Anda di halaman 1dari 92

LAPORAN MANAJEMEN RUMAH SAKIT

PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER (PKPA)


RUMAH SAKIT
DI RUMAH SAKIT SILOAM MAKASSAR
GELOMBANG II
(PERIODE 04 OKTOBER – 1 NOVEMBER 2021)

DISUSUN OLEH :
REYGEN GABRIEL STEVANUS SIWU (N014202006)
LYDIA NADE CLAUDIA TANDAWUYA (N014202025)
VILIA PAYANGAN (N014202031)
AGNES YUNIATI (N014202052)
RABECCA JULIASTUTI P (N014202066)
GINENSA MENDILA (N014202082)
ABDUL GAFUR (N014202090)
YIZLIA SRINITA PUALILLIN (N014202094)
MUH. AFDI TAUFIQ FURQANI ARIEF (N014202098)

Disusun sebagai Salah Satu Syarat untuk Menyelesaikan


Program Pendidikan Profesi Apoteker

SEMESTER AKHIR 2021/2022


PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI APOTEKER
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2021

i
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN MANAJEMEN RUMAH SAKIT
PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER (PKPA)
FARMASI RUMAH SAKIT
DI RUMAH SAKIT SILOAM HOSPITALS MAKASSAR
PERIODE 04 OKTOBER – 1 NOVEMBER 2021

DISUSUN OLEH :
REYGEN GABRIEL STEVANUS SIWU (N014202006)
LYDIA NADE CLAUDIA TANDAWUYA (N014202025)
VILIA PAYANGAN (N014202031)
AGNES YUNIATI (N014202052)
RABECCA JULIASTUTI P (N014202066)
GINENSA MENDILA (N014202082)
ABDUL GAFUR (N014202090)
YIZLIA SRINITA PUALILLIN (N014202094)
MUH. AFDI TAUFIQ FURQANI ARIEF (N014202098)

MENYETUJUI,

Pembimbing Teknis Farmasi


Siloam Hospitals Makassar

Lidia Alto Topayung, S.Si., Apt.


NIK. 1041500039

MENGETAHUI,

Koordinator PKPA Farmasi Rumah Sakit Kepala Instalasi Farmasi


Program Studi Profesi Apoteker Rumah Sakit Siloam Hospitals
Fakultas Farmasi Makassar
Universitas Hasanuddin

Usmar, S.Si.,M.Si.,Apt. Lidia Alto Topayung, S.Si., Apt.


NIP. 19710109 199702 1 001 NIK. 1041500039

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa atas segala berkat, kasih dan
anugerah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan seluruh rangkaian kegiatan
Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA) Farmasi Rumah Sakit di Siloam Hospitals
Makassar serta menyelesaikan penulisan Laporan Manajemen Rumah Sakit untuk
menyelesaikan studi dan memperoleh gelar profesi di Program Studi Profesi
Apoteker, Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin. Penulis menyadari bahwa dalam
penyusunan laporan ini banyak kesulitan yang dihadapi, dalam penyusunan laporan
ini tidak terlepas dukungan dari berbagai pihak. Penulis banyak menerima bimbingan,
petunjuk dan bantuan serta dorongan dari berbagai pihak baik yang bersifat moral
maupun material. Oleh kerena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan
rasa terima kasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:
1. Bapak Subehan, S.Si., M.Pharm. Sc., Ph.D., Apt. Selaku Dekan Fakultas Farmasi
Universitas Hasanuddin.
2. Bapak Usmar, S.Si.,M.Si.,Apt. selaku Ketua Program Studi Profesi Apoteker
Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin.
3. Ibu Dr. Elly Wahyudin, DEA.,Apt. Selaku Koordinator Praktek Kerja Profesi
Apoteker Rumah Sakit di Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin.
4. Ibu Lidia Alto Topayung, S.Si., Apt. Selaku Kepala Instalasi Farmasi Rumah Sakit
Siloam Hospitals Makassar.
Penulis menyadari bahwa penyusunan Laporan Manajemen Rumah Sakit ini
masih jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu, Penulis mengharapkan segala kritik
dan saran yang membangun dari para pembaca

Makassar, Oktober 2021

Penulis

iii
iv
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL.................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN......................................................................... ii
KATA PENGANTAR................................................................................. iii
DAFTAR ISI................................................................................................ iv
DAFTAR GAMBAR................................................................................... vi
DAFTAR LAMPIRAN................................................................................ vii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................ 1
I.1. Latar Belakang....................................................................................... 1
I.2. Tujuan ................................................................................................... 2
I.3. Manfaat.................................................................................................. 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................. 2
II.1. Rumah Sakit......................................................................................... 4
II.2. Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS)................................................. 9
II.3. Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit................................. 14
II.4. Komite Farmasi dan Terapi................................................................. 45
II.5. Limbah Rumah Sakit............................................................................ 47
BAB III GAMBARAN UMUM.................................................................. 47
III.1. Rumah Sakit Siloam Hospitals Makassar........................................... 59
III.2. Instalasi Farmasi Rumah Sakit Siloam Hospitals Makassar............... 62
BAB IV PEMBAHASAN............................................................................ 62
IV.1. Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan dan Bahan
Medis Habis Pakai (BMHP)...............................................................
.........................................................................................................66
IV.2. Pelayanan Farmasi Klinik................................................................... 75
BAB V PEMBAHASAN............................................................................. 62
V.1. Kesimpulan......................................................................................... 77

v
V.2. Saran.................................................................................................... 77
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................. 78

vi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar II.1 Struktur Organisasi Instalasi Farmasi Rumah Sakit................ 11
Gambar IV.1 Alur pendistribusian dari gudang ke site farmasi................... 72
Gambar IV.2 Alur retur ke vendor................................................................ 74
Gambar IV.3 Alur Stok Opname................................................................. 75

vii
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Alur Pelayanan Inpatient Pharmacy Department..................................79


Lampiran 2. Alur Pelayan Resep Outpatient Pharmacy Department (OPD).............81

viii
BAB I
PENDAHULUAN
II.1. Latar Belakang
Organisasi Kesehatan Sedunia (World Health Organization/WHO)
mendefinisikan kesehatan sebagai kondisi kesejahteraan fisik, mental dan sosial dan
bukan hanya ketiadaan penyakit atau kecacatan. Kesehatan menjadi hak asasi
manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan. Untuk
mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi masyarakat,
diselenggarakan upaya kesehatan. Dan salah satu upaya kesehatan yang yang
diselenggarakan adalah pengamanan dan penggunaan sediaan farmasi dan alat
kesehatan yang merupakan ruang lingkup dari suatu pekerjaan kefarmasian. Salah
satu fasilitas pelayanan kefarmasian untuk melakukan pekerjaan kefarmasian adalah
rumah sakit (WHO, 2003; UU RI No. 36, 2009).
Pelayanan kefarmasian di rumah sakit merupakan salah satu kegiatan di
rumah sakit yang menunjang pelayanan kesehatan yang bermutu dan merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pelayanan kesehatan di rumah sakit.
Sehingga dengan tujuan untuk meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian serta
menjamin upaya kesehatan terlaksana dengan baik. Maka pelayanan kefarmasian di
rumah sakit mempunyai standar yang telah diatur, yang berorientasi pada standar
pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai dan
pelayanan farmasi klinik. Apoteker merupakan salah satu sumber daya kefarmasian
yang berwenang dan yang menjamin jalannya standar pelayanan kefarmasian tersebut
(Rusli, 2016;Permenkes No. 72, 2016).
Apoteker bertanggung jawab terhadap pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai di Rumah Sakit yang menjamin seluruh
rangkaian kegiatan sesuai dengan ketentuan yang berlaku serta memastikan kualitas,
manfaat, dan keamanannya. Pelayanan farmasi klinik juga merupakan pelayanan
langsung yang diberikan Apoteker kepada pasien dalam rangka meningkatkan

1
2

outcome terapi dan meminimalkan risiko terjadinya efek samping karena obat, untuk
tujuan keselamatan pasien (patient safety) (Permenkes No. 72, 2016).
Berdasarkan yang telah di uraikan diatas, maka seorang apoteker mempunyai
tanggung jawab yang besar dalam bidang pelayananan kesehatan sehingga perlu
adanya peningkatan ilmu pengetahuan serta keterampilan dari seorang apoteker untuk
menjalankan praktek kefarmasiannya dengan baik. Apoteker khususnya yang bekerja
di Rumah Sakit dituntut untuk merealisasikan perluasan paradigma pelayanan
kefarmasian dari orientasi produk menjadi orientasi pasien. Untuk itu kompetensi
Apoteker perlu ditingkatkan secara terus menerus agar perubahan paradigma tersebut
dapat diimplementasikan (Permenkes No. 72, 2016). Dengan tujuan tersebut maka
dilaksanakanlah Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) oleh Fakultas Farmasi
Program Studi Apoteker Univerisitas Hasanuddin di Rumah Sakit Siloam Hospitals
Makassar.
II.2. Tujuan
- Untuk mengetahui dan memahami penerapan tentang standar kefarmasian di
rumah sakit
- Untuk mengetahui dan memahami tentang pengelolaan sediaan farmasi, alat
kesehatan, dan bahan medis habis pakai di rumah sakit
- Untuk mengetahui dan memahami tentang pelayanan farmasi klinik yang
dilakukan di rumah sakit
- Untuk mengetahui dan memahami peran, fungsi, dan tanggung jawab
apoteker dalam pelayanan kefarmasian di rumah sakit
II.3. Manfaat
Mendapatkan kesempatan yang luar biasa untuk belajar dengan tujuan
meningkatkan kompetensi, pengetahuan dan pengalaman, dalam hal ini, bisa
memahami tentang penerapan standar kefarmasian di rumah sakit serta mengerti
tentang penerapan 9 stars of pharmacist sebagai gambaran mengenai peran, fungsi
dan tanggung jawab seorang apoteker dalam pelayanan kefaramasian di rumah sakit.
Semua hal itu merupakan bekal yang cukup untuk menjalani suatu pekerjaan
3

kefarmasian nantinya dan menjadi seorang apoteker yang layak menjubahkan jas
putih gadingnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Rumah Sakit
II.1.1. Definisi Rumah Sakit
Undang-Undang Republik Indonesia No.44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit,
menjelaskan bahwa Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang
menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang
menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat (UU RI No.44
tahun 2009).
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
No.1045/Menkes/Per/XI/2006 tentang pedoman organisasi rumah sakit di lingkungan
Departemen Kesehatan, Rumah Sakit adalah suatu fasilitas pelayanan kesehatan
perorangan yang menyediakan rawat inap dan rawat jalan yang memberikan
pelayanan kesehatan jangka pendek dan jangka panjang yang terdiri dari observasi,
diagnostik, terapeutik dan rehabilitatif untuk orang-orang yang menderita sakit, cidera
dan melahirkan (Kemenkes RI 2006).
II.1.2. Tugas dan Fungsi Rumah Sakit
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No.44 Tahun 2009 Tentang
Rumah Sakit, Rumah Sakit mempunyai tugas memberikan pelayanan kesehatan
perorangan secara paripurna. Untuk menjalankan tugas tersebut, Rumah Sakit
mempunyai fungsi: (UU RI No.44 tahun 2009)
a. penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai dengan
standar pelayanan rumah sakit;
b. pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan
kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis;
c. penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam rangka
peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan; dan
penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi bidang

4
5

kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan


memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan.
II.1.3. Jenis dan Klasifikasi Rumah Sakit
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No.44 Tahun 2009 tentang
Rumah Sakit, Rumah Sakit dapat digolongkan menjadi:
a. Klasifikasi Rumah Sakit berdasarkan jenis pelayanan yang diberikan
1. Rumah Sakit Umum
Rumah sakit umum memberikan pelayanan kesehatan pada semua bidang dan
jenis penyakit. Sumber daya manusia pada Rumah Sakit umum berupa tenaga
tetap yang meliputi tenaga medis, tenaga psikologi klinis, tenaga keperawatan,
tenaga kebidanan, tenaga kefarmasian, tenaga kesehatan masyarakat, tenaga
kesehatan lingkungan, tenaga gizi, tenaga keterapian fisik, tenaga keteknisian
medis, tenaga teknik biomedika, tenaga kesehatan lain dan tenaga nonkesehatan.
Jumlah dan kualifikasi sumber daya manusia disesuaikan dengan hasil analisis
beban kerja, kebutuhan dan kemampuan pelayanan Rumah Sakit (Kemenkes RI
No. 3 2020).
Rumah sakit umum kemudian diklasifikasikan berdasarkan fasilitas dan
kemampuan pelayananan menjadi (Kemenkes RI No. 340 2010):
a) Rumah Sakit Umum Kelas A; harus mempunyai fasilitas dan kemampuan
pelayanan medik:
 4 (empat) pelayanan medik spesialis dasar (pelayanan penyakit dalam,
kesehatan anak, bedah, obstetri dan ginekologi)
 5 (lima) pelayanan spesialis penunjang medik (pelayanan anestesiologi,
radiologi, rehabilitasi medik, patologi klinik dan patologi anatomi)
 12 (dua belas) pelayanan medik spesialis lain (pelayanan mata, telinga
hidung tenggorokan, syaraf, jantung dan pembuluh darah, kulit dan
kelamin,kedokteran jiwa, paru, orthopedi, urologi, bedah syaraf, bedah
plastik dankedokteran forensik)
6

 13 (tiga belas) pelayanan medik sub spesialis (subspesialis bedah,


penyakit dalam, kesehatan anak, obstetri dan ginekologi, mata, telinga
hidung tenggorokan, syaraf, jantung dan pembuluh darah, kulit dan
kelamin, jiwa, paru, orthopedi dan gigi mulut)
 Pelayanan penunjang klinik (perawatan intensif, pelayanan darah, gizi,
farmasi, sterilisasi instrumen dan rekam medik)
 Pelayanan penunjang non klinik (pelayanan laundry/linen, jasa
boga/dapur, teknik dan pemeliharaan fasilitas, pengelolaan limbah,
gudang, ambulance, komunikasi, pemulasaraan jenazah, pemadam
kebakaran, pengelolaan gas medikdan penampungan air bersih).
b) Rumah sakit umum kelas b; harus mempunyai fasilitas dan kemampuan
pelayanan medik:
 4 (empat) pelayanan medik spesialis dasar (pelayanan penyakit dalam,
Kesehatan anak, bedah, obstetri dan ginekologi)
 4 (empat) pelayanan spesialis penunjang medik (pelayanan anestesiologi,
radiologi, rehabilitasi medik, patologi klinik)
 Pelayanan medik spesialis lain sekurang – kurangnya 8 dari 13 (pelayanan
mata, telinga hidung tenggorokan, syaraf, jantung dan pembuluh darah,
kulit dan kelamin, kedokteran jiwa, paru, orthopedi, urologi, bedah syaraf,
bedah plastik dan kedokteran forensik)
 2 dari 4 pelayanan medik sub spesialis (subspesialis bedah, penyakit
dalam, kesehatan anak, obstetri dan ginekologi)
 Pelayanan penunjang klinik (perawatan intensif, pelayanan darah, gizi,
farmasi, sterilisasi instrumen dan rekam medik)
 Pelayanan penunjang non klinik (pelayanan laundry/linen, jasa
boga/dapur, teknik dan pemeliharaan fasilitas, pengelolaan limbah,
gudang, ambulance, komunikasi, pemulasaraan jenazah, pemadam
kebakaran, pengelolaan gas medik dan penampungan air bersih).
7

c) Rumah sakit umum kelas c; harus mempunyai fasilitas dan kemampuan


pelayanan medik:
 4 (empat) pelayanan medik spesialis dasar (pelayanan penyakit dalam,
kesehatan anak, bedah, obstetri dan ginekologi)
 4 (empat) pelayanan spesialis penunjang medik (pelayanan anestesiologi,
radiologi, rehabilitasi medik, patologi klinik)
 Pelayanan penunjang klinik (perawatan intensif, pelayanan darah, gizi,
farmasi, sterilisasi instrumen dan rekam medik)
 Pelayanan penunjang non klinik (pelayanan laundry/linen, jasa
boga/dapur, teknik dan pemeliharaan fasilitas, pengelolaan limbah,
gudang, ambulance, komunikasi, pemulasaraan jenazah, pemadam
kebakaran, pengelolaan gas medikdan penampungan air bersih).
d) Rumah sakit umum kelas d; harus mempunyai fasilitas dan kemampuan
pelayanan medik sekurang-kurangnya:
 2 dari 4 pelayanan medik spesialis dasar (pelayanan penyakit dalam,
Kesehatan anak, bedah, obstetri dan ginekologi)
 Pelayanan spesialis penunjang medik (laboratorium dan radiologi)
 Pelayanan penunjang klinik (perawatan high care unit, pelayanan darah,
gizi, farmasi, sterilisasi instrumen dan rekam medik)
 Pelayanan penunjang non klinik (pelayanan laundry/linen, jasa
boga/dapur, teknik dan pemeliharaan fasilitas, pengelolaan limbah,
gudang, ambulance, komunikasi, pemulasaraan jenazah, pemadam
kebakaran, pengelolaan gas medik dan penampungan air bersih).
klasifikasi rumah sakit umum berdasarkan jumlah tempat tidur
(Kemenkes RI No. 3, 2020):
a) Rumah sakit umum kelas a; memiliki paling sedikit 250 buah
b) Rumah sakit umum kelas b; memiliki paling sedikit 200 buah
c) Rumah sakit umum kelas c; memiliki paling sedikit 100 buah
8

d) Rumah sakit umum kelas d; memiliki paling sedikit 50 buah


2. Rumah sakit khusus
Rumah sakit khusus memberikan pelayanan utama pada satu bidang
atau satu jenis penyakit tertentu berdasarkan disiplin ilmu, golongan umur,
organ, jenis penyakit, atau kekhususan lainnya. Rumah sakit khusus terdiri
atas (Kemenkes RI No. 3, 2020):
a) Rumah sakit khusus ibu dan anak
b) Rumah sakit khusus mata
c) Rumah sakit khusus gigi dan mulut
d) Rumah sakit khusus ginjal
e) Rumah sakit khusus jiwa
f) Rumah sakit khusus infeksi
g) Rumah sakit khusus telinga-hidung-tenggorok kepala leher
h) Rumah sakit khusus paru
i) Rumah sakit khusus ketergantungan obat
j) Rumah sakit khusus bedah
k) Rumah sakit khusus otak
l) Rumah sakit khusus orthopedi
m) Rumah Sakit khusus Kanker, dan
n) Rumah Sakit khusus Jantung dan Pembuluh Darah
Sumber daya manusia pada Rumah Sakit khusus berupa tenaga tetap
yang meliputi tenaga medis, tenaga keperawatan dan/atau tenaga kebidanan,
tenaga kefarmasian, tenaga kesehatan lain dan tenaga nonkesehatan. Jumlah
dan kualifikasi sumber daya manusia disesuaikan dengan hasil analisis beban
kerja, kebutuhan dan kemampuan pelayanan Rumah Sakit (Kemenkes RI
No. 3 2020).
Klasifikasi Rumah sakit khusus berdasarkan jumlah tempat tidur
(Kemenkes RI No. 3 2020):
a) Rumah Sakit khusus Kelas A; memiliki paling sedikit 100 buah
9

b) Rumah Sakit khusus Kelas B; memiliki paling sedikit 75 buah


c) Rumah Sakit khusus Kelas C; memiliki paling sedikit 25 buah
b. Klasifikasi Rumah Sakit berdasarkan Pengelolaannya
1. Rumah Sakit Publik
Rumah Sakit ini dikelola oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan
badan hukum yang bersifat nirlaba. Rumah Sakit Publik yang dikelolah oleh
pemerintah dan pemerintah daerah diselenggarakan berdasarkan pengelolaan
Badan Layanan Umum (BLU) atau Badan Layanan Umum Daerah sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan tidak dapat dialihkan
menjadi Rumah Sakit Privat (UU RI No.44 tahun 2009).
2. Rumah Sakit Privat
Rumah Sakit Privat merupakan rumah sakit yang dikelolah oleh Badan
Hukum dengan tujuan profit yang berbentuk Perseroan Terbatas atau Persero
(UU RI No.44 tahun 2009).
II.2. Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS)
II.2.1 Definisi IFRS
Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) adalah suatu unit di rumah sakit tempat
penyelenggaraan semua kegiatan pekerjaan kefarmasian yang ditujukan untuk
keperluan rumah sakit dan pasien. Pekerjaan kefarmasian yang dimaksud adalah
kegiatan yang menyangkut pembuatan, pengendalian mutu sediaan farmasi,
pengelolaan perbekalan farmasi (perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan,
distribusi, pencatatan, pelaporan, pemusnahan/penghapusan), pelayanan resep,
pelayanan informasi obat, konseling, farmasi klinik di ruangan (Rusli, 2016).
IFRS merupakan suatu organisasi pelayanan di rumah sakit yang memberikan
pelayanan produk yaitu sediaan farmasi, perbekalan kesehatan dan gas medis habis
pakai serta pelayanan jasa yaitu farmasi klinik (PIO, Konseling, Meso, Monitoring
Terapi Obat, Reaksi Merugikan Obat) bagi pasien atau keluarga pasien. IFRS adalah
fasilitas pelayanan penunjang medis, di bawah pimpinan seorang Apoteker yang
memenuhi persyaratan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan kompeten
10

secara profesional, yang bertanggung jawab atas seluruh pekerjaan serta pelayanan
kefarmasian, yang terdiri atas pelayanan paripurna, mencakup perencanaan;
pengadaan; produksi; penyimpanan perbekalan kesehatan/sediaan farmasi; dispensing
obat berdasarkan resep bagi penderita rawat inap dan rawat jalan; pengendalian mutu
dan pengendalian distribusi dan penggunaan seluruh perbekalan kesehatan di rumah
sakit; serta pelayanan farmasi klinis (Siregar dan Amalia, 2004).
II.2.2 Tugas, Tanggungjawab dan Fungsi Instalasi Farmasi Rumah Sakit
a. Tugas IFRS
Melaksanakan pengelolaan sediaan farmasi dan pengelolaan perbekalan
kesehatan. Sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan yang dimaksud adalah obat,
bahan obat, gas medis dan alat kesehatan, mulai dari pemilihan, perencanaan,
pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian, pengendalian, penghapusan,
administrasi dan pelaporan serta evaluasi yang diperlukan bagi kegiatan pelayanan
rawat jalan dan rawat inap. IFRS berperan sangat sentral terhadap pelayanan di rumah
sakit terutama pengelolaan dan pengendalian sediaan farmasi dan pengelolaan
perbekalan kesehatan (Rusli, 2016).
b. Tanggung jawab IFRS
Mengembangkan pelayanan farmasi yang luas dan terkoordinasi dengan baik
dan tepat untuk memenuhi kebutuhan unit pelayanan yang bersifat diagnosis dan
terapi untuk kepentingan pasien yang lebih baik (Rusli, 2016).
c. Fungsi IFRS
IFRS berfungsi sebagai unit pelayanan dan unit produksi. Unit pelayanan yang
dimaksud adalah pelayanan yang bersifat manajemen (nonklinik) adalah pelayanan
yang tidak bersentuhan langsung dengan pasien dan tenaga kesehatan lain. Pelayanan
IFRS yang menyediakan unsur logistik atau perbekalan kesehatan dan aspek
administrasi (Rusli, 2016).
IFRS yang berfungsi sebagai pelayanan nonmanajemen (klinik) pelayanan
yangbersentuhan langsung dengan pasien atau kesehatan lainnya. Fungsi ini
berorientasi pasien sehingga membutuhkan pemahaman yang lebih luas tentang aspek
11

yang berkaitan dengan penggunaan obat dan penyakitnya serta menjunjung tinggi
etika dan perilaku sebagai unit yang menjalankan asuhan kefarmasian yang handal
dan professional (Rusli, 2016).

Gambar 1 Struktur Organisasi Instalasi Farmasi Rumah Sakit


1. Kepala IFRS adalah Apoteker yang bertanggung jawab secara keseluruhan
terhadap semua aspek penyelenggaraan pelayanan kefarmasian dan pengelolaan
sediaan farmasi dan pengelolaan perbekalan kesehatan di rumah sakit.
2. Panitia Farmasi dan Terapi adalah salah satu bagian yang tidak terpisahkan dari
IFRS sehingga tidak mempunyai jalur fungsional terhadap IFRS melainkan jalur
koordinasi dan bertanggung jawab kepada pimpinan rumah sakit. Tugas PFT
adalah melakukan monitoring dan evaluasi terhadap pelayanan dan pengelolaan
sediaan farmasi dan pengelolaan perbekalan kesehatan di rumah sakit. Panitia ini
terdiri unsur tenaga kesehatan profesional (Dokter, Dokter Gigi, Apoteker, Ners)
sehingga kredibilitas dan akuntabilitas terhadap monitoring dan evaluasi
pelayanan dan pengelolaan sediaan farmasi dan pengelolaan perbekalan
kesehatan dapat dipertanggungjawabkan.
3. Farmasi Klinik membidangi aspek yang menyangkut asuhan kefarmasian
terutama pemantauan terapi obat. Bidang ini membawahi konseling pasien,
pelayanan informasiobat dan evaluasi penggunaan obat baik pasien di ruangan
maupun pasienambulatory.
12

4. Logistik mempunyai tugas dalam hal menyiapkan dan memantau


perlengkapanperbekalan kesehatan, perencanaan dan pengadaan, sistem
penyimpanan di gudang, dan produksi obat dalam kapasitas rumah sakit nonsteril
dan aseptik.
5. Distribusi mempunyai tugas bertanggung jawab terhadap alur distribusi sediaan
farmasi dan pengelolaan perbekalan kesehatan (obat, bahan baku obat, alat
kesehatandan gas medis) kepada pasien rawat jalan, IRD, ICU/ICCU, kamar
operasi, bangsal atau ruangan.
6. Diklat mempunyai tugas dalam memfasilitasi tenaga pendidikan kesehatan dan
non kesehatan yang akan melaksanakan praktek kerja sebagai tuntutan kurikulum
dan melaksanakan pelatihan.
7. Pendidikan dan pelatihan adalah suatu proses atau upaya peningkatan
pengetahuan dan pemahaman di bidang kefarmasian atau bidang yang berkaitan
8. Pendidikan dan Pelatihan merupakan kegiatan pengembangan sumber daya
manusia Instalasi Farmasi Rumah Sakit untuk meningkatkan potensi dan
produktivitasnya secara optimal, serta melakukan pendidikan dan pelatihan bagi
calon tenaga farmasiuntuk mendapatkan wawasan, pengetahuan dan
keterampilan di bidang farmasi rumah sakit.
9. Litbang mempunyai tugas memfasilitasi penelitian dan pengabdian pada
masyarakat.
10. Penelitian yang dilakukan di rumah sakit yaitu: Penelitian farmasetik, termasuk
pengembangan dan menguji bentuk sediaan baru. Formulasi, metode pemberian
(konsumsi) dan sistem pelepasan obat dalam tubuh Drug Released System.
11. Berperan dalam penelitian klinis yang diadakan oleh praktisi klinis, terutama
dalam karakterisasi terapetik, evaluasi, pembandingan hasil Outcomes dari terapi
obat dan regimen pengobatan.
12. Penelitian dan pengembangan pelayanan kesehatan, termasuk penelitian perilaku
dan sosioekonomi seperti penelitian tentang biaya keuntungan cost-benefit dalam
pelayanan farmasi.
13

13. Penelitian operasional operation research seperti studi waktu, gerakan, dan
evaluasi program dan pelayanan farmasi yang baru dan yang ada sekarang.
14. Pengembangan Instalasi Farmasi Rumah Sakit di rumah sakit pemerintah kelas A
dan B (terutama rumah sakit pendidikan) dan rumah sakit swasta sekelas, agar
mulai meningkatkan mutu perbekalan farmasi dan obat-obatan yang diproduksi
serta mengembangkan dan melaksanakan praktek farmasi klinik.
15. Pimpinan dan Tenaga Farmasi Instalasi Farmasi Rumah Sakit harus berjuang,
bekerjakeras dan berkomunikasi efektif dengan semua pihak agar pengembangan
fungsi Instalasi Farmasi Rumah Sakit yang baru itu dapat diterima oleh pimpinan
dan staf medik rumah sakit.
II.2.3 Ruang Lingkup Instalasi Farmasi Rumah Sakit
Ruang lingkup IFRS yaitu memberikan pelayanan farmasi berupa pelayanan
nonklinik dan klinik. Pelayanan nonklinik biasanya tidak secara langsung dilakukan
sebagai bagian terpadu, pelayanan ini sifatnya administrasi atau manajerial seperti
pengelolaan sediaan farmasi dan pengelolaan perbekalan kesehatan dan interaksi
profesional dengan tenaga kesehatan lainnya.
Pelayanan klinik mencakup fungsi IFRS yang dilakukan dalam program rumah
sakit yaitu Pelayanan obat di apotik/depo, konseling pasien, pelayanan informasi
obat, evaluasi penggunaan obat, monitoring efek samping obat, pemantauan terapi
obat (Rusli, 2016).
Pengelolaan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan merupakan suatu siklus
kegiatan, dimulai dari pemilihan, perencanaan, pengadaan, penerimaan,
penyimpanan, pendistribusian, pengendalian, penghapusan, administrasi dan
pelaporan serta evaluasi yang diperlukan bagi kegiatan pelayanan, dengan tujuan
(Rusli, 2016):
a. Mengelola perbekalan farmasi yang efektif dan efisien.
b. Menerapkan farmakoekonomi dalam pelayanan.
c. Meningkatkan kompetensi/kemampuan tenaga farmasi.
d. Mewujudkan sistem informasi manajemen berdaya guna dan tepat guna.
14

Melaksanakan pengendalian mutu pelayanan.


II.3 Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit
II.3.1 Defenisi Pelayanan Kefarmasian (Pharmaceutical care)
Pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung
jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud
mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien. Standar
pelayanan kefarmasian adalah tolak ukur yang digunakan sebagai pedoman bagi
kefarmasian dalam menyelenggarakan pelayanan kefarmasian (Kemenkes RI, 2016).
II.3.2 Tujuan Pelayanan Kefarmasian
Tujuan pelayanan kefarmasian adalah sebagai berikut (Rusli, 2016):
1. Melangsungkan pelayanan farmasi yang optimal baik dalam keadaan biasa
maupun dalam keadaan gawat darurat, sesuai dengan keadaan pasien maupun
fasilitas yang tersedia.
2. Menyelenggarakan kegiatan pelayanan profesional berdasarkan prosedur
kefarmasian dan etik profesi.
3. Melaksanakan KIE (Komunikasi Informasi dan Edukasi) mengenai obat.
4. Menjalankan pengawasan obat berdasarkan aturan-aturan yang berlaku.
5. Melakukan dan memberi pelayanan bermutu melalui analisa, telah dan evaluasi
pelayanan.
6. Mengawasi dan memberi pelayanan bermutu melalui analisa, telaah dan evaluasi
pelayanan.
7. Mengadakan penelitian di bidang farmasi dan peningkatan metode.
Sedangkan fungsi dari pelayanan kefarmasian terbagi menjadi dua (Rusli, 2016):
1. Pengelolaan Perbekalan Farmasi
a. Memilih perbekalan farmasi sesuai kebutuhan pelayanan rumah sakit.
b. Merencanakan kebutuhan perbekalan farmasi secara optimal.
c. Mengadakan perbekalan farmasi berpedoman pada perencanaan yang telah
dibuat sesuai ketentuan yang berlaku.
d. Memproduksi perbekalan farmasi untuk memenuhi kebutuhan pelayanan
15

kesehatan di rumah sakit.


e. Menerima perbekalan farmasi sesuai dengan spesifikasi dan ketentuan yang
berlaku.
f. Menyimpan perbekalan farmasi sesuai dengan spesifikasi dan persyaratan
kefarmasian.
g. Mendistribusikan perbekalan farmasi ke unit-unit pelayanan di rumah sakit.
2. Pelayanan Kefarmasian dalam Penggunaan Obat dan Alat Kesehatan
a. Mengkaji instruksi pengobatan/resep pasien
b. Mengidentifikasi masalah yang berkaitan dengan penggunaan obat dan alat
Kesehatan.
c. Mencegah dan mengatasi masalah yang berkaitan dengan obat dan alat
Kesehatan
d. Memantau efektifitas dan keamanan penggunaan obat dan alat Kesehatan.
e. Memberikan informasi kepada petugas Kesehatan, pasien/keluarga.
f. Memberi pelayanan informasi obat kepada pasien/keluarga
g. Melaporkan setiap kegiatan
II.3.3 Ruang Lingkup Pelayanan Kefarmasian
Ruang lingkup pelayanan kefarmasian dapat dilihat sebagai berikut (Rusli, 2016):
1. Administrasi dan Pengelolaan Pelayanan diselenggarakan dan diatur demi
berlangsungnya pelayanan farmasi yang efisien dan bermutu. Adanya struktur
organisasi yang menggambarkan uraian tugas, fungsi, wewenang dan tanggung
jawab serta hubungan koordinasi di dalam maupun di luar pelayanan farmasi
yang ditetapkan oleh pimpinan rumah sakit.
2. Pimpinan dan staf
a. Kepala Instalasi Farmasi bertanggung jawab terhadap aspek hukum dan
peraturan-peraturan farmasi baik terhadap pengawasan distribusi maupun
administrasi barang farmasi serta bertanggungjawab dan mengawasi pelayanan
farmasi dan ada pendelegasian wewenang dan tanggung jawab bila kepala
instalasi farmasi berhalangan kepada kepala ruangan.
16

b. Adanya uraian tugas (job description) bagi staf dan pimpinan farmasi.
c. Adanya staf farmasi yang jumlah dan kualifikasinya disesuaikan dengan
kebutuhan.
d. Penilaian terhadap staf harus dilakukan berdasarkan tugas yang terkait dengan
pekerjaan fungsional yang diberikan dan juga pada penampilan kerja yang
dihasilkan dalam meningkatkan mutu pelayanan.
3. Fasilitas dan Peralatan Harus tersedia ruangan, peralatan dan fasilitas yang dapat
mendukung administrasi, profesionalisme dan fungsi teknis pelayanan farmasi,
sehingga menjamin terselenggaranya pelayanan farmasi yang fungsional,
profesional dan etis.
a. Tersedianya fasilitas penyimpanan barang farmasi yang menjamin semua
barang farmasi tetap dalam kondisi yang baik dan dapat dipertanggung 10
jawabkan sesuai dengan spesifikasi masing-masing barang farmasi dan sesuai
dengan peraturan.
b. Tersedianya fasilitas untuk pendistribusian obat.
c. Tersedianya fasilitas pemberian informasi dan edukasi.
d. Tersedianya fasilitas untuk penyimpanan arsip resep.
e. Ruangan perawatan harus memiliki tempat penyimpanan obat yang baik
sesuai dengan peraturan dan tata cara penyimpanan yang baik.
f. Obat yang bersifat adiksi disimpan sedemikian rupa demi menjamin
keamanan setiap staf.
4. Kebijakan dan Prosedur Semua kebijakan dan prosedur yang ada harus tertulis
dan dicantumkan tanggal dikeluarkannya peraturan tersebut. Peraturan dan
prosedur yang ada harus mencerminkan standar pelayanan farmasi mutakhir yang
sesuai dengan peraturan dan tujuan dari pada pelayanan farmasi itu sendiri.
a. Kriteria kebijakan dan prosedur.
b. Obat hanya dapat diberikan setelah mendapat pesanan dari dokter dan
apoteker menganalisa secara kefarmasian.
c. Kebijakan dan prosedur yang tertulis harus mencantumkan beberapa hal
17

berikut.
- Macam obat yang dapat diberikan oleh perawat atas perintah dokter.
- Label obat yang memadai
- Daftar obat yang tersedia.
- Gabungan obat parenteral dan labelnya.
- Pencatatan dalam rekam farmasi pasien beserta dosis obat yang
diberikan.
- Pengadaan dan penggunaan obat di rumah sakit.
- Pelayanan perbekalan farmasi untuk pasien rawat inap, rawat
jalan, karyawan dan pasien tidak mampu.
- Pengelolaan perbekalan farmasi yang meliputi perencanaan, pengadaan,
penerimaan pembuatan/produksi, penyimpanan, pendistribusian
danpenyerahan.
- Pencatatan, pelaporan dan pengarsipan mengenai pemakaian obat dan efek
samping obat bagi pasien rawat inap dan rawat jalan serta pencatatan
penggunaan obat yang salah dan atau dikeluhkan pasien.
- Pengawasan mutu pelayanan dan pengendalian perbekalan farmasi.
- Pemberian informasi kepada pasien maupun keluarga pasien dalam hal
penggunaan dan penyimpanan obat serta berbagai aspek pengetahuan
tentang obat demi meningkatkan derajat kepatuhan dalam penggunaan
obat.
- Apabila ada sumber daya farmasi lain disamping instalasi maka
secara organisasi dibawah koordinasi instalasi farmasi.
- Prosedur penarikan/penghapusan obat.
- Pengaturan persediaan dan pesanan.
- Penyebaran informasi mengenai obat yang bermanfaat kepada staf.
- Masalah penyimpanan obat yang sesuai dengan peraturan/undang-undang.
- Pengamanan pelayanan farmasi dan penyimpanan obat harus terjamin.
- Prosedur yang harus ditaati bila terjadi kontaminasi terhadap staf.
18

- Harus ada sistem yang mendokumentasikan penggunaan obat yang salah


dan atau mengatasi masalah obat.
- Kebijakan dan prosedur harus konsisten terhadap sistem
pelayanan rumah sakitlainnya.
5. Pengembangan Staff dan Program Pendidikan Setiap staf di rumah sakit harus
mempunyai kesempatan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya.
a. Menyusun program pengembangan staf.
b. Staf yang baru mengikuti program orientasi sehingga mengetahui tugas dan
tanggung jawab.
c. Adanya mekanisme untuk mengetahui kebutuhan pendidikan bagi staf.
d. Setiap staf diberikan kesempatan yang sama untuk mengikuti pelatihan dan
program pendidikan berkelanjutan.
e. Staf harus secara aktif dibantu untuk mengikuti program yang diadakan oleh
organisasi profesi, perkumpulan dan institusi terkait.
f. Penyelenggaraan pendidikan dan penyuluhan meliputi; penggunaan obat dan
penerapannya pendidikan berkelanjutan bagi staf farmasi.

6. Evaluasi dan Pengendalian Mutu Pelayanan farmasi harus mencerminkan kualitas


pelayanan kefarmasian yang bermutu tinggi, melalui cara pelayanan farmasi
rumah sakit yang baik. Pelayanan farmasi dilibatkan dalam program pengendalian
mutu pelayanan rumah sakit. Mutu pelayanan farmasi harus dievaluasi secara
periodik terhadap konsep, kebutuhan, proses, dan hasil yang diharapkan demi
menunjang peningkatan mutu pelayanan merencanakan program pengendalian
mutu. Kegiatan pengendalian mutu mencakup hal-hal berikut.
a. Pemantauan: pengumpulan semua informasi penting yang berhubungan
dengan pelayanan farmasi.
b. Penilaian: penilaian secara berkala untuk menentukan masalah-masalah
pelayanan dan berupaya untuk memperbaiki.
c. Tindakan: bila masalah-masalah sudah dapat ditentukan maka harus diambil
19

tindakan untuk memperbaikinya dan didokumentasi.


d. Evaluasi: efektivitas tindakan harus dievaluasi agar dapat diterapkan dalam
program jangka panjang.
e. Umpan balik: hasil tindakan harus secara teratur diinformasikan kepada staf.
II.3.4 Pengelolaan Perbekalan Farmasi
Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai
merupakan suatu siklus kegiatan, dimulai dari pemilihan, perencanaan kebutuhan,
pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian, pemusnahan dan penarikan,
pengendalian dan administrasi yang diperlukan bagi kegiatan pelayanan kefarmasian
(Kemenkes RI, 2016).
Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai harus
dilaksanakan secara multidisiplin, terkoordinir dan menggunakan proses 13 yang
efektif untuk menjamin kendali mutu dan kendali biaya. Hal ini merupakan
tanggungjawab Apoteker untuk memastikan kualitas, manfaat dan keamanan
perbekalan farmasi (Kemenkes RI, 2016).
Sistem satu pintu adalah satu kebijakan kefarmasian termasuk pembuatan
formularium, pengadaan, dan pendistribusian sediaan farmasi, alat kesehatan,
danbahan medis habis pakai yang bertujuan untuk mengutamakan kepentingan pasien
melalui instalasi farmasi rumah sakit. dengan demikian semua sediaan farmasi, alat
kesehatan, dan bahan medis habis pakai yang beredar di rumah sakit merupakan
tanggung jawab instalasi farmasi rumah sakit, sehingga tidak ada pengelolaan sediaan
farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai di rumah sakit yang
dilaksanakan selain oleh instalasi farmasi rumah sakit (Kemenkes RI, 2016).
Kegiatan pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan
medis habis pakai meliputi (Kemenkes RI, 2016):
1. Pemilihan
Pemilihan adalah kegiatan untuk menetapkan jenis Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai sesuai dengan kebutuhan. Penentuan
seleksi obat merupakan peran aktif apoteker dalam panitia farmasi dan terapi untuk
20

menetapkan kualitas dan efektifitas, serta jaminan purna transaksi pembelian.


Pemilihan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai,
berdasarkan (Kemenkes RI, 2016):
a. Formularium dan standar pengobatan/pedoman diagnosa dan terapi
b. Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang telah
ditetapkan
c. Pola penyakit
d. Efektifitas dan keamanan
e. Pengobatan berbasis bukti
f. Mutu
g. Harga
h. Ketersediaan di pasaran
Salah satu fungsi pengelolaan obat adalah seleksi terhadap obat yang benar-
benar diperlukan bagi sebagian besar populasi berdasarkan pola penyakit yang ada.
Proses seleksi merupakan awal yang sangat menentukan dalam perencanaan obat
karena melalui seleksi obat akan tercermin berapa banyak item obat yang akan
dikonsumsi di masa datang (Kemenkes RI, 2016).
Tujuan seleksi obat yaitu adanya suplai yang menjadi lebih baik, pemakaian
obat lebih rasional, dilihat dari biaya pengobatan lebih terjangkauatau rendah. Dalam
hal ini ada dampak dari seleksi obat yaitu tingginya kualitas perawatan (Quality of
care) dan biaya pengobatan lebih efektif (Kemenkes RI, 2016).
Manajemen obat di rumah sakit dilakukan oleh Instalasi Farmasi Rumah Sakit.
Berkaitan dengan pengelolaan obat di rumah sakit, untuk membantu pengelolaan
obat di rumah sakit perlu adanya Panitia Farmasi dan Terapi, Formularium dan
Pedoman Pengobatan.Panitia Farmasi dan Terapi adalah organisasi yang mewakili
hubungan komunikasi antara para staf medis dengan staf farmasi, sehingga
anggotanya terdiri dari dokter yang mewakili spesialisasi-spesialisasi yang ada di
rumah sakit dan apoteker wakil dari Farmasi Rumah Sakit, serta tenaga kesehatan
lainnya (Kemenkes RI, 2016).
21

Formularium dapat diartikan sebagai daftar produk obat yang digunakan untuk
tata laksana suatu perawatan kesehatan tertentu. Formularium merupakan referensi
yang berisi informasi yang selektif dan relevan untuk dokter penulis resep,
penyedia/peracik obat dan petugas kesehatan lainnya Formularium Rumah Sakit
disusun mengacu kepada Formularium Nasional. Formularium rumah sakit
merupakan daftar Obat yang disepakati staf medis, disusun oleh Tim Farmasi dan
Terapi (TFT) yang ditetapkan oleh pimpinan rumah sakit (Kemenkes RI, 2016).
Tahapan proses penyusunan Formularium Rumah sakit yaitu sebagai berikut
(Kemenkes RI, 2016):
a. Membuat rakapitulasi usulan obat dari masing-masing Staf Medik Fungisional
(SMF) berdasarkan standar terapi atau standar pelayanan medik.
b. Mengelompokkan usulan obat berdasarkan kelas terapi
c. Membahas usulan tersebut dalam rapat Tim Farmasi dan Terapi (TFT),
dikembalikan ke masing-masing SMF untuk mendapatkan umpan balik.
d. Membahas hasil umpan balik dari masing-masing SMF
e. Menetapkan daftar obat yang masuk ke dalam Formularium Rumah Sakit
f. Menyusun kebijakan dan pedoman untuk implementasi
g. Melakukan edukasi mengenai Formularium Rumah Sakit kepada staf dan
melakukan monitoring.
Kriteria pemilihan obat untuk masuk Formularium Rumah Sakit yaitu
(Kemenkes RI, 2016):
a. Mengutamakan penggunaan obat generik
b. Memiliki rasio manfaat-resiko yang paling menguntungkan penderita
c. Mutu terjamin, termasuk stabilitas dan bioavailabilitas.
d. Praktis dalam penyimpanan dan pengangkutan
e. Menguntungkan dalam hal kepatuhan dan penerimaan oleh pasien
f. Memiliki rasio manfaat-biaya yang tertinggi berdasarkan biaya langsung dan
tidak langsung.
g. Obat lain yang terbukti efektif secara ilmiah dan aman yang paling dibutuhkan
22

untuk pelayanan dengan harga yang terjangkau. Setelah dilakukan seleksi,


sebaiknya suplai obat sesuai dengan obat yang dipilih.
2. Perencanaan Kebutuhan
Perencanaan kebutuhan merupakan kegiatan untuk menentukan jumlah dan
periode pengadaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
sesuai dengan hasil kegiatan pemilihan untuk menjamin terpenuhinya kriteria tepat
jenis, tepat jumlah, tepat waktu dan efisien (Kemenkes RI, 2016).
Perencanaan menurut Surat Keputusan Mentri Kesehatan RI No.
1197/SK/MenKes/X/2004 merupakan proses kegiatan dalam pemilihan jenis, jumlah
dan harga perbekalan farmasi yang sesuai dengan kebutuhan dan anggaran, untuk
menghindari kekosongan obat dengan menggunakan metode yang dapat
dipertanggungjawabkan dan dasar-dasar perencanaan yang telah ditentukan antara
lain konsumsi, epidemiologi, kombinasi konsumsi yang disesuaikan dengan
anggaran yang tersedia (Kemenkes RI, 2009).
Pedoman perencanaan, meliputi: DOEN, formularium rumah sakit, standar
terapi rumah sakit, ketentuan setempat yang berlaku, data catatan medik, anggaran
yang tersedia, penetapan prioritas, siklus penyakit, sisa persediaan, data pemakaian
periode yang lalu, dan rencana pengembangan (Kemenkes RI, 2016). Perencanaan
merupakan tahap yang penting dalam pengadaan obat di instalasi farmasi rumah
sakit (IFRS). Perencanaan pengadaan obat perlu mempertimbangkan jenis obat,
jumlah yang diperlukan, serta efikasi obat dengan mengacu pada misi utama yang
diemban oleh rumah sakit. Untuk menentukan beberapa macam obat yang harus
direncanakan, fungsi kebijakan rumah sakit sangat diperlukan agar macam obat
dapat dibatasi. Penetapan jumlah obat yang diperlukan dapat dilaksanakan
berdasarkan polulasi yang akan dilayani, jenis pelayanan yang diberikan, atau
berdasarkan data penggunaan obat yang sebelumnya (Kemenkes RI, 2016).
Perencanaan dilakukan untuk menghindari kekosongan obat dengan
menggunakan metode yang dapat dipertanggung jawabkan dan dasar-dasar
perencanaan yang telah ditentukan antara lain konsumsi, epidemiologi, kombinasi
23

metode konsumsi dan epidemiologi dan disesuaikan dengan anggaran yang tersedia
(Kemenkes RI, 2016).
Ada beberapa macam metode perencanaan, yaitu (Kemenkes RI, 2016):
a. Metode Epidemiologi
Metode ini berdasarkan pada penyakit sering muncul di rumah sakit atau di
masyarakat.
b. Metode Konsumsi
Metode ini diterapkan berdasarkan data riil konsumsi obat periode yang lalu,
dengan berbagai penyesuaian dan koreksi.
c. Metode Gabungan
Analisa yang digunakan dalam perencanaan untuk memastikan metode
perencanaan sesuai dengan tujuan. Adapun analisa yang digunakan, yaitu
(Kemenkes RI, 2016):
a. Sistem ABC (Pareto)
Model ABC (Always Better Control) pengendalian perusahaan
berhubungan dengan aktivitas pengaturan persediaan bahan agar dapat
menjamin persediaan dan pelayanannya kepada pasien. Salah satu
pengendalian persediaan adalah dengan metode ABC atau analisis pareto.
Analisis ABC ini menekankan kepada persediaan yang mempunyai nilai
penggunaan yang relatif tinggi atau mahal. Sistem analisis ABC ini berguna
dalam sistem pengelolaan obat, yaitu dapat menimbulkan frekuensi pemesanan
dan menentukan prioritas pemesanan berdasarkan nilai atau harga obat.
Alokasi anggaran ternyata didominasi hanya oleh sebagian kecil atau beberapa
jenis perbekalan farmasi saja. Suatu jenis perbekalan farmasi dapat memakan
anggaran besar karena penggunaannya banyak, atau harganya mahal. Dengan
analisis ABC, jenis-jenis perbekalan farmasi ini dapat diidentifikasi, untuk
kemudian dilakukan evaluasi lebih lanjut. Analisis ini berguna pada setiap
sistem suplai untuk menganalisis pola penggunaan dan nilai penggunaan total
semua item obat.
24

Hal itu memungkinkan untuk mengklasifikasikan item-item persediaan


menjadi 3 kategori (A, B, dan C) sesuai dengan nilai penggunaannya.
Pembagian 3 kategori tersebut adalah sebagai berikut:
A : merupakan 10-20 % jumlah item menggunakan 75-80 % dana;
B : merupakan 10-20 % jumlah item menggunakan 15-20 % dana;
C : merupakan 60-80 % jumlah item menggunakan 5-10 % dana.
Golongan A dalam analisis ABC menghabiskan 80% anggaran dari total
biaya, golongan B menghabiskan 15% biaya, dan golongan C hanya 5% biaya.
b. Metode VEN (Vital, Esensial, Non-Esensial)
Metode ini merupakan metode pengadaan yang digunakan pada anggran
terbatas karena dapat membantu memperkecil penyimpangan pada proses
pengadaan perbekalan farmasi dengah menetapkan prioritas diawal proses.
Kategori obat-obat sistem VEN, yaitu:

 V (Vital) adalah obat-obat yang termasuk dalam potensial life- saving


drugs. Mempunyai efek withdrawal secara signifikan atau sangat penting
dalam penyediaan pelayanan kesehatan dasar
 E (Essensial) adalah obat-obat yang efektif untuk mengurangi kesakitan,
namun demikian sangat signifikan untuk bermacam- macam obat tapi tidak
vital untuk penyediaan sistem kesehatan dasar
 N (Non Essensial) adalah obat-obat yang digunakan untuk penyakit minor
atau penyakit tertentu yang efikasinya masih diragukan, termasuk terhitung
mempunyai biaya yang tinggi untuk memperoleh keuntungan terapeutik.
Langkah-langkah menentukan VEN yaitu menyusun kriteria menentukan
VEN dan menyediakan data pola penyakit, dan merujuk pada pedoman
pengobatan. Pedoman perencanaan harus mempertimbangkan
- Anggaran yang tersedia;
- Penetapan prioritas;
- Sisa persediaan;
25

- Data pemakaian periode yang lalu;


- Waktu tunggu pemesanan; dan
- Rencana pengembangan.
3. Pengadaan
Pengadaan merupakan kegiatan yang dimaksudkan untuk merealisasikan
perencanaan kebutuhan. Pengadaan yang efektif harus menjamin ketersediaan,
jumlah, dan waktu yang tepat dengan harga yang terjangkau dan sesuai standar mutu.
Pengadaan merupakan kegiatan yang berkesinambungan dimulai dari pemilihan,
penentuan jumlah yang dibutuhkan, penyesuaian antara kebutuhan dan dana,
pemilihan metode pengadaan, pemilihan pemasok, penentuan spesifikasi kontrak,
pemantauan proses pengadaan, dan pembayaran (Kemenkes RI, 2016).
Tujuan pengadaan yaitu mendapatkan perbekalan farmasi dengan harga yang
layak, dengan mutu yang baik, pengiriman barang terjamin dan tepat waktu, proses
berjalan lancar dan tidak memerlukan tenaga serta waktu berlebihan. Beberapa jenis
obat, bahan aktif yang mempunyai masa kedaluwarsa relatif pendek harus
diperhatikan waktu pengadaannya. Untuk itu harus dihindari pengadaan dalam
jumlah besar (Kemenkes RI, 2016).
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengadaan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai, antara lain (Kemenkes RI, 2016):
a. Bahan baku Obat harus disertai Sertifikat Analisa.
b. Bahan berbahaya harus menyertakan Material Safety Data Sheet (MSDS).
c. Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai harus
mempunyai Nomor Izin Edar.
d. Masa kadaluarsa (expired date) minimal 2 (dua) tahun kecuali untuk Sediaan
Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai tertentu (vaksin,
reagensia, dan lain-lain), atau pada kondisi tertentu yang dapat dipertanggung
jawabkan.
Menurut Permenkes No.72 tahun 2016 pengadaan dapat dilakukan melalui
(Kemenkes RI, 2016):
26

a. Pembelian
Untuk Rumah Sakit pemerintah pembelian Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan,
dan Bahan Medis Habis Pakai harus sesuai dengan ketentuan pengadaan barang
dan jasa yang berlaku. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pembelian adalah:
- Kriteria Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai,
yang meliputi kriteria umum dan kriteria mutu obat.
- Persyaratan pemasok.
- Penentuan waktu pengadaan dan kedatangan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai.
- Pemantauan rencana pengadaan sesuai jenis, jumlah dan waktu.
b. Produksi Sediaan Farmasi
Instalasi Farmasi dapat memproduksi sediaan tertentu apabila:
- Sediaan Farmasi tidak ada di pasaran;
- Sediaan Farmasi lebih murah jika diproduksi sendiri;
- Sediaan Farmasi dengan formula khusus;
- Sediaan Farmasi dengan kemasan yang lebih kecil/repacking;
- Sediaan Farmasi untuk penelitian; dan
- Sediaan Farmasi yang tidak stabil dalam penyimpanan/harus dibuat baru
(recenter paratus).
Sediaan yang dibuat di Rumah Sakit harus memenuhi persyaratan mutu dan
terbatas hanya untuk memenuhi kebutuhan pelayanan di Rumah Sakit tersebut.
c. Sumbangan/Dropping/Hibah
Instalasi Farmasi harus melakukan pencatatan dan pelaporan terhadap
penerimaan dan penggunaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai sumbangan/dropping/ hibah.
Seluruh kegiatan penerimaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai dengan cara sumbangan/dropping/hibah harus disertai
dokumen administrasi yang lengkap dan jelas. Agar penyediaan Sediaan Farmasi,
Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai dapat membantu pelayanan
27

kesehatan, maka jenis Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai harus sesuai dengan kebutuhan pasien di Rumah Sakit. Instalasi Farmasi
dapat memberikan rekomendasi kepada pimpinan Rumah Sakit untuk
mengembalikan/menolak sumbangan/dropping/hibah Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang tidak bermanfaat bagi
kepentingan pasien Rumah Sakit.
Penerimaan perbekalan farmasi harus dilakukan oleh petugas yang
bertanggung jawab. Petugas yang dilibatkan dalam penerimaan harus terlatih baik
dalam tanggung jawab dan tugas mereka, serta harus mengerti sifat penting dari
perbekalan farmasi. Dalam tim penerimaan farmasi harus ada tenaga farmasi
(Kemenkes RI, 2016).
Tujuan penerimaan adalah untuk menjamin perbekalan farmasi yang
diterima sesuai kontrak baik spesifikasi mutu, jumlah maupun waktu. Semua
perbekalan farmasi yang diterima harus diperiksa dan disesuaikan dengan
spesifikasi pada order pembelian rumah sakit. Semua perbekalan farmasi harus
ditempatkan dalam tempat persediaan, segera setelah diterima, perbekalan farmasi
harus segera disimpan di dalam lemaru besi atau tempat lain yang aman.
Perbekalan farmasi yang diterima harus sesuai dengan spesifikasi kontrak yang
telah ditetapkan (Kemenkes RI, 2016).
4. Penyimpanan
Setelah barang diterima di Instalasi Farmasi perlu dilakukan penyimpanan
sebelum dilakukan pendistribusian. Penyimpanan harus dapat menjamin kualitas dan
keamanan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai sesuai
dengan persyaratan kefarmasian. Persyaratan kefarmasian yang dimaksud meliputi
persyaratan stabilitas dan keamanan, sanitasi, cahaya, kelembaban, ventilasi, dan
penggolongan jenis Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
(Kemenkes RI, 2016).
Komponen yang harus diperhatikan antara lain (Kemenkes RI, 2016):
a. Obat dan bahan kimia yang digunakan untuk mempersiapkan Obat diberi label
28

yang secara jelas terbaca memuat nama, tanggal pertama kemasan dibuka, tanggal
kadaluwarsa dan peringatan khusus.
b. Elektrolit konsentrasi tinggi tidak disimpan di unit perawatan kecuali untuk
kebutuhan klinis yang penting.
c. Elektrolit konsentrasi tinggi yang disimpan pada unit perawatan pasien dilengkapi
dengan pengaman, harus diberi label yang jelas dan disimpan pada area yang
dibatasi ketat (restricted) untuk mencegah penatalaksanaan yang kurang hati-hati.
d. Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang dibawa
oleh pasien harus disimpan secara khusus dan dapat diidentifikasi.
e. Tempat penyimpanan obat tidak dipergunakan untuk penyimpanan barang lainnya
yang menyebabkan kontaminasi
Instalasi Farmasi harus dapat memastikan bahwa Obat disimpan secara benar
dan diinspeksi secara periodik. Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai yang harus disimpan terpisah yaitu (Kemenkes RI, 2016):
a. Bahan yang mudah terbakar, disimpan dalam ruang tahan api dan diberi tanda
khusus bahan berbahaya.
b. Gas medis disimpan dengan posisi berdiri, terikat, dan diberi penandaaan untuk
menghindari kesalahan pengambilan jenis gas medis. Penyimpanan tabung gas
medis kosong terpisah dari tabung gas medis yang ada isinya. Penyimpanan
tabung gas medis di ruangan harus menggunakan tutup demi keselamatan.
Metode penyimpanan dapat dilakukan berdasarkan kelas terapi, bentuk
sediaan, dan jenis Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
dan disusun secara alfabetis dengan menerapkan prinsip First Expired First Out
(FEFO) dan First In First Out (FIFO) disertai sistem informasi manajemen.
Penyimpanan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang
penampilan dan penamaan yang mirip (Look Alike Sound Alike) tidak ditempatkan
berdekatan dan harus diberi penandaan khusus untuk mencegah terjadinya kesalahan
pengambilan Obat. Penyimpanan obat yang termolabil harus disimpan di lemari
pendingin yang dilengkapi dengan alat monitoring suhu (Kemenkes RI, 2016).
29

Tempat penyimpanan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi di


fasilitas produksi, fasilitas distribusi, dan fasilitas pelayanan kefarmasian harus
mampu menjaga keamanan, khasiat, dan mutu Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor
Farmasi. Tempat penyimpanan Narkotika, Psikotropika dapat berupa gudang,
ruangan, atau lemari khusus. Tempat penyimpanan Narkotika dilarang digunakan
untuk menyimpan barang selain Narkotika.Tempat penyimpanan Psikotropika
dilarang digunakan untuk menyimpan barang selain Psikotropika (Kemenkes RI,
2016).
Gudang khusus penyimpanan narkotika, psikotropika harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut (Kemenkes RI, 2016):
a. Dinding dibuat dari tembok dan hanya mempunyai pintu yang dilengkapi dengan
pintu jeruji besi dengan 2 (dua) buah kunci yang berbeda
b. Langit-langit dapat terbuat dari tembok beton atau jeruji besi
c. Jika terdapat jendela atau ventilasi harus dilengkapi dengan jerujibesi
d. Gudang tidak boleh dimasuki oleh orang lain tanpa izin Apoteker penanggung
jawab
e. Kunci gudang dikuasai oleh Apoteker penanggung jawab dan pegawai lain yang
dikuasakan
Ruang khusus penyimpanan narkotika, psikotropika harus memenuhi syarat
sebagai berikut (Kemenkes RI, 2016):
a. Dinding dan langit-langit terbuat dari bahan yang kuat
b. Jika terdapat jendela atau ventilasi harus dilengkapi dengan jeruji besi
c. Mempunyai satu pintu dengan 2 (dua) buah kunci yang berbeda
d. Kunci ruang khusus dikuasai oleh Apoteker penanggung jawab/Apoteker yang
ditunjuk dan pegawai lain yang dikuasakan
e. Tidak boleh dimasuki oleh orang lain tanpa izin Apoteker penanggung
jawab/Apoteker yang ditunjuk
Lemari khusus penyimpanan narkotika, psikotropika harus memenuhi syarat
sebagai berikut (Kemenkes RI, 2016):
30

a. Terbuat dari bahan yang kuat


b. Tidak mudah dipindahkan dan mempunyai 2 (dua) buah kunci yang berbeda
c. Harus diletakkan dalam ruang khusus di sudut gudang, untuk Instalasi Farmasi
Pemerintah
d. Diletakkan di tempat yang aman dan tidak terlihat oleh umum, untuk Apotek,
Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Puskesmas, Instalasi Farmasi Klinik, dan
Lembaga Ilmu Pengetahuan
e. Kunci lemari khusus dikuasai oleh Apoteker penanggung jawab/Apoteker yang
ditunjuk dan pegawai lain yang dikuasakan.
Rumah Sakit harus dapat menyediakan lokasi penyimpanan Obat emergensi
untuk kondisi kegawatdaruratan. Tempat penyimpanan harus mudah diakses dan
terhindar dari penyalahgunaan dan pencurian. Pengelolaan Obat emergensi harus
menjamin (Kemenkes RI, 2016):
a. Jumlah dan jenis Obat sesuai dengan daftar Obat emergensi yang telah
ditetapkan.
b. Tidak boleh bercampur dengan persediaan Obat untuk kebutuhan lain.
c. Bila dipakai untuk keperluan emergensi harus segera diganti.
d. Dicek secara berkala apakah ada yang kadaluwarsa.
e. Dilarang untuk dipinjam untuk kebutuhan lain.
5. Pendistribusian
Distribusi merupakan suatu rangkaian kegiatan dalam rangka
menyalurkan/menyerahkan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai dari tempat penyimpanan sampai kepada unit pelayanan/pasien dengan
tetap menjamin mutu, stabilitas, jenis, jumlah, dan ketepatan waktu. Rumah sakit
harus menentukan sistem distribusi yang dapat menjamin terlaksananya pengawasan
dan pengendalian sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai di
unit pelayanan (Kemenkes RI, 2016).
Ada beberapa metode yang digunakan dalam distribusi perbekalan farmasi di
rumah sakit yang dipilih berdasarkan hal berikut (Kemenkes RI, 2016):
31

a. Berdasarkan ada atau tidaknya satelit farmasi. Metode yang didasarkan atas ada
tidaknya satelit farmasi terbagi 2 yaitu:
1) Metode sentralisasi (apoteker tidak ada di ruang perawatan). Metode ini
merupakan suatu system pendistribusian perbekalan farmasi yang dipusatkan
pada satu tempat yaitu instalasi farmasi sentral. Seluruh kebutuhan perbekalan
farmasi setiap unit pemakai, baik untuk kebutuhan individu maupun kebutuhan
barang dasar ruangan disuplay langsung dari pusat pelayanan farmasi tersebut.
Keuntungan metode Sentralisasi:
- Semua resep dikaji langsung oleh apoteker, yang juga dapatmemberi
informasi kepada perawat berkaitan dengan obat pasien,
- Memberi kesempatan interaksi profesional antara apoteker-dokter-perawat-
pasien
- Memungkinkan pengendalian yang lebih dekat atas persediaan,
- Mempermudah penagihan biaya pasien.
Permasalahan Sentralisasi yang mungkin terjadi:
- Terjadinya penundaan/keterlambatan dalam proses penyiapan obat
permintaan dan distribusi obat ke pasien yang cukup tinggi
- Jumlah kebutuhan personel di Instalasi Farmasi Rumah Sakit meningkat,
- Farmasis kurang dapat melihat data riwayat pasien (patient records) dengan
cepat
- Terjadinya kesalahan obat karena kurangnya pemeriksaan padawaktu
penyiapan komunikasi. Sistem ini kurang sesuai untuk rumah sakit yang
besar, misalnya kelas A dan B karena memiliki daerah pasien yang menyebar
sehingga jarak antara Instalasi Farmasi Rumah Sakit dengan perawatan
pasien sangat jauh.
2) Desentralisasi (apoteker ada di ruang perawatan)
Metode desentralisasi merupakan suatu sistem pendistribusian perbekalan
farmasi oleh cabang IFRS di dekat unit perawatan atau pelayanan. Penyimpanan
dan pendistribusian perbekalan farmasi tidak lagi dilayani oleh instalasi farmas.
32

Namun Instalasi farmasi bertanggung jawab terhadap efektifitas dan keamanan


perbekalan farmasi yang ada di depo farmasi. Sistem pendistribusian perbekalan
farmasi oleh cabang IFRS didekat unit perawatan atau pelayanan. Penyimpanan
dan pendistribusian perbekalan farmasi tidak lagi dilayani oleh instalasi farmasi.
Namun Instalasi farmasi bertanggung jawab terhadap efektifitas dan keamanan
perbekalan farmasi yang ada di depo farmasi.
Keuntungan Desentralisasi:
- Obat dapat segera tersedia untuk diberikan kepada pasien
- Pengendalian obat dan akuntabilitas semua baik
- Apoteker dapat berkomunikasi langsung dengan dokter dan perawat
- Sistem distribusi obat berorientasi pasien sangat berpeluang diterapkan untuk
penyerahan obat kepada pasien melalui perawat.
b. SDO Perlengkapan di Ruang (Floorstock)
Sistem distribusi obat persediaan lengkap di ruang merupakan sistem
penyampaian obat kepada penderita sesuai dengan order dokter yang obatnya
disiapkan dan diambil oleh perawat dari persediaan obat yang disimpan di
ruangan.
Dokter akan menuliskan resep kemudian perawatakan menginterpretasikan
resep tersebut dan mencatatnya ke buku profil pengobatan penderita dan
memberikannya kepada pasien. Apoteker hanya menerima permintaan obat dari
perawat, menyiapkan obat dalam bentuk dosis berganda, kemudian
menyampaikan persediaan ruahan obat ke unit pelayanan pasien. Perawat
menyiapkan semua dosis pengobatan untuk diberikan kepada penderita termasuk
pencampuran sediaan intravena.
Sebagaimana yang disebutkan dalam PerMenKes No.72 tentang pelayanan
kefarmasian di rumah sakit, sistem distribusi obat perlengkapan di ruang (Floor
stock) meliputi (Kemenkes RI, 2016):
a) Pendistribusian Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
untuk persediaan di ruang rawat disiapkan dan dikelola oleh Instalasi Farmasi.
33

b) Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang disimpan
di ruang rawat harus dalam jenis dan jumlah yang sangat dibutuhkan.
c) Dalam kondisi sementara dimana tidak ada petugas farmasi yang mengelola (di
atas jam kerja) maka pendistribusiannya didelegasikan kepada penanggung jawab
ruangan.
d) Setiap hari dilakukan serah terima kembali pengelolaan obat floor stock kepada
petugas farmasi dari penanggung jawab ruangan.
e) Apoteker harus menyediakan informasi, peringatan dan kemungkinan interaksi
Obat pada setiap jenis Obat yang disediakan di floorstock.
Keuntungan metode ini (Kemenkes RI, 2016):
- Obat yang diperlukan segera tersedia di ruang perawatan
- Tidak ada pengembalian obat yang terpakai, karena obat langsung diberikan ke
penderita
- Pengurangan penyalinan kembali order obat
- Pengurangan jumlah personal IFRS
Kerugian metode ini (Kemenkes RI,2016):
- Kesalahan penggunaan obat meningkat
- Persediaann mutu obat tidak terkendali karena ditempatkana di ruang perawat
- Pencurian obat meningkat
- Kerusakan obat bertambah
- Penambahan modal untuk penyiapan ruang penyimpanan obat
- Diperlukan waktu yang banyak untuk perawat dalam penanganan obat
- Meningkatkan kerugian karena obat sering rusak
c. SDOR/individual
Pendistribusian Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
berdasarkan Resep perorangan/pasien rawat jalan dan rawat inap melalui Instalasi
Farmasi. Resep individu adalah order/resep yang ditulis dokter untuk tiap penderita,
sedangkan sentralisasi adalah semua order/resep yang disiapkan atau didistribusikn
dari IFRS sentral. Sistem distribusi obat resep individual sentralisasi adalah tatanan
34

kegiatan penghantaran sediaan obat oleh IFRS sentral sesuai dengan yang ditulis pada
resep atas nama pasien tertentu melalui perawat ke ruang perawatan (Kemenkes RI,
2016).
Keuntungan dari metode ini (Kemenkes RI, 2016):
- Semua resep dikaji langsung oleh apoteker, yang juga dapat memberikan
informasi kepada perawat terkait dengan obat penderita
- Memberikan kesempatan interaksi professional antara apoteker, dokter, perawat
dan penderita
- Memungkinkan pengendalian yang lebih dekat atas perbekalan farmasi
- Mempermudah penagihan biaya penderita
Kerugian/ keterbatasan metode ini (Kemenkes
RI, 2016):
- Jumlah kebutuhan personel di IFRS meningkat
- Kemungkinan keterlambatan sediaan obat sampai pada penderita
- Memerlukan jumlah perawat dan waktu yang lebih banyak untuk penyiapan obat
di ruang pada waktu konsumsi obat
- Terjadinya kesalahan karena kurang pemeriksaan pada waktu penyiapan.
d. SDO kombinasi R/ individual dan Floor stock
Sistem distribusi obat kombinasi resep individual dan persediaan diruang
merupakan sistem penyampaian obat kepada pasien berdasarkan permintaan dokter
yang obatnya sebagian disiapkan instalasi farmasi dan sebagian lagi disiapkan dari
persediaan obat yang terdapat di ruang dokter menuliskan resep, interpretasi
dilakukan baik oleh apoteker maupun perawat. Apoteker menyiapkan obat dalam
bentuk ruahan dan diserahkan keunit pelayanan penderita, tetapi adapula obat-obat
yang disiapkan oleh instalasi farmasi untuk selanjutnya diserahkan kepada perawat.
Untuk obat yang terdapat di unit pelayanan penderita, perawat akanmenyiapkan
semua dosis pengobatan untuk penderita (Kemenkes RI, 2016).
Keuntungan dari metode ini (Kemenkes RI, 2016):
- R/ order dikaji oleh apoteker, juga ada kesempatan untuk interaksidari perawat dan
35

penderita
- Obat-obat penggunaan umum dapat langsung tersedia di Ruangan
- Beban IFRS berkurang, karena hanya melayani R/
Kerugian atau keterbatasan metode ini (Kemenkes RI,
2016):
- Kemungkinan keterlambatan sediaan obat untuk sampai ke penderita
- Kesalahan obat dapat terjadi di persediaan ruangan.
6. Pemusnahan dan Penarikan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai
Pemusnahan dan penarikan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis
habis pakai yang tidak dapat digunakan harus dilaksanakan dengan cara yang
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pemusnahan dilakukan untuk sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis
habis pakai bila (Kemenkes RI, 2016):
a. Produk tidak memenuhi persyaratan mutu
b. Telah kadaluwarsa
c. Tidak memenuhi syarat untuk dipergunakan dalam pelayanan kesehatan atau
kepentingan ilmu pengetahuan
d. Dicabut izin edarnya.
Tahapan pemusnahan obat terdiri dari (Kemenkes RI, 2016):
a. Membuat daftar sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai
yang akan dimusnahkan
b. Menyiapkan berita acara pemusnahan
c. Mengoordinasikan jadwal, metode dan tempat pemusnahan kepada pihak
terkait
d. Menyiapkan tempat pemusnahan
e. Melakukan pemusnahan disesuaikan dengan jenis dan bentuk sediaan serta
peraturan yang berlaku.
Penarikan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai
36

dilakukan terhadap produk yang izin edarnya dicabut oleh Badan Pengawas Obat
dan Makanan (BPOM). Penarikan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan
medis habis pakai dilakukan oleh BPOM atau pabrikan asal.Rumah Sakit harus
mempunyai sistem pencatatan terhadap kegiatan penarikan (Kemenkes RI, 2016).
7. Pengendalian
Pengendalian adalah suatu kegiatan untuk memastikan tercapainya sasaran yang
diinginkan sesuai dengan strategi dan program yang telah ditetapkan sehingga tidak
terjadi kelebihan dan kekurangan/kekosongan obat di unit-unit pelayanan (Kemenkes
RI, 2009).
Pengendalian merupakan salah satu dari fungsi manajerial dalam mengelola
logistik. Pengendalian menekankan pada kegiatan pengawasan yang dilakukan setiap
saat sebelum, selama, dan setelah suatu proses dilaksanakan dan berjalan. Hal ini
untuk menjamin tercapainya tujuan yang telah ditetapkan (Kemenkes RI, 2016).
Pengendalian dilakukan terhadap jenis dan jumlah persediaan dan penggunaan
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai. Pengendalian
penggunaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai dapat
dilakukan oleh Instalasi Farmasi harus bersama dengan Komite/Tim Farmasi dan
Terapi di Rumah Sakit (Kemenkes RI, 2016).
Tujuan pengendalian persediaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai adalah untuk (Kemenkes RI, 2016):
a. Penggunaan Obat sesuai dengan Formularium Rumah Sakit;
b. Penggunaan Obat sesuai dengan diagnosis dan terapi; dan
c. Memastikan persediaan efektif dan efisien atau tidak terjadi kelebihan dan
kekurangan/kekosongan, kerusakan, kadaluwarsa, dan kehilangan serta
pengembalian pesanan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai
Kegiatan pengendalian mencakup (Kemenkes RI, 2009):
a. Memperkirakan/menghitung pemakaian rata-rata periode tertentu. Jumlah stok ini
disebut stok kerja.
37

b. Menentukan stok optimum adalah stok obat yang diserahkan kepada unit
pelayanan agar tidak mengalami kelurangan/kekosongan
c. Menentukan waktu tunggu (lead time) adalah waktu yang diperlukan dari mulai
pemesanan sampai obat diterima
Cara untuk mengendalikan persediaan Sediaan Farmasi, Alat kesehatan, dan
Bahan Medis Habis Pakai adalah (Kemenkes RI, 2016) :
a. melakukan evaluasi persediaan yang jarang digunakan (slowmoving);
b. melakukan evaluasi persediaan yang tidak digunakan dalam waktu tiga bulan
berturut-turut (deathstock);
c. Stok opname yang dilakukan secara periodik dan berkala
Selain itu, beberapa pengendalian yang perlu diperhatikan dalam pelayanan
kefarmasian adalah sebagai berikut (Kemenkes RI, 2009) :
a. Rekaman pemberian obat Rekaman/catatan pemberian obat adalah formulir yang
digunakan perawat untuk menyiapkan obat sebelum pemberian. Pada formulir ini
perawat memeriksa obat yang diberikan sewaktu perawat berpindah dari pasien
satu ke pasien lain dengan kereta obat. Dengan formulir ini perawat dapat
langsung merekam/mencatat waktu pemberian dan aturan yang sebenarnya sesuai
petunjuk.
b. Pengembalian obat yang tidak digunakan Semua perbekalan farmasi yang belum
diberikan kepada pasien rawat tinggal harus tetap berada dalam kereta dorong
atau alat bantu angkut apapun. Hanya perbekalan farmasi dalam kemasan tersegel
yang dapat dikembalikan ke IFRS. Perbekalan farmasi yang dikembalikan pasien
rawat jalan tidak boleh digunakan kembali. Prosedur tentang pengembalian
perbekalan farmasi ini perlu dibuat oleh KFT bersama IFRS, perawat dan
administrasi rumah sakit.
c. Pengendalian obat dalam ruang bedah dan ruang pemulihan Sistem pengendalian
obat rumah sakit harus sampai ke bagian bedah, apoteker harus memastikan
bahwa semua obat yang digunakan dalam bagian ini tepat order, disimpan,
disiapkan, dan dipertanggung jawabkan sehingga pencatatan perlu dilakukan
38

seperti pencatatan di IFRS.


8. Administrasi
Administrasi harus dilakukan secara tertib dan berkesinambungan untuk
memudahkan penelusuran kegiatan yang sudah berlalu. Kegiatan administrasi terdiri
dari (Kemenkes RI, 2016):
a. Pencatatan dan Pelaporan
Pencatatan dan pelaporan terhadap kegiatan pengelolaan sediaan farmasi,
alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai yang meliputi perencanaan
kebutuhan, pengadaan, penerimaan, pendistribusian, pengendalian persediaan,
pengembalian, pemusnahan dan penarikan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan
bahan medis habis pakai. Pelaporan dibuat secara periodik yang dilakukan
instalasi farmasi dalam periode waktu tertentu (bulan, triwulan, semester atau
pertahun). Jenis-jenis pelaporan yang dibuat menyesuaikan dengan peraturan
yang berlaku.
Tujuan dilakukannya pencatatan yaitu:
 Persyaratan Kementerian Kesehatan/BPOM
 Dasar akreditasi rumah sakit
 Dasar audit rumah sakit
 Dokumentasi farmasi.
Pelaporan dilakukan sebagai:
 Komunikasi antara level manajemen;
 Penyiapan laporan tahunan yang komprehensif mengenai kegiatan di Instalasi
Farmasi; dan
 Laporan tahunan.
b. Administrasi Keuangan
Apabila Instalasi Farmasi Rumah Sakit harus mengelola keuangan maka
perlu menyelenggarakan administrasi keuangan. Administrasi keuangan
merupakan pengaturan anggaran, pengendalian dan analisa biaya, pengumpulan
39

informasi keuangan, penyiapan laporan, penggunaan laporan yang berkaitan


dengan semua kegiatan pelayanan kefarmasian secara rutin atau tidak rutin dalam
periode bulanan, triwulan, semesteran atau tahunan.
c. Administrasi Penghapusan
Administrasi penghapusan merupakan kegiatan penyelesaian terhadap
sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai yang tidak terpakai
karena kadaluwarsa, rusak, mutu tidak memenuhi standar dengan cara membuat
usulan penghapusan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai
kepada pihak terkait sesuai dengan prosedur yang berlaku.
II.3.5 Pelayanan Farmasi Klinik
Pelayanan farmasi klinik merupakan pelayanan langsung yang diberikan
apoteker kepada pasien dalam rangka meningkatkan outcome terapi dan
meminimalkan risiko terjadinya efek samping karena obat, untuk tujuan keselamatan
pasien (patient safety) sehingga kualitas hidup pasien (quality of life) terjamin.
Pelayanan farmasi klinik yang dilakukan meliputi (Kemenkes RI, 2016):
1. Pengkajian dan Pelayanan Resep
Pelayanan resep dimulai dari penerimaan, pemeriksaan ketersediaan,
pengkajian resep, penyiapan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis
habis pakai termasuk peracikan obat, pemeriksaan, penyerahan disertai pemberian
informasi.Pada setiap tahap alur pelayanan resep dilakukan upaya pencegahan
terjadinya kesalahan pemberian obat (medication error). Kegiatan ini untuk
menganalisa adanya masalah terkait obat, bila ditemukan masalah terkait obat
harus dikonsultasikan kepada dokter penulis resep. Apoteker harus melakukan
pengkajian resep sesuai persyaratan administrasi, persyaratan farmasetik, dan
persyaratan klinis baik untuk pasien rawat inap maupun rawat jalan.
2. Penelusuran Riwayat Penggunaan Obat
Penelusuran riwayat penggunaan obat merupakan proses untuk
mendapatkan informasi mengenai seluruh obat/sediaan farmasi lain yang pernah
dan sedang digunakan, riwayat pengobatan dapat diperoleh dari wawancara atau
40

data rekam medik/pencatatan penggunaan obat pasien.


Kegiatan penelusuran riwayat penyakit obat :
a. Penelusuran riwayat penggunaan obat kepada pasien/keluarganya
b. Melakukan penilaian terhadap pengaturan penggunaan obat pasien. Informasi
yang harus didapatkan dari penelusuran resep :
a. Nama obat (termasuk obat non resep), dosis, bentuk sediaan, frekuensi
penggunaan, indikasi dan lama penggunaan obat
b. Reaksi obat yang tidak dikehendaki termasuk riwayat alergi dan
c. Kepatuhan terhadap regimen penggunaan obat (jumlah obat yang tersisa)
3. Rekonsiliasi obat
Rekonsiliasi obat merupakan proses membandingkan instruksi pengobatan
dengan obat yang telah didapat pasien. Rekonsiliasi dilakukan untuk mencegah
terjadinya kesalahan obat (medication error) seperti obat tidak diberikan,
duplikasi, kesalahan dosis atau interaksi obat. Kesalahan obat (medication error)
rentan terjadi pada pemindahan pasien dari satu rumah sakit ke rumah sakit lain,
antar ruang perawatan, serta pada pasien yang keluar dari rumah sakit ke layanan
kesehatan primer dan sebaliknya.
4. Pelayanan Informasi Obat (PIO)
Pelayanan Informasi Obat (PIO) merupakan kegiatan penyediaan dan
pemberian informasi, rekomendasi obat yang independen, akurat, tidak bias,
terkini dan komprehensif yang dilakukan oleh apoteker kepada dokter, apoteker,
perawat, profesi kesehatan lainnya serta pasien dan pihak lain di luar rumah sakit.
Kegiatan PIO meliputi:
a. Menjawab pertanyaan;
b. Menerbitkan buletin, leaflet, poster, newsletter;
c. Menyediakan informasi bagi tim farmasi dan terapi sehubungan dengan
penyusunan formularium rumah sakit;
d. Bersama dengan tim penyuluhan kesehatan rumah sakit (PKRS) melakukan
kegiatan penyuluhan bagi pasien rawat jalan dan rawat inap;
41

e. Melakukan pendidikan berkelanjutan bagi tenaga kefarmasian dan tenaga


kesehatan lainnya; dan
f. Melakukan penelitian.
Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam PIO :
a. Sumber daya manusia;
b. Tempat; dan
c. Perlengkapan.
5. Konseling
Konseling obat adalah suatu aktivitas pemberian nasihat atau saran terkait
terapi obat dari apoteker (konselor) kepada pasien dan/atau keluarganya.
Konseling untuk pasien rawat jalan maupun rawat inap di semua fasilitas
kesehatan dapat dilakukan atas inisitatif apoteker, rujukan dokter, keinginan pasien
atau keluarganya. Pemberian konseling yang efektif memerlukan kepercayaan
pasien dan/atau keluarga terhadap apoteker. Pemberian konseling obat bertujuan
untuk mengoptimalkan hasil terapi, meminimalkan risiko reaksi obat yang tidak
dikehendaki (ROTD), dan meningkatkan cost-effectiveness yang pada akhirnya
meningkatkan keamanan penggunaan obat bagi pasien (patient safety) (Kemenkes
RI, 2016).
6. Visite
Visite merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap yang dilakukan
apoteker secara mandiri atau bersama tim tenaga kesehatan untuk mengamati
kondisi klinis pasien secara langsung, dan mengkaji masalah terkait obat,
memantau terapi obat dan reaksi obat yang tidak dikehendaki, meningkatkan terapi
obat yang rasional, dan menyajikan informasi obat kepada dokter, pasien serta
profesional kesehatan lainnya (Kemenkes RI, 2016).
Visite juga dapat dilakukan pada pasien yang sudah keluar rumah sakit baik
atas permintaan pasien maupun sesuai dengan program rumah sakit yang biasa
disebut dengan pelayanan kefarmasian di rumah (Home Pharmacy Care). Sebelum
melakukan kegiatan visite apoteker harus mempersiapkan diri dengan
42

mengumpulkan informasi mengenai kondisi pasien dan memeriksa terapi obat dari
rekam medik atau sumber lain (Kemenkes RI, 2016).
7. Pemantauan Terapi Obat (PTO)
Pemantauan Terapi Obat (PTO) merupakan suatu proses yang mencakup
kegiatan untuk memastikan terapi obat yang aman, efektif dan rasionalbagipasien.
Tujuan PTO adalah meningkatkan efektivitas terapi dan meminimalkan risiko
reaksi obat yang tidak dikehendaki (ROTD) (Kemenkes RI, 2016).
8. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
Monitoring Efek Samping Obat (MESO) merupakan kegiatan pemantauan
setiap respon terhadap obat yang tidak dikehendaki, yang terjadi pada dosis lazim
yang digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosa dan terapi. Efek
samping obat adalah reaksi Obat yang tidak dikehendaki yang terkait dengan kerja
farmakologi. Kegiatan pemantauan dan pelaporan ESO (Kemenkes RI, 2016) :
a. Mendeteksi adanya kejadian reaksi Obat yang tidak dikehendaki (ESO);
b. Mengidentifikasi obat-obatan dan pasien yang mempunyai risiko tinggi
mengalami ESO;
c. Mengevaluasi laporan ESO dengan algoritme Naranjo;
d. Mendiskusikan dan mendokumentasikan ESO di Tim/Sub Tim Farmasi dan
Terapi;
e. Melaporkan ke Pusat Monitoring Efek Samping Obat Nasional.
9. Evaluasi Penggunaan Obat (EPO)
Evaluasi Penggunaan Obat (EPO) merupakan program evaluasi penggunaan
obat yang terstruktur dan berkesinambungan secara kualitatif dan kuantitatif
(Kemenkes RI, 2016).
10. Dispensing Sediaan Steril
Dispensing sediaan steril harus dilakukan di Instalasi Farmasi Rumah Sakit
dengan teknik aseptik untuk menjamin sterilitas dan stabilitas produk dan
melindungi petugas dari paparan zat berbahaya serta menghindari terjadinya
kesalahan pemberian obat (Kemenkes RI, 2016).
43

11. Penanganan Sediaan Sitostatik


Penanganan sediaan sitostatik merupakan penanganan obat kanker secara
aseptis dalam kemasan siap pakai sesuai kebutuhan pasien oleh tenaga farmasi
yang terlatih dengan pengendalian pada keamanan terhadap lingkungan, petugas
maupun sediaan obatnya dari efek toksik dan kontaminasi, dengan menggunakan
alat pelindung diri, mengamankan padas aat pencampuran, distribusi, maupun
proses pemberian kepada pasien sampai pembuangan limbahnya. Secara
operasional dalam mempersiapkan dan melakukan harus sesuai prosedur yang
ditetapkan dengan alat pelindung diri yang memadai (Kemenkes RI, 2016).
Kegiatan dalam penanganan sediaan sitostatik meliputi:
a. Melakukan perhitungan dosis secara akurat;
b. Melarutkan sediaan obat kanker dengan pelarut yang sesuai;
c. Mencampur sediaan obat kanker sesuai dengan protocol pengobatan;
d. Mengemas dalam kemasan tertentu; dan
e. Membuang limbah sesuai prosedur yang berlaku.
12. Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD)
Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD) merupakan interpretasi hasil
pemeriksaan kadar obat tertentu atas permintaan dari dokter yang merawat karena
indeks terapi yang sempit atau atas usulan dari apoteker kepada dokter (Kemenkes
RI, 2016).
Kegiatan PKOD meliputi (Kemenkes RI, 2016) :
a. Melakukan penilaian kebutuhan pasien yang membutuhkan Pemeriksaan
Kadar Obat dalam Darah (PKOD); mendiskusikan kepada dokter untuk
persetujuan melakukan Pemeriksaan Kadar Obat dalam Darah (PKOD); dan
b. Menganalisis hasil Pemeriksaan Kadar Obat dalam Darah (PKOD) dan
memberikan rekomendasi.
II. 3.6 Manajemen Risiko Pelayanan Farmasi Klinik
Beberapa risiko yang berpotensi terjadi dalam melaksanakan pelayanan farmasi
klinik adalah (Depkes RI, 2010):
44

1. Faktor risiko yang terkait karakteristik kondisi klinik pasien


Faktor risiko yang terkait karakteristik kondisi klinik pasien akan berakibat
terhadap kemungkinan kesalahan dalam terapi. Faktor risiko tersebut adalah
umur, gender, etnik, ras, status kehamilan, status nutrisi, status sistem imun,
fungsi ginjal, fungsi hati.
2. Faktor risiko yang terkait terkait penyakit pasien
Faktor risiko yang terkait penyakit pasien terdiri dari 3 faktor yaitu: tingkat
keparahan, persepsi pasien terhadap tingkat keparahan, tingkat cidera yang
ditimbulkan oleh keparahan penyakit.
3. Faktor risiko yang terkait farmakoterapi pasien
Faktor risiko yang berkaitan dengan farmakoterapi pasien meliputi:
toksisitas, profil reaksi Obat tidak dikehendaki, rute dan teknik pemberian,
persepsi pasien terhadap toksisitas, rute dan teknik pemberian, dan ketepatan
terapi. Setelah melakukan identifikasi terhadap risiko yang potensial terjadi dalam
melaksanakan pelayanan farmasi klinik, Apoteker kemudian harus mampu
melakukan (Kemenkes RI, 2016):
a. Analisa risiko baik secara kualitatif, semi kualitatif, kuantitatif dan semi
kuantitatif.
b. Melakukan evaluasi risiko; dan
c. Mengatasi risiko melalui:
- melakukan sosialisasi terhadap kebijakan pimpinan Rumah Sakit;
- mengidentifikasi pilihan tindakan untuk mengatasi risiko;
- menetapkan kemungkinan pilihan (cost benefitanalysis);
- menganalisa risiko yang mungkin masih ada; dan
- mengimplementasikan rencana tindakan, meliputi menghindari risiko,
mengurangi risiko, memindahkan risiko, menahan risiko, dan
mengendalikan risiko.
Pembinaan dan edukasi Sumber Daya Manusia (SDM) yang terlibat dalam setiap
tahap manajemen risiko perlu menjadi salah satu prioritas perhatian. Semakin besar
45

risiko dalam suatu pemberian layanan dibutuhkan SDM yang semakin kompeten dan
kerjasama tim (baik antar tenaga kefarmasian dan tenaga kesehatan lain/
multidisiplin) yang solid. Beberapa unit/area di Rumah Sakit yang memiliki risiko
tinggi, antara lain Intensive Care Unit (ICU), Unit Gawat Darurat (UGD), dan kamar
operasi (OK).
II.4 Komite Farmasi dan Terapi
Sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai
Pedoman Organisasi Rumah Sakit, Komite/Tim Farmasi dan Terapi merupakan salah
satu Komite/Tim yang ada di rumah sakit yang menyelenggarakan fungsi tertentu di
rumah sakit sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan dan keselamatan pasien
(Keputusan MenKes RI, 2020)
Komite/Tim Farmasi dan Terapi mengadakan rapat secara teratur paling sedikit
2 (dua) bulan sekali dan untuk rumah sakit besar rapat diadakan sekali dalam 1 (satu)
bulan. Rapat Komite/Tim Farmasi dan Terapi dapat mengundang pakar dari dalam
maupun dari luar rumah sakit yang dapat memberikan masukan bagi pengelolaan
Komite/Tim Farmasi dan Terapi, memiliki pengetahuan khusus, keahlian-keahlian,
atau pendapat tertentu yang bermanfaat bagi Komite/Tim Farmasi dan Terapi
(Keputusan MenKes RI, 2020).
Anggota Komite/Tim Farmasi dan Terapi terdiri dari dokter yang mewakili
semua spesialisasi yang ada di rumah sakit, apoteker instalasi farmasi, serta tenaga
kesehatan lainnya apabila diperlukan. Komite/Tim Farmasi dan Terapi dapat diketuai
oleh seorang dokter atau seorang apoteker. Apabila diketuai oleh dokter maka
sekretarisnya adalah apoteker, namun apabila diketuai oleh apoteker, maka
sekretarisnya adalah dokter (Keputusan MenKes RI, 2020).
Peran apoteker dalam Komite/Tim Farmasi dan Terapi, yaitu:
a. Analisis dan diseminasi informasi ilmiah, klinis, dan farmakoekonomi yang
terkait dengan obat atau kelas terapi yang sedang ditinjau.
46

b. Evaluasi penggunaan obat dan menganalisis data (Keputusan MenKes RI,


2020).
Tugas Komite/Tim Farmasi dan Terapi diatur dalam peraturan perundang-
undangan yang mengatur mengenai Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit,
diantaranya adalah melakukan seleksi dan evaluasi obat yang akan masuk dalam
Formularium Rumah Sakit dan memberikan rekomendasi kepada direktur/kepala
rumah sakit mengenai kebijakan penggunaan obat di rumah sakit (Keputusan
MenKes RI, 2020).
Kriteria pemilihan obat untuk masuk Formularium Rumah Sakit yaitu:
a. Obat yang dikelola di rumah sakit merupakan obat yang memiliki Nomor Izin
Edar (NIE);
b. Mengutamakan penggunaan obat generik;
c. Memiliki rasio manfaat-risiko (benefit-risk ratio) yang paling menguntungkan
penderita;
d. Menguntungkan dalam hal kepatuhan dan penerimaan oleh pasien;
e. Memiliki rasio manfaat-biaya (benefit-cost ratio) yang tertinggi berdasarkan
biaya langsung dan tidak langsung; dan
f. Obat lain yang terbukti paling efektif secara ilmiah dan aman (evidence based
medicines) yang paling dibutuhkan untuk pelayanan dengan harga yang
terjangkau (Keputusan MenKes RI, 2020).
Formularium Rumah Sakit setidaknya mencakup:
1. Sambutan direktur/kepala rumah sakit.
2. Kata pengantar Ketua Komite/Tim Farmasi dan Terapi.
3. Surat keputusan direktur rumah sakit tentang Tim Penyusun Formularium
Rumah Sakit.
4. Surat pengesahan Formularium Rumah Sakit.
5. Kebijakan penggunaan obat di rumah sakit.
6. Prosedur yang mendukung penggunaan formularium, diantaranya:
a. Tata cara menambah/ mengurangi obat dalam formularium.
47

b. Tata cara penggunaan obat diluar formularium atas reviu Komite/Tim


Farmasi dan Terapi dan persetujuan Komite/Tim medis dan
direktur/kepala rumah sakit.
7. Daftar obat yang sekurangnya memuat nama generik obat, kekuatan sediaan,
bentuk sediaan, rute pemberian, dan perhatian/peringatan. Penulisan nama
obat dituliskan berdasarkan alfabetis nama obat dan mengacu kepada
Farmakope Indonesia edisi terakhir. Obat yang sudah lazim digunakan dan
tidak memiliki nama Internasional Nonproprietary Name (INN) digunakan
nama lazim. Obat kombinasi yang tidak memiliki nama INN diberikan nama
berdasarkan nama kesepakatan sebagai nama generik untuk kombinasi dan
dituliskan masing-masing komponen berdasarkan kekuatannya. Satu jenis
obat dapat tercantum dalam lebih dari satu kelas terapi atau sub terapi sesuai
indikasi medis (Keputusan MenKes RI, 2020).
II.5 Limbah Rumah Sakit
Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1204/Menkes/SK/X/2004 menjelaskan
sebagai tempat berkumpulnya orang sakit maupun orang sehat, rumah sakit yang
sering dimanfaatkan masyarakat sebagai salah satu fasilitas pelayanan kesehatan juga
memungkinkan terjadinya penularan penyakit, pencemaran lingkungan, dan
gangguan kesehatan. Rumah sakit memberikan dampak positif sebagai sarana untuk
peningkatan derajat kesehatan masyarakat juga memberikan dampak negatif yaitu
penghasil limbah sehingga perlu mendapatkan perhatian. Apabila benda tajam seperti
jarum suntik yang berasal dari limbah rumah sakit kontak dengan manusia akan dapat
menyebabkan infeksi hepatitis B dan C serta HIV. Selain itu buangan limbah rumah
sakit lainnya juga dapat menyebabkan penyakit antara lain kolera, tifoid, malaria, dan
penyakit kulit (Riyanto, 2013).
Sekitar 70 – 90 % limbah padat yang berasal dari instalasi kesehatan merupakan
limbah umum yang menyerupai limbah rumah tangga dan tidak mengandung risiko.
Sisanya sekitar 10 – 25 % merupakan limbah yang dapat menimbulkan berbagai jenis
dampak kesehatan karena dipandang berbahaya. Produksi limbah medis padat rumah
48

sakit di Indonesia secara nasional diperkirakan sebesar 376.089 ton/hari (Astuti,


2014).
Limbah rumah sakit dibagi menjadi dua kelompok secara umum yaitu limbah
medis dan limbah non medis (Pertiwi, 2017). Limbah medis rumah sakit
dikategorikan sebagai limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) seperti disebutkan
dalam Lampiran I PP No. 101 Tahun 2014 bahwa limbah medis memiliki
karakteristik infeksius. Limbah B3 dapat menimbulkan bahaya terhadap lingkungan
dan juga dampak terhadap kesehatan masyarakat serta makhluk hidup lainnya bila
dibuang langsung ke lingkungan. Selain itu, limbah B3 memiliki karakteristik dan
sifat yang tidak sama dengan limbah secara umum, utamanya karena memiliki sifat
yang tidak stabil, reaktif, eksplosif, mudah terbakar dan bersifat racun.
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia No.
P.56 Tahun 2015 juga menyebutkan Rumah sakit termasuk salah satu fasilitas
pelayanan kesehatan wajib melakukan pengelolaan limbah B3 yang meliputi
pengurangan dan pemilahan limbah B3, penyimpanan limbah B3, pengangkutan
limbah B3, pengolahan limbah B3, penguburan limbah B3, dan/atau penimbunan
limbah B3. Pengelolaan limbah B3 di rumah sakit sangat diperlukan karena apabila
limbah B3 tidak dikelola dengan baik dapat menimbulkan dampak antara lain:
mengakibatkan cedera, pencemaran lingkungan, serta menyebabkan penyakit
nosokomial. Pengelolaan limbah B3 rumah sakit yang baik diharapkan dapat
meminimalisir dampak yang ditimbulkan tersebut.

II.5.1 Penyelenggaraan Pengamanan Limbah Padat Domestik


Pengamanan limbah padat domestik adalah penanganan darurat padat di
rumah sakit yang memenuhi standar untuk mengurangi masalah kesehatan,
keselamatan dan keindahan yang ditimbulkan. Untuk mengatur pengelolaan limbah
padat yang dapat dilakukan sesuai dengan jadwal penyelenggaraan, perawatan rumah
tangga, dilakukan dengan cara:
49

Tahap Pewadahan
1. Melakukan upaya pewadahan yang berbeda antara limbah organik dan
organik mulai di dalam ruangan sumber.
2. Menyediakan tong sampah dengan jumlah dan volume yang memadai pada
setiap ruangan yang disediakan aktivitas pasien, pengunjung dan karyawan.
3. Limbah tidak boleh dibiarkan dalam wadahnya melebihi 1 x 24 jam atau dapat
2/3 bagian kantong sudah terisi oleh limbah, maka harus diangkut yang tidak
perlu perindukan vektor penyakit dan pembawa penyakit.
4. Penempatan tong sampah harus dilokasi yang aman dan strategis baik di
dalam ruangan, semi dalam ruangan dan luar ruangan, dengan jumlah dan jarak
penempatan yang memadai. Minimal 1 (satu) buah untuk setiap kamar atau
sesuai dengan kebutuhan. Upayakan di area umum tersedia tong sampah terpilah
oganik dan an organik.
5. Tong sampah dilakukan program yang menggunakan air dan desinfektan
secara teratur.
6. Tong sampah yang sudah rusak dan tidak berhasil, harus diganti dengan tong
sampah yang memenuhi persyaratan.
Tahap Pengangkutan
1. Limbah padat domestik di ruangan sumber dilakukan pengangkutan ke
Tempat Penyimpanan Sementara menggunakan periodik menggunakan troli
khusus dan kondisi limbah rumah tangga tetap terbungkus kantong plastik hitam.
2. Pengangkutan dilakukan pada jam tidak sibuk pagi dan sore dan tidak melalui
jalur / pasien yang padat, pengunjung rumah sakit.
3. Troli pengangkut sampah harus dibuat dari bahan yang kuat, kedap udara dan
tidak berkarat, permukaannya mudah dibersihkan, serta dilengkapi penutup serta
ditempel tulisan “troli pengangkut sampah rumah tangga / domestik”.
4. Penentuan jalur pengangkutan sampah domestik ke Tempat Penyimpanan
Sementara (TPS) Limbah tidak melalui ruang kerja atau ruang kerja yang padat
dengan pasien, pengunjung dan karyawan rumah sakit.
50

5. Saat pengangkutan sampah domestik ke TPS melalui jalan terbuka, maka pada
saat terjadi hujan tidak dipaksakan dilakukan pengangkutan ke TPS.
Tahap Penyimpanan di TPS
1. Waktu tinggal limbah dometik dalam TPS tidak boleh lebih dari 2 x 24 jam
2. Limbah padat domestik yang telah di tempatkan di TPS dipastikan tetap
terbungkus kantong plastik warna hitam dan dikeluarkan dilakukan
pembongkaran isinya.
3. Rumah tangga dapat dilakukan dengan pengangkutan keluar menggunakan
truk sampah milik rumah sakit atau bekerja sama dengan pihak luar.
4. Penanganan dapat dilakukan dengan pemusnahan menggunakan insinerator
yang membutuhkan rumah sakit.
Upaya pemilahan dan Bantuan, dilakukan dengan cara :
1. Pemilahan yang dilakukan dengan menggunakan jenis limbah organik dan
limbah anorganik serta limbah yang dapat digunakan secara ekonomis, seperti
wadah / kemasan bekas berbahan kardus, kertas, plastik dan lainnya dan
dipastikan tidak mengandung bahan berbahaya
2. Pemilahan dilakukan dari awal dengan menyediakan tong sampah yang
berbeda sesuai dengan jenisnya dan dilengkapi kantong plastik warna bening /
putih untuk limbah daur ulang di dalam ruangan sumber.
3. Untuk pencatatan volume untuk jenis sampah organik dan anorganik, sampah
yang akan didaur ulang atau digunakan kembali.
4. Sampah yang bernilai ekonomis dikirim ke TPS terpisah dari sampah organik
maupun anorganik
5. Dilarang melakukan pengangkutan yang dapat digunakan atau diolah kembali
hanya untuk keperluan bahan baku atau pengemasan produk barang tertentu oleh
pihak luar.
6. Untuk limbah padat domestik yang termasuk dalam kategori limbah B3, maka
harus dilakukan dan dilakukan sesuai dengan persyaratan penanganan limbah B3.
II.5.2 Penyelenggaraan Pengamanan Limbah B3
51

Bertambahnya jumlah rumah sakit di Indonesia, maka jumlah produksi


limbah medis yang dihasilkan semakin banyak. Limbah medis rumah sakit
dikategorikan sebagai limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) seperti disebutkan
dalam Lampiran I PP No. 101 Tahun 2014. Pengelolaan limbah B3 di rumah sakit
diperlukan karena apabila limbah B3 tidak dikelola dengan baik dapat menimbulkan
dampak antara lain: mengakibatkan cidera, pencemaran lingkungan, penyakit
nosokomial. Pengelolaan limbah B3 rumah sakit yang baik diharapkan meminimalisir
dampak yang ditimbulkan tersebut.
II.5.2.1 Pengurangan dan Pemilahan Limbah B3
Pengurangan limbah padat B3 dapat dilakukan melalui tata kelola yang baik
terhadap setiap bahan atau material yang berpotensi menimbulkan pencemaran
terhadap lingkungan maupun gangguan kesehatan. pelayanan kesehatan.Limbah non
medis rumah sakit dan sampah domestik apabila terkontaminasi limbah medis harus
dikelola sebagaimana layaknya limbah medis, maka upaya dini pencegahan
kontaminasi limbah medis melalui pemilahan limbah sejak awal dihasilkan harus
dilakukan dengan memisahkan tempat penampungan/wadah dari sampah medis di
ruangan menjadi tiga macam yaitu wadah sampah medis tajam, wadah sampah medis
lunak dan wadah sampah B3. Hal ini dilakukan dengan harapan limbah padat B3
sudah terpilah mulai dari sumbernya di ruangan berdasarkan jenis, kelompok,
dan/atau karakteristik limbah B3.
Pengurangan volume limbah dan pemilahan limbah yang cenderung sejenis
merupakan persyaratan keamanan yang penting bagi petugas pembuang. limbah yang
dibuang ke dalam wadah tanpa dipisahkan dan dipilah, hal tersebut menimbulkan
risiko kesehatan yang serius kepada para petugas penanganan limbah, dan kepada
masyarakat pada umumnya. Upaya pengurangan dan pemilahan limbah B3 harus
sesuai dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik
Indonesia No. P.56 Tahun 2015 dilihat dari pemisahan timbulan sampah di ruangan
yang dilakukan yaitu dipisah antara sampah medis dan sampah non medis. Terkadang
sampah medis dari ruangan penghasil masih bercampur dengan sampah non medis,
52

maka dilakukan upaya pemilahan lagi di Tempat Pembuangan Sementara (TPS)


sampah non medis sehingga sampah medis yang tercampur bisa dipisahkan kemudian
dibawa ke TPS limbah B3 untuk diinsenerasi bersama sampah medis lainnya oleh
petugas cleaning service. Timbulan sampah medis sendiri dalam pewadahannya
dibedakan menjadi sampah tajam, sampah lunak dan sampah B3.
Agar memudahkan pemilahan, pewadahan sampah medis wadah terlebih
dahulu dilapisi dengan kantong plastik berukuran 60 cm x 60 cm untuk wadah kecil
dan berukuran 80 cm x 100 cm untuk wadah besar sedangkan sampah medis tajam
pewadahannya menggunakan safety box. Setiap ruangan yang menghasilkan sampah
medis disediakan tempat sampah dengan wadah dan kantong plastik yang warnanya
disesuaikan dengan jenis limbah peruntukannya. Hal ini juga sesuai dengan yang
tercantum dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
No.1204/MENKES/SK/X/2004 yang menyebutkan pemilahan harus dilakukan mulai
dari sumber penghasil limbah.
II.5.2.2 Penyimpanan Limbah B3
Penyimpanan limbah B3 menggunakan wadah atau kemasan dengan warna
sesuai dengan jenis limbahnya yaitu warna kuning untuk limbah padat medis (limbah
infeksius), warna merah untuk limbah radioaktif, warna ungu untuk limbah sitotoksik
dan warna cokelat untuk limbah farmasi. Selain itu wadah/ kemasannya juga sudah
diberi simbol seperti yang diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan Republik Indonesia No. P.56 Tahun 2015.
Penyimpanan limbah padat B3 dilakukan di fasilitas penyimpanan limbah B3 yaitu di
TPS limbah B3 yang bebas banjir dan bencana alam serta memiliki fasilitas yang
lengkap sesuai dengan yang tercantum dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup
dan Kehutanan Republik Indonesia No. P.56 Tahun 2015. penyediaan fasilitas rumah
sakit dalam hal penanganan limbah perlu perencanaan yang matang. Kementerian
Lingkungan Hidup (2014) menyebutkan penyimpanan limbah infeksius dan/atau
yang terkontaminasi limbah infeksius menurut peraturan dibatasi maksimum 48 jam.
Hal ini dilakukan karena timbulan limbah padat medis yang dihasilkan dari kegiatan
53

pelayanan kesehatannya relatif besar (1200 – 1500 kg/hari), sehingga diharapkan


dengan begitu tidak ada penumpukan dan limbah tidak tercecer.
Ceceran limbah dan ruangan yang kotor merupakan akibat dari tempat
sampah yang telah penuh. Limbah yang perlu penanganan khusus seperti limbah
radiologi menunggu waktu luruhnya terlebih dahulu, begitu pula limbah patologis
menunggu waktu hingga 2 minggu (disimpan di unit patologi anatomi) baru
dilakukan insenerasi. Penyimpanan limbah B3 dilakukan dalam wadah yang tertutup
untuk mencegah kontak dengan manusia. Hal ini sesuai dengan penelitian Pertiwi
(2007), yang menyatakan tempat sampah tertutup memperkecil kemungkinan
manusia kontak dengan mikroba, gangguan estetika, dan bau.
II.5.2.3 Pengangkutan Limbah B3
Pengangkutan sampah medis dibagi menjadi dua yaitu sebelum dibakar dan
setelah dibakar menggunakan insinerator. Pengangkutan sampah medis sebelum
dibakar yaitu menggunakan troli sampah medis namun sampah medis lunak dan
sampah B3 diangkut secara terpisah. Sampah medis tajam pengangkutannya
mengikuti petunjuk pelaksanaan pengambilan kontainer jarum. Pengangkutan limbah
B3 dari ruangan dilakukan sebanyak 3 kali dalam sehari melalui jalur umum yang
juga digunakan oleh pasien dan pengunjung.
Sampah medis merupakan salah satu sarana berkembang biak kuman dan
vektor penyakit. Pengangkutan menggunakan troli tertutup dimaksudkan untuk
menghindari gangguan estetika akibat adanya ceceran yang dikhawatirkan kontak
dengan manusia. Pengangkutan limbah B3 setelah dibakar yang berupa residu
insinerator ke PT. PPLI (Prasadah Pamunah Limbah Indonesia) mengunakan
kendaraan dengan wadah kuat dan tertutup untuk menghindari risiko penularan
penyakit akibat limbah B3 rumah sakit. Kendaraan yang disediakan oleh PT. PPLI
dilengkapi dengan simbol dan disertai manifes limbah B3 sesuai yang tercantum
dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia No.
P.56 Tahun 2015.
54

Risiko penularan penyakit dapat muncul mulai proses pengumpulan,


pengangkutan, maupun penyimpanan limbah. Oleh karena itu proses pengangkutan
memang sudah seharusnya dilakukan secara tertutup agar tidak berisiko
menyebabkan penularan penyakit.
II.5.2.4 Pengolahan Limbah B3
Pengolahan sampah medis dilakukan melalui proses insinerasi
(pembakaran) dengan menggunakan incinerator dengan suhu minimal untuk primary
burner yaitu 800oC dan secondary burner yaitu min 1000oC. Proses pemusnahan
dengan insinerator dilakukan karena sampah medis termasuk dalam kategori limbah
B3 yaitu bersifat infeksius dan berpotensi menularkan penyakit. Menurut
Kementerian Lingkungan Hidup awal abad 21 fungsi utama teknologi insenerasi
sebagai penghancur limbah medis infeksius adalah yang paling efektif dan tidak
tergantikan oleh teknologi lain. limbah medis harus sesegera mungkin diolah setelah
dihasilkan dan penyimpanan merupakan prioritas akhir apabila limbah tidak dapat
langsung diolah. Sampah medis berupa botol infus bekas dan jerigen hemodialisis
(HD) bekas tidak dibakar menggunakan insinerator, melainkan didaur ulang bekerja
sama dengan pihak ke-3.
Botol Infus dan jerigen HD bekas yang terlebih dahulu dipilah dari ruangan
diangkut oleh petugas sampah medis ke tempat pengolahan. Setelah itu dilakukan
proses pemotongan agar mempermudah proses pencacahan. Apabila sudah dicacah
kemudian dilakukan proses didesinfeksi lalu dilanjutkan ke proses pengeringan.
Setelah kering kemudian dilakukan proses pewadahan dan penimbangan sebelum
dikirim kepada industri pemanfaat.

II.5.3 Penyelenggaraan Pengamanan Limbah Cair


Air limbah adalah seluruh air buangan yang berasal dari hasil proses kegiatan
administrasi kesehatan yang meliputi: air limbah domestik (air buangan air limbah
klinis, air limbah laboratorium, cucian darah), air limbah laboratorium dan lainnya.
55

Presentase terbesar dari air limbah adalah limbah domestik terkontaminasi oleh agen
infeksi kultur mikroorganisme, darah, darah, dan lain-lain.
Air limbah yang disediakan darl buangan domestik juga buangan air limbah
klinis umum yang mengandung zat pencemar organik yang cukup baik dan dapat
diolah dengan proses pengolahan secara biologis. Air limbah yang dibutuhkan dari
laboratorium biasanya banyak mengandung logam berat yang apabila dialirkan ke
dalam proses pengolahan secara biologis dapat diproses.
Prosesnya., Maka perlu dilakukan pengolahan awal secara kimia-fisika,
selanjutnya air olahannya dialirkan ke instalasi pengolahan air limbah.
Jenis air yang tersedia di fasilitas pelayanan kesehatan dapat dikelompokkan
sebagai berikut:
a. Air limbah Domestik
b. Air limbah klinis
c. Air limbah laboratorium klinik dan kimia
d. Air limbah radioaktif (tidak boleh masuk ke IPAL, harus mengikuti petunjuk dari
BATAN)
Adapun Sumber-sumber yang menghasilkan air limbah, antara lain:
a. Unit Pelayanan Medis
- Rawat Inap
- Jalan Rawat
- Rawat Darurat
- Rawat Intensif
• Haemodialisa
• Bedah Sentral
• Rawat Isolasi
b. Unit Penunjang Pelayanan Medis
- Laboratorium
- Radiologi
- Farmasi
56

- Sterilisasi
- Kamar Jenazah
c. Unit Penunjang Pelayanan Non Medis
- Logistik
- Cuci (Binatu)
- Rekam Medis
- Fasilitas umum: Masjid / Musholla dan Kantin
- Kesekretariatan / administrasi
- Dapur Gizi
- Dan lain-lain
Baku Mutu Limbah Cair Rumah Sakit atau Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Berdasarkan keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia
Nomor: Kep-58 / MENLH / 12/1995 tentang Baku Mutu Limbah Cair untuk kegiatan
Rumah Sakit (Bandara 1), maka setiap rumah sakit yang menghasilkan air limbah /
limbah cair harus memenuhi peraturan tersebut. Pengolahan Air Limbah Dengan
Proses Biologis, di dalam proses pengolahan air limbah khusus yang mengandung
polutan organik, teknologi yang diguna- kan sebagian besar menggunakan aktifitas
mikro-organisme untuk menyelesaikan polutan organik tersebut. Proses pengolahan
air limbah dengan persiapan mikro-pertanian biasa disebut dengan "Proses Biologis".
Proses pengolahan air secara biologis dapat dilakukan pada kondisi aerobik
(dengan udara), kondisi anaerobik (tanpa udara) atau kombinasi anaerobik dan arrobit
Proses biologis pengolahan air limbah dengan beban BOD yang sangat tinggi.
Pengolahan air limbah secara garis-garis begar dapat dibagi menjadi tiga proses
biologis dengan biakan tersuspensi (budaya susprended), proses biologis dengan
biakan melekat (budaya terlampir) dan proses pengolahan dengan sistem laguna atau
kolam.
Proses biologis dengan biakan tersuspensi adalah sistem pengolahan dengan
menggunakan mikro-organisme untuk menguraikan komposisi polutan yang ada di
udara dan mikro-organime yang digunakan dibiakkan secara lengkap di dalam suatu
57

reaktor. Beberapa contoh proses pengolahan dengan sistem ini antara lain: proses
lumpur aktif standar atau konvesional (lumpur aktif standar), langkah aerasi,
stalilisasi tambahan, aerasi diperpanjang, parit oksidasi (parit oksidasi sistem parit)
dan lainya.
Proses biologis dengan biakan melekat yaitu proses pengolahan limbah
mikro-pertanian yang digunakan dibiakkan pada suatu media sehingga
mikroorganisme melekat pada permukaan media. Proses ini disebut juga dengan
proses film mikrobiologis atau proses biofilm. Beberapa contoh teknologi pengolahan
air limbah dengan cara ini antara lain: trickling filter, biofilter tercelup, kontak
reaktor biologis Rotating Biological Contactor (RBC), penghubung kontak/oksidasi
(kontak kontak) dan lainnnya.
Proses pengolahan air limbah secara biologis dengan laguna atau kolam
adalah dengan pengelolaan air limbah pada sebuah kolam yang luas dengan waktu
tinggal yang cukup laına perlu dengan kegiatan mikro-pertanian yang tumbuh secara
alami, zat polutan yang ada di dalam air akan terurai. Untuk mempercepat proses
penguraian polutan atau memperpendek waktu tinggal dapat juga dilakukan proses
aerasi. Salah satu contoh proses pengolahan air limbah dengan cana ini adalah kolam
aerasi atau kolam stabilisasi. Proses dengan sistem laguna seperti itu kadang-kadang
dikategorikan sebagai proses biologis dengan biakan tersuspensi. Secara garis besar
klasifikasi proses pengolahan air mbah secara biologis, sedangkan karakteristik
pengolahan, perencanaan parameter serta efisiensi pengolahan untuk setiap jenis
proses.
Untuk memilih jenis teknologi atau proses yang akan digunakan untuk
pengolahan air limbah, beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain: kualitas air
olahan yang diharapkan. Pemilihan teknologi pengolahan air limbah harus mencakup
beberapa hal antara jumlah air limbah yang akan diproses, kualitas air hasil olahan
yang diharapkan, kemudahan dalam hal pengelolaan, alokasi lahan dan sumber
energi, serta biaya operasi dan perawatan diupayakan serendah mungkin setiap jenis
teknologi. Memproses air limbah memiliki keunggulan dan kekurangan masing-
58

masing, oleh karena itu dalam hal pemilihan jenis teknologi yang perlu
dipertimbangkan aspek teknis, aspek ekonomi dan aspek lingkungan, serta sumber
daya manusia yang akan mengelela fasilitas tersebut.
BAB III
GAMBARAN UMUM

III.1 Rumah Sakit Siloam Hospitals Makassar


Berdasarkan data Siloam Hospitals Group mendirikan rumah sakit
pertama kali di Pulau Jawa yaitu Siloam Hospitals Lippo Karawaci. Siloam
Hospitals Lippo Karawaci, pernah meraih JCI Accreditation pertama kali di
Indonesia pada tahun 2007, di mana hal ini merupakan salah satu bentuk
dukungan dan motivasi dari Siloam Hospitals Group dalam perkembangan
kesehatan di Indonesia.
Siloam Hospital juga mulai membuka pelayanan di Indonesia bagian
timur yaitu di Makassar, Sulawesi Selatan.Pembangunan Siloam Hospitals
Makassar ditandai dengan peletakkan batu pertama (groundbreaking) oleh
Menteri Kesehatan dr. Endang Rahayu Sedyaningsih, MPH, Dr. PH pada 7
Januari 2011.Pembangunan Siloam Hospitals Makassar ini berlokasi di
Tanjung Bunga, sebuah kota mandiri di daerah wisata pantai. Dengan
berdirinya rumah sakit ini maka cakupan dan mutu pelayanan kesehatan
kepada masyarakat akan meningkat di wilayah ini, yang saat ini masih
mengalami keterbatasan dalam mendapatkan akses pelayanan kesehatan.
Dengan dilengkapi perlengkapan medis paling terkini dan modern sesuai
standar internasional, Siloam Hospitals Makassar berkomitmen untuk
memberikan layanan kesehatan berkualitas dan berkesinambungan.
Siloam Hospital Makassar kini tengah menjalin kerjasama dengan
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanudin, khususnya dalam hal
meningkatkan kualitas layanan kesehatan di wilayah Indonesia Timur dan
menjadikan Makassar sebagai penghubung serta pusat layanan kesehatan yang
memiliki keunggulan dalam bidang pendidikan, pelayanan kedokteran dan
penelitian, Tujuan pembangunan Siloam Hospitals Makassar adalah untuk

59
60

melayani kebutuhan masyarakat di provinsi Sulawesi Selatan pada umumnya


dan kota Makassar pada khususnya.
PT Siloam International Hospitals Tbk juga memiliki visi, misi,value
dan tujuan untuk mengembangkan sportivitas dalam pelayanan yang bergerak
dibidang jasa kesehatan diantaranya :
Visi : International Quality, Reach, Scale, Godly Compassion
International Quality, berlandaskan pada tujuan internasional
keselamatan pasien sesuai dengan Joint Commission International (JCI).
Reach, menciptakan kedekatan dan keterjangkauan pelayanan secara nasional.
Scale, memberikan pelayanan yang dibutuhkan dan terjangkau bagi segala
skala ekonomi. Godly Compassion, memberikan pelayanan berlandaskan
kasih Tuhan dalam segala bentuk interaksi.
Misi : The trusted destination of choice for holistic world class
healthcare, health education and research.
Pilihan terpercaya untuk mendapatkan pelayanan kesehatan holistik
bertaraf Internasional, pendidikan kesehatan dan penilitian
Value : Love, Caring, Integrity, Honesty, Empathy, Compassion,
Profesionalism.
Cinta, Empati, Integritas, Kejujuran, Kepedulian, Belas kasihan,
Profesionalisme
Tujuan : Meningkatkan pelayanan medic yang berkualitas,
evisien dan terjangkau bagi semua lapisan masyarakat
Adapun wilayah Cabang Rumah Sakit Siloam
1. BIMC Hospital Nusa Dua, Bali
2. BIMC Hopital Kuta, Bali
3. MRCC Siloam Hospitals, Semanggi, Jakarta
4. Paviliun Umum Rumah Sakit Siloam, Karawaci, Tangerang
5. Rumah Sakit Asri, Mampang, Jakarta
6. Rumah Sakit Grha Utima Medika, Mataram
61

7. Rumah Sakit Putera Bahagia, Cirebon


8. Rumah Sakit Sentosa, Bekasi
9. Rumah Sakit Siloam Bangka, Bangka-Belitung
10. Rumah Sakit Siloam Silampari, Lubiklinggau, Sumatra Selatan
11. Siloam Canggu, Kuta, Bali
12. Siloam Hopitals Jember
13. Siloam Hospital Balikpapan
14. Siloam Hospital Bogor
15. Siloam Hospital Buton, Baubau, Sulawesi Tenggara
16. Siloam Hospital Cinere
17. Siloam Hospital Denpasar, Bali
18. Siloam Hospital Jambi
19. Siloam Hospital Jogjakarta, DIY
20. Siloam Hopital Kebon Jeruk, Jakarta
21. Siloam Hospital Kupang, Nusa Tenggara Timur
22. Siloam Hospital Labuan Bajo
23. Siloam Hospital Lippo Cikarang
24. Siloam Hospital Lippo Karawaci
25. Siloam Hospital Makassar
26. Siloam Hospital Manado
27. Siloam Hospital Medan
28. Siloam Hospital Palembang
29. Siloam Hospital Purwakarta
30. Siloam Hospital Surabaya
31. Siloam Hospital TB Simatupang, Jakarta
32. Siloam Hospital Medika Blu Paza, Bekasi
33. Siloam Hospital Samarinda
III.2 Instalasi Farmasi Rumah Sakit Siloam Hospitals Makassar
HOSPITAL DIRECTOR
62

Head Of Ancillary Clinical & Medical


Services Division

Head Of Pharmacy Service


Departement

Section Head Outpatient Section Head Inpatient


Pharmacy Service Pharmacy Service

Aseptic Dispensing Inpatient Distribution


OPD BPJS OPD Insuran OPD Private

Runner
Clinical Pharmacist

Section Head
Pharmacy Warehouse

Deskripsi: Receiving Distribution

1. Hospital director
Bertugas memimpin, menyusun kebijakan, membina, mengkoordinasikan dan
mengawasi serta mengendalikan pelaksanaan tugas dibidang rumah sakit
2. Head Of Ancillary Clinical & Medical Services Division
Bertugas dalam pengkoordinasian kegiatan pelayanan medik, perencanaan
kebutuhan pelayanan medik, pemantauan dan pengawasan penggunaan
fasilitas kegiatan pelayanan medik, dan pengembangan mutu pelayanan
medik, serta pelaksanaan tugas lain yang diperintahkan oleh Direktur
Pelayanan.
rincian tugas :
1. menyusun rencana dan pelaksanaan program kegiatan serta mekanisme
pelayanan medik baik yang meliputi program rawat inap, rawat jalan, Instalasi
Gawat Darurat (IGD), Intensive Care Unit (ICU), Neonatal Intensive Care
Unit (NICU), Kamar Operasi, Ruang Hemodialisa dan unit pelayanan medik
lainnya;
63

2. menyelenggarakan kegiatan pelayanan medik, rawat inap, rawat jalan,


Instalasi Gawat Darurat (IGD), Intensive Care Unit (ICU), Neonatal Intensive
Care Unit (NICU), Kamar Operasi, Ruang Hemodialisa dan unit pelayanan
medik lainnya;
3. Mengkoordinasikan rencana kebutuhan pelayanan medik, yang meliputi
rencana kebutuhan rawat inap, rawat jalan, Instalasi Gawat Darurat (IGD),
Intensive Care Unit (ICU), Neonatal Intensive Care Unit (NICU), Kamar
Operasi, Ruang Hemodialisa dan unit pelayanan medik lainnya;
4. Melakukan pengawasan dan pengendalian kegiatan pelayanan medik;
5. Melaksanakan penyiapan, penyusunan dan penyampaian laporan hasil
kegiatan di bidang pelayanan medik; dan
6. Melaksanakan tugas lain yang diperintahkan oleh Direktur Pelayanan.
3. Kepala Instalasi Farmasi
Tujuan jabatan : Terlaksananya seluruh kegiatan yaitu kegiatan manajerial,
pengelolaan perbekalan farmasi dan kegiatan pelayanan farmasi klinik serta
bertanggung jawab atas pelaporan sesuai prosedur yang ditetapkan
Tugas dan Tanggung Jawab Utama :
1) Terlaksananya seluruh kegiatan manajerial dan managemen sumber daya
manuasia di instalasi farmasi :
a. Membuat jadwal dinas
b. Memberikan bimbingan dan petunjuk kepada staf farmasi agar tercapai
kesesuaian dan kebenaran pelaksanaan tugas sesuai ketentuan yang
berlaku
c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas seluruh staf farmasi
d. Menandatangani dan memeriksa dokumen yang perlu mendapat otorisasi
sesuai prosedur
2) Terlaksananya semua kegiatan pengelolaan dan pengendalian perbekalan
farmasi yang beredar dan digunakan di rumah sakit, menjamin keamanan,
kemanfaatan dan mutu yang paling baik
64

a. Memeriksa dan menyetujui pengajuan permintaan atau pembelian


sediaan farmasi, alkes dan bahan medis habis pakai yang diajukan oleh
logistik farmasi
b. Melakukan evaluasi pemakaian sediaan farmasi, alkes dan bahan medis
habis pakai setiap periode tertentu sebagai bahan pertimbangan untuk
perencanaan pengadaan
c. Memberikan rekomendasi penambahan dan pengurangan obat yang
masuk dalam daftar formularium
d. Melaporkan obat yang slow moving ke kepala bidang dan dokter penulis
resep
e. Mengawasi pendistribusian sediaan farmasi, alkes dan bahan medis habis
pakai
3) Memeriksa penyimpanan perbekalan farmasi sesuai standar penyimpanan
g. Menyetujui pembelian obat di apotik atau di rumah sakit sekitar
4) Terlaksananya seluruh kegiatan pelayanan kefarmasian ke pasien
a. Memberikan arahan kepada petugas untuk memberikan pelayanan
kefarmasian dengan sebaikbaiknya
b. Memantau waktu pasien terhadap pelayanan
c. Mengarahkan bawahan untuk dapat memberikan respon kepada customer
dengan cepat dan tepat
d. Menyelesaikan permasalahan terkait dengan pelayanan kefarmasian
5) Terlaksananya seluruh rencana strategis sesuai jadwal yang ditetapkan,
mengawasi penerapan rencana dan kegiatan harian berkaitan dengan
rencana itu dan mengadakan tindakan koreksi bila perlu.

4. Section Head Outpatient Pharmacy Service


Pengkoordinasian semua kebutuhan pelayanan medik di ruang rawat
jalan dan khusus, pelaksanaan pemantauan dan pengawasan penggunaan
65

fasilitas pelayanan medik, dan pelaksanaan kegiatan pelayanan medik rawat


jalan dan khusus,
5. Section Head Inpatient Pharmacy Service
Pengkoordinasian semua kebutuhan pelayanan medik rawat inap,
melaksanakan pemantauan dan pengawasan penggunaan fasilitas pelayanan
medik rawat inap, serta melaksanakan kegiatan pelayanan medik rawat inap,
serta pelaksanaan tugas lain yang diperintahkan oleh Kepala Bidang
Pelayanan Medik.
Pelayanan Medik Rawat Inap mempunyai rincian tugas :
1. Merencanakan kegiatan dan kebutuhan pelayanan medik rawat inap;
2. Mengkoordinasikan kegiatan dan kebutuhan pelayanan medik rawat inap;
3. Melaksanakan kegiatan dan pemenuhan kebutuhan pelayanan medik rawat
inap;
4. Melakukan pengawasan dan pengendalian penggunaan fasilitas serta kegiatan
pelayanan medik rawat inap;
5. Melaksanakan penyiapan, penyusunan dan penyampaian laporan hasil
kegiatan di bidang pelayanan medik rawat inap.
BAB IV
PEMBAHASAN

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan


Kefarmasian dinyatakan bahwa dalam menjalankan praktik kefarmasian pada
Fasilitas Pelayanan Kefarmasian, Apoteker harus menerapkan Standar Pelayanan
Kefarmasian yang diamanahkan untuk diatur dengan Peraturan Menteri Kesehatan.
Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari sistem pelayanan kesehatan Rumah Sakit yang berorientasi kepada pelayanan
pasien, penyediaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
yang bermutu dan terjangkau bagi semua lapisan masyarakat termasuk pelayanan
farmasi klinik, maka dari itu pembahasan ini membahas bagaimana penerapan standar
pelayanan farmasi di Siloam Hospitals Makassar berdasarkan Peraturan Pemerintah
Kesehatan No.72 Tahun 2016 yaitu:
1. Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan dan Bahan Medis Habis Pakai
2. Pelayanan Farmasi Klinik
IV.1 Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai (BMHP)
Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai
(BMHP) merupakan suatu siklus kegiatan dari pemilihan, perencanaan kebutuhan,
pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian, pemusnahan dan penarikan,
pengendalian, serta administrasi yang diperlukan bagi kegiatan pelayanan
kefarmasian yang dimana harus dilaksanakan secara multidisiplin, terkoordinir dan
menggunakan proses yang efektif untuk menjamin kendali mutu dan kendali biaya.
Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan BMHP di Rumah Sakit Siloam
Makassar dilakukan oleh instalasi farmasi sistem satu pintu. Dengan demikian, semua
sediaan farmasi, alat kesehatan, dan BMHP yang beredar di Rumah Sakit Siloam
Makassar merupakan tanggung jawab instalasi farmasi, sehingga tidak ada

66
67

pengelolaan perbekalan farmasi yang dilaksanakan selain oleh Instalasi Farmasi


Rumah Sakit (IFRS) Siloam Makassar sebagai satu-satunya penyelenggara pelayanan
kefarmasian.
Adapun kegiatan pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan BMHP di
Rumah Sakit Siloam Makassar:
IV.1.1 Tahap Pemilihan
Tahap pemilihan untuk menetapkan jenis sediaan farmasi, alat kesehatan, dan
BMHP sesuai dengan kebutuhan. Adapun pemilihannya berdasarkan dengan
formularium dan standar pengobatan/pedoman diagnosa dan terapi, pola penyakit,
efektifitas dan keamanan, pengobatan berbasis bukti, mutu, harga dan ketersediaan di
pasaran. Formularium rumah sakit ini merupakan daftar obat yang disepakati staf
medis, disusun oleh Komite/Tim Farmasi dan Terapi (KFT) yang ditetapkan oleh
Pimpinan Rumah Sakit, dan telah tersedia untuk semua penulis resep, pemberi obat,
serta penyedia obat di Rumah Sakit Siloam Makassar. Evaluasi terhadap
formularium rumah sakit dilakukan secara rutin (tiap tahun) dan direvisi sesuai
kebijakan/kebutuhan rumah sakit termasuk bila ada obat yang harus ditambahkan dan
atau dihilangkan dari formularium. Penyusunan dan revisi formularium rumah sakit
dikembangkan berdasarkan pertimbangan terapeutik dan ekonomi dari penggunaan
obat agar dihasilkan formularium rumah sakit yang mutakhir dan dapat memenuhi
kebutuhan pengobatan yang rasional di lingkungan Rumah Sakit Siloam Makassar.
Obat yang dipilih memiliki rasio manfaat-risiko (benefit-risk ratio) yang paling
menguntungkan penderita, mutu terjamin, termasuk stabilitas dan bioavailabilitas,
praktis dalam penyimpanan dan pengangkutan, praktis dalam penggunaan dan
penyerahan, menguntungkan dalam hal kepatuhan dan penerimaan oleh pasien, serta
memiliki rasio manfaat-biaya (benefit-cost ratio) yang tertinggi berdasarkan biaya
langsung dan tidak lansung dan obat lain yang terbukti paling efektif secara
ilmiah dan aman (evidence based medicines) yang paling dibutuhkan untuk
pelayanan dengan harga yang terjangkau.
68

IV.1.2 Tahap Perencanaan


Setelah kegiatan pemilihan, IFRS Siloam Hospitals Makassar melakukan
kegiatan perencanaan kebutuhan untuk menentukan jumlah dan periode pengadaan
sediaan farmasi, alat kesehatan, dan BMHP sesuai dengan dilakukan untuk
menghindari kekosongan obat dengan menggunakan metode yang dapat
dipertanggungjawabkan dan dasar-dasar perencanaan yang telah ditentukan
seperti konsumsi, epidemiologi, kombinasi metode konsumsi dan epidemiologi
dan disesuaikan dengan anggaran yang tersedia. Pedoman perencanaan harus
mempertimbangkan anggaran yang tersedia, penetapan prioritas, sisa persediaan, data
pemakaian periode yang lalu, waktu tunggu pemesanan dan rencana pengembangan.
IV.1.3 Tahap Pengadaan
Pada tahap pengadaan untuk merealisasikan perencanaan kebutuhan,
pengadaan yang efektif harus menjamin ketersediaan, jumlah, dan waktu yang tepat
dengan harga yang terjangkau dan sesuai standar mutu. Pengadaan
merupakan kegiatan yang berkesinambungan dari pemilihan, penentuan jumlah yang
dibutuhkan, penyesuaian antara kebutuhan dan dana, pemilihan metode
pengadaan, pemilihan pemasok, penentuan spesifikasi kontrak, pemantauan proses
pengadaan, dan pembayaran. Untuk memastikan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan
BMHP sesuai dengan mutu dan spesifikasi yang dipersyaratkan maka jika proses
pengadaan dilaksanakan oleh bagian lain di luar instalasi farmasi harus melibatkan
tenaga kefarmasian. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengadaan yaitu harus
mempunyai nomor izin edar, masa kadaluarsa (expired date) minimal 2 (dua) tahun
kecuali untuk sediaan tertentu (vaksin, reagensia, dan lain-lain), atau pada kondisi
tertentu yang dapat dipertanggung jawabkan. Rumah Sakit Siloam Hospitals
Makassar memiliki mekanisme yang mencegah kekosongan stok obat yang
secara normal tersedia di rumah sakit dan mendapatkan obat dengan mudah dan
dapat didistribusikan secara penuh dalam pelayanan kefarmasian selama waktu 24
jam. Adapun pengadaan perbekalan sediaan farmasi di Rumah Sakit Siloam Makassar
69

distok untuk kebutuhan 2 minggu (berdasarkan min-max) dimana min adalah


kebutuhan untuk 10 hari dan max adalah kebutuhan untuk 14 hari atau 2 minggu.
IV.1.4 Tahap Penerimaan
Tahap penerimaan untuk menjamin kesesuaian jenis, spesifikasi, jumlah,
mutu, waktu penyerahan dan harga yang tertera dalam kontrak atau surat pesanan
dengan kondisi fisik yang diterima. Semua dokumen terkait penerimaan barang harus
tersimpan dengan baik berupa SP dan faktur serta pencatatan stok dalam sistem
computer. Barang yang diterima oleh IFRS Siloam Makassar (Gudang Farmasi) perlu
memerhatikan 8R yaitu benar vendor, benar tujuan, benar nomor purchasing order,
benar nama sediaan, benar jumlah, benar bentuk sediaan, benar kekuatan sediaan,
benar batch dan expired date
IV.1.5 Penyimpanan
Adapun penyimpanan sediaan farmasi di Instalasi Farmasi RS. Siloam Hospital
Makassar telah sesuai dengan regulasi yaitu PerMenKes No.72 Tahun 2016 dan
PerMenKes No.3 Tahun 2015, dimana sistem penyimpanaan dilakukan berdasarkan
stabilitias, bentuk sediaan, kelas terapi, obat paten/generik, dan disusun berdasarkan
alfabetis dengan menerapkan prinsip First Expired First Out (FEFO), hal ini di RS.
Siloam menggunakan prinsip FEFO yang memiliki keuntungan jika obat yang
didistribusikan memiliki expired date (ED) yang lebih dekat dibanding stok obat
yang ada di rak, maka penyimpanan dalam rak paling depan dan ED yang lebih lama
dibelakang untuk mencegah terjadinya expired date pada obat. Setiap departement
farmasi dilengkapi dengan pendingin ruangan serta alat pengukur suhu dan
kelembapan ruangan yang dicek setiap tiga kali dalam sehari untuk menjaga stabilitas
obat-obat yang termolabil. Obat-obat injeksi diletakkan dalam rak yang diberi jarak
dari dinding. Obat psikotropika, narkotika, prekursor dan obat-obat tertentu (OOT)
diletakkan dalam lemari khusus yang sudah sesuai dengan persyaratan dalam
permenkes No.3 Tahun 2015 yaitu lemari tidak mudah dipindahkan, terbuat dari
bahan yang kuat yaitu kayu dengan 2 buah kunci berbeda, serta terletak ditempat
yang aman dan tidak terlihat oleh umum dan kunci lemari dikuasai oleh Apoteker
70

Penanggung Jawab (APA) yang ditunjuk untuk mengawasi. Penyimpanan infus


cairan diletakkan dalam ruangan/rak tersendiri.
Obat High Alert disimpan dalam rak khusus dan diberi tanda High Alert. Obat
tersebut diletakkan di jolly box yang diberi striker bertulisan “High Alert” pada
setiap kemasan obat juga ditempel stiker tersebut. Penandaan obat High Alert
diberikan kepada obat dengan potensi apabila terjadi kesalahan pemberian terapi
maka akan menimbulkan sesuatu yang fatal ataupun obat yang memiliki resiko
terjadinya efek samping obat yang tidak diinginkan, Contoh obat High Alert yaitu
KCl 25 mEq, Dextrose 40%, Kalsium Glukonas, dll.
Obat yang mempunyai nama hampir sama, kemasan hampir sama dan
pengucapan hampir sama maka akan diberikan penandaan LASA (Look Alike Sound
Alike). Obat LASA diletakkan pada jolly box obat diberi striker “LASA”. Obat
LASA dengan pasangan diletakkan pada jolly box dengan diberi jarak minimal 1
jolly box untuk mencegah terjadinya kesalahan pengambilan obat, untuk obat yang
mempuyai 3 dosis diberikan latar warna berbeda pada stiker “LASA” yaitu warna
hijau (dosis rendah), warna kuning (dosis sedang), warna pink/merah (dosis tinggi).
Selain itu, penulisan obat “LASA” di jolly box dituliskan dengan TALLman Letter.
Obat yang termolabil atau tidak stabil dalam suhu ruangan disimpan dalam lemari es
dengan suhu yang dipersyaratkan yaitu suhu 2-8°C. Obat tersebut diletakkan pada
jolly box.
Obat-obat sitostatika juga disimpan secara terpisah dengan obat lain mengingat
efek dari obat ini yang berbahaya dan memerlukan APD khusus dalam
pengelolaannya. Berdasarkan peraturan, rumah sakit harus dapat menyediakan lokasi
penyimpanan obat emergensi untuk kondisi kegawatdaruratan. Tempat penyimpanan
harus mudah diakses dan terhindar dari penyalahgunaan dan pencurian. Di RS siloam
memiliki emergency troly sekita 15 yang tersebar dibeberapa ruangan keperawatan
dengan ketentuan jumlah dan jenis Obat sesuai dengan daftar Obat emergensi yang
telah ditetapkan dalam formularium RS; tidak tercampur dengan persediaan Obat
untuk kebutuhan lain; bila dipakai untuk keperluan emergensi harus segera diganti;
71

dicek secara berkala apakah ada yang kadaluwarsa; dan dilarang untuk dipinjam
untuk kebutuhan lain.
1V.1.6 Pendistribusian
PerMenKes No.72 Thn 2016 menekankan bahwa distribusi sediaan farmasi dari
tempat penyimpanan dalam hal ini gudang farmasi rumah sakit kepada unit
pelayanan/pasien dengan tetap menjamin mutu, stabilitas, jenis, jumlah, dan
ketetapan waktu, dimana rumah sakit harus menetapkan sistem tersendiri. Untuk RS.
Siloam Hospital makassar memiliki sistem distribusi sediaan farmasi sebagai berikut.
IV.1.6.1 Gudang Farmasi

Staf gudang Staf Gudang


Site Farmasi
merequest
Check request dan menyetujui request
mencocokkan stok
obat

Site farmasi Staf Gudang Staf Gudang


Penerimaan Pengantaran Penyiapan

Alur pendistribusian dari gudang ke site farmasi


Gudang farmasi memiliki perang penting dalam pengadaan sediaan farmasi
disetiap unit-unit farmasi di rumah sakit, dimana gudang farmasi menjaga agar
sediaan farmasi disetiap site farmasi tidak terjadi kekosongan obat. Maka dari itu
perlu menerapkan sistem perencanaan sampai penegendalian. Salah satu tahap yang
penting yaitu pendistribusian, seperti alur diatas merupakan proses pendistribusian
yang ada di rumah sakit siloam makassar, setiap site farmasi melakukan permintaan
barang di gudang, ada 2 jenis permintaan yaitu permintaan reguest (permintaan untuk
persediaan 2 minggu) dan defecta (permintaan untuk pemakaian harian). Setelah itu
staf gudang mencheck kesesuain request dengan persediaan barang digudang,
penyiapan dilakukan ketika request disetujui, kemudian staf gudang melakukan
pengantaran ke setiap site farmasi dengan memperhatikan kestabilan obat pada saat
penerimaan di site farmasi ketika ada obat yang penyimpanannya dibawah suhu maka
staf gudang menginformasikan ke staf farmasi yang bertugas di setiap site agar segera
72

di simpan sesuai suhu kestabilan. Tindakan ini salah satu hal yang penting karena
menjaga mutu dari obat, sesuai peraturan yang dikeluarkan oleh PerMenkes obat
yang diterima pasien harus terjaga khasiat dan mutunya.
IV.1.6.2 Inpatient Pharmacy Departement (IPD)
Inpatient Departement atau Depo Rawat Inap di rumah sakit siloam makassar
menggunakan sistem pendistribusian ODD (Once Daily Dispensing) karena sistem ini
memiliki keunggualan dibandingkan dengan sistem UDD (Unit Dose Dispensing)
terutama mencegah terjadinya medication eror pada saat pemberian obat dari perawat
ke pasien, mengurangi beban kerja tenaga kefarmasian, menghindari duplikasi
permintaan obat ke bagian farmasi, dan menghindari kehilangan obat. Obat yang
telah disiapkan berdasarkan sistem ODD dilakukan pengiriman melalui Aerocom
yang merupakan sistem distribusi secara modern yang lebih efektif dimana
mempercepat proses distribusi obat setiap ruangan perawatan sesuai dengan
permintaan resep dokter melalui Aerocom dan Fax. Hal ini merupakan bentuk
penerapan standar pelayanan kefarmasian di RS Siloam Hospitals makassar dengan
memperhatikan mutu pelayanan resep.
Selain mengirim obat untuk tiap lantai, IPD juga mendistribusikan ke site
farmasi lainnya ketika ada permintaan melalui SIM RS. Return dilakukan jika
terdapat obat yang tidak digunakan oleh pasien namun sudah disiapkan ODD.
IV.1.6.3 Outpatient Pharmacy Departement (OPD)
Outpatient Departement atau Depo Rawat Jalan di Rumah Sakit Siloam
Hospitals Makassar merupakan depo farmasi tipe sentral yang berpusat di instalasi
farmasi lt.1 yang melayani pasien BPJS, Asuransi dan Umum. Depo farmasi memiliki
2 satelit yang bertempat di lt.7 untuk pasien BPJS dan di lt.2 untuk pasien umum.
Selain mendistribusikan obat pada pasien, OPD juga mendistribusikan di unit farmasi
lain yang membutuhkan. Distribusi obat dilakukan berdasarkan E-Resep, sedangkan
untuk unit farmasi lain menggunakan sistem SIM-RS distribusi antar unit.
73

1V.1.7 Pemusnahan dan Penarikan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan dan Bahan
Medis Habis Pakai
Pemusnahan dilakukan untuk perbekalan farmasi yang sudah kadaluwarsa,
ataupun telah rusak dan tidak memenuhi persyaratan untuk digunakan dalam
pelayanan. RS. Siloam makassar baru 1 kali melakukan pemusnahan selama rumah
sakit tersebut berdiri, ini membuktikan bahwa RS. Siloam Makassar memiliki
management yang baik dalam pengelolaan perbekalan farmasi. Pemusnahan sediaan
farmasi, Alkes, BMHP harus dilaksanakan dengan cara yang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Berdasarkan PMK 72 tahun 2016, pemusnahan dilakukan bila:
a. produk tidak memenuhi persyaratan mutu
b. telah kadaluwarsa
c. tidak memenuhi syarat untuk dipergunakan dalam pelayanan kesehatan atau
kepentingan ilmu pengetahuan
d. dicabut izin edarnya.
Tahapan pemusnahan terdiri dari:
a. membuat daftar Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
yang akan dimusnahkan
b. menyiapkan Berita Acara Pemusnahan
c. mengoordinasikan jadwal, metode dan tempat pemusnahan kepada pihak terkait
d. menyiapkan tempat pemusnahan
e. melakukan pemusnahan disesuaikan dengan jenis dan bentuk sediaan serta
peraturan yang berlaku.
Penarikan sediaan farmasi yang tidak memenuhi standar/ketentuan peraturan
perundang-undangan dilakukan oleh pemilik izin edar berdasarkan perintah penarikan
oleh BPOM (mandatory recall) atau berdasarkan inisiasi sukarela oleh pemilik izin
edar (voluntary recall) dengan tetap memberikan laporan kepada Kepala BPOM.
Penarikan juga dilakukan terhadap perbekalan farmasi yang akan mendekati
Expired date yaitu sekitar 6 bulan sebelum ED. Penarikan tersebut dilakukan untuk
74

dikembalikan ke vendor. Waktu penarikan juga bergantung kesepakatan dengan


vendor, bila vendor telah sepakat untuk meretur barang pada periode waktu tertentu
(misal 3 bulan sebelum Expired Date) maka penarikan mengikuti waktu tersebut.

Identifikasi
Membuat Laporan Karantina Obat ED
Obat ED

Obat dikembalikan Menghubungi


ke Vendor Vendor

Alur retur ke vendor


IV.1.8 Pengendalian
Pengendalian obat dan alkes menggunakan sistem kartu stok. Pengendalian
manual menggunakan kartu stok dan SIM-RS untuk mengendalikan jumlah barang
yang tersimpan diunit dan sebagai bahan pertimbangan untuk perencanaan
permintaan barang. Pengendalian berdasarkan kartu stok manual yaitu melakukan
pencatatan keluar masuknya obat narkotika, psikotropika, prekursor dan obat-obat
tertentu yang dilakuan setiap hari. Sedangan pengendalian berdasarkan sistem, barang
masuk dan keluar diinput melalui SIM-RS yang memudahkan pendataan barang yang
tersedia. Pengendalikan juga dilakukan dengan melakukan stok opname, Stok
opname yang dilakukan 2 bulan sekali untuk internal instalasi farmasi, sedangkan
stok opname dengan staf finance dilakukan 6 bulan sekali, dimana SO dilakukan
dengan 2 orang, perhitungan diulang sebanyak 3 kali dengan orang yang berbeda,
tujuannya untuk mencegah kekeliruan dalam perhitungan. Stok opname bertujuan
untuk mencocokkan stok dengan sistem dan mengetahui jumlah yang dimiliki oleh
unit tersebut.
75

Memasukkan Memeriksa selisih


SO antara stok di sistem
quantity fisik hasil
2 Bulan Sekali dan stok di gudang
stok pada sistem

Hasil SO
Dilaporkan ke
HO Pharmacy
Alur Stok Opname
Selain itu pengendalian juga dilakukan pemantauan indikator mutu, seperti
pencatatan suhu ruang dan lemari es serta pemenuhan obat emergency.
1V.1.9 Administrasi
IV.1.9.1 Pencatatan dan pelaporan
Kegiatan pencatatan dan pelaporan dilakukan sebagai evaluasi terhadap sistem
dan kinerja yang berjalan di setiap depo farmasi dan sebagai pengendalian terhadap
perbekalan farmasi serta memudahkan penulusuran kegiatan yang sudah berlalu.
Pelaporan rutin bulanan instalasi farmasi RS. Siloam Hospitals Makassar seperti
pelaporan narkotika, psikotropika dan prekursor yang dilakukan oleh 1 orang sebagai
penanggung jawab untuk semua penggunaan obat narkotika, psikotropika dan
prekursor disetiap depo farmasi melalui halaman SIPNAP sebelum tanggal 10 di
bulan berikutnya serta adanya pencatatan harian untuk monitoring suhu ruangan dan
lemari pendingin serta kelembapan ruangan yang dilakukan 3 kali (tiap 8 jam) setiap
hari, sebagai tindakan monitoring jika suhu tidak sesuai dengan ketentuan maka
dilaporkan dibagian teknisi Rumah Sakit Siloam Hospitals Makassar.
IV. 2 Pelayanan Farmasi Klinik
Pelayanan farmasi rumah sakit merupakan salah satu kegiatan di rumah sakit
yang menunjang pelayanan kesehatan yang bermutu. Kegiatan pelayanan Farmasi di
Rumah Sakit Siloam Hospitals Makassar meliputi kegiatan farmasi klinik dan non
klinik.
76

Pada Kegiatan pelayanan farmasi klinik dilakukan oleh Bagian Farmasi


Rumah Sakit Siloam Hospitals Makassar sudah berjalan sesuai dengan Permenkes 72
tahun 2016 yang didukung oleh sumber daya manusia seperti tenaga profesi apoteker
dan tenaga teknis kefarmasian. Kegiatan pelayanan farmasi klinik yang telah berjalan
di Rumah Sakit Siloam Hospitals Makassar yaitu pengkajian dan pelayanan resep,
penelusuran riwayat penggunaan obat, rekonsiliasi obat, PIO, konseling, PTO, dan
MESO.
Pelayanan farmasi klinik di Rumah Sakit Siloam Makassar yang berupa
Pelayanan Informasi Obat (PIO) dilakukan dengan memberikan informasi mengenai
obat dan cara penggunaanya kepada pasien atau keluarganya yang mengambil atau
menebus obat di apotek, baik untuk rawat inap maupun rawat jalan dan kepada tenaga
kesehatan lainnya yang menanyakan informasi mengenai obat. Sedangkan untuk
kegiatan Komunikasi Informasi Edukasi (KIE) bagi pasien di Rumah Sakit Siloam
Hospitals Makassar yaitu dengan memberikan penjelasan mengenai cara penggunaan
obat yang benar atau pemasangan poster yang berisi informasi mengenai penyakit dan
pengobatannya. Kegiatan konseling juga telah mulai dilaksanakan kepada pasien
apotek BPJS, namun untuk kegiatan visite ke ruang rawat inap pasien bersama
dengan dokter belum dilakukan di Rumah Sakit Siloam Hospitals Makassar,
melainkan dokter dan apoteker melakukan visite secara terpisah.
BAB V
PENUTUP
V.1 Kesimpulan
Simpulan dari kegiatan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di Rumah
Sakit Siloam Hospitals Makassar adalah sebagai berikut:
1. Mahasiswa telah mengetahui permasalahan atau kendala yang terjadi dalam
menjalani penerapan tentang standar pelayanan kefarmasian di Rumah sakit
Siloam Hospitals Makassar.
2. Mahasiswa telah mengetahui dan memahami bagaimana pengelolaan sediaan
farmasi, alat Kesehatan, dan bahan medis habis pakai di Rumah sakit siloam
Hospitals Makassar
3. Mahasiswa telah mengetahui dan memahami tugas, peran, fungsi, serta tanggung
jawab Apoteker di Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) Rumah Sakit Siloam
Hospitals Makassar yang memegang peranan penting di Instalasi Farmasi Rumah
Sakit.
4. Mahasiswa calon Apoteker mampu memperoleh pengetahuan dan keterampilan
tentang organisasi, tugas, fungsi dan kegiatan di Instalasi Farmasi Rumah Sakit.
V.2 Saran
1. Rumah Sakit Siloam Hospitals Makassar
Disarankan rumah sakit untuk meningkatkan sumber daya manusia mengingat
jumlah kunjungan pasien setiap harinya cukup tinggi.
2. Instalasi Farmasi Rumah Sakit
Perlunya mengoptimalkan peran dan fungsi farmasis di rumah sakit dalam
rangka meningkatkan pelayanan kefarmasian dalam pelayanan farmasi klinik serta
penambahan sumber daya manusia terutama jumlah apoteker dan tenaga teknis
kefarmasian khususnya pelayanan farmasi klinis.

77
78

DAFTAR PUSTAKA

Astuti, A. (2014). Kajian pengelolaan limbah di Rumah Sakit Umum Provinsi Nusa
Tenggara Barat. Journal Community Health. 2(1).

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2010. Peraturan Menteri Kesehatan


Republik Indonesia Nomor 340/Menkes/Per/III/2010 Tentang Klasifikasi
Rumah Sakit. Jakarta

Djide Natsir. 2014. Farmasi Rumah Sakit. Fakultas Farmasi, Universitas Hasanuddin.

Kementerian Kesehatan RI. 2009. Undang- Undang Republik Indonesia No.44


Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit. Departemen Kesehatan RI: Jakarta

Kementerian Kesehatan RI. 2016. Peraturan Menteri Kesehatan Republik


Indonesia Nomor 72 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di
Rumah Sakit. Departemen Kesehatan RI: Jakarta.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (2015). Peraturan Menteri Lingkungan


Hidup dan Kehutanan Nomor P.56 Tahun 2015 tentang Tata Cara dan
Persyaratan Teknis Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun dari
Fasilitas Pelayanan Kesehatan. Jakarta : MenLHK.

Menteri Kesehatan. 2020. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor


HK.01.07/MENKES/200/2020 tentang Pedoman Penyusunan Formularium
Rumah Sakit. Jakarta: Menkes.

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 72 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan


Kefarmasian di Rumah Sakit

Pertiwi, V. (2017) Evaluasi pengelolaan limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun (B3)
di Rumah Sakit Roemani Muhammadiyah Semarang. Jurnal Kesehatan
Masyarakat 5(3), ISSN: 23P.56-3346.

Riyanto. 2013. Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun. Yogyakarta: Deepublish

Rusli. 2016. Farmasi Rumah Sakit dan Klinik. Pusdik SDM Kesehatan. Makassar.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

World Health Organization (WHO). 2003. Kesehatan Mental dalam Kedaruratan.


WHO/MSD/MER/03.01.
79

LAMPIRAN

Lampiran 1. Alur Pelayanan Inpatient Pharmacy Department

Periksa Fax IMR/Resep Pulang

Lakukan Review dan periksa kelengkapan resep, lakukan intervensi ke dokter (jika perlu)
Tanggal resep, nama obat, jumlah, dosis, aturan pakai, alergi obat, tulisan tidak jelas,
ditemukan DRP, obat kosong

Masukkan harga ke system dan beri harga (Paraf pada huruf “H” dan Billing Sheet)

Cetak Etiket obat sesuai petunjuk pada Resep (Paraf pada huruf “T” dan Etiket Obat)

Siapkan obat, pastikan obat diambil dengan benar (cek Expire date)

Kemas obat ke dalam wadah yang sesuai

Tempelkan etiket obat sesuai dengan obat yang dikemas

Lakukan Pemeriksaan oleh dua orang, cek kesesuaian antara IMR/Resep


Pulang, obat, dan Billing obat (paraf pada huruf “K”)

Kirim/Serah Terima obat ke Bangsal (Paraf pada huruf “P”)

Apoteker Klinis Memberikan KIE ke Ruang Perawatan untuk pasien khusus


(Pasien yang menggunakan obat insulin, pasca operasi, pasien pulang, dll.)
80

Billing Sheet di Tanda Tangani oleh Perawat saat menerima Resep

IMR/Resep Pulang dan Billing Sheet dimasukkan dalam File Paien


81

Lampiran 2. Alur Pelayan Resep Outpatient Pharmacy Department (OPD)

Terima resep dan berikan nomor antrian

Lakukan identifikasi pasien dengan menggunakan


nama dan tanggal lahir pasien

Lakukan review dan periksa kelengkapan resep, lakukan intervensi ke dokter jika diperlukan

Masukkan harga ke sistem dan beri harga (paraf huruf “H”)

Cetak etiket obat sesuai petunjuk resep (paraf huruf “T”)

Siapkan obat dan pastikan obat yang diambil benar diambil


benar (cek ED)

Kemas obat ke dalam wadah yang sesuai

Periksa kesesuaian antara resep, obat dan billing obat (paraf huruf “K”)

Panggil pasien menggunakan nomor antrian

Lakukan identifikasi menggunakan nama dan tanggal lahir pasien


82

Serahkan obat ke pasien disertai informasi obat (paraf huruf “P”)

Minta tanda tangan dan no. Telp pada lembar resep

Anda mungkin juga menyukai