Anda di halaman 1dari 29

MEMAHAMI ILMU KALAM, ALIRAN-ALIRAN (KHAWARIJ, MURJI’AH,

SYI’AH, JABARIYAH, QADARIYAH, ASY’ARIYAH, AL MATURIDIYAH,


MU’TAZILAH, DAN TEOLOGI TRANSFORMATIF DAN TEOLOGI
PEMBEBASAN)
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Akidah Akhlak II

Dosen Pengampu:

Mujtahid, M.Ag

Disusun Oleh Kelompok 4:

1. Fitri Oktaviana (NIM. 19110105)


2. Lia Khozinatul Mufida (NIM. 19110106)
3. Sakinah Apliana Br. Rangkuti ( NIM. 19110107)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG

OKTOBER, 2021
KATA PENGANTAR

Sebelum menyusun makalah ini, tidak lupa terlebih dahulu kami panjatkan puji
dan syukur kehadirat Allah yang telah memberikan kemudahan, rahmat, taufik, dan
hidayah-Nya sehingga makalah ini dapat tersusun dengan baik tanpa ada halangan dan
rintangan apapun. Tak lupa shalawat serta salam juga kami panjatkan kepada Nabi
Muhammad yang telah membawa manusia dari zaman jahiliyah menuju ke zaman yang
penuh berkah ini, yang salah satunya bisa mengubah kondisi yang pada awalnya tidak
semua manusia bisa mengenyam pendidikan menjadi sebaliknya.

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Akidah Akhlak II
dengan judul “Memahami Ilmu Kalam, Aliran-Aliran (Khawarij, Murji’ah, Syi’ah,
Jabariyah, Qadariyah, Asy’ariyah, Al Maturidiyah, Mu’tazilah, dan Teologi
Transformatif dan Teologi Pembebasan)”. Hal ini tentunya membawa kabar baik bagi
para pembaca untuk bisa memahami lebih dalam mengenai materi ini.

Akhir kata, kami sebagai penulis sekaligus penyusun makalah ini mengucapkan
terimakasih sebesar-besarnya kepada semua pihak, baik itu pihak yang membantu
secara langsung penyelesaian makalah ini maupun tidak. Terutama bagi para pembaca
dan orang yang mau memberikan perhatian kepada makalah ini, kami berharap semoga
makalah ini tidak hanya dibaca dan diapresiasi saja secara kualitatif maupun
kuantitatif, melainkan juga menerapkan apa yang telah didapat dalam kehidupan
sehari-hari.

Tulungagung, 19 Oktober 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................................. i


DAFTAR ISI............................................................................................................................ ii
PENDAHULUAN ................................................................................................................... 1
1.1 LATAR BELAKANG .................................................................................................... 1
1.2 RUMUSAN MASALAH ................................................................................................ 2
1.3 TUJUAN ......................................................................................................................... 2
PEMBAHASAN ...................................................................................................................... 3
2. 1. Pengertian Ilmu Kalam ................................................................................................ 3
2. 2. Aliran Khawarij, Murji’ah, Syi’ah, Jabariyah, Qadariyah, Asy’ariyah, Al Maturidiyah,
Mu’tazilah ............................................................................................................................. 3
2.3.Teologi Transformatif atau Pembebasan ...................................................................... 22
PENUTUP.............................................................................................................................. 24
3.1. KESIMPULAN ............................................................................................................ 24
3.2. SARAN ........................................................................................................................ 24
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................ 25

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Sebagai umat Islam tentunya kita harus mengetahui berbagai macam aliran-
aliran yang ada didalamnya. Diantaranya ada beberapa aliran yang selama ini sudah
sangat terkenal di kalangan khalayak ramai di antaranya yaitu ada aliran Khawarij,
Murji’ah, Syi’ah, Jabariyah, Qadariyah, Asy’ariyah, Al Maturidiyah, Mu’tazilah, dan
Teologi Transformatif dan Teologi Pembebasan. Oleh karena itu tentunya kita harus
bisa mengidentifikasi masing-masing aliran tersebut agar mampu mengetahui
perbedaan dan bisa mengambil ibrah didalamnya. Selain itu tentunya setiap aliran
pasti mempunyai kekurangan dan kelebihan masing-masing. Namun hal itu tentunya
tidak menjadi halangan untuk kita mempelajarinya.

Juga dengan adanya berbagai macam aliran yang muncul ini tidak dipungkiri
lagi ada campur tangan dari beberapa pihak yang mempunyai tujuan tertentu. Bisa
saja tujuan politik ataupun tujuan yang lainnya. Selain itu di sisi lain umat Islam
masih ingin mempertahankan cara lama bahwa mereka mempunyai hak menjadi
pemimpin atau khalifah secara turun menurun sebagaimana yang telah ada sejak
zaman azali. Juga Manusia yang kodratnya sebagai khalifah fil ardhi atau pemimpin
yang ada di muka bumi ini berlomba-lomba ingin mempunyai aliran tersendiri
ataupun kelompok tersendiri, sebab mereka bisa dengan bebas menyampaikan apa
yang ingin mereka lakukan atau pemikiran mereka masing-masing. Oleh karena itu
dengan adanya berbagai macam ego dan pemahaman yang berbeda-beda tentunya
banyak sekali aliran yang muncul sehingga pro dan kontra tidak bisa dihindari lagi.
Juga dengan adanya makalah ini kami berharap supaya para pembaca bisa memahami
apa yang telah disampaikan dan bisa mengambil manfaat dari apa yang telah di baca.
Selain itu meskipun kami sudah membahas berbagai macam aliran dengan
semaksimal mungkin tentunya nya para pembaca supaya makalah ini bisa lebih baik
kedepannya. .

1
2

1.2 RUMUSAN MASALAH


1. Apa pengertian dari ilmu kalam?
2. Apa itu aliran Khawarij, Murji’ah, Syi’ah, Jabariyah, Qadariyah, Asy’ariyah, Al
Maturidiyah, Mu’tazilah?
3. Apa itu Teologi Transformatif dan Teologi Pembebasan?

1.3 TUJUAN
1. Untuk mengetahui dan memahami pengertian dari ilmu kalam
2. Untuk mengetahui dan memahami aliran Khawarij, Murji’ah, Syi’ah, Jabariyah,
Qadariyah, Asy’ariyah, Al Maturidiyah, Mu’tazilah
3. Untuk mengetahui dan memahami Teologi Transformatif dan Teologi
Pembebasan
BAB II

PEMBAHASAN

2. 1. Pengertian Ilmu Kalam

Pengertian ilmu kalam secara etimologi adalah pengertian ilmu kalam yang
dilihat dari bahasa. Secara harfiah kata Kalam berarti pembicaraan. Dalam pengertian,
pembicaraan yang bernalar dan menggunakan logika. Maka ciri utama IImu Kalam
adalah rasionalitas dan logis. Sehingga ilmu kalam sangat erat hubungannya dengan
ilmu mantiq/logika. Istilah lain dari Ilmu Kalam adalah teologi Islam, yang diambil
dari Bahasa Inggris, theology.

“Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa ilmu Kalam secara


etimilogi (bahasa) adalah IImu yang membicarakan bagaimana menetapkan
kepercayaan kepercayaan keagamaan (agama Islam) dengan bukti-bukti yang yakin.
IImu kalam disebut juga ilmu yang membahas soal-soal keimanan”.1

2. 2. Aliran Khawarij, Murji’ah, Syi’ah, Jabariyah, Qadariyah, Asy’ariyah, Al


Maturidiyah, Mu’tazilah

1. Aliran Khawarij
Kata khawarij secara etimologis berasal dari “bahasa arab kharaja yang berarti
keluar, muncul, timbul, atau memberontak. Adapun yang di maksud khawarij dalam
terminologi ilmu kalam adalah suatu sekte/kelompok/aliran pengikut Ali bin Abi
Thalib yang keluar meninggalkan barisan karena tidak sepakat terhadap Ali yang
menerima arbitrase/tahkim dalam perang siffin pada tahun 37 H/648 M dengan
kelompok bughat (pemberontakan) Mu’awiyah bin Abi Sufyan perihal persengketaan
khilafah. Khawarij merupakan aliran kalam tertua dalam Islam”, yang mana muncul

1
Harun Nasution, Teologi Islam (Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan), Universitas Indonesia,

Jakarta, 2010, cet II, h. 11

3
4

ketika terjadi kemelut politik di kalangan muslimin pada masa khalifah Ali bin Abi
Thalib. Perpecahan terjadi ketika pengikut dan pendukung khalifah tidak setuju dengan
kebijakan arbitrase atau tafkhim yang diambil oleh pihak khalifah Ali. Sehingga
Mu’awiyyah menyatakan keluar dari barisan Ali dan membuat kelompok sendiri.
Kaum khawarij pada umumnya terdiri dari orang orang arab Badawi yang hidup di
padang pasir yang tandus sehingga membuat mereka bersikap sederhana dalam
pemikiran dan hidup,tetapi keras hati, berani, bersifat merdeka, dan tidak bergantung
pada orang lain.2
“Mereka bersifat bengis, suka kekerasan, tidak takut mati, jauh dari ilmu
pengetahuan dan fanataik. Mereka tidak dapat mentolerir penyimpangan terhadap
aajaran islam menurut faham mereka, walaupun hanya penyimpanan dalam bentuk
kecil. Berakibat dengan mudahnya terpecah belah menjadi golongan golongan kecil,
dan mereka terus menerus mengadakan perlawanan terhadap pemerintahan islam pada
waktu itu. Dengan pemikiran kalam aliran khawarij yang paling menonjol adalah
tentang pelaku dosa besar yang menurut mereka tergolong rang kafir adalah sikap
menetang terhadap pemikiran kawarij sehingga prang yang tidah sepaham dengan
mereka tergolong kafir. Di samping itu, mereka mempunyai pemikiran yang khas
tentang definisi tentang iman. Yakni menurut mereka iman itu adalah meyakini dengan
hati,mengucapkan dengan lisan. Dan mengamalkan dengan anggota badan. Sejalan
dengan definisinya itu maka orang yang tidak mengamalkan ajaran
agamanya,termasuk kufur karena amal mempengaruhi iman”.
Dalam perkembangan selanjutnya, aliran khawarij ini menggiring persoalan ke
arah konsep kufr, yang mana didalamnya berkembang dengan berbagai sekte-sekte.
Diantaranya, sekte Muhakkimah berpendapat bahwa siapapun yang melakukan dosa
atau ketidaktaatan terhadap perintah Allah, harus dikecam sebagai orang yang
sungguh-sungguh kafir. Sekte Azariqah, yang berpendapat bahwa orang-orang yang
berdosa besar, bukanlah kafir tetapi musyrik-politeis. Sedangkan, sekte Najdiyiyyah,
erpendapat bahwa orang berdosa besar yang menjadi kafir dan kekal dalam neraka

2
Didin Komarudin, “Studi Ilmu Kalam I”, (Bandung: tp.p, 2015), hlm.37
5

hanyalah orang Islam yang tak sefaham dengan golongannya, sedangkan pengikutnya
jika mengerjakan dosa besar, betul akan mendapat siksaan, tetapi bukan dalam neraka
kemudian akan masuk surga. “Maka dapat disimpulkan pokok-pokok pikiran ilmu
kalam aliran khawarij, sebagai berikut:
1) Orang Islam yang melakukan dosa besar adalah kafir
2) Orang yang terlibat perang jamal yakni perang anrata pengikut Ali dan Pengikut
Aisyah serta pelaku arbitrase atau negosiasi antara Ali dan Mu’awiyyah dihukum
kafir. Khalifah menurut mereka tidak harus keturunan Nabi atau Suku Quraisy”
2. Aliran Murji’ah
“Murji’ah diambil dari kata irja’ atau arja’a yang bermakna penundaan,
penangguhan, dan pengharapan yang artinya memberi harapan kepada pelaku dosa
besar untuk memperoleh pengampunan dan rahmat dari Allah.3 Oleh karena itu
Murji’ah artinya orang yang menunda penjelasan kedudukan seseorang yang
bersengketa, yakni Ali dan Muawiyah serta pengikutnya hari kiamat kelak. Teori-teori
mengenai asal-usul kemunculan Murji’ah yaitu, teori pertama mengatakan bahwa irja’
atau arja’a dikembangkan sebagian sahabat dengan tujuan persatuan dan kesatuan umat
islam ketika terjadi pertikaian politik serta menghindari sektarianisme. 4 Murji’ah
diperkirakan lahir bersamaan dengan kemunculan Syiah dan Khawarij”
“Teori kedua mengatakan bahwa irja’ merupakan doktrin Murji’ah, muncul
pertama kali sebagai gerakan yang diperlihatkan oleh cucu Ali bin Abi Thalib, Al-
Hasan bin Muhammad Al-Hanafiyah tahun 695. Watt penggagas teori ini menceritakan
bahwa 20 tahun setelah kematian Muawiyah tahun 680, Al-Mukhtar membawa faham
Syiah ke Kuffah tahun 685-687, kemudian muncul respon gagasan irja’ atau
penangguhan sekitar tahun 695 oleh Al-Hasan dalam sebuah surat pendek yang
menunjukkan sikap politik untuk menanggulangi perpecahan umat. Al-Hasan

3
Rubini, “ Khawarij dan Murji’ah Perspektif Ilmu Kalam”, Jurnal Komunikasi dan Pendidikan Islam,
Vol. 7 No. 1, 2018, hlm. 98.

4
Ibid, hlm. 99.
6

kemudian mengelak berdampingan dengan kelompok Syiah yang mengagungkan Ali


dan pengikutnya serta menjauhkan diri dari Khawarij”.
“Teori ketiga, menceritakan bahwa terjadi perseteruan antara Ali dan
Muawiyah, dilakukanlah tahkim (abitrase) atas usulan Amr bin Ash, kaki tangan
Muawiyah dan kelompok Ali terpecah menjadi dua kubu pro dan kontra, salah satunya
adalah kubu kontra yaitu Khawarij yang berpendapat bahwa melakukan tahkim itu dosa
besar dan pelakunya dapat dihukumi kafir, seperti zina, riba, membunuh tanpa alasan
dan masih banyak lagi. Pendapat ini ditentang oleh kelompok Murji’ah yang
mengatakan bahwa pembuat dosa besar tetap mukmin, tidak kafir, sementara dosanya
diserahkan kepada Allah SWT”.
“Dalam perkembangannya, aliran Murji’ah terbagi dua, yakni Murji’ah ekstrim
dan Murji’ah moderat. Aliran Murji’ah ekstrem, seperti al-Jahmiah berpendapat bahwa
orang Islam yang percaya pada Allah dan kemudian menyatakan kekufuran secara lisan
tidaklah menjadi kafir, karena iman dan kufr tempatnya hanyalah dalam hati, bukan
bagian dari tubuh manusia.5 Al-Salihiah berpendapat bahwa iman adalah mengetahui
Allah dan kufr adalah tidak tahu pada Allah. Olehnya itu, ibadah mahdhah seperti
shalat, zakat, puasa, dan haji bukanlah ibadah kepada Allah melainkan hanya kepada
Allah. Di sisi lain, aliran Murji’ah moderat berpendapat bahwa iman adalah pengakuan
dalam hati tentang ke-Esaan Allah dan tentang kebenaran Rasul-rasul Allah serta
segala apa yang mereka bawa. Mengucapkannya dengan lisan dan mengerjakan rukun-
rukun Islam merupakan cabang dari iman. Orang yang berdosa besar, jika
meninggalkan dunia tanpa taubat, nasibnya terletak di tangan Allah. Ada kemungkinan
Allah akan mengampuni dosa-dosanya, tetapi ada pula kemungkinan Allah tidak akan
mengampuni dosa-dosanya dan akan menyiksanya sesuai dengan dosa-dosa yang
dibuatnya dan kemudian baru ia dimasukkan ke dalam surga, karena ia tak mungkin
akan kekal tinggal dalam neraka. Maka dapat disimpulkan pokok-pokok pikiran ilmu
kalam aliran Murji’ah, sebagai berikut”:

5
Ibid, 110-111
7

1) “Iman adalah percaya kepada Allah dan Rasul-Nya saja. Amal atau perbuatan itu
merupakan suatu keharusan bagi adanya iman. Seseorang dianggap mukmin walau
meninggalkan perbuatan dosa besar.
2) Dasar keselamatan adalah iman semata. Selama masih ada iman di hati, maksiat
tidak akan mendatangkan madharat atas seseorang untuk mendapatkan ampunan
maka cukup menjauhkan diri dari syirik dan mati dalam keadaan akidah tauhid”.
3. Aliran Syi’ah
“Syi’ah dilihat dari bahasa berarti pengikut, pendukung, partai, atau kelompok.
sedangkan secara terminologis adalah sebagian kaum muslim yang dalam bidang
spiritual dan keagamaannya selalu merujuk pada keturunan Nabi Muhammad SAW.
Adapun yang dimaksud madzhab syiah adalah paham yang mengagungkan keturunan
nabi Muhammad SAW, mereka mendahulukan keturunan-keturunan nabi untuk
menjadi khalifah yaitu Ali bin Abi Thalib. Syiah mempunyai pendirian bahwa Ali bin
Abi Thalib telah ditunjuk nabi dengan nash untuk menjadi khalifah sesudah ia wafat,
bahwa setiap orang yang menjadi imam wajib ma’sum. Ali sebenarnya tidak
menonjolkan diri untuk merebut kekhalifahan, beliau sadar bahwa yang berhak untuk
menjadi khalifah bukan karena keturunan tetapi harus melalui pemilihan umum dan
perseteruan umat”.6
“Secara umum syiah mempercayai bahwa Tuhan mereka adalah Allah SWT.
Hanya saja ada pandangan-pandangan mendasar dalam hal yang kemudian disebut
dengan konsep tauhid ini. Mereka percaya bahwa Allah adalah Tunggal dan tidak ada
sekutu. Selain itu syiah juga tidak mengakui bahwa Allah bersifat maha mendengar
dam melihat. Alasannya jika Allah demikian, maka Allah sama saja dengan Manusia.
Syiah juga meyakini Allah tidak bisa melihat hal-hal yang akan terjadi. Kaum Syi’ah
juga meyakini bahwa Allah SWT itu Esa, tempat bergantung semua makhluk, tidak
beranak dan tidak diperanakkan dan juga tidak serupa dengan makhluk yang ada di
bumi ini. Namun, menurut mereka Allah memiliki dua sifat yaitu al-tsubutiyah yang”

6
Muh. Ilham Usman, “Paham dan Aliran Akidah dalam Islam”, Al-Mutsla; Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman
dan Kemasyarakatan, vol 2 no 2, 2020, hlm.43
8

merupakan sifat yang harus dan tetap ada pada Allah SWT. Sifat ini mencakup ‘alim
(mengetahui), qadir (berkuasa), hayy (hidup), murid (berkehendak), mudrik (cerdik,
berakal), qadim azaliy baq (tidak berpemulaan, azali dan kekal), mutakallim (berkata-
kata) dan shaddiq (benar). Sedangkan sifat kedua yang dimiliki oleh Allah SWT yaitu
al-salbiyah yang merupakan sifat yang tidak mungkin ada pada Allah SWT. Sifat ini
meliputi bisa dilihat, bertempat, bersekutu, berhajat kepada sesuatu dan merupakan
tambahan dari Dzat yang telah dimiliki-Nya.
“Maka dapat disimpulkan pokok-pokok pikiran ilmu kalam aliran Murji’ah,
sebagai berikut:
1) Berkeyakinan bahwa yang dijadikan imam sesudah wafatnya Rasulullah SAW
ialah Ali bin Abi Thalib.
2) Ali adalah seseorang yang mewarisi segala pengetahuan yang ada pada nabi
bahkan ali dianggap ma’sum dari kesalahan.
3) Kaum Syi’ah meyakini bahwa Allah SWT itu Esa, tempat bergantung semua
makhluk, tidak beranak dan tidak diperanakkan dan juga tidak serupa dengan
makhluk yang ada di bumi ini. Syiah juga tidak mengakui bahwa Allah SWT
bersifat Maha Mendengar dan Melihat hal-hal yang akan terjadi. Alasannya jika
Allah demikian, maka Allah sama saja dengan Manusia”
4. Aliran Jabariyah
“Aliran Jabariyah muncul di masa pemerintahan Dinasti Umayyah berkuasa.
Kondisi sosiologis masyarakat sangat mendukung sehingga kelompok ini muncul.
Paham ini dikenal dengan sebutan fatalisme atau predestination. Kata jabariyah dalam
bahasa Arab berarti memaksa atau mengharuskan melakukan sesuatu. Dalam bahasa
Inggris, jabariyah disebut fatalisme, yaitu paham yang menyebutkan bahwa perbuatan
manusia telah ditentukan dari semula oleh qadha’ dan qadar Tuhan”.

“Secara terminologis, Jabariyah diartikan dengan aliran yang berkeyakinan


bahwa tidak adanya perbuatan manusia secara hakikat dan menyandarkan perbuatan
tersebut kepada Allah Swt. Segala perbuatan hanya terjadi dengan qudrat dan iradat-
Nya. Manusia tidak memiliki qudrat dan iradat.Manusia hanya merupakan wadah bagi
9

yang dikehendaki Allah Swt. Manusia tidak mampu melakukan sesuatu dan memang
tidak bisa disebut mampu.Didalam aktifitas, manusia terpaksa karena tidak memiliki
kemampuan, kehendak dan kebebasan. Pahala dan siksa serta kewajiban merupakan
keterpaksaan seperti semua perbuatan”.

“Aliran Jabariyah pertama kali dicetuskan oleh Ja’ad ibn Dirham. Namun
dalam sejarah tertulis bahwa penyebar paham ini adalah Jahm ibn Shafwan, yang lahir
di kota Samarkand, Khurasan, Iran dan menetap di Iraq. Jahm adalah seorang budak
yang sudah dimerdekakan (mawali). Aliran ini dimulai di kota Tirmizh (Iran Utara)
dan dikenal juga dengan aliran Jahmiyah”.

“Paham ini diduga berasal dari filsafat Yunani yang didirikan oleh Zeno (336-
264 sM) dari kota Citium pada tahun 30 sM yang kemudian dikembangkan oleh para
pengikutnya yang disebut dengan Stoisis (Rawwaqiyyun). Kata Stoisis diambil dari
nama gedung tempat ajaran filsafat ini dikembangkan yaitu Stoa.

Di sisi lain, saat filsafat Yunani mulai diadopsi oleh bangsa Persia, menjadi
pembahasan-pembahasan yang cukup mendapat tempat di kalangan ahli-ahli pikir.
Konsep yang dijadikan dasar adalah “ruang kosong” yang dikutip oleh Aristoteles,
yaitu everything that is in motion must be moved by something, bahwa segala sesuatu
yang bergerak, pasti digerakkan oleh sesuatu (spontanea).

Konsep ini dikaji oleh Iban ibn Sam’an, seorang Yahudi Syam, yang kemudian
disampaikan dan dipahami serta diyakini oleh Ja’ad ibn Dirham yang tidak lain adalah
guru dari Jahm ibn Shafwan. Namun diyakini bahwa pengadopsian konsep filsafat
Yunani ini hanya sebatas kulit saja (intifa’), bukan dalam bentuk substansi (ta’aththur).
Jahm ibn Shafwan pernah menjadi sekretaris Syuraih ibn al-Haris, salah satu tokoh
Murji’ah. Jahm pernah mengatakan bahwa manusia tidak memiliki kekuasaan untuk
berbuat apapun, manusia tidak memiliki daya, tidak memiliki kehendak sendiri dan
tidak memiliki pilihan, manusia dalam perbuatan-perbuatannya adalah dipaksa dengan
tidak ada kemauan dan pilihan baginya”.
10

“Aliran Jabariyah ini sangat disukai dan didukung oleh Dinasti Umayyah.
Namun karena Jahm ibn Shafwan terlibat pemberontakan terhadap rezim penguasa,
maka ditangkap dan dibunuh oleh Salma ibn Ahwaz al-Mazini, penguasa yang ditunjuk
oleh Dinasti Umayyah di Marwa, sebuah wilayah Turmekistan, Rusia. Pendapat lain
mengatakan bahwa kemunculan paham Jabariyah terpengaruh dari pahamajaran
Yahudi dan Nasrani, yaitu Yahudi sekte Qurro dan agama Nasrani bersekte
Ya’cubiyah. Dalam penyebaran paham, aliran Jabariyah ini menunjukkan dalil-dalil
alQur’an untuk mendukung pendapatnya, yaitu QS. Al-Shaffat: 96. QS.al-Anfal: 17,
QS. al-Hadid: 22, QS. al-Qamar: 49, QS. al-Rum: 40 dan QS. al-Syura: 12”.7

“Adapun doktrin Jabarīyah ekstrim dan moderat. Diantara doktrin Jabarīyah


ekstrim berpendapat bahwa segala perbuatan manusia bukan perbuatan yang timbul
dari kemauannya sendiri,tetapi perbuatan yang dipaksakan atas dirinya. Doktrin
Jabariyah moderat berpendapat bahwa manusia punya andil dalam mewujudkan
perbuatannya. Dalam pandangan Dhirar satu perbuatan dapat ditimbulkan oleh dua
pelaku, yaitu Tuhan dan manusia. Tuhan menciptakan perbuatan dan manusia
memperolehnya. Tuhan adalah pencipta hakiki dari perbuatan manusia, manusia turut
berperan dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dan inilah yang dimaksud
dengan kasb atau acquisition”

5. Aliran Qadariyah
“Pengertian Qadariyah secara etomologi, berasal dari bahasa Arab, yaitu qadara
yang bemakna kemampuan dan kekuatan. Adapun secara terminology qodariah
diartikan sebagai suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan makhluk tidak
diintervensi oleh Allah. Dalam bahasa Inggris qadariyah ini diartikan sebagai free will
and free act, bahwa manusialah yang mewujudkan perbuatan-perbuatan dengan
kemauan dan tenaganya. Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta
bagi segala perbuatannya, ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas”

7
Lailatul Maskhuroh, ‘Pemikiran Aliran Al-Najjariyah Sebagai Sekte Jabariyah Moderat’, Urwatul
Wutsqo, 4.September 2015 (2015), 89–97.
11

kehendaknya sendiri. Harun Nasution menegaskan bahwa aliran ini berasal dari
pengertian bahwa manusia mempunyai kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya,
dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan.
Sebab itulah faham seperti ini dinisbatkan dengan istilah Qadariyah.

“Ahmad Amin sebagaimana dikutip oleh Dr. Hadariansyah, orang-orang yang


berpaham Qadariyah adalah mereka yang mengatakan bahwa manusia memiliki
kebebasan berkehendak dan memiliki kemampuan dalam melakukan perbuatan.
Manusia mampu melakukan perbuatan, mencakup semua perbuatan, yakni baik dan
buruk. Muenurut Ahmad Amin sebutan Qodariyah ini diberikan kepada para pengikut
paham qadar oleh lawan mereka dengan merujuk pada hadits yang membut negate
nama Qodariah. Hadits itu berbunyi: “Kaum Qodariyah adalah majusinya umat ini”
(H.R. Abu Daud)

Secara history kemunculan Qodariah dan siapa tokoh utamanya masih


diperdebatkan. Versi pertama berasal dari Ahmad Amin berdasarkan pendapat
beberapa ahli teologi bahwa faham qadariyah ini pertama kali diperkenalkan oleh
Ma’bad Al-Jauhani dan Ghailan Ad-Dimaskus. Ma’bad Al-Jauhani adalah seorang
taba’i yang dapat dipercaya dan pernah berguru kepada Hasan Al-Bisri. Sementara
Ghailan adalah seorang orator berasal dari Damsakus dan ayahnya menjadi maula
Utsman bin Affan”.

Versi kedua, masih dikemukakan oleh Ahmad Amin berdasarkan pendapat


Ibnu Nabatah dalam kitabnya Syarh Al-Uyun bahwa faham Qadariyah ini pertama kali
dimunculkan oleh seorang Kristen Irak yang masuk Islam kemudian kembali kepada
Kristen. Dan dari orang inilahy Ma’bad dan Ghailin mengambil paham Qodariah.
orang Irak yang dimaksud sebagai mana dikatakan Muhammad Ibnu Sya’id yang
memperoleh informasi dari Al-Auzai bernama Susan.

Versi ketiga dikemukakan oleh W. Montgomery Watt melalui tulisan Hellmut


Ritter dalam bahasa Jerman yang dipublikasikan melalui majalah Der Islam pada tahun
1933. Artikel ini menjelaskan bahwa faham Qadariyah terdapat dalam kitab Risalah
12

dan ditulis untuk Kholifah Abdul Malik oleh Hasan Al-Basri sekitar tahun 700 M.
Hasan Al-Basri (642-728) adalah anak seorang tahanan di irak. Ia lahir dimadinah,
tetapi pada tahun 657, pergi ke Basrah dan tinggal disana sampai akhir hayatnya.
Apakah Hasan Al-Basri termasuk orang Qadariyah atau bukan, hal ini memang
menjadi perdebatan. Namun, yang jelas, -berdasarkan catatannya yang terdapat dalam
kitab Risalah ini ia percaya bahwa manusia dapat memilih secara bebas antara baik dan
buruk. Hasan yakin bahwa manusia bebas memilih antara berbuat baik atau berbuat
buruk.8

Adapun yang melatar belakangi timbulnya paham Qadarīyah disebabkan oleh


dua faktor. Pertama, faktor extern yaitu agama Nasrani, dimana jauh sebelumnya
mereka telah memperbincangkan tentang qaḍar Tuhan dalam kalangan mereka. Kedua,
faktor intern, yaitu merupakan reaksi terhadap paham Jabarīyah dan merupakan upaya
protes terhadap tindakan-tindakan penguasa Bani Umayyah yang bertindak atas nama
Tuhan dan berdalih kepada takdir Tuhan.9

“Doktrin-doktrin Pokok Qadariyah adalah manusia berkuasa atas perbuatan-


perbuatannya manusia yang melakukannya, baik atas kehendak maupun kekuasaannya
sendiri, dan manusia pula yang melakukan atau menjauhi perbuatan jahat atau kemauan
dan dayanya sendiri. Di antara dalil yang mereka gunakan adalah banyak ayat-ayat al-
Quran yang berbicara dan mendukung paham itu, seperti berikut: (Q.S. Al-Kahfi: 29),
(QS. Fush-Shilat : 40), (Q.S. Ar-Ra’d : 11), (Q.S. An-Nisa: 111)”.10

6. Aliran Asy’ariyah
Nama lengkap Al-Asy’ari ialah Abu al-Hasan ‘Alî ibn Ismail ibn Abu Basyar
Ishaq ibn Salim ibn Ismail ibn Abdillah ibn Musâ ibn Bilal ibn Abi Burdah ‘Amir ibn
Abû Musâ al-Asy’ari. Lahir di Basrah pada 260 H/875 M. Ketika berusia lebih dari 40

8
Didin Komarudin, ‘Studi Ilmu Kalam I’, UIN Sunan Gunung Djati, 2015, 88.

9
Muliati. Paham Qadariyah Dan Jabariyah: Suatu Kajian Teologi’, Istiqra’, 3.2 (2016), 254–60

10
Ibid,.hal 66
13

Tahun, ia hijrah ke kota Baghdad dan wafat di sana pada tahun /324 H/935 M. Abu al-
Hasan al-Asy'ari pada mulanya belajar membaca, menulis dan menghafal al-qur’an
dalam asuhan orang tuanya, yang kebetulan meninggal dunia ketika ia masih kecil.
Selanjutnya dia belajar kepada ulama Hadis, Fiqh, Tafsir dan bahasa antara lain kepada
al-Saji, Abu Khalifah al-Jumhi, Sahal Ibn Nuh, Muhammad Ibn Ya'kub, ‘Abd al-
Rahman Ibn Khalf dan lain-lain. Demikian juga ia belajar Fiqih Syafi'i kepada seorang
faqih: Abu Ishaq al-Maruzi (w.340 H./951 M.)-seorang tokoh Mu’tazilah di Bashrah.

“Sampai umur 40 tahun ia selalu bersama Abu ‘Ali al-Jubbai, serta ikut
berpartisipasi dalam mempertahankan ajaran-ajaran Mu’tazilah. Al-Asy’arî adalah
murid dan belajar ilmu kalam dari seorang tokoh Mu’tazilah, yaitu Abu ‘Ali al-Jubbai,
malah Ibn ‘Asakir mengatakan bahwa al-Asy’ari belajar dan terus bersama gurunya
itu, selama 40 tahun, sehingga al-Asy’ari pun termasuk tokoh Mu’tazilah. Dan karena
kepintaran serta kemahirannya, ia sering mewakili gurunya itu dalam berdiskusi.
Namun pada perkembangan selanjutnya, al- Asy’ari menjauhkan diri dari pemikiran
Mu’tazilah dan selanjutnya condong kepada pemikiran para fuqaha’ dan ahli hadis”.

Yang melatar belakangi sebab Teologi Asy’ariyah muncul adalah karena tidak
terlepas dari, atau dipicu oleh situasi sosial politik yang berkembang pada saat itu.
Teologi Asy’ari muncul sebagai teologi tandingan dari aliran Mu’tazilah yang bercorak
rasionil. Aliran Mu’tazilah ini mendapat tantangan keras dari golongan tradisionil
Islam terutama golongan Hanbali.11

Al-Asy’ariyah adalah pengikut Abu Hasan Ali bin Isma'il alAsy’ariy, yang
kemudian berkembang menjadi salah satu aliran teologi yang penting dalam Islam,
yang selanjutnya dikenal dengan aliran al-Asy’ariyah, yaitu nama yang dinisbahkan
kepada Abu Hasan al-Asy’ariy sebagai peletak dasardasar aliran ini. Al-Asy’ariy hidup
antara tahun 260-324 H, atau lahir akhir abad III dan awal abad IV H. Pada abad ini
dikenal ada tiga aliran dalam peta sejarah pemikiran Islam, yaitu pertama, Aliran

11
Supriadin, ‘AL-ASY’ARIYAH (Sejarah, Abu Al-Hasan Al-Asy’ari Dan Doktrin-Doktrin Teologinya’,
Sulesana, 9.2 (2014), 61–80.
14

Salafiah, yang dipelopori oleh al-Imam Ahmad bin Hanbal. Aliran ini dikenal sangat
tekstual, yaitu menjadikan nash sebagai satu-satunya poros dan alat dalam memahami
aqidah-aqidah Islam;

“kedua, Aliran Filosof Islam yang memahami aqidah-aqidah Islam dan


membelanya harus berdasarkan akal dan naql dengan bertolak pada kebenaran-
kebenaran akal sebagai satu-satunya sumber pengetahuan; ketiga, aliran Mu'tazilah,
aliran yang memadukan antara akal dan naql dengan tetap menjadikan akal sebagai
penentu bila lahiriah nash bertentangan dengan kebenaran-kebenaran akal (dalildalil
logika). Al-Asy’ariy pada mulanya termasuk pengikut aliran Mu'tazilah sampai beliau
berumur 40 tahun dan pada akhirnya beliau membentuk corak pemikiran yang berbeda
dari ketiga aliran tersebut, beliau berusaha memadukan keduanya dengan tetap
berpedoman bahwa akal harus tunduk pada nash”.

“Metode al-Asy’ariy ini, diikuti oleh ulama yang datang setelahnya dan
menisbahkan pendapat-pendapat mereka kepada alAsy’ariyah, mereka inilah yang
berperan dalam mengembangkan pendapat-pendapat al-Asy’ariy dengan
menggunakan dalil-dalil logika yang rasional menghampiri kerasionalan Mu'tazilah.12

Tokoh-Tokoh Besar Aliran Asy’ariah

1. Abu Hasan Al-Asy’ari


2. Abu Bakar Al-Baqillani (403 H = 1013 M)
3. Imam Al-Haramain (478 H = 1058 M)
4. Al-Ghazali (505 H = 1111 M)
5. Al-Syahrastani (548 H = 1153 M)
6. Fakhr Al-Din Al-Razi (606 H=1209 M)”

Doktrin-doktrin Teologi Al-Asy’ari (875-935 M):

12
Muhammad Syarif Hasyim, ‘AL- ASY’ARIYAH (Studi Tentang Pemikiran Al-Baqillani, Al-Juwaini, Al-
Ghazali)’, Jurnal Hunafa Vol. 2 No. 3 Desember 2005, 2013, 1–19.
15

a. Tuhan dan sifat-sifatnya


b. Kebebasan dalam berkehendak (free-will)
c. Akal dan wahyu, dan kriteria baik dan buruk
d. Qadirnya Al-Quran
e. Melihat Allah
f. Keadilan
g. Kedudukan orang berdosa.13

7. Aliran Al Maturidiyah
“Berdasarkan buku Pengantar Teologi Islam, aliran Maturidiyah diambil dari nama
pendirinya, yaitu Abu Mansur Muhammad bin Muhammad. Aliran Maturidiyah
merupakan aliran teologi dalam Islam yang didirikan oleh Abu Mansur Muhammad al-
Maturidiyah dalam kelompok Ahli Sunnah Wal Jamaah yang merupakan ajaran teknologi
yang bercorak rasional. Jika dilihat dari metode berpikir dari aliran Maturidiyah, aliran ini
merupakan aliran yang memberikan otoritas yang besar kepada akal manusia, tanpa
berlebih-lebihan atau melampaui batas. Maksudnya aliran Maturidiyah berpegang pada
keputusan akal pikiran dalam hal-hal yang tidak bertentangan dengan syara’. Sebaliknya
jika hal itu bertentangan dengan syara’, maka akal harus tunduk kepada keputusan syara.”
Tokoh – tokoh Al – Ma’turidiyah :
1. Al Maturidiyah Samarkhan
2. Al-Maturidiyah Bukhara (Al-Bazdawi)14
Pengaruh Pemikiran Ma’turidiyah:

a. Akal dan wahyu

“Dalam pemikiran teologinya, Al-Maturidi mendasarkan pada Al-Qur’an dan


akal. Dalam hal ini, ia sama dengan Al-Asy’ari. Akan tetapi porsi yang diberikan pada

13
Ibid., hal. 135

14
Mudhir, Respon Masyarakat Terhadap Produk Tafsir Majlis Tafsir Al-Qur’an Semarang, IAIN

Walisongo, Semarang, 2009, h. 15


16

akal lebih besar daripada yang diberikan oleh Al-Asy’ari. Menurut Al-Maturidi,
mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan dapat diketahui dengan akal.
Kemampuan akal mengetahui dua hal tersebut sesuai dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang
mengandung perintah agar manusia menggunakan akal dalam usaha memperoleh
pengetahuan dan iman terhadap Allah melalui pengamatan dan pemikiran yang mendalam
tentang makhluk ciptaan-Nya. Apabila akal tidak mempunyai kemampuan memperoleh
pengetahuan tersebut, Allah tidak akan memerintahkan manusia untuk melakukannya.
Orang yang tidak mau menggunakan akal untuk memperoleh iman dan pengetahuan
mengenai Allah berarti meninggalkan kewajiban yang diperintahkan ayat-ayat tersebut.
Menurut Al-Maturidi, akal tidak mampu mengetahui kewajiban-kewajiban lainnya,
kecuali dengan bimbingan dari wahyu. Al-Maturidi membagi sesuatu yang berkitan
dengan akal pada tiga macam, yaitu”:

1) Akal hanya mengetahui kebaikan sesuatu itu;

2) Akal hanya mengetahui keburukan sesuatu itu;

3) Akal tidak mengetahui kebaikan dan keburuksn sesuatu, kecuali dengan petunjuk ajaran
wahyu.15

b. Perbuatan Manusia

“Menurut Al-Maturidi, perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan karena segala


sesuatu dalam wujud ini adalah ciptaan-Nya. Khusus mengenai perbuatan manusia,
kebijaksanaan dan keadilan kehendak Tuhan mengharuskan manusia memiliki
kemampuan berbuat (ikhtiar) agar kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya
dapat dilaksanakan”

Dalam hal ini, Al-Maturidi mempertemukan antara ikhtiar sebagai perbuatan


manusia dengan kodrat Tuhan sebagai pencipta perbuatan manusia. Tuhan menciptakan
daya (kasb) dalam diri manusia dan manusia bebas menggunakannya. Daya-daya tersebut

15
Abbas, Nukman. 2002 Al-Asy’ari. Jakarta : Erlangga
17

diciptakan dengan perbuatan manusia. Dengan demikian, tidak ada pertentangan antara
kodrat Tuhan yang menciptakan perbuatan manusia dengan ikhtiar yang ada pada
manusia. Kemudian, karena daya diciptakan dalam diri manusia dan perbuatan yang
dilakukan adalah perbuatan manusia dalam arti yang sebenarnya sehingga daya itu daya
manusia.

“Dalam hal pemakain daya, Al-Maturidi membawa paham Abu Hanifah, yaitu
adanya masyi’ah (kehendak) dan rida (kerelaan), kebebasan manusia dalam melakukan
baik ataun buruk tetap dalam kehendak Tuhan. Tetapi memilih yang diridai-Nya atau yang
tidak diridai-Nya. Manuisa berbuat baik atas kerelaan Tuhan, dan berbuat buruk juga atas
kehendak Tuhan, tetapi tidak ada kerelaan-Nya. Dengan demikian, manusia dalam paham
Al-Maturidi tidak sebebas manusia dalam pahara Mu’tazilah”.16

c. Kekuasaan dan Kehendak mutlak Tuhan

. “Telah diuraikan di atas bahwa perbuatan manusia dan segala sesuatu dalam
wujud ini, yang baik atau buruk adalah ciptaan Tuhan. Akan tetapi, pernyataan ini menurut
Al-Maturidi bukan berati Tuhan berkehendak dan berbuat dengan sewenang-wenang serta
sekehendak-Nya, karena qudrat Tuhan tidak sewenang-wenang (absolut),tetapi perbuatan
dan kehendak-Nya itu berlangsung sesuai dengan hikmah dan keadilan yang sudah
ditetapkan-Nya”.
d. Sifat Tuhan

“Berkaitan dengan masalah sifat Tuhan, dapat ditemukan persamaan antara


pemikiran Al-Maturidi dengan Al-Asy’ari. Seperti halnya Al-Asy’ari, ia berpendapat
bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat, seperti sama’bashar, dan sebagainya. Walaupun
begitu, pengertian Al-Maturidi tentang sifat Tuhan berbeda dengan Al-Asy’ari. Al-
Asy’ari mengartikan sifat Tuhan sebagai sesuatu yang bukan dzat. Menurut Al-Maturidi,
sifat tidak dikatakan sebagai esensi-Nya. Sifat-sifat Tuhan Tuhan itu mulazamah (ad
bersama, baca inherent) dzat tanpa terpisah (innaha lam takun ‘ain adz-dzat wa la hiya”

16
Mu’in, Taib Thahir Abdul. 1986. ilmu kalam. Jakarta : Widjaya Jakarta
18

ghairuhu). Menetapkan sifat bagi Allah tidak harus membawa pada pengertian
antropomorfisme karena sifat tidak berwujud yang terdiri dari dzat, sehingga berbilang
sifat tidak akan membawa pada berbilangnya yang qadim(taaddud al-
qudama).Tampaknya, paham Al-Maturidi tentang makna sifat Tuhan cenderung
mendekati paham Mu’tazilah. Perbedan keduanya terletak pada pengakuan Al-Maturidi
tentang adanya sifat-sifat Tuhan, sedangkan Mu’tazilah menolak adanya sifat-sifat Tuhan.
e. Tuhan

“Melihat Al-Maturidi mengatakan bahwa manusia dapat melihat Tuhan.


Tentang melihat Tuhan ini dibeeritakan oleh Al-Qur’an, diantara lain firman Allah dalam
surat Al-Qiyamah ayat 22 dan 23. Al-Maturidi lebih lanjut mengatakan bajwa Tuhan kelak
di akhirat dapat ditangkap dengan penglihatan karena Tuhan mempunyai wujud,
walaupun ia immaterial. Melihat Tuhan kelak di akhirat tidak meperkenalkan bentuknya
(bila kaifa) karena keadaan diakhirat tidak sama dengan keadaan di dunia”
f. Kalam Tuhan

“Al-Maturidi membedakan antara kalam yang tersusun dengan huruf dan


bersuara dengan kalam nafsi (sabda yang sebenarnya atau makna abstrak). Kalam nafsi
adalah sifat qadim bagi Allah, sedangkan kalam yang tersusun dari huruf dan suara adalah
baharu(hadis). Al-Qur’an dalam arti kalam yang tersusun dari huruf dan kata-kata adalah
baharu (hadis). Kalam nafsi dan manusia tidak dapat mendengar atau membacanya,
kecuali dengan perantara.
Menurut Al-Maturidi, Mu’tazilah memandang Al-Quran sebagai yang tersusun
dari huruf-huruf dan kata-kata, sedangkan Al-Asy’ari memandang nya dari segi makna
abstrak. Berdasarkan setiap pandangan tersebut, kalam Allah menurut Mu’tazilah bukan
sifat-Nya dan bukan pula lain dari dzat-Nya”
Al-Qur’an sebagai sabda Tuhan bukan sifat, melainkan perbuatan yang
diciptakan Tuhan dan tidak bersifat kekal. Pendapat Mu’tazilah ini diterima Al-Maturidi,
tetapi Al-Maturidi lebih suka menggunakan istilah hadis sebagai ganti Makhluk untuk
sebutan Al-Quran. Dalam konteks ini, pendapat Al-Asy’ari juga ada kesamaan dengan
19

pendapat Al-Maturidi karena yang dimaksud Al-Asy’ari dengan sabda adalah makna
abstrak, tidak lain dari kalam nafsi menurut Al-Maturidi dan itu sifat kekal Tuhan.
g. Perbuatan Manusia

“Menurut Al-Maturidi tidak ada sesuatu yang terdapat dalam wujud ini, kecuali
semua adalah dalam kehendak Tuhan. Kehendak Tuhan tidak ada yang memaksa atau
membatasinya, kecuali ada hikmah dan keadiln yang ditentukan oleh kehendak-Nya. Oleh
karena itu, Tuhan idak wajib bagi-Nya berbuat ash-ashlah (yang baik dan terbaik bagi
manusia). Setiap perbuatan Tuhan yang bersifat mencipta atau kewajiban-kewajiban yang
dibebankan kepada manusia tidak terlepas dari hikmah dan keadilan yang
dikehendakinya. Kewajiban-kewajiban tersebut antara lain.
(1) Tuhan tidak akan membebankan kewajiban-kewajiban kepada manusia diluar
kemampuannya karena hal tersebut tidak sesuai dengan keadilan, dan manusia juga diberi
Tuhan kemerdekaan dalam kemampuan dan perbuatannya.
(2) Hukuman atau ancaman dan janji pasti terjadi karena yang demikian merupakan
tuntutan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya”17
8. Aliran Mu’tazilah
“Mu'tazilah berasal dari kata I'tazalah berarti terpisah atau memisahkan diri
yang juga mempunyai arti menjauh atau menjauhkan diri atau juga mengasingkan diri.
Mu'tazilah adalah salah satu aliran teologi dalam islam yang dapat dikelompokkan
sebagai kaum rasionalis islam, sedangkan arti dari teologi itu sendiri adalah ilmu
pengetahuan yang berkaitan dengan tuhan.
Mu’tazilah sebagai sebuah aliran teologi memiliki akar dan produk pemikiran
tersendiri. Yang dimaksud akar pemikiran di sini adalah dasar dan pola pemikiran yang
menjadi landasan pemahaman dan pergerakan mereka. Sedangkan yang dimaksud
produk pemikiran adalah konsep-konsep yang dihasilkan dari dasar dan pola pemikiran
yang mereka yakini tersebut”

17
Mu’in, Taib Thahir Abdul. 1986. ilmu kalam. Jakarta : Widjaya Jakarta
20

“Mu’tazilah adalah kelompok yang mengadopsi faham qodariyah, yaitu faham


yang mengingkari takdir Allah; dan menjadikan akal (rasio) sebagai satu-satunya sumber
dan metodologi pemikirannya. Dari sinilah pemikiran Mu’tazilah berakar dan
melahirkan berbagai kongklusi teologis yang menjadi ideologi yang mereka yakini.
Kelima dasar pemikiran tersebut adalah: al-tauhid, al-a’dl (keadilan Allah), al-wa’d
wa’lwa’id (janji dan ancaman Allah), al-manzilatu baina ‘lmanzilataini, al-amru
bilma’ruf wa al-nahyu ‘ani’munkar. Secara ringkas lima dasar pemikiran mu’tazilah ini
di jelaskan dalam mausu’ah WAMY, berikut kutipannya dengan sedikit perubahan”:
(1) Al-Tauhid

“Mereka meyakini bahwa Allah di sucikan dari perumpamaan dan permisalan (laisa
kamislihi syai-un) dan tidak ada yang mampu menentang kekuasaan-Nya serta tidak
berlaku pada-Nya apa yang berlaku pada manusia. Ini adalah faham yang benar, akan
tetapi dari sini mereka menghasilkan konklusi yang bathil: kemustahilan melihat Allah
sebagai konsekwensi dari penegasian sifat-sifat (yang menyerupai manusia); dan
keyakinan bahwa al-Qur’an adalah makhluk sebagai konsekwensi dari penegasian
Allah memiliki sifat kalam”.

(2) Al ‘adl (keadilan Allah)

“Maksud mereka dengan keadilan Allah adalah bahwa Allah tidak menciptakan
perbuatan hamba-hamba-Nya dan tidak menyukai kerusakan. Akan tetapi hamba-
hamba-Nyalah yang melakukan apa-apa yang diperintahkan-Nya dan meninggalkan
apa-apa yang dilarang-Nya dengan kekuatan (qudrah) yang Allah jadikan buat mereka.
Dan bahwasanya Allah tidak memerintah kecuali dari yang dibenci-Nya. Dan Allah
adalah penolong bagi terlaksananya kebaikan yang diperintahkan-Nya dan tidak
bertanggungjawab atas terjadinya kemungkaran yang dilarang-Nya”

(3) Al-manzilatu bainalmanzilataini

“Maksud mereka adalah bahwa pendosa besar berada di antara dua kedudukan, ia tidak
berada dalam kedudukan mukmin juga kafir”.
21

(4) Al-amru bilma’ruf wa al-nahyu ‘ani’lmungkar

“Mereka menetapkan bahwa hal ini (al-amru bilma’ruf wa al-nahyu


‘ani’lmungkar) adalah kewajiban seluruh mu’minin sebagai bentuk penyebaran
dakwah islam; penyampaian hidayah bagi mereka yang tersesat; dan bimbingan bagi
mereka yang menyimpang. Semuanya dilakukan sesuai kemampuan, bagi yang mampu
dengan penjelasan maka dengan penjelasan, yang mampu dengan pedang maka dengan
pedang.

Dari pemaparan tentang pemikiran mu’tazilah di atas, terlihat bahwa akal


adalah satu-satunya sandaran pemikiran mereka. Oleh karena itu, terkenallah bahwa
mu’tazilah adalah pengusung teolagi nasionalitas. Teologi nasionalitas yang di usung
kaum mu’tazilah tersebut bercirikan :

Pertama, kedudukan akal tinggi di dalamnya, sehingga mereka tidak mau


tunduk kepada arti harfiah dari teks wahyu yang tidak sejalan dengan pemikiran
filosofis dan ilmiyah. Mereka tinggalkan arti harfiah teks dan ambil arti majazinya,
dengan lain kata mereka tinggalkan arti tersurat dari nash wahyu dan mengambil arti
tersiratnya. Mereka dikenal banyak memakai ta’wil dalam memahami wahyu”

“Kedua, Akal menunjukan kekkuatan manusia, maka akal yang kuat


menggambarkan manusia yang kuat, yaitu manusia dewasa, manusia dewasa, berlainan
dengan anak kecil, mampu berdiri sendiri, mempunyhaio kebebasan dalam kemauan
serta perbuatan, dan mampu berpikir secara mendalam. Karena itu aliran ini menganut
faham qadariah, yang di barat dikenal dengan istilah free-will and free-act, yang
membawa kepada konsep manusia yang penuh dinamika, baik dalam perbuatan
maupun pemikiran”.

“Ketiga, Pemikiran filisofis mereka membawa kepada penekanan konsep


Tuhan Yang Maha Adil. Maka keadilan Tuhanlah yang menjadi titik tolak pemikiran
teologi mereka. Keadilan Tuhan membawa mereka selanjutnya kepada keyakinan
adanya hukum alam ciptaan Tuhan, dalam al-Qur’an disebut Sunnatullah, yang
22

mengatur perjalanan apa yang ada di alam ini. Alam ini berjalan menurut peraturan
tertentu, danperaturan itu perlu dicari untuk kepentingan hidup manusia di dunia ini”.18

2.3. Teologi Transformatif atau Pembebasan


“Secara etimologi, teologi berasal dari bahasa yunani yaitu theologia yang terdiri dari
kata Theos yang berarti Tuhan atau Dewa, dan Logos yang artinya ilmu. Menurut Moeslim
Abdurrahman, istilah dan pengertian tentang Islam transformatif adalah Islam yang membuat
distingsi dengan proses modernisasi atau modernitas yang bekerja dengan menghubungkan
refleksi teologis dengan pembacaan konstruk masyarakat agar dapat menimbulkan gerakan-
gerakan transformasi sosial. Hal ini karena menurut Moeslim Abdurrahman, di dalam proses
modernisasi itu banyak orang yang semakin tidak peduli terhadap persoalan perubahan atau
proses sosial yang semakin memarginalkan orang- orang yang tidak punya akses dengan
pembangunan”

“Pemikiran Islam transformatif adalah pemikiran baru. Meskipun gagasan dasarnya


sudah lama, yakni menghendaki agar kaum muslim menciptakan tata sosial- moral yang adil
dan egaliter, dalam rangka menghilangkan penyelewengan di atas dunia, fasd fi al- ardl,
melalui pertimbangan aspek sosiologis dan ilmu-ilmu sosial.6 Jadi pengertian Islam
transformatif di sini menjadi sangat jelas, yakni komitmen kita (sebagai makhluk zoon
politicon) terhadap mereka yang tertindas, untuk bersama-sama mengusahakan pembebasan”

“Dari pemaparan tentang pengertian- pengertian di atas, dapat diperoleh pemahaman


bahwa pada hakekatnya Islam transformatif adalah transformasi kesadaran. Transformasi
kesadaran yang dimaksud adalah kesadaran untuk mengubah masyarakat dari kondisinya yang
sekarang menuju kepada keadaan lebih dekat dengan tatanan yang ideal. Moeslim
Abdurrahman memberikan dasar-dasar teologi transformatif sebagai berikut”:

1. Teologi bertautan dengan visi sosial


2. Artikulasi pesan agama dan bukan agama itu sendiri dalam wujudnya yang wadag
(pemahaman pasca- konvensional ortodoksi agama)
3. Model ideal yang dirumuskan dari proses dialog antara super struktur dan dan realitas atau
antara teks dan konteks

18
Mu’in, Taib Thahir Abdul. 1986. ilmu kalam. Jakarta : Widjaya Jakarta
23

4. Basis otoritasnya bertumpu dan untuk kepentingan umat. Jadi profesionalisme agama
bertujuan sebagai pendampingan saja19

19
Mu’in, Taib Thahir Abdul. 1986. ilmu kalam. Jakarta : Widjaya Jakarta
BAB III

PENUTUP

3. 1. KESIMPULAN
Sebagaimana yang kita ketahui ilmu kalam secara etimologi adalah pengertian ilmu
kalam yang dilihat dari bahasa. Secara harfiah kata Kalam berarti pembicaraan. Dalam
pengertian, pembicaraan yang bernalar dan menggunakan logika. ada beberapa aliran yang
selama ini sudah sangat terkenal di kalangan khalayak ramai di antaranya yaitu ada aliran
Khawarij, Murji’ah, Syi’ah, Jabariyah, Qadariyah, Asy’ariyah, Al Maturidiyah,
Mu’tazilah, dan Teologi Transformatif dan Teologi Pembebasan.

3. 2. SARAN
Dalam diri manusia yang kodratnya sebagai khalifah fil ardhi atau pemimpin yang
ada di muka bumi ini berlomba-lomba ingin mempunyai aliran tersendiri ataupun
kelompok tersendiri, sebab mereka bisa dengan bebas menyampaikan apa yang ingin
mereka lakukan atau pemikiran mereka masing-masing. Oleh karena itu dengan adanya
berbagai macam ego dan pemahaman yang berbeda-beda tentunya banyak sekali aliran
yang muncul sehingga pro dan kontra tidak bisa dihindari lagi. Juga dengan adanya
makalah ini kami berharap supaya para pembaca bisa memahami apa yang telah
disampaikan dan bisa mengambil manfaat dari apa yang telah di baca. Selain itu meskipun
kami sudah membahas berbagai macam aliran dengan semaksimal mungkin tentunya nya
para pembaca supaya makalah ini bisa lebih baik kedepannya

24
DAFTAR PUSTAKA

Abbas, Nukman. 2002. Al-Asy’ari. Jakarta : Erlangga


Komarudin, Didin. 2015. Studi Ilmu Kalam I. Bandung: tp.p
Maskhuroh, Lailatul. 2015. Pemikiran Aliran Al-Najjariyah Sebagai Sekte Jabariyah Moderat.
Urwatul Wutsqo
Mu’in, Taib Thahir Abdul. 1986. Ilmu Kalam. Jakarta : Widjaya Jakarta
Mudhir. 2009. Respon Masyarakat Terhadap Produk Tafsir Majlis Tafsir Al-Qur’an. Semarang:
IAIN Walisongo
Muliati. 2016. Paham Qadariyah Dan Jabariyah: Suatu Kajian Teologi’, Istiqra
Nasution, Harun. 2002. Teologi Islam (Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan),
Universitas Indonesia,
Supriadin. 2014. ‘AL-ASY’ARIYAH (Sejarah, Abu Al-Hasan Al-Asy’ari Dan Doktrin-Doktrin
Teologinya’.
Hasyim, Muhammad Syarif. 2013. ‘AL- ASY’ARIYAH (Studi Tentang Pemikiran Al-Baqillani,
Al-Juwaini, Al-Ghazali)’, Jurnal Hunafa Vol. 2 No. 3
Rubini. 2018. Khawarij dan Murji’ah Perspektif Ilmu Kalam. Jurnal Komunikasi dan
Pendidikan Islam, Vol. 7 No. 1
Usman, Muh. Ilham. 2020. Paham dan Aliran Akidah dalam Islam. Al-Mutsla; Jurnal Ilmu-ilmu
Keislaman dan Kemasyarakatan, vol 2 no 2, 2020

25
26

Anda mungkin juga menyukai