Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN PENDAHULUAN

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN


Pada Ny. G dengan Appendicitis
DI RSUD PESANGGRAHAN
KOTA JAKARTA SELATAN

AHMAD SUDIKA
NIM: 211030230293

PROGRAM PROFESI NERS


STIKES WIDYA DHARMA HUSADA TANGERANG

SELATAN 2021

1
BAB 1

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

2.1.1 Anatomi

Apendiks merupakan organ berbentuk tabung panjangnya

kira-kira 10cm (kisaran 3-15cm) dan berpangkal disekum.

Lumennya sempit dibagian proksimal dan melebar dibagian distal.

Namun demikian, pada bayi apendiks berbentuk kerucut, lebar

pada pangkalnya dan menyempit ke arah ujungnya. Keadaan ini

mungkin menjadi sebab rendahnya insiden appendiks pada usia

bayi. Pada kasus awal apendiks terletak intra peritoneal, kedudukan

itu memungkinkan apendiks bergerak dan ruang geraknya

bergantung pada panjang mesoapendiks penggantungnya. Pada

kasus selebihnya, appendiks terletak retroperiltoneal yaitu

dibelakang sekum, dibelakang kolon asedens atau ditepi lateral

kolon asendens, gejala klinis apendisitis ditentukan oleh letak

apendiks (Sjamsuhidajat. R, 2015)

2
Gambar 2.1.1 Anatomi Apendiks

2.1.2 Fisiologi

Apendiks menghasilkan lendir sekitar 1-2ml per hari.

Lendir tersebut secara normal dicurahkan kedalam lumen dan

kemudian mengalir kedalam sekum, gangguan aliran lendir di

muara appendiks tampaknya berperan pada proses patogenesis

Appendisitis. Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh Gut

Associated Lymphoid Tissue (GALT) yang teerdapat pada

sepanjang saluran cerna termasuk appendiks adalah Imunoglobulin

A (Ig A). Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung

terhadap infrksi yakni mengontrol proliferrasi bakteri, netralisasi

virus, serta mencegah terjadinya penettrasi enterrotoksin dan

antigen intestinal lainnya. Namun pengangkatan appendiks tidak

3
mempengaruhi pada sistem imun tubuh disebabkan jumlah

jaringan sedikit sekali apabila dibandingkan dengan jumlah

disaluran cerna dan seluruh tubuh.

2.2 Konsep Dasar Penyakit Appendiksitis

2.2.1 Pengertian

Apendiksitis adalah suatu proses obstruksi (hiperplasia

limpo nodi submukosa, fecolith benda asing, tumor), kemudian

diikuti proses infeksi dan disusul oleh peradangan dari appendiks

verniformis. (dr. Taufan Nugroho, 2011) Apendisitis akut adalah

penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran bawah kanan

rongga abdomen, penyebab paling umum untuk bedah abdomen

darurat (Sugeng Jitowiyono, Skep, Ns. 2010). Dari defenisi di atas

maka penulis dapat menyimpulkan bahwa Apendiksitis akut adalah

suatu proses obstruksi yang disebabkan oleh inflamasi akut pada

kuadran bawah kanan rongga abdomen, kemudian diikuti proses

infeksi dan disusul oleh peradangan dari appendiks.

Apendisitis ialah suatu peradangan dari apendiks

vermivormis, & merupakan penyebab terjadinya abdomen akut yg

paling sering. Penyakit ini dapat terjadi pada semua usia baik laki-

laki maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang pada laki-

laki yg berusia antara 10 – 30 tahun (Mansjoer, Arief,dkk, 2009).

4
2.2.2 Penyebab

Menurut Sugeng Jitowiyono (2010) terjadinya apendisitis

umunnya disebabkan oleh infeksi bakteri. Namun terdapat banyak

sekali faktor pencetus terjadinya penyakit ini. Diantaranya

obstruksi pada lumen apendiks ini biasanya disebabkan karena

adanya timbunan tinja yang keras (fekalit), hiperplasia jaringan

limfoid, penyakit cacing, parasit benda asing dalam tubuh, cancer

primer dan strikur. Namun yang paling sering menyebabkan

obstruksi lumen apendiks adalah fekalit dan hiperplasia jaringan

limfoid.

Diantara beberapa faktor diatas, maka yang paling sering

ditemukan dan kuat dugaannya sebagai penyebab adalah faktor

penyumbatan oleh tinja/ feces dan hyperplasia jaringan limfoid.

Penyumbatan atau pembesaran inilah yang menjadi media bagi

bakteri untuk berkembang biak. Perlu diketahui bahwa dalam

tinja/feces manusia sangat mungkin sekali telah tercemari oleh

bakteri/ kuman Escherichia Coli, inilah yang sering kali

mengakibatkan infeksi yang berakibat pada peradangan usus buntu.

Makan cabai bersama bijinya atau jambu klutuk beserta

bijinya sering kali tak tercerna dalam tinja dan menyelinap

kesaluran appendiks sebagai benda asing, Begitu pula terjadinya

pengerasan tinja/feces (konstipasi) dalam waktu lama sangat

mungkin ada bagiannya yang terselip masuk kesaluran appendiks

yang pada akhirnya menjadi media kuman/ bakteri bersarang dan

5
berkembang biak sebagai infeksi yang menimbulkan peradangan

usus buntu tersebut.

2.2.3 Patofisiologi

Penyebab utama apendiksitis adalah obstruksi penyumbatan

yang dapat disebabkan oleh hiperplasia dari folikel limfoid

merupakan penyebab terbanyak, adanya fekalit dalam lumen

appendiks. Adanya benda asing seperti cacing, stiktur karna

fibrosis akibat peradangan sebelumnya, sebab lain misalnya

keganasan (karsinoma karsinoid).

Obsrtuksi apendiks itu menyebabkan mukus yang

diproduksi mukosa terbendung, makin lama mukus yang

terbendung makin banyak dan menekan dinding appendiks

oedem serta merangsang tunika serosa dan peritonium

viseral. Oleh karena itu persarafan appendiks sama dengan usus

yaitu torakal X maka rangsangan itu dirasakan sebagai rasa sakit

disekitar umblikus. Mukus yang terkumpul itu lalu terinfeksi

oleh bakteri menjadi nanah, kemudian timbul gangguan

aliran vena, sedangkan arteri belum terganggu, peradangan

yang timbul meluas dan mengenai peritomium parietal setempat,

sehingga menimbulkan rasa sakit dikanan bawah, keadaan ini

disebut dengan appendisitis supuratif akut.

Bila kemudian aliran arteri terganggu maka timbul alergen

dan ini disebut dengan appendisitis gangrenosa. Bila dinding

6
apendiks yang telah akut itu pecah, dinamakan appendisitis

perforasi. Bila omentum usus yang berdekatan dapat mengelilingi

apendiks yang meradang atau perforasi akan timbul suatu masa

lokal, keadaan ini disebut sebagai appendisitis abses. Pada anak –

anak karena omentum masih pendek dan tipis, apendiks yang

relatif lebih panjang , dinding apendiks yang lebih tipis dan daya

tahan tubuh yang masih kurang, demikian juga pada orang tua

karena telah ada gangguan pembuluh darah, maka perforasi

terjadi lebih cepat. Bila appendisitis infiltrat ini

menyembuh dan kemudian gejalanya hilang timbul dikemudian

hari maka terjadi appendisitis kronis (Junaidi, 2012).

2.2.4 Tanda dan Gejala

Apendisitis memiliki gejala kombinasi yang khas, yang

terdiri dari: mual, muntah, dan nyeri yang hebat di perut kanan

bagian bawah. Nyeri bisa secara mendadak dimulai diperut sebelah

atas disekitar pusar, timbul mual dan muntah. Setelah beberapa

jam, rasa mual hilang dan nyeri berpindah keperut kanan bagian

bawah. Jika penekanan ini, penderita merasakan nyeri tumpul dan

jika penekanan ini dilepaskan, nyeri bisa bertambah tajam. Demam

bisa mencapai 37,8-38,8 derajat Celsius. Pada bayi dan anak-anak,

nyerinya bersifat menyeluruh, di semua bagian perut. Pada orang

tua dan wanita hamil, nyerinya tidak terlalu berat dan di daerah ini

nyeri tumpulnya tidak terlalu terasa. Bila usus buntu pecah, nyeri

7
dan demam bisa menjadi berat. Infeksi yang bertambah buruk bisa

menyebabkan syok. (Sugeng Jitowiyono, 2010)

2.2.5 Klasifikasi Apendisitis

Mansjoer. A (2011) menyebutkan apendisitis dibagi

kedalam beberapa klasifikasi, dintaranya: Apendisitis Akut,

Apendisitis akut ialah suatu radang pada jaringan apendiks.

Apendisitis akut pada umumnya ialah obstruksi lumen yang

selanjutnya akan diikuti proses infeksi dari apendiks. Penyebab

terjadinya obstruksi bisa berupa: Hiperplasia limfonoid sub

mukosa dinding apendiks, fekalit, benda asing, dan tumor. Adanya

suatu obstruksi mengaakibatkan mucin atau cairan mukosa yang

diproduksi tidak dapat keluar dari apendiks, hal ini membuat

semakin meningkatkan tekanan pada intra luminer sehingga

membuat terjadinya tekanan intra mukosa juga semakin tinggi.

Tekanan yang tinggi dapat menyebabkan terjadinya infiltrasi

kuman ke dinding apendiks sehingga dapat menyebabkaan suatu

peradangan supuratif yang menghasilkan adanya pus atau nanah

pada dinding apendiks. Selain obstruksi, apendisitis juga bisa

disebabkan oleh penyebaran infeksi dari organ lain yang kemudian

menyebar secara hematogen ke apendiks.

Apendisitis Purulenta, Umumnya karena adanya tekanan

dalam lumen yang terus bertambah disertai adanya edema

menyebabkan terbendungnya aliran pembuluh vena pada dinding

8
apendiks dan menimbulkan terjadinya trombosis. Kondisi ini

memperberat adanya iskemia dan edema yang ada pada apendiks.

Mikroorganisme yang terdapat pada usus besar berinvasi ke dalam

dinding apendiks dan menimbulkan adanya sebuah infeksi serosa

sehingga serosa menjadi suram lantaran dilapisi eksudat dan fibrin.

Pada apendiks dan mesoapendiks terjadi sebuah edema, hiperemia,

dan didalam lumen tetrdapat eksudat fibrinopurulen. Ditandai

dengan sebuah rangsangan peritoneum lokal seperti adanya nyeri

tekan, nyeri lepas dititik Mc Burney, defans muskuler, dan rasa

nyeri pada saat melakukan gerak aktif dan pasif. Nyeri dan defans

muskuler dapar terjadi pada seluruh bagian perut disertai dengan

adanya tanda peritonitis umum.

Apendisitis Kronik, Diagnosis apendisitis kronik ini baru

bisa ditegakkan apabila memenuhi semua syarat: riwayat nyeri

perut sebelah kanan bawah dengan waktu lebih dari dua minggu,

adanya radang kronik apendiks secara makroskopik dan

mikroskopik, dan adanya keluhan menghilang setelah apendiktomi.

Kriteria mikroskopik apendisitis kronik ialah adanya fibrosis

menyeluruh pada dinding apendiks, sumbatan parsial dan total

lumen apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama dimukosa,

dan adanya infiltasi sel inflamasi kronik, insiden apendisitis kronik

1-5%. Apendisitis Rekurens, Diagnosis rekuren baru bisa

dipikirkan jika adanya riwayat serangan nyeri berulang di perut

kanan bawah yg mendorong dilakukan apendektomi & hasil

9
patologi menunjukan adanya peradangan akut. Kelainan ini terjadi

apabila serangan apendisitis akut pertama kali dapat sembuh

spontan. Namun, apendisitis tidak bisa kembali ke bentuk aslinya

lantaran terjadi fribosis dan jaringan parut. Resiko untuk terjadinya

serangan kembali sekitar 50%. Insidens apendisitis rekurens

biasanya dilakukan apendektomi yg diperiksa secara patologik.

Mukokel Apendiks, mukokel apendiks ialah sebuah dilatasi

kistik dari apendiks yg berisi musin akibat adanya obstruksi kronik

pangkal apendiks, yg umumnya berupa jaringan fibrosa. Apabila

isi lumen steril, musin akan tertimbun tanpa adanya infeksi.

Meskipun jarang, mukokel bisa disebabkan oleh suatu kistadenoma

yg dicurigai bisa berubah menjadi ganas. Penderita sering datang

dengan keluhan ringan dan adanya rasa tidak enak di perut kanan

bawah. Kadang bisa teraba adanya massa memanjang di regio

iliaka kanan. Suatu saat apabila terjadi sebuah infeksi, akan timbul

beberapa tanda apendisitis akut. Penanganannya ialah dengan

apendiktomi.

Tumor Apendiks, penyakit tumor ini jarang sekali

ditemukan, namun biasanya ditemukan secara kebetulan sewaktu

dilakukan apendektomi atas indikasi apendisitis akut. Lantaran bisa

metastasis ke limfonoid regional, dianjurkan hemikolektomi kanan

yg dapat memberi suatu harapan hidup yg jauh lebih baik

dibanding hanya apendektomi. Karsinoid Apendiks, ini merupakan

sebuah tumor sel argentafin apendiks. Kelainan ini jarang

10
didiagnosis pra bedah,namun biasanya ditemukan dengan cara

kebetulan pada pemeriksaan patologi atas spesimen apendiks

dengan diagnosis pra bedah apendisitis akut. Sindrom karsinoid

semacam rangsangan kemerahan (flushing) pada wajah, sesak

napas lantaran spasme bronkus, & diare yg hanya ditemukan pada

sekitar 6% dari kasus tumor karsinoid perut. Sel tumor

memproduksi serotonin yg menyebabkan adanya gejala tersebut di

atas.

2.2.6 Komplikasi

Ardian Ratu R-G. et-al. (2013) menyatakan komplikasi

utama apendiksitis adalah perforasi apendiks yang dapat

berkembang menjadi peritonitis atau abses. Insiden perforasi 10-

32%. Perforasi terjadi 24 jam setelah awitan nyeri. Gejala

mencakup demam dengan suhu 37,70c atau lebih tinggi,

penampilan toksin dan nyeri abdomen atau nyeri tekan abdomen

yang kontinue. Adapun komplikasi apendisitis akut antara lain :

Perforasi, Perforasi ialah pecahnya apendiks yang berisi pus

sehingga bakteri dapat menyebar ke rongga perut. Perforasi jarang

terjadi dalam waktu 12 jam pertama sejak awal sakit, tetapi

meningkat sesudah 24 jam. Perforasi dapat diketahui preoperatif

pada 70% kasus dengan gambaran klinis yang timbul lebih dari

waktu 36 jam sejak sakit, panas lebih dari 38,5 derajat Celcius,

tampak adanya toksik, nyeri tekan seluruh perut, dan adanya

11
leukositosis terutama polymorphonuclear (PMN). Perforasi, baik

berupa perforasi bebas maupun mikroperforasi bisa menyebabkan

peritonitis.

Peritonitis, Peitonitis ialah suata peradangan peritonium,

merupakan komplikasi berbahaya yang bisa saja terjadi dalam

bentuk akut maupun kronis. Apabila infeksi menyebar luar pada

permukaan peritonium maka akan menyebabkan peritonitis umum.

Aktifitas peristaltik akan berkurang sampai timbul ileus paralitik,

usus meregang, dan hilangnya cairan elektrolit dapat

mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi, dan oliguria.

Peritonitis disertai adanya rasa sakit yang semakin hebat, muntah,

nyeri abdomen, demam, dan leukositosis. Abses, Abses ialah suatu

peradangan apendiks yang berisi pus. Pada saat dipalpasi teraba

lunak dikuadran kanan bawah atau pada daerah pelvis. Massa ini

awalnya berupa flegmon dan berkembang menjadi rongga yang

didalamnya mengandung pus. Hal ini akan terjadi apabila

apendisitis gangren atau mikroperforasi ditutup oleh omentum.

2.2.7 Pemeriksaan Diagnostik dan Penunjang

Pemeriksaan penunjang pada appendiksitis antara lain

pemeriksaan Laboratorium adanya leukosit normal atau meningkat,

bila lanjut umumnya leukositosis >10.000/mm3, terdapat

peningkatan segmen dalam hitung jenis, dan LED meningkat pada

appenddiksitis infiltrat.

12
Rongent appendicogram didapatkan hasil positif berupa

Non-filling, Partial filling, Mouse tail and cut off. Rongent

abdomen tidak menolong kecuali telah terjadi peritonitis. Pada

pemeriksaan Ultrasonogarafi ditemukan bagian memanjang pada

tempat yang terjadi inflamasi pada apendiks. Sedangkan pada

pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian yang menyilang dengan

apendicalith serta perluasan dari apendiks yang mengalami

inflamasi serta adanya pelebaran dari saekum.

2.2.8 Penatalaksanaan Medis

Terdapat beberapa panduan dalam penatalaksaan medis,

menurut Deden dan Titik, (2010) penatalaksanaan yang dilakukan

terhadap pasien apendisitis meliputi: Pembedahan: Apendiktomy

dilakukan bila appendiksitis sudah ditegakkan, menurunkan resiko

perforasi. Sebelum operasi, Observasi dalam 8-12 jam setelah

timbul keluhan, tanda dan gejala apendisitis masih belum jelas.

Dalam keadaan ini observasi ketat perlu dilakukan. Pasien diminta

melakukan tirah baring dan dipuasakan. Laksatif tidak boleh

diberikan bila dicurigai adanya apendisitis ataupun bentuk

peritonitis lainnya. Pemeriksaan abdomen dan rektal serta

pemeriksaan darah (leukosit dan hitung jenis) diulangi secara

periodik. Foto abdomen dan toraks tegak dilakukan untak mencari

kemungkinan adanya penyulitan lain.

13
Pada kebanyakan kasus. Diagnosa ditegakkan dengan

lokalisasi nyeri diderah kanan bawah dalam 12 jam setelah

timbulnya keluhan. Intubasi bila perlu, dilakukan pemberian

antibiotik pada saat operasi. Pasca operasi dilakukan observasi

tanda-tanda vital untuk mengetahui terjadinya perdarahan didalam,

syok, hipertermia atau gangguan pernapasan. Angkat sonde

lambung bila pasien telah sadar, sehingga aspirasi cairan lambung

dapat dicegah. Baringkan pasien dalam posisi fowler. Pasien

dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak terjadi gangguan. Selama

itu pasien dipuaskan. Bila tindakan operasi lebih, misalnya pada

perforasi atau peritonitis umum, puasakan diteruskan sampai fungsi

usus kembali normal. Kemudian berikan minum mulai 15 ml/jam

selama 4-5 jam lalu naikkan menjadi 30 ml/jam.

Keesokan harinya diberikan makanan saring dan hari

berikutnya diberikan makanan lunak. Satu hari pasca operasi

pasien dianjurkan untuk duduk tegak di tempat tidur selama 2 x 30

menit. Pada hari kedua pasien dapat berdiri dan duduk di luar

kamar. Hari ketujuh jahitan dapat diangkat dan pasien

diperbolehkan pulang. Penatalaksanaan gawat darurat non-operasi,

bila tidak ada fasilitas bedah, berikan penatalaksanaan seperti

dalam peritonitis akut. Dengan demikian, gejala apendisitis akut

akan mereda, dan kemungkinan terjadinya komplikasi akan

berkurang. Pemasangan NGT. Pemberian antibiotik yang sesuai

14
dengan hasil kultur. Transfusi untuk mengatasi anemia, dan

penanganan syok secara intensif.

15
PATHWAY

Idiopatik makan tidak teratur kerja fisik yang keras

Massa keras feses

Obstruksi lumen

Supply aliran darah menurun

Mukosa terkikis

Peradangan pada appendik Distensi abdomen


 Perforasi
 Abses
 Peritonitis
Nyeri

Menekan

gaster

Appendiktomy pembatasan intake cairan

Pe produksi HCL

Insisi Bedah

Mual,muntah
Resiko terjadi infeksi

Nyeri

Resiko kekurangan volume cairan


16
BAB 2

Konsep Dasar Asuhan Keperawatan pada Pasien Apendiksitis

2.1 Pengkajian

1) Anamnesis

Pengumpulan data klien baik subjektif maupun objektif pada

gangguan sistem persarafan sehubungan dengan apendisitis

bergantung pada nyeri, lokasi, lamanya nyeri dirasakan dan

adanya komplikasi pada organ vital lainnya. Anamnesis cedera

kepala meliputi keluhan utama, riwayat penyakit sekarang,

riwayat penyakit dahulu, dan pengkajian psikososial.

a) Identitas

Meliputi data klien yang mencakup nama, umur,

pendidikan, jenis kelamin, nomor register, diagnosa medis,

pekerjaan, agama dan suku bangsa, tanggal atau jam masuk

rumah sakit.

b) Keluhan Utama

Alasan masuk rumah sakit pasien dengan apendiksitis

biasanya klien mengeluh nyeri pada bagian abdomen

terutama pada kuadran kanan bawah.

c) Riwayat penyakit sekarang

Timbul keluhan nyeri perut, nyeri dirasakan seperti tertusuk

tusuk, nyeri dirasakan pada perut kanan bagian bawah

17
dengan skala (0-10) dan nyeri timbul memberat ketika

bergerak.

d) Riwayat penyakit dahulu

Perngkajian yang perlu ditanyakan meliputi kebiasaan

makan makanan rendah serat yang dapat menimbulkan

konstipasi sehingga meningkatkan tekanan intrasekal yang

menimbulkan timbulnya sumbatan fungsi apendiks dan

meningkatkan pertumbuhan kuman folar kolon sehingga

menjadi apendisitis.

e) Riwayat penyakit keluarga

Mengkaji adanya anggota keluarga yang menderita

Hipertensi, Diabetes Melitus, serta penyakit kronis lainnya.

f) Pola fungsi kesehatan

(1) Pola persepsi hidup sehat

Apakah memiliki kebiasaan buruk seperti merokok,

penggunaan obat-obatan, dan riwayat mengkonsumsi

alkohol.

(2) Pola tidur dan istirahat

Adanya rasa nyeri yang dapat menggangu kenyamanan

pola tidur klien

(3) Pola aktifitas

18
Umumnya klien mengalami keterbatasan dalam

beraktifitas atau bergerak karena rasa nyeri dari

apendisitis

(4) Pola hubungan dan peran

Dengan adanya keterbatasan dalam beraktifitas atau

bergerak kemungkinan klien tidak bisa melakukan

perannya secara baik dalam keluarga maupun dalam

komunitas lingkungan masyarakat.

(5) Pola penanggulangan stres

Kebiasaan atau koping klien yang biasa digunakan

dalam menghadapi suatu masalah.

(6) Pola tata nilai dan kepercayaan

Mengenai kepercayaan klien pada agama yang

dianutnya

(7) Pengetahuan klien dan keluarga

tingkat pengetahuan, pemahaman mengenai kondisi,

pengobatan, prognosa, dan tujuan yang diharapkan.

2) Pemeriksaan Fisik

Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan-

keluhan klien pemeriksaan fisik sangat berguna untuk

mendukung data dari pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fisik

19
meliputi : tingkat kesadaran, integumen, abdomen, thorax dan

paru, ekstremitas.

(1) Keadaan Umum

Pada pasien dengan apendisitis umumnya sadar penuh atau

Composmentis dengan GCS: E: 4 M: 6 V: 5 dan terjadi

perubahan pada tanda-tanda vital.

(2) Pemeriksaan Diagnostik

Terdapat hasil Ultrasonography dan hasil Laboratorium.

2.2 Diagnosa Keperawatan

1) Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi dan spasme otot

polos sekunder akibat infeksi gastrointestinal

2) Resiko ketidakseimbangan volume cairan kurang dari

kebutuhan tubuh berhubungan dengan gangguan

gastrointestinal: mual dan muntah

3) Hipertermia berhubungan dengan proses inflamasi

4) Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan

pengobatan berhubungan dengan kurang mendapat informasi,

kurang mengingat, salah interprestasi informasi

5) Resiko infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya

pertahanan tubuh perforasi/ruptur apendiks

2.3 Perencanaan Keperawatan

1) Diagnosa Keperawatan

20
Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi dan spasme otot

polos sekunder akibat infeksi gastrointestinal

Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan:

Setelah dilakukan perawatan selama 1x24 jam pasien tidak lagi

merasakan nyeri lagi, skala nyeri menurun menjadi 2.

Tabel 2.1

Perencanaan Keperawatan: Nyeri Akut

Tindakan Keperawatan Rasional


Mandiri :

1. Kaji dan pantau Tanda- 1. Untuk mengetahui

tanda Vital keadaan umum

2. Kaji skala nyeri klien 2. Untuk mengetahui

derajat nyeri klien

3. Atur posisi klien senyaman 3. Posisi nyaman

mungkin memberikan kesempatan

pada otot untuk relaksasi

seoptimal mungkin dan

memberikan

4. Berikan Pend-Kes teknik kenyamanan

distraksi dan relaksasi 4. Mengurangi rasa nyeri

5. Ciptakan lingkungan yang yang dialami klien

tenang 5. Rangsangan berlebih dari

lingkungan akan

memperberat nyeri

Kolaboratif

1. Kolaborasi dengan dokter

21
pemberian terapi analgetik 1. Analgetik dapat

mengurangi nyeri

2) Diagnosa Keperawatan

Resiko ketidakseimbangan volume cairan kurang dari

kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual dan muntah

Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan:

Setelah dilakukan perawatan selama 2x24 jam volume cairan

seimbang dengan kriteria hasil pasien tidak lagi merasakan

mual, muntah tidak ada

Tabel 2.2

Perencanaan Keperawatan: Resiko ketidakseimbangan volume

cairan kurang dari kebutuhan tubuh

Intervensi Rasional
Mandiri:

1. Observasi tanda-tanda 1. tanda yang membantu

vital mengidentifikasi fluktuasi

keadekuatan sirkuler

2. Lihat membran mukosa: 2. indikator keadekuatan

kaji turgor kulit dan sirkulasi perifer dan hindari

pengisian kapiler. seluler

3. Monitor masuk dan 3. penurunan pengeluaran

pengeluaran cairan : urine pekat dengan

catat warna urine, peningakatan berat jenis

22
konsentrasi dan berat diduga

jenis dehidrasi/kebutuhan

peningkatan cairan

4. Auskultasi bising usus. 4. indikator kembalinya

Catat kelancaran flatus, peristaltik, kesiapan untuk

peristaltik usus pemasukan peroral

5. Berikan minum sedikit 5. menurunkan iritasi

jika minum oral telah gaster/muntah untuk

boleh dilakukan dan meminimalkan kehilangan

lanjutkan dengan diet cairan

sesuai toleransi

6. Berikan perawatan

mulut sering dengan 6. dehidrasi mengakibatkan

perhatikan khusus pada bibir dan mulut kering dan

perlindungan bibir. pecah-pecah

Kolaborasi:

1. pemberian cairan 1. peritoneum bereaksi

intravena dan elektrolit. terhadap iritasi/infeksi

dengan menghasilkan

sejumlah besar cairan yang

dapat menurunkan volume

sirkulasi darah

mengakibatkan

hipovolemia, dehidrasi dan

dapat terjadi ketidak

seimbangan elektrolit

23
3) Diagnosa Keperawatan

Hipertermia berhubungan dengan proses inflamasi

Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan:

Setelah dilakukan perawatan selama 1x24 jam pasien tidak lagi

demam, suhu tubuh dalam batas normal 36,5’c – 37,5’c.

Tabel 2.3

Perencanaan Keperawatan: Hipertermia berhubungan dengan

penyakit atau trauma

Intervensi Rasional
Mandiri:

1. Observasi tada-tanda 1. membantu mengidentifikasi

vital tiap 4-6 jam fluktuasi keadekuatan

sirkuler

2. Berikan minum 2-3 2. untuk menghindari

liter/24 jam dehidrasi

3. Jelaskan tujuan

pemberian intake cairan 3. pasien dapat memahami

yang adekuat tentang penyakitnya

4. Anjurkan pasien untuk

mengenakan pakaian 4. untuk membantu

yang menyerap keringat menyamakan suhu tubuh

5. Ukur intake dan output dan suhu ruang

cairan tiap shift 5. penurunan pengeluaran

urine pekat dengan

peningakatan berat jenis

diduga

dehidrasi/kebutuhan

Kolaborasi: peningkatan cairan

24
1. Pemberian IVFD

tetes/menit 1. peritoneum bereaksi

terhadap iritasi/infeksi

dengan menghasilkan

sejumlah besar cairan yang

dapat menurunkan volume

sirkulasi darah

mengakibatkan

hipovolemia, dehidrasi dan

dapat terjadi ketidak

2. Pemberian antipieretik seimbangan elektrolit

2. untuk menurunkan suhu

tubuh

4) Diagnosa Keperawatan

Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan

pengobatan berhubungan dengan kurang mendapat informasi,

kurang mengingat, salah interprestasi informasi

Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan:

Setelah dilakukan perawatan selama 1x24 jam Pasien

menyataan pemahaman tentang penyakit, pengobatan dan

perawatan

Tabel 2.4

Diagnosa keperawatan: Kurang pengetahuan tentang kondisi,

prognosis dan kebutuhan pengobatan

25
Intervensi Rasional
1. Kaji ulang 1. memberikan informasi

pengetahuan pasien pada pasien untuk

tentang pembatasan merencanakan kembali

aktivitas selama sakit, rutinitas biasa tanpa

seperti mengangkat berat, menimbulkan masalah

olahraga berat, latihan

berat.

2. Jelaskan agar pasien

melakukan aktivitas 2. meningkatkan

sesuai kemampuan secara penyembuhan, perasaan

bertahap. sehat, dan mempermudah

kembali ke aktivitas

3. Jelaskan gejalah yang normal

memerlukan evaluasi 3. upaya intervensi

medik, seperti merupakan risiko

peningkatan nyeri; edema komplikasi serius seperti

atau eritem luka, adanya lambatnya penyembuhan,

drainase, demam. peritonitis

5) Diagnosa Keperawatan

Resiko infeksi berhubugan dengan tidak adekuatnya pertahanan

tubuh perforasi/ruptur apendiks

Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan:

Setelah dilakukan perawatan selama 1x24 jam klien bebas dari

tanda-tanda infeksi, Tidak ada drainase purulen.

Tabel 2.5

Diagnosa Keperawatan: Resiko Infeksi

26
Intervensi Rasional
1. Monitor tanda-tanda 1. Mengiddentifikasi adanya

infeksi: perhatikan peningkatan suhu tubuh

adanya demam, sebagai indikator

perubahan adanya terjadinya infeksi

demam, perubahan

mental, meningkatnya

nyeri abdomen.

2. Lakukan pencucian 2. Menurubkan resiko

tangan sebelum dan terjadinya kontaminasi

sesudah kontak dengan mikroorganisme

pasien.

3. Lakukan pencukuran 3. dengan pencukuran pasien

pada area operasi (perut terhindar dari infeksi post

kanan bawah). operasi

4. Anjurkan pasien mandi 4. kulit yang bersih dapat

dengan sempurna mencegah timbulnya

sebelum operasi. mikroogranisme

2.4 Pelaksanaan Keperawatan

Implementasi keperawatan merupakan langkah keempat dalam tahap

proses keperawatan dengan melaksanakan berbagai strategi

keperawatan (tindakan keperawatan) direncanakan dalam rencana

tindakan keperawatan.

2.5 Evaluasi

27
Evaluasi adalah proses yang berkelanjutan untuk menilai efek dari

tindakan keperawatan pada klien. Evaluasi dilakukan terus-menerus

pada respon pasien terhadap tindakan keperawatan yang telah

dilaksanakan.

BAB 3

28
ARTIKEL PENELITIAN TERKAIT

3.1 Identitas Artikel

Judul Penelitian: Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan

Appendisitis yang dirawat di Rumah Sakit, oleh Erwin Hidayat

(2020)

3.2 Sumber Jurnal

Sumber artikel penulis peroleh dari lembar Jurnal Ilmiah

Keperawatan Politeknik Kesehatan Kementrian Kesehatan Jurusan

Keperawatan dikutip dari http://repository.poltekkes-kaltim.ac.id

3.3 Ringkasan Penelitian dan Hasil

Appendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis

dan merupakan penyebab nyeri abdomen akut yang paling sering.

Penyakit ini menyerang semua umur baik laki-laki maupun

perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia 10

sampai 30 tahun dan merupakan penyebab paling umum inflamasi

akut pada kuadran bawah kanan dan merupakan penyebab paling

umum untuk bedah abdomen darurat (Smeltzer & Bare, 2013).

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan

rancangan studi kasus menggunakan pendekatan proses

keperawatan. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara,

observasi, dan studi dokumentasi. Instrument penelitian adalah

peneliti sendiri dengan alat bantu sphygmomanometer, stetoskop,

serta pedoman pengkajian.

29
3.4 Implementasi Penelitian

Setelah melakukan pengkajian dan menganalisis data pada

Klien ditegakkan 2 diagnosa keperawatan pada pre operasi

appendicitis . Urutan diagnosa keperawatan yaitu, nyeri akut

berhubungan dengan agen pencedera fisiologis (inflamasi

appendicitis), Ansietas berhubungan dengan kurang terpapar

informasi.

Pada tahap intervensi keperawatan, dilakukan penyusunan

prioritas masalah dengan menentukan diagnosis keperawatan,

maka dapat diketahui diagnosis yang pertama kali harus dilakukan

atau segera dilakukan.

Intervensi yang dilakukan harus sesuai dengan 4 tipe

intruksi perawatan atau biasa disebut ONEC. Observation (tipe

diagnostic), tipe ini memungkinkan pasien kearah pencapaian

kriteria hasil dengan observasi secara langsung. Nursing treatment

(tipe terapeutik), menggambarkan tindakan yang dilakukan oleh

perawat secara langsung untuk mengurangi, memperbaiki, dan

mencegah kemungkinan masalah.

Education (tipe penyuluhan) digunakan untuk memperoleh

tingkah laku individu yang mempermudah pemecahan masalah.

Collaboration (tipe rujukan), menggambarkan peran perawat

sebagai koordinator dan manager dalam perawatan pasien dengan

anggota tim kesehatan. Pada tahap Evaluasi Perkembangan pasien

pada hari pertama belum sesuai dengan kriteria hasil yang

30
diharapkan sehingga intervensi tetap dilanjutkan. Sedangkan

perkembangan pada hari kedua sudah sesuai dengan kriteria hasil

yang diharapkan sehingga intervensi dipertahankan hingga hari

ketiga dan pada hari ketiga pasien diperbolehkan pulang sehingga

diberikan discharge planning.

3.5 Kesimpulan Penelitian

Hasil evaluasi keperawatan pada pre, dan post operasi

appendicitis pada klien dari 4 diagnosa yang muncul. Pada pre

operasi terdapat 2 diagnosa yang dihentikan karena klien akan

menjalani prosedur operasi yaitu nyeri akut berhubungan dengan

agen pencedera fisiologi (inflamasi appendicitis), dan ansietas

berhubungan dengan kurang terpapar informasi. Pada post operatif

terdapat 2 diagnosa teratasi sebagian namun intervensi dihentikan

karena klien pulang yaitu nyeri akut berhubungan dengan agen

pencedera fisik ( prosedur operasi), dan resiko infeksi berhubungan

dengan efek prosedur infasiv.

DAFTAR PUSTAKA

31
Brunner, & Suddeth. (2009). Keperawatan Medikal Bedah Volume 2. Jakarta:
EGC.

Dasar, R. K. (2013). Riset Kesehatan dasar Penyakit Tidak Menular. Jakarta:


Departemen Kesehatan RI.

Doenges Marilynn E, dkk, (2012). Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi III.


Jakarta: EGC.

Elizabeth, J, Corwin. (2012). Buku saku Fatofisiologi. Jakarta: EGC.

Fatma. (2010). Askep Appendicitis. Diakses


http://fatmazdnrs.blogspot.com/2010/08/askep-appendicitis.html pada
tanggal 20 Mei 2018.

https://www.scribd.com/doc/133983298/Konsep-Dasar-Asuhan-Keperawatan

Johnson, M.,et all. (2012). Nursing Outcomes Classification (NOC) Second


Edition. Mosby: IOWA Intervention Project.

Mansjoer, A. (2011). Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius


FKUI

Mc Closkey, C.J., Iet all, (2012). Nursing Interventions Classification (NIC)


Second Edition. Mosby: IOWA Intervention Project.

Mutaqin, Arif & Sari, Kumala. (2011). Gangguan Gastrointestinal : Aplikasi


Asuhan Keperawatan Medikal Bedah . Jilid 1. Jakarta: Salemba Medika.

NANDA, (2012). Diagnosis Keperawatan NANDA : Definisi dan Klasifikasi.

Nuzulul. (2009). Askep Appendicitis. Diakses


http://nuzulul.fkp09.web.unair.ac.id/artikel_detail-35840-Kep
%20Pencernaan Askep%20Apendisitis.html tanggal 09 Mei 2018.

Price, SA. (2005). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Edisi 6.


Jakarta : EGC

Smeltzer, Bare. (2012). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Brunner &
Suddart. Edisi 8. Volume 2. Jakarta: EGC.

Sjamsuhidajat, R. ( 2011 ). Buku Ajar Ilmu Beda.Edisi 3. Jakarta: EGC.

32

Anda mungkin juga menyukai