Dosen Pengampu:
Mujtahid, M.Ag
OKTOBER, 2021
KATA PENGANTAR
Sebelum menyusun makalah ini, tidak lupa terlebih dahulu kami panjatkan puji
dan syukur kehadirat Allah yang telah memberikan kemudahan, rahmat, taufik, dan
hidayah-Nya sehingga makalah ini dapat tersusun dengan baik tanpa ada halangan dan
rintangan apapun. Tak lupa shalawat serta salam juga kami panjatkan kepada Nabi
Muhammad yang telah membawa manusia dari zaman jahiliyah menuju ke zaman yang
penuh berkah ini, yang salah satunya bisa mengubah kondisi yang pada awalnya tidak
semua manusia bisa mengenyam pendidikan menjadi sebaliknya.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Akidah Akhlak II
dengan judul “Memahami Ilmu Kalam, Aliran-Aliran (Khawarij, Murji’ah, Syi’ah,
Jabariyah, Qadariyah, Asy’ariyah, Al Maturidiyah, Mu’tazilah, dan Teologi
Transformatif dan Teologi Pembebasan)”. Hal ini tentunya membawa kabar baik bagi
para pembaca untuk bisa memahami lebih dalam mengenai materi ini.
Akhir kata, kami sebagai penulis sekaligus penyusun makalah ini mengucapkan
terimakasih sebesar-besarnya kepada semua pihak, baik itu pihak yang membantu
secara langsung penyelesaian makalah ini maupun tidak. Terutama bagi para pembaca
dan orang yang mau memberikan perhatian kepada makalah ini, kami berharap semoga
makalah ini tidak hanya dibaca dan diapresiasi saja secara kualitatif maupun
kuantitatif, melainkan juga menerapkan apa yang telah didapat dalam kehidupan
sehari-hari.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Juga dengan adanya berbagai macam aliran yang muncul ini tidak dipungkiri
lagi ada campur tangan dari beberapa pihak yang mempunyai tujuan tertentu. Bisa
saja tujuan politik ataupun tujuan yang lainnya. Selain itu di sisi lain umat Islam
masih ingin mempertahankan cara lama bahwa mereka mempunyai hak menjadi
pemimpin atau khalifah secara turun menurun sebagaimana yang telah ada sejak
zaman azali. Juga Manusia yang kodratnya sebagai khalifah fil ardhi atau pemimpin
yang ada di muka bumi ini berlomba-lomba ingin mempunyai aliran tersendiri
ataupun kelompok tersendiri, sebab mereka bisa dengan bebas menyampaikan apa
yang ingin mereka lakukan atau pemikiran mereka masing-masing. Oleh karena itu
dengan adanya berbagai macam ego dan pemahaman yang berbeda-beda tentunya
banyak sekali aliran yang muncul sehingga pro dan kontra tidak bisa dihindari lagi.
Juga dengan adanya makalah ini kami berharap supaya para pembaca bisa memahami
apa yang telah disampaikan dan bisa mengambil manfaat dari apa yang telah di baca.
Selain itu meskipun kami sudah membahas berbagai macam aliran dengan
semaksimal mungkin tentunya nya para pembaca supaya makalah ini bisa lebih baik
kedepannya. .
1
2
1.3 TUJUAN
1. Untuk mengetahui dan memahami pengertian dari ilmu kalam
2. Untuk mengetahui dan memahami aliran Khawarij, Murji’ah, Syi’ah, Jabariyah,
Qadariyah, Asy’ariyah, Al Maturidiyah, Mu’tazilah
3. Untuk mengetahui dan memahami Teologi Transformatif dan Teologi
Pembebasan
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian ilmu kalam secara etimologi adalah pengertian ilmu kalam yang
dilihat dari bahasa. Secara harfiah kata Kalam berarti pembicaraan. Dalam pengertian,
pembicaraan yang bernalar dan menggunakan logika. Maka ciri utama IImu Kalam
adalah rasionalitas dan logis. Sehingga ilmu kalam sangat erat hubungannya dengan
ilmu mantiq/logika. Istilah lain dari Ilmu Kalam adalah teologi Islam, yang diambil
dari Bahasa Inggris, theology.
1. Aliran Khawarij
Kata khawarij secara etimologis berasal dari “bahasa arab kharaja yang berarti
keluar, muncul, timbul, atau memberontak. Adapun yang di maksud khawarij dalam
terminologi ilmu kalam adalah suatu sekte/kelompok/aliran pengikut Ali bin Abi
Thalib yang keluar meninggalkan barisan karena tidak sepakat terhadap Ali yang
menerima arbitrase/tahkim dalam perang siffin pada tahun 37 H/648 M dengan
kelompok bughat (pemberontakan) Mu’awiyah bin Abi Sufyan perihal persengketaan
khilafah. Khawarij merupakan aliran kalam tertua dalam Islam”, yang mana muncul
1
Harun Nasution, Teologi Islam (Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan), Universitas Indonesia,
3
4
ketika terjadi kemelut politik di kalangan muslimin pada masa khalifah Ali bin Abi
Thalib. Perpecahan terjadi ketika pengikut dan pendukung khalifah tidak setuju dengan
kebijakan arbitrase atau tafkhim yang diambil oleh pihak khalifah Ali. Sehingga
Mu’awiyyah menyatakan keluar dari barisan Ali dan membuat kelompok sendiri.
Kaum khawarij pada umumnya terdiri dari orang orang arab Badawi yang hidup di
padang pasir yang tandus sehingga membuat mereka bersikap sederhana dalam
pemikiran dan hidup,tetapi keras hati, berani, bersifat merdeka, dan tidak bergantung
pada orang lain.2
“Mereka bersifat bengis, suka kekerasan, tidak takut mati, jauh dari ilmu
pengetahuan dan fanataik. Mereka tidak dapat mentolerir penyimpangan terhadap
aajaran islam menurut faham mereka, walaupun hanya penyimpanan dalam bentuk
kecil. Berakibat dengan mudahnya terpecah belah menjadi golongan golongan kecil,
dan mereka terus menerus mengadakan perlawanan terhadap pemerintahan islam pada
waktu itu. Dengan pemikiran kalam aliran khawarij yang paling menonjol adalah
tentang pelaku dosa besar yang menurut mereka tergolong rang kafir adalah sikap
menetang terhadap pemikiran kawarij sehingga prang yang tidah sepaham dengan
mereka tergolong kafir. Di samping itu, mereka mempunyai pemikiran yang khas
tentang definisi tentang iman. Yakni menurut mereka iman itu adalah meyakini dengan
hati,mengucapkan dengan lisan. Dan mengamalkan dengan anggota badan. Sejalan
dengan definisinya itu maka orang yang tidak mengamalkan ajaran
agamanya,termasuk kufur karena amal mempengaruhi iman”.
Dalam perkembangan selanjutnya, aliran khawarij ini menggiring persoalan ke
arah konsep kufr, yang mana didalamnya berkembang dengan berbagai sekte-sekte.
Diantaranya, sekte Muhakkimah berpendapat bahwa siapapun yang melakukan dosa
atau ketidaktaatan terhadap perintah Allah, harus dikecam sebagai orang yang
sungguh-sungguh kafir. Sekte Azariqah, yang berpendapat bahwa orang-orang yang
berdosa besar, bukanlah kafir tetapi musyrik-politeis. Sedangkan, sekte Najdiyiyyah,
erpendapat bahwa orang berdosa besar yang menjadi kafir dan kekal dalam neraka
2
Didin Komarudin, “Studi Ilmu Kalam I”, (Bandung: tp.p, 2015), hlm.37
5
hanyalah orang Islam yang tak sefaham dengan golongannya, sedangkan pengikutnya
jika mengerjakan dosa besar, betul akan mendapat siksaan, tetapi bukan dalam neraka
kemudian akan masuk surga. “Maka dapat disimpulkan pokok-pokok pikiran ilmu
kalam aliran khawarij, sebagai berikut:
1) Orang Islam yang melakukan dosa besar adalah kafir
2) Orang yang terlibat perang jamal yakni perang anrata pengikut Ali dan Pengikut
Aisyah serta pelaku arbitrase atau negosiasi antara Ali dan Mu’awiyyah dihukum
kafir. Khalifah menurut mereka tidak harus keturunan Nabi atau Suku Quraisy”
2. Aliran Murji’ah
“Murji’ah diambil dari kata irja’ atau arja’a yang bermakna penundaan,
penangguhan, dan pengharapan yang artinya memberi harapan kepada pelaku dosa
besar untuk memperoleh pengampunan dan rahmat dari Allah.3 Oleh karena itu
Murji’ah artinya orang yang menunda penjelasan kedudukan seseorang yang
bersengketa, yakni Ali dan Muawiyah serta pengikutnya hari kiamat kelak. Teori-teori
mengenai asal-usul kemunculan Murji’ah yaitu, teori pertama mengatakan bahwa irja’
atau arja’a dikembangkan sebagian sahabat dengan tujuan persatuan dan kesatuan umat
islam ketika terjadi pertikaian politik serta menghindari sektarianisme. 4 Murji’ah
diperkirakan lahir bersamaan dengan kemunculan Syiah dan Khawarij”
“Teori kedua mengatakan bahwa irja’ merupakan doktrin Murji’ah, muncul
pertama kali sebagai gerakan yang diperlihatkan oleh cucu Ali bin Abi Thalib, Al-
Hasan bin Muhammad Al-Hanafiyah tahun 695. Watt penggagas teori ini menceritakan
bahwa 20 tahun setelah kematian Muawiyah tahun 680, Al-Mukhtar membawa faham
Syiah ke Kuffah tahun 685-687, kemudian muncul respon gagasan irja’ atau
penangguhan sekitar tahun 695 oleh Al-Hasan dalam sebuah surat pendek yang
menunjukkan sikap politik untuk menanggulangi perpecahan umat. Al-Hasan
3
Rubini, “ Khawarij dan Murji’ah Perspektif Ilmu Kalam”, Jurnal Komunikasi dan Pendidikan Islam,
Vol. 7 No. 1, 2018, hlm. 98.
4
Ibid, hlm. 99.
6
5
Ibid, 110-111
7
1) “Iman adalah percaya kepada Allah dan Rasul-Nya saja. Amal atau perbuatan itu
merupakan suatu keharusan bagi adanya iman. Seseorang dianggap mukmin walau
meninggalkan perbuatan dosa besar.
2) Dasar keselamatan adalah iman semata. Selama masih ada iman di hati, maksiat
tidak akan mendatangkan madharat atas seseorang untuk mendapatkan ampunan
maka cukup menjauhkan diri dari syirik dan mati dalam keadaan akidah tauhid”.
3. Aliran Syi’ah
“Syi’ah dilihat dari bahasa berarti pengikut, pendukung, partai, atau kelompok.
sedangkan secara terminologis adalah sebagian kaum muslim yang dalam bidang
spiritual dan keagamaannya selalu merujuk pada keturunan Nabi Muhammad SAW.
Adapun yang dimaksud madzhab syiah adalah paham yang mengagungkan keturunan
nabi Muhammad SAW, mereka mendahulukan keturunan-keturunan nabi untuk
menjadi khalifah yaitu Ali bin Abi Thalib. Syiah mempunyai pendirian bahwa Ali bin
Abi Thalib telah ditunjuk nabi dengan nash untuk menjadi khalifah sesudah ia wafat,
bahwa setiap orang yang menjadi imam wajib ma’sum. Ali sebenarnya tidak
menonjolkan diri untuk merebut kekhalifahan, beliau sadar bahwa yang berhak untuk
menjadi khalifah bukan karena keturunan tetapi harus melalui pemilihan umum dan
perseteruan umat”.6
“Secara umum syiah mempercayai bahwa Tuhan mereka adalah Allah SWT.
Hanya saja ada pandangan-pandangan mendasar dalam hal yang kemudian disebut
dengan konsep tauhid ini. Mereka percaya bahwa Allah adalah Tunggal dan tidak ada
sekutu. Selain itu syiah juga tidak mengakui bahwa Allah bersifat maha mendengar
dam melihat. Alasannya jika Allah demikian, maka Allah sama saja dengan Manusia.
Syiah juga meyakini Allah tidak bisa melihat hal-hal yang akan terjadi. Kaum Syi’ah
juga meyakini bahwa Allah SWT itu Esa, tempat bergantung semua makhluk, tidak
beranak dan tidak diperanakkan dan juga tidak serupa dengan makhluk yang ada di
bumi ini. Namun, menurut mereka Allah memiliki dua sifat yaitu al-tsubutiyah yang”
6
Muh. Ilham Usman, “Paham dan Aliran Akidah dalam Islam”, Al-Mutsla; Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman
dan Kemasyarakatan, vol 2 no 2, 2020, hlm.43
8
merupakan sifat yang harus dan tetap ada pada Allah SWT. Sifat ini mencakup ‘alim
(mengetahui), qadir (berkuasa), hayy (hidup), murid (berkehendak), mudrik (cerdik,
berakal), qadim azaliy baq (tidak berpemulaan, azali dan kekal), mutakallim (berkata-
kata) dan shaddiq (benar). Sedangkan sifat kedua yang dimiliki oleh Allah SWT yaitu
al-salbiyah yang merupakan sifat yang tidak mungkin ada pada Allah SWT. Sifat ini
meliputi bisa dilihat, bertempat, bersekutu, berhajat kepada sesuatu dan merupakan
tambahan dari Dzat yang telah dimiliki-Nya.
“Maka dapat disimpulkan pokok-pokok pikiran ilmu kalam aliran Murji’ah,
sebagai berikut:
1) Berkeyakinan bahwa yang dijadikan imam sesudah wafatnya Rasulullah SAW
ialah Ali bin Abi Thalib.
2) Ali adalah seseorang yang mewarisi segala pengetahuan yang ada pada nabi
bahkan ali dianggap ma’sum dari kesalahan.
3) Kaum Syi’ah meyakini bahwa Allah SWT itu Esa, tempat bergantung semua
makhluk, tidak beranak dan tidak diperanakkan dan juga tidak serupa dengan
makhluk yang ada di bumi ini. Syiah juga tidak mengakui bahwa Allah SWT
bersifat Maha Mendengar dan Melihat hal-hal yang akan terjadi. Alasannya jika
Allah demikian, maka Allah sama saja dengan Manusia”
4. Aliran Jabariyah
“Aliran Jabariyah muncul di masa pemerintahan Dinasti Umayyah berkuasa.
Kondisi sosiologis masyarakat sangat mendukung sehingga kelompok ini muncul.
Paham ini dikenal dengan sebutan fatalisme atau predestination. Kata jabariyah dalam
bahasa Arab berarti memaksa atau mengharuskan melakukan sesuatu. Dalam bahasa
Inggris, jabariyah disebut fatalisme, yaitu paham yang menyebutkan bahwa perbuatan
manusia telah ditentukan dari semula oleh qadha’ dan qadar Tuhan”.
yang dikehendaki Allah Swt. Manusia tidak mampu melakukan sesuatu dan memang
tidak bisa disebut mampu.Didalam aktifitas, manusia terpaksa karena tidak memiliki
kemampuan, kehendak dan kebebasan. Pahala dan siksa serta kewajiban merupakan
keterpaksaan seperti semua perbuatan”.
“Aliran Jabariyah pertama kali dicetuskan oleh Ja’ad ibn Dirham. Namun
dalam sejarah tertulis bahwa penyebar paham ini adalah Jahm ibn Shafwan, yang lahir
di kota Samarkand, Khurasan, Iran dan menetap di Iraq. Jahm adalah seorang budak
yang sudah dimerdekakan (mawali). Aliran ini dimulai di kota Tirmizh (Iran Utara)
dan dikenal juga dengan aliran Jahmiyah”.
“Paham ini diduga berasal dari filsafat Yunani yang didirikan oleh Zeno (336-
264 sM) dari kota Citium pada tahun 30 sM yang kemudian dikembangkan oleh para
pengikutnya yang disebut dengan Stoisis (Rawwaqiyyun). Kata Stoisis diambil dari
nama gedung tempat ajaran filsafat ini dikembangkan yaitu Stoa.
Di sisi lain, saat filsafat Yunani mulai diadopsi oleh bangsa Persia, menjadi
pembahasan-pembahasan yang cukup mendapat tempat di kalangan ahli-ahli pikir.
Konsep yang dijadikan dasar adalah “ruang kosong” yang dikutip oleh Aristoteles,
yaitu everything that is in motion must be moved by something, bahwa segala sesuatu
yang bergerak, pasti digerakkan oleh sesuatu (spontanea).
Konsep ini dikaji oleh Iban ibn Sam’an, seorang Yahudi Syam, yang kemudian
disampaikan dan dipahami serta diyakini oleh Ja’ad ibn Dirham yang tidak lain adalah
guru dari Jahm ibn Shafwan. Namun diyakini bahwa pengadopsian konsep filsafat
Yunani ini hanya sebatas kulit saja (intifa’), bukan dalam bentuk substansi (ta’aththur).
Jahm ibn Shafwan pernah menjadi sekretaris Syuraih ibn al-Haris, salah satu tokoh
Murji’ah. Jahm pernah mengatakan bahwa manusia tidak memiliki kekuasaan untuk
berbuat apapun, manusia tidak memiliki daya, tidak memiliki kehendak sendiri dan
tidak memiliki pilihan, manusia dalam perbuatan-perbuatannya adalah dipaksa dengan
tidak ada kemauan dan pilihan baginya”.
10
“Aliran Jabariyah ini sangat disukai dan didukung oleh Dinasti Umayyah.
Namun karena Jahm ibn Shafwan terlibat pemberontakan terhadap rezim penguasa,
maka ditangkap dan dibunuh oleh Salma ibn Ahwaz al-Mazini, penguasa yang ditunjuk
oleh Dinasti Umayyah di Marwa, sebuah wilayah Turmekistan, Rusia. Pendapat lain
mengatakan bahwa kemunculan paham Jabariyah terpengaruh dari pahamajaran
Yahudi dan Nasrani, yaitu Yahudi sekte Qurro dan agama Nasrani bersekte
Ya’cubiyah. Dalam penyebaran paham, aliran Jabariyah ini menunjukkan dalil-dalil
alQur’an untuk mendukung pendapatnya, yaitu QS. Al-Shaffat: 96. QS.al-Anfal: 17,
QS. al-Hadid: 22, QS. al-Qamar: 49, QS. al-Rum: 40 dan QS. al-Syura: 12”.7
5. Aliran Qadariyah
“Pengertian Qadariyah secara etomologi, berasal dari bahasa Arab, yaitu qadara
yang bemakna kemampuan dan kekuatan. Adapun secara terminology qodariah
diartikan sebagai suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan makhluk tidak
diintervensi oleh Allah. Dalam bahasa Inggris qadariyah ini diartikan sebagai free will
and free act, bahwa manusialah yang mewujudkan perbuatan-perbuatan dengan
kemauan dan tenaganya. Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta
bagi segala perbuatannya, ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas”
7
Lailatul Maskhuroh, ‘Pemikiran Aliran Al-Najjariyah Sebagai Sekte Jabariyah Moderat’, Urwatul
Wutsqo, 4.September 2015 (2015), 89–97.
11
kehendaknya sendiri. Harun Nasution menegaskan bahwa aliran ini berasal dari
pengertian bahwa manusia mempunyai kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya,
dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan.
Sebab itulah faham seperti ini dinisbatkan dengan istilah Qadariyah.
dan ditulis untuk Kholifah Abdul Malik oleh Hasan Al-Basri sekitar tahun 700 M.
Hasan Al-Basri (642-728) adalah anak seorang tahanan di irak. Ia lahir dimadinah,
tetapi pada tahun 657, pergi ke Basrah dan tinggal disana sampai akhir hayatnya.
Apakah Hasan Al-Basri termasuk orang Qadariyah atau bukan, hal ini memang
menjadi perdebatan. Namun, yang jelas, -berdasarkan catatannya yang terdapat dalam
kitab Risalah ini ia percaya bahwa manusia dapat memilih secara bebas antara baik dan
buruk. Hasan yakin bahwa manusia bebas memilih antara berbuat baik atau berbuat
buruk.8
6. Aliran Asy’ariyah
Nama lengkap Al-Asy’ari ialah Abu al-Hasan ‘Alî ibn Ismail ibn Abu Basyar
Ishaq ibn Salim ibn Ismail ibn Abdillah ibn Musâ ibn Bilal ibn Abi Burdah ‘Amir ibn
Abû Musâ al-Asy’ari. Lahir di Basrah pada 260 H/875 M. Ketika berusia lebih dari 40
8
Didin Komarudin, ‘Studi Ilmu Kalam I’, UIN Sunan Gunung Djati, 2015, 88.
9
Muliati. Paham Qadariyah Dan Jabariyah: Suatu Kajian Teologi’, Istiqra’, 3.2 (2016), 254–60
10
Ibid,.hal 66
13
Tahun, ia hijrah ke kota Baghdad dan wafat di sana pada tahun /324 H/935 M. Abu al-
Hasan al-Asy'ari pada mulanya belajar membaca, menulis dan menghafal al-qur’an
dalam asuhan orang tuanya, yang kebetulan meninggal dunia ketika ia masih kecil.
Selanjutnya dia belajar kepada ulama Hadis, Fiqh, Tafsir dan bahasa antara lain kepada
al-Saji, Abu Khalifah al-Jumhi, Sahal Ibn Nuh, Muhammad Ibn Ya'kub, ‘Abd al-
Rahman Ibn Khalf dan lain-lain. Demikian juga ia belajar Fiqih Syafi'i kepada seorang
faqih: Abu Ishaq al-Maruzi (w.340 H./951 M.)-seorang tokoh Mu’tazilah di Bashrah.
“Sampai umur 40 tahun ia selalu bersama Abu ‘Ali al-Jubbai, serta ikut
berpartisipasi dalam mempertahankan ajaran-ajaran Mu’tazilah. Al-Asy’arî adalah
murid dan belajar ilmu kalam dari seorang tokoh Mu’tazilah, yaitu Abu ‘Ali al-Jubbai,
malah Ibn ‘Asakir mengatakan bahwa al-Asy’ari belajar dan terus bersama gurunya
itu, selama 40 tahun, sehingga al-Asy’ari pun termasuk tokoh Mu’tazilah. Dan karena
kepintaran serta kemahirannya, ia sering mewakili gurunya itu dalam berdiskusi.
Namun pada perkembangan selanjutnya, al- Asy’ari menjauhkan diri dari pemikiran
Mu’tazilah dan selanjutnya condong kepada pemikiran para fuqaha’ dan ahli hadis”.
Yang melatar belakangi sebab Teologi Asy’ariyah muncul adalah karena tidak
terlepas dari, atau dipicu oleh situasi sosial politik yang berkembang pada saat itu.
Teologi Asy’ari muncul sebagai teologi tandingan dari aliran Mu’tazilah yang bercorak
rasionil. Aliran Mu’tazilah ini mendapat tantangan keras dari golongan tradisionil
Islam terutama golongan Hanbali.11
Al-Asy’ariyah adalah pengikut Abu Hasan Ali bin Isma'il alAsy’ariy, yang
kemudian berkembang menjadi salah satu aliran teologi yang penting dalam Islam,
yang selanjutnya dikenal dengan aliran al-Asy’ariyah, yaitu nama yang dinisbahkan
kepada Abu Hasan al-Asy’ariy sebagai peletak dasardasar aliran ini. Al-Asy’ariy hidup
antara tahun 260-324 H, atau lahir akhir abad III dan awal abad IV H. Pada abad ini
dikenal ada tiga aliran dalam peta sejarah pemikiran Islam, yaitu pertama, Aliran
11
Supriadin, ‘AL-ASY’ARIYAH (Sejarah, Abu Al-Hasan Al-Asy’ari Dan Doktrin-Doktrin Teologinya’,
Sulesana, 9.2 (2014), 61–80.
14
Salafiah, yang dipelopori oleh al-Imam Ahmad bin Hanbal. Aliran ini dikenal sangat
tekstual, yaitu menjadikan nash sebagai satu-satunya poros dan alat dalam memahami
aqidah-aqidah Islam;
“Metode al-Asy’ariy ini, diikuti oleh ulama yang datang setelahnya dan
menisbahkan pendapat-pendapat mereka kepada alAsy’ariyah, mereka inilah yang
berperan dalam mengembangkan pendapat-pendapat al-Asy’ariy dengan
menggunakan dalil-dalil logika yang rasional menghampiri kerasionalan Mu'tazilah.12
12
Muhammad Syarif Hasyim, ‘AL- ASY’ARIYAH (Studi Tentang Pemikiran Al-Baqillani, Al-Juwaini, Al-
Ghazali)’, Jurnal Hunafa Vol. 2 No. 3 Desember 2005, 2013, 1–19.
15
7. Aliran Al Maturidiyah
“Berdasarkan buku Pengantar Teologi Islam, aliran Maturidiyah diambil dari nama
pendirinya, yaitu Abu Mansur Muhammad bin Muhammad. Aliran Maturidiyah
merupakan aliran teologi dalam Islam yang didirikan oleh Abu Mansur Muhammad al-
Maturidiyah dalam kelompok Ahli Sunnah Wal Jamaah yang merupakan ajaran teknologi
yang bercorak rasional. Jika dilihat dari metode berpikir dari aliran Maturidiyah, aliran ini
merupakan aliran yang memberikan otoritas yang besar kepada akal manusia, tanpa
berlebih-lebihan atau melampaui batas. Maksudnya aliran Maturidiyah berpegang pada
keputusan akal pikiran dalam hal-hal yang tidak bertentangan dengan syara’. Sebaliknya
jika hal itu bertentangan dengan syara’, maka akal harus tunduk kepada keputusan syara.”
Tokoh – tokoh Al – Ma’turidiyah :
1. Al Maturidiyah Samarkhan
2. Al-Maturidiyah Bukhara (Al-Bazdawi)14
Pengaruh Pemikiran Ma’turidiyah:
13
Ibid., hal. 135
14
Mudhir, Respon Masyarakat Terhadap Produk Tafsir Majlis Tafsir Al-Qur’an Semarang, IAIN
akal lebih besar daripada yang diberikan oleh Al-Asy’ari. Menurut Al-Maturidi,
mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan dapat diketahui dengan akal.
Kemampuan akal mengetahui dua hal tersebut sesuai dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang
mengandung perintah agar manusia menggunakan akal dalam usaha memperoleh
pengetahuan dan iman terhadap Allah melalui pengamatan dan pemikiran yang mendalam
tentang makhluk ciptaan-Nya. Apabila akal tidak mempunyai kemampuan memperoleh
pengetahuan tersebut, Allah tidak akan memerintahkan manusia untuk melakukannya.
Orang yang tidak mau menggunakan akal untuk memperoleh iman dan pengetahuan
mengenai Allah berarti meninggalkan kewajiban yang diperintahkan ayat-ayat tersebut.
Menurut Al-Maturidi, akal tidak mampu mengetahui kewajiban-kewajiban lainnya,
kecuali dengan bimbingan dari wahyu. Al-Maturidi membagi sesuatu yang berkitan
dengan akal pada tiga macam, yaitu”:
3) Akal tidak mengetahui kebaikan dan keburuksn sesuatu, kecuali dengan petunjuk ajaran
wahyu.15
b. Perbuatan Manusia
15
Abbas, Nukman. 2002 Al-Asy’ari. Jakarta : Erlangga
17
diciptakan dengan perbuatan manusia. Dengan demikian, tidak ada pertentangan antara
kodrat Tuhan yang menciptakan perbuatan manusia dengan ikhtiar yang ada pada
manusia. Kemudian, karena daya diciptakan dalam diri manusia dan perbuatan yang
dilakukan adalah perbuatan manusia dalam arti yang sebenarnya sehingga daya itu daya
manusia.
“Dalam hal pemakain daya, Al-Maturidi membawa paham Abu Hanifah, yaitu
adanya masyi’ah (kehendak) dan rida (kerelaan), kebebasan manusia dalam melakukan
baik ataun buruk tetap dalam kehendak Tuhan. Tetapi memilih yang diridai-Nya atau yang
tidak diridai-Nya. Manuisa berbuat baik atas kerelaan Tuhan, dan berbuat buruk juga atas
kehendak Tuhan, tetapi tidak ada kerelaan-Nya. Dengan demikian, manusia dalam paham
Al-Maturidi tidak sebebas manusia dalam pahara Mu’tazilah”.16
. “Telah diuraikan di atas bahwa perbuatan manusia dan segala sesuatu dalam
wujud ini, yang baik atau buruk adalah ciptaan Tuhan. Akan tetapi, pernyataan ini menurut
Al-Maturidi bukan berati Tuhan berkehendak dan berbuat dengan sewenang-wenang serta
sekehendak-Nya, karena qudrat Tuhan tidak sewenang-wenang (absolut),tetapi perbuatan
dan kehendak-Nya itu berlangsung sesuai dengan hikmah dan keadilan yang sudah
ditetapkan-Nya”.
d. Sifat Tuhan
16
Mu’in, Taib Thahir Abdul. 1986. ilmu kalam. Jakarta : Widjaya Jakarta
18
ghairuhu). Menetapkan sifat bagi Allah tidak harus membawa pada pengertian
antropomorfisme karena sifat tidak berwujud yang terdiri dari dzat, sehingga berbilang
sifat tidak akan membawa pada berbilangnya yang qadim(taaddud al-
qudama).Tampaknya, paham Al-Maturidi tentang makna sifat Tuhan cenderung
mendekati paham Mu’tazilah. Perbedan keduanya terletak pada pengakuan Al-Maturidi
tentang adanya sifat-sifat Tuhan, sedangkan Mu’tazilah menolak adanya sifat-sifat Tuhan.
e. Tuhan
pendapat Al-Maturidi karena yang dimaksud Al-Asy’ari dengan sabda adalah makna
abstrak, tidak lain dari kalam nafsi menurut Al-Maturidi dan itu sifat kekal Tuhan.
g. Perbuatan Manusia
“Menurut Al-Maturidi tidak ada sesuatu yang terdapat dalam wujud ini, kecuali
semua adalah dalam kehendak Tuhan. Kehendak Tuhan tidak ada yang memaksa atau
membatasinya, kecuali ada hikmah dan keadiln yang ditentukan oleh kehendak-Nya. Oleh
karena itu, Tuhan idak wajib bagi-Nya berbuat ash-ashlah (yang baik dan terbaik bagi
manusia). Setiap perbuatan Tuhan yang bersifat mencipta atau kewajiban-kewajiban yang
dibebankan kepada manusia tidak terlepas dari hikmah dan keadilan yang
dikehendakinya. Kewajiban-kewajiban tersebut antara lain.
(1) Tuhan tidak akan membebankan kewajiban-kewajiban kepada manusia diluar
kemampuannya karena hal tersebut tidak sesuai dengan keadilan, dan manusia juga diberi
Tuhan kemerdekaan dalam kemampuan dan perbuatannya.
(2) Hukuman atau ancaman dan janji pasti terjadi karena yang demikian merupakan
tuntutan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya”17
8. Aliran Mu’tazilah
“Mu'tazilah berasal dari kata I'tazalah berarti terpisah atau memisahkan diri
yang juga mempunyai arti menjauh atau menjauhkan diri atau juga mengasingkan diri.
Mu'tazilah adalah salah satu aliran teologi dalam islam yang dapat dikelompokkan
sebagai kaum rasionalis islam, sedangkan arti dari teologi itu sendiri adalah ilmu
pengetahuan yang berkaitan dengan tuhan.
Mu’tazilah sebagai sebuah aliran teologi memiliki akar dan produk pemikiran
tersendiri. Yang dimaksud akar pemikiran di sini adalah dasar dan pola pemikiran yang
menjadi landasan pemahaman dan pergerakan mereka. Sedangkan yang dimaksud
produk pemikiran adalah konsep-konsep yang dihasilkan dari dasar dan pola pemikiran
yang mereka yakini tersebut”
17
Mu’in, Taib Thahir Abdul. 1986. ilmu kalam. Jakarta : Widjaya Jakarta
20
“Mereka meyakini bahwa Allah di sucikan dari perumpamaan dan permisalan (laisa
kamislihi syai-un) dan tidak ada yang mampu menentang kekuasaan-Nya serta tidak
berlaku pada-Nya apa yang berlaku pada manusia. Ini adalah faham yang benar, akan
tetapi dari sini mereka menghasilkan konklusi yang bathil: kemustahilan melihat Allah
sebagai konsekwensi dari penegasian sifat-sifat (yang menyerupai manusia); dan
keyakinan bahwa al-Qur’an adalah makhluk sebagai konsekwensi dari penegasian
Allah memiliki sifat kalam”.
“Maksud mereka dengan keadilan Allah adalah bahwa Allah tidak menciptakan
perbuatan hamba-hamba-Nya dan tidak menyukai kerusakan. Akan tetapi hamba-
hamba-Nyalah yang melakukan apa-apa yang diperintahkan-Nya dan meninggalkan
apa-apa yang dilarang-Nya dengan kekuatan (qudrah) yang Allah jadikan buat mereka.
Dan bahwasanya Allah tidak memerintah kecuali dari yang dibenci-Nya. Dan Allah
adalah penolong bagi terlaksananya kebaikan yang diperintahkan-Nya dan tidak
bertanggungjawab atas terjadinya kemungkaran yang dilarang-Nya”
“Maksud mereka adalah bahwa pendosa besar berada di antara dua kedudukan, ia tidak
berada dalam kedudukan mukmin juga kafir”.
21
mengatur perjalanan apa yang ada di alam ini. Alam ini berjalan menurut peraturan
tertentu, danperaturan itu perlu dicari untuk kepentingan hidup manusia di dunia ini”.18
18
Mu’in, Taib Thahir Abdul. 1986. ilmu kalam. Jakarta : Widjaya Jakarta
23
4. Basis otoritasnya bertumpu dan untuk kepentingan umat. Jadi profesionalisme agama
bertujuan sebagai pendampingan saja19
19
Mu’in, Taib Thahir Abdul. 1986. ilmu kalam. Jakarta : Widjaya Jakarta
BAB III
PENUTUP
3. 1. KESIMPULAN
Sebagaimana yang kita ketahui ilmu kalam secara etimologi adalah pengertian ilmu
kalam yang dilihat dari bahasa. Secara harfiah kata Kalam berarti pembicaraan. Dalam
pengertian, pembicaraan yang bernalar dan menggunakan logika. ada beberapa aliran yang
selama ini sudah sangat terkenal di kalangan khalayak ramai di antaranya yaitu ada aliran
Khawarij, Murji’ah, Syi’ah, Jabariyah, Qadariyah, Asy’ariyah, Al Maturidiyah,
Mu’tazilah, dan Teologi Transformatif dan Teologi Pembebasan.
3. 2. SARAN
Dalam diri manusia yang kodratnya sebagai khalifah fil ardhi atau pemimpin yang
ada di muka bumi ini berlomba-lomba ingin mempunyai aliran tersendiri ataupun
kelompok tersendiri, sebab mereka bisa dengan bebas menyampaikan apa yang ingin
mereka lakukan atau pemikiran mereka masing-masing. Oleh karena itu dengan adanya
berbagai macam ego dan pemahaman yang berbeda-beda tentunya banyak sekali aliran
yang muncul sehingga pro dan kontra tidak bisa dihindari lagi. Juga dengan adanya
makalah ini kami berharap supaya para pembaca bisa memahami apa yang telah
disampaikan dan bisa mengambil manfaat dari apa yang telah di baca. Selain itu meskipun
kami sudah membahas berbagai macam aliran dengan semaksimal mungkin tentunya nya
para pembaca supaya makalah ini bisa lebih baik kedepannya
24
DAFTAR PUSTAKA
25
26