Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sertifikasi pustakawan telah lama menjadi polemik di kalangan
pustakawan. Topik ini seringkali dikaitkan dengan citra buruk
pustakawan di mata masyarakat, sedangkan citra buruk ditengarai berasal
dari persoalan kompetensi. Ada anggapan bahwa kompetensi yang
dimiliki seorang lulusan jurusan ilmu perpustakaan tidak mumpuni ketika
terjun bekerja di lapangan, sehingga sulit sekali mendapat pengakuan
apalagi apresiasi dari masyarakat, termasuk dari pemerintah.1
Di lingkungan pustakawan akademik sertifikasi tidak selalu
dibicarakan secara terbuka, namun masalah-masalah yang dihadapi
sesungguhnya bermuara ke persoalan sertifikasi juga. Di pendidikan
tinggi, tuntutan kompetensi pustakawan akademik sering menjadi
momok menakutkan bagi pustakawan itu sendiri. Kerap pustakawan
akademik menganggap bahwa tuntutan dari sivitas akademika akan
kinerja mereka tidak pernah berhenti dan tidak seimbang dengan
penghargaan yang diterima. Bekerja di lingkungan akademis memang
tidak selalu mudah bagi banyak kelompok, termasuk pustakawan. Seperti
layaknya perpustakaan, yang menurut Ranganathan adalah sebuah
organisme yang tumbuh (the library is a growing organism), perguruan
tinggi pun demikian. John M. Budd (2005:4), dalam bukunya “The
Changing Academic Library: Operations, Culture, Environments” telah
mengingatkan kita bahwa:
“Because the library is an integral component of the mission of every
college or university, it is incumbent upon academic librarians to
understand the changes that are taking place in higher education. Some
of the changes have a direct impact on the library and its services”
Apalagi jika dikaitkan dengan paradigma baru dalam hal metode
1
Budd, John M. (2001), “The Changing Academic Library. Operations, Culture, Environemnts.”
Chicago: ACRL Publications in Librarianship No.56
pemelajaran di mana yang tadinya bersifat konvensional (teacher
centered learning) menjadi student centered learning dengan
mengandalkan resources based learning, peran pustakawan semakin
penting sebagai penyedia informasi dan sumber-sumber
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sertifikasi pustakawan
Mengacu kepada definisi sertifikat dan sertifikasi dalam PP 102 Th
2000, maka untuk bidang perpustakaan, dokumentasi dan informasi
(pusdokinfo) pengertian sertifikat dan sertifikasi adalah sebagai berikut:2
 Sertifikat perpustakaan, dokumentasi, informasi, yang dapat
meliputi barang, jasa, proses, sistem atau personel pusdokinfo
adalah jaminan tertulis yang diberikan oleh lembaga/institusi yang
telah diakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN) untuk
menyatakan bahwa barang, jasa, proses, sistem atau personel
pusdokinfo telah memenuhi standar untuk bidang pusdokinfo sesuai
dengan syarat- syarat yang telah ditentukan.
 Sertifikasi bidang pusdokinfo adalah rangkaian kegiatan penerbitan
sertifikat terhadap perpustakaan, dokumentasi, informasi, atas barang, jasa,
proses, sistem atau personel pusdokinfo yang telah memenuhui standar bidang
pusdokinfo yang telah ditentukan.
Berdasarkan definisi di atas, dapat dikatakan bahwa sertifikasi
personel pusdokinfo adalah program penerapan standar kinerja atau
kompetensi personel pusdokinfo melalui pemeriksaan kompetensi individu
dalam bidang pusdokinfo. Sertifikat kesesuaian terhadap persyaratan
kompetensi diterbitkan dengan cara melakukan asesmen terhadap kriteria
kompetensi yang dimiliki oleh individu (personel perpustakaan) sebagai
pengakuan formal atas kompetensi tersebut. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa sertifikasi personel harus berbasis pada kriteria
persyaratan yang tertuang dalam dokumen standar.

2
Desrochers, Edmond E. (1960), “Canadian Library Education and Certification”. ALA Bulletin,
Vol. 54, No. 4 (April 1960), pp. 310-312. Published by: American Library Association. Stable
URL: http://www.jstor.org/stable/25695842. Accessed: 05/10/2021 03:10
B. Dasar-dasar sertifikasi pustakawan
Peraturan terbaru yang dikeluarkan pemerintah yang menjadi
acuan utama dalam menyelenggrakan program sertifikasi pustakawan
adalah Undang-Undang No.43 tahun 2007 tentang Perpustakaan. Pasal 1
ayat (8) UU No.43 Tahun 2007 menyatakan bahwa pustakawan adalah
seseorang yang memiliki kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan
dan/atau pelatihan kepustakawanan serta mempunyai tugas dan tanggung
jawab untuk melaksanakan pengelolaan dan pelayanan perpustakaan.
Berbicara tentang sertifikasi tidak dapat dilepaskan dari persoalan
profesi dan kompetensi. Menurut Putu Laxman Pendit (2001), sebuah
masyarakat "menciptakan" sebuah profesi untuk memastikan tersedianya
produk atau layanan yang tidak bisa disediakan oleh "orang biasa" karena
prosesnya yang rumit. Masyarakat memberikan "mandat" kepada pihak
lain untuk ini, antara lain kepada negara dan pemerintahan yang memiliki
kekuasaan untuk bertindak atas nama masyarakatnya. Lebih jauh Pendit
menjelaskan bahwa selain standar kompetensi, ukuran lain untuk menilai
profesionalitas adalah keilmiahan profesi itu, dan etika dasar seseorang
ketika berkiprah di masyarakatnya. Keilmiahan sebuah profesi ini tentu
saja disandarkan pada ilmu pengetahuan, sementara etika dan leitmotif
bersandarkan pada falsafat, ideologi, dan pasti juga pada sejarah serta
konteks sosial di mana sebuah profesi lahir. Faktor lain yang tidak kalah
pentingnya dalam meningkatkan profesionalisme adalah kemandirian
profesi itu berhadapan dengannegara dan korporasi. Sebuah profesi
akan jadi "alat" industri belaka kalau tidak mandiri berhadapan dengan
korporasi. Sebuah profesi akan jadi "aparat" belaka kalau tidak mandiri
berhadapan dengan negara (Pendit, 2011).
Carolyn H. Lindberg (1990) menegaskan bahwa ada beberapa
argumen terhadap ide sertifikasi bagi pustakawan, yakni:
1) sebagai jaminan kompetensi melalui pengujian;
2) sebagai metode pemberian status professional; dan
3) sebagai sarana untuk mendefinisikan yang mana/atau apa pekerjaan
professional dan mana yang tidak.
Diana D. Shonrock (2007) menyatakan bahwa sertifikasi
pustakawan merupakan cara mengenali karyawan yang telah mencapai
tingkat tertentu dalam hal pengetahuan dan ketrampilan di bidang
kepustakawanan. Program sertifikasi memiliki manfaat bagi individu,
perpustakaan, dan masyarakat pengguna perpustakaan. Menurut
Shonrock (2007), manfaat sertifikasi bagi individu adalah:
1) Mendorong pustakawan untuk meningkatkan pemahaman mereka
tentang operasional perpustakaan.
2) Memotivasi pustakawan agar memenuhi syarat untuk kemajuan
dalam struktur perpustakaan.
3) Memberi rasa percaya diri pada pustakawan bahwa kinerja mereka
berperan dalam pelayanan publik yang berkualitas dan selalu ingin
memberikan layanan yang terbaik.
Untuk persoalan sertifikasi pustakawan, Indonesia boleh disebut
sangat ketinggalan jika dibandingkan dengan negara lain. Negara
tetangga seperti Philipina misalnya, telah memiliki sertifikasi
pustakawan layaknya profesi lain. Demikian juga di negara-negara
Eropa di mana isu sertifikasi pustakawan sudah bergulir sejak tahun 50-
60an dan masih terus relevan dibahas. Sertifikasi pustakawan yang dapat
dikatakan telah sangat mapan tentunya di Amerika.
Persoalan sertifikasi di negeri Barack Obama ini bahkan telah
ramai dibahas dan diteliti sejak tahun 1950-an. Dalam penelitiannya
berupa survei opini, Irene M. Kavanaugh dan Elizabeth C. Wescott
(1951) mendapatkan banyak masukan dari pustakawan di Amerika
mengenai penyelenggaraan sertifikasi pustakawan, mulai dari proses,
sampai ke persoalan materi. Sama halnya dengan di Philipina, pada
dasarnya pelaksanaan sertifikasi pustakawan di AS juga ditujukan untuk
menciptakan layanan publik berkualitas, profesional, demi mencapai
tujuan nasional negara, yakni good governance.3
3
Diana D Shonrock. (2007). ALA-APA Support Staff Certification: RUSA's Role. Reference &
User Services Quarterly, 46(3), 9-12. Retrieved October 1, 2011, from Academic Research
C. Rangkuman literatur dan kerangka berpikir
Beberapa kajian yang pernah dilakukan terkait sertifikasi
pustakawan, diantaranya kajian Ruth Kraemer (1948) tentang
“Certification of Librarians: Implications Drawn from the Field of
Teaching”; Marydee Ojala (2003) tentang “Certifying Information
Professioanls”; Diana D. Shonrock (2007) tentang “ALA- APA Support
Staff Certification: RUSA’s Role”; Irene M. Kavanaugh and Elizabeth C.
Wescott tentang “A National Examination as a Basis for Library
Certification: A Survey of Opinion”; Charles H. Stones (1936) tentang
“Certification for College and University Librarians”; P. L. Windsor
tentang “Standardization of Libraries and Certification of Librarians”;
Margaret E. Vinton (1937) tentang “Certification of Librarians”; Kent
Slade dalam “Certification of Support Staff: What Is It, What Does It
Do?”; William J. Maher dalam “Contexts for Understanding Professional
Certification: Opening Pandora's Box?”4 Dari beberapa literatur di atas,
ada beberapa poin yang dapat dijadikan catatan yakni:
1) Isu sertifikasi selalu mendapat pro dan kontra dari kalangan
pustakawan. Pada awalnya banyak keraguan akan manfaat dari
sertifikasi karena dianggap sebagai penyangkalan terhadap kualitas
lulusan sekolah perpustakaan. Namun seiring perjalanan waktu,
kebanyakan pustakawan setuju sertifikasi dengan harapan sertifikasi
akan lebih menguatkan eksistensi profesi pustakawan di mata
masyarakat luas, sekaligus sebagai perlindungan hukum bagi
pustakawan professional.
2) Program sertifikasi selalu ada kaitannya dengan sejarah sekolah
perpustakaan di suatu negara. Program-program yang ditawarkan
sekolah-sekolah perpustakaan menjadi bagian dari pertimbangan

Library. (Document ID: 1259611941)


4
Equating Professional Library Qualifications Source: Journal of Education for Librarianship,
Vol. 1, No. 1 (Summer, 1960), pp. 22-32. Published by: Association for Library and Information
Science Education (ALISE). Stable URL: http://www.jstor.org/stable/40321357.Accessed:
0/10/2021 03:18
dalam mengembangkan program sertifikasi. Usulan dan
penyelenggaraan sertifikasi pun selalu melibatkan para pengelola
sekolah perpustakaan.
3) Sertifikasi dimaknai pustakawan secara beragam. Ada yang
melihatnya sebagai alat untuk mendapatkan pengakuan hukum, ada
yang melihatnya sebagai peluang untuk mendapat jaminan akan
profesi pustakawan, dan ada yang menilainya sebagai alat untuk
menyaring staf yang bekerja di perpustakaan yang bukan profesional.
Sebagian kecil mengaitkannya dengan peningkatan gaji.
4) Sertifikasi pustakawan di beberapa negara bukan program wajib,
namun seiring dengan perjalanan program tersebut, pustakawan
sendiri menganggap bahwa wajib bagi mereka untuk mendapatkan
sertifikat.
5) Pemberlakuan sertifikasi di beberapa negara dibedakan atas dasar
tingkat pendidikannya. Sarjana dan Magister di bidang ilmu
perpustakaan dan informasi tidak sama perlakuannya dengan level
dibawahnya dalam hal mendapatkan sertifikasi. Begitu pula dengan
materi untuk sertifikasi, berbeda untuk tiap jenjang.
6) Penyelenggaraan sertifikasi selalu erat kaitannya dengan penetapan
standar kompetensi pustakawan dan pihak-pihak yang akan
melakukan assessmen. Penyusunan standar kompetensi pustakawan
banyak melibatkan sekolah perpustakaan dan pustakawan sendiri,
sedangkan penetapan asesor melibatkan banyak pihak, termasuk
pemerintah.
7) Pola atau skema pelaksanaan sertifikasi di berbagai negara sangat
tergantung kepada hubungan asosiasi profesi dengan pemerintah,
sebab peraturan sertifikasi nasional harus dikeluarkan oleh
pemerintah. Peran asosiasi profesi pustakawan dalam program
sertifikasi sangat menentukan berjalan tidaknya sertifikasi.
8) Tujuan akhir sertifikasi pustakawan harus diarahkan pada penciptaan
good governance dengan memberikan layanan berkualitas bagi
masyarakat luas, sebab pustakawan memiliki peran penting
keberlangsungan pendidikan berkelanjutan dan pembelajaran seumur
hidup. Profesionalisme pustakawan sangat diperlukan karena mereka
bekerja untuk publik, dan profesionalisme ini harus dipupuk melalui
kualitas pendidikan dan program yang menjamin kualitas kompetensi
SDM, seperti sertifikasi.
Pustakawan sebagai profesi hanya akan mendapat pengakuan jika
keberadaannya dirasakan manfaatnya oleh pengguna. Dan untuk
menghasilkan itu, perlu pustakawan yang kompeten mengetahui
kebutuhan pengguna, sekaligus memenuhinya. Satu-satunya cara untuk
mencapai itu adalah dengan mengembalikan pustakawan ke core business
nya, yakni: ilmu. Bahwa pustakawan adalah ilmuwan, harus berpikir dan
bertindak seperti ilmuwan, yang pada akhirnya akan mendapatkan
pengakuan dan penghargaan sebagai professional.
Penelitian ini berangkat dari pemikiran bahwa sebagai profesi,
seharusnya pustakawan juga mendapat tempat yang tepat di organisasi
pendidikan tinggi, dan juga mendapat penghargaan yang layak. Seperti
halnya dosen, seharusnya pustakawan juga mendapatkan penataan dan
perlakuan yang sama sebagai bagian dari sebuah universitas. Peran
pustakawan tidak dapat dipandang remeh mengingat berbagai keberhasilan
pendidikan tinggi di kancah nasional dan internasional banyak dicapai
berkat dukungan dan kerja keras pustakawan dalam menyediakan dan
mengelola sumber-sumber informasi yang dibutuhkan sivitas akademika
universitas tersebut. Hadirnya Undang-Undang No. 43 Tahun 2007
tentang Perpustakaan, yang menjadi acuan bagi pengembangan
perpustakaan di Indonesia dan ditindaklanjuti oleh Perpustakaan Nasional
Republik Indonesia dan pihak-pihak terkait untuk menyusun berbagai
program peningkatan kompetensi pustakawan merupakan momentum yang
tepat untuk mengkaji apakah program sertifikasi sudah saatnya dipikirkan
dan diselenggarakan.5
5
Harmawan. (2008). ”Kompetensi Pustakawan: antara harapan dan kerisauan.” Seminar
Nasional tentang Kompetensi dan Sertifikasi Profesi Pustakawan: Implikasi UU No. 43 Tahun
Pemahaman tentang sertifikasi juga harus dibangun berdasarkan
unsur-unsur keilmuan, manfaat, dan urgensinya bagi pengembangan
profesi pustakawan, serta kegunaannya bagi pengguna. Pustakawan tidak
seharusnya berfokus kepada penghargaan atau apresiasi dalam bentuk
materi dalam menjalankan profesinya, namun lebih mengutamakan fungsi
keberadaan mereka di tengah-tengah masyarakat sosial. Isu sertifikasi juga
seharusnya dikaitkan dengan otonomi pustakawan sehingga fokus utama
tidak semata-mata pada perolehan apresiasi dalam bentuk materi. Sebagai
pemangku profesi, pustakawan harus terus aktif memberikan masukan dan
pandangan dalam rangka meningkatkan eksistensinya di tengah-tengah
masyarakat. Karena itu kajian tentang sertifikasi perlu diperbanyak sebagai
bahan bagi para pengambil kebijakan (khususnya PNRI dan lembaga
terkait) dalam menyusun program-program pengembangan kepusta-
kawanan Indonesia6.
Gambar 1. Kerangka berpikir penelitian7
PerguruanTinggi UU No. 43 Tahun 2007 PNRI

Rancangan
Sertifikasi
dosen Pustakawan

peneliti mahasiswa

Otonomi Profesi
pustakawan
KAJIAN
Profesionali ILMIAH
sme

2007 tentang Perpustakaan. Surakarta, UPT Perpustakaan, 14 Oktober 2008


6
Jordan, Peter. (1998), “The Academic Library and Its Users.” England: Gower Publishing
Limited.
7
Kavanaugh, Irene M. and Wescott, Elizabeth C. (July, 1951), “A National Examination as a
Basis for Library Certification: A Survey of Opinion.” The Library Quarterly, Vol.21 No.3 form
URL: http://www.jstor.org/stable/4304024 Accessed: 05/10/2021 22:12
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Penetapan standar kompetensi menjadi langkah awal yang sangat
menentukan jika ingin melaksanakan program sertifikasi. Standar ini akan
menjadi acuan dalam mengukur kompetensi pustakawan. Penyusunan
standar diharapkan mencakup kompetensi hard skills, soft skills, dan social
skills.Khusus untuk pustakawan di pendidikan tinggi, kompetensi
manajerial dan leadership merupakan tuntutan utama.
B. Saran
Penting sekali melibatkan pustakawan, lembaga pendidikan
perpustakaan, serta pengguna perpustakaan dalam menetapkan standar
kompetensi pustakawan. Ini untuk memastikan bahwa alat ukur yang
digunakan adalah sesuai dengan tujuan pengukuran. Harus dipastikan
bahwa materi yang tercantum dalam standar kompetensi sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan kebutuhan pengguna perpustakaan.Materi
ini pun harus diintegrasikan dengan pengembangan kurikulum di lembaga
pendidikan perpustakaan.
DAFTAR PUSTAKA

Diana D Shonrock. (2007). ALA-APA Support Staff Certification: RUSA's Role.


Reference & User Services Quarterly, 46(3), 9-12. Retrieved October 1,
2011, from Academic Research Library. (Document ID: 1259611941)
Equating Professional Library Qualifications Source: Journal of Education for
Librarianship, Vol. 1, No. 1 (Summer, 1960), pp. 22-32. Published by:
Association for Library and Information Science Education (ALISE). Stable
URL: http://www.jstor.org/stable/40321357.Accessed: 0/10/2021 03:18
Harmawan. (2008). ”Kompetensi Pustakawan: antara harapan dan kerisauan.”
Seminar Nasional tentang Kompetensi dan Sertifikasi Profesi Pustakawan:
Implikasi UU No. 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan. Surakarta, UPT
Perpustakaan, 14 Oktober 2008
Jordan, Peter. (1998), “The Academic Library and Its Users.” England: Gower
Publishing Limited.
Kavanaugh, Irene M. and Wescott, Elizabeth C. (July, 1951), “A National
Examination as a Basis for Library Certification: A Survey of Opinion.”
The Library Quarterly, Vol.21 No.3 form URL: http://www.jstor.-
org/stable/4304024 Accessed: 05/10/2021 22:12

Anda mungkin juga menyukai