Anda di halaman 1dari 13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan umum tentang skrining


1. Definisi Skrining
Skrining merupakan suatu pemeriksaan asimptomatik pada satu atau
sekelompok orang untuk mengklasifikasikan mereka dalam kategori yang
diperkirakan mengidap atau tidak mengidap penyakit (Rajab, 2009).
Tes skrining merupakan salah satu cara yang dipergunakan pada
epidemiologi untuk mengetahui prevalensi suatu penyakit yang tidak dapat
didiagnosis atau keadaan ketika angka kesakitan tinggi pada sekelompok
individu atau masyarakat berisiko tinggi serta pada keadaan yang kritis dan
serius yang memerlukan penanganan segera. Namun demikian, masih harus
dilengkapi dengan pemeriksaan lain untuk menentukan diagnosis definitif
(Chandra, 2009).
Skrining bukanlah diagnosis sehingga hasil yang diperoleh betul-betul
hanya didasarkan pada hasil pemeriksaan tes skrining tertentu, sedangkan
kepastian diagnosis klinis dilakukan kemudian secara terpisah, jika hasil
dari skrining tersebut menunjukkan hasil yang positif (Noor, 2008).
Uji skrining digunakan untuk mengidentifikasi suatu penanda awal
perkembangan penyakit sehingga intervensi dapat diterapkan untuk
menghambat proses penyakit. Selanjutnya, akan digunakan istilah
“penyakit” untuk menyebut setiap peristiwa dalam proses penyakit,
termasuk perkembangannya atau setiap komplikasinya (Morton, 2008).
B. Tujuan dan Manfaat Skrining
Skrining mempunyai tujuan diantaranya (Rajab, 2009):
1. Menemukan orang yang terdeteksi menderita suatu penyakit sedini mungkin
sehingga dapat dengan segera memperoleh pengobatan.
Mencegah meluasnya penyakit dalam masyarakat.
2. Mendidik dan membiasakan masyarakat untuk memeriksakan diri sedini
mungkin.
3. Mendidik dan memberikan gambaran kepada petugas kesehatan tentang sifat
penyakit dan untuk selalu waspada melakukan pengamatan terhadap gejala
dini.
4. Mendapatkan keterangan epodemiologis yang berguna bagi klinis dan
peneliti.
5. Mendapatkan keterangan epodemiologis yang berguna bagi klinis dan
peneliti.

C. Syarat Skrining
Untuk dapat menyusun suatu program penyaringan, diharuskan memenuhi
beberapa kriteria atau ketentuan-ketentuan khusus yang merupakan persyaratan
suatu tes penyaringan, antara lain (Noor, 2008):
a. Penyakit yang dituju harus merupakan masalah kesehatan yang berarti dalam
masyarakat dan dapat mengancam derajat kesehatan masyarakat tersebut.
b. Tersediannya obat yang potensial dan memungkinkan pengobatan bagi
mereka yang dinyatakan menderita penyakit yang mengalami tes. Keadaan
penyediaan obat dan jangkauan biaya pengobatan dapat mempengaruhi
tingkat atau kekuatan tes yang dipilih.
c. Tersediannya fasilitas dan biaya untuk diagnosis pasti bagi mereka yang
dinyatakan positif serta tersediannya biaya pengobatan bagi mereka yang
dinyatakan positif melalui diagnosis klinis.
d. Tes penyaringan terutama ditujukan pada penyakit yang masa latennya cukup
lama dan dapat diketahui melalui pemeriksaan atau tes khusus.
e. Tes penyaringan hanya dilakukan bila memenuhi syarat untuk tingkat
sensitivitas dan spesifitasnya karena kedua hal tersebut merupakan standard
untuk mengetahui apakah di suatu daerah yang dilakukan skrining berkurang
atau malah bertambah frekuensi endemiknya.
f. Semua bentuk atau teknis dan cara pemeriksaan dalam tes penyaringan harus
dapat diterima oleh masyarakat secara umum.
g. Sifat perjalanan penyakit yang akan dilakukan tes harus diketahui dengan
pasti.
h. Adanya suatu nilai standar yang telah disepakati bersama tentang mereka
yang dinyatakan menderita penyakit tersebut.
i. Biaya yang digunakan dalam melaksanakan tes penyaringan sampai pada titik
akhir pemeriksaan harus seimbang dengan resiko biaya bila tanpa melakukan
tes tersebut.
j. Harus dimungkinkan untuk diadakan pemantauan (follow up) terhadap
penyakit tersebut serta penemuan penderita secara berkesinambungan.
D. Proses Pelaksanaan Skrining

Bagan proses pelaksanaan skrining (Noor, 2008).


Pada sekelompok individu yang tampak sehat dilakukan pemeriksaan (tes)
dan hasil tes dapat positif dan negatif. Individu dengan hasil negatif pada
suatu saat dapat dilakukan tes ulang, sedangkan pada individu dengan hasil tes
positif dilakukan pemeriksaan diagnostik yang lebih spesifik dan bila hasilnya
positif dilakukan pengobatan secara intensif, sedangkan individu dengan hasil
tes negatif dapat dilakukan tes ulang dan seterusnya sampai penderita semua
penderita terjaring.
Tes ini dapat dilakukan khusus untuk satu jenis penyakit tertentu, tetapi dapat
pula dilakukan secara serentak untuk lebih dari satu penyakit (Noor, 2008).
Uji skrining terdiri dari dua tahap, tahap pertama melakukan pemeriksaan
terhadap kelompok penduduk yang dianggap mempunyai resiko tinggi menderita
penyakit dan bila hasil tes negatif maka dianggap orang tersebut tidak menderita
penyakit. Bila hasil tes positif maka dilakukan pemeriksaan tahap kedua yaitu
pemeriksaan diagnostik yang bila hasilnya positif maka dianggap sakit dan
mendapatkan pengobatan, tetapi bila hasilnya negatif maka dianggap tidak sakit
dan tidak memerlukan pengobatan. Bagi hasil pemeriksaan yang negatif
dilakukan pemeriksaan ulang secara periodik. Ini berarti bahwa proses skrining
adalah pemeriksaan pada tahap pertama (Budiarto dan Anggraeni, 2003).
Pemeriksaan yang biasa digunakan untuk uji tapis dapat berupa pemeriksaan
laboratorium atau radiologis, misalnya :
a. Pemeriksaan gula darah.
b. Pemeriksaan radiologis untuk uji skrining penyakit TBC.
Pemeriksaan diatas harus dapat dilakukan :
1) Dengan cepat tanpa memilah sasaran untuk pemeriksaan lebih lanjut
(pemeriksaan diagnostik).
2) Tidak mahal.
3) Mudah dilakukan oleh petugas kesehatan
4) Tidak membahayakan yang diperiksa maupun yang memeriksa (Budiarto dan
Anggraeni, 2003).
Contoh pemanfaatan skrining :
a) Mammografi untuk mendeteksi ca mammae
b) Pap smear untuk mendeteksi ca cervix
c) Pemeriksaan Tekanan darah untuk mendeteksi hipertensi
d) Pemeriksaan reduksi untuk mendeteksi deabetes mellitus
e) Pemeriksaan urine untuk mendeteksi kehamilan
Pemeriksaan EKG untuk mendeteksi Penyakit Jantung Koroner (Bustan,
2000).

E. Tinjauan umum tentang Prediabetes

1. Definisi prediabetes
Menurut definisi dari the American Diabetes Association and US
Department of Health and Human Services, prediabetes adalah suatu tahapan
dimana kadar glukosa diatas normal tetapi masih di bawah kadar glukosa
darah untuk diagnosis diabetes. Kondisi ini mencakup toleransi glukosa
terganggu (TGT) dan / ataupun glukosa puasa terganggu (GPT). American
Diabetes Association (ADA) mendefinisikan prediabetes sebagai GPT yaitu
kadar glukosa puasa 100 mg/dl (5,6 mmol/L) – 125 mg/dl (7,0 mmol/L) atau
bila kadar glukosa darah 2 jam setelah beban glukosa 75 gram 140-199 mg/dl
(7,8 – 11 mmol/L) yang sering disebut dengan TGT.
Menurut consensus of Management and Prevention of Diabetes Mellitus
Type- 2 di Indonesia,yang dilakukan oleh Indonesian Society for
Endocrinologist, Penegakan TGT dan GPTditegakkan sesuai dengan
algoritma diagnostik standar. Untuk pasien dengan keluhan diabetes klasik,
jika setelah dua kali uji dari satu kali glukosa darah dan glukosa darah puasa,
kita mendapatkan hasil yang meragukan (di atas normal, tetapi tidak sampai
pada kriteria diabetes), pasien akan diminta untuk melakukan tes beban
OGTT (Uji Glukosa Toleransi Oral). Bila hasil darah dua jam beban glukosa
pasca glukosa 140 - 199 mg / dL , pasien akan dimasukkan dalam kriteria
toleransi glukosa terganggu.

2. Etiologi
Penyebab pasti pradiabetes tidak diketahui, meskipun para peneliti telah
menemukan beberapa gen yang terkait dengan resistensi insulin. Kelebihan
lemak terutama lemak perut dan tidak beraktivitas juga tampaknya menjadi
factor penting dalam perkembangan pradiabetes. Yang jelas adalah bahwa
orang yang memiliki pradiabetes, tubuhnya tidak bisa megelolah gula
(glukosa) dengan baik lagi. Hal ini menyebabkan gula dalam aliran darah
lebih banyak dari pada gula yang melakukan fungsi yang normal yaitu
memicu sel yang membentuk otot-otot dan jaringan lain. Sebagian besar
glukosa dalam tubuh berasal dari makanan yang kita makan, khususnya
makanan yang mengandung karbohidrat. Setiap makanan yang mengandung
karbohidrat dapat mempengaruhi kadar gula darah, tidak hanya makanan
manis.

3. Faktor Resiko
Faktor resiko terjadinya prediabetes sama dengan faktor resiko
terjadinya DM tipe 2. Faktor resiko tersebut dapat dibagi menjadi faktor
resiko yang dapat dirubah ( obesitas, aktivitas fisik, nutrisi) dan yang tidak
dapat dirubah ( genetik, usia, diabetes gestasional). Faktor yang dapat
dirubah yang penting adalah obesitas ( terutama perut) dan kurangnya
aktivitas fisik.(Soeatmaji W Djoko dkk,2009)
a. Faktor genetik
Gen yang berhubungan dengan resiko terjadinya DM, sampai saat ini
belum biasdiidentifikasikan secara pasti. Adanya perbedaan yang nyata
kejadian DM antara grup etnik yang berbeda meskipun hidup di
lingkungan yang sama menunjukkan adanya kontribusi gen yang
bermakna terjadinya DM. Meskipun tidak jelas sebabnya, orang-orang
dari ras tertentu termasuk Afrika-Amerika, Hispanik, Indian Amerika,
AsiaAmerika dan Kepulauan Pasifik lebih Mungkin untuk menjad
prediabetes.
b. Usia
Prevalensi DM meningkat sesuai dengan bertambahnya usia. Dalam
dekade terakhir ini, usia terjadinya DM semakin muda. Resiko
pradiabetes meningkat seiring bertambahnya usia, terutama setelah usia
45 tahun. Ini mungkin karena orang cenderung kurang berolahraga,
kehilangan massa otot dan menambah berat badan dengan bertambahnya
usia mereka. Namun, orang tua bukanlah satu-satunya beresiko
prediabetes dan diabetes tipe 2. Insiden gangguan ini juga meningkat di
kelompok usia yang lebih muda.

c. Diabetes gestasional
Diabetes gestasional adalah diabetes yang timbul selama kehamilan.
Ini meliputi 2-5% dari seluruh diabetes. Jenis ini sangat penting
diketahui karena dampaknya pada janin kurang baik bila tidak
ditangani dengan benar. Pada diabetes gestasional toleransi glukosa
biasanya kembali
normal setelah melahirkan akan tetapi wanita tersebut memiliki
resiko menderita DM di kemudian hari. Bila pernah menderita diabetes
gestasional saat kehamilan, maka resiko menderita diabetes akan
meningkat. Apabila pernah melahirkan bayi dengan berat bada lebih
dari 9 pound (4,1 Kg), maka ririko DM juga meningkat.
d. Obesitas
Obesitas merupakan faktor resiko yang paling penting. Jaringan
lemak lebih banyak yang dimiliki terutama di dalam dan di antara otot
dan kulitdi sekitar perut menyebabkan sel menjadi lebih tahan terhadap
insulin. Beberapa studi jangka panjang menunjukkan bahwa obesitas
merupakan prediktor yang kuat untuk timbulnya DM tipe 2. Lebih
lanjut, intevensi yang bertujuan mengurangi obesitas juga mengurangi
insidensi DM tipe 2. Beberapa studi jangka panjang juga menunjukkan
bahwa lingkar pinggang atau rasio pinggang pinggul yang
menunjukkan keadaan lemak visceral (abdominal), merupakan
indikator yang lebih baik dibandingkan indeks masa tubuh, sebagai
faktor resiko prediabetes. Data tersebut memastikan bahwa distribusi
lemak lebih penting dibanding dengan jumlah total lemak obesitas.
e. Aktivitas Fisik
Berkurangnya intensitas aktivitas fisik memberikan kontribusi yang
besar terhadap peningkatan obesitas. Berbagai studi menunjukan
bahwa kurangnya aktifitas fisik merupakan prediktor bebas terjadinya
DM Tipe 2 pada pria maupun wanita. Semakin sedikit beraktivitas,
semakin besar
resiko pradiabetes. Aktivitas fisik membantu mengontrol berat
badan, dengan beraktivitas maka glukosa digunakan sebagai energi
dan membuat sel-sel lebih sensitif terhadap insulin.
f. Nutrisi
Kalori total yang tinggi, diit rendah serat, beban glikemik yang
tinggi dan rasio poly unsaturated fatty acid ( PUFA) dibanding lemak
jenuh yang rendah, merupakan faktor resiko terjadinya DM.
4. Gejala
Seringkali, pradiabetes tidak memiliki tanda-tanda atau gejala. Adanya
suatu area kulit yang gelap, suatu kondisi yang disebuta canthosis
nigricans, adalah salah satu dari beberapa tanda-tanda yang menunjukkan
risiko untuk diabetes. Daerah umum yang mungkin akan terkena meliputi
leher, ketiak, siku, lutut, dan buku-buku jari. Gejala klasik diabetes tipe 2
yang harus dipantau meliputi: Peningkatan rasa haus, sering buang air
kecil, kelelahan dan penglihatan kabur.

F. Tinjauan umum tentang obesitas

1. Definisi obesitas
Obesitas merupakan suatu kelainan kompleks pengaturan nafsu makan
dan metabolism energiyang dikendalikan oleh beberapa factor biologi
spesifik, factor genetic sangat berpengaruh, secara fisiologis, obesitas
didefinisikan sebagai suatu keadaan dengan akumulasilemak yang abnormal
atau berlebihan di jaringan adipose sehingga dapat mengganggu kesehatan
( sugondo 2014 ).
Menurut kamus Dorland, obesitas adalah peningkatan berat badan melebihi
batas kebutuhan skeletal fisik sebagai akibat akumulasi lemak berlebihan
dalam tubuh. Pada prinsipnya, pada obesitas ditemukan ketidakseimbangan
antara masukan energi (intake) dan energi yang dikeluarkan, diman masukan
energi lebih besar daripada pengeluarannya.(Dr.Arisman,2018).

2. Tipe Obesitas
a. Tipe Android/ Obesitas Sentral atau Viseral
Distribusi lemak tubuh penting karena lemak perut atau visceral adalah
organ endokrin yang sangat aktif, yang dapat menyebabka keadaan inflamasi
kronis yang disebabkan oleh pelepasan asam lemak bebas dan sitokin dari
jaringan adiposa ini. Lebih sering terjadi pada pria dan berhubungan dengan
peningkatan risiko resistensi insulin, hiperlipidemia, hipertensi, penyakit
kardiovaskular, dan stroke (Boyett et al., 2017).
b. Tipe Gynoid
Pola ginekoid obesitas ditandai dengan akumulasi kelebihan lemak
subkutan di pinggul dan paha, biasanya terlihat pada wanita. Obesitas
ginekoid lebih jarang dikaitkan dengan efek metabolik yang merugikan
(Boyett et al., 2017).

3. Penyebab dan faktor risiko terjadinya obesitas


Terdapat beberapa faktor yang bisa menyebabkan suatu obesitas.
Berdasarkan penyebab, obesitas dapat dibedakan menjadi dua yaitu :
1) Obesitas primer
Obesitas primer disebabkan terlebih karena asupan gizi yang terlalu berlebihan.
Biasanya pada orang yang sulit mengatur konsumsi makanan.
2) Obesitas sekunder
Obesitas sekunder tidak dihubungkan dengan konsumsi makanan. Obesitas sekunder
merupakan obesitas yang disebabkan oleh karena suatu kelainan atau penyakit seperti
hipotiroid hipogonadisme, hiperkortisolisme, dll.

4. Faktor risiko yang berkontribusi menyebabkan obesitas antara lain:


1) Faktor genetik
Beberapa penyakit keturunan yang sangat jelas terkait dengan obesitas antara lain
sindrom Prader-Willi dan sindrom Bardet-Biedel. Gemuk atau kurus badan seseorang
bergantung pada faktor DNA yang merupakan komponen molekul dasar genetika
yang tersusun atas nukleotida-nukleotida.Remaja yang memiliki orang tua dengan
badan gemuk akan mewariskan tingkat metabolisme yang rendah dan memiliki
kecenderungan kegemukan bila dibandingkan dengan remaja yang memiliki orang
tua dengan berat badan normal. insidensi obesitas pada sebagian besar kasus bukan
merupakan faktor genetik melainkan faktor eksternal yang berperan lebih besar.

2) Kuantitas dan kualitas makanan


Peningkatan konsumsi makanan olahan yang mudah dikonsumsi menyebabkan
pergeseran kebiasaan makan pada remaja. Makanan tersebut yaitu makanan cepat saji
(ready prepared food) dan makanan cepat saji (fast food) yang mempunyai densitas
energi yang lebih tinggi daripada makanan tradisional pada umumnya, sehingga
menyebabkan energi masuk secara berlebihan.

3) Status sosial ekonomi


Pendapatan dari seseorang juga berpengaruh dalam terjadinya obesitas. Seseorang
dengan pendapatan yang besar dapat membeli makanan jenis apa pun, baik itu
makanan bergizi, makanan sehat, makanan tinggi kalori seperti junk food, fast food,
softdrink dan masih banyak lainnya. Seseorang dengan pendapatan yang rendah
cenderung mengkonsumsi makanan yang kurang bergizi ataupun makanan kurang
higienis yang dapat menyebabkan suatu kondisi tubuh yang buruk untuk mereka.

4) Kemajuan teknologi
Kemajuan teknologi menyebabkan orang tidak melaksanakan kegiatan secara manual
yang memerlukan banyak energi. Orang yang menggunakan kendaraan bermotor
semakin banyak daripada orang yang berjalan kaki atau bersepeda. Komputer,
internet, dan video game juga telah menjadi gaya hidup remaja belakangan ini
sehingga akan meningkatkan sedentary time dari remaja.

5) Lingkungan
Perilaku hidup sehari hari dan budaya suatu masyarakat akan mempengaruhi
kebiasaan makan dan aktivitas fisik tertentu. Lingkungan keluarga sangat berperan
dalam pola makan dan kegiatan
yang dikerjakan dalam sehari-hari. Hal ini juga berkaitan dengan pendidikan di
sekitar lingkungannya.

6) Aspek psikologis
Asupan makanan pada setiap individu, dapat dipengaruhi oleh kondisi
mood,mental,kepribadian, citra diri, persepsi bentuk tubuh, dan sikap terhadap
makanan dalam konteks sosial.

5. Jenis- jenis Obesitas


Berdasarkan letak timbunan lemak obesitas dapat dibagi menjadi
dua(EmedicineHealth, 2010), antara lain:
a. Obesitas android atau tipe sentral
Bila lemak banyak tertimbun di setengah bagian atas tubuh (perut, dada, punggung,
muka). Pada umumnya umumnya tipe ini dialami oleh pria.
b. Obesitas ginekoid atau tipe perifer
Bila lemak tertimbun di setengah bagian bawah tubuh (pinggul dan paha).Kegemukan
tipe ini biasanya banyak dialami oleh wanita.

Anda mungkin juga menyukai