Anda di halaman 1dari 13

FAKTOR-FAKTOR PEMBEDA SISTEM PARTAI

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Partai Politik dan Pemilu
Dosen Pengampu: Dr. Muslim Mufti, M.Si.

Oleh:

Bayu Wiguna Sutisna 1198040015


Bima Bernadib Ulhaq 1198040016
Bintang Suraya Rahmalia 1198040017

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmatNya dan KaruniaNya
kami dapat menyelesaikan makalah ini sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Saya juga
mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang mendukung dan membantu
menyelesaikan makalah ini berupa waktu , tenaga maupun pikiran.

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Partai Politik dan Sistem Pemilu.
Saya berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman untuk para
pembaca. Saya yakin masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini karena
keterbatasan waktu dan pengalaman. Untuk itu saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Bandung, 17 Oktober 2021


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...................................................................................................................
KATA PENGANTAR ................................................................................................................
DAFTAR ISI...........................................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN............................................................................................................
1.1 Latar Belakang............................................................................................................
1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................................
1.3 Tujuan .................................................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................................................

2.1 Pendekatan Institusional..............................................................................................


2.2 Pertimbangan Kembali Penjelasan Institusional.........................................................
2.3 Integrasi Pendekatan Sosiologis Dan Institusional.....................................................
BAB III Penutup.........................................................................................................................
3.1 Kesimpulan..................................................................................................................
3.2 Saran.....................................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Partai politik merupakan sarana bagi warga Negara untuk turut serta atau berpartisipasi
dalam proses pengelolaan Negara. Dewasa ini partai politik sudah sangat akrab dengan
lingkungan kita. Partai politik tidak hadir dengan sendirinya. Sejarah panjang melatar belakangi
munculnya partai politik. Setiap Negara manapun pasti terdapat partai politik sebagai turunan
dari Negara itu sendiri.
Sebagai objek kajian ilmiah, partai politik tergolong relative muda. Baru pada awal abad
ke-20 studi mengenai masalah ini dimulai. Sarjana-sarjana yang memiliki peran penting sebagai
pelopor antara lain adalah M. Ostrogosky, Robert Michel, Maurice Duverger dan Sigmund
Neumann.
Hasil dari kajian-kajian yang dilakukan terhadap partai politik menghasilkan banyak dan
beragam anasila.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa faktor-faktor pembeda sistem partai?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pembeda sistem partai
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pendekatan Sosiologis


Asal usul obsesi terhadap kelas dalam perkembangan subjek sosiologi politik pada tahun
1950-an memilikindua sumber. Pertama, baik antara sosiologis Marxist maupun non-marxist,
kelas dipandang sebagai perpecahan utama dalam masyarakat industrial. Kedua, sedikit diketahui
di dunia ilmu politik anglo-amerika terntang politik di Negara-mehara seperti belgia dan belanda
masyarakat yang sebagian besar kehidupan politiknya diorganisasikan sekitar isu perpecahan
nonkelas. Gabriel Almond dapat membedakan kultur politik anglo-amerika yang stabil dan
kultur continental eropa yang tidak stabil. Kultur politik Anglo-amerika cenderung menjadi
sistem dua partai, sedangkan kultur eropa cenderung untuk menjadi sistem multi partai.
Lebih lanjut, kemunculan bentuk-bentuk yang berbeda dalam masyarakat yang terbagi
secara etnis, linguistic, atau religius, tetap ada fakta bahwa sistem-sistem partai berbeda secara
radikal, bahkan pada masyarakat yang sifatnya homogeny. Contoh inggris dan italia pada tahun
1950-an. Keduanya adalah masyarakat yang teridustrialisasi, masyarakat yang secara etnis dan
liguistik homogeny dan cukup homogen jika dihubungkan dengan agama. Namun mereka tetap
memiliki sistem partai yang sangat berbeda.
Ilmuwan politik Lipset dan Rokkan mengklaim bahwa sistem partai modern merupakan
poduk konflik sosial yang terjadi pada beberapa abad terakhir ini. Mereka mengidentifikasi
empat faktor perpecahan dalam perkembangan masyarakat industrial modern. Empat faktor ialah
sebagai berikut.
1. Pusat-Pinggiran
Faktor pertama untuk pembagian dalam masyarakat eropa. Sumber berawal pada abad 16
dan 17 dan berpusat pada reformasi dan kontrareformasi. Dua isu yang muncul dan resolusinya
memiliki pengaruh besar dalam konfik politik hingga abad 20dalah:
a. Agama masyarakat menjadi hal yang nasional atau intenasional,
b. Konflik antara latin sebagai bahasa pemersatu internasional dan bahasa nasional.
2. Negara-Gereja
Faktor kedua dari revolusi nasional terjadi sepanjang dan setelah revolusi perancis pada
tahun 1789. Revolusi menghasilkan dorongan untuk membangun hubungan yang leih dekan
dengan warga Negara. Negara mengkalim loyaalitas warga Negara, dan menuntut agar loyalitas
tersebut dapat diperoleh. Ssebaliknya hal ini menciptakan konflik antara Negara dan gereja
3. Tanah-industri
Faktor ketiga dari perpecahan berasal dari revolusi industri. Abad ke 19 menjadi saksi atas
kemunculan konflik yang berakar dari industrialisasi, konflik pertama adalah anatara
kepentingan industrial dan agrikulutr dan memusat pada isu-isu tarif melawan kemerdekaan
perusahaan industrial- termasuk perdagangan bebas antar Negara
4. Tuan Tanah-Pekerja
Faktor terakhir adalah antara pemilik tanah dan pekerja. Menurut lipset dan rokkan
persinggungan kritis untuk hal ini adalah revolusi rusia pada tahun 1917. Revolusi rusia
menghasilkan konflik tentang loyalitas. Hal tersebut menghasilkan dua klaim yang
bersinggunagan, yaitu yang berkomitmen terhadap gerakan revolusioner dan yang berkomitmen
terhadap pemerintahan nasional.
2.2 Pendekatan Institusional
1. Hukum Duverger

Argumen-argumen institusional paling awal tentang sistem partai cenderung berfokus pada
satu institusi-sistem-sistem elektoral. Pernyataan yang paling kuat tentang kekuatan sistem-
sistem elektoral yang memengaruhi bentuk sistem partai yang berkembang adalah pernyataan
Maurice Duverger. Duverger membuat postulasi sebuah hubungan langsung antara bentuk sistem
elektoral Inggris dan sistem dua partai. Dalam buku yang ditulis pada tahun 1951 (tetapi tidak
diterbitkan di Inggris hingga 1954), Duverger berpendapat tentang sistem elektoral, bahwa:

Pengaruhnya dapat diekspresikan dalam formulasi berikut: sistem ballot (pemungutan suara)
tunggal, mayoritas sederhana yang menyukai sistem dua partai. Dari semua hipotesis yang telah
dijabarkan dalam buku ini, pendekatan ini adalah pendekatan yang paling dekat kebenarannya
dengan hukum sosiologi. Sebuah korelasi yang hampir sempurna dapat ditemukan di antara
sistem ballot-tunggal mayoritas-sederhana dan sistem dua partai: negara-negara dualis
menggunakan suara mayoritas sederhana dan negara-negara dengan suara mayoritas-sederhana
adalah dualis' (Hal ini dikenal sebagai Hukum Duverger).

Untuk itu kita harus bisa mendapatkan kejelasan tentang klaim yang sedang diberikan
Duverger. Sepertinya, ia berkomitmen terhadap pandangan bahwa tanpa menghiraukan pola
perpecahan sosial dalam sebuah negara, sistem pluralitas elektoral (yang ia sebut sistem
mayoritas-sederhana) ketika digunakan berhubungan dengan tindakan-tindakan distrik
beranggota tunggal untuk mewujudkan sistem dua partai. Dua faktor yang bertanggung jawab
untuk hal ini. Pertama, pengaruh mekanis; partai ketiga, keempat, dan lainnya akan memperoleh
jumlah suara yang lebih sedikit untuk mendapatkan kursi di legislatif daripada jumlah suara yang
mereka peroleh, karena hanya kandidat tempat pertama yang memperoleh kursi. Ada juga sebuah
pengaruh psikologis: para pemilih dan para pemilih potensial untuk partai ketiga akan melihat
bahwa suara mereka disia-siakan dan berganti untuk mendukung salah satu dari dua partai besar.
Argumen Duverger lain, yaitu dengan adanya representasi proporsional (apakah hal ini
melibatkan sistem daftar partai atau suara tunggal yang dapat ditransfer) dan ada sistem ballot
kedua (kandidat yang tidak memenangkan mayoritas suara dalam ballot pertama harus
mengalahkan kandidat tempat-kedua), ada kecenderungan bagi sistem multipartai untuk bisa
bertahan. Kedua, Duverger berpendapat bahwa PR (representasi propor sional) digunakan untuk
mencegah pergerakan menuju sistem dua partai. Sekalipun demikian, ia juga percaya bahwa ada
kecenderungan kedua-karena jumlah partai yang sebenarnya semakin meningkat di bawah PR.
Meskipun ia menyebutkan bahwa partai-partai kecil yang akan muncul, banyak dari partai ini
gagal memperoleh representasi yang layak pada dewan legislatif (Beberapa metode-atau dengan
menggunakan istilah Douglas Rae, formula elektoral-yang digunakan dalam sistem daftar partai,
seperti metode d'Hondt, cenderung kurang merepresentasikan partai-partai kecil, dan terlampau
merepresentasikan partai-partai besar).8 Dengan kata lain, menurut Duverger, pengaruh utama
dari PR adalah sesuatu yang bersifat negatif-PR tersebut mencegah sistem dua partai yang dapat
muncul dari pemungutan suara pluralitas.

Meskipun demikian, ada sesuatu dalam poin utama Duverger. Pemungutan suara
pluralitas sering memperkecil jumlah partai dalam sistem-dengan pemahaman bahwa para
pemilih hanya berhubungan dengan sistem politik nasional daripada dengan sebuah sistem
politik lokal atau regional. Akan tetapi, jika loyalitas lokal dan regional diberi informasi dengan
penjelasan bahwa pemungutan suara pluralitas memengaruhi sistem partai, kita akan membawa
sebentuk faktor yang diperkenalkan para sosiolog untuk menjelaskan sistem partai bisa berbeda-
beda. Kita kembali, setidaknya sebagian, untuk menjelaskan konflik-konflik sosial sebagai
penyebab sistem partai.
2. Faktor-faktor Institusional

Meskipun telah diketahui bahwa pemungutan suara pluralitas memiliki pengaruh independen
terhadap sistem partai-dalam kondisi-kondisi tertentu, kita dapat bergerak melampaui
kesimpulan ini, melampaui kekuatan aturan elektoral tertentu, untuk berpendapat bahwa ada
bentuk aturan elektoral lain yang dapat membentuk jenis sistem partai yang berkembang. Di
Jerman, sistem anggota tambahan pada awalanya sangat tinggi, yaitu pada tingkat 5%. Ini berarti
bahwa partai yang gagal memperoleh minimal 5% dari jumlah suara tidak dapat memperoleh
satu pun anggota tambahan dari yang mereka pilih di bawah pemungutan suara pluralitas yang
digunakan dalam bagian konstituensi proses elektoral. Pengaruh yang kompleks terhadap sistem
partai karena diperkenalkannya pemilu presiden yang paling baik diilustrasikan, seperti Prancis
yang mengembangkan sistem semipresidensial, mengikuti pembentukan Republik Kelima pada
tahun 1958 dan diadopsinya presiden yang dipilih langsung pada tahun 1962. Hal tersebut
memiliki empat pengaruh yang saling berkaitan dalam sistem partai Prancis.

a. Pada ronde pertama pemilu presidensial, partai mengajukan kandidat sendiri, karena hanya ada
kontes untuk dua kandidat untuk pemilu tambahan. Persetujuan harus sudah dibangun di antara
partai tentang siapa yang akan mereka dukung dalam pemilu kedua ini. Kegagalan dalam
pelaksanaannya disebabkan upaya mempertahankan kandidat yang kurang diharapkan bisa
menang menjadi presiden.

b. Karena kaum Komunis tidak bisa memenangkan kontes presidensialisme,


semipresidensialisme juga membantu untuk mengubah keseimbangan kekuasaan di kiri.
Kegagalan Komunis untuk memasuki pemilu tambahan presidensial mana pun membantu kaum
Sosialis untuk membangun diri agar menjadi partai utama di sisi kiri.

c. Kekuasaan yang menurun dari dewan legislatif berarti bahwa, jauh lebih menurun daripada di
Republik Keempat, partai pada dewan legislatif bertindak, baik sebagai pendukung yang
konsisten terhadap pemerintahan maupun sebagai lawan terhadapnya. Hal ini didorong oleh
perkembangan aliansi elektoral di pemilu Majelis Prancis, yang menjadi operatif selama pemilu
tambahan.
d. Ada konsolidasi dari banyak partai. Sebagaimana diketahui, Partai Organisasi mereorganisasi
dirinya pada tahun 1971. Demikian pula, partai-partai pusat-tengah, dengan memilih salah satu
dari kandidat mereka.

2.2 Pertimbangan Kembali Penjelasan Institusional

Pembahasan tentang institusionalisme menyebutkan dua kesalahan yang telah dilakukan


oleh para institusionalis awal ketika meneliti adanya perbedaan sistem-sistem partai. Pertama,
mereka cenderung fokus terlalu mendalam terhadap sistem-sistem elektoral dan hampir
mengabaikan institusi-institusi negara lain yang membentuk sistem partai. Kedua, pengaruh
independen dari sistem-sistem elektoral terlalu dilebih-lebihkan. Para sosiolog tentu benar dalam
mengklaim bahwa ada hubungan antara perpecahan sosial dan sistem partai, dan perubahan
aturan elektoral tidak selalu mengubah sistem partai. Akan tetapi, ada sebuah kritik ketiga yang
dapat diberikan tentang para institusionalis awal; ketika mulai diarahkan, setelah itu ia dapat
digunakan sebagai basis untuk kritik umum penting atas pendekatan sosiologis terhadap studi
politik. Institusionalis awal sangat memerhatikan konsekuensi aturan dan prosedur tertentu-yang
paling utama adalah aturan-aturan formal. Mereka tidak tertarik dengan pemahaman bahwa
aturan dan prosedur yang ada memberikan kesempatan terhadap para pimpinan politik untuk
membangun koalisi elite dan massa. Tentu, baik sosiolog maupun institusionalis awal cenderung
meninggalkan pertimbangan peran politisi sebagai pengusaha - dalam pengertian bahwa mereka
adalah pencipta garis-garis pemisahan di dalam masyarakat. Untuk memahami poin ini, sangat
perlu untuk beralih pada gagasan E. Schattschneider.

Schattschneider adalah seorang ilmuwan politik yang menganalisis partai-partai politik


dan kelompok berkepentingan di Amerika selama awal tahun 1930-an hingga tahun 1960-an. Ia
dapat dikatakan sebagai ilmuwan paling baik dalam argumennya tentang partai partai yang lebih
kohesif, secara ideologis berbeda dan programatis di Amerika Serikat. Akan tetapi, pada tahun
1960, ia menerbitkan The Semisovereign People yang menguraikan interpretasi dinamika konflik
dan memberikan tantangan utama terhadap model sosiologis. Schattschneider menolak
pandangan bahwa karena ada berbagai perpecahan dalam masyarakat mana pun, partai muncul
untuk mencerminkan perpecahan tersebut, dan hasil sistem partai hanya refleksi pemisahan
sosial. Schattschneider bahkan berpendapat bahwa di antara berbagai pemisahan di dalam
masyarakat, sebagian akan menjadi dominan karena mereka membentuk fokus pemisahan
antarpartai; perpecahan lain menjadi tidak relevan dan tergilas (atau sangat irelevan) terhadap
kompetisi politik. Para pemimpin partai mencoba mengeksploitasi perpecahan yang memberikan
akses terhadap pemerintahan untuk partainya. Mereka mencoba untuk menentukan konflik
politik dengan segala cara agar bisa membangun koalisi yang paling baik, yang mampu memberi
mereka akses terhadap kekuasaan. Hal ini berarti beberapa garis pemisahan akan selalu
digolongkan. Hal ini karena koalisi yang memungkinkan, yang mereka ke depankan, tidak dapat
dirasakan sebagai salah satu yang akan memberikan mereka kekuasaan, atau berakhir sebagai
koalisi yang kalah setelah partai mencoba untuk mengeksploitasi perpecahan tersebut.

2.3 Integrasi Pendekatan Sosiologis Dan Institusional

Model Lipset Rokkan menghubungkan konflik yang beriringan ini dan resolusi yang
berbeda-beda di tiap-tiap negara terhadap variasi yang ditemukan dalam sistem partai yang ada
di beberapa dekade pertama setelah pemberian hak suara terhadap massa pubik (akhir abad 19
dan awal abad 20). Ini adalah model yang memiliki hubungan penting antara formasi partai dan
pola-pola konflik sosial dalam sejarah Eropa. Pada sisi lain, kita melihat bahwa struktur
institusional dapat, dan bisa, memengaruhi ukuran relatif partai dan garis pemisahan yang
dieksploitasi partai tersebut. Secara spesifik, bagaimana kita menyelesaikan konsepsi yang
sangat berbeda tentang peran para pemimpin politik dalam membentuk perpecahan politik di
antara para sosiolog di satu sisi dan ilmuwan politik seperti Schattschneider di sisi lain?

Ada tiga poin yang membawa kita pada resolusi dari masalah ini, yaitu sebagai berikut :

1. Jika pendapat Schattschneider diterima, masih ada masalah, yaitu sebagian partai yang
direpresentasikan dalam sistem partai negara A tidak akan sejelas sistem partai negara B, hanya
karena para penghuni pada kemudian hari secara sosial tidak terbagi dengan cara demikian.

2. Pada tahap awal demokratisasi dalam sebuah negara, institusi institusi politik bukan variabel
independen yang membentuk perkembangan partai. Institusi-institusi tersebut merefleksikan
pemisahan kekuasaan antarpartai dan pada akhirnya merefleksikan pemisahan dalam masyarakat.

3. Sangat memungkinkan bagi kita untuk mengedepankan pendapat tentang bagaimana dan
kapan institusi bisa berarti lebih dari ini. Untuk melakukannya, kita perlu membedakan tiga cara
yang menunjukkan bahwa warga negara secara individual dapat dihubungkan dengan partai
politik.
Di dunia nyata, kita dapat menemukan para pendukung partai yang hubungannya dengan
sebuah partai melibatkan interaksi kompleks antara dua, bahkan seluruh bentuk yang berbeda ini.
Walaupun demikian, semua itu mengonstitusikan bentuk pemilih yang cukup berbeda secara
analitis-hubungan partai. Singkatnya, hubungan material/individual berasal dari masyarakat
praindustrial, meskipun ada pengecualian mesin-mesin partai perkotaan di Amerika Serikat
adalah contoh yang paling baik dari hal ini. Sebaliknya, hubungan solidaritas sosial berkembang
pada masyarakat industrial atau terindustrialisasi (ada pengecualian yang penting - kaum
minoritas agama, seperti Katolik di Imperial Jerman, menjadi sebuah kasus yang jelas).
Akhirnya, hubungan kebijakan/kepribadian/citra paling terbukti di ekonomi industrial yang
maju, yaitu ketika solidaritas sosial sangat lemah, dan ada hierarki sosial yang sedikit, yang
mengikat anggota-anggota yang lebih rendah dari hierarki terhadap sebuah partai melalui
intermediasi individu-individu lain dalam hierarki. (Jepang memiliki pengalaman yang sedikit
berbeda dari demokrasi Eropa dan Amerika Utara dalam hal ini). Poin yang sedang diberikan di
sini, yaitu pendekatan sosiologis paling baik untuk menjelaskan variasi antara sistem partai pada
periode dan dalam rezim ketika banyak pemilih terikat pada partai melalui identifikasi dengan
sebuah kelompok sosial tertentu tempat partai tersebut terhubung.

Tentunya, analisis Lipset dan Rokkan diarahkan untuk menjelaskan bentuk-bentuk sistem
partai tertentu berkembang pada tahun-tahun segera setelah pemberian suara massa. Fokusnya
diutamakan pada Eropa setelah (atau terhadap akhir dari) era industrialisasi (Hal tersebut dapat
dimodifikasi dengan mudah untuk melibatkan masyarakat imigrasi, seperti Amerika Serikat,
dengan asal-usul dari para penetapnya di Eropa pada saat negara-negara di sana sedang
mengalami Revolusi Nasional). Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, solidaritas sosial
Eropa ada dalam masa pentingnya seperti faktor yang menghubungkan massa publik terhadap
para pimpinan politik. Setelah solidaritas sosial menurun pada semua ekonomi industrial maju,
kesempatan bagi para pemimpin politik untuk berperilaku dalam cara yang dijabarkan
Schattschneider secara umum telah meningkat. Model Schattschneider tentang pengusaha politik
sangat cocok dengan negara yang dinamika sistem partainya ia jelaskan, yaitu Amerika Serikat.
Sebagai hubungan antara para pemilih dan partai, solidaritas sosial menurun pada akhir abad ke
19 dan menurun pada saat Schattschneider menulis. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika
beliau merasakan perbedaan peran bagi pimpinan politik daripada yang diasumsikan oleh
pendekatan sosiologis yang menekankan kemampuan partai untuk mengubah perpecahan
dominan dan aliansi sosial.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Studi tentang sistem kepartaian tidak dapat dipisahkan dari Permasalahan pokok yang
dihadapi oleh suatu nbangsa. Adanya ketidakseimbangan kekuasaan di antara lembaga-lembaga
tertinggi/tinggi negara dan perundangundangan yang ada terhadap dinamika perubahan
masyarakat, rentannya konflik, baik vertikal maupun horizontal, menguatnya gejala disintegrasi
bangsa yang sering kali mencari pembenaran dan dukungan dari pihak tertentu, serta
merebaknya berbagai tindak kekerasan dan aksi massa yang sering kali memaksakan kehendak.
Teori sistem kepartaian yang dihasilkan oleh para ilmuwan politik Barat mempunyai warna Barat
yang jelas. Kenyataan ini tidak mengherankan karena sulit memisahkan sama sekali nilai-nilai
yang dianut oleh seorang ilmuwan dari teori-teori yang dihasilkannya. Oleh karena itu, teori
sistem kepartaian Barat tersebut perlu direvisi agar dapat digunakan untuk memahami kehidupan
politik di Indonesia.

Peranan pemerintah adalah sangat penting dalam mengembangkan sistem kepartaian di


Indonesia. Pandangan ini untuk membedakan mobilisasi politik yang positive dan mobilisasi
yang negatif. Mobilisasi politik yang positif adalah mobilisasi yang dilakukan oleh penguasa
politik dengan tujuan untuk mengembangkan sistem politik. Peranan pemerintah yang besar
dalam masyarakat dapat menimbulkan sistem kepartaian yang kuat bila pemerintah mengajak
masyarakat untuk ikut dalam program-program pemerintah dan membantu serta
memperkenalkan berbagai unsur kemajuan kepada masyarakat. Sedangkan mobilisasi yang
negatif adalah mobilisasi yamg diarahkan oleh penguasa politik untuk berbagai kepentingan
politiknya dengan mengekang pembangunan politik rakyat. Teori sistem kepartaian yang multi
partai dapat diterapkan untuk masyarakat Indonesia, tetapi dengan waktu yang cukup lama. Hal
ini adalah gejala yang wajar dalam perkembangan ilmu pengetahuan.

3.2 Saran

Tentunya terhadap penulis sudah menyadari jika dalam penyusunan makalah di atas masih
banyak ada kesalahan serta jauh dari kata sempurna. Adapun nantinya penulis akan segera
melakukan perbaikan susunan makalah itu dengan menggunakan pedoman dari beberapa sumber
dan kritik yang bisa membangun dari para pembaca.

Anda mungkin juga menyukai