Anda di halaman 1dari 184

INTERNAL DIALOGUE IN A COGNITIVE PROCESS TO DEAL

WITH BROKEN HOME EVENT (STUDY CONTENT ANALYSIS)

Naimah Novianti
46114120126

ABSTRACT

Individual who experience negative events sometimes focus on problems that


make them ruminate things. However, there are also people who see from a different
perspective, so they are able to self-reflect. This study aims to describe a person's
internal dialogue along their cognitive processes when addressing the events of
broken home by writing. This study uses a qualitative approach with content analysis
method. The study involved seven subjects experiencing broken home, which consist
of five women and two men. The data obtained are from texts of their writing during
four days training in a University in Jakarta. The result showed that seven subjects
were able to do internal dialogue during the cognitive process by reconstructing the
events they had experienced. They who were able to do internal dialogue will process
it cognitively which is one of the self-evaluation methods that has been proven for
each subject in shaping self-concept and self-development.
Keywords: Internal Dialogue, Cognitive Process, Qualitative, Content Analysis,
Broken Home
DIALOG INTERNAL DALAM PROSES KOGNITIF
MENGHADAPI PERISTIWA RETAKNYA KELUARGA (STUDI
ANALISIS ISI)

Naimah Novianti
46114120126

ABSTRAK

Individu yang mengalami peristiwa negatif terkadang fokus dengan


permasalahan hingga membuat dirinya ruminasi. Namun, ada juga individu yang
melihat dari perspektif berbeda sehingga mampu melakukan refleksi diri. Penelitian
ini bertujuan untuk menggambarkan dialog internal dalam proses kognitif seseorang
ketika menyikapi peristiwa retaknya keluarga yang dilakukan dengan menulis.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode analisis isi. Subjek
penelitian berjumlah tujuh orang yang pernah mengalami peristiwa retaknya keluarga
dan subjek terdiri dari lima perempuan dan dua pria. Data diperoleh dari teks tulisan
subjek yang mengikuti pelatihan selama empat hari di salah satu universitas swata
Jakarta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketujuh subjek mampu melakukan
internalisasi dialog ketika proses kognitif berlangsung dengan merekonstruksi
kembali peristiwa yang pernah mereka alami. Individu yang melakukan dialog
internal akan memprosesnya dalam kognitif yang merupakan salah satu metode
evaluasi diri yang terbukti bermanfaat untuk masing-masing subjek dalam
membentuk konsep diri dan pengembangan diri.
Kata Kunci : Dialog Internal, Proses Kognitif, Kualitatif, Analisis Isi, Retaknya
Keluarga
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Setiap individu pasti mengalami masa senang dan masa sulit, masa

senang akan menunjukkan ekspresi emosi positif dan masa sulit akan

menunjukkan ekspresi negatif. Ketika individu menghadapi masa sulit tak

jarang peristiwa sulit diekspresikan dengan cara sedih, kecewa, marah dan

masa senang dimaknai secara positif seperti bahagia, bersyukur, ikhlas dan

sebagainya. Masa-masa ini yang disebut dengan pengalaman, bentuknya bisa

saja positif (e.g., penghargaan, dicintai orang terkasih, mendapatkan hidayah,

kejutan, dsb) ataupun negatif (e.g., perceraian, pertengkaran, kehilangan,

dikhianati). Pengalaman negatif sering kali dikaitkan dengan peristiwa sulit

yang tidak dapat dilupakan karena sifatnya yang membekas dalam ingatan.

Reaksi emosi terhadap pengalaman buruk yang aktif akan di proses dalam

prefrontal cortex atau lobus frontal dan disimpan dalam long term memory

atau memori jangka panjang (Curtis & D’Esposito, 2003).

Begitu juga peristiwa sulit yang dialami individu yang mengalami

retaknya keluarga atau Broken Home. Broken Home adalah suatu kondisi

dimana keluarga mengalami perpecahan dikarenakan keluarga bercerai

ataupun tidak harmonis. Kondisi sulit ini tak dipungkiri berdampak signifikan

terhadap perjalanan hidup seseorang dalam mempersepsikan pengalaman

negatif yang dialami. Melihat pertengkaran, hubungan keluarga yang tidak


harmonis, kesenjangan dalam rumah tangga terus menerus. Tentu akan

memberikan value dan belief yang tersimpan dalam ingatan secara

berkepanjangan (Theobald, Farrington, & Piquero, 2013).

Pada tahun 2015 menurut Badan Peradilan Agama kasus perceraian

khusus daerah DKI Jakarta saja telah tercatat sebanyak 10.000 ribu kasus

(Nurilah, 2016). Secara garis besar, Indonesia menurut data statistik KPAI

(Komisi Perlindungan Anak Indonesia) kasus anak korban perceraian tahun

2011 hingga 2016 menduduki peringkat kedua dengan jumlah kasus 4.294

(Komisi Perlindungan Anak Indonesia, 2016). Selain itu, fakta lain ditemukan

bahwa dampak trauma psikologis anak akan mengurangi kualitas generasi

muda secara berkepanjangan (Republika, 2016). Lebih lanjut, kasus

perceraian menurut Badan Peradilan Agama (Badilag), Mahkamah Agung

menyatakan ada 315 ribu kasus permohonan perceraian dengan persentase

sebesar 84 persen. Sedangkan sebesar 67 persen permohonan perceraian telah

dikabulkan oleh Pengadilan Agama (Nurilah, 2016).

Meskipun demikian individu yang besar dan tumbuh dari tekanan dan

masalah yang cukup berat, sering kali lebih mampu mengambil jarak diri

(self-distance) dan melihat dari perspektif berbeda untuk mencapai kesadaran

diri dan mengambil makna dari pengalaman negatif ia alami (Kross & Ayduk,

2011; Morin, 2018). Tentu semua tidak semudah membalikkan telapak

tangan, peristiwa sulit yang mungkin dialami individu (e.g korban perceraian

orang tua) perlu adanya refleksi diri secara adaptif (Bahiyah & Savitri, 2018).
Ketika individu telah mampu mengekspresikan atau mengungkapkan

peristiwa yang ia alami, maka secara tidak langsung proses kognitif

(cognitive process) terjadi. Individu akan memusatkan kembali segala

perhatian dan melakukan reka ulang peristiwa dalam pikirannya. Kemampuan

memaknai permasalahan yang dihadapi akan sangat membantu individu

dalam meregulasi diri (Kross & Ayduk, 2017).

Sebagai contoh kisah remaja berinisial KN yang pernah mengalami

peristiwa sulit. Kekhawatiran dibalut rasa tidak berani untuk menceritakan

masalah yang ia rasakan ketika ibu tiri KN bersikap baik hanya disaat ada

ayah subjek.

“…Pada saat kelas 12 semester awal, KN mengalami depresi

sampai harus mengikuti konseling act and feel secara

online...ibu tirinya selalu bersikap baik ketika ada papa nya

KN…namun akhirnya KN memutuskan untuk tinggal di

Jakarta dan focus pada kuliahnya…” (KN.1.1.1; KN.2.1.2;

KN.3.3.1)

Ketika pusat perhatian terfokus pada diri sendiri, seseorang akan larut

(immersed) dan membuat dirinya semakin merenungkan permasalahan.

Perenungan yang dilakukan dapat saja berdampak negatif secara psikis.

Namun, bisa juga berdampak positif jika dilakukan bertujuan untuk

mendapatkan solusi dari permasalahan yang dihadapi (Kross & Ayduk, 2017).

Jauh sebelum seseorang memainkan perasaannya dengan memikirkan dan


mempertanyakan kepada diri sendiri tanpa disadari individu melakukan dialog

secara internalisasi dan mengolah setiap kata demi kata menjadi kalimat

dalam pikirannya. Dalam dunia psikologi ini disebut Inner Speech yang

termanifestasi dalam pikiran seseorang sebagai Dialog Internal, yaitu suatu

aktivitas berbicara sendiri dalam pikiran dan tanpa suara (silence). Dialog

internal dilakukan sebagai tindakan laten individu saat berbicara dengan

dirinya sendiri tentang apa yang ia pikirkan dan rasakan (Morin, 2012).

Sebagai contoh dalam peristiwa sulit yang dialami oleh KN, subjek

mengatakan bahwa dirinya terus-menerus memikirkan peristiwa tersebut dan

meratapi hingga terlintas dipikirannya untuk melakukan hal negatif.

“....Padahal KN tidak bisa dibilang baik2 saja jika setiap

malam terus menangis tanpa sebab dan selalu berpikir akan

bunuh diri...KN tidak mau terus2an membebani dan

merepotkan keluarga Jakarta. Tapi disatu sisi KN tidak terlalu

dekat dengan papanya. Lalu KN harus kemana?...” (KN.1.2.1;

KN.3.3.2; KN.3.3.3).

Pengalaman negatif ini dimaknai oleh subjek sebagai suatu peristiwa

yang sulit terlupakan karena sifatnya yang terus berulang setiap hari. Sehingga

intensitas dari setiap potongan puzzle pengalaman itu otomatis terekam dan

dapat dijelaskan secara detail. Secara alamiah, manusia akan melakukan


internalisasi dialektika pada dirinya membentuk suatu kalimat pemikiran

untuk merefleksikan suatu kondisi yang pernah atau akan dialami.

Plato tokoh filsuf pertama yang menuliskan bahwa “ketika pikiran

berpikir, ia berbicara sendiri, mengajukan pertanyaan dan dijawab oleh

dirinya sendiri” (Morin, 2012). Menurut Plato aktivitas berpikir sebagai

internalisasi dialog dalam pikiran, terjadi pada seseorang yang seolah-olah

sedang melakukan percakapan.

Refleksi diri merupakan ciri khas dalam diri manusia dan berfungsi

secara mentalitas meningkatkan kesadaran diri manusia, untuk mencapai hal

tersebut manusia akan berdialog dengan dirinya sendiri (Morin, 2018).

Refleksi diri sangat berkaitan dengan kemampuan diri manusia dalam

melakukan coping dan regulasi emosi yang memungkinkan manusia

memaknai dari setiap kejadian yang ia alami. Refleksi diri adalah proses

untuk fokus pada suatu hal seperti pengalaman, pikiran dan perasaan. Refleksi

diri yang adaptif akan menghasilkan penyelesaian konflik batin yang dialami

oleh manusia. Sedangkan, refleksi diri maladaptif cenderung menyebabkan

depresi, cemas, dan psikopatologi lainnya yang disebut ruminasi saat manusia

melihat dan menggunakan perspektif Self-immersed (Nolen-Hoeksema,

Wisco, & Lyubomirsky, 2008).

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa ketika seseorang melakukan

refleksi diri cenderung akan berkomunikasi secara intrapersonal, dengan

melakukan dialog dalam pikirkannya dan berusaha mencari jalan keluar dari
peristiwa sulit yang sedang dihadapinya. Gillespie (dalam Bahiyah & Savitri,

2018) menyatakan bahwa refleksi diri bersifat pengalaman fenomenologis

sementara. Hal ini setara dengan aktivitas seseorang ketika mendapatkan

insight atau menemukan AHA moment. Namun, proses otak di saat inilah

terdapat self-awareness atau kesadaran diri secara penuh. Kesadaran diri

untuk membuat keputusan selanjutnya, tetap berada disini (Freeze),

menghindarinya (flight), atau justru melawan (fight) (Seng & Group, 2018).

Pada tahun 2013 Morin dan Uttl melakukan pengembangan penelitian

mengenai inner speech dan kesadaran (consciousness) yang dilakukan pada

500 partisipan. Penelitian ini menghasilkan sebuah penemuan bahwa individu

yang sering melakukan Inner Speech dengan cara berpikir menggunakan

perspektif lain terhadap dirinya cenderung memiliki pemaknaan lebih baik

dalam mengevaluasi diri (Self-evaluation), memunculkan opini lain, dan

meningkatkan penampilan atau performa lebih baik dibanding yang tidak

melakukan. Dengan kata lain, individu yang senantiasa berdialog dengan

dirinya sendiri cenderung memiliki kesadaran untuk melakukan intropeksi

diri. Selain itu, penelitian ini menemukan bahwa Inner Speech dapat

dipadukan dengan literature (e.g., menulis, berbahasa) yang memberikan

manfaat untuk regulasi diri atau Self-regulation (Morin & Uttl, 2013).

Sejak tahun 1978 Vygotsky mengemukakan dan mengembangkan

teori terkait diri dan pikiran yang terus dikembangkan oleh peneliti-peneliti

terkini (Vygotsky, 1978). Namun, di Indonesia sendiri penelitian mengenai


fenomena internalisasi dialog belum banyak yang meneliti terkhususnya

terkait dialog internal dalam proses kognitif individu yang mengalami broken

home. Sehingga, hal ini membuka peluang untuk peneliti mengkaji lebih

dalam.

Berdasarkan uraian diatas maka peneliti tertarik melihat gambaran isi

dialog internal dalam proses kognitif seseorang ketika menghadapi peristiwa

broken home. Selain itu, peristiwa sulit yang subjek ceritakan melalui media

teks atau tulisan selama 4 hari berturut-turut pada studi awal penelitian

Narrative Writing akan peneliti analisis menggunakan metode analisis isi.

Kecenderungan dialog internal seperti apakah yang muncul ketika seseorang

mengalami peristiwa negatif terutama individu yang memiliki pengalaman

sebagai korban perceraian orang tua atau broken home.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian, maka rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah “Bagaimanakah gambaran dialog internal dalam

proses kognitif individu yang menghadapi peristiwa retaknya keluarga atau

broken home ?”

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan gambaran dialog internal

dalam proses kognitif seseorang ketika menghadapi peristiwa sulit.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu gambaran ketika

seseorang menyikapi peristiwa sulit yang dialami melalui internalisasi

dialog.
1.4. Manfaat Penelitian

Berdasarkan rumusan dan tujuan penelitian ini, maka manfaat dari

penelitian ini secara teoritis untuk menambah khasanah keilmuan khususnya

dalam bidang ilmu psikologi. Sedangkan secara praktis manfaat dari

penelitian ini adalah melihat proses kognitif individu ketika melakukan

dialog internal sebagai perantara perspektif dirinya dan diharapkan

memberikan cara pandang yang baru dalam memikirkan penyelesaian

masalah yang dihadapi.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Dialog Internal

2.1.1. Definisi Dialog Internal

Menurut Progroff definisi dialog internal adalah proses komunikasi

yang terjadi pada manusia secara implisit di dalam dirinya membentuk sebuah

pemikiran, seolah-olah melibatkan dua orang atau pikiran yang saling

bersebrangan(Goldstein & Kenen, 1988).

Pendapat selaras diungkapkan Blachowicz (1999) pengertian dialog

internal yaitu, suatu “percakapan” yang terjadi antara dua kognitif berbeda

dalam diri, namun fungsinya tidak terpisahkan sebagai yang pertama atau

kedua, mereka (kognitif) membentuk komunikasi yang menghubungkan

percakapan batin atau inner speech dalam kesadaran manusia.

Sementara itu, Sokolov mendefinisikan dialog internal adalah

kemampuan berbahasa dan berbicara dengan diri sendiri secara verbalisasi

tanpa suara yang memiliki peran dalam proses mengelola informasi secara

logis untuk mencapai realitas dan pemahaman terhadap suatu konsep

(Solokov, 1972).

Dialog internal menurut Simonov adalah suatu kemampuan

berkomunikasi secara sadar melakukan dialog bermakna dengan diri sendiri

untuk mencapai kesadaran diri atau self-awareness (Morin, 2005).


Maka kesimpulan yang dapat peneliti tarik bahwa dialog internal

adalah suatu aktivitas komunikasi dalam pikiran yang membentuk percakapan

dengan diri sendiri demi mencapai kesadaran diri dan mengolah informasi

secara logis untuk membentuk suatu konsep.

Sejak era psikologi humanistik, psikolog menggunakan teknik dialog

internal sebagai solusi untuk merepresentasikan masalah yang sering kali di-

repress dan diabaikan oleh klien (Goldstein & Kenen, 1988). Lebih lanjut,

dialog internal sangat berpotensi sebagai proses melihat diri “self” yang lain

untuk mendapatkan perspektif berbeda dalam diri seseorang. Individu yang

sehat secara mental sangat dipengaruhi oleh kemampuan seseorang untuk

sadar (consciousness) seutuhnya sebelum bertindak. Kesadaran diri seseorang

sangat berkaitan erat dengan dialog internal yang dilakukan individu, maka

tidak mengherankan apabila kehidupan manusia tidak lepas dari namanya

konflik batin (Blachowicz, 1999). Hal ini disebabkan kognitif internal

manusia secara pribadi dapat membentuk dua pemikiran yang berbeda, hal

ini disebut dengan Inner speech yaitu, suatu aktivitas percakapan batin

dengan diri sendiri (Morin, 2005; 2012).

Menurut Vygotsky inner speech merupakan bentuk silent expression

atau ekspresi yang dimunculkan hanya dalam pikiran secara sadar pada diri

sendiri dan membentuk sebuah bahasa yang koheren (Perrone-Bertolotti,

Rapin, Lachaux, Baciu, & Lœvenbruck, 2014). Lanjut, Vygotsky dalam

teorinya menyatakan fenomena ini sebagai kemampuan berbahasa yang


merupakan prinsip dasar perkembangan manusia terutama untuk

meningkatkan intelektual, jika diajarkan sejak dini (Vygotsky, 1989). Inner

Speech juga digambarkan sebagai situasi yang terjadi dalam pikiran segera

setelah stimulus bayangan (imagery) muncul atau sekedar menghasilkan

sensasi dalam diri yang di persepsikan oleh pikiran dan dimaknai,

kemampuan ini akan mendorong individu mengontrol setiap tindakannya

(Jun, 2018). Selain itu, Morin (2012) percaya bahwa ketika manusia

menghadapi permasalahan atau sesuatu yang terpikirkan maka manusia akan

menciptakan percakapan secara internalisasi dalam dirinya.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa inner speech memfasilitasi untuk

mengekspresikan diri, menganalisis, mengontrol, dan mengembangkan

kemampuan bahasa seseorang. Aktivitas inner speech yang membentuk

adanya fenomena dialog internal dalam diri yang terjadi secara laten dan

hanya diketahui oleh individu tersebut.

2.1.2. Fungsi Dialog Internal

A. Regulasi Diri

Fungsi inner speech mengacu kepada aktivitas orang dewasa

dalam meregulasi diri (e.g melakukan perencanaan, mencari solusi

atau problem solving) dan penyemangati diri sendiri (Self-motivation)

(Morin, Duhnych, & Racy, 2018). Contoh, ketika dalam keadaan

genting dan harus menyelesaikan tugas dengan segera (e.g., Baik,

saatnya untuk bangkit, dan menyelesaikan semua pekerjaan ini).


Kalimat tersebut menunjukkan bahwa setiap manusia pasti akan

melakukan Inner Speech dalam keadaan apapun untuk memotivasi

dirinya, memikirkan kembali permasalahan yang dihadapi, membuat

keputusan, membuat target tujuan atau goal, dan menciptakan emosi

positif (positive emotion). Inner Speech juga berguna untuk proses

regulasi diri, ketika individu melakukan intropeksi diri, sangat

bermanfaat mengembalikan kepercayaan diri. Dengan adanya regulasi

diri akan memberikan hasil atau outcomes yang baik terhadap

perkembangan pribadi seseorang (Morin & Uttl, 2013)

B. Kesadaran Diri (Self-Awareness)

Menurut Morin bahwa secara socioecological model, ketika

seseorang melakukan inner speech perlu adanya self-awareness yaitu

kemampuan untuk terus menyadarkan diri dalam kondisi sepenuhnya

sadar (consciousness). Kesadaran diri (self-awareness) merupakan

kapasitas seseorang sebagai individu untuk sadar terhadap dirinya dan

lingkungan sekitar. Sehingga mampu memahami kehidupan dan

memusatkan perhatian secara penuh pada objek disekitarnya. Hal ini

akan memberikan dampak positif ketika kita berada pada situasi baru,

atau lingkungan sosial baru dan segera diproses secara kognitif.

Dengan kata lain, kemampuan self-awareness merupakan kemampuan

untuk mengetahui, merasakan stimulus untuk membantu seseorang


dalam berfikir secara bottom-up agar mencapai sebuah keputusan dan

melihat realitas terhadap kemampuan diri sendiri (Morin, 2011).

C. Berpikir Kritis (Critical Thinking)

Fungsi lainnya dari inner speech untuk kehidupan sehari-hari

sebagai critical thinking. Critical thinking atau berpikir kritis sangat

bermanfaat untuk mengkritisi sesuatu atau peristiwa yang dialami

seseorang dan mengevaluasinya. Selain itu, berpikir kritis terkadang

juga dapat menghasilkan berpikir heuristik, yaitu cara berpikir sepintas

saat membuat keputusan ataupun secara sepintas menilai sesuatu.

Berpikir kritis juga berguna ketika seseorang sedang mempelajari atau

memahami sesuatu dengan mempertanyakan atau berdiskusi dengan

diri sendiri (e.g., memahami teori, peristiwa yang terjadi). Dalam hal

ini, proses working memory seseorang akan aktif dan membentuk

ingatan jangka panjang ataupun pendek, hal ini penting dilakukan

sebagai cara mengasah kemampuan kognitif yang melibatkan

kompleksitas cara kerja otak manusia ( Morin, 2012; 2018).

Maka kesimpulan dan fungsi dialog internal adalah untuk

meregulasi diri, kesadaran diri dan berpikir kritis. Dari ketiga hal ini,

akan membantu aktivitas individu sehari-hari dalam membuat

keputusan, mencari solusi, mengingat jangka panjang dan pendek,


memahami bahasa, mengontrol diri, mengekspresikan emosi, membuat

alasan, menentukan tujuan, dan merefleksikan diri.

2.2. Definisi Refleksi Diri

2.2.1. Pengertian Refleksi Diri

Menurut Csikszentmihalyi refleksi diri adalah kemampuan individu

mengamati diri sendiri dari sudut pandang orang lain dalam menilai dirinya,

sehingga refleksi diri saling berkaitan dengan proses pencerminan diri (Barkai

& Rappaport, 2011).

Pendapat berbeda diungkapkan Nolen-Hoeksema dkk bahwa refleksi

diri adalah kemampuan kognitif individu untuk fokus pada diri sebagai objek

dalam merasakan kembali pengalaman, pikiran, dan perasaan negatif yang

dapat menyebabkan ruminasi yang disebut juga maladaptive reflection

(Nolen-Hoeksema et al., 2008).

Kross menjelaskan lebih rinci definisi refleksi diri sebagai proses

memahami diri dengan fokus pada pengalaman dan perasaan negatif yang

terkadang larut (immersed) di dalamnya, sehingga refleksi diri dijadikan

sebagai mekanisme mengambil jarak diri (self-distancing) untuk menemukan

perspektif lain dalam diri (Kross, 2009).

Maka kesimpulan yang dapat peneliti tarik bahwa refleksi diri adalah

kemampuan individu mengamati, memahami, merasakan kembali

pengalaman, perasaan, dan pikiran untuk menemukan sudut pandang berbeda

sehingga dapat memaknai sebagai perjalanan hidup.


Refleksi diri berfungsi untuk mengembangkan kompetensi, mendorong

seseorang semakin dewasa menyikapi suatu peristiwa negatif. Refleksi diri

atau self-reflection akan semakin meningkat bersamaan dengan kapasitas

kesadaran diri yang dialami menginjak usia remaja (Barkai & Rappaport,

2011). Peristiwa negatif yang seseorang alami seperti keputusasaan,

perenungan, memutar kembali peristiwa, mengulang-ulangnya bahkan hingga

mengalami kecemasan, menjurus pada depresi (Bahiyah & Savitri, 2018).

Potensi negatif ini perlu untuk dicegah, agar tidak menjadi ruminasi

(ruminate), yaitu suatu perenungan maladaptif, sikap ruminasi yang

ditimbulkan ini yang disebut dengan perspektif self-immersed. Sedangkan,

refleksi diri merupakan kemampuan untuk mengamati diri sendiri

menggunakan perspektif individu dan perspektif yang lain yang ada dalam diri

yang disebut dengan (self-distancing) (Kross & Ayduk, 2017). Dengan

demikian, keterkaitan self-reflection berkaitan erat proses berpikir secara

kognitif melalui inner speech (Morin, 2018).

Dapat disimpulkan bahwa, refleksi diri merupakan fenomena dari

kemampuan intropeksi diri yang mana ketika melakukan aktivitas refleksi

tekadang individu bisa saja larut ataupun berjarak dengan dirinya untuk

mendapatkan perspektif lain. Selain itu aktivitas refleksi diri berkaitan dengan

internal dialog yang terjadi pada individu ketika memikirkan kembali

peristiwa yang dialami.


2.2.2. Self-Distancing dan Self-Immersed

A. Self Distancing

Self-Distancing atau jarak diri adalah kemampuan seseorang

untuk membentuk perspektif lain dalam diri dengan cara memberi

jarak dan berusaha mengamati peristiwa dengan sudut pandang yang

lain. Jarak diri memberikan peluang untuk diri sendiri melihat dan

mengamati peristiwa sulit yang pernah dihadapi. Self-distancing

digunakan sebagai mekanisme refleksi diri (Ayduk & Kross, 2010b).

Individu yang mampu menganalisis perasaan dari perspektif Self-

distancing cenderung lebih adaptif dalam menyikapi suatu peristiwa

(e.g perceraian, broken home, kehilangan seseorang). Selaras dengan

penelitian yang dilakukan Wisco dkk bahwa self-distancing dapat

menurunkan traumatik memori menggunakan tokoh orang ketiga

dalam diri individu sehingga secara psikologis dapat menurunkan

reaktivitas emosional individu tersebut. Self-distancing merupakan

teknik yang efektif dalam mengatasi permasalahan dalam perubahan

persepsi, pikiran dan perilaku (Wisco et al., 2015).

Adanya jarak antara diri “self” dengan dirinya memberikan

perspektif lain, orang ketiga yang memungkinkan diri sendiri

memberikan sudut pandang lain serta melakukan regulasi terhadapi

pikiran, perasaan dan perilaku ketika berada disituasi tertekan.

Seseorang yang mampu secara psikologis melakukan afeksi tidak akan


terpengaruh ketika dihadapi situasi yang genting sekalipun bahkan

kemampuan daya juang atau resiliensi akan semakin meningkat

(Barkai & Rappaport, 2011). Pengalaman negatif akan menjadi adaptif

jika diberikan pemaknaan dengan jarak diri, memberikan kesempatan

pikiran mengolah kembali peristiwa secara rasional. Ketika individu

menggunakan perspektif self-distancing secara otomatis tingkat

recounting akan menurun dan bentuk reconstruing akan meningkat.

Mengapa demikian? karena individu berusaha lebih adaptif

merefleksikan dirinya untuk melihat kembali, mengamati apa yang

telah ia alami lalu memaknainya dan lambat laun emosi tersebut

semakin teredam. Hal ini memberikan kesempatan kedua untuk

pikiran melihat konsekuensi yang mungkin timbul jika ia tetap

mempertahankan emosi negatif (Ayduk & Kross, 2010a).

B. Self-Immersed

Self-Immersed adalah ketidakmampuan untuk indvidu terlepas

dari peristiwa negatif yang dialami sehingga sulit untuk membentuk

perspektif lain dan menyebabkan diri semakin larut dalam masalah

yang dihadapi. Ketika seseorang melakukan refleksi diri terkadang

muncul sikap untuk menjadi lebih larut dan masuk ke dalam peristiwa

itu kembali secara mendalam. Penyikapan ini disebut dengan self-

immersed atau larut pada diri sendiri, larut dengan peristiwa yang

menyebabkan emosi negatif muncul. Individu yang menganalisis


perasaan yang dialami dengan perspektif self-immersed cenderung

lebih berfokus kepada pengulangan kata dan kalimat negatif

(recounting) yang terjadi pada peristiwa sulit yang dihadapinya. Hal

ini menyebabkan individu memusatkan segala kesadaran diri pada

detail situasi dan emosi yang ia alami (e.g., apakah aku tak pantas

bahagia? Bagaimana bisa ia meninggalkan aku begitu saja?) (Ayduk &

Kross, 2010b).

Individu yang terus menerus larut dengan keadaan akan

menyebabkan dirinya ruminasi. Ruminasi yang timbul pada individu

yang mengalami peristiwa negatif akan terus me-recounting dan

menunjukkan afeksi negatif yang rendah. Situasi sulit yang dimaknai

secara negatif akan menjadikan hal tersebut pengalaman negatif.

Dampak yang muncul di kemudian hari yaitu akan terus menerus

diingat yang menyebabkan ruminasi. Sedangkan pengalaman negatif

maladaptif yang terus terfokus pada peristiwanya akan merusak mood

dan memory (Mischkowski, Kross, & Bushman, 2012).

Secara kognitif pun pikiran-pikiran negatif akan memberikan

perspektif self-immersed. Dengan demikian internalisasi dialog yang

dilakukan oleh broca area atau left inferior frontal gyrus tidak akan

memberikan penyelesaian konflik batin yang terjadi pada diri individu

tersebut (Grossmann & Kross, 2010). Lebih lanjut, individu yang

gagal mengubah perasaan negatif disebabkan mereka fokus pada


pengalaman yang menyebabkan peristiwa itu terjadi sehingga semakin

sulit mengesampingkan emosi negatif dan berfikir objektif (Kross &

Ayduk, 2017).

Secara singkat, kerangka konseptual dari teori Kross & Ayduk (2017), peneliti

sajikan sebagai berikut :

Bagan 2.2.2.1. Kerangka Konsep Teori Self-Distancing


2.2.3. Dimensi dan Aspek Refleksi Diri

Bahiyah & Savitri (2018) mengadaptasi dimensi refleksi diri

adaptif berdasarkan penelitian (Kross & Ayduk, 2011). Berikut ini

dimensi dan aspek refleksi diri :

1. Reaksi Emosi

Reaksi emosi merupakan suatu keadaan individu membentuk

perspektif diri dalam menyikapsi suatu peristiwa secara larut atau

immersed dan berjarak atau distanced. Individu yang merasakan

immersed akan menjadi ruminasi yaitu, individu merasa terancam,

kehilangan, merasa diperlakukan tidak adil dan merasakan terlibat

langsung sebagaimana peristiwa itu pernah terjadi. Individu yang

ruminasi akan tenggelam dalam perenungan dan perasaan buruk pada

dirinya. Sedangkan, individu yang merasakan distanced akan merasa

dirinya berjarak dapat melihat, mengamati diri ketika mengingat

kembali peristiwa tersebut sehingga menjadi reflektif dan rasa

keingintahuan dan ketertarikan yang tinggi terhadap diri meningkat.

2. Konten Pikiran

Individu akan cenderung untuk berusaha mengulang-ulang

kalimat atau kata negatif, kesulitan menemukan solusi, tidak bermakna

dan sengaja mengingat peristiwa negatif dimana secara dimensional

disebut recounting. Sedangkan, individu yang ketika merefleksikan


diri mau menemukan sebab akibat permasalah, menafsirkan dan

memahami kembali, serta mengekspresikan persepsi subjektif dalam

memaknai peristiwa secara dimensional disebut reconstruing.

3. Penghindaran

Individu akan cenderung berusaha menghindari pemikiran dan

perasaan negatif yang muncul, dan berusaha menekan perasaan atau

emosi, serta berusaha tidak memikirkan peristiwa tersebut.

Lebih jelasnya konsep teori refleksi diri adaptif digambarkan

sebagai berikut menurut Bahiyah & Savitri (2018):

Tabel 2.2.3.1. Dimensi Refleksi Diri


Adaptif
Dimensi Aspek Karakteristik
Reaksi Emosi: Refleksi Adanya perubahan tujuan

Reaksi emosi yang muncul agar terlibat dalam

saat subjek mengingat pemecahan masalah

peristiwa negatif di masa kognitif meringankan

lalu, seperti perasaan gejala depresi.

kecewa, marah, sakit dan Memberikan konsep

reaksi fisik, individu ringkas tentang rasa

mampu menilai emosinya percaya diri yang

sendiri dimotivasi oleh

keingintahuan epistemis
dalam diri
Ruminasi Tenggelam dalam

perenungan dan perasaan

buruk yang dialaminya.

Menjadi maladaptif ketika

keinginan atau tujuan tidak

tercapai dan sesuai

keinginan. Menjadi tidak

realistis, tertekan, rugi,

tidak percaya diri,

membentuk persepsi

ancaman dan ketidakadilan

pada diri sendiri.


Konten Pikiran: Recounting Menarasikan peristiwa,

Hal yang muncul dalam memusatkan perhatian

pemikiran subjek ketika pada rantai peristiwa

memikirkan pengalaman spesifik yang terjadi

atau peristiwa negative


Reconstruing Menafsirkan atau

memahami sebab depresi,

mengekspresikan persepsi

subjektif, wawasan dan

penyelesaian, realisasi

yang membuat individu


berpikir dan merasa

berbeda tentang

pengalamannya.
Penghindaran Mengabaikan Mencoba menekan

(avoidance): perasaan tentang peristiwa

Berusaha menghindar negatif

memikirkan kejadian yang

membuatnya merasakan

emosi negatif (e.g marah,

sedih, kecewa) ketika

diminta untuk mengingat


Melupakan Mencoba untuk tidak

memikirkan peristiwa itu


2.3. Narrative Writing

Menurut Smyth dkk menulis dapat meningkatkan kesadaran diri

seseorang, apabila dilakukan dengan serius. Dengan menuliskan peristiwa sulit

yang dialami secara sadar dan menjadikan menulis sebagai mediasi untuk

menuangkan permasalahan selain melalui pikiran. Hal ini menunjukkan bahwa

dengan narasi dapat meningkatkan kesehatan dan berangsur-angsur dapat

merubah atau menurunkan tingkat pikiran menghindari masalah traumatik

(Smyth, True, & Souto, 2001). Namun, mengekspresikan pikiran dan perasaan

saja dirasa masih kurang, untuk itu dibutuhkan struktur narasi untuk menulis

ekspresif. Selain itu, membuat cerita dalam bentuk narasi dapat membentuk

kognisi seseorang dan secara tidak langsung individu telah melakukan regulasi

diri dengan story making yang mereka buat (Graybeal, Sexton, & Pennebaker,

2002).

Tentunya disaat seseorang membuat keputusan, ada pemaknaan dalam

diri yang menjadi landasan untuk bertindak, sama seperti ketika melakukan Inner

speech writing atau menulis dengan berdialog dalam pikiran secara internal

(Moffett, 1982; Perrone-Bertolotti et al., 2014). Ketika hal ini terjadi seseorang

sedang melakukan interaksi dalam pikiran, menelaah, mengingat kembali

kejadian atau daftar belanjaan apa yang ingin dibelinya (Morin, 1995; 2017).

Temuan pennebaker menunjukkan bahwa menulis ekspresif setelah mengalami

peristiwa sulit sangat bermanfaat untuk kesehatan dan regulasi pikiran

(Grossmann & Kross, 2010). Walaupun memahami perasaan negatif terkadang


menyulutkan dan mendorong seseorang tenggelam dalam renungan yang justru

memperburuk keadaan, menulis sebuah cerita mengenai pergolakan emosi atau

pengalaman negatif yang sulit dilupakan dapat menghasilkan perbaikan kesehatan

mental dan fisik. Emotional writing yang terjadi pada individu memperlihatkan

kemampuan alamiah individu dalam menyusun cerita. Menulis ekspresif

memberikan keuntungan bagi individu dan berdampak positif secara mental

(Ramírez-esparza & Pennebaker, 2006).

Pada ilmu neurokognitif Inner Speech juga sering dikaitkan dengan

kemampuan seseorang merefleksikan diri melalui sebuah tulisan sebagai cara

meregulasi diri. Selain itu, menulis juga membutuhkan pengetahuan terkait

bahasa sebagai proses mengembangkan kemampuan menulis, individu

membutuhkan sebuah penyaringan ingatan lalu menghasilkan pemikiran di dalam

otak dan diproses setiap kata per kata hingga dapat membentuk suatu kalimat

(Perrone-Bertolotti, Rapin, Lachaux, Baciu, & Lœvenbruck, 2014). Contohnya,

disaat seseorang akan menuliskan suatu peristiwa negatif yang ia hadapi, ketika

terjadi proses mengingat kembali informasi dan ingatan dalam pikiran, maka

kinerja otak akan meningkat dan memutar kembali peristiwa yang pernah dialami.

Proses working memory ini akan menghasilkan speech atau percakapan dalam

benak pikiran manusia sebelum ia menceritakan kembali dalam bentuk tulisan.

Proses ini memberikan suatu kepadatan berpikir yang melibatkan fungsi persepsi

dan memori seseorang sebelum membuat keputusan dan menemukan solusi

(Morin & Uttl, 2013).


Maka disimpulkan bahwa melakukan kegiatan menulis narasi akan

membantu seseorang yang bisa saja terbiasa atau pun tidak terbiasa untuk

melakukan internalisasi dialog. Menulis ekspresif akan membantu seseorang

secara tidak langsung memikirkan kembali peristiwa tersebut dan menuangkan

refleksi dalam bentuk tulisan. Manfaat dari menulis pun dapat membantu

seseorang untuk meningkatkan kesadaran dan kesehatan seseorang, hal terkecil

seperti berpikir positif dan menghindari melakukan penghakiman terhadap diri

sendiri.

2.4. Peristiwa Broken Home

2.4.1. Definisi Broken Home

Pengertian broken home (keluarga tak utuh) adalah situasi keluarga

hanya dengan salah satu orang tua kandung dalam rumah, yang sering juga

dikaitkan dengan keluarga tidak harmonis (Elrod, P., & Ryder, 2011). Broken

home adalah situasi sulit yang di hadapai keluarga ketika salah satu diantaranya

(ibu atau ayah) memilih untuk berpisah dan anggota keluarga lainnya (anak)

harus menerima keputusan tersebut (Saikia, 2017). Tentunya, anak-anak yang

terlahir dari orang tua yang bercerai akan mengalami pengalaman yang berbeda

dengan anak yang memiliki keluarga ideal. Peristiwa sulit seperti broken home

dapat mengganggu dan membingungkan untuk anak-anak. Hal ini menjadi dasar

hambatan perkembangan mental anak, kenakalan anak di luar rumah dan

pandangan anak terhadap orang tua akan berubah menjadi negatif (Haryanti,

2018).
2.4.2. Penyebab Broken Home

Kondisi keluarga yang terpecah dapat disebabkan perceraian,

kesalahpahaman salah satu anggota keluarga, masalah ekonomi, kematian salah

satu orang tua, pengaruh orang luar (e.g., teman, mertua) dan juga kekerasan

dalam rumah tangga yang memberi dampak signifikan pada fungsi suatu

keluarga (Saikia, 2017). Dengan kata lain, penyebab broken home adalah tidak

adanya komitmen antara kedua orang tua, ketidakmampuan menyelesaikan

masalah secara dewasa, dan juga tidak saling percaya satu sama lain. Faktor-

faktor keretakan keluarga memposisikan anak sebagai korban dari keegoisan

orang tua karena harus ikut mengalami situasi sulit yang diciptakan oleh orang

tuanya. Theobald dkk menambahkan bahwa penyebab signifikan dari keretakan

keluarga yaitu, konflik orang tua, kriminalitas atau sikap anti sosial orang tua,

stress dan traumatik pengalaman masa lalu orang tua. Lanjut, anak-anak yang

mengalami keretakan keluarga (broken home) memiliki kontrol diri yang rendah,

sehingga sering bersikap agresif, impulsif, terlibat perilaku beresiko (e,g.,

berjudi, minuman keras, penyalahgunaan obat-obatan), berkelahi, dan sikap tidak

bertanggung jawab terhadap perbuatannya (Theobald et al., 2013).

2.4.3. Dampak Broken Home

Dampak negatif dari keluarga tak utuh atau broken home pada anak adalah

terhambatnya perkembangan emosional, pendidikan, sosial anak (Saikia, 2017).

Sehingga, anak menjadi kurang peka dengan keadaan di lingkungannya, merasa


kesepian, merasa kurang diperhatikan. Tidak heran apabila individu dengan

keluarga tak utuh sering kali mencari masalah di luar rumah demi mendapatkan

perhatian dari orang-orang disekitarnya. Selain itu, kenakalan yang akan

menjurus kepada penggunaan narkotika, mudah depresi, melakukan tindakan

kejahatan, melakukan hubungan intim di luar nikah, dan minum-minuman keras

(Amato, 2000; Ongider, 2013). Di sisi lain, dampak positif dari keretakan

keluarga dapat membuat anak lebih optimis dan memotivasi diri untuk belajar

menjadi pribadi yang lebih baik (Haryanti, 2018).

Dampak berkepanjangan pada anak di kemudian hari ketika dewasa ialah

individu tidak mampu beradaptasi dan terus menyalahkan keadaan seperti jika

gagal menjalin hubungan dengan lawan jenis, akan menganggap hal tersebut

terjadi akibat riwayat atau latar belakang keretakan keluarga (Friesen, John

Horwood, Fergusson, & Woodward, 2017). Secara dinamika keluarga pun anak

akan mengalami masalah dengan perilaku dan proses belajarnya, sikap

menentang keluarga akibat dari frustasi yang dialami anak, rendahnya interaksi

anak dengan orang tua, masalah penyesuaian diri karena rendahnya self-esteem.

Lebih rinci dampak lain yang mungkin ditimbulkan seperti, mudah tersinggung,

sensitif, sedih, khawatir melihat orang tua bersedih, merasa malu, kesepian

mendalam, takut dikucilkan di lingkungan sekitar, merasa berbeda dengan teman

sebayanya (Saikia, 2017). Sedangkan, anak yang mudah beradaptasi mampu

memaknai peristiwa kerekatan keluarga sebagai bentuk perjalanan hidup dan

pembelajaraan untuk dirinya seperti tidak ingin mengulangi tindakan atau


keputusan yang pernah orang tua lakukan. Secara adekuat, dukungan orang tua,

tanggung jawab terhadap kebutuhan anak, dan terus membimbing anaknya pasca

perceraian akan sangat bermanfaat bagi perkembangan anak tersebut (Amato,

2000).

Maka kesimpulannya peristiwa broken home memiliki dampak negatif

terhadap generasi penerus dalam keluarga tersebut. Sebab dan dampak kerekatan

keluarga akan sangat mempengaruhi segala aspek terutama pendidikan, sosial

dan emosi anak. Selain itu, anak yang tumbuh dewasa dari keluarga yang tak

utuh rentan akan pengalaman negatif yang diciptakannya sebagai bentuk

pelampiasan problematika keluarga yang terkadang maujud dari perilaku yang

dibuatnya sendiri.

2.5. Skema Berpikir

Broken Home merupakan peristiwa negatif yang dialami oleh anak-anak

dengan keluarga tidak utuh yang bisa disebabkan oleh orang tua yang bercerai

atau disharmonis (Theobald et al., 2013). Permasalahan Broken Home sangat

mempengaruhi perkembangan anak secara psikologis, berakibat fatal terhadap

pengalaman hidup anak di kemudian hari ketika beranjak dewasa. Pengalaman

negatif ini dapat mengakibatkan traumatis berkepanjangan ataupun pemaknaan

yang positif sehingga individu mampu melakukan refleksi diri. Kemampuan

refleksi diri tidak dipungkiri berkaitan erat dengan emosi negatif dan positif yang

ditimbulkan individu ketika berdialog secara internalisasi. Sehingga untuk


menciptakan dialog internal individu perlu adanya kemampuan refleksi diri

(Morin, 2018; Morin, Duhnych, & Racy, 2018).

Kemampuan individu mampu membentuk perspektif lain akan membuat

jarak diri (self-distanced) sehingga memunculkan refleksi diri, individu yang

refleksi akan cenderung menampilkan kalimat dialog internal refleksi yang

terbagi menjadi tiga bagian yaitu reconstruing, emosi positif, dan pemaknaan.

Sedangkan, ketidakmampuan seseorang membentuk perspektif lain saat

mengingat peristiwa negatif akan membuat dirinya larut (self-immersed) sehingga

memunculkan ruminasi, individu yang ruminasi akan cenderung menampilkan

kalimat dialog internal ruminasi yang terbagi menjadi tiga bagian yaitu

recounting, emosi negatif, dan penghindaran (Kross & Ayduk, 2017).

Lebih jelasnya, penulis menggambarkan kerangka berpikir kedalam

bentuk sekma berpikir sebagai berikut:

Bagan 2.5.2. Skema Berpikir

Refleksi Reconstruing
Emosi Positif
PERISTIWA
BROKEN Pemaknaan
HOME Internal Dialog

Recounting

Ruminasi
Emosi Negatif
Penghindaran

2.6. Penelitian Terdahulu

Tabel 2.6.2. Penelitian Terdahulu mengenai Inner Speech dan Refleksi Diri

No. Nama Peneliti Judul Penelitian Hasil Penelitian


1. Alain Morin dan Bob Inner Speech a window into Penelitian melibatkan 500 partisipan
Uttl (2013) consciousness menemukan bahwa inner speech sering
dilakukan antara ”self” dengan pikiran
lain di dalam diri agar mencapai
evaluasi diri, mendapatkan opini lain,
mengomentari penampilan dan
performa. Inner speech yang sering
dilakukan akan membantu dalam
regulasi diri seperti membuat
perencanaan, menemukan solusi, dan
fungsi mnemonic (fungsi mengingat dan
menghafal)
2. Alain Morin (2018) The self-reflective function Hasil penelitian menyatakan bahwa
of inner speech: Twelve hubungan antara self-reflection dan
years later inner speech akan membentuk dialog
internal saat individu melakukan
percakapan dengan diri sendiri.
Secara intuitif, ide dan gagasan individu
yang dilakukan secara verbalisasi akan
memberikan kesadaran diri dan
menjadi kunci dari refleksi diri.
Kemampuan inner speech dalam
refleksi diri memberikan hasil regulasi
diri, evaluasi diri, serta konsep diri

3. Ayelet R. Barkai dan ”A Psychiatric Perspective Penelitian yang melibatkan sample


Nancy Rappaport on Narrative of Self- berusia 25-26 tahun merupakan studi
(2011) Reflection in Resilient longitudinal selama 3-4 tahun yang
Adolescents” memiliki high-risk untuk melihat
keterkaitan dengan bernarasi. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa adanya
relevansi narasi dengan pengembangan
refleksi diri. Sintetis teoritis yang
menjelaskan hubungan antara refleksi
diri, kompetensi, dan resilien
menunjukkan adanya korelasi positif
antara refleksi diri dan resiliensi pada
dewasa awal.
4. Ethan Kross dan Making Meaning Out of Hasil dari penelitian ini menunjukkan
Ozlem Ayduk (2011) Negative Experiences by bahwa manfaat dari self-distancing
Self-distancing secara general pada populasi yang
rentan (e.g depresi, borderline
personality disorder, dan post-
traumatic stress disorder) memiliki
dampak yang positif untuk kesehatan
individu tersebut. Namun, diharapkan
penelitian berikutnya mengujikan
apakah manfaat melakukan self-
ditancing dengan jangka waktu lama
memiliki asosiasi dengan proses
kesehatan individu yang rentan
5. Ozlem Ayduk dan From a Distance: Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
Ethan Kross (2010) Implications of self-distancing dapat memfasilitasi
Spontaneous Self- refleksi diri terhadap memori negatif
Distancing for Adaptive dan secara reaksi emosional dapat
Self-reflection memediasi partisipan dalam
mengkonstruksi kembali pengalaman
negatif mereka. Self-distancing secara
spontan juga memiliki asosiasi dengan
kemampuan memecahkan masalah.
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian menggunakan kualitatif dan kuantitatif sebagai

penunjang dengan metode analisis isi. Pendekatan kualitatif Analisis isi atau

konten digunakan peneliti untuk mendapatkan gambaran detail dari suatu

teks atau pesan yang terdapat dalam tulisan (Ferdiansyah, 2015). Sedangkan,

data kuantitatif digunakan untuk mengidentifikasi secara sistematis dari isi

teks yang tampak (manifest) yang dilakukan secara objektif, valid, reliable

dan replikatif. Sehingga, penelitian ini menggunakan analisis konten

deskriptif untuk memperoleh gambaran fakta dalam menindaklanjuti

fenomena penelitian (Elo & Kyngäs, 2008; Krippendorff, 1991).

3.2. Subjek Penelitian

Subjek penelitian dalam penelitian ini adalah Mahasiswa Strata 1 (S1)

Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana. Teknik penarikan sampel yang

digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling, yaitu sampel

ditentukan sesuai karakteristik khas yang sesuai dengan tujuan penelitian

(Eriyanto, 2011).
Adapun karakteristik yang khas dari subjek penelitian ini peneliti pilih

yaitu :

● Mahasiswa aktif Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana.

● Pernah mengalami peristiwa negatif broken home.

● Mengikuti dan menyelesaikan studi penelitian Narrative Writing

Therapy dengan menulis selama empat hari berturut-turut.

3.3. Setting Penelitian

Penelitian ini merupakan preliminary atau studi awal dari riset payung

penelitian dosen Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana. Lokasi

pengambilan data dilakukan di Universitas Mercu Buana Kampus Meruya

dan Menteng pada periode bulan Maret-April 2018.

3.4. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian eksperimen riset

payung penelitian dosen Fakultas Psikologi Universitas Mercubuana.

Sehingga, teknik pengumpulan data menggunakan studi awal narrative

writing therapy yang telah dilakukan sebelumnya. Penelitian ini dibagi dalam

empat kelompok yang diberikan instruksi manipulasi dalam pengambilan

data menggunakan perspektif pelaku dan pengamat, berikut ini

penjelasannya:
Tabel 3.4.1 Instruksi Manipulasi Pengambilan Data

Kata Ganti Personal Kata Ganti Personal

Pertama Nama Diri


Perspektif Pelaku KE1: KE2:

Pelaku-Kata Ganti Pelaku-Kata Ganti

Personal Pertama Personal Nama Diri


Perspektif Pengamat KE3: KE4:

Pengamat-Kata Ganti Pengamat-Kata Ganti

Personal Pertama Personal Nama Diri


*KE: Kelompok

Adapun instruksi manipulasi dari masing-masing kelompok yang

dilakukan dalam penelitian studi awal Narrative Writing Therapy sebagai

berikut:

KE1: Pelaku-Kata Ganti Personal Pertama

“Bagaimana pun manusia berusaha untuk tenang dan tetap


berperasaan positif, akan ada selalu saat-saat dimana kita merasakan
perasaan negatif seperti cemas, sedih, marah, kecewa, ketika sebuah
peristiwa sulit menimpa diri kita. Tutuplah mata Anda dan cobalah
mengingat peristiwa sulit yang pernah Anda alami dan mengingat
kembali seolah-olah Anda mengalami kembali dan berada pada
waktu itu, sebagai pelaku yang mengalami peristiwa itu. Ambilah
waktu Anda secara cukup untuk kembali mengingat pada saat Anda
mengalami peristiwa sulit tersebut”

Hening (5’ menit)


“Jika Anda sudah mengingat peristiwa sulit itu dan perasaan negatif
Anda pada waktu itu, tulislah peristiwa sulit tersebut dan perasaan
negatif yang Anda rasakan dengan menggunakan kata ganti pertama
(Saya atau Aku), fokuslah pada diri Anda dan perbanyakanlah
menggunakan kata saya atau aku untuk menceritakan perasaan
Anda, mengamati perasaan Anda pada saat peristiwa sulit itu Anda
alami.

KE2: Pelaku-Kata Ganti Personal Nama Diri

”Bagaimana pun manusia berusaha untuk tenang dan tetap


berperasaan positif, akan ada selalu saat-saat dimana kita merasakan
perasaan negatif seperti cemas, sedih, marah, kecewa, ketika sebuah
peristiwa sulit menimpa diri kita. Tutuplah mata Anda dan cobalah
mengingat peristiwa sulit yang pernah Anda alami dan mengingat
kembali seolah-olah Anda mengalami kembali dan berada pada
waktu itu, sebagai pelaku yang mengalami peristiwa itu. Ambilah
waktu Anda secara cukup untuk kembali mengingat pada saat Anda
mengalami peristiwa sulit tersebut

Hening (5’ menit)

Jika Anda sudah mengingat peristiwa sulit itu dan perasaan negatif
Anda pada waktu itu, tulislah peristiwa sulit tersebut dan perasaan
negatif yang Anda rasakan dengan menggunakan Nama Diri atau
Kamu atau Dia, fokuslah pada Nama Diri Anda dan perbanyaklah
menggunakan kata ganti personal Nama Diri atau Kamu atau Dia
untuk menceritakan perasaan Anda, mengamati perasaan Anda
pada saat peristiwa sulit itu Anda alami.

KE3: Pengamat-Kata Ganti Personal Pertama


“Bagaimana pun manusia berusaha untuk tenang dan tetap
berperasaan positif, akan ada selalu saat-saat dimana kita merasakan
perasaan negatif seperti cemas, sedih, marah, kecewa, ketika sebuah
peristiwa sulit menimpa diri kita. Tutuplah mata Anda dan cobalah
mengingat peristiwa sulit yang pernah Anda alami dan mengingat
kembali seolah-olah Anda sebagai pengamat yang mengamati dari
kejauhan Anda yang sedang mengalami peristiwa sulit itu. Ambilah
waktu Anda secara cukup untuk kembali mengingat pada saat Anda
mengalami peristiwa sulit tersebut

Hening (5’ menit)

Jika Anda sudah mengingat peristiwa sulit itu dan perasaan negatif
Anda pada waktu itu, tulislah peristiwa sulit tersebut dan perasaan
negatif yang Anda rasakan dengan menggunakan kata ganti
personal (Saya atau Aku), fokuslah pada diri Anda dan
perbanyakanlah menggunakan kata ganti personal (Saya atau Aku)
untuk menceritakan perasaan Anda, mengamati perasaan Anda
pada saat peristiwa sulit itu Anda alami.

KE4: Pengamat-Kata Ganti Personal Nama Diri

“Bagaimana pun manusia berusaha untuk tenang dan tetap


berperasaan positif, akan ada selalu saat-saat dimana kita merasakan
perasaan negatif seperti cemas, sedih, marah, kecewa, ketika sebuah
peristiwa sulit menimpa diri kita. Tutuplah mata Anda dan cobalah
mengingat peristiwa sulit yang pernah Anda alami dan mengingat
kembali seolah-olah Anda sebagai pengamat yang mengamati dari
kejauhan Anda yang sedang mengalami peristiwa sulit itu. Ambilah
waktu Anda secara cukup untuk kembali mengingat pada saat Anda
mengalami peristiwa sulit tersebut
Hening (5’ menit)

Jika Anda sudah mengingat peristiwa sulit itu dan perasaan negatif

Anda pada waktu itu, tulislah peristiwa sulit tersebut dan perasaan

negatif yang Anda rasakan dengan menggunakan kata ganti

personal Nama Diri, fokuslah pada diri Anda dan perbanyakanlah

menggunakan kata ganti personal Nama Diri untuk menceritakan

dan mengamati perasaan Anda saat peristiwa sulit yang Anda alami

terjadi.

Penelitian ini memiliki prosedur yang dilakukan untuk

mengumpulkan data, yaitu :

✓ Subjek menyetujui untuk mengikuti penelitian terkait peristiwa

negatif dengan mengisi informed consent yang telah dilakukan

pada studi awal penelitian eksperimen narrative writing therapy.

✓ Subjek diberikan instruksi sesuai masing-masing kelompok

perlakuan (KE1, KE2, KE3, atau KE4) ketika di dalam kelas.

✓ Penelitian ini dilakukan di luar kampus, boleh di rumah atau di

ruangan yang dapat memberikan suasana tenang untuk

memberikan ruang subjek berpikir dan bercerita selama mengikuti

penelitian ini.

✓ Sebelumnya, subjek diminta untuk mendownload DU recorder,

aplikasi berbasis android yang dapat merekam wajah dan tulisan

subjek, guna untuk mengkontrol aktivitas subjek saat menulis serta


sebagai bukti bahwa cerita yang ditulis memang milik subjek

sendiri.

✓ Subjek diminta menulis sesuai intruksi terkait peristiwa negatif

yang pernah dialami selama empat hari berturut-turut, waktu

menulis berdurasi 30 sd 60 menit.

✓ Hasil cerita yang telah ditulis oleh subjek dikirimkan (word tulisan

dan rekaman DU Recorder) melalui email yang telah di infokan

sebelumnya.

✓ Dilakukan debriefing

3.5. Instrumen Penelitian

Instrumen pada penelitian ini menggunakan blanko koding dalam

bentuk lembar data (Coding Sheet) untuk menganalisis konten kualitatif dan

kuantitaif (di lampiran) dibuat berdasarkan kategori yang telah ditetapkan

pada aspek-aspek konstruk.

3.6. Unit Analisis

Peneliti menggunakan unit analisis tematik pada setiap unit kalimat

(Krippendorff, 1991). Fokus penelitian adalah melihat bagaimana dialog

internal yang terjadi pada individu yang mengalami peristiwa sulit dilihat dari

sisi refleksi dan ruminasi. Sedangkan, model analisis yang digunakan ialah

model analisis naratif. Model ini memiliki struktur luar dan dalam untuk

melihat bagaimana manusia berpikir dan memproduksi makna dalam

memahami realitas (Camic, Rhodes & Yardley, 2003).

3.7. Tahap Prosedur Penelitian


Tahapan prosedur penelitian analisis konten kualitatif yang peneliti

lakukan sebagai berikut:

 Melakukan sampling dengan mengkodekan tulisan subjek dari

hari pertama hingga keempat.

 Pengkodean dilakukan peneliti dengan cara manual di dalam

lembar tulisan subjek dengan format (inisial/hari ke-/paragraf

ke-/kalimat ke-).

 Mengidentifikasi menggunakan unit pencatatan dari unit

kalimat yang sering muncul dan mewakili deskripsi teori yang

mengandung unsur dialog internal ketika menghadapi peristiwa

broken home.

 Menyediakan lembar koding (coding sheet) yang telah peneliti

susun dengan menurunkan dari teori yang hendak diteliti.

Pertama-tama diturunkan ke dimensi, lalu aspek yang

menggambarkan dialog internal subjek dalam cerita tersebut.

 Mereduksi data dan mentransformasi data menggunakan

lembar koding (coding sheet) berbentuk tabel dengan cara

memindahkan unit kalimat dari tulisan ke tabel blanko koding.

 Selanjutnya, menganalisis kembali unit kalimat yang telah

diolah untuk menghasilkan inferensi yang sesuai dengan data

yang dimiliki.
 Menganalisis berdasarkan kalimat tulisan subjek yang sesuai

dengan dimensi dan aspek, lalu dikaitkan dengan teori yang

digunakan secara intra subjek.

 Menganalisis dengan membandingkan hasil tulisan inter

subjek.

Sedangkan, teknik menganalisis konten kuantitatif peneliti

menggunakan tabel distribusi frekuensi pada unit analisis dialog internal yang

muncul, dengan mengkategorikan berdasarkan teori yang telah ditetapkan

pada koding analisis kualitatif. Perhitungan distribusi frekuensi dilakukan

secara sistematis dengan menjumlah kalimat yang muncul dan mengukur data

menggunakan presentase.

3.8. Tahap Analisa Data

Teknik analisa data yang peneliti gunakan mengacu kepada model

analisa Miles dan Huberman yang terdiri dari mereduksi data, menyajikan

data, dan menarik kesimpulan atau verifikasi data. Berikut ini tahapan dalam

menganalisa data, yaitu :

a. Reduksi Data, dalam penelitian ini reduksi data dilakukan

dengan mengidentifikasi unit kalimat yang sesuai dengan

konstruk penelitian. Penyederhanaan data menggunakan tabel

(excel) yang telah peneliti buat sesuai kategori aspek-aspek

konstruk.

b. Penyajian Data, setelah melakukan reduksi data peneliti

menyajikan data dalam bentuk tabel ceklis gambaran refleksi


dan ruminasi dari hari pertama hingga keempat dan deskriptif

agar lebih mudah dipahami.

c. Penarikan kesimpulan atau verifikasi data, penarikan

kesimpulan peneliti lakukan berdasarkan dinamika yang

muncul dari masing-masing subjek selama mengikuti narrative

writing therapy.

3.9. Tahap Uji Keabsahan Data

3.9.1. Reliabilitas Coding

Uji keabsahan reliabilitas dalam penelitian ini menggunakan reliabilitas

akurasi antar coder yang peneliti lakukan dengan dosen pembimbing dan

independen coder yang merupakan mahasiswa S1 psikologi untuk

menganalisis naskah hasil menulis naratif selama empat hari berturut-turut.

3.9.2. Triangulasi Data

Triangulasi metode adalah mengecek ulang data dengan menggunakan

sumber atau subjek yang sama dengan metode berbeda (Ferdiansyah, 2015).

Metode tersebut yaitu analisis konten kuantitatif yang dijadikan sebagai

penunjang penelitian ini untuk mengkonfirmasi data yang telah peneliti

peroleh sebelumnya menggunakan analisis konten kualitatif.


BAB IV

TEMUAN DAN ANALISIS

Pada bab empat penulis akan mengaitkan tulisan subjek selama empat hari

dengan teori yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya. Peneliti ingin

menggambarkan dialog internal anak broken home terkait dengan refleksi diri.

Peneliti akan menjelaskan analisis intra kasus dan inter kasus dengan teori yang

digunakan untuk melihat perbedaan pengalaman subjek.

4.1. Gambaran Demografis

Tabel 4.1.1. Data Demografis

Subjek 1 Subjek 2 Subjek 3 Subjek 4 Subjek 5 Subjek 6 Subjek 7


Nama SS* OB DV BM GZ LM SE
(Inisial)
Jenis Perempuan Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan Perempuan Perempuan
Kelamin
Usia 23 Tahun 25 Tahun 20 Tahun 22 Tahun 21 Tahun 19 Tahun 21 Tahun
Suku Jawa Madura Jawa Sunda Jawa Jawa Jawa
Bangsa
Orangtua Remaja Sejak 19 Tahun 8 Tahun 8 Tahun 10 Tahun 2 Tahun
bercerai
sejak usia lahir
*Nama disamarkan

4.2. Analisis Intra Subjek

4.2.1. Subjek SS

4.2.1.1. Gambaran Umum Subjek SS


Subjek pertama seorang perempuan berinisial SS, lahir di Jakarta,

24 Oktober 1995 dan kini berusia 23 tahun. Subjek SS bersuku etnis Jawa,

subjek merupakan anak tunggal. Subjek SS harus merelakan kedua orang

tuanya berpisah disaat ia memasuki masa remaja, dimana masa remaja

seorang anak sedang berada di tahapan pencarian identitas diri. Subjek

mengalami kebingungan, marah dan sedih karena tak tahu harus berbuat

apa ketika orang tuanya bertengkar. Berdasarkan tulisan subjek SS

mengakui bahwa ia memiliki sikap cuek dan enggan untuk bertanya apa

yang terjadi dengan orangtuanya secara langsung. Hal tersebutlah yang

menjadi salah satu penghalang besar bagi SS dapat berbuat sesuatu untuk

orangtuanya.

Meskipun subjek SS mengungkapkan bahwa ia dekat dengan

ayahnya. Namun, subjek SS tetap merasa ketakutan jika ayahnya mulai

marah dan memukul ibunya. Sebaliknya, justru subjek cenderung lebih

dekat dengan ibunya karena hanya ibunya yang terus berusaha

menjelaskan untuk sabar dan berdoa agar permasalahan cepat selesai.

Sebaliknya, sikap ayah subjek SS lebih cenderung dingin dan diam dalam

menyikapi permasalahan yang sedang dihadapi dan tidak sedikitpun

bertanya dan mengajak bicara anaknya, yaitu subjek SS. Hal ini

menyebabkan subjek segan untuk berbicara meskipun ia tetap

menghormati kedua orangtuanya dan selalu berusaha mengingat nasihat

dari paman dan bibi Subjek SS.


Semula subjek SS berharap masalah cepat usai, namun yang terjadi

sebaliknya kondisi semakin buruk. Subjek SS mulai mengungkapkan

dalam tulisan terkait emosi-emosi negatif yang ia rasakan selama proses

perceraian kedua orangtuanya. Ibu subjek SS mulai mencoba memberikan

pengertian dan penjelasan atas apa yang menimpa kedua orangtuanya dan

subjek berusaha untuk memahaminya. Perceraian kedua orangtuanya tetap

terasa berat untuk subjek SS, subjek pun seketika saat memikirkan

bagaimana pandangan orang lain terhadap keluarga broken seperti dirinya.

Peneliti menemukan bahwa subjek SS mulai merasa tidak nyaman dengan

kondisi yang dihadapi dan membuat ulah dengan menghabiskan waktu

bersama teman hingga tidak pulang kerumah. Sikap penolakan yang

subjek SS tunjukkan adalah bentuk kekesalan dan tidak terima seorang

anak atas keputusan kedua orangtuanya.

Subjek SS yang berkepribadian introvert semakin mendorong

dirinya untuk menutup diri dari orang-orang disekitar hingga seorang

teman menyadari sikap subjek yang berubah. Subjek mengungkapkan

bahwa setelah berbulan-bulan permasalahan tersebut ia terus berusaha

menerima kenyataan dan berusaha melawan tekanan dalam batin agar

tidak terbebani dengan permasalahan kedua orangtuanya. Subjek SS

berusaha berfikir positif, meskipun sulit untuknya memulai percakapan

terlebih dahulu terutama kepada ayahnya. Subjek SS terus berharap dapat

mengalahkan egonya agar ia bisa dekat kembali seperti dulu dengan ayah
subjek. Pada dasarnya subjek melihat karakter ayah subjek dengan ia

sangatlah mirip, karena sama-sama pendiam cenderung introvert. Hal ini

yang mengakibatkan subjek SS sulit untuk lebih dulu memulai percakapan

ketika bersama ayahnya ataupun sekedar perhatian kecil.

4.2.1.2. Hasil Analisis Intra Kasus Subjek SS

Tabel 4.2.2. Analisis Dinamika Intra Kasus Subjek SS

Hari 1 Hari 2 Hari 3 Hari 4


Reconstruing √ √ √ √
Emosi Positif √ - √ √
Pemaknaan √ √ √ √
Recounting √ √ √ √
Emosi Negatif √ √ √ √
Penghindaraan √ - √ √

Dari penjelasan tabel di atas dapat terlihat dinamika dialog internal

subjek SS, pada hari pertama tulisan subjek mengandung kalimat

immersed yang cukup mendominasi. Di hari kedua subjek mulai terlihat

kebingungan dan menyesali keputusan ayah dan ibu SS yang memilih

bercerai. Ia pun tidak mampu menghindarinya terlihat tidak adanya

kalimat penghindaran dan bahkan emosi positif tidak lagi ditunjukkan

oleh subjek. Di hari ketiga subjek mulai menunjukkan sikap menutup diri

dan merasa tidak nyaman dikarenakan berkurangnya perhatian kedua

orangtuanya. Namun, diakhir cerita subjek menyatakan bahwa ibu dari

temannya berusaha memberikan pengertian dan nasihat kepadanya.


Di hari terakhir subjek SS mencoba untuk memikirkan kembali

atas permasalahan orangtuanya dan perilaku yang ia tunjukkan selama

peristiwa sulit ia alami. Subjek pun mulai mampu reflektif di hari

keempat, hal ini terlihat dari tulisan subjek yang berusaha berpikir positif

dan berdamai dengan dirinya sendiri. Subjek SS memiliki kemampuan

merekonstruksi pengalaman dan memikirkan kembali konsekuensi dari

tindakannya jika ia tetap mementingkan egonya sendiri sebagai anak.

Secara keseluruhan subjek awalnya ruminasi hingga hari ketiga, merasa

sangat terpukul dengan apa yang dialami kedua orangtuanya dan khawatir

penilaian orang lain terhadap keluarga broken home, Namun ia dapat

memunculkan refleksi diri yang baik di akhir cerita. Berikut ini gambaran

analisis refleksi diri subjek SS secara rinci ketika mengikuti penelitian

narrative writing therapy:

• Self-Immersed atau Ruminasi

Menurut Kross & Ayduk (2017) ketika individu merefleksikan

dirinya, terkadang mereka justru semakin fokus sehingga larut (immersed)

dan semakin merenungkan permasalahan secara berlebih. Ruminasi yang

terjadi pada individu akan menyebabkan refleksi diri menjadi maladaptif

dan menimbulkan psikopatologi pada diri individu tersebut (Nolen-

Hoeksema, Wisco, & Lyubomirsky, 2008).


Pada saat perpisahan kedua orangtua subjek SS terjadi, subjek

mengalami ruminasi sehingga menimbulkan ketidakpercayaan diri dan

kekecewaan yang mendalam.

“…Setiap hari sepertinya kejadian itu membuat SS lebih


murung…”(SS.1.5.4)

“…SS ingin sekali bercerita kepada orang lain namun tetap


berat dan memikirkan apa yang akan dipikirkan orang2 dalam
menilai keluarga yang broken. SS mulai minder dengan
teman2nya. SS takut teman2nya akan meninggalkannya atau
justru empati yang berlebihan…”
(SS.2.6.1; SS.2.6.2; SS.2.6.3)

• Recounting

Menurut Bahiyah & Savitri (2018) menyatakan bahwa ruminasi

yang terus larut akan menyebabkan recounting, sehingga individu akan

memusatkan perhatian pada rantai peristiwa spesifik yang terjadi pada

kehidupan individu tersebut. Dalam hal ini subjek SS terus menyalahkan

bahwa tindakan yang orangtuanya lakukan tidak memikirkan hati dan

perasaan subjek SS sebagai seorang anak.

“…SS pikir mereka egois, hanya mementingkan masalah


mereka tanpa memikirkan perasaan SS…”(SS.1.5.6)

“…Dan SS pun hanya diam tidak banyak komentar namun


mengisyaratkan bahwa SS sedih sekali dengan masalah
keluarganya…”(SS.1.6.3)
Ruminasi yang dialami subjek SS sangat mendalam, hal ini

menunjukkan bahwa kekecewaan ia terhadap ayahnya cukup mendalam.

“…SS bingung bagaimana untuk memulai berbicara ketika


bertemu, namun rasa kecewa terhadap ayahnya lebih besar drpd
kemauan SS…”(SS.2.1.2)

Situasi semakin buruk ketika subjek SS menemukan surat sidang

perceraian kedua orangtua subjek.

“…SS tak sengaja melihat surat2 di meja kerja ibunya yang berisi
panggilan sidang. Perasaan SS langsung down lagi. Berpikir lagi
"mengapa hal tsb benar terjadi??..."
( SS.2.4.3; SS.2.4.4;SS.2.4.5)

Sikap larut yang subjek SS tunjukkan dengan menuntut hak

sebagai anak agar dapat perhatian dari orang tua subjek.

“…Namun sebagai remaja juga, SS ingin diperhatikan


oleh orang tua nya. Karena masalah tsb, perhatian mulai
berkurang…”
(SS.3.2.1; SS.3.2.2)

Rasa sedih, bingung, tertekan, terus menyelimuti diri subjek SS,

sikap larut dalam permasalahan membuat ia sering menyendiri.

“…Tidak jarang SS menangis dan lebih memilih menyendiri


saat itu karena tertekan dan bingung…” (SS.4.3.1)

“… SS bingung mengapa ada hal2 yang sulit sekali seolah


seperti menahan diri SS untuk bersikap seperti dulu lagi…“
(SS.4.4.3)
Meskipun demikian, subjek SS sudah mampu menata hati dengan

berusaha menerima keputusan orangtuanya untuk berpisah. Namun

subjek pun terus mempertanyakan pada diri sendiri, mengapa ia sulit

untuk bersikap baik terhadap ayahnya.

“…Mengapa SS tidak bisa melakukan hal yang mudah seperti


hanya memberi sekedar perhatian ke ayahnya(SS.4.6.2)…”

“…Mengapa terhadap ibunya, SS bisa bersikap layaknya ibu dan


anak dan mengapa hal itu tidak bisa dilakukan ke ayahnya? Sekecil
apapun perhatian SS kpd ayahnya, ayahnya selalu merespon baik
meskipun juga tidak terlalu menunjukkan dengan jelas…” (SS.4.7.6)

• Emosi Negatif

Ayduk & Kross (2010b) menyatakan bahwa pengalaman negatif

akan menimbulkan emosi negatif yang diakibatkan dari sikap larut pada

permasalahan yang sedang dihadapi dan akan sulit untuk berfikir objektif.

Hal serupa diungkapkan oleh Morin dkk bahwa refleksi diri berkaitan erat

dengan dengan emosi negatif yang timbul ketika individu berdialog secara

internalisasi (Morin, Duhnych, & Racy, 2018).

Subjek SS terus memikirkan hal-hal pahit yang ia alami selepas

ibu dan ayahnya berpisah.

“…Marah dan sedih ketika tau bahwa kedua org tua SS


akan segera berpisah…”(SS.1.1.3).

“…Kesal mengapa mereka terus bertengkar dan belum


juga terlihat adanya solusi, dan sedih mendengar ibu
yang dibentak oleh ayah…”(SS.1.3.4).
“…SS tak banyak komentar dan diam penuh kesedihan,
kecemasan dan kekecewaan…”(SS.2.5.3)

Subjek SS menunjukkan emosi negatif seperti, rasa bingung dan

khawatir akan nasib ia dikemudian hari membuat hatinya tidak nyaman.

“…Karena kesal, SS tidak izin kerrumahnya…”(SS.3.2.5)

“…Di sisi lain SS tetap kesal dengan orang tua. SS bingung


apa yang harus dilakukan…”
(SS.3.4.2; SS.3.4.3)
“…SS sering merasa khawatir setiap kali memikirkan masalah2
hidup seperti masalah perceraian orang tuanya…”(SS.4.3.5)

• Penghindaran

Bahiyah & Savitri (2018) menyatakan bahwa individu ketika

memikirkan peristiwa yang ia alami akan cenderung menghindari

pemikiran negatif dengan cara menekan ataupun melupakannya. Namun,

disaat individu menghindari masalah justru akan semakin memikirkan

kejadian tersebut dan semakin merasakan emosi negatif. Seperti yang

dialami subjek SS yang berusaha untuk menjaga hubungan ikatan orang

tua dan anak dengan tetap menghargai ibu dan ayahnya. Tetapi karena

terus menekan dan melawan perasaan negatif yang sebenarnya tengah

menyelimuti hatinya, maka respon yang muncul secara alamiah dalam

diri adalah sikap takut dan segan terutama kepada ayahnya.


“…Namun sikap SS mengisyaratkan yang lain, jadilah SS
mulai lebih segan dengan orang tuanya terutama ayah…“
(SS.1.11.3)

“…Sampai akhirnya SS merasa aneh, mengapa orang


tua SS makin sering ribut dan kadang membuat SS
takut untuk mendekat…”(SS.1.2.2)

Situasi keluarga subjek SS semakin rumit ketika ibu SS memilih

pergi dari rumah dan tinggal bersama kakek dan neneknya. Sehingga SS

lebih sering memilih pergi keluar rumah dan menghabiskan waktu

bersama temannya.

“…SS pun mulai merasa tak nyaman dan lebih sering menghabiskan
waktu dengan teman2(SS.3.2.3)…”

“…SS bingung mengapa ada hal2 yang sulit sekali seolah


seperti menahan diri SS untuk bersikap seperti dulu lagi,... Sering
sekali SS mencoba untuk memulai tapi selalu gagal…”
(SS.4.4.3; SS.4.4.5)

• Self-Distancing atau Refleksi Diri

Menurut Ayduk & Kross (2010b) menyatakan bahwa self-

distancing atau refleksi diri merupakan kemampuan mengambil jarak diri

seperti seolah-olah mundur selangkah dan melihat diri dengan cara

mengobservasi dalam pikiran untuk membentuk perspektif lain dalam diri.

Sikap menerima keadaan dan mampu beradaptasi dengan lingkungan

salah satu bentuk dari refleksi diri.


Setelah permasalahan perpisahan orangtuanya, subjek SS

berbulan-bulan berusaha menerima keadaan dan melepaskan tekanan

dalam diri. SS mengaku dengan terus mengingat nasihat paman membuat

ia selalu menghormati kedua orangtuanya.

“…Paman pernah menyampaikan kepada SS bahwa SS tidak


boleh membenci ayah maupun ibunya, karena bagaimanapun mereka
adalah orang tua SS, tidak ada yang namanya "mantan anak" di
keluarga. SS mencoba untuk menanamkan itu di hidup SS…”
(SS.4.1.4; SS.4.1.5)

• Reconstruing

Bahiyah & Savitri (2018) menyatakan bahwa ketika individu

mengalami suatu kejadian akan ada reaksi emosi yang dimunculkan,

disaat reaksi emosi membentuk perspektif positif, inilah yang disebut

dengan reconstruing. Awal mulanya subjek SS hanya menganggap

pertengkaran kedua orangtuanya hanya suatu hal biasa. Hingga akhirnya

ia menyadari dan mulai mempertanyakan sikap egois dari kedua orangtua

subjek yang tidak memikirkan perasaan subjek sebagai anak dan

bagaimana masa depan subjek dengan status anak broken home.

“…Memang beberapa bulan waktu itu orang tua SS sering


ribut, namun SS hanya menganggap itu bukan masalah besar,
layaknya seorang ibu yang marah kepada anaknya yg
melakukan satu kesalahan…”(SS.1.2.1)
“…SS berpikir, kenapa baru2 seperti ini mereka
peduli…”(SS.1.7.4)

“…Rasanya SS ingin pergi saja dari rumah, namun SS masih


memikirkan ibu, kasihan jika dibentak terus oleh ayah dan
bagaimana jdnya jika ayah sewaktu2 memukul dan SS tidak
ada …”(SS.1.9.1)

Ibu subjek pun mulai menyadarinya dan mencoba menjelaskan

kepada SS. Subjek SS menganggap akan ada banyak stigma negatif

tentang dirinya yang akan sangat mempengaruhi pandangan orang-orang

tentang keluarga yang tidak harmonis.

“…SS tak menanyakan langsung hal tersebut namun ibu sudah


merasa perlu menjelaskan…”(SS.2.5.1)

“…SS ingin sekali bercerita kepada orang lain namun tetap


berat dan memikirkan apa yang akan dipikirkan orang2 dalam
menilai keluarga yang broken…”(SS.2.6.1)

Individu akan menunjukkan sikap menafsirkan dan menunjukkan

persepsi subjektif terhadap permasalahan yang dihadapi (Bahiyah &

Savitri, 2018). Dalam diri subjek masih muncul persepsi-persepsi

subjektif terhadap perceraian orangtuanya, karena subjek merasa dirinya

tak lagi diberi perhatian selayaknya orangtua kepada anak.

“…Namun sebagai remaja juga, SS ingin diperhatikan


oleh orang tua nya. Karena masalah tsb, perhatian mulai
berkurang…”
(SS.3.2.1; SS.3.2.2)
Tulisan subjek SS sikap yang lebih kooperatif dan dapat melihat

bahwa permasalahan yang dihadapi orangtuanya bukanlah suatu hal yang

menjadi penghalang bersikap baik sebagai seorang anak. Selain itu, SS

telah mampu melepaskan (release) dan melihat bahwa apa yang dialami

orangtuanya sebagai takdir keluarganya. Subjek SS pun terus berharap

dapat memperbaiki lagi hubungan antara ia dan orangtuanya, terutama

ayah subjek.

“…Mencoba mengerti bahwa setiap apa yang terjadi


mempunyai alasan tersendiri, terutama Tuhan…”(SS.4.2.1)

“…Namun sepertinya ayahnya juga masih berharap jika SS


bisa bersikap seperti dulu lagi…”(SS.4.4.7)

“…SS berharap bisa menunjukkan perhatian kepada ayahnya.


SS berharap bisa menjadi anak yang membahagiakan orang
tuanya…”
(SS.4.5.4; SS.4.5.5)
• Emosi Positif

Menurut Morin (2012) ketika individu mendapatkan informasi dan

mempercayainya sebagai value atau nilai dalam dirinya, maka akan

terbentuk proses kognitif yang dapat memunculkan emosi negatif ataupun

positif. Dalam hal ini, SS memiliki informasi bahwa jika kedua

orangtuanya bercerai, maka dampak yang ia alami akan menerima stigma

negatif sebagai value-nya. Namun, subjek SS berhasil mematahkan


pikiran negatif tentang keluarga yang tidak harmonis dan terus berusaha

mengingat dan mencoba berfikir kritis.

“…SS selalu coba ingat hal itu dan mencoba untuk tidak
membenci mereka…”(SS.1.11.2)

“…Akhirnya SS memberanikan diri untuk cerita ke teman2nya.


SS sedikit lega setelah bercerita ke teman2nya, reaksi teman2 pun
tidak masalah, justru mereka mencoba supportSS…”
(SS.3.1.5; SS.3.1.6)

“…SS mencoba berpikir positif pada hal


tersebut…”(SS.4.2.2)

• Pemaknaan

Menurut Kross & Ayduk (2017) individu yang memiliki

kemampuan memaknai permasalahan yang dialami, maka akan sangat

membantu dalam meregulasi diri. Regulasi diri dapat menyadarkan pada

suatu stimulus yang mungkin muncul ketika berhadapan dengan orang

lain. Subjek SS yang menyadari kekakuan antara ayah dan anak juga

lambat laun disadari oleh ayahmya. Di hari pertama SS menceritakan

bahwa kekakuan mulai terasa semenjak ibu dan ayahnya memilih untuk

berpisah.

“…Ayahnya pun mulai menyadari hal itu dan memang


beliau tak banyak bicara juga, jadi beliaupun ikut diam dan tdk
mencoba bertanya kepada SS. Padahal SS berharap ayahnya
akan bertanya dan mengobrol lebih dulu, tp nyatanya tidak…”
(SS.1.12.2; SS.1.12.3)

Hingga akhirnya SS memilih untuk tinggal bersama ibunya dan

mencoba memahami situasi yang sedang keluarga SS hadapi.

“…Akhirnya SS memutuskan untuk hari2 akan ikut dengan ibu namun


tetap akan berkunjung ke ayah(SS.2.3.4).”

“…Mencoba memahami dan mengerti apa yang disampaikan


oleh ibu(SS.2.5.4).”

Dukungan dan nasihat pun diberikan kepada SS. Hal ini terungkap

dari sikap ibu teman subjek dan pamannya yang mencoba memberikan

pengertian atas apa yang menimpa keluarga subjek SS.

“…sudah sering mereka (paman dan istrinya) menghampiri SS


dan memberi empati dan support…”(SS.1.9.3).

“…Ibu dari teman SS pun angkat bicara kepada SS, mencoba


memberi pengertian dan nasihat kepada SS…”(SS.3.4.4)

Lambat laun SS semakin memahami situasi dan berusaha untuk

tidak tenggelam dalam permasalahan yang dihadapi kedua orangtuanya.

“…SS hanya ingin berdamai dengan dirinya sendiri dan juga


masalahnya…” (SS.4.2.3)

“…Tapi SS juga sadar hal tsb hanya akan menambah beban


hidupnya…”(SS.4.3.6)
“…SS memang merasa bersyukur dengan hal itu, namun di lubuk hati
nya yang dalam mungkin masih ada hal2 yang tertahan sehingga
rasanya belum bisa dikatakan cukup ikhlas dengan apa yang
terjadi…”(SS.4.7.2)

Subjek SS pun akhirnya menyadari bahwa dirinya memang sangat

mirip dengan ayahnya. Hal ini terungkap kembali dari cara subjek SS

berdialog dengan dirinya untuk memahami sifat ayah subjek.

“…Kadang SS pun berpikir, sifat SS dengan ayahnya banyak


kesamaan tapi jeleknya jika tidak ada yang mau memulai dan
hanya menunggu, akan sampai kapan hubungan itu terpupuk
kembali. SS pun sedang dan selalu berusaha untuk itu…”
(SS.4.7.7; SS.4.7.8)

4.2.2. Subjek OB

4.2.2.1. Gambaran Umum Subjek OB

Subjek OB terlahir dari seorang ibu single parent, OB lahir di

Sumenep, 16 April 1993, kini usia OB 25 tahun. Subjek OB berjenis

kelamin laki-laki dan beretnis Madura. Ia lahir dan besar hingga

menginjak sekolah SMA di kota asalnya. Kini subjek OB berkuliah di

salah satu universitas swasta Jakarta. Subjek OB semasa sekolah

seringkali mengalami bullying dari teman-teman di kelas. Hal ini

membuat OB semakin kurang percaya diri, ditambah ia harus satu sekolah

dengan sepupunya yang tak lain adalah anak dari ayah kandung subjek

OB.
Berdasarkan tulisan subjek ayah subjek OB tidak pernah

mengunjungi OB meskipun berada di satu kota yang sama. Namun, ibu

subjek selalu mengingatkan untuk tetap dekat dengan ayah subjek apapun

alasannya. Subjek OB anak yang tegar dan tidak pantang menyerah untuk

menjadi pribadi yang lebih baik. Ia selalu mengingat kata-kata ibunya

untuk bisa menjadi anak kebanggan ibu dan membuktikan bahwa subjek

OB anak dari ayah kandungnya yang berbeda karena ibu OB sendiri yang

mengasuh dan membesarkannya. Selama subjek OB mengikuti penelitian

narrative writing therapy berhasil memanggil kembali peristiwa yang

pernah ia alami dan menjadikannya sebagai pengalaman yang berharga.

Meskipun awal mula sulit untuk dilakukan karena subjek OB

bukanlah seseorang yang sering menceritakan kisahnya dalam bentuk

tulisan. Peneliti melihat bahwa subjek OB merasa dirinya baik-baik saja

meskipun harus terlahir dari keluarga broken home. Namun, subjek OB

selama menulis tetap mengungkapnya permasalahan yang pernah ia alami

secara detail. Pada akhirnya, OB mampu memisahkan antara dirinya yang

dulu dan sekarang dengan menjaga jarak diri sebagai seorang pengamat

ketika menulis, membuat dirinya mampu mengobservasi peristiwa

tersebut melalui perspektif yang berbeda.

4.2.2.2. Hasil Analisis Intra Kasus Subjek OB

Tabel 4.2.3. Analisis Dinamika Intra Kasus Subjek OB

Hari 1 Hari 2 Hari 3 Hari 4


Reconstruing √ √ √ √
Emosi Positif - - - -
Pemaknaan - - - √
Recounting √ √ √ √
Emosi Negatif √ √ √ √
Penghindaraan √ - - -

Dari penjelasan tabel di atas dapat terlihat dinamika dialog internal

yang dirasakan dari permasalahan yang subjek OB alami. Di hari pertama

subjek OB terlihat ruminasi dan menceritakan kisahnya pernah di bully

sebagai anak keturunan arab dari ibu single parent. Subjek OB telah

menjadi anak broken home sejak ia masih kanak-kanak. Meskipun OB

tidak menceritakan secara gamblang proses perpisahan yang kedua

orangtuanya alami. Tidak ada hal yang ia keluhkan meskipun harus

terlahir dari ibu single parent. Di hari kedua subjek OB mengungkapkan

kekecewaannya terhadap ayah subjek yang sama sekali tidak peduli

dengannya membuat ia larut dan sulit melupakan kekecewaanya. Karena

tidak adanya bonding yang diberikan oleh sang ayah, membuat kelekatan

antara anak dan ayah tidak pernah terbangun.

Terlihat dalam tabel dinamika intra kasus subjek OB tidak

memiliki kalimat emosi positif hingga akhir tulisan dan pemaknaan pun

hanya ditunjukkan oleh subjek di akhir tulisan di hari keempat. Subjek OB

pun juga tidak menghindari permasalahan yang ia alami meskipun tulisan

subjek mengandung ruminatif. Secara keseluruhan subjek OB yang

mengalami immersed selama peristiwa sulit masa kecil telah dihadapi


dengan bullying, perceraian orang tua, dan situasi rumit yang diakibatkan

paman subjek yang mengalami gejala schizophrenia hingga ia beranjak

remaja. Memasuki masa sekolah SMA, ia mulai mendapatkan dukungan

dari teman dan perhatian dari keluarga besar. Peneliti melihat bahwa

sosok ibu adalah sosok inspiratif dalam hidup OB hingga ia beranjak

dewasa, sehingga ia pun mau memahami kondisi ibunya dan berusaha

untuk menyadari kekurangan yang ia miliki.

Berikut ini gambaran analisis refleksi diri subjek OB secara rinci

ketika mengikuti penelitian narrative writing therapy:

• Self-immersed atau ruminasi

Menurut Kross & Ayduk (2017) ketika individu merefleksikan

dirinya, terkadang mereka justru semakin fokus sehingga larut (immersed)

dan semakin merenungkan permasalahan secara berlebih. Ruminasi yang

terjadi pada individu akan menyebabkan refleksi diri menjadi maladaptif

dan menimbulkan psikopatologi pada diri individu tersebut (Nolen-

Hoeksema, Wisco, & Lyubomirsky, 2008). Pada kasus Subjek OB

ruminasi yang ia alami sering kali timbul justru disebabkan faktor

eksternal dari ayahnya yang pergi bergitu saja disaat ulang tahun subjek

tanpa sepatah kata pun dan meninggalkan cerita negatif di lingkungan

sekitar subjek OB. Subjek OB semakin larut dengan peristiwa negatif

terkait ayahnya.
“…Pengamat melihat saya sangat bersedih dan menyayangkan,
jika memang ingin pergi selamanya dan tidak akan kembali untuk
bertemu anaknya lagi, kenapa tidak pamit? Kenapa tidak
meninggalkan sesuatu ucapan jika memang tidak bisa
mengucapakannya sendiri? Kenapa dihari ulang tahun saya?...”
(O.B.2.4.1)

“…Yang membuat saya semakin sedih adalah banyak dari orang-


orang yang menggunjing, mereka mengatakan bapak saya sudah
terlalu banyak memiliki hutang, usaha yang dimilikinya bangkrut
bahkan jika semua aset yang dimiliki dijual masih belum sanggup
menutupi hutangnya…”

( O.B.2.4.2)

• Recounting

Menurut Bahiyah & Savitri (2018) menyatakan bahwa ruminasi

yang terus larut akan menyebabkan recounting, sehingga individu akan

memusatkan perhatian pada rantai peristiwa spesifik yang terjadi pada

kehidupan individu tersebut. Pada kasus subjek OB, ia merasa terpukul

karena ayah subjek lebih mementingkan sepupunya dibandingkan subjek.

“…bagaimana bisa sepupu saya lebih dijadikan prioritas


bagi ayah saya di banding anaknya sendiri? Di dalam mobil saya
tidak ingat ada percakapan atau hal yang dapat menghibur dan
saya hanya melihat diri saya sedih…”(O.B.1.4.3)
Selain itu, subjek OB seringkali mengalami bullying selama di

sekolah hanya karena ia keturunan arab dan bukan dari kalangan pribumi

seperti teman lainnya.

“…Saya semakin menarik diri dari teman-teman saya dan


tidak ingin mengikuti kegiatan lain yang dilakukan
disekolah…”(O.B.1.6.7)

Kekecewaan subjek OB berlanjut hingga tulisan di hari kedua.

Subjek merasa bahwa sebagai seorang ayah yang memiliki usaha cukup

besar, ayah OB hanya memberikan nilai uang sangat kecil di hari ulang

tahun subjek.

“…Pengamat melihat saat itu ada rasa kecewa karena yang


pengamat tahu bapak saya merupakan pengusaha yang
bisnisnya bisa dibilang lancer…”(O.B.2.2.1).

Hal ini semakin membuat subjek OB terpuruk karena memiliki

paman yang mengalami keterbelakangan mental.

“…Pengamat melihat saya yang sebelumnya sudah


tidak percaya diri dan malu dengan kabar mengenai
bapaknya, sekarang kembali di hadapi masalah banyak
cemooh orang tentang paman saya. Pengamat melihat saya
semakin terpuruk, saya bahkan sempat tidak ingin keluar
rumah akibat perasaan malu dan hingga saat ini saya selalu
menghindar dari kumpulan temanteman dan tetangga…”
(O.B.3.3.3; O.B.3.3.4)
“…Pengamat melihat saya menangis dan saya pada
saat itu juga pergi kembali kerumah tante saya untuk
menceritakan kejadian dirumah…”(O.B.3.5.3)

Hingga akhirnya terlintas dalam pikiran subjek untuk pergi dari

rumah karena sudah tidak tahan dengan sikap paman subjek yang terus

membuat resah keluarga di dalam rumah.

“…Yang ada dalam pikiran saya saat itu adalah peegi


dari rumah meninggalkan ibu dan saya tidak
memperdulikan bagaimana dengan sekolah
saya…”(O.B.4.1.4)

“…saya mengambil tabungan saya dan masih berpikir


yang terpenting adalah melarikan diri dari rumah dan
tak tahu kemana tujuannya…”(O.B.4.2.1)

“… Saya pergi ke terminal dan mencari bus kemudian


saya pergi ke surabaya, yang saya pikirkan saat itu
adalah hanya melarikan diri dari
rumah…”(O.B.4.2.3)

• Emosi Negatif

Menurut Ayduk & Kross (2010b) menyatakan bahwa pengalaman

negatif akan menimbulkan emosi negatif yang diakibatkan dari sikap larut

pada permasalahan yang sedang dihadapi dan akan sulit untuk berfikir

objektif. Hal serupa diungkapkan oleh Morin dkk bahwa refleksi diri

berkaitan erat dengan dengan emosi negatif yang timbul ketika individu

berdialog secara internalisasi (Morin, Duhnych, & Racy, 2018). Emosi


negatif yang dialami subjek OB lebih kepada perasaan sedih, bingung dan

kecewa karena ayah subjek tidak sedikit pun memperdulikan OB.

Meskipun sikap tidak menghiraukan orang sekitar yang terus

membicarakan ayahnya, namun semakin lama subjek OB semakin resah

dan sedih jika mengingat kepergian ayahnya.

“…Disitu saya melihat diri saya agak kecewa dan sedih,


karena saya menganggao bapak saya datang untuk
mengunjungi saya dan ternyata tidak seperti yang saya
anggap…”(O.B.1.3.5)

“..Pengamat melihat saya saat itu sangat sedih, hari


yang saya tunggu dan saya kira bisa bersama dengan ayah
saya ternyata tidak…”(O.B.2.3.1)

“…Hal tersebut memang biasa, namun pengamat melihat


bahwa setiap kali mendengar pertanyaan saya menjadi
semakin sedih…”(O.B.2.3.8)

Bullying yang dialami subjek OB pun tidak hanya sekali. Ketika

ada karnaval OB memakai pakaian adat Aceh dengan menggunakan

kumis-kumisan. Tapi yang terjadi justru sepupu dan teman-temannya

menertawakannya timbul rasa sedih dan kecewa terhadap sepupu subjek.

“…Namun itu tidak mungkin terjadi (membatalkan ikut


karnaval), saya berusaha untuk tidak menangis dan saya
hanya melihat kekecewaan pada diri saya kepada sepupu
saya sendiri pada saat itu…” (O.B.1.6.6)
Emosi negatif yang subjek alami tentang pengalaman bullying

sangat mendalam sehingga peneliti menemukan bahwa bullying menjadi

faktor utama subjek OB menarik diri dan rendahnya kepercayaan diri

subjek.

“…Hari demi hari dan saya masih belum bertemu


dengan bapak saya, pengamat melihat kekecewaan dan
rasa sedih yang saya alami...”(O.B.2.3.6)

“…Disitu pengamat melihat saya semakin merasa


sedih, tidak percaya diri...” (O.B.2.4.3)

Situasi sulit tidak hanya dialami Subjek OB di sekolah ataupun

lingkungan sekitar terkait ayahnya. Namun, situasi semakin rumit dengan

kondisi paman subjek OB yang tidak terkendali. Kondisi rumah yang tak

terkendali membuat subjek OB mulai berani membentak paman subjek

karena telah memukul tante subjek dan membuat dirinya mengalami

gejala stress.

“…Pada saat itu pengamat melihat saya panik dan saya


membentak paman saya (karena memukul tante subjek) dan
melawannya, padahal sebelumnya saya tidak pernah punya
keberanian untuk melakukan hal tersebut…” (O.B.3.4.3)

“…Disitu pengamat melihat saya stress berada dirumah


dengan keadaan yang demikian dan rumah menjadi lebih sepi
dari sebelumnya…” (O.B.3.4.8)
Subjek pun memberanikan diri untuk pergi dari rumah hingga tiba

di Jakarta. Subjek OB kaget karena setibanya disana banyak saudara

termasuk ibu subjek telah tiba di rumah tersebut.

“…Pengamat melihat saya masih sedih dan menganggap


bahwa berbicara akan menambah kesedihan bagi saya…”
(O.B.4.3.2)

“…Saya pun panik dan tidak keluar dari kamar walaupun


semua anggota keluarga termasuk ibu saya memanggil saya
untuk keluar, pada saat itu pengamat melihat saya kembali
sedih dan kecewa…” (O.B.4.4.7)

• Penghindaran

Menurut Bahiyah & Savitri (2018) menyatakan bahwa individu

ketika memikirkan peristiwa yang ia alami akan cenderung menghindari

pemikiran negatif dengan cara menekan ataupun melupakannya. Namun,

disaat individu menghindari masalah, justru akan semakin memikirkan

kejadian tersebut dan semakin merasakan emosi negatif. Pada kasus ini,

penghindaran yang subjek lakukan adalah tidak memperdulikan

kejanggalan yang ia alami ketika perkemahan saat SMP melihat sikap

begitu perhatian ayah kandung subjek terhadap sepupunya. Sikap ayah

subjek begitu berbanding terbalik dengan perhatian yang diberikan kepada

subjek OB.
“…Kejadian ini pun berakhir setelah perkemahan dan masih
menyisakan kejanggalan dalam diri saya, namun saya tidak
begitu banyak mencari tahu dan ambil pusing…” (O.B.1.5.1)

Selain itu, subjek OB pun memilih untuk menghindari teman-

teman di sekolah saat jam istirahat. Bahkan subjek OB tidak berani pergi

ke kantin sekolah untuk menghindari bully hanya karena ia keturunan

arab.

“…Saya sering juga mendapat bully di sekolah karena saya


keturunan arab, bahkan saya sampai tidak mau untuk pergi ke
kantin pada jam istirahat, saya menghindari perkump ulan anak
dari kelas lain, saya takut untuk berjalan di depan kakak kelas
saya(O.B.1.5.6)…”

• Self-distancing atau refleksi diri

Menurut Ayduk & Kross (2010b) menyatakan bahwa self-

distancing atau refleksi diri merupakan kemampuan mengambil jarak diri

seperti seolah-olah mundur selangkah dan melihat diri dengan cara

mengobservasi dalam pikiran untuk membentuk perspektif lain dalam diri.

Sikap menerima keadaan dan mampu beradaptasi dengan lingkungan

salah satu bentuk dari refleksi diri. Perceraian yang dialami kedua

orangtua subjek OB tidak membuatnya membenci ayahnya sendiri.

Namun, subjek OB sangat menyadari bahwa percerain kedua orangtuanya

telah terjadi dan ia tidak pernah mempermasalahkannya.


“…Saya melihat diri saya pada saat itu memang baik-baik
saja, saya melihat diri saya tidak merasakan kecemburuan/
berpikir berlebih karena memang kedua orang tua saya
bercerai dan komunikasi dengan bapak saya tidak terlalu
intens…” (O.B.1.2.3)

“…Mungkin pada saat itu karena usia saya yang masih


kecil, saya masih yakin bahwa sepupu saya adalah
memang sepupu dan saya melihat ibu saya selalu
meyakinkan bahwa memang terjadi perceraian namun
mereka (kedua orang tua saya) baik-baik saja…”
(O.B.1.5.2)

• Reconstruing

Menurut Bahiyah & Savitri (2018) menyatakan bahwa ketika

individu mengalami suatu kejadian akan ada reaksi emosi yang

dimunculkan, disaat reaksi emosi membentuk perspektif positif, inilah

yang disebut dengan reconstruing. Subjek OB yang sangat jarang

mendapatkan hadiah dari ayah kandungnya. Ketika ia sangat bahagia

mendapatkan hal tersebut dan merasa kado yang akan diberikan ayah

subjek sangat istimewa untuk dirinya. Subjek OB pun berniat untuk

memberikan makanan yang ibu subjek buat dari uang yang ayah

kandungnya berikan, meskipun akhirnya ayah subjek lebih dulu pergi

tanpa berpamitan.
“…Namun pada saat itu hal tersebut tetap menjadi
kebahagiaan bagi saya karena memang kado yang bapak saya
berikan tidak selalu rutin tiap tahun, jadi pengamat melihat saya
tetap merasakan di istimewakan…”(O.B.2.2.2)

“…Saya masih berharap dapat memberikan makan ini secara


langsung dan ingin bertemu bapak saya…”(O.B.2.3.5)

Subjek pun dikuatkan oleh ibunya, karena bagaimanapun bagi ibu

subjek. OB adalah anak yang ia besarkan sendiri, jadi tak pantas untuk

subjek OB bersedih hanya karena kepergian ayah kandung subjek.

“…Saya dikuatkan oleh ibu saya, ibu saya berkata kamu tidak
boleh kehilangan kepercayaan diri, memang dia adalah bapak
kamu tapi ingat yang membesarkan kamu dari kecil adalah
ibu…”(O.B.2.4.4)

“…Pengamat melihat saya dari situ menjadi sosok yang


kembali memiliki kepercyaan diri walaupun sering kali tetap
sedih jika mendengar pertanyaan dan hal lain dari orang lain
yang membicarakan bapak saya…”(O.B.2.4.8)

Subjek OB dan ibunya tinggal di rumah nenek beserta kedua

tantenya dan paman subjek yang belakangan diketahui sering mengalami

halusinasi dan di duga mengalami schizophrenia.

“…Pengamat melihat saya sering kali mendengar


perkelahian dirumah dan pernah beberapa kali di bentak
oleh pamannya sendiri…” (O.B.3.1.7)
“…Pernah keluarga saya coba bawa ke RSJ memang
diterima pada awalnya namun ditolak setelah beberapa mimggu
karena RSJ menganggap paman saya baik-baik saja dan harus
dijemput oleh keluarga…”(O.B.3.3.8)

Pada hari keempat subjek menuliskan tengah menyadari bahwa ia

mudah tersinggung dengan kemarahan ibunya yang hanya sesaat. Subjek

OB mulai mampu menyadari bahwa ia pun pernah melakukan kesalahan

yang terkadang membuat hati ibu subjek sedih.

“…Selepas kejadian itu saya coba lebih memahami ibu


saya dan mentoleransi kekurangan dan saya juga menyadari
kekurangan saya yang kadang tidak bisa selalu menyenangkan
hati ibu saya…”(O.B.4.5.11)

• Pemaknaan

Menurut Kross & Ayduk (2017) individu yang memiliki

kemampuan memaknai permasalahan yang dialami, maka akan sangat

membantu dalam meregulasi diri. Regulasi diri dapat menyadarkan pada

suatu stimulus yang mungkin muncul ketika berhadapan dengan orang

lain. Kasus subjek OB memperlihatkan bahwa apa yang ia alami telah

banyak memberikan pelajaran untuk dirinya.

“…Anggota keluarga saya mencoba menengahi


keadaan, pengamat disini melihat maksud dan niat
positif untuk menyelesaikan masalah saya dan ibu saya
namun pada saat itu saya merasa ini bukan saat yang
tepat…”(O.B.4.5.2)
Subjek OB menyadari bahwa keluarga OB sangat menyayanginya

dan dukungan terus keluarga berikan meskipun tanpa sosok seorang ayah.

“…Berkali kali anggota keluarga, ibu dan teman-teman


sekolah saya membujuk saya untuk kembali pulang, saya
merasa bahwa hanya ibu saya yang saya punya saat itu, saya
memaklumi mungkin ibu saya juga stress dengan keadaan
rumah, denhan segala masalah yang dia tidak bisa ceritakan
kepada saya… Pengamat juga melihat rasa sayang
temanteman sekolah kepada saya, support yanh diberikan
membuat saya kuat dan percaya diri untuk kembali
kesekolah…”
( O.B.4.5.8; O.B.4.5.9)
4.2.3. Subjek DV

4.2.3.1. Gambaran Umum Subjek DV

Subjek DV lahir di Semarang, 27 september 1997 kini berusia 21

tahun. DV seorang perempuan yang memiliki kakak laki-laki yang tinggal di

Semarang. Subjek DV beretnis Jawa, saat ini tinggal di Jakarta bersama ayah

dan ibu subjek, DV menemukan ayah subjek menggunakan panggilan khusus

kepada seorang wanita pada gawai ibu kandung subjek DV. Subjek DV yang

begitu sayang dan bangga akan ayahnya seketika terkejut dengan apa yang

telah ayahnya lakukan. Keretakan keluarga subjek DV telah berlangsung sejak

2 tahun lalu, saat itu subjek berusia 19 tahun.

Subjek DV teringat saat ayahnya pernah mengenalkan subjek pada

wanita tersebut. Awalnya subjek sempat janggal dengan wanita itu, namun ia
mencoba menepis kecurigaannya. Ia pun tidak tinggal diam dan langsung

berinisiatif menghubungi wanita tersebut melalui sosial media. Subjek yang

tak tega dengan kondisi ibunya telah di bohongi oleh ayahnya sendiri

langsung menyampaikan hal tersebut. Subjek DV ketika melihat bukti

percakapan antara ayah DV dan wanita tersebut langsung

mempertanyakannya kepada ayah subjek. Ayah subjek tak mampu

menampiknya dan diam seribu bahasa melihat kemarahan dari istrinya.

Kekesalan ibu DV menyebabkan terjadi kontak fisik, subjek DV yang

melihatnya langsung sontak berteriak dan mencoba menolong ibunya.

Pada kasus subjek DV peneliti menemukan bahwa DV sangat terpukul

dengan perbuatan ayah subjek yang begitu ia banggakan. Subjek DV begitu

terlihat ketakutan jika keluarga subjek akan mengalami hal yang sama seperti

keluarga teman-temannya yang broken home. Subjek pun masih menyimpan

kegelisahannya seorang diri. Sejak peristiwa ayah subjek yang ketahuan

selingkuh, ia masih belum bisa kembali akrab seperti sediakala dengan ayah

subjek. Hingga saat ini subjek DV masih belum menemukan solusi atas sikap

ia terhadap ayahnya, walaupun ayah subjek telah meminta maaf kepada ibu

dan subjek DV. Subjek DV pun mulai khawatir dan memikirkan jika

keluarganya akan berpisah, maka akan hancur keluarga humoris dan berubah

menjadi keluarga broken home serta tidak akan ada lagi canda tawa, bermain

game bersama.

4.2.3.2. Hasil Analisis Intra Kasus Subjek DV


Tabel 4.2.4. Analisis Dinamika Intra Kasus Subjek DV

Hari 1 Hari 2 Hari 3 Hari 4


Reconstruing √ √ √ √
Emosi Positif √ - - -
Pemaknaan - - - √
Recounting √ √ √ √
Emosi Negatif - √ √ -
Penghindaraan √ - √ √

Dari penjelasan tabel dinamika di atas dapat terlihat bahwa dialog

internal subjek di hari pertama mengalami ruminasi saat mengetahui ayah

subjek memiliki hubungan spesial dengan wanita lain selain ibunya.

Kekecewaan subjek memuncak di hari kedua, hal ini terlihat dari tabel

dinamika menunjukkan recounting dan emosi negatif mendominasi tulisan

subjek. Subjek DV yang merasakan kehancuran dan kekecewaan yang

mendalam berlanjut hingga tulisannya yang di hari ketiga. Subjek pun ikut

larut dengan penderitaan yang ibu DV alami, sehingga tulisan subjek begitu

banyak kalimat immersed mendominasi. Meskipun demikian, ibu subjek

berusaha untuk tegar dan memperlihatkan sikap yang biasa saja seolah-olah

tidak pernah terjadi apa-apa.

Pada tulisan subjek di hari keempat ia menunjukkan sikap penolakan

dengan mengabaikan ayah subjek ketika ayahnya mengajak bicara.

Pemaknaan yang terlihat dihari keempat merupakan usaha yang ayah subjek

lakukan untuk memperbaiki suasana dengan bersikap seperti biasanya,

bercanda, mengobrol namun subjek DV tidak memiliki keinginan untuk


meresponnya. Secara keseluruhan, subjek DV mengalami ruminasi dari hari

pertama hingga keempat, terlihat dari sikap subjek yang meragukan

permohonan maaf ayahnya menunjukkan bahwa subjek mengalami self-focus

attention. Hal ini dapat dibuktikan dari keputusan subjek untuk memendam

permasalahan ia hadapi sendiri dan menyatakan bahwa dirinya tidak memiliki

solusi untuk dapat menerima ayahnya kembali. Berikut ini gambaran analisis

refleksi diri subjek DV secara rinci ketika mengikuti penelitian narrative

writing therapy:

• Self-immersed atau ruminasi

Menurut Kross & Ayduk (2017) ketika individu merefleksikan

dirinya, terkadang mereka justru semakin fokus sehingga larut (immersed)

dan semakin merenungkan permasalahan secara berlebih. Ruminasi yang

terjadi pada individu akan menyebabkan refleksi diri menjadi maladaptif

dan menimbulkan psikopatologi pada diri individu tersebut (Nolen-

Hoeksema, Wisco, & Lyubomirsky, 2008). Pada kasus Subjek DV, ia

terlihat kaget dan seketika terdiam melihat pesan yang di kirim ayah

subjek kepada wanita lain. Namun ia tidak mau terburu-buru memberitahu

ibu tentang apa yang ia temukan di gawai ibu subjek. Subjek DV pun

tidak mampu bersikap seperti biasanya kepada ayah subjek.

“…Setelah saya melihat pesan itu saya diam, saya


tidak memberitahu ibu saya, saya berharap ibu saya akan
membuka pesan keluar dengan sendirinya…Akan tetapi
semenjak saya membaca pesan singkat itu sikap saya kepada
ayah saya berubah drastic…”
(DV.1.2.1; DV.1.2.3)

Subjek DV pun terlihat mengalami kebimbangan, ingin sekali

memberitahu ibunya. Namun, ia takut hal itu akan memicu pertengkaran

ibu dan ayah subjek.

“…Seminggu berlalu, namun ibu saya pada saat itu


masih belum mengetahui tentang pesan itu, saya pun mulai
resah sendiri, saya tidak ingin memberitahu ibu saya karna
saya takut akan terjadi pertengkaran yang tidak
diinginkan…”(DV.1.2.6)

• Recounting

Menurut Bahiyah & Savitri (2018) menyatakan bahwa ruminasi

yang terus larut akan menyebabkan recounting, sehingga individu akan

memusatkan perhatian pada rantai peristiwa spesifik yang terjadi pada

kehidupan individu tersebut. Subjek DV tidak pernah menyangka bahwa

ayahnya akan mengkhianati ibu dan keluarga demi seorang wanita. Subjek

DV bahkan mengirimkan pesan kepada wanita tersebut.

“…Siapa yang tidak sakit melihat orang yang selama ini kita
bangga – banggakan di depan semua orang namun kenyataan
nya dibelakang menghianati kita, gumam hati saya saat itu…”
(DV.1.3.4)
“…Tidak terima ibu saya di sakiti begitu saja pun saya akhirnya
mengirimi pesan singkat yang isinya tidak jauh dari isi pesan di
wa atau tentang pelakor…”(DV.1.4.12)

Subjek DV mengalami ruminasi dan terus memikirkan tentang

ibunya hingga keesokkan hari saat di kampus masih terus memikirkannya.

Ia terus memikirkan nasib keluarganya dan mempertanyakan mengapa

atas sikap ayahnya.

“…Namun saat saya berada di kampus pikiran saya kemana-


mana, saya menjadi tidak fokus, saya menjadi pendiam dan
saya selalu kepikiran ibu saya…”(DV.2.1.2)

“…Yang ada dipikiran saya saat itu hanya kenapa ayah saya
tega, kenapa ayah saya yang selalu saya bangga-banggakan
akhirnya seperti ini. Kenapa? Saya terus saja berpikir seperti
itu. Saya berfikir kalau keluarga saya berantakan, kalau ayah
dan ibu saya sampai pisah maka saya bukanlah orang yang
beruntung, saya sama dengan beberapa teman saya yang
keluarganya pun hancur …”
(DV.2.3.2; DV.2.3.3; DV.2.3.4)

Peneliti melihat sikap ruminasi yang subjek alami sangat

membekas, hal ini terbukti dengan keberanian subjek membela ibunya

yang hampir saja akan di tampar oleh ayah subjek DV.

“…Saya yang awalnya diam dan hanya memperhatikan


tiba-tiba saat ayah saya melakukan itu kepada ibu saya, saya
langsung berteriak dengan sangat keras “JANGAN PERNAH
KASAR YA!” dan ayah saya mengatakan kepada saya “liat
dong yang kasar siapa? Yang mulai duluan siapa?” saya pun
dengan lantang mengatakan “YAA MIKIRLAH ANDA LAKI
YA, YANG BUAT SALAH SIAPA”…” (DV.2.2.5)

Meskipun subjek DV tidak sanggup melihat reaksi ibunya yang

terlihat sedih, namun ia tetap berusaha tegar dihadapan ibu subjek.

“...namun saya juga tetap menunjukan sikap yang dingin


dengan mengatakan “udah sih biarin, gausah dipikirin”
namun ibu saya tetap menangis sampai akhirnya ibu saya
mengatakan “ sakit hati banget bunda de” …” (DV.3.1.6)

Sejak kejadian pertengkaran ibu dan ayah subjek, DV menemukan

di dalam kamarnya kabut berwarna hitam dan hanya ia yang mampu

melihatnya. DV merasakan recounting sekaligus emosi negatif yaitu rasa

takut ketika melihat kabut hitam menyelimuti kamar subjek.

“…Setelah beberapa hari dari kejadian keributan itu, saya


melihat kamar saya dikelilingi kabut bewarna hitam, seperti
kabut kiriman, namun ibu saya tidak bisa melihat kabut
itu…”(DV.4.2.2)

“…Dan ketika kabut hitam itu datang saya merasa


takut dan akhirnya saya mengatakan kepada ibu saya
kalau dikamar ada kabut hitam…”(DV.4.2.7)

• Emosi Negatif

Ayduk & Kross (2010b) menyatakan bahwa pengalaman negatif

akan menimbulkan emosi negatif yang diakibatkan dari sikap larut pada

permasalahan yang sedang dihadapi dan akan sulit untuk berfikir objektif.
Hal serupa diungkapkan oleh Morin dkk bahwa refleksi diri berkaitan erat

dengan dengan emosi negatif yang timbul ketika individu berdialog secara

internalisasi (Morin, Duhnych, & Racy, 2018). Subjek DV tidak mampu

menahan air mata yang mengalir mengingat keluarga harmonis yang

selama ini subjek miliki harus hancur berantakan karena orang ketiga

dalam keluarga subjek.

“…Saya menangis berjam-jam dikamar, dan saya tidak


berani membuka mata saya saat itu…” (DV.2.3.10)

“…Saat itu saya tidur dengan ibu saya, ketika saya


kebangun saya melihat ibu saya dengan posisi tidur miring
membelakangi saya namun ibu saya sedang menangis.
Awalnya saya hanya diam, saya tidak tahu apa yang harus
saya lakukan, saya bingung…”
(DV.3.1.2; DV.3.1.3).
• Penghindaran

Bahiyah & Savitri (2018) menyatakan bahwa individu ketika

memikirkan peristiwa yang ia alami akan cenderung menghindari

pemikiran negatif dengan cara menekan ataupun melupakannya. Namun,

disaat individu menghindari masalah, justru akan semakin memikirkan

kejadian tersebut dan semakin merasakan emosi negatif. Penghindaran

yang dilakukan subjek DV sesaat setelah mengetahui perbuatan ayah

subjek yaitu dengan berupaya tidak peduli dan cenderung mengabaikan

ayah subjek DV.


“…Saya mencoba untuk cuek atau mengabaikan
persoalan saat itu agar ibu saya tidak kepikiran dan
menjadi beban untuk ibu saya…” (DV.1.4.5)

“…Dan sampai pada akhirnya saya dan ayah saya diem-


dieman, saya tidak bisa lagi melakukan aktivitas bersama-
bersama ayah saya, bagaimana tidak setiapkali melihat muka
ayah saya, saya malah merasakan sakit hati…”(DV.3.3.6)

Subjek DV pun mengungkapkan bahwa dirinya sempat terfikir

untuk berkonsultasi di kampus tempat ia menuntut ilmu psikologi.

Namun, hal tersebut ia urungkan serta memilih untuk menyimpan sendiri

dan melupakannya.

“…Namun sayangnya saya tidak jadi untuk keruang


konsultasi, saya berfikir ulang untuk menyimpan
masalah ini sendiri saja tanpa ada orang yang lain
yang mengetahuinya…”(DV.4.4.5)

• Self-distancing atau refleksi diri

Ayduk & Kross (2010b) menyatakan bahwa self-distancing atau

refleksi diri merupakan kemampuan mengambil jarak diri seperti seolah-

olah mundur selangkah dan melihat diri dengan cara mengobservasi dalam

pikiran untuk membentuk perspektif lain dalam diri. Sikap menerima

keadaan dan mampu beradaptasi dengan lingkungan salah satu bentuk dari

refleksi diri. Pada kasus DV, terlihat bahwa DV sejenak berfikir setelah

kekacauan yang terjadi dirumah karena orang ketiga. Ia pun


mengungkapkan rasa iba terhadap ayahnya, namun ia masih lebih tidak

tega dengan apa yang telah menimpa ibunya.

“…Pada saat itu sebenarnya saya kasihan melihat ayah saya


bingung, terpuruk juga, tetapi bagaimana dengan ibu saya?
Ibu saya jauh lebih sakit daripada apa yang ayah saya
rasakan…” (DV.4.1.3)

• Reconstruing

Menurut Bahiyah & Savitri (2018) menyatakan bahwa ketika

individu mengalami suatu kejadian akan ada reaksi emosi yang di

munculkan, disaat reaksi emosi membentuk perspektif, inilah yang disebut

dengan reconstruing. Reconstruing yang subjek DV alami adalah

mencoba memahami kalimat tidak lazim yang ia temukan di gawai ibunya

yang dikirim ke orang lain.

“…Bunda masih marah ya sama ayah?” jujur saya


membaca pesan itu berulang – ulang kali mencoba mencari arti
dan maksud dari perkataan yang ayah saya kirimkan kepada
temannya itu…”(DV.1.1.3)

Subjek menyatakan bahwa semenjak permasalahan orang ketiga

muncul. Seketika ia menyadari mampu merasakan apa yang teman-

temannya pernah rasakan ketika terkait keluarga broken home.

“…Saat itu saya menyadari saya merasakan perasaan


temen – temen saya keluarganya juga hancur, saya pun akhirnya
merasakan broken home…” (DV.2.3.7)
Subjek DV merasa heran dengan sikap ibunya yang seolah-olah

tidak terjadi apa-apa setelah kejadian tersebut. Bahkan ibu subjek

berusaha mengingatkan DV untuk bisa bersikap biasa saja agar orang lain

tidak mengetahui apa yang sedang dialami keluarga DV.

“…Entah kenapa setelah ¾ harian setelah kejadian


bentakan itu ibu saya nampak mulai biasa saja, seakan tidak
ada kesalahan yang ayah saya telah lakukan…”(DV.4.1.4)

“…Kalau di depan orang lain(ibu) sikapnya biasa aja ya


jangan ketara, anggep tidak ada kejadian apa-apa…”
(DV.3.3.4).

Subjek juga banyak mengalami refleksi diri, hal ini terbukti dari

pernyataan subjek yang mengandung reconstruing dan pemaknaan

sekaligus. Subjek DV tidak mampu membendung perasaan yang ia alami,

namun ia pun tidak tahu harus bagaimana memperbaiki kembali suasana

meskipun ia telah mencoba untuk bisa kembali bercanda bersama ayah

subjek.

“…Entah kenapa juga sampai detik ini saya tidak


bercanda atau mengobrol seperti biasa bersama ayah
saya, saya pun pada saat itu berfikir mungkin saya
terlalu sakit hati…”(DV.4.4.3).

Subjek DV berusaha mencari jalan keluar untuk memperbaiki

hubungan ia dan ayahnya meskipun hingga cerita terakhir ia belum

menemukan caranya.
“…Dan akhirnya sampai sekarang saya tidak mempunyai
solusi bagaimana cara agar saya bisa menerima ayah saya
seperti dulu lagi…”(DV.4.4.6)

• Emosi Positif

Menurut Morin (2012) ketika individu mendapatkan informasi dan

mempercayainya sebagai value atau nilai dalam dirinya, maka akan ada

bentuk proses kognitif yang dapat memunculkan emosi negatif ataupun

positif. Dalam diri subjek DV, ia terus berusaha membuat dirinya tenang

dan gegabah dalam menyikapi suatu masalah.

“…Saya selalu mencoba menenangkan diri saya

sendiri…”(DV.1.4.8).

• Pemaknaan

Menurut Kross & Ayduk (2017) individu yang memiliki

kemampuan memaknai permasalahan yang dialami, maka akan sangat

membantu dalam meregulasi diri. Peneliti menemukan bahwa pada

akhirnya ayah subjek pun berusaha untuk memperbaiki keretakan yang

sempat ayah subjek perbuat dengan meminta maaf dan mengajak subjek

berbicara serta bercanda. Namun, sepertinya masih banyak hal yang

tertahan dalam diri subjek, sehingga sulit untuk dirinya kembali

mencairkan suasana seperti sebelumnya.

“…Ayah saya selalu mencoba untuk


memperbaikisuasana dengan mengajak saya bercanda
atau sekedar mengobrol, tapi sayangnya saya tidak bisa
memberikan feedback seperti biasanya…”(DV.4.1.6)

“…Dan tiba-tiba ayah saya meminta maaf dengan


memeluk ibu saya dan saya, namun saya tidak membuka mata
saya sama sekali, saya tidak ingin melihat muka ayah saya
pada saat itu…”(DV.4.3.6)

4.2.4. Subjek BM

4.2.4.1. Gambaran Umum Subjek BM

Subjek BM adalah anak pertama dari tiga bersaudara. BM seorang

laki-laki beretnis Sunda dan lahir di Bekasi, 26 Maret 1996, kini ia berusia 22

tahun. Kedua orang tua BM bercerai ketika subjek BM kelas 2 SD atau

berusia 8 tahun. Awal pertengkaran kedua orangtuanya dipicu oleh bunyi

gawai dari ayah BM yang tidak sengaja diangkat oleh ibu subjek dan

diketahui bahwa yang menelpon adalah seorang perempuan. Ayah BM yang

mengetahui hal itu segera merebut gawainya dan membentak ibu BM. Subjek

BM saat itu masih kecil dan kedua adiknya sontak kaget dan menangis.

Subjek BM sering kali menemukan ibunya melamun dan menangis

setelah kejadian tersebut. Sejak peristiwa pertengkaran ibu dan ayah BM, ibu

dan kedua adik subjek ikut tinggal bersama neneknya. Suatu ketika ada

seorang perempuan bertandang ke rumah nenek dengan membawa anak kecil.

Perempuan tersebut mengatakan bahwa ia adalah istri dan anak dari ayah

subjek BM. Sebagai orang tua dari ayah subjek, nenek subjek tidak dapat

menerima istri dan anak tersebut. Bahkan nenek subjek mengatakan kepada
orang-orang di lingkungan sekitar rumah bahwa ayah BM telah tiada dan ia

merupakan anak yatim.

Sebagai anak pertama ia hanya mampu menangis untuk melepaskan

kesedihan dan merasakan konflik batin sejak pindah sekolah. Ia merasakan

bahwa hal ini merupakan bagian terberat dalam hidup subjek karena harus

beradaptasi dengan lingkungan dan bahasa baru. Sejak kepindahannya subjek

BM sering mengalami bullying dari sekelompok temannya di kelas. Subjek

yang bertambah dewasa semakin menutup diri, tidak suka keramaian hingga

menjadi kebiasaannya saat ini. Subjek seperti kehilangan arah menemukan

peran ayah yang sebenarnya dalam kehidupan BM, hingga menginjak usia

dewasa awal, ia hanya mampu melihat interaksi antara anak dan ayah di

keluarga orang lain. Bahkan subjek kesulitan untuk membayangkan memiliki

kedua orangtua saling berdampingan, akankah ia mendapatkan kasih sayang

seperti yang di dambakannya.


4.2.4.2. Hasil Analisis Intra Kasus Subjek BM

Tabel 4.2.5. Analisis Dinamika Intra Kasus Subjek BM

Hari 1 Hari 2 Hari 3 Hari 4


Reconstruing √ √ √ √
Emosi Positif √ √ - -
Pemaknaan - - √ -
Recounting √ √ √ √
Emosi Negatif √ √ √ √
Penghindaraan √ - - -

Dari penjelasan tabel di atas dapat terlihat dinamika dialog internal

subjek BM yang mengalami ruminasi di hari pertama. Hal ini ditunjukkan

dalam kalimat recounting dan emosi negatif serta penghindaran yang

mendominasi tulisan subjek dibandingkan kalimat reconstruing dan emosi

positif. Hari kedua subjek mencoba mengingat kembali peristiwa saat harus

pindah ke daerah lain yang ia tidak inginkan. Meskipun kesedihan dan

kekesalan muncul sebagai bentuk ekspresi emosi subjek yang kesulitan

beradaptasi namun ia tidak menunjukkan sikap menghindari permasalahan

yang ia alami. Sebagai anak pertama yang memiliki ingatan negatif terhadap

peristiwa sulit yang ibunya alami. Tentu bukanlah hal mudah, ditambah

subjek juga tetap harus menjalani hidupnya dan meraba perjalanan hidup ia di

masa depan.

Di hari ketiga subjek dapat memaknai bahwa dirinya hanya mampu

mengejar prestasi akademik dan menyadari mengalami ketidapercayaan diri

yang menyebabkan hambatan dalam pengembangan dirinya. Meskipun

demikian, kalimat immersed masih mendominasi tulisan subjek. Hari keempat


subjek lebih banyak menceritakan perasaan dan hasrat ingin memiliki sosok

ayah seperti keluarga lainnya. Namun, subjek tidak menunjukkan sikap

reflektif hingga tulisan di hari keempat. Hal ini terlihat dari kalimat

kehilangan, marah, dan kesal yang ia rasakan terhadap sikap ayah

kandungnya. Secara keseluruhan subjek mengalami immersed hingga tulisan

terakhir dan fokus perhatian terhadap permasalahn pribadi tidak dapat

merubah pandangan dirinya terhadap masa lalu yang pernah ia alami. Berikut

ini gambaran analisis refleksi diri subjek BM secara rinci ketika mengikuti

penelitian narrative writing therapy:

• Self-immersed atau ruminasi

Menurut Kross & Ayduk (2017) ketika individu merefleksikan

dirinya, terkadang mereka justru semakin fokus sehingga larut (immersed)

dan semakin merenungkan permasalahan secara berlebih. Ruminasi yang

terjadi pada individu akan menyebabkan refleksi diri menjadi maladaptif

dan menimbulkan psikopatologi pada diri individu tersebut (Nolen-

Hoeksema, Wisco, & Lyubomirsky, 2008). Dalam kasus BM, peneliti

menemukan bahwa BM kesulitan dalam beradaptasi menghadapi

keretakan keluarga subjek. Terbukti dari ungkapan subjek terkait dirinya

yang hanya mampu menangis untuk menutupi perasaanya.

“…Setelah pulang kerumah nenek saya sering


mengingat hal itu membuat saya sedih, saya ingat saya
sering menangis, saat malam sebelum tidur saya sering
ingat hal itu dan kemudian menangis…”(B.M.1.1.11)
Selain itu, subjek BM juga ketika tumbuh dewasa semakin

kehilangan kepercayaan diri dan menutup dirinya dari kontak sosial

dilingkungan sekolah maupun rumah subjek. BM lebih nyaman berada di

kamar sendiri dan jauh dari keramaian.

“…Saya sering menyendiri di kamar dan itu sudah


menjadi kebiasaan saya sampai saat ini, saya tidak suka
keramaian, saya lebih suka sendiri…”(B.M.3.1.6)

• Recounting

Menurut Bahiyah & Savitri (2018) menyatakan bahwa ruminasi

yang terus larut akan menyebabkan recounting, sehingga individu akan

memusatkan perhatian pada rantai peristiwa spesifik dan terus menerus

memikirkan peristiwa negatif yang terjadi pada kehidupan individu

tersebut. Peristiwa negatif subjek alami ketika melihat pertengkaran ayah

dan ibu BM. Saat ibu subjek dibentak oleh ayah subjek karena ibu BM

menerima telpon dari seorang perempuan. Meskipun ia belum sepenuhnya

memahami pertengkaran tersebut, namun subjek dapat merasakan hal

buruk telah menimpa keluarga subjek BM.

“…pada awal pertengkaran yang saya tau, saya pada


waktu itu melihat hp ayah saya berbunyi dan ibu saya
yang mengangkat,…”(B.M.1.1.2)

“…lalu ayah saya bangun dan langsung mangambil hp


itu dan membentak bentak ibu saya, saya tidak
mengerti apa yang terjadi tapi saya sangat merasakan
hal yang tidak enak ketika mereka
bertengkar…”(B.M.1.1.5)

“…saya ingat saya menangis, kedua adik saya pun


menangis, lalu ayah saya langsung pergi naik
motor…”(B.M.1.1.7)

“…saya tidak mengerti apa yang terjadi pada waktu itu,


namun yang saya rasakan adalah sesak dimana ibu saya
menangis…”(B.M.1.1.9)

Sejak pertengkaran itu ibu BM sering terlihat melamun dan

menangis, BM tidak mampu untuk bertanya dan memilih untuk

memendam dan ikut menangis dalam kesendirian.

“…Saya sering melihat ibu saya melamun sendiri, saya


sering melihat ibu saya menangis. Namun saya tidak
pernah mananyakan kenapa mamah menangis, saya
hanya memendam itu dan menutupi muka saya dengan
guling dan saya pun menangis…”
(B.M.1.2.2; B.M.1.2.3)

Subjek BM pun harus pindah sekolah saat kelas 5 SD ke

Kuningan, Jawa Barat membuat dirinya sedih harus meninggalkan nenek

dan keluarganya di Jakarta.

“…Saya sedih ketika harus menunggalkan nenek kakek


saya, meninggalkan saudara-saudara saya…”(B.M.2.1.7)
BM pun harus berjuang menghadapi fenomena anak SD yang

sering kali memiliki kelompok disegani di kelas. Ia pun mengalami

kesulitan dalam memahami bahasa daerah tersebut dan ingin sekali segera

menyelesaikan kelas.

“…Saya merasa ingin segara pulang, saya ingin lari dari


kelas. Namun saya memikirkan jika saya pulag pasti saya di
marahi lagi oleh mamah saya…”
(B.M.2.3.12; B.M.2.3.13)

Pada akhirnya subjek BM memilih untuk kembali ke Jakarta dan

sekolah SMP di Jakarta. Subjek BM kembali harus merasakan kepedihan

karena harus berpisah dengan ibu dan kedua adiknya.

“…Saat perjalanan di mobil kejakarta di tengah


perjalanan saya menangis saya teringat bahwa saya
meninggalkan mamah saya, saya menangis karena
berpisah dengan mamah saya, saya merasa sesak karena
tangisan itu saya tahan, namun mata saya
berlinang…”(B.M.3.1.3)

Pindah ke Jakarta tidak menjamin BM bisa kembali beradaptasi

dengan baik. Ia justru semakin senang menyendiri dan merasa nyaman

jika jauh dari keramaian.

“…Saya di marahi diem aja dikamar ga punya pergaulan,


ga punya temen, tapi saya pun tidak bisa berbuat apa entah
saya lebih suka seperti itu(menyendiri)…”(B.M.3.1.8)
Subjek BM pun masih merasakan bullying hingga ia SMP, ketika

ia ikut ekskul bola basket pernah ditertawakan teman-temannya hanya

karena pernah terjatuh. BM pun akhirnya menjadi pesimis terhadap

dirinya.

“…Saya malu di depan banyak teman teman


saya(ditertawakan), saya hanya terdiam menunduk…
Saya seperti kaku entah kenapa, saya menjadi orang
yang sering pesimis terhadap diri sendiri…”
(B.M.3.2.7; B.M.3.2.13).

Subjek BM pun merasakan kekecewaan yang mendalam terhadap

ayah BM dan kehilangan sosok dan peran seorang ayah dalam

kehidupannya.

“…Saya merasa seperti kehilangan sosok ayah dalam


hidup saya, saya seperti tidak pernah menganggap ada
sosok ayah dalam hidup saya…”(B.M.4.1.1)

Peneliti menemukan bahwa meskipun BM terkadang merindukan

kehadiran seorang ayah, namun rasa kecewa dan marah BM lebih besar

dari kerinduannya akan peluk hangat seorang ayah dalam hidupnya.

“…Saya sering merindukan ayah saya, saya kesal


menyalahkan keadaan kenapa saya ditinggal ayah
saya…”(B.M.1.4.2)
“…Namun tetap saja saya marah dengan ayah saya,
saya kesal begitu kesal. Saya tidak bisa melihat ibu saya
menangis…” (B.M.4.2.2; B.M.4.2.3)

“…Saya memiliki ayah namun di anggap ayah saya


sudah tidak ada… Saya merasakan rindu tapi juga
kesal benci..”
( B.M.4.2.10; B.M.4.2.11)
• Emosi Negatif

Menurut Ayduk & Kross (2010b) menyatakan bahwa pengalaman

negatif akan menimbulkan emosi negatif yang diakibatkan dari sikap larut

pada permasalahan yang sedang dihadapi dan akan sulit untuk berfikir

objektif. Hal serupa diungkapkan oleh Morin dkk bahwa refleksi diri

berkaitan erat dengan dengan emosi negatif yang timbul ketika individu

berdialog secara internalisasi (Morin, Duhnych, & Racy, 2018). Subjek

BM menceritakan bahwa ia sangat terpukul hingga sering menangis

ketika mengingat pertengkaran ayah dan ibu BM. Subjek BM tidak bisa

membendung kesedihan setiap melihat ibunya bersedih dan ditambah rasa

malu ia rasakan jika orang-orang mulai menayakan keberadaan ayah BM.

“…Saya sedih pada waktu itu, yang membuat sedih


adalah saya melihat ibu saya hanya terdiam dengan
ekspresi yang sedih…Saya sedih, saya bingung, saya
malu ketika banyak orang menanyakan kepada saya
kemana ayah saya…”
(B.M.1.2.7; B.M.1.2.8)
“…saya selalu melihat ibu saya hanya diam, saya sering
melihat ibu saya melamun, dan melihat ibu saya menangis
walaupun itu di tutup tutupi oleh ibu saya…”(B.M.1.5.5)

Pertengkaran ayah dan ibu BM berlanjut menyebabkan Subjek

BM harus pindah sekolah. Hal ini membuat BM kesal karena harus

beradaptasi dengan lingkungan sekolah yang baru.

“…Saya merasa kesal, saya tidak mau bertemu teman


teman saya lagi, saya tidak mau tinggal di kampung
lagi, air nya sangat dingin, saya tidak pernah mandi
dengan air dingin, selalu air hangat dan itu saya
sering di omelin…”(B.M.2.3.5)

“…saya tidak mengerti padahal anak yang lain pun banya


yang tidak bisa seperti saya, tapi kenapa mereka enjoy enjoy
saja sementara saya merasa begitu terpuruk…” (B.M.3.2.8)

“…Disitu saya merasa benar benar di remehkan, dan itu


sangat membuat saya down, saya jadi seperti mendengarkan
kata kata mereka yasudah lah saya tidak bisa, jadi seperti
putus asa, tidak memiliki daya juang…”(B.M.3.2.10)

Hal ini membuat BM sulit untuk melupakan emosi negatif tentang

ayah BM. Ia masih menunjukkan kekesalan dan kemarahan terhadap ayah

kandungnya.

“…Namun tetap saja saya marah dengan ayah saya,


saya kesal begitu kesal…”(B.M.4.2.2)

• Penghindaran
Bahiyah & Savitri (2018) menyatakan bahwa individu ketika

memikirkan peristiwa yang ia alami akan cenderung menghindari

pemikiran negatif dengan cara menekan ataupun melupakannya. Namun,

disaat individu menghindari masalah, justru akan semakin memikirkan

kejadian tersebut dan semakin merasakan emosi negatif. Subjek BM

sering kali menolak keinginan nenek untuk menerima santunan anak

yatim. Namun, nenek BM selalu menyatakan bahwa jika ada seseorang

yang menanyakan ayahnya anggap saja ia sudah meninggal dunia.

“…Namun nene saya berpesan jika ada yang


menanyakan soal ayah saya, bilang ayah saya
sudah tidak ada…”(B.M.1.2.10)

• Self-distancing atau refleksi diri

Menurut Ayduk & Kross (2010b) menyatakan bahwa self-

distancing atau refleksi diri merupakan kemampuan mengambil jarak diri

seperti seolah-olah mundur selangkah dan melihat diri dengan cara

mengobservasi dalam pikiran untuk membentuk perspektif lain dalam

diri. Sikap menerima keadaan dan mampu beradaptasi dengan lingkungan

salah satu bentuk dari refleksi diri. Bentuk refleksi yang subjek BM

rasakan ketika harus berpisah dengan ibu subjek. Ia menyadari bahwa

dirinya sulit untuk berpisah dengan ibunya.

“…Saya berfikir ternyata saya tidak bisa berpisah


dengan mamah saya, namun yasudah saya sudah
pindah dan harus melanjutkan sekolah saya sesuai
dengan yang saya mau…” (B.M.3.1.4)

• Reconstruing

Menurut Bahiyah & Savitri (2018) menyatakan bahwa ketika

individu mengalami suatu kejadian akan ada reaksi emosi yang

dimunculkan, disaat reaksi emosi membentuk perspektif positif, inilah

yang disebut dengan reconstruing. Subjek BM teringat ketika ada seorang

perempuan yang datang bersama anaknya dan mencari ayah subjek.

Namun, ibu subjek memilih untuk tidak bertemu dengan perempuan

tersebut.

“…Saya melihat ibu saya tidak keluar menemui


perempuan itu, namun saya tau ibu saya, diam di
dalam mendengarkan…”(B.M.1.2.6)

Reconstruing yang BM alami saat ia harus melanjutkan sekolah di

kampung halaman ibu subjek. Keterasingan pun BM alami karena selama

ini subjek BM hanya berkunjung dan belum pernah menetap di kampung

halaman ibu BM.

“…saya berfikir apakah saya bisa melanjutkan sekolah


saya di kampung... Namun karena memang permintaan
ibu saya maka kami, saya dan kedua adik saya
menuruti…”(B.M.2.1.2; B.M.2.1.3)

Setelah sampai kuningan, walaupun saya sering


berkunjung kesana, namun saya merasa asing jika harus
menetap tinggal disana…”(B.M.2.1.9)
Reconstruing yang mengandung recounting juga peneliti dapatkan

ketika subjek BM mengungkapkan tentang dirinya yang di bully. Namun

akhirnya ia mendapatkan teman meskipun hanya beberapa teman dekat.

“…awalnya saya tidak ramah di perlakukan oleh


mereka, bahkan sering di bully, terlebih saya tidak bisa
berbahasa sunda, namun ada juga yang menemani saya
dan seiring berjalan waktu saya memiliki teman, namun
hanya beberapa orang…”(B.M.2.2.1)

Ia pun menyadari jika melawan ketika di bully teman-temannya,

BM akan kalah dan tidak mampu untuk membalasnya.

“…Saya tidak meladeni dia, dia berbicara apapun


saya hanya dia(m) saja, saya di bilang banci lah, ayam sayur
lah saya diam saja, karena saya sadar diri jika saya melawan
pasti saya akan kalah…”(B.M.2.2.6)

Subjek BM pun tidak menampik bahwa dirinya sangat

membutuhkan peran ayah dalam kehidupan BM. Rasa ingin merasakan

sosok ayah begitu besar namun ia menyadari bahwa hal itu tidak mungkin

bisa ia dapatkan.

“…Namun saya merasakan saya membutuhkan sosok


seorang ayah. Saya ingin merasakan ada sosok ayah
dalam hidup saya (B.M.4.1.3; B.M.4.1.4).

“… Saya ingin memiliki sosok ayah namun untuk


membayangkannya saja saya tidak bisa…”(B.M.4.2.12).
• Emosi Positif

Menurut Morin (2012) ketika individu mendapatkan informasi dan

mempercayainya sebagai value atau nilai dalam dirinya, maka akan ada

bentuk proses kognitif yang dapat memunculkan emosi negatif ataupun

positif. Rasa bahagia yang dapat BM rasakan adalah ketika ia pernah

bertemu ayah BM dan berjanji akan kembali berkumpul bersama

meskipun hal itu tidak pernah terjadi.

“…saya sudah senang (akan kembali) namun sekalipun


ayah saya tidak pernah pulang kerumah…”(B.M.1.5.3)

Hal lain yang subjek rasakan adalah saat menangis, ia akan merasa

tenang setelah dapat melepaskan air matanya. Subjek juga merasakan

kebahagiaan ketika nenek BM menjemput untuk berlibur.

“…Saya merasakan sesak, namun setelah menangis


saya merasa lega…”(B.M.1.3.6)

“…Saat liburan kenaikan kelas 6 nenek saya datang


kekuningan menjemput untuk liburan di jakarta, tentu saya
senang…”(B.M.2.2.11)

• Pemaknaan

Menurut Kross & Ayduk (2017) individu yang memiliki

kemampuan memaknai permasalahan yang dialami, maka akan sangat

membantu dalam meregulasi diri. Subjek BM pun memaknai bahwa

dirinya hanya mampu mengejar prestasi akademik. Ia pun menyadari


bahwa pikiran seperti itu adalah pikiran negatif hingga membuat dirinya

sulit untuk berkembang dalam bidang lain.

“…Saya berfikir saya hanya bisa mengejar prestasi di


akademik saja, saya tidak bisa meraih dalam bidang
lain…Mungkin itu menjadi mindset negatif pada diri saya
sehingga saya sulit melakukan apapun diluar dari
akademik, permasalahannya adalah saya tidak percaya
dengan diri saya sendiri dan itu menjadi permasalahan
dalam perkembangan hidup saya…”
( B.M.3.2.16; B.M.3.2.17)
4.2.5. Subjek GZ

4.2.5.1. Gambaran Umum Subjek GZ

Subjek GZ adalah seorang perempuan beretnis Jawa yang lahir di

Surabaya, 06 May 1997 dan kini berusia 21 tahun. GZ saat ini sedang

mengemban ilmu bidang psikologi di salah satu universitas swasta Jakarta.

GZ adalah anak kedua dari dua bersaudara, ia memiliki kakak perempuan

yang lebih tua kurang lebih 2 tahun dari GZ. Namun, kakak perempuan GZ

mengalami lemah dalam kognitif sehingga hal tersebut berpengaruh terhadap

melambatnya cara berfikir kakak GZ. Subjek GZ dan kakaknya merupakan

salah satu anak yang terlahir dari keluarga broken home. Apa yang dialami

GZ sangat mempengaruhi perkembangan mental subjek di kemudian hari.

Subjek GZ menceritakan awal mula pertengkaran ayah dan ibu GZ

yang memiliki wanita lain sejak ia berusia 8 tahun, ketika itu awal tahun 2006.

Pertengkaran kedua orangtuanya terjadi sejak adanya telepon malam-malam


yang seolah-olah meneror keluarga GZ. Suatu ketika subjek GZ mengangkat

telepon dan menemukan suara seorang wanita mencari ayah GZ. Ia

menemukan bahwa masalah tersebut masih terus berlanjut hingga membuat

ibu GZ menangis setiap malam dan memohon kepada ayah GZ untuk tidak

terpengaruhi wanita lain. Dalam kasus GZ, pertengkaran dan kekacauan

dalam keluarga GZ masih terus berlanjut hingga bertahun-tahun. Subjek GZ

yang tidak tega dengan ibunya, mencoba untuk bertanya perihal masalah yang

sedang dihadapi oleh kedua orangtua subjek.

Subjek GZ yang mengetahui perbuatan ayahnya menemukan bahwa

ayahnya telah memiliki anak dari wanita lain. Subjek GZ mencoba untuk

menyimpannya sendiri tanpa memberitahu ibu subjek tentang apa yang ia

ketahui. Ibu GZ pun akhirnya mengetahui hal tersebut, begitu banyak cobaan

menimpa keluarga GZ. Setelah berbulan-bulan ibu subjek berusaha berjuang

mempertahankan pernikahan. Pada akhirnya, ayah GZ sendirilah yang

meminta cerai dan memilih pindah agama.

4.2.5.2. Hasil Analisis Intra Kasus Subjek GZ

Tabel 4.2.6. Analisis Dinamika Intra Kasus Subjek GZ

Hari 1 Hari 2 Hari 3 Hari 4


Reconstruing - √ √ √
Emosi Positif - - - √
Pemaknaan - - - √
Recounting √ √ √ √
Emosi Negatif √ √ - -
Penghindaraan √ √ - -
Dari penjelasan tabel dinamika di atas dapat terlihat bahwa dialog

internal subjek GZ di hari pertama lebih banyak menceritakan peristiwa

negatif yang ia alami yang menyebabkan dirinya immersed. Hal ini terlihat

dari dominasi kalimat recounting, emosi negatif dan penghindaran yang

memiliki dialog internal pada tulisan subjek. Peneliti menemukan bahwa GZ

mengalami cobaan bertubi-tubi sejak ia kecil hingga dirinya beranjak dewasa

awal. Di hari kedua tulisan subjek, ia mencoba mengingat kembali awal mula

ibu GZ mulai terbuka dan menceritakan tentang perselingkuhan yang ayahnya

perbuat. Perasaan ruminasi dalam diri subjek masih terlihat jelas dalam

tulisannya di hari kedua.

Hingga tulisan subjek di hari ketiga, subjek masih me-reconstruing

peristiwa yang membuat dirinya immersed, terlihat dari tulisan subjek yang

masih menceritakan kronologi peristiwa serta kebohongan-kebohongan yang

ayahnya lakukan. Sedangkan di hari keempat subjek terlihat lebih reflektif

sehingga mampu memaknai peristiwa yang ia alami dan memperlihatkan

perubahan drastis dalam dirinya. Hal ini terlihat dari kalimat reconstruing,

emosi positif dan pemaknaan yang mendominasi kalimat dirinya. Ibu GZ

merupakan orang yang menjadi inspirasi GZ dalam menjalani hidup setelah

sekian lama rasa sakit dialami ibu GZ justru membuat ibu GZ mampu untuk

ikhlas dengan apa yang ia alami. Hal inilah yang membuat GZ kuat menerima

kenyataan harus tinggal hanya berdua bersama kakak perempuannya dan

berjuang hidup bersama sepeninggalan ibu GZ yang telah pergi menghadap


Tuhan. Secara keseluruhan subjek yang mengalami ruminatif di hari pertama

hingga ketiga mampu memaknai peristiwa sulit ia alami dengan lebih reflektif

di hari keempat.

Berikut ini gambaran analisis refleksi diri subjek GZ secara rinci

ketika mengikuti penelitian narrative writing therapy:

• Self-immersed atau ruminasi

Menurut Kross & Ayduk (2017) ketika individu merefleksikan

dirinya, terkadang mereka justru semakin fokus sehingga larut (immersed)

dan semakin merenungkan permasalahan secara berlebih. Ruminasi yang

terjadi pada individu akan menyebabkan refleksi diri menjadi maladaptif

dan menimbulkan psikopatologi pada diri individu tersebut (Nolen-

Hoeksema, Wisco, & Lyubomirsky, 2008). Peneliti melihat perasaan

ruminatif yang dialami oleh subjek sejak adanya perubahan sikap ayah

subjek yang sering kali lebih memperhatikan gawai ketika berada di

rumah dibandingkan kebersamaan dengan ibu, kakak, dan subjek GZ.

“…Aku yang melihat muka papa, merawa bahwa itu


bukan teman lelaki yang seharusnya diberi senyuman
hanya karena menerima pesan dari
temannya…”(GZ.1.2.5)

Sejak saat itu situasi di rumah subjek semakin tidak kondusif, ayah

dan ibu GZ sering kali bertengkar.


“… Aku masih diam dikamar seperti malam biasanya
bersiap untuk tidur namun kudengar kembali suara
yang tak ingin aku dengar…”(GZ.1.5.4)

Subjek GZ tidak mampu lagi menahan tangis setelah pertengkaran

yang terus terjadi antara ayah dan ibu GZ. Hal ini membuat ia larut dalam

kesedihan dikarenakan pertengkaran yang tak kunjung usai hingga

bertahun-tahun.

“…Aku melihat dirikupun terlarut dalam tangisan itu


seperti merasakan pengkhianatan yang dirasakan tetapi
tidak tau harus berbuat apa…”(GZ.2.4.6)

“…Tetapi aku melihat diriku merenung malam itu


memikirkan tak ada mimpi yang terjadi selama
bertahun – tahun lamanya…”(GZ.4.1.3)

• Recounting

Bahiyah & Savitri (2018) menyatakan bahwa ruminasi yang terus

larut akan menyebabkan recounting, sehingga individu akan memusatkan

perhatian pada rantai peristiwa spesifik yang terjadi pada kehidupan

individu tersebut. Subjek GZ mengalami kegelisahan sejak ayah dan ibu

GZ bertengkar untuk kedua kalinya.

“…Tetapi ternyata salah justru malam itu menjadi awl


pertengkaran kedua rang tuaku…”(GZ.2.1.2)
Keluarga GZ mendapatkan teror yang berasal dari seberang

telepon yang terus menggangu ketentraman suasana malam dalam rumah

keluarga GZ.

“…Telfon itu datang seperti teror dalam keluargaku,


aku melihat diriku lebih banyak diam, diam jika
disekolah, diam jika bertemu teman dan diam jika di
rumah…”(GZ.2.2.5)

Subjek GZ kini mendapati bahwa pertengkaran kedua orang

tuanya sudah tidak memperdulikan perasaan kedua anaknya hingga

subjek melihat ibu GZ menangis ketika kedua orangtuanya bertengkar.

“…Malam itu mama kembali menangis aku melihat


pertengkaran kembali terjadi diantara mereka namun
lama – lama pertengkaran itu bukan lagi privasi bagi
mereka berdua…”(GZ.2.3.1)

Selain itu, peneliti melihat ada pengabaian yang dilakukan oleh

ayah GZ. Subjek GZ mencoba mengingatkan ayahnya bahwa ibu GZ

terlihat aneh dengan pandangan yang kosong dan hanya diam ketika

ditanya. Namun, ayah GZ terlihat tidak peduli dan baik-baik saja. Ia yang

mendengar jawaban ayahnya pun bingung seribu bahasa.

“…Aku melihat diriku berjalan dengan wajah bingung


entah harus menangis atau marah karena perlakuan
papaku terhadap mama…”(GZ.2.6.6)
Subjek GZ pun akhirnya mengetahui sebuah rahasia besar dalam

keluarganya yang selama ini ditutupi ayah subjek. Ia tidak sengaja

menemukan pesan singkat dari gawai ayah subjek dari wanita tersebut

yang menyatakan bahwa wanita itu tengah mengandung.

“…Disanalah aku mengetahui semua kebohongannya,


kebohongan yang tak pernah aku ungkapkan karena
takut dan sedih jika melihat kondisi keluargaku saat
itu…”(GZ.3.2.3)

“…Aku melihat ekspresi shock tergambar dengan jelas


ddimukaku saat itu,. dalam sebuah pesan percakapan tertulis
sebuah kalimat yang mengatakan kepada papa bahwa wanita
itu kini sedang mengandung,… Hal yang membuatku semakin
bingung apakah harus mengatakannya atau tidak, menginga
kondisi mamayang terlihat sangat depresi dengan kejadian ini
membuatku semakin tak tega…”
(GZ.3.4.2; GZ.3.4.3; GZ.3.4.4)

“…tangisanku waktu itu seolah mengingatkannya


bahwa hal itu tak seharusnya dilakukannya…”( GZ.3.4.6)

Pertengkaran dan perselingkuhan yang terjadi dalam keluarga GZ

terus berlanjut hingga ia duduk di bangku SMA. Ibu GZ yang mengetahui

hal tersebut pun memutuskan untuk bercerai, namun perceraian dalam

keyakinan beragama keluarga subjek tidaklah dibenarkan dan cenderung

dilarang.
“..Aku melihat diriku kini duduk di bangku
SMA, mengingat kembali cerita mengenai gugatan
cerai yang tak dapat diwujudkan membuat mama
berpikir untuk mendekatkan diri kepada
Tuhan...”(GZ.4.1.4)

Peristiwa negatif yang GZ alami pun tak kunjung usai, tepatnya

tanggal 26 September 2016, di mana kekecewaan semakin mendalam

tatkala ibu GZ meninggal dunia karena serangan jantung. GZ pun tidak

kuasa lagi menahan tangisan, semua yang terjadi dalam dirinya seakan

seperti mimpi buruk. Ia pun menangis begitu keras dan terjaga hingga

malam hari.

“…Aku melihat diriku menangis begitu keras, menangis


seperti tak tau lagi suaranya seperti apa tangisan itu
terdengar,…Aku menangis terjaga sepanjang malam karena
pemakan baru akan dilakukan besok …”
(GZ.4.6.5; GZ.4.6.7)

Subjek GZ pun semakin larut dan terus menangis dalam suasana

duka yang menyelimuti dirinya selama pemakaman berlangsung. Ia terus

teringat akan kenangan terakhir dirinya dan ibu GZ yang bagaikan

pertanda dari sebuah perpisahan.

“…Teringat paginya ia mengantarku seolah itu sebuah tanda


perpisahan,…Membuatku makin tak dapat berhenti menangis
sepanjang waktu hingga mama sampai di tempat
peristirahatan terakhirnya…”
(GZ.4.7.2; GZ.4.7.3)
• Emosi Negatif

Ayduk & Kross (2010b) menyatakan bahwa pengalaman negatif

akan menimbulkan emosi negatif yang diakibatkan dari sikap larut pada

permasalahan yang sedang dihadapi dan akan sulit untuk berfikir objektif.

Hal serupa diungkapkan oleh Morin dkk bahwa refleksi diri berkaitan erat

dengan dengan emosi negatif yang timbul ketika individu berdialog

secara internalisasi (Morin, Duhnych, & Racy, 2018). Perasaan negatif

yang muncul ketika pertengkaran ayah dan ibu GZ adalah rasa takut dan

bingung yang membuat ia sulit untuk kembali tertidur. Ketakutan yang

menyelimutinya ketika pertengkaran tak kunjung usai.

“…Takut, bingung entah apa yang mereka


perdebtkan hingga membuatku sulit untuk kembali
tidur, hingga akhirnya aku tetap emmaksakan diriku
untuk kembali menutup pintu dan tidur…”(GZ.1.3.7)

“…Aku melihat diriku dan kakakku hanya terpana


antara bigung dan takut entah apa yang harus diperbuat
melihat ornag tuanya bertengkar tepat disamping
mereka…”(GZ.2.3.2)

“…Memang tak setiap hari orang tuaku bertengkar tetapi


bukan berarti masalah itu telah selesai…”(GZ.2.3.6)

Subjek GZ pun merasa sedih jika harus berbagi cerita dengan

teman-temanya terkait kegiatan mereka ketika akhir pekan tiba.


“… Sedih rasanya jika aku disekolah duduk dengan
temanku bercerita mengenai keseruan yang dilakukannya
dengan keluarganya setia akhir pekan…”(GZ.2.3.4)

• Penghindaran

Bahiyah & Savitri (2018) menyatakan bahwa individu ketika

memikirkan peristiwa yang ia alami akan cenderung menghindari

pemikiran negatif dengan cara menekan ataupun melupakannya. Namun,

disaat individu menghindari masalah, justru akan semakin memikirkan

kejadian tersebut dan merasakan emosi negatif. Dalam kasus GZ, ia

sering berusaha untuk melupakan bahkan menghindari situasi rumit saat

konflik dalam keluarganya terus terjadi. Jika malam tiba GZ pun memilih

untuk tidur dan mengabaikannya, namun kegaduhan yang terjadi di luar

kamar tidur GZ tetap terdengar.

“…Aku masih diam dikamar seperti malam biasanya


bersiap untuk tidur namun kudengar kembali suara
yang tak ingin aku dengar…”(GZ.1.5.4)

“…Pertengkaran itu kembali terjadi entah apa


yang didebatkan intinya aku tetap ingin tidur dan
berharap tidurku aka membuatku tak mendengar suara
itu…”(GZ.1.5.6)

Peristiwa pertengkaran antara ayah dan ibu subjek terus

berlanjut hingga GZ pun berharap dengan tertidur ia dapat melupakan

semua permasalahan di dalam rumah.


“…Aku tak mengira kejdian ini akan berlangung begitu
lama, pada malam itu yang aku kira dengan tertidur aku
akan sedikit melupakannya…”(GZ.2.1.1)

Subjek GZ yang menyadari adanya hal buruk namun karena ia

tidak mampu berbuat apa-apa sehingga ia memilih untuk bersikap seakan

tidak ada yang terjadi sebelumnya.

“…Seperti menyadari bahwa sesuatu telah terjadi


diantara orang tuaku, seperti mengetahui ada sesuatu
yang ditutupi mamaku tetapi aku melihat diriku selalu
bersikap biasa seolah tak ada apa- apa karena aku tak
tahu apa yang harus kuperbuat…”(GZ.2.2.6)

Subjek pun memilih untuk fokus sekolah agar dapat melupakan

peristiwa negatif yang ia alami selama berada di rumah, sering kali GZ

pun khawatir ketika membayangkan peristiwa yang mungkin akan terjadi

dalam keluarga GZ.

“…Bahkan aku lebih suka pergi ke sekolah


karena aku merasa akan melupakan segalanya
sejenak, seperti ada perasaan aneh ketika
pulang ke rumah rasa takutmembayangkan apa
yang akan terjadi selanjtnya…”(GZ.2.5.6).

• Self-distancing atau refleksi diri

Ayduk & Kross (2010b) menyatakan bahwa self-distancing atau

refleksi diri merupakan kemampuan mengambil jarak diri seperti seolah-


olah mundur selangkah dan melihat diri dengan cara mengobservasi

dalam pikiran untuk membentuk perspektif lain dalam diri. Sikap

menerima keadaan dan mampu beradaptasi dengan lingkungan salah satu

bentuk dari refleksi diri. Subjek GZ tinggal bersama kakaknya dan

berusaha untuk kembali menjadi pribadi yang baik. Ia yang pernah

merasakan pertengkaran ayah dan ibu subjek sejak ia berusia 8 tahun, kini

telah menjadi wanita dewasa yang mampu merefleksikan setiap kejadian

yang pernah ia alami.

“…Bertahun – tahun kemudian, kini aku duduk di


bangku perkuliahan, iya masih baru kerusakan 2 tahun
lalu tepatnya jika dikurangi tahun sekarang, tumbuh sejak
SD dengan keluarga yang kurang harmonis…”(GZ.4.4.5)

“…Kini aku yang hanya tinggal dengan kakak kembali


menata hati hingga saat ini bahkan sampai saat ini aku
mengetik semua cerita itu, menata kembali kehidupan kami,…
Tapi hikmah yang kami ambil dari semuanya kini aku menjadi
pribadi yang lebih baik, aku banyak belajar dari kehidupan
mama uang sampai saat ini kubawa seperti memaafkan papa
yang sudah menyakiti kami…”
(GZ.4.7.5; GZ.4.7.6)
• Reconstruing

Bahiyah & Savitri (2018) menyatakan bahwa ketika individu

mengalami suatu kejadian akan ada reaksi emosi yang di munculkan,

disaat reaksi emosi membentuk perspektif positif, inilah yang disebut

dengan reconstruing. Pada kasus GZ, subjek GZ berusaha menyejukkan


suasana dengan berekasi tenang ketika ibu GZ bersedih dan kecewa

mengetahui bahwa ayah GZ memiliki wanita lain.

“…mama kala itu mendatangiku yang sedang tertidur


menangis begitu tersedu – sedu dan mengatakan bahwa
papa mempunyai wanita lain selain dirinya,…Aku
melihat ekspresi bingung pada wajah itu, bingung karena
tak tau harus berkomentar apa, yang aku tahu hanya
menenagkan mama dengan memeluknya…”
(GZ.2.4.4; GZ.2.4.5)
Subjek menceritakan bahwa ia teringat ketika ayah GZ mencoba

membohongi ibu GZ dengan membuat surat dinas palsu agar ibu GZ

percaya dan ayahnya dapat bertemu dengan wanita tersebut.

“…tetapi papa meyakinkan mama dengan sebuah surat


dinas(keluar kota) yang pada akhirnya setelah kuamati
aku yakin itu adalah buatannnya sendiri untuk
membohongi mama…”(GZ.3.1.6)

“…Aku tahu karena kau melihatnya tetapi kau diam


karena aku juga tak mau mama sedih, tak mau kondisi
rumah semakin memburuk jika aku mengatakan
kebenarannya…”(GZ.3.2.1)

Seperti yang telah dibahas dalam aspek ruminasi bahwa subjek

GZ yang mengetahui perselingkuhan ayahnya, kini ayah subjek telah

menghasilkan seorang anak dari hubungannya dengan wanita tersebut.


Pada akhirnya, ibu subjek pun mengetahui hal tersebut dan memilih untuk

bercerai.

“…Mama akhirnya mengetahui hal tersebut hingga


kalimat gugatan cerai kini keluar dari mulutnya, yang
kulakukan hanya terdiam, sering aku menangis meratapi
keadaan keluargaku namun tak banyak yang dapat
kulakukan…”(GZ.3.5.9)

Meskipun demikian, hal tersebut sempat menjadi kendala utama

karena keyakinan yang di anut dan kedua belah pihak keluarga yang juga

tidak mendukung terjadinya perceraian. Ibu GZ pun memilih untuk

menata hati dan bersabar menghadapi ujian dalam keluarga GZ. Subjek

GZ yang melihat ibunya begitu tabah memberikan inspirasi untuk anak-

anaknya terutama GZ.

“…Ia mampu menata hatinya yang hancur brsabar


dan berubah menjadi wanita yang menginspirasi,…
kesabarannnya yang saat inin masih kuterapkan, dan
pemanfanya yang saat in selalu kulakukan…”
(GZ.4.2.3; GZ.4.2.5)

Sikap ibu GZ yang berubah dan memilih untuk tegar menjadikan

ibu GZ sosok wanita kuat dan memberikan dampak yang positif dan

atmosfir baru di rumah keluarga GZ.

“…Sejak mama erubah menjadi sosok wanita yang baru,


membawa dampak yang cukup baik bagi keluarga kami,…
kondisi rumah yang semula tak nyaman karena suara
pertengkaran diantara mereka kini tak lagi ada karena mama
memilih bersabar dengan harapan papa akan yang menjadi
bukti seumur hidup jika papa kembali mama akan menerima
dan merawatnya seperti anaknya sendiri…”
(GZ.4.3.1; GZ.4.3.2)
• Emosi Positif

Menurut Morin (2012) ketika individu mendapatkan informasi dan

mempercayainya sebagai value atau nilai dalam dirinya, maka akan ada

bentuk proses kognitif yang dapat memunculkan emosi negatif ataupun

positif. Pada kasus GZ, ia menemukan inspirasi dalam diri ibu GZ dan

makna spiritual selama peristiwa negatif itu terjadi. Peristiwa yang GZ

alami memberikan kesan negatif sekaligus makna positif untuk GZ dalam

mengarungi kehidupan di kemudian hari bersama kakak perempuannya.

“…Spiritualitas yang bertambah banyak memberiku


nasihat – nasihat dalam menjalani hidup, nasihat- nasihat
dalam menjalani hidup, nasihat yang sampai sekarang masih
kulakukan…”(GZ.4.2.4)

“…Kini semuanya mulai membaik meski hanya kami


berdua (kakak) kami tetap saling melengkapi…”(GZ.4.7.8)

• Pemaknaan

Menurut Kross & Ayduk (2017) individu yang memiliki

kemampuan memaknai permasalahan yang dialami, maka akan sangat

membantu dalam meregulasi diri. GZ pun mencoba menerima keadaan

dan memaafkan semua yang telah terjadi dengan belajar ikhlas dan yakin
semua telah diatur oleh-NYA. Subjek pun akhirnya diam-diam

mengagumi ketegaran hati ibu GZ yang pasrah akan rencana Tuhan.

“…Mencoba mengikhlaskan segala sesuatu yang


terjadi sebagai rancangan yang memang Tuhan atur
dalam kehidupan kami. Aku(m) elihat diriku yang diam
– diam menjadi kagum dengan mama…”
( GZ.4.2.1: GZ.4.2.2)

Subjek GZ banyak mendapatkan dukungan dari teman-teman

subjek ketika ibu GZ meninggal dunia. Meskipun ia merasakan semua

yang terjadi bagaikan bunga tidur dalam kehidupannya, namun ia

berusaha untuk menerima kenyataan bahwa ibu GZ telah lebih dulu pergi

menghadap yang Maha kuasa.

“…Banyak temanku yang tak pulang terjaga disana


menemaniku, seperti mimpi rasanya tetapi itu
kenyataan yang harus kuterima bahwa semua dan
segala sesuatu yang hidup akan kembali ke Tuhan
dengan caranya masing – masing…”(GZ.4.7.1)

Pengalaman spiritual yang GZ dapatkan dari reaksi emosi positif

ketika menghadapi permasalahan, menyadari dirinya arti sebuah

kehidupan. Subjek GZ pun memaknai perjalanan hidup ia dengan

memaafkan semua yang telah terjadi.

“…Kini aku yang hanya tinggal dengan kakak kembali


menata hati hingga saat ini bahkan sampai saat ini aku
mengetik semua cerita itu, menata kembali kehidupan
kami…”( GZ.4.7.5)

“… Tapi hikmah yang kami ambil dari semuanya kini aku


menjadi pribadi yang lebih baik, aku banyak belajar dari
kehidupan mama uang sampai saat ini kubawa seperti
memaafkan papa yang sudah menyakiti kami…”

(GZ.4.7.6)
Ia pun kini memiliki hubungan yang baik dan mampu memaafkan

segala kesalahan ayah GZ di masa lalu dan menutup kenangan pahit

bersamaan dengan satu tahun kepergian ibu GZ. Subjek GZ pun

menyadari bahwa akhir cerita yang tidak bahagia merupakan rencana

Tuhan yang terbaik.

“…kini kami tetap berhubungan baik seolah segala sesuatu


yang menyakitnya di tahun tahun lali ki(n)i sudah kututup
dengan berlalunya 1 tahun kepergian mama…”(GZ.4.7.7).

“…Sebuah akhir yang tidak bahagia tapi aku sadar bahwa itu
rancangan terbaik Tuhan untuk kehhidupan
keluargaku…”(GZ.4.7.9).

4.2.6. Subjek LM

4.2.6.1. Gambaran Umum Subjek LM

Subjek LM seorang perempuan berusia 19 tahun dan beretnis

Jawa yang lahir di Tangerang, 28 Mei 1999. Subjek LM memiliki dua

adik, saat kedua orang tua LM bercerai adik pertama masih duduk di

bangku kelas 1 SD dan adik keduanya masih berusia satu tahun,


sedangkan LM saat itu kelas empat SD. Perceraian kedua orang tua LM

disebabkan oleh orang ketiga, akhirnya ibu subjek memilih untuk pergi

dari rumah. LM pun menceritakana bahwa ia berbulan-bulan tinggal

bersama ayah dan kedua adiknya. LM yang masih begitu lugu belum

dapat memahami bahwa kepindahan ia dengan ayah dan kedua adiknya

ke Lampung adalah awal dari perpisahan ia dengan orang tuanya.

Peneliti menemukan bahwa LM tidak begitu kesulitan dalam

beradaptasi dengan lingkungan baru, Meskipun tetap butuh proses untuk

mencapainya. Subjek juga mampu menyakinkan dirinya, walaupun harus

melalui hal berat ia yakin dapat tetap bahagia dan memahami bahwa

perpisahan kedua orangtuanya adalah jalan terbaik. Subjek LM yang

mulai mengenal lawan jenis mencoba berpacaran secara diam-diam,

karena keluarga subjek tidak pernah mengijinkan LM menjalin hubungan

asmara di usia yang masih belia. Namun, subjek LM semakin dilarang

justru semakin nekat untuk bisa berpacaran. Peneliti melihat bahwa

subjek berperilaku melawan peraturan di rumah, hingga suatu hari ia

mengalami kecelakaan patah tulang tidak sadarkan diri selama satu

minggu.

Setelah lulus SMP, ibu LM mengenalkan ia kepada calon ayah tiri

LM dan mengajak LM untuk tinggal bersama di Tangerang. Subjek pun

mengiyakan, namun subjek ketika mendaftar sekolah negeri ditolak dan

hanya bisa mendaftar di sekolah swasta. Ia meminta pertolongan ayah


LM untuk mencarikan sekolah untuk dirinya. Saat itulah akhirnya ia

mengetahui bahwa ayah subjek sudah menikah juga dan tanpa

sepengetahuan LM. Subjek LM pun tinggal bersama ayah kandung dan

ibu tiri LM bersama dua saudara tiri LM. Lambat laun LM tidak diizinkan

untuk bertemu dengan ibu kandung LM karena ibu kandung LM memiliki

ilmu hitam. Namun, akhirnya LM pun menyadari bahwa ibu tiri ia juga

memiliki ilmu hitam dan menjadi kejam terhadap dirinya sejak tragedi

ayah kandung subjek mengusir anak tirinya.

4.2.6.2. Hasil Analisis Intra Kasus LM

Tabel 4.2.7. Analisis Dinamika Intra Kasus Subjek LM

Hari 1 Hari 2 Hari 3 Hari 4


Reconstruing √ √ √ √
Emosi Positif √ - - √
Pemaknaan √ √ - √
Recounting √ √ √ √
Emosi Negatif - √ √ √
Penghindaraan - - - -

Dari penjelasan tabel di atas dapat terlihat dinamika dialog internal

subjek LM di hari pertama cenderung mencoba mengingat kembali

peristiwa sulit yang membuatnya immersed. Hal ini terlihat dari usaha

subjek melakukan reconstruing meskipun yang subjek lakukan mengacu

kepada sikap ruminasi, dapat terlihat dari kalimat subjek yang terus

mempertanyakan nasib dia dan kedua adiknya. Di hari kedua subjek dapat

menunjukkan sikap reflektif dengan mencoba memahami kondisi dan


situasi yang selama ini terjadi pada dirinya. Hal ini terlihat dari tulisan

subjek yang mencoba memahami mengapa hanya adiknya yang lebih kecil

diberikan perhatian dan dibawa kembali pulang ke Jakarta. Sikap prihatin

dengan membantu nenek berjualan juga ditunjukkan subjek dalam

tulisannya serta ketika mulai memasuki usia remaja subjek mau mencoba

untuk hidup mandiri.

Di hari ketiga subjek mengalami pergolakan jiwa sebagai anak

remaja, ia menjalin hubungan asmara diam-diam karena ayahnya

melarang dirinya berpacaran. Sehingga subjek terlihat lebih banyak

menceritakan peristiwa negatif yang cenderung immersed ia rasakan.

Belum lagi, berita pernikahan ibu dan ayahnya dengan pasangan masing-

masing membuat ia semakin bingung. Di hari keempat subjek mampu

kembali menunjukkan sikap reflektif, terlihat dari tulisan subjek yang mau

berusaha menyesuaikan diri, menyadari setiap keputusan yang ia ambil

walaupun ia tetap harus menghadapi ibu tiri yang besikap kejam terhadap

dirinya. Peneliti menemukan bahwa subjek meskipun mengalami

sekelumit permasalahan yang disebabkan oleh kedua orangtuanya subjek

terlihat semakin dewasa dan dapat memaknai kompleksitas keluarganya

sebagai bagian dari takdir kehidupannya. Hal ini dapat dibuktikan dari

keyakinan subjek bahwa apa yang telah terjadi adalah jalan terbaik. Ia

hanya berharap suatu saat dapat memiliki kehidupan yang layak dan

keluarga yang nyaman dan menyayanginya sepenuh hati.


Secara keseluruhan selama empat hari berturut-turut menulis

subjek LM terlihat memiliki dinamika yang naik turun, namun di akhir

tulisan ia mampu memaknai peristiwa negatif ia alami dan berusaha

mengaktualisasi diri dengan berkuliah di bidang psikologi. Berharap suatu

saat nanti ia mampu menjadi orangtua yang lebih baik dan tidak

melakukan kesalahan yang sama seperti masa lalu kedua orangtuanya.

Berikut ini gambaran analisis refleksi diri subjek LM secara rinci ketika

mengikuti penelitian narrative writing therapy:

• Self-immersed atau ruminasi

Menurut Kross & Ayduk (2017) ketika individu merefleksikan

dirinya, terkadang mereka justru semakin fokus sehingga larut

(immersed) dan semakin merenungkan permasalahan secara berlebih.

Ruminasi yang terjadi pada individu akan menyebabkan refleksi diri

menjadi maladaptif dan menimbulkan psikopatologi pada diri individu

tersebut (Nolen-Hoeksema, Wisco, & Lyubomirsky, 2008). Subjek LM

yang belum memahami apa yang terjadi pada awalnya merasa sedih dan

terus memikirkan nasib ia dan adik-adiknya. Terutama adik subjek yang

masih berusia satu tahun. Ia berpendapat bahwa keegoisan orangtuanya

telah membutakan mereka akan nasib anak-anak yang masih

membutuhkan kasih sayang.


“…Saya masih belum paham tentang apa itu perceraian.
Saya hanyalah salah satu dari sekian banyak anak diluar
sana yang menjadi korban atas keegoisan orang tua…”
(LM.1.1.9; LM.1.1.10)

“…Aku tetap menangis memikirkan bagaimana


kehidupanku dan adikku kelak? Adikku masih sangat kecil
untuk merasakan semua peristiwa ini. Adikku yang terakhir
masih berusia satu tahun. Itu adalah usia dimana seorang
anak benar – benar membutuhkan peran orang tua…”
(LM.1.3.15; LM.1.3.16; LM.1.3.17)

• Recounting

Bahiyah & Savitri (2018) menyatakan bahwa ruminasi yang terus

larut akan menyebabkan recounting, sehingga individu akan memusatkan

perhatian pada rantai peristiwa spesifik yang terjadi pada kehidupan

individu tersebut. Perasaan ruminasi yang dialami LM selama menuliskan

peristiwa negatif yaitu, ketika ia terus menangisi keadaan karena harus

berpisah dengan kedua orangtuanya satu persatu. Setelah ditinggalkan

oleh ibu LM ia pun harus menerima bahwa ia akan terpisah kota dan

pulau dengan dengan ayah kandungnya.

“… Dan lagi, aku menangis Benar – benar menangis


ketika akan ditinggal papa... Kalau papa meninggalkanku,
bagaimana kehidupanku? Bagaimana kehidupan adik –
adikku yang masih sangat kecil untuk merasakan ini
semua? Aku tidak tau…”
(LM.1.5.7; LM.1.5.8)

Subjek LM pun terkadang larut karena merindukan keluarga

harmonis seperti dulu ketika kedua orangtuanya masih bersama.

“… Aku sangat ingat waktu dimana saat aku benar –


benar menangis karena aku merindukan kehidupanku
yang dulu…” (LM.2.5.5)

Subjek LM pun menjalin asmara tanpa sepengetahuan keluarga

semasa ia SMP, karena ayah LM tidak mengizinkan LM berpacaran

sebelum menyelesaikan pendidikannya.

“…Satu hal, papa selalu melarangku untuk berpacaran,


Apapun alasannya aku tidak diizinkan untuk berpacaran
sampai aku lulus sekolah…”(LM.3.1.4)
Pribadi LM yang pembrontak justru membuat dirinya semakin

menentang aturan yang telah dibuat oleh ayah subjek.

“… Namun, semakin aku dikekang, justru membuat aku


semakin nekat, aku merupakan anak yang sangat keras
kepala…”(LM.3.1.5)

Ruminasi lainnya yang LM alami ketika ia sudah menetap dan

bersekolah di Tangerang dan tinggal dengan ayah kandung juga ibu tiri

subjek. Ia tidak diizinkan bertemu dengan keluarganya terutama ibu

kandung LM.
“… Namun, mama tiriku selalu melarang 1 hal, yaitu ia
tidak ingin aku bertemu lagi dengan keluarga kandungku…”
(LM.4.2.4)

Ibu tiri subjek pun juga melarang ayah LM untuk bertemu kedua

adik LM. Ia pun akhirnya mengetahui bahwa ibu tiri subjek menggunakan

ilmu hitam.

“…Ternyata diam – diam mama tirikupun


menggunakan ilmu hitam untuk mempengaruhi papa
agar papa tidak bertemu dengan adik – adikku…”
(LM.4.2.10)
Ibu tiri subjek pun mulai berubah sikapnya terhadap LM sejak

ayah LM mengusir kakak tiri LM karena pulang larut malam dengan

keadaan mabuk.

“… Semua benar – benar berubah, ternyata mama tiriku


tidak suka papa mengusir anaknya, sehingga mama tiriku
melampiaskannya kepadaku…”(LM.4.5.2)

Ia pun harus bangun pagi hari dan hampir semua pekerjaan rumah

dialihkan kepadanya. Rasa sedih yang LM alami membuat dirinya

semakin larut (immersed) hingga ia pun berpikiran negatif. Ia merasa

ingin sekali bunuh diri dan kabur dari rumah karena tidak tahu kapan

akan berakhir semua penderitaan yang ia alami.

“…Pernah suatu hari aku benar – benar lelah


menghadapi kehidupan ini, aku benar – benar ingin
melakukan bunuh diri. Aku lelah, aku benar – benar
tidak tau mengapa hal ini harus terjadi padaku…”
(LM.4.8.1; LM.4.8.2).

“…Aku sering mencoba untuk bunuh diri,


mencoba untuk kabur dari rumah saking aku
lelahnya mengadapi ini semua. Sudah cukup
masalah yang aku hadapi, Entah kapan ini
berakhir, aku tidak tau…”
(LM.4.8.3; LM.4.8.4)

Subjek yang tidak tahan dengan perilaku ibu tirinya pernah

mengadukan perbuatan kepada ayah kandung subjek, sehingga ibu tiri

LM semakin membencinya dan hanya menganggap LM sebagai seorang

pembantu.

“… Semenjak aku mengadu, mama tiriku benar


– benar benci sekali kepadaku. Ia sering ngantain aku
sok cantik, ngatain akun kaya pembantu dan segala
macam. Dan disitu aku baru sadar, selama aku tinggal
disana, ia tidak pernah menganggap aku anak, tetapi
dia mengganggap aku hanyalah seorang pembantu…”
(LM.4.10.1; LM.4.10.2; LM.4.10.3)

• Emosi Negatif

Ayduk & Kross (2010b) menyatakan bahwa pengalaman negatif

akan menimbulkan emosi negatif yang diakibatkan dari sikap larut pada

permasalahan yang sedang dihadapi dan akan sulit untuk berfikir objektif.
Hal serupa diungkapkan oleh Morin dkk bahwa refleksi diri berkaitan erat

dengan dengan emosi negatif yang timbul ketika individu berdialog

secara internalisasi (Morin, Duhnych, & Racy, 2018). Emosi negatif yang

LM rasakan saat adik berusia satu tahun dijemput oleh saudara LM yang

lain namun tidak dengan LM yang harus menetap di Lampung.

“…Betapa sedihnya aku saat itu karena hanya adikku


yang dijempu, Mereka membiarkan aku dan adikku yang
lainnya tetap tinggal di Lampung…”(LM.2.1.8)

LM menceritakan bahwa ia merasa sedih saat anak lainnya

mendaftarkan diri ke sekolah ditemani orangtuanya, namun ia hanya pergi

ditemani oleh asisten rumah tangganya.

“… Namun, hal yang begitu membuatku sedih adalah,


disaat anak – anak lain daftar sekolah ditemani oleh
orang tua mereka, aku disini daftar sekolah ditemani
oleh pembantuku…”(LM.2.3.2)

Emosi negatif yang LM rasakan lagi saat remaja dan mulai

mengenal lawan jenis, ia pun mulai berani berpacaran. LM yang dilarang

berpacaran akhirnya ketahuan oleh pamannya hingga dirinya panik

ketakutan.

“…Tiba – tiba ada omku dan temannya menghampiri


aku. Disitu aku takut, panik, dan ingin menangis
rasanya…”(LM.3.2.5)
“… Disitulah baru omku menghampiriku dengan
tatapan mengerika(n)…”(LM.3.2.7)

Hal lain yang pernah LM rasakan yaitu, emosi negatif ketika ia

mulai tinggal bersama ayah kandung dan ibu tiri LM. Ia disiksa dan

dimarahi, setiap tindakan yang LM lakukan selalu salah oleh ibu tirinya.

“…Tak hanya itu, di rumah itu aku selalu


disiksa oleh mama tiriku. Aku selalu dimaki – maki
hingga disumpahin olehnya…”
(LM.4.6.1; LM.4.6.2)

Subjek LM pun merasakan sudah hilang kebahagian yang ia miliki

sejak pindah ke rumah baru milik ibu tiri LM.

“…Semenjak pindah ke rumah baru, tidak ada lagi


kebahagiaan yang aku rasakan seperti saat di rumah
yang lama. Yang ada hanyalah kesedihan dan
kesakithatian atas apa yang sudah ia perbuat
kepadaku…”
(LM.4.7.1; LM.4.7.2)

LM pun mendapati sifat asli ibu tirinya yang selalu berprasangka

buruk terhadap dirinya. Tidak hanya itu, LM sering kali dihina dan

mendapatkan perkataan kasar dan tidak mendidik.

“…Betapa kejamnya mama tiriku. Ia selalu berprasangka


buruk kepadaku dan selalu memfitnah aku. Sampai saat itu
pernah aku dihina olehnya, ia mengatain aku bahwa aku
hanyalah anak sialan, anak setan, anak pelacur, dia ngatain aku
bangsat, bego, tolol…”
(LM.4.7.7; LM.4.7.8)
• Self-distancing atau refleksi diri

Ayduk & Kross (2010b) menyatakan bahwa self-distancing atau

refleksi diri merupakan kemampuan mengambil jarak diri seperti seolah-

olah mundur selangkah dan melihat diri dengan cara mengobservasi

dalam pikiran untuk membentuk perspektif lain dalam diri. Sikap

menerima keadaan dan mampu beradaptasi dengan lingkungan salah satu

bentuk dari refleksi diri. Pada kasus LM, dapat ditemukan bahwa saat

mengalami situasi yang tidak di inginkan ia mampu berfikir positif dan

selalu mengingat yang maha kuasa yang mengetahui terbaik untuk ia dan

keluarganya. Hal ini dibuktikan oleh sikap LM yang percaya dan yakin

akan ada kebahagiaan meskipun tanpa orang tua.

“…Ya walaupun tanpa papa, Aku yakin aku


tetap masih bisa bahagia walaupun aku merasakan
peristiwa yang amat sangat menyakitkan bagiku. Tapi
aku tetap selalu bersyukur, mungkin memang ini bukan
jalan yang terbaik untuk keluargaku…”
(LM.2.4.4; LM.2.4.5)

“…aku tetap berpikirkan positif, aku yakin hanya


Allahlah yang dapat menyelamatkan hidup seseorang,
bukan dengan ilmu hitam seperti itu…”(LM.4.3.4)
• Reconstruing

Bahiyah & Savitri (2018) menyatakan bahwa ketika individu

mengalami suatu kejadian akan ada reaksi emosi yang di munculkan,


disaat reaksi emosi membentuk perspektif positif, inilah yang disebut

dengan reconstruing. Peneliti menemukan bahwa subjek LM mampu

berdamai dengan keadaan dan bersikap pasrah menjalani takdir yang harus

ia lalui.

“…Pertama kali saya mendapatkan peristiwa sulit dalam


hidup saya itu ketika saya harus menerima keadaan
bahwa ternyata kedua orang tua saya tidak dapat
bersama kembali…”(LM.1.1.1)

Peneliti juga menemukan bahwa subjek LM dapat menyadari

dengan segera kondisi yang sedang ia alami. Hal ini terlihat dari kesadaran

diri LM saat ayah LM mengantar ia dan adik-adiknya ke tempat dimana

ibu kandung LM berada setelah berbulan-bulan pergi dari rumah.

“…Saya ingat betul saat saya mulai pindah, itu


ketika saya sudah kelas 5 SD…”(LM.1.2.1)

“…Disitu aku tau, ternyata selama ini papa tau


dimana mama, tapi papa memang sengaja supaya
aku dan adikku tidak bertemu mama…”(LM.1.3.3).

Subjek LM tidak tega melihat adik-adiknya masih kecil, terutama

adiknya yang masih berusia satu tahun harus menerima keadaan hanya

bisa pasrah dan tidak mampu berfikir harus berbuat apa.

“…Itu adalah usia dimana seorang anak benar –


benar membutuhkan peran orang tua. Kalau sudah
begini bagaimana nasib adikku…Aku benar – benar
tidak dapat berpikir lagi, Aku hanya bisa pasrah…”
(LM.1.3.17; LM.1.3.18; LM.1.3.19).

Meskipun subjek LM memiliki sifat keras kepala, namun ia

menyadari bahwa ia harus membantu nenek. Ia pun tidak segan untuk

membantu nenek berjualan, mengingat hanya neneknya lah yang menjaga

subjek sejak ia dipindahkan ke Lampung,

“…Dari SMP aku sudah membantu nenekku, Nenek


berjualan kue di pasar setiap pagi dan setiap subuh pula
aku membantu nenek menyiapkan barang yang mau
dibawa…”(LM.2.3.8)

Peneliti menemukan bahwa subjek LM memiliki sikap pantang

menyerang meskipun kondisi yang ia hadapi begitu rumit. Hal ini

ditunjukkan oleh LM dari sikap dirinya yang selalu mengingat Maha

pencipta dan meminta kepada Tuhan agar dapat memiliki keluarga utuh

kembali.

“…Disetiap doaku ketika aku sholat, aku selalu berdoa


Dan disetiap doaku, aku tidak meminta apa – apa. Aku
hanya meminta agar keluargaku kembali utuh seperti
dulu. Itulah doa yang selalu aku minta kepada Allah
sampai saat ini…”
(LM.2.5.7; LM.2.5.8)
Subjek LM yang mulai tumbuh beranjak dewasa pun telah mampu

membuat keputusan yang terbaik untuk dirinya. Hal ini ditunjukkan


dengan keputusan ia memilih tinggal bersama ibu kandung dan ayah tiri

subjek.

“…Dan akhirnya, keputusan terakhir aku


akhirnya memilih untuk tinggal bersama mama
dan membiarkan mereka menikah…”(LM.3.7.1)

Walaupun akhirnya subjek memilih ikut ayah kandung LM karena

alasan tempat sekolah SMK yang sesuai keinginannya bisa ia dapatkan

jika tinggal bersama ayah kandungnya. Subjek LM pun menunjukkan

kembali kemampuannya menyesuaikan diri ketika mengetahui ayah

kandungnya telah menikah tanpa sepengetahuan LM.

“…Ternyata, pada saat itu papa sudah menikah yang


entah kapan menikahnya…”(LM.3.9.1)

“…Aku mulai menyesuaikan diri di rumah baru. Disana


aku hanya tinggal bertiga, yaitu dengan papa dan dengan
istrinya yang kupanggil mama…”
(LM.4.1.5; LM.4.1.6)

Subjek pun menunjukkan kemampuan beradaptasi dengan bersikap

secara sadar bahwa ia kini tinggal dengan ayah kandung dan seseorang

yang baru ia kenal yaitu, ibu tiri subjek. Subjek pun berinisiatif untuk

membantu membersihkan rumah dan menganggap sebagai hal yang wajar

dilakukan oleh seorang anak perempuan.


“…Setiap hari aku bangun pagi untuk membersihan
rumah. Itu merupakan hal yang wajar, karena
bagaimanapun aku akan menikah, dan aku menganggap
aku belajar dari sekarang untuk merawat rumah…”
( LM.4.2.1; LM.4.2.2)

“…Entah mengapa alasannya, tapi lama – kelamaan aku


mulai mengerti mengapa mama tiriku melarang aku bertemu
dengan mama kandungku. Karena ternyata, mama kandungku
memang jahat, dan sebelumnya ialah penyebab atas
perceraian dengan papa…”
(LM.4.2.6; LM.4.2.7)

“…Disitu aku baru sadar, selama ini ada yang aneh dari
papa. Papa sangat menurut sekali dengan istrinya ini.
Apapun yang istrinya minta selalu papa turuti dan aku
mulai berpikir mengapa hal ini bisa terjadi di
keluargaku…”
(LM.4.3.1; LM.4.3.2; LM.4.3.3)

• Emosi Positif

Menurut Morin (2012) ketika individu mendapatkan informasi dan

mempercayainya sebagai value atau nilai dalam dirinya, maka akan ada

bentuk proses kognitif yang dapat memunculkan emosi negatif ataupun

positif. Emosi Positif yang ditanamkan dalam diri subjek LM adalah

dengan mencoba untuk memahami lingkungan baru dan bersikap sesuai

dengan perannya yaitu seorang kakak untuk kedua adiknya.


"...Aku berusaha untuk beradaptasi dengan semua yang ada
disini, Aku mencoba untuk menjadi kakak yang baik untuk kedua
adikku..."(LM.1.5.13)

Peneliti juga menemukan bahwa subjek LM mampu memunculkan

emosi positif ketika ia menghadapi ibu tiri yang akhirnya ia ketahui

menggunakan ilmu hitam. Subjek LM tetap berusaha berfikir positif dan

yakin akan kuasa Tuhan yang maha kuasa akan selalu melindungi dirinya.

Subjek LM pun selalu berdoa agar suatu saat bisa hidup bahagia bersama

ayah kandung LM.

“…Namun, aku tetap berpikirkan positif, aku yakin hanya


Allahlah yang dapat menyelamatkan hidup
seseorang…”(LM.4.3.4)

“…Intinya, sampai detik ini, aku hanya ingin bahagia


bersama papa. Hanya berdua…”(LM.4.1.11.5)

• Pemaknaan

Menurut Kross & Ayduk (2017) individu yang memiliki

kemampuan memaknai permasalahan yang dialami, maka akan sangat

membantu dalam meregulasi diri. Pada kasus LM, dapat ditemukan bahwa

LM memiliki kemampuan penerimaan diri yang cukup baik. Terbukti dari

pernyataan LM bahwa dirinya perlahan mampu menerimaan keadaan dan

mencoba mengalihkan pikiran dengan berbuat sesuatu yang baru.


"...Aku sudah mulai bisa menerima keadaan ini
perlahan – lahan aku mencoba untuk melakukan hal –
hal baru..."(LM.1.5.12)

Peneliti pun melihat sikap subjek LM yang begitu dewasa

menghadapi permasalahan kedua orangtuanya. Hal ini terlihat dari sikap ia

yang mau berusaha menjadi kakak yang baik dan selalu menjaga kedua

adiknya. LM menyadari bahwa sebagai kakak pertama ia harus berperan

sebagai orang tua agar kedua adiknya tidak kecewa dan bisa menerima

semua keputusan kedua orangtuanya yang memilih berpisah.

"...Karena memang akulah yang harus menggantikan


peran orangtua untuk adikku. Kalau bukan aku yang
menjaga mereka, siapa lagi aku tidak tau Dan aku
harap adikku juga bisa menerima semua peristiwa
ini..."
(LM.1.5.16; LM.1.5.17)

Meskipun akhirnya adik LM yang berusia satu tahun lebih dipilih

oleh keluarga ibunya untuk diasuh oleh mereka. Namun, LM menyadari

bahwa tindakan tersebut adalah pantas dilakukan. Mengingat adik LM

masih terlalu kecil dan masih membutuhkan kasih sayang orangtua

terutama ibu LM.

"...Tapi lama – lama aku paham, Nenekku sengaja


menjemput adikku karena kasihan, adikku masih
sangat kecil dan dia masih sangat membutuhkan peran
orangtua..."(LM.2.1.9)
Subjek LM pun lambat laun setelah kepindahannya ke Lampung,

menyadari bahwa perpisahan yang terjadi antara kedua orangtuanya

adalah sebuah perceraian. Ia pun memahami kembali kejadian ia

dipindahkan dan menyadari masa-masa ketika keluarganya yang retak

tidak mungkin dapat disatukan kembali.

"...Dan saat itulah aku mengerti, bahwa ternyata mama


dan papa sudah bercerai. Dan aku mulai mengerti mengapa
dulu aku dan adikku dipindahkan ke Lampung, karena pada
saat itu adalah waktu yang sangat hancur bagi keluargaku ..."
(LM.2.2.7; LM.2.2.8)

Subjek LM termasuk anak yang mampu melihat situasi dan

kondisi yang sedang dialami oleh ia dan keluarganya. Sehingga peneliti

menemukan kesiapan diri secara mental LM sangat baik untuk anak

seusianya. Hal ini terlihat dari sikapnya yang mau berusaha mandiri dan

meyakinkan bahwa dirinya memang harus mampu hidup mandiri.

"...Semuanya, ia(pembantu subjek) yang membantu


menyiapkan aku sudah mulai bisa hidup mandiri dan
memang harus bisa mandiri..."(LM.2.3.7)

Peneliti melihat subjek LM sebagai anak yang mampu berfikir

kritis. Hal ini terlihat dari kemampuan subjek menggabungkan setiap

kejadian menjadi satu kesatuan peristiwa. Terlihat pula dari sikap ibu tiri

LM yang pernah melarang LM untuk bertemu ibu kandungnya. Ia pun

dapat menarik kesimpulan ketidaksukaan ibu tiri LM karena tidak ingin


ada hal negatif yang LM bawa dari rumah ibu kandungnya yang diketahui

memiliki ilmu hitam.

“…Aku mulai mengerti mengapa mama tiriku


melarang aku untuk bertemu dengan mama
kandungku, itu karena agar ketika saat aku
kembali kerumah, mama kandungku sengaja
mengirimkan hal – hal negatif ke rumah melalui
aku…”(LM.4.3.5)

Subjek LM terlihat mampu membuat keputusan dengan baik dan

dewasa dengan tidak melakukan hal buruk meskipun telah diperlakukan

tidak baik oleh ibu tiri LM. Subjek LM yang mengetahui keburukan ibu

tirinya tidak membenci dirinya sejak kejadian ayah kandung LM mengusir

anak tirinya.

"...Itu adalah hal yang biasa ia ucapkan (perkataan


kasar) kepadaku, Namun selama ini aku hanya bisa
diam, sabar, menahan ini semua..."(LM.4.7.9)

Peneliti juga melihat kemampuan regulasi diri LM sangat baik

dalam memaknai suatu peristiwa negatif. Ia pun selalu berharap yang

terbaik untuk kehidupan dirinya kelak. Ia pun mampu menyadari bahwa

apa yang pernah ia alami sebagai suatu pelajaran berharga dalam hidup

agar suatu hari memiliki keturunan tidak akan merasakan hal yang sama

dengan dirinya.
"...Yang jelas, sampai detik ini aku menulis, aku
selalu berharap agar aku memiliki kehidupan layak
dan memiliki keluarga yang nyaman..."(LM.4.1.11.1)

"...Agar kelak, aku tidak ingin anak – anakku nanti


tidak pernah merasakan apa yang pernah aku rasakan
dan semoga jangan sampai ketika aku menikah nanti,
aku melakukan kesalahan hingga aku harus
bercerai..."(LM.4.1.11.3)

4.2.7. Subjek SE

4.2.7.1. Gambaran Umum Subjek SE

Subjek SE adalah seorang perempuan, ia lahir di Semarang, 27

September 1997, kini subjek SE berusia 21 tahun dan beretnis Jawa.

Subjek SE merupakan anak kedua dari dua bersaudara, ia merasakan

broken home sejak usia dua tahun ketika kedua orangtuanya memilih

untuk bercerai. Kedua orangtua SE sempat kembali rujuk dan tinggal

bersama kembali, namun hal itu hanya bertahan sementara. Perceraian

orangtua SE terjadi karena ayah SE sering melakukan kekerasan dalam

rumah tangga. Kesalahan sekecil apapun yang dibuat oleh ibu SE akan

menjadi awal pemukulan yang dilakukan oleh ayah SE.

Pada kasus SE peneliti melihat ayah SE sangat tempramental dan

tidak mampu mengontrol emosi sehingga permasalahan yang mungkin

terjadi di luar akan dilampiaskannya ketika berada di rumah. Ayah SE

yang berprofesi wartawan dan sering berhadapan dengan dunia lapangan


akan sangat mudah terpapar stimulus negatif. Hal ini menyebabkan ayah

SE dengan sangat mudah merasa kecewa dan ringan tangan terhadap anak

dan istrinya. Selain itu, sebagai seorang anak, SE harus dihadapkan

dengan hidup nomaden yaitu berpindah-pindah kota karena keputusan

dan keinginan kedua orang tuanya.

Ketika perceraian pertama kedua orangtuanya, SE sempat harus

hidup berpindah-pindah karena ayah dan ibu SE tinggal di kota berbeda.

Sehingga masa TK ia harus beradaptasi di dua tempat, saat di Jakarta

bersama ayahnya dan di Semarang bersama ibunya. Kedua orang tua SE

pun memilih untuk bersama lagi, namun kondisi yang semakin memburuk

membuat keduanya kembali berpisah. SE yang mulai memasuki sekolah

dasar pun mulai merasa tidak nyaman, kondisi rumah semakin buruk. Ia

dan kakaknya pun dipindahkan kembali ke Semarang dan diasuh oleh

nenek dari orangtua ibu SE.

4.2.7.2. Hasil Analisis Intra Kasus SE

Tabel 4.2.8. Analisis Dinamika Intra Kasus Subjek SE

Hari 1 Hari 2 Hari 3 Hari 4


Reconstruing √ - √ √
Emosi Positif √ - - -
Pemaknaan - √ - √
Recounting √ √ √ -
Emosi Negatif √ √ √ -
Penghindaraan - - - -
Dari penjelasan tabel di atas dapat terlihat dinamika dialog

internal subjek SE di hari pertama mengalami immersed saat

menceritakan kembali situasi sulit menghadapi sikap ayahnya yang sering

melakukan kekerasan. Subjek mengalami recounting selama

menceritakan rasa ketakutannya ketika ayah subjek mulai menyakiti

ibunya. Di hari kedua subjek dihadapkan dengan situasi rumit di mana

kakak dan dirinya harus berpindah-pindah sekolah antara Jakarta dan

Semarang. Perasaan ruminasi pun berlanjut ketika menghadapi kesulitan

ekonomi dan melihat ibunya kembali menikah tanpa persetujuan subjek.

Di hari ketiga pun subjek masih mengalami ruminasi terlihat dari

recounting dan emosi negatif yang masih mendominasi tulisan subjek, ia

pun memutuskan untuk pindah ke Jakarta dan hidup bersama ayah

kandung dan ibu tiri serta kakak kandung subjek.

Di hari keempat subjek mulai menemukan pemaknaan dalam

peristiwa yang ia alami sejak tinggal bersama ayahnya ia sering

mendapatkan dukungan dari ibu tiri subjek. Ia pun diberikan pemahaman

akan perilaku ayahnya yang cenderung keras dan memberikan pengertian

bahwa sikap keras yang ayah subjek tunjukkan semata-mata demi

kebaikan subjek di kemudian hari walaupun hal tersebut tidak dapat

sepenuhnya di benarkan. Secara keseluruhan subjek mampu mengamati

dan merasakan kembali peristiwa sulit yang pernah ia alami dan ia

mampu merefleksikan permasalahannya sebagai bagian dari perjalanan


hidup subjek. Berikut ini gambaran analisis refleksi diri subjek SE secara

rinci ketika mengikuti penelitian narrative writing therapy:

• Self-immersed atau ruminasi

Menurut Kross & Ayduk (2017) ketika individu merefleksikan

dirinya, terkadang mereka justru semakin fokus sehingga larut (immersed)

dan semakin merenungkan permasalahan secara berlebih. Ruminasi yang

terjadi pada individu akan menyebabkan refleksi diri menjadi maladaptif

dan menimbulkan psikopatologi pada diri individu tersebut (Nolen-

Hoeksema, Wisco, & Lyubomirsky, 2008). Subjek SE yang selalu melihat

sikap kasar ayah SE menolak untuk bersikap baik terhadap ayahnya.

Karena menurut SE kekacauan yang terjadi disebabkan oleh ayah SE,

hingga ibu SE harus menggunakan kursi roda.

"...Saya juga menolak untuk berhubungan dengan


ayah saya karena saya merasa ini semua salah ayah
saya..."(SE.2.1.17)

"...Pada saat saya tau kaki ibu saya tidak bisa


digunakan dengan "normal" saya menyalahkan ayah
saya..."(SE.2.2.4)

Perasaan larut yang dialami oleh SE ketika ia mengetahui ibu

kandung SE menikah dengan ayah tirinya saat ini tanpa sepengetahuan

SE. Subjek SE yang marah dan kecewa pun terus menanyakan kepada
ibunya mengapa ia menikah secara tiba-tiba dan dengan orang yang tidak

ia kenali.

"...Saya kaget, karena tidak biasanya mereka datang


(selain lebaran) ternyata ibu saya menikah. Saya tidak tahu
bahwa ibu saya menikah..."(SE.2.4.8; SE.2.4.9)

"...saya merasa marah dan kecewa. Saya terus bertanya


kenapa ibu melakukan hal tsbt..."(SE.3.1.2; SE.3.1.3)

• Recounting

Bahiyah & Savitri (2018) menyatakan bahwa ruminasi yang terus

larut akan menyebabkan recounting, sehingga individu akan memusatkan

perhatian pada rantai peristiwa spesifik yang terjadi pada kehidupan

individu tersebut. Perasaan negatif yang SE alami pun ketika ia harus terus

menerus menyaksikan pertengkaran kedua orang tuanya sejak ia kecil.

"...Masa kecil saya tidak terlalu


menyenangkan..."(SE.1.1.4)

"...Ketika saya kecil orang tua saya


selalu bertengkar..."(SE.1.1.6)

Meskipun kedua orang tua SE sempat memutuskan untuk hidup

bersama kembali, namun kondisi semakin memburuk dan ayah SE selalu

memukuli ibu subjek.


"...Tetapi keadaan malah bertambah buruk.
Ayah saya tidak berubah. Dia selalu memukul
ibu saya setiap saat..."
(SE.1.3.6; SE.1.3.7; SE.1.3.8).

Ketika kedua orangtua SE memilih untuk berpisah kembali setelah

sebelumnya rujuk, ayah SE menolak membiayai hidup anak-anaknya.

Peneliti melihat bahwa sikap ayah SE tersebut telah menyulutkan sumbu

kebencian SE terhadap ayahnya sendiri.

"...Saat saya sd keadaan rumah juga tidak


membaik…”(SE.2.1.5)

"...Ayah saya menolak membiayai saya hanya


karena saya tinggal dengan ibu saya..."(SE.2.3.5)

Peneliti menemukan respon penolakan dalam diri SE cukup besar,

sehingga ketika ia memutuskan untuk tinggal di Jakarta bersama ayah

kandung dan ibu tiri terus berlanjut. Keputusan SE untuk tinggal bersama

ayahnya tidak luput dari saran yang diberikan oleh kakak SE sendiri.

Namun, hal tersebut tidaklah untuk SE yang sudah terlanjut membenci

sehingga menimbulkan stres pada dirinya.

"...Hampir setiao minggu saya bertengkar dengan ayah


saya. Memasuki tahun kedua tinggal di jakarta saya
semakin stres..."
(SE.3.5.1; SE.3.5.2)
• Emosi Negatif

Ayduk & Kross (2010b) menyatakan bahwa pengalaman negatif

akan menimbulkan emosi negatif yang diakibatkan dari sikap larut pada

permasalahan yang sedang dihadapi dan akan sulit untuk berfikir objektif.

Hal serupa diungkapkan oleh Morin dkk bahwa refleksi diri berkaitan erat

dengan dengan emosi negatif yang timbul ketika individu berdialog secara

internalisasi (Morin, Duhnych, & Racy, 2018). Emosi negatif yang

dirasakan SE ketika suasana di rumah tidak lagi nyaman dan ketakutan

jika ayah SE akan memarahi ibunya.

"...Suasana dirumah sangat tidak menyenangkan,


ditambah lagi saya selalu takut ketika saya tau ayah saya
pulang kerja. Saya takut ayah saya akan memarahi ibu saya
lagi hari itu…”
(SE.1.2.1; SE.1.2.2)

Peneliti melihat bahwa sikap buruk ayah SE telah membuat ia

memiliki persepsi sendiri terhadap ayahnya. Ia merasa ayahnya sudah

begitu jahat karena selalu bersikap kasar dan memarahi ibu subjek.

"...Saya merasa ayah saya sangat jahat..."(SE.2.3.4)

"...Saya marah sekali dengan ibu saya..."(SE.2.4.10)

Emosi negatif lain ia rasakan ketika ibunya memilih untuk

menikah dengan ayah tirinya yang tidak ia kenali. Perasaan marah dan
kecewa meskipun ia tahu mereka orang yang lebih tua darinya, namun ia

masih belum bisa menerima keputusan ibu SE.

"...saya merasa marah dan kecewa..."(SE.3.1.2)

“…Karena saya dari awal sudah membenci ayah tiri


saya, saya bersikap sangay tidak baik. Saya tau saya
tidak seharusnya begitu karena bagaimanapun dia
adalag orang yang lebih tua…”
(SE.3.2.2; S.3.2.3)

"...Tetapi saya masih marah dan tidak


terima..."(SE.3.2.4)

Saat SE tinggal bersama ayahnya di Jakarta, ia tidak mampu

mengendalikan rasa takutnya hingga membuat dirinya sulit untuk tidur

dan khawatir akan kemarahan ayahnya ketika ia tidak melaksanakan

perintah ayah subjek.

"...Saya bisa tidak tidur selama 4 hari. Saya takut ayah


saya akan marah saat saya tidak melaksanakan apa
yang ia perintahkan.."
(SE.3.5.3; SE.3.5.4)

Peneliti juga menemukan perasaan negatif yang SE alami telah

membuat dirinya merasa terisolasi dan berfikir untuk bunuh diri karena

sikap ayah SE yang sangat keras terhadap dirinya. Subjek SE pun

mengalami frustasi, hal ini menyebabkan nilai SE turun dan sering absen

selama berkuliah.
"...Bahkan saya pernah mau bunuh diri karena saya merasa
ayah saya keterlaluan dan saya tidak punya teman yang bisa
mendengarkan saya..."(SE.3.5.8)

"...Saya frustrasi, Saya kesulitan, Nilai kuliah saya


memburuk. Saya membolos..."(SE.3.5.11)

• Self-distancing atau refleksi diri

Ayduk & Kross (2010b) menyatakan bahwa self-distancing atau

refleksi diri merupakan kemampuan mengambil jarak diri seperti seolah-

olah mundur selangkah dan melihat diri dengan cara mengobservasi dalam

pikiran untuk membentuk perspektif lain dalam diri. Sikap menerima

keadaan dan mampu beradaptasi dengan lingkungan salah satu bentuk dari

refleksi diri. Sikap reflektif yang ditunjukkan SE ketika ibu tiri subjek

mulai membantu mengenalkan sifat asli ayah dan menjelaskan mengapa

ayah SE bersikap demikian kasar terhadap ibu kandung dan anak-anaknya

dulu. Kesulitan yang ia alami seiring berjalannya waktu berubah dan ia

pun mulai mengerti.

"...Bunda saya lah yang membuat saya mau


membuka diri kepada ayah saya. Bunda saya
mengatakan hal hal logis yang dapat saya pahami
sehingga saya akhirnya mau dan berusaha
memperbaiki hubungan saya dengan ayah saya..."
(SE.4.2.2; SE.4.2.3)
• Reconstruing
Bahiyah & Savitri (2018) menyatakan bahwa ketika individu

mengalami suatu kejadian akan ada reaksi emosi yang dimunculkan,

disaat reaksi emosi membentuk perspektif positif, inilah yang disebut

dengan reconstruing. Pada kasus SE, peneliti melihat subjek SE sangat

mengagumi ibunya yang begitu tabah dan sabar menghadapi ayah

kandung SE yang kasar dan ringan tangan. Hal ini ditunjukan dengan

pernyataan SE bahwa ibu SE adalah sosok tangguh, sabar dan baik hati.

".... Ibu saya merupakan sosok yang sabar dan


baik hati...Ibu saya merupakan sosok ibu yang
tangguh dan kuat..."
(SE.1.2.4; SE.1.2.6)

Subjek yang mulai remaja telah bisa membuat keputusan untuk

tinggal bersama ayah kandungnya. Ia pun berpendapat bahwa ayahnya

juga butuh untuk merasakan mengasuh anak agar tidak selalu membebani

ibunya.

“…Lalu saya lulus sma, saya memutuskan untuk pindah


ke jakarta dan tinggal bersama ayah saya. Saya rasa
tidak adil jika saya hanya tinggal dengan ibu saya…”
(SE.3.3.1; SE.3.3.2)

Peneliti pun melihat bahwa meskipun ayahnya memiliki banyak

kekurangan terutama dalam cara mendidik hingga membuat ia trauma,


namun ia tetap membutuhkan sosok ayah. Alasan inilah yang menguatkan

subjek untuk memutuskan tinggal bersama ayah SE.

"...Saya juga butuh ayah saya walaupun ayah saya


jahat kepada saya..."(SE.3.3.3)

"... Saya tau akan sulit bagi saya untuk "tinggal"


bersama ayah saya. Karena saya memiliki trauma..."
(SE.3.4.2; SE.3.4.3)

Semenjak SE memilih untuk tinggal bersama ayah kandung subjek

banyak mendapatkan masukkan dari ibu tirinya. Suasana yang tidak

nyaman seiring berjalannya waktu berubah dan SE pun mulai menyadari

sikap dan perilaku yang ayah subjek lakukan demi mendidik dirinya,

meskipun ia menyadari cara mendidik keras bukanlah satu-satunya jalan

yang dapat di benarkan.

"....Semua mulai berubah ketika saya mulai mengerti


kenapa ayah saya begitu. Kenapa ayah saya mendidik
saya dengan keras. Cara didik ayah saya tidak dapat
dibenarkan karena ia melakukan kekerasan terhadap
saya. Tapi saya tau dan saya mulai mengerti hal itu ia
lakukan agar saya mengerti…”
(SE.4.1.1;SE.4.1.2; SE.4.1.3; SE.4.1.4)

Selain itu, ia pun berusaha untuk selalu mendiskusikan apa yang

harus ia lakukan agar dapat memperbaiki hubungan ia dan ayahnya.


"....Saya selalu berdiskusi dengan bunda bagaimana agar
saya dapat memperbaiki hubungan saya, bagaimana
agar saya dapat memaafkan segala kesalahan ayah saya
dimasa lalu agar saya dapat move on dan
ikhlas..."(SE.4.2.5)

• Emosi Positif

Menurut Morin (2012) ketika individu mendapatkan informasi dan

mempercayainya sebagai value atau nilai dalam dirinya, maka akan ada

bentuk proses kognitif yang dapat memunculkan emosi negatif ataupun

positif. Emosi positif yang SE rasakan adalah sikap ibu subjek yang selalu

lembut membuat dirinya merasa aman dan disayangi apabila berada di

samping ibunya.

"...Saya selalu merasa aman dan disayangi oleh


ibu saya..."(SE.1.2.5)

• Pemaknaan

Menurut Kross & Ayduk (2017) individu yang memiliki

kemampuan memaknai permasalahan yang dialami, maka akan sangat

membantu dalam meregulasi diri. Dalam kasus SE, peristiwa yang dapat

ia maknai adalah ketika ia mengetahui kondisi kaki ibu SE yang semakin

memburuk. Ia sangat meyakini bahwa perbuatan ayah subjek yang dulu

telah menyisahkan jejak hingga ibu SE tidak bisa lagi bekerja.


"....Saya yakin hal itu terjadi karena ayah saya
yang sering memukul ibu saya, hingga syaraf ibu saya
tidak bisa bekerja dengan seharusnya..."(SE.2.2.5)

Banyak peristiwa yang ia alami membuat dirinya mampu

membukakan hati untuk ayah kandungnya dan berusaha mengakrabkan

diri agar ia dapat menjalin hubungan yang baik dengan ayah SE.

"...Saya berusaha membuka diri dengan ayah saya, saya


berusaha mengakrabkan diri saya dengan ayah saya.
Berdiskusi bersama tentang berbagai macam hal..."
(SE.4.1.8; SE.4.1.9)

Semakin hari SE mulai menyadari bahwa kemarahan dan dendam

yang ia simpan terhadap ayahnya tidak akan memberikan solusi untuk

relasi anak dan orangtua jika ia selalu mengungkit kesalahan ayah subjek

di masa lalu.

"...Karena saya sadar, hubungan saya dengan ayah saya


tidak mungkin membaik apabila saya masih marah dan
dendam dengan segala kesalahan ayah saya dimasa
lalu..."(SE.4.2.6)

Peneliti akhirnya menemukan dalam tulisan subjek bahwa ia sudah

mampu memaafkan kesalahan ayah SE di masa lalu dan berbicara dari hati

ke hati agar hubungan ayah dan anak dapat kembali membaik.


"...Saya memaafkan ayah saya, saya berbicara dengan
ayah saya tentang kemarahan saya. Hubungan kamipun
membaik hingga sekarang…”
(SE.4.3.1; SE.4.3.2)

4.3. Pembahasan Inter Subjek

Setelah pembahasan intra subjek pada masing-masing responden, maka

selanjutnya pembahasan inter subjek yang mengalami broken home dikaitkan

berdasarkan tinjauan literatur yang digunakan.

Perbedaan pengalaman negatif yang dialami oleh masing-masing subjek

memberikan pemaknaan yang berbeda dalam menyikapi perceraian orangtua.

Adapun dampak negatif dan positif yang subjek alami menjadi penentu

kemampuan masing-masing subjek dalam merefleksikan diri. Pada subjek SS

terlihat acuh dan membuat aturan sendiri serta hilangnya kepercayaan diri. Selain

itu, hubungan dengan ayah SS pun kurang baik. Meskipun demikian, dukungan

masih SS dapatkan dari orang-orang di sekitarnya, sehingga SS mampu berfikir

positif.

Berbeda dengan SS, subjek OB lebih mengalami kesulitan beradaptasi,

terutama di lingkungan sekolah. Selain itu, Ayah OB pergi meninggalkannya dan

tidak ada perhatian dari ayah OB menambah keprihatinan dalam hidup OB.

Namun, dukungan semangat tetap diberikan oleh ibu OB dan mengingatkan

bahwa ia mampu sukses meskipun tanpa sosok ayah di sampingnya. Subjek OB

sempat mengalami masa kritis dalam diri ketika ia kehilangan kepercayaan diri,

keputusasaan dan bullying yang dilakukan teman sebayanya.


Pada kasus DV, terlihat adanya dukungan yang ia dapatkan dari ibu dan

kakak DV. Permasalahan yang subjek DV alami masih terbilang rendah resiko

dibandingkan enam subjek lainnya. Dalam hal ini terlihat dari sikap ayah DV

yang beritikad baik meminta maaf dan memperbaiki hubungan dengan ibu DV

serta anak-anaknya. Namun, hingga cerita selesai DV tuliskan permasalahan

belum terselesaikan karena ia memutuskan untuk menyimpan pengalaman negatif

tersebut sendiri. Refleksi diri yang DV lakukan mengalami immersed yakni

ruminasi yang dapat berujung kepada perenungan mendalam dikarenakan sikap

DV yang me-repres pengalaman pahit ia alami.

Pengalaman berbeda dialami oleh BM setelah perceraian orangtuanya ia

tumbuh menjadi anak yang pendiam dan senang menyendiri. Hilangnya hubungan

dan komunikasi dengan sosok ayah berdampak signifikan terhadap perkembangan

diri BM. Subjek BM memiliki kepercayaan diri yang rendah, mudah putus asa

dan sering mengalami bullying di sekolah maupun di rumah oleh saudaranya

sendiri. Berbeda dengan subjek GZ yang meningkat spiritual, menjadi tegar,

dewasa dalam bersikap, dan mampu bersikap prihatin. Tingkat refleksi diri GZ

sangat tinggi hal ini terlihat dari rendahnya signifikansi dampak negatif dari

ditinggalnya sosok ayah dalam hidup GZ. Subjek GZ pun terlihat kagum dengan

perjalanan hidup ibunya, dan mampu memetik sebuah pelajaran dari peristiwa

negatif keluarganya alami.

Subjek LM dan SE mengalami peristiwa hampir serupa, yang mana kedua

orang tuanya memilih untuk menikah kembali dengan pasangan mereka masing-

masing. Keduanya pun sempat diasuh oleh nenek dan memiliki ayah dan ibu tiri.
Perilaku yang dimunculkan pun memiliki kemiripan yakni, sikap menentang dan

melawan sebagai bentuk protes terhadap orangtua. Subjek LM dan SE pun

mampu beradaptasi, merefleksikan peristiwa negatif selama pengalaman pahit

menimpanya dan menjadi pribadi yang mampu menerima keadaan yang telah

ditakdirkan untuk mereka.

• Self-immersed atau ruminasi

Self-Immersed adalah ketidakmampuan untuk indvidu terlepas dari

peristiwa negatif yang dialami sehingga sulit untuk membentuk perspektif

lain dan menyebabkan diri semakin larut dalam masalah yang dihadapi.

Individu yang menganalisis perasaan yang dialami dengan perspektif Self-

immersed cenderung lebih berfokus kepada pengulangan kata dan kalimat

negatif (recounting) yang terjadi pada peristiwa sulit yang dihadapinya

(Ayduk & Kross, 2010b).

Terlihat pada subjek BM, GZ, dan LM menunjukkan perasaan

immersed mendalam ketika menuliskan kisah mereka. Namun, subjek BM

dan LM memiliki tingkat ruminasi lebih banyak dibandingkan subjek

lainnya. Hal ini terlihat dari banyaknya kalimat ruminasi seperti

perpisahan, pertengkaran, dan rasa kehilangan pada tulisan subjek.

Sedangkan, pada subjek SS, OB, DV, dan SE memiliki lebih sedikit

kalimat ruminasi dibandingkan ketiga subjek. Secara struktur alur

penulisan subjek SS, OB, GZ, SE dan LM terlihat lebih dibandingkan

subjek DV dan BM. Hal ini terlihat dari alur cerita yang progresif dan
adanya penyelesaian dalam narasi keempat subjek dengan memaafkan

kesalahan orang tuanya dan berdamai dengan keadaan.

Pada kasus subjek BM, SE dan SS terlihat bahwa cerita dibangun

dengan memunculkan ekspresi emosi negatif sebagai stimulus untuk

mengingat kembali pengalaman sulit yang mereka alami. Di hari kedua

barulah subjek BM, SE, dan SS mulai menceritakan apa yang akan terjadi

selanjutnya pada kehidupan mereka. Sedangkan, pada subjek GZ, LM, OB

dan DV, memilih mendeskripsikan peristiwa perceraian ataupun

pertengkaran yang dialami oleh kedua orangtuanya dibandingkan

mengungkapkan emosi negatif yang mereka rasakan.

Pada kasus ini sikap ruminasi LM sudah terlihat sejak awal karena

ketidakmampuan ia menahan air mata yang jatuh ketika harus berpisah

dengan ibu LM. Pada kasus subjek GZ kebohongan hingga teror yang

dialami keluarganya menjadi faktor utama ruminasi terjadi. Lainnya,

dialami oleh subjek OB yakni, kekecewaan, sedih hingga bullying ia

rasakan, sejak ayah OB pergi meninggalkan dirinya menyebabkan

hilangnya kepercayaan diri. Terlihat bahwa kebencian, kekecewaan

hingga kehilangan kepercayaan diri semakin dirasakan subjek sebagai

dampak dari keretakanya hubungan ayah dan ibu mereka. Hal ini

memberikan respon ingin memberontak, tidak terima, kebencian pada

ayah dan kemarahan pada ibu, hingga bentuk bullying yang dilakukan oleh

teman sebayanya.
Meskipun demikian secara keseluruhan ketujuh subjek

memperlihatkan sikap immersed sejak awal menceritakan pengalaman

pahit mereka alami. Kalimat immersed seperti kesedihan, kemarahan,

kekecewaan bercampur dengan rasa takut akan buruknya masa depan yang

akan mereka hadapi dikemudian hari tetap terlihat. Hal ini menunjukkan

bahwa pengalaman tersebut tersimpan dalam ingatan subjek sehingga

cukup mudah untuk melakukan recognized melalui kalimat-kalimat

perenungan.

• Recounting

Ruminasi yang timbul pada individu yang mengalami peristiwa

negatif akan terus me-recounting dan menunjukkan afeksi negatif yang

rendah. Dampak yang muncul di kemudian hari yaitu akan terus menerus

diingat hal yang menyebabkan ruminasi. Sedangkan pengalaman negatif

maladaptif yang terus terfokus pada peristiwanya akan merusak suasana

hati dan memori (Mischkowski, Kross, & Bushman, 2012). Pada kasus

BM, GZ, dan LM kalimat ruminasi mendominasi tulisan subjek sejak hari

pertama. Sehingga bentuk kalimat seperti kemarahan, kesedihan,

ketakutan, kekesalan, kecemasan dan kekhawatiran lebih sering

dimunculkan. Selain itu, emosi negatif juga banyak dimunculkan oleh

subjek LM.

Sedangkan subjek SS dan GZ banyak menyikapi awal

permasalahan dengan cara mengabaikan dan menghindari apa yang terjadi


pada kedua orangtuanya. Sikap yang mereka tunjukkan dengan berpura-

pura tidak mengetahui pertengkaran kedua orangtuanya ataupun

mengalihkan pikiran dengan fokus dengan tugas sekolah. Sikap lainnya,

subjek SS tunjukkan dengan memilih menghabiskan waktu dengan teman-

temannya. Berbeda dengan OB dan SE yang banyak memunculkan

kalimat-kalimat negatif sebagai maujud perasaan yang mereka rasakan

atas situasi sulit yang sedang dihadapi. Selain itu, subjek SE sempat

memiliki trauma dengan ayah kandung subjek karena kekerasan yang

pernah ayahnya lakukan terhadap ibu, kakak dan dirinya.

Problematika dan pergolakan batin mempertanyakan apa yang

sedang terjadi lebih banyak ditunjukkan oleh subjek OB, DV, GZ, dan

LM. Hal ini terlihat dari kalimat curiga, bingung, sedih, kecewa menangisi

perpisahan yang disebabkan dari adanya pertengkaran hingga perubahan

struktur keluarga. Perasaan hancur baru subjek OB, DV LM dan GZ

rasakan ketika menceritakan kisah mereka dihari kedua. Dimana mereka

merasakan pertengkaran sebagai awal kehancuran hati dan perasaan akan

kehilangan sosok ayah. Pada kasus broken home, sosok ayah mendominasi

adanya perselisihan dalam keluarga disebabkan perselingkuhan,

ditinggalkan, dan kekerasan yang dapat menyebabkan perceraian. Hanya

pada kasus subjek LM, terjadinya perpisahaan disebabkan oleh sosok ibu

sebagai pemicu keretakan dalam keluarga LM.

• Self-distancing atau refleksi diri


Self-distancing atau jarak diri adalah kemampuan seseorang untuk

membentuk perspektif lain dalam diri dengan cara memberi jarak dan

berusaha mengamati peristiwa dengan sudut pandang yang lain. Jarak diri

memberikan peluang untuk diri sendiri melihat dan mengamati peristiwa

sulit yang pernah dihadapi. Individu yang mampu menganalisis perasaan

dari perspektif self-distancing cenderung lebih adaptif dalam menyikapi

suatu peristiwa (e.g perceraian, broken home, kehilangan seseorang). Self-

distancing digunakan sebagai mekanisme refleksik diri (Ayduk & Kross,

2010b).

Terlihat pada subjek SS dan LM meskipun keduanya mengalami

ruminasi, namun subjek mampu segera merefleksikan dengan cara

memikirkan kembali konsekuensi yang mungkin muncul jika ia tetap larut

dalam kisah pilu kedua orangtuanya. Pada subjek SS iya mampu berfikir

positif dan mendapatkan dukungan orang sekitar. Sehingga SS mampu

sadar untuk tidak menambah hidup dari permasalahan yang dihadapi

kedua orang tuanya. Sedangkan subjek LM, ia mampu bersikap dewasa

dalam menyikapi permasalahan orangtuanya. Peneliti menemukan bahwa

subjek OB, GZ, dan SE memiliki kemampuan refleksi diri yang baik

ketika menceritakan kembali kisahnya dan memaknai apa yang menjadi

bagian dari takdir perjalanan hidupnya. Hal ini terlihat dari kalimat yang

dimunculkan yakni, mengikhlaskan, bersabar, berusaha membuka diri,

mengakrabkan diri, menyadari kekurangan diri, kemauan untuk


bertoleransi serta memaknaai perjalanan hidup dengan meningkatkan

spiritualitas.

Sedangkan subjek lainnya yakni, subjek DV dan BM menunjukkan

rendahnya reflleksi diri di karenakan konflik batin yang belum selesai dan

belum menemukan solusi. Hal ini terlihat dari narasi tulisan subjek yang

cenderung regresi narasi. Regresi narasi yaitu suatu konstruksi narasi yang

belum sempurna dimana apa yang subjek ceritakan tidak menunjukkan

penyelesaian masalah mereka hadapi (Gergen & Gergen, 1988). Selain itu,

dapat terlihat dari kalimat DV yang memilih untuk memendam

masalahnya sendiri tanpa solusi penyikapan yang dapat ia lakukan.

Sedangkan BM terlihat masih merasakan kebimbangan antara rasa rindu

dan kesal terhadap sosok ayah yang telah meninggalkan ia dan

keluarganya.

• Reconstruing

Pengalaman negatif akan menjadi adaptif jika diberikan

pemaknaan dengan jarak diri, memberikan kesempatan pikiran mengolah

kembali peristiwa secara rasional. Individu menggunakan perspektif self-

distancing secara otomatis kemampuan reconstruing akan meningkat.

Karena individu berusaha lebih adaptif merefleksikan dirinya untuk

melihat kembali, mengamati apa yang telah ia alami lalu memaknainya

dan lambat laun emosi tersebut semakin teredam. Hal ini memberikan
kesempatan kedua untuk pikiran melihat konsekuensi yang mungkin

timbul jika ia tetap mempertahankan emosi negatif (Ayduk & Kross,

2010a).

Kemampuan reconstruing terlihat pada subjek SS, GZ, LM, dan

SE mampu memaknai peristiwa dan memiliki sikap empati yang baik.

Sehingga setiap tindakan yang ingin ia buat akan dipikirkan kembali sebab

akibatnya. Hal ini terlihat dari kemampuan subjek melakukan dialog

internal yang sering muncul ketika mempertanyakan dan

mempertimbangkan tindakan yang mungkin terjadi jika ia tetap larut

dalam perenungan dan bertindak mengikuti ego yang dimiliki. Sedangkan,

pada subjek OB, DV dan BM lebih mudah bertindak tanpa memikirkan

akibatnya. Hal ini terlihat dari rasa ingin pergi dari rumah dan ikut larut

dalam kesedihan berkepanjangan.

Meskipun demikian subjek BM masih memiliki kemampuan untuk

berusaha memunculkan emosi positif. Emosi positif seperti ia merasa lega

setelah bisa melepaskan tangisannya dan harapan yang muncul ketika

ayahnya sempat menjanjikan akan kembali di keluarganya. Selain subjek

BM, pada subjek SS dan LM juga memiliki kalimat positif yang

terkandung dalam tulisannya. Dalam memaknai suatu peristiwa subjek GZ

sangat jelas mengutarakan kekaguman dan keinginannya untuk selalu

dekat dengat Tuhan yang Maha kuasa. Namun, subjek SS, LM, dan SE

lebih mendominasi kalimat pemaknaan yang terlihat dari kalimat subjek


SS yang memutuskan mencoba memahai dan mengerti kedua orangtuanya

dan juga dorongan subjek untuk memulai percakapan dengan ayahnya.

Sedangkan subjek LM pemaknaan terlihat dari kemampuan untuk hidup

mandiri dan mengerti semua yang telah terjadi sebagai jalan yang telah di

takdirkan. Pada subjek SE terlihat dari kalimat subjek yang memaafkan

kesalahan ayahnya dan mengungkapkan perasaannya kepada ayah subjek.

• Regulasi Diri

Fungsi inner speech mengacu kepada aktivitas orang dewasa

dalam meregulasi diri (e.g melakukan perencanaan, mencari solusi atau

problem solving) dan menyemangati diri sendiri (Self-motivation) (Morin,

Duhnych, & Racy, 2018). Inner Speech juga berguna untuk proses

regulasi diri, ketika individu melakukan intropeksi diri, sangat bermanfaat

mengembalikan kepercayaan diri. Dengan adanya regulasi diri akan

memberikan hasil atau outcomes yang baik terhadap perkembangan

pribadi seseorang (Morin & Uttl, 2013).

Terlihat pada subjek SS, OB, GZ, LM, dan SE memiliki regulasi

yang baik di mana kelima subjek ketika dihadapi peristiwa negatif mampu

mengintropeksi diri dan mencari solusi dari permasalahan yang dihadapi.

Hal ini diperjelas dengan tulisan subjek di hari keempat yang mampu

mengikhlaskan juga bersyukur dengan peristiwa ia hadapi, menyadari

kekurangan diri, bertoleransi serta memaafkan kesalahan orangtuanya

serta menerima kenyataan bahwa mereka pernah menjadi bagian dari


keluarga disharmonisasi atau broken home. Pada subjek DV dan BM

cenderung menyesali apa yang mereka alami dan tidak terlihat adanya

solusi dalam menyikapi permasalahan yang sedang dihadapi keluarga

keduanya. Ketidakmampuan regulasi diri pada subjek DV dan BM terlihat

dari keraguan dan rasa tidak terima namun tidak mampu mencari solusi

dari apa yang ia alami. Pada subjek DV terjadi adanya disonansi kognitif

dimana ia ingin sekali ada orang lain (e.g dosen, psikolog) untuk berbagi

cerita namun ia urungkan dan memilih memendamnya sendiri. Sedangkan

BM memiliki keinginan yang besar untuk bisa memiliki sosok ayah dalam

hidupnya namun membayangkan kehadiran seorang ayah saja ia tidak

mampu melakukannya.

• Kesadaran Diri (Self-Awareness)

Menurut Morin bahwa secara socioecological model, ketika

seseorang melakukan inner speech perlu adanya self-awareness yaitu

kemampuan untuk terus menyadarkan diri dalam kondisi sepenuhnya

sadar (consciousness). Kesadaran diri (self-awareness) merupakan

kapasitas seseorang sebagai subjek untuk sadar terhadap dirinya dan

lingkungan sekitar. Sehingga mampu memahami kehidupan dan

memusatkan perhatian secara penuh pada objek disekitarnya. Hal ini akan

memberikan dampak positif ketika kita berada pada situasi baru, atau

lingkungan sosial baru dan segera diproses secara kognitif (Morin, 2011).
Pada subjek DV dan BM, meskipun keduanya menyadari

sepenuhnya bahwa permasalahan kedua orangtua mereka memiliki

pengaruh yang signifikan terhadap perkembangan diri ataupun

memperbaiki hubungan kembali dengan ayahnya. Namun, keduanya

terlihat fokus terhadap apa yang sedang mereka alami. Hal ini

menyebabkan self-attention berlebih sehingga tidak dapat memunculkan

kemampuan diri menyikapi realita yang harus dihadapi. Seperti halnya,

subjek BM yang mampu merasakan kepedihan ibunya sering kali justru

larut sehingga yang muncul ialah sikap simpati yakni, di mana individu

merasa apa yang orang lain rasakan merupakan suatu kepedihan yang juga

harus ia rasakan sepenuhnya.

Pada subjek SS kesadaran diri yang ia bangun dengan cara berfikir

positif, mengingat nasihat paman subjek dan usaha memperbaiki

hubungannya dengan ayah subjek serta tidak ingin membebani hidupnya

dengan masalah yang orang tua subjek alami. Sedangkan, subjek OB

mampu menyadari bahwa kedua orangtuanya telah bercerai sejak ia masih

kecil. Dalam hal ini, memori yang mampu ia recognized kembali yaitu

ketika ia memasuki sekolah SMP dan di akhir tulisan subjek OB

menyadari bahwa ibunya sebagai seorang single parent tengah berjuang

demi ia dan keluarga kecilnya. Subjek GZ dan LM membangun kesadaran

diri dengan berusaha mengikhlaskan dan pasrah dengan mendekatkan diri

pada Tuhan yang maha kuasa dalam menyikapi permasalahan yang


dihadapi. Selain itu, subjek GZ dan LM mampu beradaptasi dengan cepat

dengan menerima keadaan dan berfikir positif. Bahkan subjek LM mampu

berinisiatif untuk bisa menggantikan peran orangtuanya demi yang terbaik

untuk kedua adik subjek.

Pada subjek SE kesadaran diri terbangun sejak ia mengenal ibu tiri

subjek dan mencoba memberikan pengertian dan pemahaman tentang

sikap ayah kandungnya yang keras. Hal ini memberikan peluang untuk

subjek SE berbicara empat mata dan mengungkapkan perasaaan negatif

terhadap ayahnya dan hubungan keduanya pun membaik. Ketujuh subjek

memiliki kemampuan kesadaran penuh terhadap permasalahan yang

mereka alami. Meskipun beberapa subjek terlihat berusaha untuk tidak

memperdulikan apa yang sedang terjadi dalam keluarga inti subjek.

Namun keseluruhan subjek pada akhirnya menyadari bahwa keretakan

dalam keluarga, membuat mereka harus menyandang status sebagai anak

broken home.

• Berpikir Kritis (Critical Thinking)

Fungsi lainnya dari inner speech untuk kehidupan sehari-hari

sebagai critical thinking. Critical thinking atau berpikir kritis sangat

bermanfaat untuk mengkritisi sesuatu atau peristiwa yang dialami

seseorang dan mengevaluasinya. Selain itu, berpikir kritis terkadang juga

dapat menghasilkan berpikir heuristik, yaitu cara berpikir sepintas saat

membuat keputusan ataupun secara sepintas menilai sesuatu. Berpikir


kritis juga berguna ketika seseorang sedang mempelajari atau memahami

sesuatu dengan mempertanyakan atau berdiskusi dengan diri sendiri.

Dalam hal ini, proses working memory seseorang akan aktif dan

membentuk ingatan jangka panjang ataupun pendek, hal ini penting

dilakukan sebagai cara mengasah kemampuan kognitif yang melibatkan

kompleksitas cara kerja otak manusia ( Morin, 2012; 2018).

Ketujuh subjek terlihat memiliki pemikiran yang kritis (critical

thinking) dalam menyikapi setiap kejadian yang mereka alami selama

perselisihan kedua orang tuanya muncul hingga terjadinya perceraian

sebagai bentuk konkrit dari terpecahnya sebuah keluarga. Namun, pada

subjek BM, DV, dan SE kemampuan berfikir kritis tidak begitu nampak

pada tulisan selama mereka mengikuti penelitian narrative writing

therapy. Hal ini terlihat dari penyikapan subjek BM seperti ketika

dihadapi dengan teman-teman yang mem-bully, ia mampu menganalisa

apa yang terjadi namun tidak mampu bertindak untuk membela dirinya

sendiri. Sikap mengikuti arus kehidupan dan tidak mempertanyakan akan

apa yang terjadi dan bagaimana seharusnya ia bertindak pun ditunjukkan

oleh subjek DV dan SE. Namun, pada tulisan subjek SE sikap kritis

diperlihatkan ketika ibu SE menikah tanpa sepengetahuan subjek dan

menimbulkan kekecewaan mendalam dalam diri subjek SE.

Kembali pada subjek BM bahwa pemikiran kritis peneliti melihat

sudah terbangun sejak ibu BM memutuskan pindah kota. Namun, BM


tidak mampu mengembangkan berpikir kritis untuk beradaptasi di

lingkungan baru sehingga apa yang ia alami hanya diterima tanpa

penegasan diri. Hal ini menyebabkan diri subjek semakin terpuruk dan

hilang kepercayaan dirinya. Berpikir kritis yang terbangun dalam diri

subjek BM cenderung mempertanyakan dan meratapi takdir yang ia alami

tanpa mencari solusi penyelesaian dengan berusaha memotivasi dirinya.

Sedangkan subjek DV, menunjukkan berfikir kritis pada tulisannya saat

mengetahui adanya hal aneh dengan kalimat pesan dalam gawai ibu

subjek, dan sikap ayah subjek yang memohon maaf atas perbuatannya.

Meskipun demikian, subjek DV masih belum selesai bisa memaafkan

ayah subjek di karenakan ia masih meragukan apakah ayahnya benar-

benar menyesali dan tidak akan mengulainya kembali.

Pada subjek SS berfikir kritis selalu ia tunjukkan saat akan

bertindak dan membuat keputusan, terutama keputusan SS untuk berdamai

dengan dirinya sendiri. Contoh sikap berfikir kritis yang subjek SS

tunjukkan dengan dengan berusaha menempatkan dirinya di posisi ibu

subjek jika ia sampai pergi dari rumah. Sedangkan, subjek OB terlihat

kemampuan berfikir kritis dengan memahami kondisi ibu subjek. Subjek

OB juga banyak mempertanyakan sikap ayah kandungnya yang memilih

pergi tanpa berpamitan dengan dirinya. Namun, subjek OB mampu untuk

membiasakan dirinya kembali tanpa sosok ayah di sampingnya.


Subjek GZ mampu merekonstruksi kembali pengalaman bertahun-

tahun menghadapi peristiwa negatif dan mengambil makna dari pelajaran

hidup ia miliki. Pada tulisan subjek GZ pun terlihat kemampuan

beradaptasi dan memaafkan ayahnya yang begitu pesat, dalam waktu

setahun ia mampu bangkit dari keterpurukan dan memulai hidupnya yang

baru dengan kakak kandungnya. Subjek LM mampu berfikir kritis dengan

berusaha membangun persepsi bahwa ia harus menjadi kakak sekaligus

orang tua yang baik untuk kedua adiknya. Selain itu, LM terlihat mampu

beradaptasi dan memahami situasi sulit yang ia hadapi tidak akan usai jika

terus melakukan perlawanan diri. Ia pun mampu merealisasikan

keinginannya untuk hidup lebih baik dengan keilmuan yang sekarang ia

ampu yakni, psikologi. Demi mampu mengelola emosi dan memahami

karakter diri lebih baik agar apa yang orangtuanya alami tidak terulang

kembali pada kehidupan ia berikutnya.


4.4. Tabel Analisa Inter Subjek

Agar lebih jelasnya peneliti menjabarkan menggunakan tabel tema-tema internalisasi dialog dalam refleksi diri yang

dimiliki oleh ketujuh subjek ke dalam tabel berikut ini:

Tabel 4.4.4. Tabel Analisa Inter Subjek Dialog Internal

Tema Subjek SS Subjek OB Subjek DV Subjek BM Subjek GZ Subjek LM Subjek SE


Self- Menyampaikan Menyampaikan Mendeksripsi- Immersed sejak Immersed sejak Immersed sejak Terstruktur
immersed kisah secara kisah secara kan perteng- hari pertama, hari pertama, hari pertama, menyampaikan
terstruktur dan terstruktur, karan orang tua namun kalimat terstruktur namun kalimat cerita dan
mampu mengalami sebagai faktor ruminasi lebih menyampaikan ruminasi lebih mengekspresi-
mengekspresika kekecewaan, utama banyak dan cerita dan banyak, kan emosi
n emosi negatif bullying dari perenungan mengekspresika kebohongan dan terstruktur negatif sebagai
sebagai stimulus teman sebaya n emosi negatif teror faktor menyampaikan stimulus
dan hilang sebagai stimulus utama cerita dan tidak
kepercayaan diri perenungan mampu menahan
air mata ketika
berpisah dengan
ibunya
Ruminasi Menyikapi Kalimat negatif Problematika Kalimat Kalimat Kalimat ruminasi Kalimat negatif
permasalahan dimunculkan dan pergolakan ruminasi ruminasi mendominasi dimunculkan
dengan sebagai maujud batin, mendominasi mendominasi tulisan, ekspresi sebagai maujud
mengabaikan perasaan subjek, perpisahan tulisan dan tulisan, emosi negatif juga perasaan subjek,
dan menghindar, problematika disebabkan perpisahan menyikapi muncul, trauma dengan
menghabiskan dan pergolakan oleh ayah disebabkan oleh permasalahan problematika dan kekerasan ayah
waktu dengan batin, dan subjek ayah subjek dengan pergolakan batin subjek lakukan
teman perpisahan mengabaikan dan perpisahan dan perpisahan
disebabkan oleh dan menghindar disebabkan oleh disebabkan oleh
ayah subjek dengan cara ibu subjek ayah subjek
fokus dengan
tugas sekolah,
pergolakan batin
dan perpisahan
disebabkan oleh
ayah subjek
Self- Mampu Mampu Konflik batin Konflik batin Mampu Mampu Mampu
memikirkan merefleksikan dan belum dan belum merefleksikan memikirkan merefleksikan
reflection
kembali dengan menemukan menemukan dengan kembali dengan
konsekuensi, memaknai solusi solusi menyikapi memaknai konsekuensi dan memaknai
berpikir positif, peristiwa negatif menyikapi masalah peristiwa negatif bersikap dewasa peristiwa
mendapatkan sebagai masalah sebagai dalam menyikapi negatif sebagai
dukungan dari takdirnya takdirnya masalah takdirnya
orang lain orangtuanya
Reconstruin Mampu Cenderung Cenderung Cenderung Mampu Mampu Mampu
memaknai bertindak tanpa bertindak tanpa bertindak tanpa memaknai memaknai memaknai
g
peristiwa dan memikirkan memikirkan memikirkan peristiwa dan peristiwa dan peristiwa dan
memiliki sikap akibatnya akibatnya akibatnya, memiliki sikap memiliki sikap memiliki sikap
empati,keinginan memiliki emosi empati, subjek empati, memaknai empati,
memahami dan positif karena memaknai keadaan dengan memaknai
mengerti merasa lega peristiwa dengan bersikap mandiri dengan cara
keadaaan juga setelah menangis meningkatkan dan menerima memaafkan
insiatif dan harapan spiritualitas dan bahwa peristiwa kesalahan masa
memperbaiki ketika ayahnya menjadikan negatif ia alami lalu ayahnya
hubungan berjanji akan ibunya sebagai sebagai takdir dan
dengan ayahnya kembali ke inspirasi hidupnya
keluarga
Regulasi Mampu Mampu Cenderung Cenderung Mampu Mampu Mampu
Emosi mengintropeksi mengintropeksi menyesali menyesali mengintropeksi mengintropeksi mengintropeksi
diri dan mencari diri dan mencari permasalahan, permasalahan, diri dan mencari diri dan mencari diri dan mencari
solusi dalam solusi dalam keraguan, rasa meragukan diri, solusi dalam solusi dalam solusi dalam
menyikapi menyikapi tidak terima, rasa tidak terima, menyikapi menyikapi menyikapi
permasalahan permasalahan dan tidak dan tidak permasalahan permasalahan permasalahan
orangtuanya dan orangtuanya dan memiliki solusi memiliki solusi orangtuanya dan orangtuanya dan orangtuanya
mampu dan ingin dan rasa ingin regulasi berusaha hidup dan keinginan
mengintropeksi berbagi cerita merasakan sosok meningkat mandiri dan untuk
diri dengan agar ayah, namun sejalan dengan mampu memperbaiki
mengevaluasi meringankan membayangkan meningkatnya mengevaluasi hubungan
setiap tindakan beban, namun tidak mampu spiritualitas peristiwa ia alami dengan ayahnya
dengan memilih subjek
konsekuensinya memendamnya
sendiri
Kesadaran Membangun Menyadari Tidak dapat Menyadari Meningkatkan Meningkatkan Kesadaran diri
Diri pikiran positif, bahwa kedua menyikapi permasalahan kesadaran kesadaran dengan subjek sejak
mengingat orang tuanya realita orangtuanya dengan bersikap bersikap ikhlas mengenal ibu
nasihat orang telah bercerai dikarenakan mempengaruhi ikhlas dan dan pasrah serta tirinya,
sekitar dan sejak kecil dan self-focus perkembanganny pasrah serta mendekatkan diri memahami dan
berusaha tidak berusaha tidak attention a dan menyadari mendekatkan pada Tuhan, mengerti
membebani larut dengan terhadap kesedihan ibu diri pada Tuhan mampu tentang ayah
hidupnya dengan situasi sulit dan masalah subjek sehingga dan mampu beradaptasi dan kandung subjek
masalah kedua menyadari akan orangtuanya memunculkan beradaptasi berinisiatif untuk
orang tuanya kekurangan diri sikap simpati dengan masalah bersikap layaknya
serta kesulitan berlebih yang ia hadapi orangtua demi
yang ibunya kesejahteraan
alami adik-adiknya
Berfikir Berfikir kritis Berusaha Mempertanya- Tidak mampu Bersikap Berusaha Subjek
Kritis setiap ingin berpikir kritis, kan dan mengembangkan mengkritisi membangun mengkritisi
bertindak dan mengevaluasi mengkritisi berpikir kritis, dengan cara persepsi positif sikap ibu subjek
membuat permasalahan perbuatan ayah hanya menerima merekonstruksi dan mengkritisi yang menikah
keputusan yang keluarga subjek yang keadaan tanpa pengalaman keadaan dengan tanpa
alami dan tega berseling- penegasan diri, bertahun-tahun merealisasikan memberitahuny
mengkritisi kuh, memper- dan cenderung ia alami dan permasalahan a terlebih
sikap ayahnya tanyakan meratapi takdir mengkitisi hidupnya dengan dahulu
yang pergi tanpa mengapa ayah yang dialaminya masalah dengan memilih jurusan
berpamitan subjek bisa beradaptasi dan psikologi demi
dengan subjek tergoda dan memaknai memperbaiki
mengkhianati peristiwa yang kehidupan di
keluarganya, telah ia hadapi masa akan dating
meragukan
permintaan
maaf ayahnya
4.5. Analisa Data Frekuensi Dialog Internal dalam Refleksi Diri

Tabel 4.5.10. Tabel Frekuensi Dialog Internal

    Total Frekuensi
Total unit
Subjek SS Subjek OB Subjek DV Subjek BM Subjek GZ Subjek LM Subjek SE
analisis*
Hari 1 3 2 1 1   6 2 15
Hari 2 2 4 1 5 2 5   19
Reconstruing
Hari 3 2 2 1 1 3 2 5 16
Hari 4 4 1 4 3 7 10 7 36
  Total 11 9 7 10 12 23 14 86
  Persentase 13% 10% 8% 12% 14% 27% 16% 100%
Hari 1 1   1 2   1 1 6
Hari 2       1       1
Emosi Positif
Hari 3 2             2
Hari 4 1       2 2   5
  Total 4 0 1 3 2 3 1 14
  Persentase 29% 0 7% 21% 14% 21% 7% 100%
Hari 1 3         3   6
Hari 2 2         4 1 7
Makna
Hari 3 1     2       3
Hari 4 5 3 2   7 4 5 26
Total 11 3 2 2 7 11 6 42
 
Persentase 26% 7% 5% 5% 17% 26% 14% 100%

Hari 1 3 2 5 8 2 7 5 32
Hari 2 7 3 5 3 5 1 6 30
Recounting
Hari 3 2 3 1 5 5 2 4 22
Hari 4 4 3 2 5 6 10   30
  Total 16 11 13 21 18 20 15 114
  Persentase 14% 10% 11% 18% 16% 18% 13% 100%
Hari 1 2 2   3 1   2 10
Hari 2 1 4 1 1 3 2 2 14
Emosi Negatif
Hari 3 3 2 2 2   2 8 19
Hari 4 1 2   1   6   10
  Total 7 10 3 7 4 10 12 53
  Persentase 13% 19% 6% 13% 8% 19% 23% 100%
Hari 1 2 2 1 1 2     8
Hari 2         3     3
Menghindar
Hari 3 1   1         2
Hari 4 2   1         3
  Total 5 2 3 1 5 0 0 16
  Persentase 31% 13% 19% 6% 31% 0% 0% 100%
*Unit analisis Kalimat
4.6. Pembahasan Frekuensi Dialog Internal dalam Refleksi Diri

Dari penjelasan data tulisan masing-masing subjek diatas

menggunakan perhitungan manual dapat dilihat bahwa subjek SS melakukan

reconstruing sebesar 13%, subjek OB sebesar 10%, subjek sebesar DV 8%,

subjek sebesar BM 12%, subjek sebesar GZ 14%, subjek sebesar LM 27%,

dan subjek sebesar SE 16%. Hal ini menunjukkan bahwa kecenderungan

individu untuk menafsirkan persepsi secara subjektif dan merealisasikan

dalam pemikiran dengan cara menerima realita kehidupan. Subjek juga

mampu menghadapi persoalan tanpa melakukan penolakan dan menghindari

suatu masalah dimiliki oleh subjek LM dengan presentase sebesar 27%

reconstruing dalam tulisan LM selama empat hari mengikuti narrative

writing therapy. Subjek LM terlihat berusaha lebih adaptif sejak tulisan di hari

pertama, hal ini menunjukkan bahwa penyikapan LM ketika peristiwa tersebut

terjadi sudah berusaha beradaptasi dengan cara berperan menjadi kakak yang

baik dan menggantikan peran orang tua untuk kedua adiknya.

Hasil analisa terkait emosi positif yang muncul oleh masing-masing

subjek, terlihat bahwa subjek SS memiliki presentasi sebesar 29%, subjek DV

sebesar 7%, subjek BM sebesar 21%, subjek GZ sebesar 14%, subjek LM

sebesar 21%, dan subjek SE sebesar 7%. Sedangkan, pada subjek OB peneliti

tidak menemukan kalimat mengandung emosi positif. Berdasarkan data

tersebut maka dapat diketahui bahwa tulisan naratif subjek SS memiliki

presentasi tertinggi, yakni sebesar 29% emosi positif dalam merekonstruksi

218
pemikiran subjek SS. Hal ini dapat terkonfirmasi dengan ditemukannya

sebuah usaha diri untuk tetap menyayangi dan tidak membenci kedua orang

tuanya meskipun suatu saat mereka akan bercerai. Temuan peneliti diperkuat

dengan adanya dukungan dan nasihat dari paman dan bibi subjek SS serta ibu

teman subjek yang berusaha memberikan alasan logis mengapa perceraian

dalam keluarga itu bisa saja terjadi.

Hasil analisis terkait pemaknaan pada masing-masing subjek, peneliti

menemukan bahwa subjek SS memiliki pemaknaan sebesar 26%, subjek OB

sebesar 7%, subjek DV sebesar 5%, subjek sebesar BM 5%, subjek sebesar

GZ 17%, subjek sebesar LM 26%, dan subjek SE sebesar 14%. Berdasarkan

perhitungan diatas maka dapat diketahui bahwa pemaknaan yang dilakukan

oleh subjek selama mengikuti penelitian narrative writing therapy terdapat

pada subjek SS dan LM sebesar 26%. Hal ini dapat terlihat dari seringnya

subjek melakukan refleksi diri segera ketika muncul pertanyaan dalam batin

dan berusaha menyimpulkan dengan cara mengkorelasikan permasalahan

yang dihadapi dan rangkaian peristiwa yang telah subjek alami. Kemampuan

merefleksikan diri yang dilakukan oleh subjek SS dan LM memberikan

kesempatan kedua untuk memikirkan konsekuensi yang mungkin muncul jika

ia terus larut dalam permasalahan kedua orang tuanya.

Hasil analisa terkait recounting pada masing-masing subjek selama

empat hari mengikuti penelitian narrative writing therapy. Terlihat bahwa

subjek SS memiliki presentase sebesar 14%, subjek OB sebesar 10%, subjek

219
DV sebesar 11%, subjek BM sebesar 18%, subjek GZ sebesar 16%, subjek

LM sebesar 18%, dan subjek SE 13%. Subjek yang cenderung fokus pada

peristiwa negatif yang ia alami dimiliki oleh subjek BM dan LM dengan

presentase sebesar 20% recounting. Hal ini dapat terlihat dari kalimat-kalimat

perenungan yang muncul. Selain itu, subjek BM juga terlihat lebih sulit

beradaptasi dengan lingkungan di sekolah maupun di rumah. Peneliti

menemukan bahwa sikap prihatin terhadap masalah yang dihadapi

keluarganya, membuat diri BM lebih mudah simpati larut dalam kesedihan.

Sikap tersebut membuat diri subjek BM lebih sulit bersosialisasi dan

membaur dengan teman sebayanya.

Hasil analisa terkait emosi negatif pada masing-masing subjek, peneliti

menemukan bahwa subjek SS memiliki presentase sebesar 13%, subjek OB

sebesar 19%, subjek DV sebesar 6%, subjek sebesar BM 13%, subjek GZ

sebesar 8%, subjek LM sebesar 19%, dan subjek SE sebesar 23%.

Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa subjek SE memiliki

presentase terbanyak sebesar 23% emosi negatif dalam kalimat SE. Hal ini

menunjukkan bagaimana perasaan subjek SE ketika menghadapi ayah

kandung subjek. Peneliti melihat bahwa subjek SE selalu merasakan

ketakutan terhadap sikap ayah subjek yang cenderung keras dan ringan tangan

dalam bertindak maupun mendidik subjek. Sehingga penyikapan yang SE

lakukan akan cenderung merespon stimulus secara negatif, dalam hal ini

ketika subjek merasakan keberadaan ayah kandungnya ataupun ketika ayah

220
dan ibu subjek bertengkar, maka seketika respon takut, marah, kecewa akan

muncul seketika.

Hasil analisa terkait penghindaran peneliti menemukan bahwa subjek

SS memiliki presentase 31%, subjek OB sebesar 13%, subjek DV sebesar

19%, subjek BM sebesar 6%, dan subjek GZ sebesar 31%. Sedangkan untuk

kasus pada subjek LM dan SE tidak nampak penghindaran selama peristiwa

negatif menimpa diri mereka. Berdasarkan data tersebut maka dapat diketahui

bahwa subjek SS dan GZ memiliki presentase yang sama, yakni sebesar 31%

sikap berusaha menyangkal, melupakan dan menghindar. Hal ini terjadi

karena subjek GZ berulang kali ketika masalah dalam keluarga mereka

muncul terus berusaha menyangkal dengan menganggap semua akan kembali

seperti semula dan keadaan akan membaik. Sedangkan pada subjek SS, ia

terus berusaha bersikap cuek dan tidak peduli dengan pertengkaran yang

terjadi pada ayah dan ibu SS. Peneliti menemukan bahwa sikap penghindaran

ini merupakan bentuk mekanisme pertahanan diri dari subjek untuk secara

sadar menekan realita yang sebenarnya terjadi secara demi mendapatkan

ketenangan sesaat dalam pikiran subjek.

Pada hasil penelitian kali ini menunjukkan bahwa ketujuh subjek

mampu melakukan internalisasi dialog ketika proses kognitif berlangsung

dengan merekonstruksi kembali peristiwa yang pernah mereka alami. Seperti

yang telah dilakukan ketujuh subjek dimana pikiran-pikiran mereka

membentuk suatu pola dan konsep sebagai proses berpikir untuk mencapai

221
aktualisasi. Sehingga peristiwa perceraian atau disharmonisasi dalam keluarga

inti mereka dapat di refleksikan sebagai perjalanan hidup (e.g nasib, takdir)

yang telah di takdirkan. Subjek yang cenderung self-immersed atau ruminasi

adalah subjek DV dan BM, hal ini terbukti dari pernyataan DV memilih

menyimpan sendiri masalah yang ia alami dan belum menemukan solusi

untuk memperbaiki hubungan dengan ayah subjek. Sedangkan, subjek BM

terbukti dari pernyataannya bahwa negative mindset yang ia miliki

menghambat perkembangan hidup serta kepercayaan dirinya.

Pada subjek SS, OB, GZ, LM dan SE menunjukkan refleksi diri yang

cukup signifikan, hal ini terlihat dari kemampuan mereka membuat keputusan,

menerima keadaan, mengikhlaskan, meningkatkan spiritualitas dan menyakini

Tuhan mengetahui yang terbaik untuk diri mereka masing-masing. Dengan

kata lain, secara kesuluruhan masing-masing subjek merasakan bahwa dengan

mengingat kembali pengalaman pahit dapat membantu mereka dalam

merefleksikan diri. Masing-masing subjek mampu menunjukkan dengan atau

tanpa adanya keluarga harmonis dan utuh tidak akan menghalangi mereka

untuk terus memperjuangkan masa depan dan menjadi pribadi yang baik.

Mereka menyadari dengan sepenuhnya bahwa apa yang terjadi dengan

keluarga mereka tidak akan menghalangi keinginan untuk sukses dan

mendapatkan kehidupan lebih baik dengan tidak mengulangi hal sama yang

pernah orangtua mereka alami. Dukungan sosial dari orang sekitar (e.g nenek,

paman, bibi) selain orangtua serta teman sebaya menjadi faktor penting

222
lainnya dalam menjaga kepercayaan diri subjek. Dengan adanya dukungan,

semangat dan nasihat memiliki pengaruh besar dalam membantu subjek

menyadari bahwa masih ada yang menyayanginya dan peduli dengan

kelangsungan hidup mereka.

Dalam menjalani tantangan dan permasalahan pada umumnya individu

akan dituntut untuk memberikan reaksi yang terbaik untuk perjalanan hidup

selanjutnya. Begitu juga individu yang mengalami broken home, seperti subjek

DV dan BM yang sempat terpuruk dan larut berkepanjangan dengan perasaan

ruminatif mereka. Namun tidak sedikit pula individu yang mampu beradaptasi

dan menjadikan pengalaman pahit sebagai pelajaran hidup yang berharga seperti

halnya subjek SS, OB, GZ, LM dan SE. Dengan demikian, ketika individu

menyimpan masalah tersebut sendirian dan membiarkan pikiran menjadi liar dan

merenungkan hal-hal buruk akan berakibat pada munculnya gejala psikopatologis

(e.g stress, frustasi, depresi). Sedangkan, suatu masalah akan berdampak positif

apabila individu mampu melepaskan kerumitan berpikir terkait masalah tersebut

dengan berbagi cerita, salah satunya dengan menulis narasi.

Menuliskan tragedi ataupun peristiwa negatif dalam hidup akan membantu

dalam membentuk konsep diri. Dikarenakan dengan bernarasi individu akan

mengingat kembali peristiwa dan perilaku yang muncul saat kejadian tersebut dan

ketika dituangkan dalam sebuah tulisan lalu memaknai peristiwa yang telah

terjadi. Dalam struktur tulisan ketika seseorang dihadapkan dengan peristiwa sulit

maka akan membentuk pola regresif dan progresif. Sehingga tulisan yang baik

223
menunjukkan adanya progres perubahan dari ruminasi menjadi refleksi untuk

dapat menemukan pemaknaan yang baru untuk individu itu sendiri. Cara ini dapat

membantu perkembangan diri (self-development) individu dan mempengaruhi

aspek personal lainnya seperti perilaku reflektif (McLean, Pasupathi, & Pals,

2007).

224
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN


5.1. Kesimpulan

Ketujuh subjek yang mengalami peristiwa broken home selama mengikuti

penelitian narrative writing therapy di sebuah universitas swasta Jakarta selama

empat hari menunjukkan perasaan ruminasi di awal penulisan namun di hari

berikutnya cenderung mulai mampu mendeskripsi kejadian yang mereka alami di

hari kedua dan ketiga. Sedangkan, memasuki hari terakhir subjek akan mulai

mampu merefleksikan peristiwa tersebut dengan menyadari kekurangan dan

memaknai peristiwa tersebut sebagai takdir yang tidak dapat mereka hindari.

Dengan demikian, peneliti menyimpulkan bahwa ketujuh subjek mengalami

immersed ketika dihadapi oleh peristiwa negatif pertama kali. Namun, seiring

berjalannya waktu ketujuh subjek melakukan distance dengan cara mengamati,

merasakan dan mengingat kembali peristiwa tersebut untuk mendapatkan solusi

dan memaknai permasalahan yang mereka hadapi. Meskipun dari ketujuh subjek

dua diantaranya cenderung ruminatif namun kedua subjek dapat menunjukkan

kesadaran diri akan masa-masa sulit yang ia alami sebagai bagian dari kekurangan

dirinya dalam mengembangkan diri.

Proses berpikir yang ditunjukkan oleh subjek SS, OB, GZ dan SE adalah

berpikir ruminasi selama tiga hari dan merefleksikan peristiwa tersebut di hari

keempat. Sedangkan, proses berpikir subjek DV dan BM cenderung ruminatif

secara keseluruhan selama empat hari menulis. Terlihat dari tidak adanya upaya

225
kedua subjek mencari solusi ataupun memaknai peristiwa yang mereka alami

walaupun kedua subjek menyadari adanya hambatan dalam perkembangan dan

mencari solusi. Berbeda dengan yang lain, subjek LM lebih dinamis terlihat dari

naik turun dalam proses berpikirnya. Di hari pertama ia terlihat ruminatif namun

di hari kedua kalimat subjek terlihat cenderung reflektif. Di hari ketiga terlihat

kembali mengalami perasaan ruminasi namun ia kembali reflektif pada tulisan di

hari keempat walaupun harus dihadapi dengan perasaan negatif terhadap ibu

tirinya.

Ketika terjadi konflik batin individu cenderung melakukan dialog internal

dengan memberikan opsi pada pikiran dan memprosesnya secara kognitif. Disaat

proses berpikir terjadi dalam kognitif individu terdapat dialog internal yang

merupakan salah satu metode evaluasi diri yang terbukti bermanfaat untuk

masing-masing subjek. Dengan demikian, individu yang memanfaatkan

kemampuan berdialog dengan diri sendiri memberikan ruang pada pikiran untuk

memikirkan kembali tindakan ketika membuat keputusan dan meluapkan emosi.

Dengan berdialog secara internalisasi dalam diri (batin) memiliki potensi yang

besar dalam membentuk regulasi diri. Sehingga, individu yang mampu

meningkatkan regulasi diri akan lebih mudah melepaskan perenungan diri dan

merefleksikan diri disetiap peristiwa yang mereka alami.

Terkait permasalahan perceraian dan disharmonisasi keluarga yang

dialami oleh ketujuh subjek terjadi karena adanya perubahan struktur peran sosial

dalam keluarga inti yang disebabkan keegoisan dan ketidakmampuan orangtua

226
mencari solusi. Hal ini menjadi dasar terjadinya ketidakseimbangan dalam

berkeluarga dan sangat mempengaruhi psikologis anak-anak yang mengalami

keretakan keluarga atau broken home. Dengan demikian, peneliti menyimpulkan

bahwa peran sosial orangtua memiliki dampak signifikan dalam tahap

perkembangan generasi penerus keluarga tersebut. Dukungan dari orang selain

keluarga inti pun dapat menggantikan peran orangtua sejauh perhatian tetap

diberikan tanpa menghilangkan esensi dari peran orangtua mereka yang

sebenarnya. Sehingga sikap dan rasa menghormati orangtua kandung tetap

tertanam dalam diri individu tersebut.

5.2. Keterbatasan

Berikut ini keterbatasan dari penelitian yang dapat dijadikan perhatian

oleh peneliti berikutnya ialah:

1. Peneliti hanya sebatas melakukan uji keabsahan melalui triangulasi

metode sehingga kurang menggali lebih dalam sumber-sumber data yang

dimiliki subjek untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat.

2. Data demografis yang peneliti miliki sebagai data kontrol dirasa kurang

melengkapi identitas diri subjek sepenuhnya. Sehingga peneliti kurang

dapat menggali informasi diri subjek penelitian.

5.3. Saran-saran

5.3.1. Saran Teoritis

227
1. Penelitian selanjutnya apabila mengusung tema serupa diharapkan dapat

melakukan triangulasi sumber dengan teknik wawancara untuk dapat

menggali informasi lebih mendalam. Wawancara mendalam akan

menambah kevalidan rangkaian data yang peneliti teliti.

2. Penelitian selanjutnya dapat memperkaya informasi dengan melengkapi

lebih detail data demografis subjek seperti sudah berapa lama seperti

status lajang atau menikah, pendidikan terakhir, bekerja atau tidak untuk

mengetahui adakah pengaruh varian biografi yang dimiliki subjek

terhadap refleksi diri seseorang.

5.3.2. Saran Praktis

Peneliti menyarankan kepada orang tua untuk dapat

mempertimbangkan dampak negatif yang akan timbul dan juga memikirkan

psikologis anak ketika mengetahui adanya perubahan struktur dalam keluarga.

Sedangkan, kepada individu yang mengalami broken home tunjukkanlah

bahwa Anda memiliki kemampuan untuk bisa berdiri sendiri, mandiri dan

beradaptasi demi masa depan pribadi Anda dan menjadikan pengalaman pahit

sebagai wadah untuk menginspirasi orang-orang disekitar. Tetapkanlah tujuan

hidup dan jadikan pengalaman pahit sebagai tolak ukur untuk mengukur

kapasitas diri menjadi pribadi yang lebih baik serta menyadari bahwa

kehadiran orang sekitar (selain keluarga inti) yang menyayangi sebagai bagian

penyemangat hidup Anda.

228

Anda mungkin juga menyukai