Anda di halaman 1dari 59

PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER (PKPA)

FARMASI PERAPOTEKAN

PELAYANAN RESEP
DI APOTEK KIMIA FARMA PETTARANI
GELOMBANG I
PERIODE 01 SEPTEMBER – 30 SEPTEMBER 2021

MUH AFDI TAUFIQ FURQANI ARIEF


N014202098

SEMESTER AWAL 2021/2022


PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2021
LEMBAR PENGESAHAN

PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER (PKPA)


FARMASI PERAPOTEKAN

PELAYANAN RESEP
DI APOTEK KIMIA FARMA PETTARANI
GELOMBANG I
PERIODE 01 SEPTEMBER – 30 SEPTEMBER 2021

MUH AFDI TAUFIQ FURQANI ARIEF


N014202098

Mengetahui, Menyetujui,
Koordinator PKPA Farmasi Pembimbing PKPA Farmasi
Perapotekan Perapotekan
Program Studi Profesi Apoteker Program Studi Profesi Apoteker
Fakultas Farmasi Fakultas Farmasi
Universitas Hasanuddin Universitas Hasanuddin

Dr. Aliyah, M.S., Apt. Sumarheni, S.Si., M.Sc., Apt.


NIP. 19570704 198603 2 001 NIP. 19811007 200812 2 001

Makassar, Oktober 2021


KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah swt yang telah melimpahkan rahmat serta hidayah-
Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan kegiatan Praktik Kerja
Profesi Apoteker (PKPA) Farmasi Perapotekan di Apotek Kimia Farma Pettarani
Makassar, dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan untuk menyelesaikan
studi pada Program Studi Profesi Apoteker (PSPA) di Fakultas Farmasi
Universitas Hasanuddin.

Penulis menyadari bahwa selama melaksanakan kegiatan PKPA ini,


terdapat tantangan yang dihadapi. Namun berkat adanya bantuan dan doa dari
berbagai pihak, sehingga penulis mampu menyelesaikan rangkaian kegiatan
selama PKPA hingga saat ini. Oleh sebab itu, penulis secara khusus mengucapkan
terima kasih kepada Ibu Sumarheni, S.Si. M.Sc., Apt. sebagai pembimbing teknis
PKPA Farmasi Perapotekan, Bapak Drs. Muh. Akbar Asis, S.Si., M.Kes., Apt.
selaku manager dari apotek Kimia Farma Pettarani yang telah memberi
kesempatan kepada penulis untuk senantiasa menggali ilmu selama pelaksanaan
PKPA Perapotekan, juga kepada koordinator PKPA Farmasi Perapotekan
Program Studi Profesi Apoteker Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin.

Penulis juga menyampaikan banyak terima kasih kepada kedua orang tua
dan saudara yang senantiasa memberi dukungan kepada penulis, serta kepada
apoteker penanggung jawab apotek, seluruh asisten apoteker dan pegawai Apotek
Kimia Farma Pettarani yang telah membantu penulis selama melaksanakan PKPA
ini.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan sehingga laporan ini jauh
dari kesempurnaan. Penulis berharap semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi
kita semua.

Makassar, 2021

Muh Afdi Taufiq Furqani Arief


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR iii


DAFTAR ISI v
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vii
DAFTAR LAMPIRAN viii
BAB I PENDAHULUAN 1
I.1 Latar Belakang 1
I.2 Tujuan Pelayanan Resep 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3
II.1 Tinjauan Umum Apotek 3
II.2 Apoteker 7
II.3 Standar Pelayanan Kefarmasian
II.4 Penggolongan Obat 19
BAB III PELAYANAN RESEP DI APOTEK 32
III.1 Resep 32
III.2 Skrining Resep 33
III.3 Uraian Obat 42
III.4 Penyiapan Obat 49
III.5 Etiket dan Salinan Resep 50
III.6 Penyerahan Obat 51
IV PENUTUP 53
IV.1 Kesimpulan 53
IV.2 Saran 53
DAFTAR PUSTAKA 54
LAMPIRAN 57
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Skrining administratif resep 33


DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Logo obat bebas 20


Gambar 2. Logo obat bebas terbatas 20
Gambar 3. Peringatan pada obat bebas terbatas 21
Gambar 4. Logo obat keras 21
Gambar 5. Logo obat narkotika 24
Gambar 6. Logo obat jamu 30
Gambar 7. Logo obat herbal terstandar 30
Gambar 8. Logo obat fitofarmaka 31
Gambar 9. Resep 49
Gambar 10. Etiket Obat R/ 1 50
Gambar 11. Etiket Obat R/ 2 50
Gambar 12. Copy Resep 51
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Contoh Form Surat Pesanan Narkotika 57


Lampiran 2. Contoh Form Surat Pesanan Narkotika 58
Lampiran 3. Contoh Form Surat Pesanan Prekursor 59
Lampiran 4. Contoh Form Pelaporan Narkotika 60
Lampiran 5. Contoh Form Pelaporan Psikotropika 61
1

BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Pelayanan resep merupakan salah satu pelayanan kefarmasian di apotek
yang mempunyai peranan strategis dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat. Dimana resep merupakan permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi,
dokter hewan dan prakitisi lain yang memiliki izin kepada apoteker pengelola
apotek untuk menyediakan, membuat obat dan menyerahkannya kepada pasien.
Pelayanan resep di apotek saat ini harus berubah orientasi dari drug oriented
menjadi patient oriented yang tadinya hanya berfokus pada pengelolaan obat
sebagai komoditi berubah menjadi pelayanan yang komprehensif dan bertujuan
untuk meningkatkan kualitas hidup pasien (Bogadenta, A, 2012).
Untuk menjamin mutu pelayanan kefarmasian di masyarakat, telah
dikeluarkan standar pelayanan kefarmasian di apotek menurut Peraturan Menteri
Kesehatan RI No. 73 Tahun 2016 dimana meliputi pengelolaan sediaan farmasi,
alat kesehatan, bahan medis habis pakai, dan pelayanan farmasi klinik. Standar
pelayanan farmasi klinik yang terdiri dari kegiatan pengkajian resep, dispensing,
pelayanan informasi obat, konseling dengan pasien, pelayanan kefarmasian di
rumah sakit, pemantauan terapi obat, serta monitoring efek samping obat
(PerMenKes, No.73, 2016).
Salah satu kegiatan yang dilakukan dalam standar pelayanan farmasi klinik yaitu
kegiatan pengkajian resep yang dilakukan di apotek. Skrining resep diperlukan
salah satunya untuk meninjau kelengkapan resep, menganalisis rasionalitas, dan
kesesuaian pengobatan yang diberikan untuk menjamin keamanan obat dan
menghindari efek yang tidak diinginkan pasien. Hal tersebut berakibat pada
pemborosan biaya, ketidakrasionalan penggunaan obat juga meningkatkan risiko
terjadinya efek samping. Dampak negatif penggunaan obat yang tidak rasional
sangat beragam dan bervariasi tergantung dari jenis ketidakrasionalan

1
penggunaannya. Dampak negatif ini dapat saja hanya dialami oleh pasien (efek
samping dan biaya yang mahal) maupun oleh populasi yang lebih luas (resistensi
kuman terhadap antibiotika tertentu) dan mutu pelayanan pengobatan secara
umum (PerMenKes, No.51, 2009).
Untuk mengatasi masalah penggunaan obat yang tidak rasional diperlukan
beberapa upaya perbaikan, baik di tingkat pembuat resep, penyerah obat, dan
pasien/masyarakat, hingga sistem kebijakan obat nasional. Masih kurang
tertatanya sistem informasi pengobatan ke pasien menjadi salah satu masalah
dalam proses terapi (PerMenKes, No.51, 2009).
Berdasarkan hal tersebut, laporan pelayanan resep disusun untuk
melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat untuk menyelesaikan
program studi profesi apoteker. Praktik kerja profesi apoteker (PKPA) yang
dilakukan untuk melatih dan meningkatkan kemampuan mahasiswa profesi
apoteker dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan secara menyeluruh terutama
pelayanan kefarmasian serta melaksanakan perannya dalam menjalankan tugas
sebagai pusat informasi obat sehingga mampu berkompeten.
I.2 Tujuan
Adapun tujuan dari pelayanan resep adalah memberikan kesempatan kepada calon
apoteker agar dapat :
1. Mengetahui tahapan-tahapan atau alur dalam pelayanan resep
2. Meningkatkan keterampilan dan sikap dalam pelayanan resep di apotek
mulai dari penerimaan resep hingga penyerahan obat kepada pasien
3. Mengetahui cara berkomunikasi yang baik kepada pasien dalam hal yang
berkaitan dengan obat sehingga dapat dimengerti oleh pasien
4. Mampu mengidentifikasi, mencegah dan mengatasi masalah yang
berkaitan dengan resep untuk meminimalkan terjadinya medication error
2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Definisi, Tugas dan Fungsi Apotek


II.1.1 Definisi Apotek
Apotek merupakan salah satu fasilitas kefarmasian tempat dilakukannya
praktek/pekerjaan kefarmasian oleh apoteker. Pelayanan kefarmasian yang
dimaksud adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien
yang berkaitan dengan sediaan farmasi (obat, bahan obat, obat tradisional dan
kosmetik) dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu
kehidupan pasien. Dalam penyelenggaraannya, apotek menjalankan fungsi
pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai dan
pelayanan farmasi klinik, termasuk di komunitas (PMK RI No. 73, 2016; PMK RI
No. 9, 2017).
Berdasarkan peraturan pemerintah (PP) No.51 tahun 2009 apotek adalah
sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktik kefarmasian oleh
apoteker. Praktik kefarmasian yang dimaksud sesuai dengan pekerjaan
kefarmasian yaitu pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi,
pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi atau penyaluranan obat,
pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat,
serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional (PerMenkes, No.51,
2009).
II.1.2 Tugas dan Fungsi Apotek
Peraturan Pemerintah No.51 tahun 2009 menyebutkan tugas dan fungsi apotek
adalah:
1. Sebagai tempat pengabdian profesi seorang apoteker yang telah
mengucapkan sumpah jabatan.
2. Sebagai sarana farmasi tempat dilakukannya pekerjaan kefarmasian.
3. Sarana yang digunakan untuk memproduksi dan distribusi sediaan farmasi

2
3

antara lain obat, bahan obat, obat tradisional, kosmetika.


4. Sebagai sarana pelayanan informasi obat dan perbekalan farmasi lainnya
kepada tenaga kesehatan lain dan masyarakat, termasuk pengamatan dan
pelaporan mengenai khasiat, keamanan, bahaya dan mutu obat.
5. Sarana pembuatan dan pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan,
pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi atau penyaluran obat,
pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi
obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional (DEPKES
RI, 2009).
Peraturan Menteri Kesehatan no. 9 Tahun 2017 tentang Apotek Pasal 16
menjelaskan bahwa apotek menyelenggarakan fungsi sebagai pengelola sediaan
farmasi, alat kesehatan dan Bahan Medis Habis Pakai dan pelayanan farmasi
klinik termasuk di komunitas.

II.2 Apoteker
II.2.1 Definisi Apoteker
Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai apoteker dan telah
mengucapkan sumpah jabatan apoteker (PERMENKES, 2016). Apoteker
pengelola Apotek (APA) adalah apoteker yang telah diberi surat izin apotek
(SIA). Apoteker pengelola apotek harus memenuhi persyaratan yang sudah
ditentukan:
1. Persyaratan administrasi:
a. Memiliki ijazah dari institusi pendidikan farmasi yang terakreditasi.
b. Memiliki Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA).
c. Memiliki sertifikat kompetensi yang masih berlaku.
d. Memiliki Surat Izin Praktik Apoteker (SIPA)
2. Menggunakan atribut praktik antara lain baju praktik, tanda pengenal.
3. Wajib mengikuti pendidikan berkelanjutan/continuing Professional
Development (CPD) dan mampu memberikan pelatihan yang
berkesinambungan.
4. Apoteker harus mampu mengidentifikasi kebutuhan akan pengembangan

3
4

diri, baik melalui pelatihan, seminar, workshop, pendidikan berkelanjutan


atau mandiri.
5. Harus memahami dan melaksanakan serta patuh terhadap peraturan
perundang-undangan, sumpah Apoteker, standar profesi (standar
pendidikan, standar pelayanan, standar kompetensi dan kode etik) yang
berlaku.(PERMENKES, 2016)
II.2.2 Apoteker Pengelola Apotek
Apoteker pengelola apotek adalah apoteker yang diberi Surat Izin Apotek
(SIA) dan dalam profesinya dapat dibantu oleh asisten apoteker dan apoteker
pedamping dan/atau tenaga administrasi dalam menyelenggarakan apotek
(PERMENKES, 2017). Apoteker pengelola apotek dapat didampingi oleh
apoteker pendamping yang juga dapat menggantikan apoteker pengelola apotek
dalam melaksanakan pelayanan kefarmasian (DEPKES, 2009).
Apoteker pengelola apotek (APA) yang berhalangan melakukan tugasnya
pada jam buka apotek harus menunjuk apoteker pendamping. Apabila apoteker
pengelola apotek dan apoeker pendamping berhalangan melakukan tugasnya
karena hal-hal tertentu maka apoteker pengelola apotek harus menunjuk apoteker
pengganti. Apoteker pengganti adalah apoteker yang menggantikan apoteker
pengelola apotek selama apoteker pengelola apotek tersebut tidak berada di
tempat lebih dari tiga bulan secara terus menerus dan telah memiliki surat izin
kerja serta tidak bertindak sebagai apoteker pengelola apotek di apotek lain
(KEPMENKES, 2002). Apabila apoteker pengelola apotek berhalangan hadir
melakukan tugasnya lebih dari 2 tahun secara terus menerus surat izin apoteker
atas nama apoteker bersangkutan dicabut (KEPMENKES, 2002).

II.3. Standar Pelayanan Kefarmasian


Standar Pelayanan Kefarmasian adalah tolak ukur yang dipergunakan sebagai
pedoman bagi tenaga kefarmasian dalam menyelenggarakan pelayanan
kefarmasian. Pelayanan Kefarmasian di Apotek meliputi 2 (dua) kegiatan, yaitu
kegiatan yang bersifat manajerial berupa pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai dan pelayanan farmasi klinik. Kegiatan

4
5

tersebut harus didukung oleh sumber daya manusia, sarana dan prasarana
(PERMENKES, 2016).
Pengaturan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bertujuan untuk:
a. Meningkatkan mutu Pelayanan Kefarmasian
b. Menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian; dan
c. Melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan obat yang tidak
rasional dalam rangka keselamatan pasien (patient safety). (PERMENKES,
2016).
Standar pelayanan kefarmasian menurut permenkes no.73 tahun 2016
mempunyai 4 parameter:
A. Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai.
Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai
dilakukan sesuai undang-undang yang berlaku meliputi:
1. Perencanaan
Dalam membuat perencanaan perlu memperhatikan pola penyakit,
pola konsumsi, budaya dan kemampuan masyarakat.
2. Pengadaan
Untuk menjamin kualitas pelayanan maka pengadaan sediaan
farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai harus melalui
jalur resmi.
3. Penerimaan
Untuk menjamin kesesuaian maka kegiatan penerimaan harus
memperhatikan kesesuaian yang tertera dalam surat pesanan dengan
kondisi fisik yang diterima.
4. Penyimpanan
a. Obat/bahan obat harus disimpan dalam wadah asli pabrik kecuali
jika harus dipindahkan ke wadah lain maka wadah baru harus
memuat informasi obat.
b. Semua obat/bahan obat harus disimpan pada kondisi sesuai.
c. Tempat penyimpanan obat tidak dipergunakan untuk menyimpan
barang lainnya yang menyebabkan kontaminasi.

5
6

d. Penyimpanan dilakukan secara alfabetis dengan memperhatikan


bentuk sediaan dan kelas terapi obat.
e. Pengeluaran obat memakai sistem FIFO (first in first out) dan
FIFO (first expire first out).
5. Pemusnahan dan penarikan
a. Obat kadaluarsa atau rusak harus dimusnahkan sesuai jenis dan
bentuk sediaan.
b. Resep yang telah disimpan melebihi 5 tahun dapat dimusnahkan
oleh apoteker dengan disaksikan oleh petugas lain di apotek.
c. Pemusnahan dan penarikan sediaan farmasi dan bahan medis
habis pakai yang tidak dapat digunakan harus dilaksanakan
dengan cara yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
d. Penarikan sediaan farmasi yang tidak memenuhi
standar/ketentuan peraturan perundang-undangan dilakukan oleh
pemilik izin edar.
e. Penarikan alat kesehatan dan bahan medis habis pakai dilakukan
terhadap produk yang izin edarnya dicabut oleh menteri.
6. Pengendalian
Pengendalian dilakukan untuk mempertahankan jenis dan jumlah
persediaan sesuai kebutuhan pelayanan untuk menghindari terjadinya
kelebihan, kekurangan, kekosongan, kerusakan kadaluarsa,
kehilangan da pengembalian pesanan.
7. Pencatatan dan pelaporan
Pencatatan dilakukan pada setiap proses pengelolaan sediaan
farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai meliputi
pengadaan, penyimpanan, penyerahan dan pencatatan lainnya sesuai
kebutuhan. Pelaporan terdiri dari pelaporan internal dan eksternal.
B. Pelayanan farmasi klinik
Kegiatan farmasi klinik di apotek meliputi:
1. Pengkajian dan pelayanan resep

6
7

Kegiatan pegkajian resep meliputi administrasi, kesesuaian farmasetik


dan pertimbangan klinis.
2. Dispensing
Dispensing terdiri dari penyiapan, penyerahan dan pemberian infromasi
obat.
3. Pelayanan Informasi Obat
Pelayanan informasi obat atau PIO merupakan kegiatan yang dilakukan
oleh apoteker dalam pemberian informasi mengenai obat kepada profesi
kesehatan lain pasien atau masyarakat.
4. Konseling
Konseling adalah proses interaktif antara apoteker dengan
pasien/keluarga pasien untuk meningkatkan kepatuhan, kesadaran,
pengetahuan dan pemahaman sehingga terjadi perubahan perilaku dalam
menggunakan obat dan menyelesaikan masalah pasien.
5. Pelayanan kefarmasian di rumah (home pharmacy care)
Apoteker diharapkan dapat memberikan layanan kunjungan rumah
khususnya untuk lansia dan pasien dengan pengobatan kronis.
6. Pemantauan terapi obat (PTO)
Proses pemastian bahwa pasien mendapatkan terapi obat yang efektif
dan terjangkau.
7. Monitoring efek samping obat (MESO)
Kegiatan pemantauan setiap respon obat pada dosis normal yang
merugikan atau tidak diharapkan.
C. Sumber daya kefarmasian
1. Sumber daya manusia
Apoteker harus memenuhi kriteria:
a. Persyaratan administrasi
b. Menggunakan atribut praktik
c. Wajib mengikuti pendidikan berkelanjutan
d. Apoteker harus mampu mengidentifikasi kebutuhan akan
pengembangan diri

7
8

e. Harus memahami dan melaksanakan serta petuh terhadap peraturan


2. Sarana dan prasarana
Sarana-prasarana yang diperlukan untuk menunjang pelayanan
kefarmasian di apotek meliputi:
a. Ruang penerimaan resep
b. Ruang pelayanan resep dan peracikan
c. Ruang penyerahan obat
d. Ruang konseling
e. Ruang penyimpanan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan
medis habis pakai
f. Ruang arsip
D. Evaluasi mutu pelayanan kefarmasian
Evaluasi mutu di apotek dilakukan terhadap:
1. Mutu manajerial
a. Metode evaluasi
 Audit
 Review
 Observasi
b. Indikator evaluasi mutu
 Kesesuaian proses terhadap standar
 Efektifitas dan efisiensi
2. Mutu pelayanan farmasi klinik
a. Metode evaluasi mutu
 Audit
 Review
 Survei
 Observasi
b. Indikator evaluasi mutu
 Pelayanan farmasi klinik diusahakan zero deffect dari
medication error

8
9

 Standar prosedur operasional


 Lama waktu pelayanan resep
 Keluaran pelayanan kefarmasian secara klinik.
II.4 Penggolongan Obat
Golongan obat adalah penggolongan yang bertujuan untuk meningkatan
keamanan dan ketepatan penggunaan serta pengamanan distribusi yang terdiri
dari obat bebas, obat bebas terbatas, obat wajib apotek, obat keras, psikotropika
dan narkotika.
II.4.1 Obat Bebas
Obat bebas adalah obat yang bebas dijual di pasaran dan dapat dibeli
tanpa resep dokter. Obat ini digunakan untuk mengobati gejala penyakit yang
ringan. Penandaan khusus lingkaran hijau dengan garis tepi berwarna hitam
terdapat pada kemasan dan etiket obat bebas. Ukuran lingkaran tanda khusus obat
bebas disesuaikan dengan ukuran dan desain etiket wadah dan bungkus luar
dengan ukuran diameter lingkaran luar dan tebal garis tepi yang proporsional,
berturut-turut minimal 1 cm dan 1 mm. Penandaan dari golongan obat bebas dapat
dilihat pada gambar 1.

Gambar 1. Logo obat bebas


Sumber: Ditjen Binfar dan Alkes DepKes RI Tahun 2017

II.4.2 Obat Bebas Terbatas

Obat bebas terbatas adalah obat yang sebenarnya termasuk obat keras
tetapi masih dapat dijual atau dibeli bebas tanpa resep dokter. Tanda khusus pada
kemasan dan etiket obat bebas terbatas adalah lingkaran biru dengan garis tepi
berwarna hitam. Contoh obat bebas terbatas yaitu Antimo®, Combantrin®, dan
Rohto®.

9
10

Gambar 2. Logo obat bebas terbatas


Sumber: Ditjen Binfar dan Alkes DepKes RI Tahun 2017

Kemasan obat bebas terbatas selalu mencantumkan tanda peringatan


berupa empat persegi panjang berwarna hitam berukuran panjang 5 (lima)
sentimeter, lebar 2 (dua) sentimeter dan memuat pemberitahuan berwarna putih
sebagai berikut :
 P1: Awas! Obat keras. Bacalah aturan memakainya.
Contoh : tablet Decolgen®, Neozep®, CTM®, Antimo®, Ultraflu®, Proris® dan
Fatigon®.
 P2: Awas! Obat keras. Hanya untuk kumur, Jangan ditelan.
Contoh : obat kumur Minosep®, Betadine®, Enkasari® dan Isodine
Mundipharma®.
 P3: Awas! Obat keras. Hanya untuk bagian luar badan.
Contoh : Peditox®, Rohto® (tetes mata), Neo Ultrasiline® (krim) dan
Kalpanax® (krim dan salep).
 P4: Awas! Obat keras. Hanya untuk dibakar.
Contoh : Sigaret Astma
 P5: Awas! Obat keras. Tidak boleh ditelan.
Contoh : Bufacetin® (salep), Bufacort® (krim), Bravoderm® (krim) dan
Sulfanilamide® (bubuk steril).
 P6: Awas! Obat keras. Obat wasir. Jangan ditelan.
Contoh : supositoria Laxarec® dan Dulcolax®.

10
11

Gambar 3. Peringatan pada obat bebas terbatas


Sumber: Ditjen Binfar dan Alkes DepKes RI Tahun 2017

(Ditjen Binfar dan Alkes DepKes RI, 2007)

II.1.3 Obat Keras


Obat keras adalah obat yang hanya dapat dibeli di apotek dengan resep
dokter. Tanda khusus pada kemasan dan etiket adalah huruf K dalam lingkaran
merah dengan garis tepi berwarna hitam. Contoh obat keras yaitu Ponstan®,
Dexa-M®, dan Super Tetra® (Ditjen Binfar dan Alkes DepKes RI, 2007).

Gambar 4. Logo obat keras


Sumber: Ditjen Binfar dan Alkes DepKes RI Tahun 2017

II.1.4 Obat Wajib Apotek


Obat wajib apotek (OWA) adalah obat keras yang dapat diserahkan oleh
apoteker kepada pasien di apotek tanpa resep dokter. Obat yang dimaksud
merupakan obat yang termasuk dalam daftar obat wajib apotek yang ditetapkan
oleh Menteri Kesehatan. Apoteker di apotek dalam melayani pasien yang
memerlukan obat wajib apotek diwajibkan untuk (Kemenkes RI No. 347, 1990) :
1. Memenuhi ketentuan dan batasan tiap jenis obat per pasien yang disebutkan
dalam obat wajib apotik yang bersangkutan
2. Membuat catatan pasien serta obat yang telah diserahkan
3. Memberi informasi meliputi dosis dan aturan pakainya, kontraindikasi, efek
samping dan lain-lain yang perlu diperhatikan oleh pasien
Selain itu, apoteker perlu mempertimbangkan beberapa kriteria sebelum
menyerahkan obat wajib apotek, seperti (PMK RI No. 919, 1993) :
1. Tidak dikontraindikasikan bagi wanita hamil, anak di bawah usia 2 tahun
dan orang tua di atas 65 tahun
2. Pengobatan sendiri dengan obat dimaksud tidak memberikan risiko pada
kelanjutan penyakit
3. Penggunaannya tidak memerlukan cara dan/atau alat khusus yang harus

11
12

dilakukan oleh tenaga kesehatan


4. Penggunaannya diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di
Indonesia
5. Obat yang dimaksud memiliki rasio khasiat keamana yang
dapat dipertanggung hawabkan untuk pengobatan sendiri
Obat wajib apotek (OWA) dibagi menjadi 3 (tiga) berdasarkan tahun
dikeluarkannya regulasi yang mengatur obat-obat tersebut, yaitu :
1. Obat wajib apotek No.1 diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan No.
347/Menkes/SK/VII/1990. Contohnya adalah metoklopramid, salbutamol, dan
asam mefenamat. Pada tahun 1993 OWA No.1 mengalami perubahan yang
diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan No. 925/MENKES/PER/X/1993,
dimana terdapat beberapa OWA yang diubah menjadi obat bebas terbatas,
seperti hexetidine, bromheksin, mebendazol dan lain-lain.
2. Obat wajib apotek No. 2 diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan No.
924/MENKES/PER/X/1993. Contohnya seperti bismuth subsalisilat,
deksametason, omeprazole dan lain-lain.
3. Obat wajib apotek No. 3 diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan No.
1176/Menkes/SK/X/1999. Contohnya seperti alopurinol, siproheptadin,
orsiprenalin, dan lain-lain.
Regulasi terbaru yang dikeluarkan oleh pemerintah mengatur tentang
Perubahan, Penggolongan, Pembatasan, dan Kategori Obat termasuk di dalamnya
beberapa obat wajib apotek. Hal ini menyebabkan beberapa OWA yaitu
asetilsistein, piroksikam, famotidine, ranitidine dan cetirizine berubah menjadi
obat bebas terbatas (PMK RI No.3, 2021).
II.1.5 Psikotropika dan Narkotika
II.1.5.1 Psikotropika
Obat psikotropika adalah obat keras baik alamiah maupun sintetis bukan
narkotik. Obat ini memiliki khasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada
susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan
perilaku. Berdasarkan potensi dalam menyebabkan sindrom ketergantungan, obat
psikotropika dibedakan menjadi (UU RI No. 5, 1997) :

12
13

1. Psikotropika golongan I, adalah zat psikotropika yang hanya dapat digunakan


untuk ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai
potensi amat kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan.
Contoh : Cathione dan LSD.
2. Psikotropika golongan II, adalah zat psikotropika yang berkasiat pengobatan
dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan
serta mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan.
Contoh : Metilfenidat, Secobarbital dan Amineptine.
3. Psikotropika golongan III, adalah zat psikotropika yang berkasiat pengobatan
dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan
serta mempunyai potensi sedang mengakibatkan sindroma ketergantungan.
Contoh : Amobarbital dan Pentobarbital.
4. Psikotropika golongan IV, adalah zat psikotropika yang berkasiat pengobatan
dan sangat luas digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu
pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan sindroma
ketergantungan.
Contoh: Diazepam, Fenobarbital dan Klordiazepoksid.
Selain pengaturan penggolongan di atas, masih terdapat psikotropika
lainnya yang tidak mempunyai potensi mengakibatkan sindroma ketergantungan,
tetapi digolongkan sebagai obat keras.

II.1.5.2 Narkotika
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan
atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan
rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan (UU RI No. 35, 2009).

Gambar 5. Logo obat narkotika


Sumber: Ditjen Binfar dan Alkes DepKes RI Tahun 2017

13
14

Berdasarkan potensi terjadinya ketergantungan, narkotika dibagi


menjadi beberapa golongan yaitu (PMK RI No. 20, 2018) :
1. Narkotika golongan I, adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk
tujuan pengembangan ilmu pengetahuan, sebagai reagensia diagnostic
maupun reagensia laboratorium secara terbatas dan tidak digunakan dalam
terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.
Contoh: Opium, Kokain, dan Heroin.
2. Narkotika golongan II adalah narkotika berkhasiat pengobatan digunakan
sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk
tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi
mengakibatkan ketergantungan. Contoh: Difenoksin, Morfin, dan Petidin.
3. Narkotika golongan III, adalah narkotika berkhasiat pengobatan dan banyak
digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu
pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan.
Contoh: Kodein, Propiram, dan Buprenorfina.
II.1.5.3 Pengelolaan Psikotropika dan Narkotika di Apotek
Pengelolaan psikotropika dan narkotika di apotek yang diatur
berdasarkan regulasi, meliputi (PMK RI No. 3, 2015; PerBPOM No. 4, 2018) :
1. Pengadaan
Pengadaan dalam hal ini pemesanan baik psikotropika maupun narkotika
hanya dapat dilakukan berdasarkan:
a. Surat pesanan (SP) khusus psikotropika atau khusus narkotika dari
Apoteker Penanggung Jawab Apotek
b. Surat pesanan harus terpisah dari pesanan obat lain. Khusus untuk
narkotika, 1 (satu) surat pesanan hanya dapat digunakan untuk satu jenis
dengan satu kekuatan/dosis narkotika
c. Surat pesanan dibuat minimal 3 (tiga) rangkap
d. Narkotika hanya dapat dipesan melalui PBF resmi yang memiliki izin
khusus menyalurkan narkotika, yaitu Kimia Farma
2. Penerimaan
Penerimaan psikotropika dan narkotika harus berdasarkan faktur pembelian

14
15

yang dilakukan oleh Apoteker Penanggung Jawab Apotek. Bila berhalangan,


penerimaan dapat didelegasikan pada tenaga kefarmasian lain dilengkapi surat
pendelegasian. Bila dinyatakan sesuai, maka faktur ditandatangani oleh
Apoteker Penanggung Jawab atau tenaga kefarmasian yang didelegasikan.
3. Penyimpanan
Tempat penyimpanan psikotropika dan narkotika harus dapat menjaga agar
keamanan, khasiat dan mutu tetap terjaga. Penyimpanan dilakukan di lemari
khusus yang terbuat dari bahan yang kuat masing-masing untuk narkotika dan
psikotropika yang mempunyai 2 (dua) buah kunci berbeda yang dipegang oleh
Apoteker Penanggung Jawab dan satu pegawai lain. Lemari penyimpanan
diletakkan di tempat yang tidak terlihat oleh umum.
4. Penyerahan
Penyerahan hanya dapat dilakukan dalam bentuk obat jadi berdasarkan resep
dokter untuk kepentingan pengobatan. Penyerahan tidak dapat dilakukan
berdasarkan salinan resep yang resep aslinya tidak dilayani di apotek yang
bersangkutan. Untuk resep mengandung narkotika yang diulang (iter) tidak
dapat dilakukan penyerahan.
5. Pencatatan dan pelaporan
Persediaan psikotropika dan narkotika dicatat pada kartu stok yang disimpan
dalam lemari penyimpanan serta dilakukan stock opname setiap bulannya.
Pelaporan psikotropika dan narkotika dilakukan paling lambat tanggal 10 pada
bulan berikutnya.
6. Pengembalian
Pengembalian psikotropika dan narkotika kepada pemasok harus disertai
dengan dokumen serah terima pengembalian yang sah dan fotokopi arsip
faktur pembelian. Setiap psikotropika dan narkotika yang dikembalikan
harus dicatat dalam kartu stok. Seluruh dokumen pengembalian harus
didokumentasikan dengan baik serta mudah ditelusuri dan disimpan terpisah
dari dokumen pengembalian obat lain.
7. Pemusnahan
Pemusnahan dilakukan untuk psikotropika dan narkotika yang tidak

15
16

memenuhi standar yang berlaku, kedaluwarsa, tidak memenuhi syarat untuk


digunakan, dibatalkan izin edarnya, dan yang berhubungan dengan tindak
pidana. Pemusnahan dilakukan oleh Apoteker Penanggung Jawab Apotek
dengan disaksikan oleh pihak dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan/atau
Balai Besar/Pengawas Obat dan Makanan serta pihak aparat setempat dengan
tidak mencemari lingkungan dan tidak membahayakan kesehatan masyarakat.
Pemusnahan harus dilaporkan dengan membuat Berita Acara Pemusnahan.
II.1.6 Prekursor Farmasi
Prekursor farmasi adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang
dapat digunakan sebagai bahan baku/penolong untuk keperluan proses produksi
industri farmasi atau produk antara, produk ruahan, dan produk jadi yang
mengandung ephedrine, pseudoephedrine, norephedrine/ phenylpropanolamine,
ergotamin, ergometrine, atau potasium permanganat. Contoh produk obat yang
termasuk dalam golongan prekursor yaitu: Pimtrakol®, Edrin®, dan Intunal®.
Adapun pengelolaan prekursor di apotek meliputi (PerBPOM No. 4, 2018) :
1. Pengadaan
Pengadaan prekursor bersumber dari Pedagang Besar Farmasi resmi dan
dilengkapi dengan surat pesanan khusus prekursor (terpisah dari pesanan obat
lainnya) minimal 3 (tiga) rangkap.
2. Penerimaan
Penerimaan prekursor harus berdasarkan faktur pembelian yang dilakukan
oleh Apoteker Penanggung Jawab Apotek. Bila berhalangan, penerimaan
dapat didelegasikan pada tenaga kefarmasian lain dilengkapi surat
pendelegasian. Bila dinyatakan sesuai, maka faktur ditandatangani oleh
Apoteker Penanggung Jawab atau tenaga kefarmasian yang didelegasikan.
3. Penyimpanan
Penyimpanan dilakukan dalam wadah asli pada kondisi yang sesuai dengan
rekomendasi produsen. Penyimpanan prekursor harus terpisah dari produk lain
di tempat yang aman sesuai dengan analisis risiko (akses personil terbatas dan
mudah untuk diawasi oleh penanggung jawab). Penyimpanan dilengkapi
dengan kartu stok manual maupun elektronik. Stock opname untuk prekursor

16
17

dilakukan secara berkala minimal sekali dalam 6 (enam) bulan.


4. Penyerahan
Penyerahan prekursor golongan obat keras hanya dapat dilakukan berdasarkan
resep dokter, sementara penyerahan prekursor golongan obat bebas terbatas
dilakukan dengan memperhatikan kewajaran dan kerasionalan jumlah sesuai
kebutuhan terapi. Penyerahan hanya dapat dilakukan dalam bentuk obat jadi,
termasuk dalam bentuk racikan obat.
5. Pengembalian
Pengembalian prekursor kepada pemasok harus disertai dengan dokumen
serah terima pengembalian prekursor yang sah dan fotokopi arsip faktur
pembelian. Setiap prekursor yang dikembalikan harus dicatat dalam kartu
stok. Seluruh dokumen pengembalian harus didokumentasikan dengan baik
serta mudah ditelusuri dan disimpan terpisah dari dokumen pengembalian obat
lain.
6. Pemusnahan
Penanggung jawab fasilitas pelayanan kefarmasian harus memastikan
kemasan dan label prekursor yang akan dimusnahkan telah dirusak, dan
dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Pengontrolan prekursor di apotek tidak dilakukan pelaporan seperti
psikotropika dan narkotika namun tetap dilakukan pengawasan melalui kartu stok
dan stock opname secara berkala.
Berdasarkan regulasi, penggolongan dan jenis prekursor antara lain (PP
No. 44, 2010) :
1. Prekursor tabel 1, meliputi
a. Acetic Anhydride
b. N-Acetylanthranilic Acid
c. Ephedrine
d. Ergometrine
e. Ergotamine
f. Isosafrole

17
18

g. Lysergic Acid
h. 3,4-Methylenedioxyphenyl-2-Propanone
i. Norephedrine
j. 1-Phenyl-2-Propanone
k. Piperonal
l. Potassium Permanganat
m. Pseudoephedrine
n. Safrole
2. Prekursor tabel 2, meliputi
a. Acetone
b. Anthranilic Acid
c. Ethyl Ether
d. Hydrochloric Acid
e. Methyl Ethyl Ketone
f. Phenylacetic Acid
g. Piperidine
h. Sulphuric Acid
i. Toluene
II.1.7 Obat Herbal
Obat herbal atau obat bahan alam Indonesia merupakan obat bahan alam
yang diproduksi di Indonesia. Berdasarkan cara pembuatan serta jenis klaim
penggunaan dan tingkat pembuktian khasiat, obat herbal dikelompokkan menjadi
3 (tiga) yaitu (KepKBPOM No. HK 00.05.4.2411, 2004) :
1. Jamu
Jamu adalah obat tradisional yang dibuat di Indonesia. Obat tradisional adalah
bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan
mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan tersebut yang
secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan, dan dapat diterapkan
sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat. Contoh obat jamu yaitu
Tolak Angin® dan Laxing® (PerBPOM No. 32, 2019).
Logo jamu dibuat dengan memenuhi beberapa ketentuan seperti :

18
19

a. Logo berupa “RANTING DAUN TERLETAK DALAM LINGKARAN”,


dan ditempatkan pada bagian atas sebelah kiri dari wadah/ pembungkus/
brosur
b. Logo dicetak dengan warna hijau di atas dasar warna putih atau warna lain
yang menyolok kontras dengan warna logo
c. Tulisan “JAMU” harus jelas dan mudah dibaca, dicetak dengan warna
hitam di atas dasar warna putih atau warna lain yang menyolok kontras
dengan tulisan “JAMU”

Gambar 6. Logo obat jamu


Sumber: Keputusan Kepala BPOM RI No. HK.00.05.4.2411 Tahun 2004

2. Obat herbal terstandar


Obat herbal terstandar adalah produk yang mengandung bahan atau ramuan
bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan
sarian (galenik) atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun
telah digunakan untuk pengobatan dan dapat diterapkan sesuai dengan norma
yang berlaku di masyarakat yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya
secara ilmiah dengan uji praklinik dan bahan bakunya telah distandardisasi.
Contoh obat herbal terstandar yaitu Lelap®, OB Herbal®, dan Virugon®
(PerBPOM No. 32, 2019).
Logo obat herbal terstandar dibuat dengan memenuhi beberapa ketentuan
seperti :
a. Logo berupa “JARI-JARI DAUN (3 PASANG) TERLETAK DALAM
LINGKARAN”, dan ditempatkan pada bagian atas sebelah kiri dari
wadah/ pembungkus/ brosur
b. Logo dicetak dengan warna hijau di atas warna putih atau warna lain yang
menyolok kontras dengan warna logo
c. Tulisan “OBAT HERBAL TERSTANDAR” harus jelas dan mudah

19
20

dibaca, dicetak dengan warna hitam di atas dasar warna putih atau warna
lain yang mencolok kontras dengan tulisan “OBAT HERBAL
TERSTANDAR”

Gambar 7. Logo obat herbal terstandar


Sumber: Keputusan Kepala BPOM RI No. HK.00.05.4.2411 Tahun 2004
3. Fitofarmaka
Fitofarmaka adalah produk yang mengandung bahan atau ramuan bahan yang
berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian
(galenik) atau campuran dari bahan tersebut yang telah dibuktikan keamanan
dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan uji klinik serta bahan
baku dan produk jadinya telah distandardisasi. Contoh obat fitofarmaka yaitu
Stimuno®, Tensigard®, dan Nodiar® (PerBPOM No. 32, 2019).
Logo fitofarmaka dibuat dengan memenuhi beberapa ketentuan seperti :
a. Logo berupa “JARI-JARI DAUN (YANG KEMUDIAN MEMBENTUK
BINTANG) TERLETAK DALAM LINGKARAN”, dan ditempatkan
pada bagian atas sebelah kiri dari wadah/ pembungkus/ brosur
b. Logo dicetak dengan warna hijau di atas dasar putih atau warna lain yang
menyolok kontras dengan warna logo
c. Tulisan “FITOFARMAKA” harus jelas dan mudah dibaca, dicetak dengan
warna hitam di atas dasar warna putih atau warna lain yang menyolok
kontras dengan tulisan “FITOFARMAKA”

Gambar 8. Logo obat fitofarmaka


Sumber: Keputusan Kepala BPOM RI No. HK.00.05.4.2411 Tahun 2004

20
BAB III
PELAYANAN RESEPDI APOTEK

III.1 Resep

Tn R.

Gambar 9. Resep

32
33

III.2 Skrining Resep


III.2.1 Skrining Administrasif
Berdasarkan skrining administratif pada resep maka diperoleh
kelengkapan administratif seperti pada Tabel 1.
Tabel 1.Skrining administratif resep
Kelengkapan
Komponen Resep Administratif Keterangan
Bagian Resep
Ada Tidak Ada
Nama Dokter √ - Tidak Tercantum
SIP Dokter √ - Tidak Tercantum
Alamat Dokter -  Tidak Tercantum
Inscriptio
No. Telp  Tidak Tercantum
Praktek/Rumah -
Tempat/Tanggal - Pare-Pare, 13 Oktober 2021
Penulisan Resep 
Invocatio Tanda R/  - Ada
Nama Obat  - R/ Amoxillin No. IV
CTM No.III
Dosis √ -
Dexamethason No. III
m. f. pulv No. X
S 3dd I
Prescriptio Jumlah yang diminta 
-

R/ 
1 - Krim
Bentuk Sediaan
R/ 
2 - Serbuk
R/ 1  - Untuk pemakaian luar
Aturan Pakai
R/ 2  - 3 kali sehari 1
Nama Pasien  - An. A
Jenis Kelamin -  Tidak Tercantum
Signatura
Umur Pasien  - 2 tahun
Berat Badan -  Tidak Tercantum
Alamat Pasien -  Tidak Tercantum
No. Telp Pasien  - Tercantum
Subscriptio Paraf Dokter  - Tercantum

Berdasarkan skrining administratif terhadap contoh resep di atas,


terdapat beberapa kelengkapan resep yang tidak terpenuhi. Berikut adalah
permasalahan terhadap kelengkapan resep yang tidak terpenuhi :
1. Skrining administratif dokter
34

Kajian administratif dokter menurut PerMenKes RI No. 73 Tahun 2016,


meliputi nama dokter, nomor Surat Izin Praktik (SIP), alamat, nomor telepon,
paraf, serta tanggal penulisan resep.
a. Nama, SIP, alamat dan nomor telepon dokter
Pada resep tidak tercantum keterangan mengenai nama, SIP, alamat dan
nomor telpon dokter. Hal ini sangat penting karena nama dokter
menunjukkan identitas dokter yang memeriksa dan memberikan terapi
pegobatan terhadap pasien tersebut. Selain itu berdasarkan PerMenKes
No. 2052 Tahun 2011, SIP merupakan bukti tertulis yang menunjukkan
bahwa seorang dokter telah memenuhi persyaratan untuk menjalankan
praktik kedokteran. Resep juga tidak tercantum alamat dan nomor telepon
dokter yang juga sangat penting karena dibutuhkan untuk mengkonfirmasi
apabila terdapat masalah pada resep. Solusi yang dapat dilakukan adalah
apoteker dapat mengkonfirmasi langsung kepada dokter yang
bersangkutan yang melakukan praktik di klinik tempat resep tersebut
dikeluarkan. Namun nomor telepon yang dicantumkan adalah nomor
telepon fasilitas kesehatan tempat resep dikeluarkan sehingga ketika
apoteker ingin melakukan konfirmasi mengenai resep yang dituliskan
dapat menghubungi fasilitas kesehatan untuk meminta konfirmasi pada
dokter.
b. Aturan penggunaan obat
Pada resep tidak tercantum keterangan mengenai aturan
penggunaan/waktu konsumsi obat (dalam Bahasa latin disingkat a.c (ante
coenam = sebelum makan), d.c (durante coenam = pada waktu sementara
makan), dan p.c (post coenam = sesudah makan)). Hal ini sangat penting
karena dapat mempengaruhi efektivitas penggunaan obat maupun risiko
terjadinya interaksi obat di dalam tubuh oleh pasien nantinya. Solusi yang
dapat dilakukan adalah apoteker berkewajiban untuk memberikan
keterangan/ informasi pada etiket serta pada saat penyerahan obat terkait
aturan penggunaan obat tersebut berdasarkan ilmu farmasi yang telah
dimilikinya.
35

2. Skrining administratif pasien


Kajian administratif pasien menurut PerMenKes RI No.73 Tahun 2016,
meliputi nama pasien, umur, jenis kelamin, serta berat badan pasien.
a. Jenis kelamin pasien
Pada resep tidak tercantum keterangan mengenai jenis kelamin pasien.
Solusi yang dapat dilakukan adalah dapat melihat langsung dari nama
pasien, atau dapat mengonfirmasi langsung kepada yang menebus resep
mengenai informasi jenis kelamin pasien.
b. Berat badan pasien
Pada resep tidak tercantum berat badan pasien. Hal ini sangat penting
karena dalam melakukan perhitungan dosis, berdasarkan berat badan
pasien paling tepat dalam menentukan kesesuaian dosis yang telah
diberikan. Solusi yang dapat dilakukan adalah apoteker menanyakan
langsung pada penebus resep apakah pasien yang bersangkutan ikut
dalam penebusan obat di apotek, jika “iya” maka apoteker dapat
mengarahkan pasien untuk melakukan penimbangan berat badan secara
langsung di apotek. Namun apabila resep tidak mencantumkan berat
badan pasien dan pasien tidak hadir dalam penebusan obat, perhitungan
dosis dapat dilakukan menggunakan data umur pasien.
c. Alamat pasien
Pada resep tidak tercantum keterangan mengenai alamat pasien. Hal ini
sangat penting karena dengan adanya informasi alamat pasien
mempermudah apoteker dalam melakukan pemantauan terapi obat dan
follow-up serta mengurangi resiko terjadinya medication error dalam hal
kesalahan pemberian obat maupun informasi obat kepada pasien apabila
pasien tidak dapat dihubungi melalui nomor telefon. Tidak semua kondisi
pelayanan resep memerlukan informasi alamat pasien, kecuali untuk
resep yang diperuntukkan untuk pasien dengan kondisi tertentu (seperti
menerima polifarmasi, pasien kanker, geriatri, pediatric dll), mengandung
jenis obat dengan resiko tinggi, serta regimen yang kompleks (missal
polifarmasi). Solusi yang dapat diberikan adalah dengan mengonfirmasi
36

langsung kepada pasien pada saat menebus obat di apotek.


III.2.2 Skrining Farmasetik
Berdasarkan skrining farmasetik pada resep maka diperoleh kelengkapan
farmasetik seperti pada Tabel 1.
III.2.2.1 Kesesuaian bentuk sediaan

Bentuk sediaan pada R/ pertama adalah krim dan R/ kedua adalah


serbuk (pulveres). Hal ini telah sesuai dengan kondisi pasien dimana pasien
merupakan anak-anak berusia 2 tahun. Anak-anak pada usia tersebut cenderung
tidak menyukai mengonsumsi obat terutama bila berbentuk tablet atau kapsul,
masih cukup sulit menelan, serta dalam kondisi yang tidak sehat sehingga
mempengaruhi psikologi atau mood anak dalam mengonsumsi obat. Bentuk
sediaan serbuk memudahkan pasien dalam menelan obat, selain itu bentuk
sediaan krim mudah diaplikasikan secara merata dan langsung dapat diabsobsi
pada jaringan luka.

III.2.2.2 Stabilitas

Sediaan krim cenderung stabil asalkan kondisi penyimpanan sesuai


dengan yang tertera pada kemasan sementara sediaan serbuk yang diracik
diharapkan stabil selama pasien mengonsumsi obat dan selama penyimpanan.
Salah satu kelebihan sediaan serbuk adalah lebih stabil dibanding bentuk sediaan
cair. Zat-zat aktif dalam racikan serbuk pada resep juga diketahui bersifat tidak
larut dalam air sehingga lebih stabil bila diracik dalam bentuk sediaan padat
dalam hal ini bentuk serbuk. Adapun batas penggunaan obat racikan puyer tidak
boleh lebih dari 25% dari waktu kedaluwarsa terdekat obat atau enam bulan dari
waktu peracikan jika waktu kedaluwarsa masing-masing obat lebih dari 6 (enam)
bulan (Allen, 2009).

III.2.2.3 Inkompatibiltas obat


Secara farmasetika, obat-obat dalam resep racikan pada contoh resep di
atas tidak terdapat masalah ketidak-tercampuran obat yang dapat mengganggu
stabilitas fisika dan kimia campuran obat sehingga dapat diracik menjadi sediaan
37

pulveres.

III.2.3 Skrining Klinis


Berdasarkan contoh resep di atas diketahui pasien berusia 2 tahun
namun data berat badan pasien tidak tercantum sehingga tidak dapat dilakukan
perhitungan dosis sesuai berat badan. Mengatasi hal ini maka perlu dilakukan
konversi dosis menggunakan informasi usia pasien dengan menggunakan rumus
Young :
n ( tahun )
Dosisi anak ≤ 8 t ahun = X dosis dewasa
n ( tahun ) + 12tahun

III.2.3.1 Kesesuaian Dosis dan Aturan Pakai


1. Resep 1 (Sweetman, 2009)

R/ Gentamicin No.I
S. u. e

Resep 1 merupakan sediaan krim dengan indikasi untuk infeksi kulit.


Berdasarkan contoh resep pertama digunakan dosis gentamisin 0,1%,
diketahui bahwa pemberian gentamicin krim 0,1% memenuhi dosis yang
dibutuhkan pasien sehingga obat tersebut dapat memberikan efek terapi tanpa
menimbulkan risiko overdosis bagi pasien.
2. Resep 2

R/ Amoxicillin No.IV
CTM No.III
Dexamethason No.III
M. f. pulv. No.X
S. 3 d d I

Resep 2 merupakan racikan yang dibuat dalam bentuk serbuk (pulveres)


dengan indikasi untuk mengatasi infeksi kulit.
a. Amoxicillin (Sweetman, 2009)
38

DL (sekali) : 250-500mg (dewasa)


DL (sehari) :-
2
DL konversi (sekali) : x 250-500mg=35,7-71,4 mg
14
DL konversi (sehari) : -
Perhitungan dosis berdasarkan resep
2000 mg
Sekali : 500mg x 4tablet= =200mg/bungkus
10 bungkus
Sehari : 3 x 200mg=600mg/hari
Berdasarkan hasil perhitungan dosis di atas, diketahui bahwa pemberian
amoxicillin dengan dosis 200 mg sebanyak 3 kali sehari melebihi dosis
lazim sehingga obat tersebut dapat saja memberikan efek terapi namun
beresiko menimbulkan efek samping yang besar bagi pasien. Dari sudut
pandang apoteker, sebaiknya dosis diturunkan menjadi 35,7-71,4 mg agar
tidak menimbulkan risiko bagi pasien.
3. Chlorpeniramine maleat (MIMS, 2021)
DL (sekali) : 1 mg (2-5 tahun)
DL (sehari) :-
DM (sehari) : 6 mg (2-5 tahun)
DL konversi (sekali) : -
DL konversi (sehari) : -
DM konversi (sehari) : -
Perhitungan dosis berdasarkan resep
12 mg
Sekali : 4mg x 3 tablet= =1,2mg/bungkus
10 bungkus
Sehari : 3 x 1,2 mg = 3,6 mg/hari
3,6 mg
% DM : x 100% = 60% (<100%)
6 mg
Berdasarkan hasil perhitungan dosis di atas, diketahui bahwa pemberian
chlorpeniramine maleat dengan dosis 1,2 mg sebanyak 3 kali sehari
memenuhi dosis lazim dan tidak melebihi dosis maksimum perhari
sehingga obat tersebut dapat memberikan efek terapi tanpa menimbulkan
39

risiko overdosis bagi pasien.

4. Dexamethasone (FI IV, 1979)


DL (sekali) :-
DL (sehari) : 0,5-2 mg (dewasa)
DL konversi (sekali) : -
2
DL konversi (sehari) : x 0,5-2 mg=0,07-0,3 mg
14
Perhitungan dosis berdasarkan resep
1,5 mg
Sekali : 0,5 mg X 3 tablet= =0,15 mg/bungkus
10 bungkus
Sehari : 3 x 0,15 mg = 0,45 mg/hari
Berdasarkan hasil perhitungan dosis di atas, diketahui bahwa pemberian
dexamethasone dengan dosis 0,15 mg sebanyak 3 kali sehari memenuhi
dosis lazim perhari sehingga obat tersebut dapat memberikan efek terapi
tanpa menimbulkan risiko overdosis bagi pasien.
III.2.3.2 Pertimbangan Klinis
Berdasarkan hasil skrining administrasi contoh resep di atas berisi dua
R/ yang masing-masing merupakan obat jadi dan racikan yaitu sediaan jadi krim
gentamicin (antibiotik) dan racikan serbuk berisi Amoxicillin (antibiotik), CTM
(antihistamin), dan dexamethasone (antiinflamasi).
Penggunaan obat dikatakan rasionalitas apabila pasien menggunakan
obat sesuai dengan kebutuhannya. Kriteria penggunaan obat yang rasional yaitu
tepat diagnosis, tepat indikasi penyakit, tepat pemilihan obat, tepat dosis, tepat
cara pemberian, tepat waktu dan tepat lama pemberian (DepKes RI, 2011). Pada
resep dapat dikatakan tidak rasional karena terdapat beberapa obat yang tidak
tepat pemilihan obat dan tidak tepat dosis.
Berdasarkan contoh resep diatas diduga pasien mengalami impetigo.
Impetigo adalah infeksi kulit superfisial yang paling sering terlihat pada anak-
anak. Hal ini sangat menular dan menyebar melalui kontak. Sebagian besar kasus
disebabkan oleh S. pyogenes, tetapi S. aureus baik sendiri atau dalam kombinasi
40

dengan S. pyogenes sebagai penyebab utama impetigo (Wells et al., 2017).


Impetigo diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu impetigo krustosa, impetigo bulosa
dan impetigo neonatorum. Impetigo krustosa disebabkan oleh Streptococcus β
hemolyticus. Predileksi dari penyakit ini pada daerah wajah, area sekitar hidung
dan mulut dimana hal ini dikarenakan daerah tersebut merupakan sumber infeksi.
Impetigo bulosa disebabkan oleh Staphylococcus aureus, dengan predileksi di
aksila, dada, dan punggung. Impetigo neonatorum merupakan varian impetigo
bulosa yang terdapat hanya pada neonatus. Kelainan ini dapat ditemukan
menyeluruh (Ago Harlim, 2019). Penyakit infeksi ini sering di jumpai pada anak
karena daya tahan kulit terhadap invasi kuman patogen belum sesempurna orang
dewasa.
Gentamicin diberikan sebagai antiinfeksi, yang merupakan golongan
aminoglikosida. Obat ini bekerja dengan cara masuk ke dalam sel bakteri sensitif
melalui proses transpor aktif dengan mengikat 30S, dan sampai batas tertentu ke
50S, subunit ribosom bakteri, menghambat sintesis protein (Sweetman, 2009).
Pemberian antibiotik dalam contoh resep pertama dianggap kurang rasional (tidak
tepat obat). Gentamicin dianggap kurang rasional karena bukan merupakan lini
pertama untuk impetigo. Meskipun gentamicin dapat digunnakan sebagai pilihan
terapi untuk impetigo karena efektif melawan sebagian besar organisme gram
negatif, termasuk Staphylococcus aureus yang merupakan bakteri penyebab
impetigo. Terapi lini pertama yang tepat dari terapi impetigo pada anak-anak
yakni mupirocin atau retapamulin selama 5-7 hari (Saskatchewan, 2019; Wells et
al., 2017). Berdasarkan hal tersebut, pemberian gentamicin sebagai antihistamin
sebaiknya diganti dengan mupirocin 2% atau retapamulin 1% dioleskan tipis-tipis
3-4 kali sehari selama 5-7 hari.
Pengobatan topikal untuk impetigo sebaiknya digunakan Bersama
dengan antibiotik oral untuk area infeksi yang lebih luas, jika ada gejala sistemik,
atau dalam konteks tim atletik, fasilitas penitipan anak atau kelompok keluarga.
Terapi antibiotik oral harus mencakup S. aureus dan Streptococcus beta
hemolitikus grup A (Garnett et al., 2019).
Amoxicillin diberikan sebagai antiinfeksi untuk terapi oral. Amoxicillin
41

merupakan antibiotik yang memiliki aktivitas antibakteri spektrum luas (Katzung,


2019). Obat ini bekerja dengan cara menghambat sintesis dinding sel bakteri
dengan mengikat satu atau lebih pada ikatan penisilin-protein (PBPs-Protein
binding penisilin’s) sehingga menyebabkan penghambatan pada tahap akhir
transpeptidase sintesis peptidoglikan dalam dinding sel bakteri. Akibatnya
biosintesis dinding sel terhambat, dan sel bakteri menjadi pecah atau lisis
(Sweetman, 2009). Pemberian antibiotik dalam contoh resep kedua dianggap
tidak rasional (tidak tepat dosis, tidak tepat obat, dan tidak tepat cara pemberian).
Pertama, dokter meresepkan racikan amoxicillin diberikan sebanyak 3 kali 1
sehari. Hasil perhitungan dosis menunjukkan bahwa dosis amoxicillin yang
diberikan melebihi rentang dosis lazim yang diperlukan oleh pasien berusia 2
tahun sehingga dianggap belum sesuai atau tidak tepat dosis. Selain itu
amoxicillin dianggap kurang rasional karena bukan merupakan terapi lini pertama
untuk impetigo. Lini pertama dari terapi impetigo pada anak-anak yakni
dikloksasilin atau sefaleksin direkomendasikan selama 7 hari (Well et al, 2015).
Berdasarkan hal tersebut, pemberian amoxicillin sebagai antiinfeksi sebaiknya
diganti dengan dikloksasilin dosis 50 mg/kgBB/hari atau sefaleksin dosis 50-100
mg/kgBB/hari selama 5-7 hari. Kedua, dokter meresepkan antibiotik yang diracik
bersama dengan beberapa obat lain menjadi satu sediaan. Ini merupakan hal yang
tidak tepat dilakukan karena tujuan terapi yang berbeda. Antibiotik ditujukan
untuk pengobatan kausal yaitu infeksi bakteri sehingga penggunaannya harus
secara terus-menerus atau sampai habis. Sementara obat lain yang diresepkan
bersama amoxicillin ditujukan untuk pengobatan simptomatik yang
penggunaannya hanya sampai gejala yang dialami pasien teratasi sehingga dapat
saja dihentikan penggunaannya walaupun obat belum habis (Suprapti, 2016).
Permasalahan ini dapat diatasi dengan meracik amoxicillin secara terpisah dari
obat lainnya.
CTM (chlorpeniramine maleat) diberikan sebagai antihistamin.
Chlorpeniramine maleat merupakan obat antihistamin H1 Reseptor yang dapat
menghambat efek histamin pada pembuluh darah, bronkus, dan bermacam-
macam otot polos, serta bekerja dengan mengobati reaksi hipersensitivitas atau
42

keadaan lain yang disertai pelepasan histamin endogen berlebihan.


chlorpeniramine maleat dapat mencegah kerusakan kulit melalui ekskoriasi dan
mengurangi auto-inokulasi infeksi (Saskatchewan, 2019; Sweetman, 2009).
Chlorpeniramine maleat dapat diberikan pada pasien namun perlu dilakukan
monitoring secara ketat pada pasien. Jika efek samping timbul maka penggunaan
chlorpheniramine maleat harus segera dihentikan. Efek samping yang dapat
terjadi pada anak yang diberikan antihistamin generasi pertama termasuk kejang,
epilepsy, agresivitas, gangguan pernafasan, ruam kulit tetap, dan sindrom
antikolinergik sentral (Cuvillon, 2007).
Dexamethasone dierikan sebagai antiinflamasi. Dexamethasone
merupakan golongan glukokortikoid yang sangat kuat dan bekerja lama yang
bertindak sebagai agen anti-inflamasi dengan menekan migrasi neutrofil,
mengurangi produksi mediator inflamasi, menurunkan peningkatan permeabilitas
kapiler, dan menekan respon imun. Kortikosteroid menekan tanda-tanda klinis
infeksi dan membantu membangun kembali fungsi sawar kulit yang normal
(Sweetman, 2009; Mims, 2021).
Ketika terjadi penurunan daya tahan tubuh, pasien dapat mengalami
manifestasi klinis akibat respon tubuh terhadap patogen yang menyerang tubuh
salah satunya dengan mengeluarkan mediator inflamasi seperti histamin.
Pemberian chlorpeniramine maleat diduga bertujuan untuk mengurangi atau
menghentikan aksi dari histamin melalui blokade reseptornya pada jaringan
sehingga inflamasi berkelanjutan dapat dicegah sementara dexamethasone
ditujukan untuk menghambat gejala inflamasi yang terjadi (Sweetman, 2009).
Berdasarkan hal tersebut, pemberian chlorpeniramine maleat sebagai antihistamin
dan dexamethasone sebagai antiinflamasi sudah sesuai dengan kondisi pasien.
III.3 Uraian Obat
III.3.1 Gentamicin (MIMS, 2021; Sweetman, 2009)
1. Komposisi
Tiap gram mengandung gentamicin 1 mg
2. Nama Generik dan/atau Nama Dagang
-
43

3. Mekanisme Kerja
Aminoglikosida diambil ke dalam sel bakteri sensitif melalui proses transpor
aktif yang dihambat dalam lingkungan anaerobik, asam, atau hiperosmolar. Di
dalam sel mereka mengikat 30S, dan sampai batas tertentu ke 50S, subunit
ribosom bakteri, menghambat sintesis protein dan menghasilkan kesalahan
dalam transkripsi kode genetik. Cara terjadinya kematian sel belum
sepenuhnya dipahami, dan mekanisme lain mungkin berkontribusi, termasuk
efek pada permeabilitas membrane.
4. Indikasi
Infeksi kulit
5. Kontraindikasi
Hipersensitif terhadap gentamisin dan aminoglikosida lainnya myasthenia
gravis, membran timpani berlubang (otic)
6. Efek Samping
Hipersensitivitas, nefrotoksisitas, blokade neuromuskular, paralisis
pernapasan, neurotoksisitas, ototoksisitas; superinfeksi (penggunaan jangka
panjang), gangguan kulit dan jaringan subkutan: Eritema, pruritus (topikal),
ruam
7. Peringatan dan Perhatian
Pasien dengan hipokalsemia, hipokalemia, hipomagnesemia; vertigo, tinnitus,
atau gangguan pendengaran yang sudah ada sebelumnya; riwayat keluarga
ototoksisitas, gangguan ginja, anak-anak, kehamilan dan menyusui
8. Interaksi Obat
Tidak sesuai dengan penisilin, sefalosporin, eritromisin, furosemide, heparin,
natrium bikarbonat
9. Dosis dan Aturan Pakai
Dewasa : Sebagai krim 0,1%: Oleskan dengan lembut ke area yang
dibersihkan 3-4 kali sehari
Anak : Sama seperti dosis dewasa
10. Farmakokinetik
Absorpsi : Kurang diserap dari saluran pencernaan. Cepat diserap (IM).
44

Waktu untuk konsentrasi plasma puncak: 30-60 menit.


Distribusi : Berdifusi terutama ke dalam cairan ekstraseluler; penetrasi
minimal ke CSF dan jaringan okular; berdifusi dengan mudah ke
perilimfe telinga bagian dalam. Melintasi plasenta, memasuki ASI
(dalam jumlah kecil). Ikatan protein plasma: <30%. Volume
distribusi: 0,2-0,3 L/kg.
Ekskresi : Melalui urin (70% sebagai obat yang tidak berubah). Waktu
paruh eliminasi plasma: 2-3 jam.
III.3.2 Amoxicilin (HID, 2009; MIMS, 2021; Sweetman, 2009)
1. Komposisi
Tiap kaplet mengandung amoxicillin 500 mg
2. Nama Generik dan/atau Nama Dagang
-
3. Mekanisme Kerja
Amoksisilin adalah aminopenisilin semisintetik yang menghambat langkah
transpeptidasi akhir sintesis peptidoglikan di dinding sel bakteri dengan
mengikat 1 atau lebih protein pengikat penisilin (PBP), sehingga menghambat
biosintesis dinding sel dan akhirnya menyebabkan lisis bakteri
4. Indikasi
Sinusitis bakterialis akut, otitis media akut, sistitis, infeksi telinga, hidung
dan/atau tenggorokan, infeksi genitourinari, pielonefritis, infeksi kulit dan
jaringan lunak
5. Kontraindikasi
Hipersensitivitas atau riwayat reaksi alergi berat (misalnya anafilaksis,
sindrom Stevens-Johnson) terhadap amoksisilin atau -laktam lainnya
(misalnya penisilin, sefalosporin, karbapenem, monobaktam), mononukleosis
menular (dicurigai atau dikonfirmasi)
6. Efek Samping
Hipersensitivitas, diare, gangguan pada hati dan superinfeksi pada penggunaan
jangka
7. Peringatan dan Perhatian
45

Pasien dengan penurunan produksi urin, riwayat kejang, epilepsi yang diobati
atau gangguan meningeal; leukemia limfatik, individu atopic, gangguan ginjal
dan hati, anak-anak, kehamilan dan menyusui

8. Interaksi Obat
Penurunan sekresi tubulus ginjal mengakibatkan peningkatan dan
pemanjangan konsentrasi serum dengan probenesid, peningkatan risiko reaksi
alergi (misalnya ruam) dengan allopurinol tetrasiklin, kloramfenikol,
makrolida, dan sulfonamid dapat mengganggu efek bakterisida amoksisilin.
Dapat memperpanjang waktu protrombin atau meningkatkan INR bila
digunakan dengan antikoagulan oral (misalnya warfarin, acenocoumarol).
Dapat mengurangi ekskresi dan meningkatkan toksisitas metotreksat. Dapat
mengurangi kemanjuran kontrasepsi oral (misalnya kombinasi
estrogen/progesteron).
9. Dosis dan Aturan Pakai
Dewasa : 250 - 500 mg setiap 8 jam, atau 500 - 875 mg setiap 12 jam
Anak : >3 bulan < 40 kg : 20 - 40 mg/kgBB/hari setiap 8 jam, atau 25-
45mg/kgBB/hari setiap 12 jam
< 3 bulan : dosis maksimum harus 30 mg/kgBB/hari setiap 12
jam.
10. Farmakokinetik
Absorpsi : Cepat dan baik diserap dari saluran pencernaan.
Bioavailabilitas: Sekitar 70% (oral). Waktu untuk mencapai
konsentrasi plasma puncak: 1-2 jam (oral).
Distribusi : Mudah didistribusikan di kandung empedu, jaringan perut,
paru-paru, hati, prostat, efusi telinga tengah, sekret sinus
maksilaris, kulit, lemak, tulang, jaringan otot, cairan peritoneal
dan sinovial, empedu, nanah; penetrasi yang buruk ke dalam otak
dan CSF (kecuali ketika meningen meradang). Melintasi plasenta
dan memasuki ASI (dalam jumlah kecil). Volume distribusi:
Kira-kira 0,3-0,4 L/kg. Ikatan protein plasma: Sekitar 20%.
46

Metabolisme: Dimetabolisme melalui hidrolisis (dalam jumlah kecil) menjadi


asam penicilloic yang tidak aktif.
Ekskresi : Melalui urin (60% sebagai obat yang tidak berubah). Waktu
paruh eliminasi: Kira-kira 1 jam.
III.3.3 CTM (MIMS, 2021; Sweetman, 2009)
1. Komposisi
Tiap tablet mengandung chlorphenamine maleate 4 mg
2. Nama Generik dan/atau Nama Dagang
Chlorphenamine maleate
3. Mekanisme Kerja
Chlorphenamine adalah antihistamin yang secara kompetitif menghambat
reseptor histamin H1- di saluran pencernaan dan pernapasan dan pembuluh
darah. Dengan demikian, mencegah pelepasan histamin, prostaglandin dan
leukotrien dan mencegah migrasi mediator inflamasi.
4. Indikasi
Kondisi alergi
5. Kontraindikasi
Tidak kompatibel dengan Ca klorida, kanamisin sulfat, asam noradrenalin
tartrat, pentobarbital Na, dan meglumine adipiodone
6. Efek Samping
Gangguan sistem saraf (sedasi, gangguan perhatian, koordinasi abnormal,
pusing, sakit kepala)
7. Peringatan dan Perhatian
Pasien dengan epilepsi, peningkatan tekanan intraokular, glaukoma, hipertrofi
prostat, penyakit KV berat (misalnya penyakit jantung iskemik, hipertensi),
retensi urin, obstruksi pyloroduodenal, bronkitis, bronkiektasis, tirotoksikosis,
anak-anak dan lansia, kehamilan dan menyusui.
8. Interaksi Obat
Dapat meningkatkan efek sedatif hipnotik, ansiolitik, sedatif, analgesik opioid,
dan neuroleptik. Dapat menghambat metabolisme fenitoin yang dapat
menyebabkan toksisitas fenitoin.
47

Berpotensi Fatal: Peningkatan efek antikolinergik dengan MAOI.


Interaksi Makanan: Peningkatan depresi SSP dengan alkohol.
9. Dosis dan Aturan Pakai
Dewasa : 4 mg 4-6 jam. Maks: 24 mg setiap hari.
Anak : 1-2 tahun 1 mg dosis terbagi. Maks: 4 mg/hari.
2-5 tahun 1 mg 4-6 jam. Maks: 6 mg/hari.
6-12 tahun 2 mg 4-6 jam. Maks: 12 mg/hari.
>12 tahun Sama seperti dosis dewasa.
Lansia : Pengurangan dosis mungkin diperlukan. Maks: 12 mg/hari.
10. Farmakokinetik
Absorpsi : Mudah menyerap dari saluran pencernaan. Ketersediaan
hayati: 25-50%. Waktu untuk mencapai konsentrasi plasma
puncak: 2-3 jam.
Distribusi : Didistribusikan secara luas di tubuh dan SSP. Masuk ASI.
Volume distribusi: 6-12L/kg. Ikatan protein plasma: Sekitar
70%.
Metabolisme : Mengalami metabolisme lintas pertama yang ekstensif di hati
oleh enzim CYP450 menjadi metabolit aktif dan tidak aktif.
Ekskresi : Melalui urin (22% sebagai obat yang tidak berubah); feses
(jumlah jejak). Waktu paruh eliminasi: 2-43 jam.
III.3.4 Deksamethasone (MIMS, 2021; Sweetman, 2009)
1. Komposisi
Tiap tablet mengandung dexamethasone 0,5 mg
2. Nama Generik dan/atau Nama Dagang
-
3. Mekanisme Kerja
Deksametason adalah glukokortikoid yang sangat poten dan long-acting yang
bertindak sebagai agen anti-inflamasi dengan menekan migrasi neutrofil,
menurunkan produksi mediator inflamasi, membalikkan peningkatan
permeabilitas kapiler, dan menekan respon imun. Ini tidak memiliki sifat
mineralokortikoid dan memiliki sifat penahan Na minimal yang membuatnya
48

cocok untuk mengobati kondisi di mana retensi air tidak menguntungkan.


4. Indikasi
Anti-inflamasi atau imunosupresif

5. Kontraindikasi
Infeksi jamur sistemik; infeksi sistemik kecuali diobati dengan anti infeksi
spesifik, perforasi membran gendang (otic), pemberian vaksin virus hidup.
6. Efek Samping
Muskuloskeletal, saluran pencernaan, dermatologi, sistem saraf, gangguan
cairan dan elektrolit, endrokrin, metabolic dan reaksi hipersensitifitas
7. Peringatan dan Perhatian
Pasien dengan hipertensi, infark miokard akut, gagal jantung, diabetes
mellitus, penyakit gastrointestinal (misalnya divertikulitis anastomosis usus,
kolitis ulseratif ulkus peptikum aktif atau laten); penyakit mata (misalnya
katarak, glaukoma, riwayat herpes simpleks okular); osteoporosis, riwayat
gangguan kejang, penyakit tiroid, gangguan ginjal dan hati, anak-anak, lansia,
kehamilan dan menyusui, hindari penghentian mendadak atau pengurangan
dosis secara cepat.
8. Interaksi Obat
Penurunan konsentrasi plasma dengan penginduksi CYP3A4 (misalnya
barbiturat, karbamazepin, efedrin, fenitoin, rifabutin, rifampisin). Peningkatan
konsentrasi plasma dengan inhibitor CYP3A4 (misalnya eritromisin,
ketoconazole, ritonavir). Dapat meningkatkan pembersihan ginjal dari
salisilat. Dapat meningkatkan efek hipokalemia diuretik (acetazolamide, loop,
thiazide), injeksi amfoterisin B, kortikosteroid, karbenoksolon, dan agen
penipis K. Dapat meningkatkan efek antikoagulan warfarin.
Berpotensi Fatal: Dapat mengurangi efek terapeutik dari vaksin virus hidup.
9. Dosis dan Aturan Pakai
Dewasa : Awalnya, 0,5-9 mg/hari dalam dosis terbagi. Maks: 1,5 mg/hari
Anak : Awalnya, 0,02-0,3 mg/kg setiap hari dalam 3-4 dosis terbagi
10. Farmakokinetik
49

Absorpsi : Mudah diserap dari saluran pencernaan. Waktu untuk


mencapai konsentrasi plasma puncak: 1-2 jam (oral); kira-kira
30-120 menit (IM); 5-10 menit (IV).

Distribusi : Melewati plasenta dan memasuki ASI. Ikatan protein plasma:


Sekitar 77%, terutama pada albumin.
Metabolisme : Dimetabolisme di hati oleh enzim CYP3A4.
Ekskresi : Melalui urin (hingga 65%). Waktu paruh eliminasi: 4±0,9 jam
(oral); kira-kira 1-5 jam (IV).
III.4 Penyiapan Obat
III.4.1 Resep I
1. Perhitungan bahan
Gentamicin cream : 1 tube @5 gram
2. Penyiapan obat dan pengemasan
a. Diambil obat dari lemari penyimpanan sejumlah 1 tube
b. Dikemas ke dalam sak obat
c. Diberi etiket biru yang memuat nomor resep, tanggal penyiapan obat,
nama pasien dan aturan pakai dioleskan dengan lembut ke area yang luka
setelah dibersihkan 3-4 kali sehari
III.4.2 Resep II (Racikan)
Resep racikan dibuat dalam bentuk serbuk pulveres sebanyak 10
bungkus dengan perhitungan sebagai berikut :
1. Perhitungan bahan
a. Amoxicillin @ 500mg
Amoxicillin 4 x @ 500 mg = 4 kaplet
b. CTM @ 4 mg
CTM 3 x @ 4 mg = 3 tablet
c. Dexamethasone @ 0,5 mg
Dexamethason 3 x @ 0,5 mg = 3 tablet
2. Peracikan obat
a. Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan dalam peracikan obat
50

b. Dibersihkan alat dengan menggunakan alkohol 70%


c. Disiapkan obat yang akan diracik sesuai dengan jumlah perhitungan
masing-masing bahan yaitu amoxicillin 4 kaplet, CTM 3 tablet dan
dexamethasone 3 tablet
d. Dimasukkan obat amoxicillin, CTM dan dexamethasone ke dalam
lumpang lalu digerus hingga homogen
e. Ditimbang campuran serbuk obat yang telah digerus, hasil pertimbangan
kemudian dibagi 10 dan ditimbang satu per satu untuk mendapatkan bobot
yang seragam
f. Dibagi ke dalam 10 kertas pulveres
g. Disegel masing-masing kertas pulveres
3. Pengemasan
Dikemas 10 bungkus puyer ke dalam sak obat dan diberi etiket putih yang
nomor resep, tanggap penyiapan obat, nama pasien dan aturan pakai 3 kali
sehari 1 bungkus serta keterangan diminum setelah makan dan harus
dihabiskan
III.5 Etiket dan Salinan Resep
III.5.1 Etiket

Gambar 10. Etiket Obat R/ 1


51

Gambar 11. Etiket Obat R/ 2


III.5.2 Salinan Resep

Gambar 12. Copy Resep

III.6 Penyerahan Obat


Obat yang telah disiapkan dan dikemas diperiksa kembali terlebih
52

dahulu terhadap kesesuaian resep. Pemeriksaan kesesuaian meliputi nama pasien,


alamat pasien, umur pasien, obat (nama, dosis, bentuk sediaan, dan jumlah obat),
aturan pakai dan etiket obat untuk mencegah terjadinya kesalahan dalam
penyerahan obat. Setelah pemeriksaan, apoteker memanggil nama pasien yang
tertera pada resep dan mengkonfirmasi usia atau alamat pasien. Kemudian obat
diserahkan kepada pasien disertai pemberian informasi terkait obat yang diterima,
yaitu :
1. Obat pertama diberikan sebagai obat infeksi pada permukaan kulit pasien.
Obat dioleskan tipis-tipis setiap 8 jam atau 3 kali sehari pada tempat yang
terinfeksi lalu oles secara merata.
2. Obat kedua merupakan racikan yang berfungsi untuk mengatasi infeksi. Obat
dikonsumsi setiap 8 jam atau 3 kali sehari sebanyak 1 bungkus setelah makan.
Obat racikan ini juga harus dihabiskan karena mengandung antibiotik
amoxicillin sehingga tetap dihitung meskipun kondisi tubuh dirasakan telah
membaik sebelum obat habis. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya
resistensi terhadap bakteri penyebab infeksi. Efek samping yang mungkin
timbul yaitu mengantuk
3. Apabila terjadi masalah setelah meminum obat seperti timbulnya alergi atau
reaksi yang cukup berat maka pasien harus menghentikan konsumsi obat dan
segera melakukan konsultasi kepada dokter atau apoteker
4. Obat krim harus disimpan sesuai aturan pada kemasan, sementara racikan
puyer disimpan pada suhu kamar dan terlindung dari cahaya dan lembab
Apoteker juga dapat menyertakan nomor kontak yang dapat dihubungi
oleh pasien pada etiket apabila suatu waktu pasien membutuhkan informasi
terkait obat yang diberikan.
BAB IV
PENUTUP

IV.1 Kesimpulan
Setelah melakukan pengkajian resep yang mencakup skrining
administratif, skrining farmasetik dan skrining klinis, maka dapat disimpulkan
bahwa :
1. Secara administratif, resep dianggap tidak lengkap karena ditemukan beberapa
bagian yang tidak tercantum meliputi nama, SIP, alamat, nomor telepon
dokter, jenis kelamin dan berat badan pasien.
2. Secara farmasetik, resep telah memenuhi kesesuaian bentuk sediaan obat
untuk pasien berusia 2 tahun yaitu krim dan serbuk pulveres.
3. Secara klinis, peresepan beberapa obat dianggap tidak rasional berkaitan
dengan tidak tepat obat dan tidak tepat dosis. Tidak tepat dosis ditemukan
pada obat amoxicillin dimana dosisnya melebihi dosis lazim. Tidak tepat
pemilihan obat ditemukan pada pemberian gentamicin sebagai antibiotik,
dimana gentamicin diracik bersama dengan obat-obat simptomatik.

IV.2 Saran
Untuk meningkatkan keamanan dan efikasi obat yang diberikan kepada
pasien serta menghindari terjadinya kesalahan dalam pengobatan (medication
error), proses dan alur pelayanan serta pengkajian resep harus dilakukan secara
menyeluruh dan sebaik mungkin.

53
DAFTAR PUSTAKA

Allen, L.V. 2009. Beyond-Use Dates and Stability Indicating Assay Methods in
Pharmaceutical Compounding. Secundum Artem; 15(3):1-6.

Anief, 1995. Ilmu Meracik Obat, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Aberg, J.A., Lacy, C., Amstrong, L., Goldman, M. and Lance, L.L., 2009, Drug
Information Handbook 17th Edition, American Pharmacist Association

Departemen Kesehatan. 2011. Modul Penggunan Obat Rasional. Jakarta:


Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Departemen Kesehatan. 1979. Farmakope Indonesia. Edisi III. Departemen


Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta. 6-7, 93-94, 265, 338-339, 691.

DitJen Binfar dan Alkes DepKes RI. 2007. Pedoman Penggunaan Obat Bebas
dan Bebas Terbatas. Jakarta: DepKes RI.

Garnett, S., Winland-Brown, J., & Porter, B. (2019). Bacterial skin infections. In
L. Dunphy, J. Winland-Brown, B. Porter, & D. Thomas (Eds.), Primary
care: The art and science of advanced practice nursing – an
interprofessional approach (5th ed., pp. 185-199). Philadelphia, PA: F. A.
Davis.

Harlim, Ago. 2019. Buku ajar ilmu kesehatan kulit dan kelamin. Jakarta: FK UKI.

Katzung, B, G. 2004. Farmakologi Dasar & Klinik. Edisi 10. Jakarta: EGC.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2014. SIPNAP: User Manual untuk


Apotek. Versi 1.2. Jakarta: Bakti Husada.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2019. Petunjuk Teknis Standar


Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Jakarta : Kemenkes RI.

Keputusan KBPOM Republik Indonesia No. HK. 00.05.4.2411 tentang Ketentuan


Pokok Pengelompokan Dan Penandaan Obat Bahan Alam Indonesia.
2004. Jakarta.

Keputusan Menteri Kesehatan No. 347/MenKes/SK/VlI/1990 tentang Obat Wajib


Apotik. 1990. Jakarta.

MIMS. 2021. www.mims.com diakses pada September 2021.

Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan No. 4 Tahun 2018 tentang

54
Pengawasan Pengelolaan Obat, Bahan Obat, Narkotika, Psikotropika,

55
55

dan Prekursor Farmasi di Fasilitas Pelayanan Kefarmasian. 2018.


Jakarta.

Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan No. 14 Tahun 2019 tentang
Penarikan dan Pemusnahan Obat yang Tidak Memenuhi Standar
dan/atau Persyaratan Keamanan, Khasiat, Mutu dan Label. 2019. Jakarta.

Peraturan Badan Pengawas Obat Dan Makanan Nomor 32 Tahun 2019 Tentang
Persyaratan Keamanan Dan Mutu Obat Tradisional. 2019. Jakarta,

Peraturan Menteri Kesehatan R.I. No. 917/MENKES/PER/X/1993 tentang Wajib


Daftar Obat Jadi. 1993. Jakarta.

Peraturan Menteri Kesehatan No. 919/MENKES/PER/X/1993 tentang Kriteria


Obat Yang Dapat Diserahkan Tanpa Resep. 1993. Jakarta.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 3 Tahun 2015 tentang


Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan, dan Pelaporan Narkotika,
Psikotropika, dan Prekursor Farmasi. 2015. Jakarta.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 3 Tahun 2021 tentang


Perubahan Penggolongan, Pembatasan, dan Kategori Obat. 2021.
Jakarta.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 9 Tahun 2017 tentang


Apotek. 2017. Jakarta.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2018 Tentang


Perubahan Penggolongan Narkotika. 2018. Jakarta.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 26 Tahun 2018 tentang


Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik Sektor
Kesehatan. 2018. Jakarta.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 73 Tahun 2016 tentang


Standar Pelayanan Kefarmasian Di Apotek. 2016. Jakarta

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 80 Tahun 2016 Tentang


Penyelenggaraan Pekerjaan Asisten Tenaga Kesehatan. 2016. Jakarta.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 44 Tahun 2010 tentang


Prekursor.2010. Jakarta.

Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan


Kefarmasian. 2009. Jakarta.

Saskatchewan, R.N. association. 2019. Impetigo: adult and pediatric.


56

Suprapti T., 2016. Praktikum Farmasetika Dasar. Jakarta: Kementerian


Kesehatan RI.

Sweetman, Sean C. 2009. Martindale: The Complete Drug Reference. 36 th


Edition. London: Pharmaceutical Press.

Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika.


1997. Jakarta.

Undang-Undang Republik Indonesia No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.


2009. Jakarta.

Wells, Barbara G, DiPiro, Joseph T., Schwinghammer, Terry L., DiPiro, Cecily
V.. 2017. Pharmacotherapy Handbook, Tenth Edition. New York: Mc
Graw Hill Education.
57

LAMPIRAN

Lampiran 1. Contoh Form Surat Pesanan Narkotika


58

Lampiran 2. Contoh Form Surat Pesanan Psikotropika


59

Lampiran 3. Contoh Form Surat Pesanan Prekursor


60

Lampiran 4. Contoh Form Pelaporan Narkotika


61

Lampiran 5. Contoh Form Pelaporan Psikotropika

Anda mungkin juga menyukai