Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Partai Politik dan Pemilu
Dosen Pengampu: Dr. Muslim Mufti, M.Si.
Oleh:
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmatNya dan KaruniaNya
kami dapat menyelesaikan makalah ini sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Saya juga
mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang mendukung dan membantu
menyelesaikan makalah ini berupa waktu , tenaga maupun pikiran.
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Partai Politik dan Sistem Pemilu.
Saya berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman untuk para
pembaca. Saya yakin masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini karena
keterbatasan waktu dan pengalaman. Untuk itu saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
HALAMAN JUDUL...................................................................................................................
KATA PENGANTAR ................................................................................................................
DAFTAR ISI...........................................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................................
1.1 Latar Belakang............................................................................................................
1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................................
1.3 Tujuan .................................................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................................................
PEMBAHASAN
Argumen-argumen institusional paling awal tentang sistem partai cenderung berfokus pada
satu institusi-sistem-sistem elektoral. Pernyataan yang paling kuat tentang kekuatan sistem-
sistem elektoral yang memengaruhi bentuk sistem partai yang berkembang adalah pernyataan
Maurice Duverger. Duverger membuat postulasi sebuah hubungan langsung antara bentuk sistem
elektoral Inggris dan sistem dua partai. Dalam buku yang ditulis pada tahun 1951 (tetapi tidak
diterbitkan di Inggris hingga 1954), Duverger berpendapat tentang sistem elektoral, bahwa:
Pengaruhnya dapat diekspresikan dalam formulasi berikut: sistem ballot (pemungutan suara)
tunggal, mayoritas sederhana yang menyukai sistem dua partai. Dari semua hipotesis yang telah
dijabarkan dalam buku ini, pendekatan ini adalah pendekatan yang paling dekat kebenarannya
dengan hukum sosiologi. Sebuah korelasi yang hampir sempurna dapat ditemukan di antara
sistem ballot-tunggal mayoritas-sederhana dan sistem dua partai: negara-negara dualis
menggunakan suara mayoritas sederhana dan negara-negara dengan suara mayoritas-sederhana
adalah dualis' (Hal ini dikenal sebagai Hukum Duverger).
Untuk itu kita harus bisa mendapatkan kejelasan tentang klaim yang sedang diberikan
Duverger. Sepertinya, ia berkomitmen terhadap pandangan bahwa tanpa menghiraukan pola
perpecahan sosial dalam sebuah negara, sistem pluralitas elektoral (yang ia sebut sistem
mayoritas-sederhana) ketika digunakan berhubungan dengan tindakan-tindakan distrik
beranggota tunggal untuk mewujudkan sistem dua partai. Dua faktor yang bertanggung jawab
untuk hal ini. Pertama, pengaruh mekanis; partai ketiga, keempat, dan lainnya akan memperoleh
jumlah suara yang lebih sedikit untuk mendapatkan kursi di legislatif daripada jumlah suara yang
mereka peroleh, karena hanya kandidat tempat pertama yang memperoleh kursi. Ada juga sebuah
pengaruh psikologis: para pemilih dan para pemilih potensial untuk partai ketiga akan melihat
bahwa suara mereka disia-siakan dan berganti untuk mendukung salah satu dari dua partai besar.
Argumen Duverger lain, yaitu dengan adanya representasi proporsional (apakah hal ini
melibatkan sistem daftar partai atau suara tunggal yang dapat ditransfer) dan ada sistem ballot
kedua (kandidat yang tidak memenangkan mayoritas suara dalam ballot pertama harus
mengalahkan kandidat tempat-kedua), ada kecenderungan bagi sistem multipartai untuk bisa
bertahan. Kedua, Duverger berpendapat bahwa PR (representasi propor sional) digunakan untuk
mencegah pergerakan menuju sistem dua partai. Sekalipun demikian, ia juga percaya bahwa ada
kecenderungan kedua-karena jumlah partai yang sebenarnya semakin meningkat di bawah PR.
Meskipun ia menyebutkan bahwa partai-partai kecil yang akan muncul, banyak dari partai ini
gagal memperoleh representasi yang layak pada dewan legislatif (Beberapa metode-atau dengan
menggunakan istilah Douglas Rae, formula elektoral-yang digunakan dalam sistem daftar partai,
seperti metode d'Hondt, cenderung kurang merepresentasikan partai-partai kecil, dan terlampau
merepresentasikan partai-partai besar).8 Dengan kata lain, menurut Duverger, pengaruh utama
dari PR adalah sesuatu yang bersifat negatif-PR tersebut mencegah sistem dua partai yang dapat
muncul dari pemungutan suara pluralitas.
Meskipun demikian, ada sesuatu dalam poin utama Duverger. Pemungutan suara
pluralitas sering memperkecil jumlah partai dalam sistem-dengan pemahaman bahwa para
pemilih hanya berhubungan dengan sistem politik nasional daripada dengan sebuah sistem
politik lokal atau regional. Akan tetapi, jika loyalitas lokal dan regional diberi informasi dengan
penjelasan bahwa pemungutan suara pluralitas memengaruhi sistem partai, kita akan membawa
sebentuk faktor yang diperkenalkan para sosiolog untuk menjelaskan sistem partai bisa berbeda-
beda. Kita kembali, setidaknya sebagian, untuk menjelaskan konflik-konflik sosial sebagai
penyebab sistem partai.
2. Faktor-faktor Institusional
Meskipun telah diketahui bahwa pemungutan suara pluralitas memiliki pengaruh independen
terhadap sistem partai-dalam kondisi-kondisi tertentu, kita dapat bergerak melampaui
kesimpulan ini, melampaui kekuatan aturan elektoral tertentu, untuk berpendapat bahwa ada
bentuk aturan elektoral lain yang dapat membentuk jenis sistem partai yang berkembang. Di
Jerman, sistem anggota tambahan pada awalanya sangat tinggi, yaitu pada tingkat 5%. Ini berarti
bahwa partai yang gagal memperoleh minimal 5% dari jumlah suara tidak dapat memperoleh
satu pun anggota tambahan dari yang mereka pilih di bawah pemungutan suara pluralitas yang
digunakan dalam bagian konstituensi proses elektoral. Pengaruh yang kompleks terhadap sistem
partai karena diperkenalkannya pemilu presiden yang paling baik diilustrasikan, seperti Prancis
yang mengembangkan sistem semipresidensial, mengikuti pembentukan Republik Kelima pada
tahun 1958 dan diadopsinya presiden yang dipilih langsung pada tahun 1962. Hal tersebut
memiliki empat pengaruh yang saling berkaitan dalam sistem partai Prancis.
a. Pada ronde pertama pemilu presidensial, partai mengajukan kandidat sendiri, karena hanya ada
kontes untuk dua kandidat untuk pemilu tambahan. Persetujuan harus sudah dibangun di antara
partai tentang siapa yang akan mereka dukung dalam pemilu kedua ini. Kegagalan dalam
pelaksanaannya disebabkan upaya mempertahankan kandidat yang kurang diharapkan bisa
menang menjadi presiden.
c. Kekuasaan yang menurun dari dewan legislatif berarti bahwa, jauh lebih menurun daripada di
Republik Keempat, partai pada dewan legislatif bertindak, baik sebagai pendukung yang
konsisten terhadap pemerintahan maupun sebagai lawan terhadapnya. Hal ini didorong oleh
perkembangan aliansi elektoral di pemilu Majelis Prancis, yang menjadi operatif selama pemilu
tambahan.
d. Ada konsolidasi dari banyak partai. Sebagaimana diketahui, Partai Organisasi mereorganisasi
dirinya pada tahun 1971. Demikian pula, partai-partai pusat-tengah, dengan memilih salah satu
dari kandidat mereka.
Model Lipset Rokkan menghubungkan konflik yang beriringan ini dan resolusi yang
berbeda-beda di tiap-tiap negara terhadap variasi yang ditemukan dalam sistem partai yang ada
di beberapa dekade pertama setelah pemberian hak suara terhadap massa pubik (akhir abad 19
dan awal abad 20). Ini adalah model yang memiliki hubungan penting antara formasi partai dan
pola-pola konflik sosial dalam sejarah Eropa. Pada sisi lain, kita melihat bahwa struktur
institusional dapat, dan bisa, memengaruhi ukuran relatif partai dan garis pemisahan yang
dieksploitasi partai tersebut. Secara spesifik, bagaimana kita menyelesaikan konsepsi yang
sangat berbeda tentang peran para pemimpin politik dalam membentuk perpecahan politik di
antara para sosiolog di satu sisi dan ilmuwan politik seperti Schattschneider di sisi lain?
Ada tiga poin yang membawa kita pada resolusi dari masalah ini, yaitu sebagai berikut :
1. Jika pendapat Schattschneider diterima, masih ada masalah, yaitu sebagian partai yang
direpresentasikan dalam sistem partai negara A tidak akan sejelas sistem partai negara B, hanya
karena para penghuni pada kemudian hari secara sosial tidak terbagi dengan cara demikian.
2. Pada tahap awal demokratisasi dalam sebuah negara, institusi institusi politik bukan variabel
independen yang membentuk perkembangan partai. Institusi-institusi tersebut merefleksikan
pemisahan kekuasaan antarpartai dan pada akhirnya merefleksikan pemisahan dalam masyarakat.
3. Sangat memungkinkan bagi kita untuk mengedepankan pendapat tentang bagaimana dan
kapan institusi bisa berarti lebih dari ini. Untuk melakukannya, kita perlu membedakan tiga cara
yang menunjukkan bahwa warga negara secara individual dapat dihubungkan dengan partai
politik.
Di dunia nyata, kita dapat menemukan para pendukung partai yang hubungannya dengan
sebuah partai melibatkan interaksi kompleks antara dua, bahkan seluruh bentuk yang berbeda ini.
Walaupun demikian, semua itu mengonstitusikan bentuk pemilih yang cukup berbeda secara
analitis-hubungan partai. Singkatnya, hubungan material/individual berasal dari masyarakat
praindustrial, meskipun ada pengecualian mesin-mesin partai perkotaan di Amerika Serikat
adalah contoh yang paling baik dari hal ini. Sebaliknya, hubungan solidaritas sosial berkembang
pada masyarakat industrial atau terindustrialisasi (ada pengecualian yang penting - kaum
minoritas agama, seperti Katolik di Imperial Jerman, menjadi sebuah kasus yang jelas).
Akhirnya, hubungan kebijakan/kepribadian/citra paling terbukti di ekonomi industrial yang
maju, yaitu ketika solidaritas sosial sangat lemah, dan ada hierarki sosial yang sedikit, yang
mengikat anggota-anggota yang lebih rendah dari hierarki terhadap sebuah partai melalui
intermediasi individu-individu lain dalam hierarki. (Jepang memiliki pengalaman yang sedikit
berbeda dari demokrasi Eropa dan Amerika Utara dalam hal ini). Poin yang sedang diberikan di
sini, yaitu pendekatan sosiologis paling baik untuk menjelaskan variasi antara sistem partai pada
periode dan dalam rezim ketika banyak pemilih terikat pada partai melalui identifikasi dengan
sebuah kelompok sosial tertentu tempat partai tersebut terhubung.
Tentunya, analisis Lipset dan Rokkan diarahkan untuk menjelaskan bentuk-bentuk sistem
partai tertentu berkembang pada tahun-tahun segera setelah pemberian suara massa. Fokusnya
diutamakan pada Eropa setelah (atau terhadap akhir dari) era industrialisasi (Hal tersebut dapat
dimodifikasi dengan mudah untuk melibatkan masyarakat imigrasi, seperti Amerika Serikat,
dengan asal-usul dari para penetapnya di Eropa pada saat negara-negara di sana sedang
mengalami Revolusi Nasional). Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, solidaritas sosial
Eropa ada dalam masa pentingnya seperti faktor yang menghubungkan massa publik terhadap
para pimpinan politik. Setelah solidaritas sosial menurun pada semua ekonomi industrial maju,
kesempatan bagi para pemimpin politik untuk berperilaku dalam cara yang dijabarkan
Schattschneider secara umum telah meningkat. Model Schattschneider tentang pengusaha politik
sangat cocok dengan negara yang dinamika sistem partainya ia jelaskan, yaitu Amerika Serikat.
Sebagai hubungan antara para pemilih dan partai, solidaritas sosial menurun pada akhir abad ke
19 dan menurun pada saat Schattschneider menulis. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika
beliau merasakan perbedaan peran bagi pimpinan politik daripada yang diasumsikan oleh
pendekatan sosiologis yang menekankan kemampuan partai untuk mengubah perpecahan
dominan dan aliansi sosial.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Studi tentang sistem kepartaian tidak dapat dipisahkan dari Permasalahan pokok yang
dihadapi oleh suatu nbangsa. Adanya ketidakseimbangan kekuasaan di antara lembaga-lembaga
tertinggi/tinggi negara dan perundangundangan yang ada terhadap dinamika perubahan
masyarakat, rentannya konflik, baik vertikal maupun horizontal, menguatnya gejala disintegrasi
bangsa yang sering kali mencari pembenaran dan dukungan dari pihak tertentu, serta
merebaknya berbagai tindak kekerasan dan aksi massa yang sering kali memaksakan kehendak.
Teori sistem kepartaian yang dihasilkan oleh para ilmuwan politik Barat mempunyai warna Barat
yang jelas. Kenyataan ini tidak mengherankan karena sulit memisahkan sama sekali nilai-nilai
yang dianut oleh seorang ilmuwan dari teori-teori yang dihasilkannya. Oleh karena itu, teori
sistem kepartaian Barat tersebut perlu direvisi agar dapat digunakan untuk memahami kehidupan
politik di Indonesia.
3.2 Saran
Tentunya terhadap penulis sudah menyadari jika dalam penyusunan makalah di atas masih
banyak ada kesalahan serta jauh dari kata sempurna. Adapun nantinya penulis akan segera
melakukan perbaikan susunan makalah itu dengan menggunakan pedoman dari beberapa sumber
dan kritik yang bisa membangun dari para pembaca.