadikan diri mereka se-
bersaing mungkin.
14
Menulis satu setengah dekade setelah Duverger, seorang ilmuwan politk Amerika, Leon
Epstein, mementahkan argume-argumen Duverger. Sementara analisis Duverger telah
mengakui peran kompetisi elektoral dalam membantu perkembangan organisasi-organisasi
partai, Epstein memandang organisasi partai tidak lebih dari sebuah respon terhadap
kompetisi untuk mendapatkan suara. Tapi, lebih signifikan lagi, beliau tidak setuju dengan
orientasi Eropa dalam analisis Duverger. Duverger telah memandang partai-partai Amerika
sebagai partai-partai yang mempertahankan ‘fosil’ organisasional—mereka tidak harus
meninggalkan bentuk organisasi caucus-nya karena mereka tidak menghadapi tantangan
elektoral besar dari sebuah partai Sosialis. Jelasnya, Epstein berpendapat bahwa bentuk
partai-partai di Amerika sebenarnya paling cocok untuk melaksanakan kampanye-kampanye
pemilu modern. Di sebuah era kampanye melalui televisi, jajak pendapat, dan sejenisnya,
partai tidak perlu sejumlah besar anggota untuk memobilisasi para pemilih. Akan tetapi, yang
mereka butuhkan adalah uang dan jasa-jasa (sejenis) ang dapat dengan mudah diperoleh dari
kelompok-kelompok berkepentingan dan sumbangan-sumbangan individual daripada dengan
mencoba merekrut massa anggota yang besar. Lebih lanjut, sejumlah besar anggota dapat
mendesak pimpinan partai dalam penggunaan strategi kampanye untuk menandingi lawan-
lawannya di partai-partai lain; pimpinan partai membutuhkan sebentuk fleksibilitas yang
datang bersamaan dengan sebuah hubungan yang lebih longgar antara pimpinan dan aktivis.
Konsekensinya, menurut Epstein, bukanlah ‘penularan dari kiri’ tapi ‘penularan dari kanan’
(model yang ada adalah Partai Republikan di Amerika Serikat) yang dapat mengkarakterisasi
masa depan organisasi-organisasi partai di demokrasi-demokrasi liberal.
Jelaslah, jika Epstein benar, maka daya dorong analisis Duverger harus ditolak. Tapi,
sebelum kita meneliti manfaat dari klaim-klaim mereka yang saling berkompetisi, sangatlah
berguna untuk memperkenalkan pendekatan yang sama sekali berbeda—pendekatan
institusional dari Panebianco.
Sang sosilog politik dari Italia, Angelo Panebianco, menawarkan sebuah analisis yang
lebih terbatas, dan pada saat yang bersamaan keras secara teoritis, tentang organisasi partai
daripada Duverger maupun Epstein. Analisis tersebut lebih terbatas dalam pengertian bahwa
analisis tersebut tidak melibatkan ‘kasus partai-partai yang beroperasi di luar Eropa Barat’.
Beliau menjelaskan alasannya untuk tidak melibatkan negara-negar berpartai-satu dan
Amerika Serikat, yang kemudian dihilangkan karena faktor-faktor yang mempengarui
15
kemunculan dan perkembangan organisasional dalam partai-partai di Amerika berbeda
dengan yang terjadi di Eropa.[7] Akan tetapi analisis ini bahkan lebih terbatas lagi dari
pembatasan ini dalam dua hal. Pertama, beliau tidak memberikan perhatian sama sekali
kepada partai-partai bekas jajahan Inggris (Australia, Kanada, dan Selandia Baru) yang sering
kali digunakan oleh para spesialis politik komparatif dalam menguji hipotesis yang diperoleh
dari pengalaman di Eropa Barat. Baik analisis Duverger maupun Epstein, contohnya,
menggunakan perbandingan-perbandingan tersebut sepenuhnya. Kedua, meski analisis
tersebut memiliki isi sebuah studi tentang Eropa Barat, studi kasus Panebianco sebenarnya
mencoba untuk menguji hipotesis beliau yang dibatasi hanya pada partai-partai di empat
negara Perancis, Jerman, Italia, dan United Kingdom (Inggris).
• Model Genetik.
Yang pertama adalah yang beliau sebut Model Genetik —bagaimana sebuah
partai dapat dibentuk; dan beliau mengidentifikasi enam cara dimana partai dibentuk.
• Institusionalisasi.
MODEL GENETIK.
Panebianco berpendapat bahwa ada tiga faktor utama yang menentukan bagaimana
sebuah asal-usul organisasi partai tertentu dapat dikarakterisasikan:
16
• apakah partai tersebut telah dibentuk dengan basis penetrasi teritorial atau difusi
teritorial (atau sebuah kombinasi dari kedua proses tersebut):
Penetrasi teritorial adalah proses dimana sebuah partai pusat menentukan keberadaan
organisasi lokal dan regional; sebaliknya, difusi teritorial melibatkan bergabungnya
kelompok-kelompok elit politik lokal independen pada tingkat nasional. Pada lirikan pertama,
sepertinya akan terlihat bahwa penetrasi teritorial hanyalah sebuah cara untuk
menggambarkan formasi apa yang Duverger akan gambarkan sebagai partai berbentuk-
cabang yang tercipta secara eksternal (atau sebuah partai Komunis), dan bahwa difusi
teritorial adalah sebuah gambaran formasi partai-partai caucus yang tercipta secara internal.
Tapi Panebianco menolak perbandingan ini, dengan berpendapat bahwa ketika partai-partai
caucus (terutama partai-partai Liberal) benar-benar mengalami difusi teritorial, sementara
partai yang lainnya (terutama partai-partai Konservatif melakukan penetrasi teritorial.
Apakah partai tersebut telah disponsori oleh sebuah organisasi ekternal atau tidak hal
tersebut mempengaruhi sumber legitimasi kepemimpinan. Dalam partai-partai yang sah
secara internal, pimpinan mendorong otoritasnya dari dalam partai itu sendiri; dalam sebuah
partai yang sah secara eksternal otoritas tersebut adalah institusi-institusi yang
mensponsorinya (Dalam beberapa kasus, kebanyakan dengan partai-partai Komunis di Eropa
Barat, legitimasi ekternal bersifat ‘ekstra-nasional’—legitimasi tersebut datang dari sebuah
organisasi diluar negara itu sendiri; seperti Comintern di Moskow). Meski partai-partai
‘tidak-langsung’ Duverger adalah contoh legitimasi eksternal, kategori beliau tidak berkaitan
dengan legitimasi eksternal Panebianco yang tidak selalu menghasilkan sebuah struktur partai
‘tidak langsung’.
(1) apakah partai tersebut dibentuk melalui difusi teritorial, penetrasi teritorial, atau
keduanya?
(2) apakah kepemimpinan partai melegitimasinya secara internal atau eksternal? (dan
jika eksternal, apakah ia ekstra-nasional?)
17
(3) jika ada, peran apa yang dimainkan seorang pimpinan karismatik dalam formasi
partai tersebut?
INSTITUSIONALISASI.
Setelah menguraikan Model Genetik Panebianco, sekarang kita dapat beralih pada dua
dimensi institusionalisasi beliau. Yang pertama adalah tingkat otonomi yang dimiliki
organisasi dalam hubungannya dengan lingkungannya. Dengan ini yang beliau maksudkan
adalah perluasan pengaturan partai yang berkaitan dengan pendukung, organisasi eksternal,
dan seterusnya. Dalam pengertian ini, sebuah partai yang sangat terinstitusionalisasi adalah
partai yang melaksanakan kontrol yang luas, dan dapat merubah lingkungannya ketika
dibutuhkan; sebuah partai yang terinstitusionalkan dengan lemah adalah partai yang harus
merespon dan beradapatasi dengan lingkungannya.
Dimensi yang kedua dari institusionalisasi tersebut adalah apa yang Panebianco sebut
tingkat ke-sistem-an (systemness). Ke-sistem-an rendah ketika banyak penguasa berada di
kiri sub-sub-kelompok patrai tersebut; ke-sistem-an adalah sebuah tingkat interdependensi
yang tinggi diantara sub-sub kelompok yang dimungkinkan oleh kuasa pusat terhadap
sumber-sumber-daya. Panebianco berpendapat bahwa kedua dimensi ini berhubungan secara
empiris, dalam sebuah tingkat sebuah ke-sistem-an yang rendah akan menyulitkan bagi
sebuah organisasi partai untuk menjadi otonom dengan memperhatikan lingkungannya.
Hubungan antara Model Genetik dan Institusionalisasi. Hal ini membawa kita pada
hubungan yang dibuat Panebianco antara Model Genetik dan institusionali-sasi:
18
• partai-partai yang disponsori oleh organisasi-organisasi dari luar negeri
mengembangkan institusionalisasi yang kuat (ini adalah kepentingan badan-badan pe-
sponsor karena sebuah institusi yang kuat membantu untuk mengurangi kemungkinan
pengaruh organisasi-organiasi lain pada masyarakat dalam partai tersebut);
Ketika legitimasi internal berjalan beriringan dengan penetrasi teritorial, hasilnya adalah
institusionalisais yang sangat kuat. Panebianco percaya Konservatif Inggris dapat menjadi
contoh untuk hal ini. Serupa dengannya, legitimasi eksternal ekstra-nasional mengijinkan
penetrasi teritorial yang juga membangkitkan institusi-institusi yang sangat kuat; partai
Komunis adalah contoh untuk bentuk ini. Di sisi lain, di mana difusi teritorial melengkapi
kehadiran sebuah organisasi sponsor di dalam negara, hasilnya adalah institusionalisasi yang
sangat terbatas; Panebianco menyebutkan Partai Buruh Inggris dan beberapa partai-partai
religius sebagai contoh untuk hal ini. Akhirnya, beliau menyebutkan kasus federasi
kelompok-kelompok yang ada (termasuk Sosialis Perancis dan Kristen Demokrat Jerman)
dimana ada legitimasi internal tapi kelompok-kelompok tersebut dapat menggunakan
kekuatan veto atas pusat, dan pada partai-partai ini institusionalisasi akan menjadi lemah.
19
Epstein ada sebuah untaian perubahan umum yang dapat ditemukan diantara semua partai-
partai yang berkompetisi untuk memperoleh suara dari massa elektorat, meski untaian yang
teridentifikasi tersebut sangat berbeda dengan yang diidentifikasi oleh orang lain.
20
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sesuai dengan uraian di atas, organisasi partai politik di Indonesia ini haruslah mempunyai
ideologi yang jelas bagi rakyat. Kejelasan ideologi itu dan disetujui serta diterimanya oleh
rakyat sebagai kebenaran yang sesungguhnya (ultimate truth), akan menimbulkan dukungan
dan kepercayaan rakyat. Dukungan dan kepercayaan ini yang dapat mendorong munculnya
partisipasi aktif dan kreatif (creative participation) untuk terrealisasinya apa dan bagaimana
ideologinya organisasi partai politik tersebut. Kesadaran yang tinggi (awareness) mengenai
kebenaran ideo- logi itulah yang dapat memelihara dan membentengi berlangsungnya
kehidupan organisasi politik itu.
Organisasi partai politik memanglah bukan sekedar melakukan kegiatan un - tuk
mendapatkan kekuasaan dengan cara mendapatkan kedudukan dan jabatan di pemerintahan,
melainkan benar-benar berkewajiban untuk mempergunakan ke- kuasan melalui jabatannya
untuk memperjuangkan kepentingan rakyat. Dalam hubungan itu rakyat Amerika mengatakan
“from the people, by the people, and for the people”. Kita bangsa Indonesia mengatakan:
“merdeka dan berjuang untuk rakyat”.
3.2 Saran
Penulis berharap makalah ini dapat menambah wawasan bagi seluruh Mahasiswa
khususnya para pembaca agar tergugah untuk terus dapat meningkatkan pemikiran dan
pengetahuan bagi rekan-rekan Mahasiswa. Demi penyempurnaan makalah ini, Kami
mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif. Untuk saran dan kritik yang telah diberikan
oleh para pembaca penulis sampaikan terimakasih.
21
DAFTAR PUSTAKA
[1] Maurice Duverger, Political Parties (London: Methuen, 1954); Leon D. Epstein,
Political Parties in Western Democracies (London: Pall Mall, 1967).
TAMBAHAN
Arikunto, (2001). Prosedur Penelitian, PT. Rineka Cipta Jakarta. Badudu, J.S., (2001).
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cetakan ke-1, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Budiarjo, M., (2000). Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Pustaka Utama. ___________.,
(2002). Dasar-Dasar Ilmu Politik, Cetakan IV, Jakarta: Pustaka Utama.
Kadir, A., (2013). Peranan Partai Politik dalam Menanggulangi Golongan Putih (Golput)
pada Pemilihan Legislatif 2009, Jurnal Ilmu Pemerintahan dan Sosial Politik, 1 (1): 65-
75.
Maran, Rafael. 2001. Penganrar Sosiologi Polidk. Jakarta : PT. Rineka Cipta.
Duverger, Maurice .2OOl. sosiologi Polidk. Jakarta : PT. Radja Grafindo Persada.
22
Ramlan Surbakti. 1992. Memahami llmu Polidk. Jakarta : PT. Gramedia.
23