Anda di halaman 1dari 80

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN TN.

A DENGAN GANGGUAN
SISTEM MUSKULOSKELETAL: OPEN FRAKTUR AT TUNGKAI TIBIA
FIBULA DEXTRA DI RUANG KANA RSUP DR. HASAN SADIKIN
BANDUNG

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Stase Keperawatan Medikal Bedah Islami


Dosen Pengampu : Popy Siti Aisyah, S.Kep.,Ners.,M.Kep

Oleh:

ASEP TEPIYANA 402021020


RAFI MARDIANA 402021079
YANI YANUAR 402021021

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


UNIVERSITAS ‘AISYIYAH BANDUNG
2021/2022
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan ditentukan

sesuai jenisnya (Purwanto, 2016). Tibia disebut juga tulang kering yang

merupakan satu dari dua tulang lebih besar dan lebih kuat yang berada di bawah

lutut pada vertebra (tulang yang satunya lagi adalah fibula), menghubungkan lutut

dengan tulang pergelangan kaki (Wikipedia, 2021). Fraktur diafisis tibia

merupakan fraktur paling sering yang dijumpai dalam kasus orthopaedi.

Diperkirakan terdapat sekitar 26 kasus fraktur diafisis tibia per 100.000 populasi

per tahunnya dan lebih banyak terjadi pada laki – laki. Kejadian fraktur tibia

terjadi rata – rata pada usia 37 tahun (Ismiarto, 2014).

Badan kesehatan dunia World Healthy of Organization (WHO) tahun 2019

menyatakan bahwa insiden fraktur kurang lebih 15 juta orang dengan angka

prevalensi 3,2 %. Fraktur pada tahun 2018 terdapat kurang lebih 20 juta orang

dengan angka prevalensi 4,2 % dan pada tahun 2018 meningkat menjadi 21 juta

orang dengan angka prevalensi 3,8 % akibat kecelakaan lalu lintas (Desiartama &

Aryana dalam Ayu dan Anisa, 2021). Data yang ada di Indonesia kasus fraktur

paling sering yait fraktur femur sebesar 42 % diikuti dengan fraktur humeurus

sebanyak 17% fraktur tibia dan fibula sebanyak 14 % dimana penyebab terbesar

fraktur adalah kecelakaan lalu lintas yang bisanya disebabkan oleh kecelakaan

1
2

mobil, kecelakan motor dan kendaraan rekreasi 65,6% dan jatuh 37,3% mayoritas

adalah pria 73,8% (Riskesdas, 2018).

Angka kejadian cedera berdasarkan anggota gerak di Jawa Barat paling

tinggi yaitu anggota gerak bawah dengan prevalensi 68,8% (Riskesdas, 2018). Di

Jawa Barat untuk kasus fraktur femur yang paling sering yaitu sebesar 39% diikuti

oleh fraktur humerus (15%), fraktur tibia dan fibula (11%), dimana penyebab

terbesar fraktur femur adalah kecelakaan lalu lintas yang biasanya disebabkan

oleh kecelakaan mobil, motor, atau kendaraan rekreasi (62,6%) dan jatuh dari

ketinggian (37,3%) dan mayoritas adalah pria (63,8%). Insiden fraktur femur pada

wanita adalah fraktur terbanyak kedua (17,0 per 10.000 orang pertahun) dan

nomor tujuh pada pria (5,3 per orang per tahun). Puncak distribusi usia pada

fraktur femur adalah pada usia dewasa (15-34 tahun) dan orang tua (diatas 70

tahun) (Depkes, 2014).

Fraktur tibia dapat disertai dengan cedera ligamen lutut dan sekitar 5 %

berupa fraktur bifocal. Pada pasien yang sadar maka fraktur tibia dan fibula jelas

dapat dikenali. Adanya nyeri dan deformitas tampak jelas. Yang perlu

diperhatikan adalah adanya pembengkakkan jaringan lunak pada tempat fraktur.

Pada pasien yang tidak sadar dan mempunyai riwayat multiple trauma maka tibia

perlu diperiksa secara teliti. Terdapat 4 prinsip penanganan fraktur diafisis tibia.

Non operative terdiri dari longleg casts maupun patellar tendon-bearing casts. 3

metode operative lainnya meliputi plating, intramedullary nailing, dan fiksasi

eksternal (Ismiarto, 2014). Menurut (Purwanto, 2016) pasien dengan fraktur akan
3

mengalami masalah keperawatan seperti kerusakan mobilitas fisik, nyeri dan

kerusakan integritas jaringan.

Penatalaksanaan pada fraktur dengan tindakan operatif atau pembedahan

(Mue DD dalam Pratiwi, 2020). Penatalaksanaan fraktur tersebut dapat

mengakibatkan masalah atau komplikasi seperti kesemutan, nyeri, kekakuan otot

bengkak atau edema serta pucat pada anggota gerak yang di operasi (Carpintero

dalam Pratiwi, 2020). Manajemen untuk mengatasi nyeri dibagi menjadi 2 yaitu

manajemen farmakologi dan manajemen non farmakologi. Manajemen

farmakologi dilakukan antara dokter dan perawat, yang menekankan pada

pemberian obat yang mampu menghilangkan rasa nyeri, manajemen non

farmakologi teknik yang dilakukan dengan cara pemberian kompres hangat,

teknik relaksasi, imajinasi terbimbing, distraksi, stimulus saraf elektrik transkutan,

stimulus terapi musik dan massage yang dapat membuat nyaman karena akan

merileksasikan otot otot sehingga sangat efektif untuk meredakan nyeri (Mediarti

dalam Pratiwi, 2020).

Peran lain seorang perawat yaitu perawat juga membantu seseorang yang

dalam keadaan fraktur itu tetap termotivasi dan tetap berupaya dalam pemulihan

kembali bagian yang fraktur, selain itu perawat juga diharapkan bisa mengurangi

kecemasan jika pasien akan dilakukan tindakan tertentu dan oleh karena itu

perawatan yang baik dapat mencegah terjadinya komplikasi (Smeltzer & Bare,

2013). Berdasarkan alasan tersebut, penulis tertarik untuk membahas mengenai

“Asuhan Keperawatan pada tn. A dengan Gangguan Sistem Muskuloskeletal:


4

open fraktur at tungkai tibia fibula dextra di Ruang kana RSUP Dr. Hasan Sadikin

Bandung”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalahnya adalah

“Bagaimana Penerapan Asuhan Keperawatan pada tn. A dengan Gangguan Sistem

Muskuloskeletal: open fraktur at tungkai tibia fibula dextra di Ruang kana RSUP

Dr. Hasan Sadikin Bandung?”

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengaplikasikan Asuhan Keperawatan pada Tn. A dengan Gangguan

Sistem Muskuloskeletal: open fraktur at tungkai tibia fibula dextra di Ruang kana

RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung.

2. Tujuan khusus

Adapun tujuan khusus dari studi kasus ini adalah sebagai berikut:

a. Mengaplikasikan pengkajian pada Tn. A dengan Gangguan Sistem

Muskuloskeletal akibat open fraktur at tungkai tibia fibula dextra di Ruang

kana RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung.

b. Mengaplikasikan diagnosa keperawatan pada Tn. A dengan Gangguan

Sistem Muskuloskeletal akibat open fraktur at tungkai tibia fibula dextra di

Ruang kana RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung.


5

c. Mengaplikasikan rencana tindakan keperawatan pada Tn. A dengan

Gangguan Sistem Muskuloskeletal akibat open fraktur at tungkai tibia

fibula dextra di Ruang kana RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung.

d. Mengaplikasikan implementasi keperawatan pada Tn. A dengan Gangguan

Sistem Muskuloskeletal akibat open fraktur at tungkai tibia fibula dextra di

Ruang kana RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung.

e. Mengaplikasikan evaluasi keperawatan pada Tn. A dengan Gangguan

Sistem Muskuloskeletal akibat open fraktur at tungkai tibia fibula dextra di

Ruang Kana RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung.


BAB II

TINJAUAN TEORITIS

G. FRAKTUR TIBIA FIBULA

A. Pengertian

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, retak atau patahnya tulang

yang utuh, yang biasanya disebabkan oleh trauma/rudapaksa atau tenaga fisik

yang ditentukan jenis dan luasnya trauma (Lukman dan Nurna, 2009). Sedangkan

menurut Puspitasari 2012 fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas

jaringan tulang yang umunya disebabkan oleh tekanan atau rudapaksa. Fraktur

cruris tibia fibula merupakan salah satu kasus kegawatan, dimana pada awal akan

memberikan respon nyeri hebat akibat diskontinuitas jaringan tulang, resiko inggi

perdarahan, resiko tinggi infeksi dan resiko jatuh post operasi.

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan

luasnya. Fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat

diabsorpsinya. Fraktur tibia fibula adalah terputusnya tulang tibia dan fibula

(Smeltzer & Bare, 2001). Fraktur cruris adalah terputusnya kontinuitas tulang dan

ditentukan sesuai jenis dan luasnya, terjadi pada tulang fibia dan fibula. Fraktu

terbuka adalah suatu fraktur yang mempunyai hubungan dengan dunia luar.

Fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat

diabsorbsinya (Muttaqin, 2008).

Berdasarkan pengertian diatas maka penulis dapat mengambil kesimpulan

bahwa open fraktur tibia dan fibula adalah terputusnya kontinuitas tulang dan

6
7

ditentukan sesuai jenis dan luasnya yang terjadi pada tulang fibia dan fibula yang

mempunyai hubugan dengan dunia luar sehingga mengakibatkan gangguan sistem

muskuloskeletal.

B. Anatomi Fisiologi

1. Anatomi :

a. Tibia (tulang kering)

Tulang ini termasuk tulang panjang, sehingga terdiri dari tiga bagian:

1). Epiphysis proximalis (ujung atas)

Bagian ini melebar secara transversal dan memiliki permukaan sendi

superior pada tiap condylus, yaitu condylus medial dan condylus

lateral. Ditengah-tengahnya terdapat suatu peninggian yang disebut

eminenta intercondyloidea.

2). Diaphysis (corpus)

Pada penampang melintang merupakan segitiga dengan puncaknya

menghadap ke muka, sehingga corpus mempunyai tiga sisi yaitu


8

margo anterior (di sebelah muka), margo medialis (di sebelah

medial) dan crista interossea (di sebelah lateral) yang membatasi

faciester dapat dibawah kulit dan margo anterior di sebelah

proximal.

3). Epiphysis distalis (ujung bawah)

Ke arah medial bagian ini kuat menonjol dan disebut maleolus

medialis (mata kaki). Epiphysis distalis mempunyai tiga dataran

sendi yaitu dataran sendi yang vertikal (facies articularis

melleolaris), dataran sendi yang horizontal (facies articularis

inferior) dan disebelah lateral terdapat cekungan sendi (incisura

fibularis).

b. Fibula

Merupakan tulang yang panjang, langsing, terletak di sebelah lateral

tibia. Epiphysis proximalis membulat disebut capitulum fibulae. Ke arah

proximal meruncing menjadi apex. Pada capitulum terdapat dua dataran sendi

yang disebut facies articularis capitulli fibulae, untuk bersendi dengan tibia.

Pada corpus terdapat empat buah crista yaitu, crista lateralis, crista anterior,

crista medialis dan crista interosssea. Datarannya ada tiga buah yaitu facies

lateralis, facies medialis dan facies posterior. Pada bagian distal ke arah

lateral membulat menjadi maleolus lateralis.

2. Fisiologi:

Menurut Long, B.C, fungsi tulang secara umum yaitu :

a. Menahan jaringan tubuh dan memberi bentuk kepada kerangka tubuh.


9

b. Melindungi organ-organ tubuh (contoh:tengkorak melindungi otak)

c. Untuk pergerakan (otot melekat kepada tulang untuk berkontraksi dan

bergerak).

d. Merupakan gudang untuk menyimpan mineral (contoh kalsium dan posfor)

e. Hematopoiesis (tempat pembuatan sel darah merah dalam sum-sum

tulang).

Menurut Price, Sylvia Anderson, Pertumbuhan dan metabolisme tulang

dipengaruhi oleh mineral dan hormon :

a) Kalsium dan posfor tulang mengandung 99 % kalsium tubuh dan 90 %

posfor. Konsentrasi kalsium dan posfor dipelihara hubungan terbalik,

kalsitonin dan hormon paratiroid bekerja untuk memelihara keseimbangan.

b) Kalsitonin diproduksi oleh kelenjar tiroid dimana juga tirokalsitonin yang

memiliki efek untuk mengurangi aktivitas osteoklast, untuk melihat

peningkatan aktivitas osteoblast dan yang terlama adalah mencegah

pembentukan osteoklast yang baru.

c) Vitamin D mempengaruhi deposisi dan absorbsi tulang. Dalam jumlah

besar vitamin D dapat menyebabkan absorbsi tulang seperti yang terlihat

dalam kadar hormon paratiroid yang tinggi. Bila tidak ada vitamin D,

hormon paratiroid tidak akan menyebabkan absorbsi tulang sedang vitamin

D dalam jumlah yang sedikit membantu klasifikasi tulang dengan

meningkatkan absorbsi kalsium dan posfat oleh usus halus.

d) Paratiroid Hormon, mempunyai efek langsung pada mineral tulang yang

menyebabkan kalsium dan posfat diabsorbsi dan bergerak melalui serum.


10

Peningkatan kadar paratiroid hormon secara perlahan-lahan menyebabkan

peningkatan jumlah dan aktivitas osteoklast sehingga terjadi

demineralisasi. Peningkatan kadar kalsium serum pda hiperparatiroidisme

dapat menimbulkan pembentukan batu ginjal.

e) Growth Hormon (hormon pertumbuhan), disekresi oleh lobus anterior

kelenjar pituitary yang bertanggung jawab dalam peningkatan panjang

tulang dan penentuan jumlah matriks tulang yang dibentuk pada masa

sebelum pubertas.

f) Gluikokortikoid, adrenal glukokortikoid mengatur metabolisme protein.

Hormon ini dapat meningkatkan atau menurunkan katabolisme untuk

mengurangi atau meningkatkan matriks organ tulang dan membantu dalam

regulasi absorbsi kalsium dan posfor dari usus kecil.

g) Estrogen menstimulasi aktifitas osteoblast. Penurunan estrogen setelah

menopause mengurangi aktifitas osteoblast yang menyebabkan penurunan

matriks organ tulang. Klasifikasi tulang berpengaruh pada osteoporosis

yang terjadi pada wanita sebelum usia 65 tahun namun matriks organiklah

yang merupakan penyebab dari osteoporosis.

C. Klasifikasi

1. Fraktur Terbuka

Fraktur terbuka atau compound adalah fraktur dengan luka terbuka dimana

tulang menonjol keluar melalui luka tersebut (Donna L. Wongg, 2004). Fraktur

terbuka (fraktur komplikata/kompleks) merupakan fraktur dengan luka pada kulit

atau membran mukosa sampai ke patahan tulang (Brunner dan Suddarth, 2001).
11

Patah tulang terbuka dapat dibagi menjadi tiga derajat yang ditentukan oleh

berat ringannya patah tulang (Sjamsuhidayat, 2005). Fraktur terbuka : Fraktur

yang disertai kerusakan kulit pada tempat fraktur (Fragmen frakturnya menembus

kulit), dimana bakteri dari luar bisa menimbulkan infeksi pada tempat fraktur

(terkontaminasi oleh benda asing)

a. Grade I : Fraktur terbuka dengan luka kulit kurang dari 1 cm dan bersih

Kerusakan jaringan minimal, biasanya dikarenakan tulang menembus

kulit dari dalam

b. Grade II : Fraktur terbuka dengan luka lebih dari 1 cm, tanpa ada

kerusakan jaringan lunak, kontusio ataupun avulsi yang luas. konfigurasi

fraktur berupa kominutif sedang dengan kontaminasi sedang

c. Grade III : Sangat terkontaminasi dan mengalami kerusakan jaringan

lunak yang ekstensif, merupakan yang paling berat (Smeltzer & Bare and

Bare, 2002).

Fraktur tipeIII dibagi menjadi tiga yaitu :

Tipe IIIa : Fraktur segmental atau sangat kominutif penutupan tulang

dengan jaringan lunak cukup adekuat.

Tipe IIIb : trauma sangat berat atau kehilangan jaringan lunak yang

cukup luas, terkelupasnya daerah periosteum dan tulang tampak terbuka ,

serta adanya kontaminasi yang cukup berat.

Tipe IIIc : Fraktur terbuka yang disertai dengan kerusakan pembuluh

darah tanpa memperhatikan derajat kerusakan jaringan lunak.

2. Fraktur Tertutup
12

Fraktur tertutup adalah fraktur dimana kulit tidak ditembus oleh fragment

tulang, sehingga tempat fraktur tidak tercemar oleh lingkungan (Price dan

Wilson, 1995).nFraktur sederhana atau tertutup – fraktur tidak menimbulkan

kerusakan pada kulit(Donna L. Wongg, 2004). Fraktur tertutup adalah fraktur

yang tidak menyebabkan robeknya kulit atau kulit tidak ditembus oleh fragmen

tulang.

3. Fraktur komplet : Fraktur / patah pada seluruh garis tengah tulang dan

biasanya mengalami pergeseran dari posisi normal.

4. Fraktur tidak komplet : Fraktur / patah yang hanya terjadi pada sebagian dari

garis tengah tulang.

Jenis khusus fraktur :

a. Greenstick : Fraktur dimana salah satu sisi tulang patah, sedang sisi

lainnya membengkok.

b. Tranversal : Fraktur sepanjang garis tengah tulang.

c. Oblik : Fraktur membentuk sudut dengan garis tengah tulang.

d. Spiral : Fraktur memuntir seputar batang tulang

e. Kominutif : Fraktur dengan tulang pecah menjadi beberapa fragmen

f. Depresi : Fraktur dengan fragmen patahan terdorong kedalam (sering

terjadi pada tulang tengkorak dan tulang wajah)

g. Kompresi : Fraktur dimana tulang mengalami kompresi (terjadi pada

tulang belakang)

h. Patologik : Fraktur yang terjadi pada daerah tulang berpenyakit (kista

tulang, penyakit pegel, tumor)


13

i. Avulsi : Tertariknya fragmen tulang oleh ligament atau tendon pada

perlekatannya

j. Epifiseal : Fraktur melalui epifisis

k. Impaksi : Fraktur dimana fragmen tulang terdorong ke fragmen tulang

lainnya. (Smeltzer & Bare and Bare, 2002)

D. Etiologi

Fraktur disebabkan oleh : (Arif Muttaqin, 2008)

1. Trauma langsung

Trauma langsung menyebabkan tekanan langsung pada tulang. Hal tersebut

dapat mengakibatkan terjadinya fraktur pada daerah tekanan. Fraktur yang

terjadi biasanya bersifat komuniti dan jaringan lunak ikut mengalami

kerusakan.

2. Trauma tidak langsung

Apabila trauma dihantarkan kedaerah yang lebih jauh dari daerah fraktur,

trauma tersebut disebut trauma tidak langsung. Misalnya jatuh dengan tangan

ekstensi dapat menyebabkan fraktur pada klavikula. Pada keadaan ini

biasanya jaringan lunak tetap utuh.

Fraktur juga dapat disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk,

gerakan puntir mendadak, dan kontraksi otot ekstrim. (Brunner & Suddart,

2002).

Fraktur disebabkan oleh trauma dimana terdapat tekanan yang berlebih oleh

tulang (lukman 2007).

Jenis dan beratnya patah tulang dipengaruhi oleh :


14

a. Arah, kecepatan dan kekuatan dari tenaga yang melawan tulang

b. Usia penderita

c. Kelenturan tulang

d. Jenis tulang

Dengan tenaga yang sangat ringan, tulang yang rapuh karena osteoporosis

atau tumor biasanya menyebabkan patah tulang

E. Manifestasi

Menurut Brunner dan Suddart (2002) Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri,

hilangnya fungsi, deformitas, pemendekan ekstermitas, krepitus,

pembengkakan lokal, dan perubahan warna.

1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang

diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai

alamiah yang dirancang untum meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.

2. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian yang tak dapat digunakan dan

cenderung bergerak secara alamiah (gerakan luar biasa) bukannya tetap rigid

seperti normalnya. Pergeseran fragmen pada fraktur lengan atau tungkai

menyebabkan deformitas (terliahat maupun teraba) ekstermitas yang bisa

diketahui dengan membandingkan ekstermitas yang normal. Ekstermitas tak

dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada

integritas tulang tempat melekatnya otot.

3. Pada fraktur tulang panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya

karena kontraksi otot yang melekat diatas dan bawah tempat fraktur.

Fragmen sering saling melengkapi satu sama lain sampai 2,5-5cm (1-2 inchi).
15

4. Saat ekstermitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang

dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan

lainnya. Uji kreptus dapat mengakibatkan kerusakan jaringan yang lebih

berat.

5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagi akibat

trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini bisa baru terjadi

setelah beberapa jam atau cedera.

Diagnosis fraktur bergantung pada gejala, tanda fisik dan pemeriksaan sinar

X. Setelah mengalami cedera, pasien akan mengalami kebingungan dan

tidakmenyadari adanya fraktur, serta berusaha berjalan dengan tungkai yang patah

(Brunner &Suddarth, 2005). Nyeri berhubungan dengan fraktur sangat berat dan

dapat dikurangi dengan menghindari gerakan antar fragmen tulang dan sendi

disekitar fraktur.

F. Proses Penyembuhan Tulang

Proses penyembuhan suatu fraktur dimulai sejak terjadi fraktur

sebagai usaha tubuh untuk memperbaiki kerusakan – kerusakan yang

dialaminya. Penyembuhan dari fraktur dipengaruhi oleh beberapa faktor

lokal dan faktor sistemik, adapun faktor lokal:

a. Lokasi fraktur

b. Jenis tulang yang mengalami fraktur.

c. Reposisi anatomis dan immobilasi yang stabil.

d. Adanya kontak antar fragmen.

e. Ada tidaknya infeksi.


16

f. Tingkatan dari fraktur.

Adapun faktor sistemik adalah :

a. Keadaan umum pasien

b. Umur

c. Malnutrisi

d. Penyakit sistemik.

Proses penyembuhan fraktur terdiri dari beberapa fase, sebagai berikut :

1. Fase Reaktif

a. Fase hematom dan inflamasi

b. Pembentukan jaringan granulasi

2. Fase Reparatif

a. Fase pembentukan callus

b. Pembentukan tulang lamellar

3. Fase Remodelling

a. Remodelling ke bentuk tulang semula

Dalam istilah-istilah histologi klasik, penyembuhan fraktur telah

dibagi atas penyembuhan fraktur primer dan fraktur sekunder.

a. Proses penyembuhan Fraktur Primer

Penyembuhan cara ini terjadi internal remodelling yang meliputi upaya

langsung oleh korteks untuk membangun kembali dirinya ketika kontinuitas

terganggu. Agar fraktur menjadi menyatu, tulang pada salah satu sisi korteks

harus menyatu dengan tulang pada sisi lainnya (kontak langsung) untuk

membangun kontinuitas mekanis. Tidak ada hubungan dengan pembentukan


17

kalus. Terjadi internal remodelling dari haversian system dan penyatuan tepi

fragmen fraktur dari tulang yang patah. Ada 3 persyaratan untuk remodeling

Haversian pada tempat fraktur adalah:

1. Pelaksanaan reduksi yang tepat

2. Fiksasi yang stabil

3. Eksistensi suplay darah yang cukup

Penggunaan plate kompresi dinamis dalam model osteotomi telah

diperlihatkan menyebabkan penyembuhan tulang primer. Remodeling

haversian aktif terlihat pada sekitar minggu ke empat fiksasi.

b. Proses Penyembuhan Fraktur Sekunder.

Penyembuhan sekunder meliputi respon dalam periostium dan jaringan-

jaringan lunak eksternal. Proses penyembuhan fraktur ini secara garis besar

dibedakan atas 5 fase, yakni fase hematom (inflamasi), fase proliferasi, fase

kalus, osifikasi dan remodelling. (Buckley, R., 2004, Buckwater J. A., et

al,2000).

1) Fase Inflamasi

Tahap inflamasi berlangsung beberapa hari dan hilang dengan

berkurangnya pembengkakan dan nyeri. Terjadi perdarahan dalam

jaringan yang cidera dan pembentukan hematoma di tempat patah

tulang. Ujung fragmen tulang mengalami devitalisasi karena

terputusnya pasokan darah terjadi hipoksia dan inflamasi yang

menginduksi ekpresi gen dan mempromosikan pembelahan sel dan

migrasi menuju tempat fraktur untuk memulai penyembuhan.


18

Produksi atau pelepasan dari faktor pertumbuhan spesifik, Sitokin,

dapat membuat kondisi mikro yang sesuai untuk :

a) Menstimulasi pembentukan periosteal osteoblast dan osifikasi

intra membran pada tempat fraktur,

b) Menstimulasi pembelahan sel dan migrasi menuju tempat fraktur,

c) Menstimulasi kondrosit untuk berdiferensiasi pada kalus lunak

dengan osifikasi endokondral yang mengiringinya. (Kaiser

1996).

Berkumpulnya darah pada fase hematom awalnya diduga akibat

robekan pembuluh darah lokal yang terfokus pada suatu tempat

tertentu. Namun pada perkembangan selanjutnya hematom bukan

hanya disebabkan oleh robekan pembuluh darah tetapi juga berperan

faktor- faktor inflamasi yang menimbulkan kondisi pembengkakan

lokal. Waktu terjadinya proses ini dimulai saat fraktur terjadi sampai

2 – 3 minggu.

2) Fase proliferasi

Kira-kira 5 hari hematom akan mengalami organisasi, terbentuk

benang-benang fibrin dalam jendalan darah, membentuk jaringan

untuk revaskularisasi, dan invasi fibroblast dan osteoblast.

Fibroblast dan osteoblast (berkembang dari osteosit, sel endotel, dan

sel periosteum) akan menghasilkan kolagen dan proteoglikan sebagai

matriks kolagen pada patahan tulang. Terbentuk jaringan ikat fibrous

dan tulang rawan (osteoid). Dari periosteum, tampak pertumbuhan


19

melingkar. Kalus tulang rawan tersebut dirangsang oleh gerakan

mikro minimal pada tempat patah tulang. Tetapi gerakan yang

berlebihan akan merusak struktur kalus. Tulang yang sedang aktif

tumbuh menunjukkan potensial elektronegatif. Pada fase ini dimulai

pada minggu ke 2 – 3 setelah terjadinya fraktur dan berakhir pada

minggu ke 4 – 8.

(a) Fase Pembentukan Kalus

Merupakan fase lanjutan dari fase hematom dan proliferasi

mulai terbentuk jaringan tulang yakni jaringan tulang kondrosit

yang mulai tumbuh atau umumnya disebut sebagai jaringan

tulang rawan. Sebenarnya tulang rawan ini masih dibagi lagi

menjadi tulang lamellar dan wovenbone. Pertumbuhan jaringan

berlanjut dan lingkaran tulang rawan tumbuh mencapai sisi lain

sampai celah sudah terhubungkan. Fragmen patahan tulang

digabungkan dengan jaringan fibrous, tulang rawan, dan tulang

serat matur. Bentuk kalus dan volume dibutuhkanuntuk

menghubungkan efek secara langsung berhubungan dengan

jumlah kerusakan dan pergeseran tulang. Perlu waktu tiga sampai

empat minggu agar fragmen tulang tergabung dalam tulang rawan

atau jaringan fibrous. Secara klinis fragmen tulang tidak bisa lagi

digerakkan. Regulasi dari pembentukan kalus selama masa

perbaikan fraktur dimediasi oleh ekspresi dari faktor-faktor

pertumbuhan. Salah satu faktor yang paling dominan dari sekian


20

banyak faktor pertumbuhan adalah Transforming Growth Factor-

Beta 1 (TGF-B1) yang menunjukkan keterlibatannya dalam

pengaturan differensiasi dari osteoblast dan produksi matriks

ekstra seluler. Faktor lain yaitu: Vascular Endothelial Growth

Factor (VEGF) yang berperan penting pada proses angiogenesis

selama penyembuhan fraktur. (chen,et,al,2004).

Pusat dari kalus lunak adalah kartilogenous yang kemudian

bersama osteoblast akan berdiferensiasi membentuk suatu jaringan

rantai osteosit, hal ini menandakan adanya sel tulang serta

kemampuan mengantisipasi tekanan mekanis. (Rubin,E,1999)

Proses cepatnya pembentukan kalus lunak yang kemudian berlanjut

sampai fase remodelling adalah masa kritis untuk keberhasilan

penyembuhan fraktur. (Ford,J.L,et al,2003).

Dikenal beberapa jenis kalus sesuai dengan letak kalus tersebut

berada terbentuk kalus primer sebagai akibat adanya fraktur terjadi

dalam waktu 2 minggu Bridging (soft) callus terjadi bila tepi-tepi

tulang yang fraktur tidak bersambung. Medullary (hard) Callus akan

melengkapi bridging callus secara perlahan-lahan. Kalus eksternal

berada paling luar daerah fraktur di bawah periosteum periosteal

callus terbentuk di antara periosteum dan tulang yang fraktur.

Interfragmentary callus merupakan kalus yang terbentuk dan mengisi

celah fraktur di antara tulang yang fraktur. Medullary callus terbentuk

di dalam medulla tulang di sekitar daerah fraktur. (Miller, 2000)


21

3) Stadium Konsolidasi

Dengan aktifitas osteoklast dan osteoblast yang terus menerus,

tulang yang immature (woven bone) diubah menjadi mature

(lamellar bone). Keadaan tulang ini menjadi lebih kuat sehingga

osteoklast dapat menembus jaringan debris pada daerah fraktur dan

diikuti osteoblast yang akan mengisi celah di antara fragmen dengan

tulang yang baru.

Proses ini berjalan perlahan-lahan selama beberapa bulan

sebelum tulang cukup kuat untuk menerima beban yang normal.

4) Stadium Remodelling.

Fraktur telah dihubungkan dengan selubung tulang yang kuat dengan

bentuk yang berbeda dengan tulang normal. Dalam waktu berbulan-bulan

bahkan bertahun-tahun terjadi proses pembentukan dan penyerapan tulang

yang terus menerus lamella yang tebal akan terbentuk pada sisi dengan

tekanan yang tinggi. Rongga medulla akan terbentuk kembali dan

diameter tulang kembali pada ukuran semula. Akhirnya tulang akan

kembali mendekati bentuk semulanya, terutama pada anak-anak. Pada

keadaan ini tulang telah sembuh secara klinis dan radiologi.

G. Proses Penyembuhan Luka

Penyembuhan luka merupakan suatu proses yang melibatkan respon seluler

dan biokimia baik secara lokal maupun sistemik melibatkan proses dinamis dan

kompleks dari koordinasi serial termasuk pendarahan, koagulasi, inisiasi respon

inflamasi akut segera setelah trauma, regenerasi, migrasi dan proliferasi jaringan
22

ikat dan sel parenkim, serta sintesis protein matriks ekstraselular, remodeling

parenkim dan jaringan ikat serta deposisi kolagen (T Velnar dalam Nova, 2019).

Sel yang paling berperan dari semua proses ini adalah sel makrofag, yang

berfungsi mensekresi sitokin pro-inflamasi dan anti-inflamasi serta growth

factors, fibroblast dan kemampuannya mensistesis kolagen yang mempengaruhi

kekuatan tensile strengh luka dan mengisi jaringan luka kembali ke bentuk

semula, kemudian diikuti oleh sel-sel keratinosit kulit untuk membelah diri dan

bermigrasi membentuk reepitelialisasi dan menutupi area luka (Faten Khorshid,

2010). Keseimbangan antara sintesis dan degradasi jaringan membentuk suatu

proses penyembuhan luka normal yang terdiri dari even terpisah yang saling

berhubungan termasuk mikrosirkulasi transportasi oksigen, respon imun dan

inflamasi, perubahan metabolisme dan sistem neuroendokrin serta melibatkan

beberapa

1. Fase Inflamasi Awal (Fase Hemostasis)

Fase Inflamasi terbagi dua, yaitu Fase inflamasi awal atau fase

haemostasis dan fase inflamasi akhir. Pada saat jaringan terluka, pembuluh darah

yang terputus pada luka akan menyebabkan pendarahan, reaksi tubuh pertama

sekali adalah berusaha menghentikan pendarahan dengan mengaktifkan faktor

koagulasi intrinsik dan ekstrinsik, yang mengarah ke agregasi platelet dan formasi

clot vasokontriksi, pengerutan ujung pembuluh darah yang putus (retraksi) dan

reaksi haemostasis. Reaksi haemostasis akan terjadi karena darah yang keluar dari

kulit yang terluka akan mengalami kontak dengan kolagen dan matriks

ekstraseluler, hal ini akan memicu pengeluaran platelet atau dikenal juga dengan
23

trombosit mengekspresi glikoprotein pada membran sel sehingga trombosit

tersebut dapat beragregasi menempel satu sama lain dan membentuk massa

(clotting). Massa ini akan mengisi cekungan luka membentuk matriks provisional

sebagai scaffold untuk migrasi sel-sel radang pada fase inflamasi. (Landén, Li, &

Ståhle dalam Nova, 2018).

Pada saat yang bersamaan sebagai akibat agregasi trombosit, pembuluh

darah akan mengalami vasokonstriksi selama 5 sampai dengan 10 menit,

akibatnya akan terjadi hipoksia, peningkatan glikolisis dan penurunan PH yang

akan direspon dengan terjadinya vasodilatasi. Lalu akan terjadi migrasi sel

leukosit dan trombosit ke jaringan luka yang telah membentuk scaffold tadi.

Selain itu, migrasi sel leukosit dan trombosit juga dipicu oleh aktivasi associated

kinase membrane yang meningkatkan permeabilitas membran sel terhadap ion

Ca2+ dan mengaktivasi kolagenase dan elastase, yang juga merangsang migrasi

sel tersebut ke matriks provisional yang telah terbentuk. Setelah sampai di matriks

provisional, sel trombosit mengalami degranulasi, mengeluarkan sitokin-sitokin

dan mengaktifkan jalur intrinsik dan ekstrinsik yang menstimulasi sel-sel netrofil

bermigrasi ke matriks provisional dan memulai fase inflamasi (Landén et al.

dalam Nova, 2018). Adapun sitokin yang di sekresi sel trombosit juga berfungsi

untuk mensekresi faktor-faktor inflamasi dan melepaskan berbagai faktor

pertumbuhan yang potensial seperti Transforming Growth Factor-β (TGF- β),

Platelet Derived Growth Factor (PDGF), Interleukin-1 (IL-1), Insulin-like Growth

Factor-1 (IGF-1), Epidermal Growth Factor (EGF), dan Vascular Endothelial

Growth Factor (VEGF), sitokin dan kemokin. Mediator ini sangat dibutuhkan
24

pada penyembuhan luka untuk memicu penyembuhan sel, diferensiasi dan

mengawali pemulihan jaringan yang rusak (Werner S dalam Nova, 2018).

2. Fase Inflamasi Akhir (lag Phase)

Fase inflamasi dimulai segera setelah terjadinya trauma sampai hari ke-5

pasca trauma. Tujuan utama fase ini adalah menyingkirkan jaringan yang mati,

dan pencegahan kolonisasi maupun infeksi oleh agen mikrobial patogen (Gutner

GC dalam Nova, 2018). Setelah hemostasis tercapai, sel radang akut serta

neutrofil akan menginvasi daerah radang dan menghancurkan semua debris dan

bakteri. Dengan adanya neutrofil maka dimulai respon keradangan yang ditandai

dengan cardinal symptoms, yaitu tumor, kalor, rubor, dolor dan functio laesa.

Netrofil, limfosit dan makrofag adalah sel yang pertama kali mencapai daerah

luka. Fungsi utamanya adalah melawan infeksi dan membersihkan debris matriks

seluler dan benda-benda asing .Agen kemotaktik seperti produk bakteri, yaitu

DAMP (Damage Associated Molecules Pattern) dan PAMP (Pathogen Spesific

Associated Molecules Pattern), complement factor, histamin, prostaglandin, dan

leukotriene. Agen ini akan ditangkap oleh reseptor TLRs (toll like receptor) dan

merangsang aktivasi jalur signalling intraseluler yaitu jalur NFκβ dan MAPK.

Pengaktifan jalur ini akan menghasilkan ekspresi gen yang terdiri dari sitokin dan

kemokin pro-inflamasi yang menstimulasi leukosit untuk ekstravasasi keluar dari

sel endotel ke matriks provisional. Leukosit akan melepaskan bermacam-macam

faktor untuk menarik sel yang akan memfagosit debris, bakteri, dan jaringan yang

rusak, serta pelepasan sitokin yang akan memulai proliferasi jaringan. Leukosit

yang terdapat pada luka di dua hari pertama adalah neutrofil, biasanya terdeteksi
25

pada luka dalam 24 jam sampai dengan 36 jam setelah terjadi luka. Sel ini

membuang jaringan mati dan bakteri dengan fagositosis.

Netrofil mensekresi sitokin pro inflamasi seperti TNF-α, IL-1β, IL-6 juga

mengeluarkan protease untuk mendegradasi matriks ekstraseluler yang tersisa.

Setelah melaksanakan fungsi fagositosis, neutrofil akan difagositosis oleh

makrofag atau mati. Meskipun neutrofil memiliki peran dalam mencegah infeksi,

keberadaan neutrofil yang persisten pada luka dapat menyebabkan luka sulit untuk

mengalami proses penyembuhan. Hal ini bisa menyebabkan luka akut berprogresi

menjadi luka kronis (Landén et al. dalam Nova, 2018).

Pada hari ke tiga luka, monosit berdiferensiasi menjadi makrofag masuk

ke dalam luka melalui mediasi monocyte chemoattractant protein 1 (MCP-1).

Makrofag sebagai sel yang sangat penting dalam penyembuhan luka memiliki

fungsi fagositosis bakteri dan jaringan matin akan berubah menjadi makrofag

efferositosis (M2) yang mensekresi Makrofag M2 merupakan penghasil sitokin

dan growth factor yang menstimulasi proliferasi fibroblast, produksi kolagen,

pembentukan pembuluh darah baru, dan proses penyembuhan lainnya (GC dalam

Nova, 2018). Makrofag akan menggantikan peran polimorfonuklear sebagai sel

predominan. Platelet dan faktor-faktor lainnya menarik monosit dari pembuluh

darah. Ketika monosit mencapai lokasi luka, maka ia akan dimatangkan menjadi

makrofag.

3. Fase Proliferasi

Fase proliferasi berlangsung mulai hari ke-3 hingga 14 pasca trauma, ditandai

dengan pergantian matriks provisional yang didominasi oleh platelet dan


26

makrofag secara bertahap digantikan oleh migrasi sel fibroblast dan deposisi

sintesis matriks ekstraselular (T Velnar dalam Nova, 2018). Pada level

makroskopis ditandai dengan adanya jaringan granulasi yang kaya akan jaringan

pembuluh darah baru, fibroblas, dan makrofag, granulosit, sel endotel dan kolagen

yang membentuk matriks ekstraseluler dan neovaskular yang mengisi celah luka

dan memberikan scaffold adhesi, migrasi, pertumbuhan dan diferesiasi sel

(Landén et al dan Gutner GC dalam Nova, 2018). Tujuan fase proliferasi ini

adalah untuk membentuk keseimbangan antara pembentukan jaringan parut dan

regenerasi jaringan.

4. Fase Maturasi (Remodeling)

Fase maturasi ini berlangsung mulai hari ke-21 hingga sekitar 1 tahun yang

bertujuan untuk memaksimalkan kekuatan dan integritas struktural jaringan baru

pengisi luka, pertumbuhan epitel dan pembentukan jaringan parut (T Velnar,

dalam Nova, 2018). Segera setelah kavitas luka terisi oleh jaringan granulasi dan

proses reepitelialisasi usai, fase ini pun segera dimulai. Pada fase ini terjadi

kontraksi dari luka dan remodeling kolagen. Kontraksi luka terjadi akibat aktivitas

fibroblas yang berdiferensiasi akibat pengaruh sitokin TGF-β menjadi

myofibroblas, yakni fibroblas yang mengandung komponen mikrofilamen aktin

intraselular. Myofibroblast akan mengekspresikan α-SMA (α-Smooth Muscle

Action) yang akan membuat luka berkontraksi. Matriks intraselular akan

mengalami maturasi dan asam hyaluronat dan fibronektin akan di degradasi (T

Velnar dalam Nova, 2018). Pada fase ini terjadi keseimbangan antara proses
27

sintesis dan degradasi kolagen serta matriks ekstraseluler. Kolagen yang

berlebihan didegradasi oleh enzim kolagenasedan kemudian diserap. Sisanya akan

mengerut sesuai tegangan yang ada.Hasil akhir dari fase ini berupa jaringan parut

yang pucat, tipis, lemas, dan mudah digerakkan dari dasarnya.

H. Penatalaksanaan Fraktur dan Kegawat daruratannya

Menurut Brunner & Suddarth (2005) selama pengkajian primer dan resusitasi,

sangat penting untuk mengontrol perdarahan yang diakibatkan oleh trauma

muskuloskeletal. Perdarahan dari patah tulang panjang dapat menjadi penyebab

terjadinya syok hipovolemik. Pasien dievaluasi dengan seksama dan lengkap.

Ekstremitas sebisa mungkin jangan digerakkan untuk mencegah kerusakan soft

tissue pada area yang cedera.

Prinsip penanganan fraktur meliputi reduksi, imobilisasi, dan pengembalian

fungsi serta kekuatan normal dengan rehabilitasi.

1. Reduksi fraktur

Reduksi fraktur berarti mengembalikan fragmen tulang pada kesejajaran dan

rotasi anatomis. Reduksi bisa dilakukan secara tertutup, terbuka dan traksi

tergantung pada sifat fraktur namun prinsip yang mendasarinya tetap sama.

a. Reduksi tertutup

Reduksi tertutup dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang

kembali keposisinya dengan manipulasi dan traksi manual

b. Reduksi terbuka

Reduksi terbuka dilakukan pada fraktur yang memerlukan pendekatan


28

bedah dengan menggunakan alat fiksasi interna dalam bentuk pin, kawat,

plat sekrew digunakan untuk mempertahankan fragmen tulang dalam

posisinya sampai penyembuhan solid terjadi.

c. Traksi

Traksi digunakan untuk reduksi dan imobilisasi. Menurut Brunner &

Suddarth (2005), traksi adalah pemasangan gaya tarikan ke bagian tubuh

untuk meminimalisasi spasme otot, mereduksi, mensejajarkan, serta

mengurangi deformitas. Jenis–jenis traksi meliputi:

a) Traksi kulit : Buck traction, Russel traction, Dunlop traction

b) Traksi skelet : traksi skelet dipasang langsung pada tulang dengan

menggunakan pin metal atau kawat. Beban yang digunakan pada

traksiskeletal 7 kilogram sampai 12 kilogram untuk mencapai efek

traksi.

2. Mobilisasi fraktur

Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi,

ataudipertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai

terjadipenyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi interna atau eksterna.

Fiksasi eksterna dapat menggunakan pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu pin

dan teknik gips. Fiksator interna dengan implant logam.

3. Mempertahankan dan mengembalikan fungsi

Latihan otot dilakukan untuk meminimalkan atrofi dan meningkatkan

peredaran darah. Partisipasi dalam aktifitas sehari-hari diusahakan untuk

memperbaiki kemandirian fungsi dan harga diri


29

I. Komplikasi fraktur

Komplikasi fraktur menurut Brunner & Suddarth (2005) dibagi menjadi 2

yaitu:

1. Komplikasi awal

a. Syok

Syok hipovolemik akibat dari perdarahan karena tulang merupakan organ

yang sangat vaskuler maka dapat terjadi perdarahan yang sangat besar

sebagai akibat dari trauma khususnya pada fraktur femur dan fraktur

pelvis.

b. Emboli lemak

Pada saat terjadi fraktur, globula lemak dapat masuk kedalam darah

karena tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler dan

katekolamin yang dilepaskan memobilisasi asam lemak kedalam aliran

darah. Globula lemak ini bergabung dengan trombosit membentuk

emboli yang dapat menyumbat pembuluh darah kecil yang memasok

darah ke otak, paru-paru, ginjal dan organ lainnya.

c. Compartment Syndrome

Compartment syndrome merupakan masalah yang terjadi saat perfusi

jaringan dalam otot kurang dari yang dibutuhkan. Hal ini disebabkan

oleh karena penurunan ukuran fasia yang membungkus otot terlalu ketat,

balutan yang terlalu ketat dan peningkatan isi kompartemen karena

perdarahan atau edema.

d. Komplikasi awal lainnya seperti infeksi, tromboemboli dan koagulopati


30

intravaskular.

2. Komplikasi lambat

a. Delayed union, malunion, nonunion

Penyatuan terlambat (delayed union) terjadi bila penyembuhan tidak

terjadi dengan kecepatan normal berhubungan dengan infeksi dan

distraksi (tarikan) dari fragmen tulang. Tarikan fragmen tulang juga

dapat menyebabkan kesalahan bentuk dari penyatuan tulang (malunion).

Tidak adanya penyatuan (nonunion) terjadi karena kegagalan penyatuan

ujung-ujung dari patahan tulang.

b. Nekrosis avaskular tulang

Nekrosis avaskular terjadi bila tulang kekurangan asupan darah dan mati.

Tulang yang mati mengalami kolaps atau diabsorpsi dan diganti dengan

tulang yang baru. Sinar-X menunjukkan kehilangan kalsium dan kolaps

structural

c. Reaksi terhadap alat fiksasi interna

Alat fiksasi interna diangkat setelah terjadi penyatuan tulang namun pada

kebanyakan pasien alat tersebut tidak diangkat sampai menimbulkan

gejala. Nyeri dan penurunan fungsi merupakan indikator terjadinya

masalah. Masalah tersebut meliputi kegagalan mekanis dari

pemasangandan stabilisasi yang tidak memadai, kegagalan material,

berkaratnya alat, respon alergi terhadap logam yang digunakan dan

remodeling osteoporotik disekitar alat

J. Pemeriksaan penunjang
31

1. Pemeriksaan rontgen : menentukan lokasi / luasnya fraktur trauma

2. Scan tulang, tomogram, scan CT / MRI : memperlihatkan

fraktur, juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi

kerusakan jaringan lunak.

3. Arteriogram : dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai.

4. Hitung daerah lengkap : HT mungkin meningkat

( hemokonsentrasi ) atau menurun ( pendarahan sel darah

putih adalah respon stress normal setelah trauma).

5. Kreatinin : Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klien ginjal.

K. Patofisiologi

Fraktur dapat terjadi karena trauma / rudapaksa sehingga dapat menimbulkan

luka terbuka dan tertutup. Fraktur luka terbuka memudahkan mikroorganisme

masuk kedalam luka tersebut dan akan mengakibatkan terjadinya infeksi. Pada

fraktur dapat mengakibatkan terputusnya kontinuitas jaringan sendi, tulang

bahakan kulit pada fraktur terbuka sehingga merangsang nociseptor sekitar untuk

mengeluarkan histamin, bradikinin dan prostatglandin yang akan merangsang

serabut A-delta untuk menghantarkan rangsangan nyeri ke sum-sum tulang

belakang, kemudian

dihantarkan oleh serabut-serabut saraf aferen yang masuk ke spinal melalu

“dorsal root” dan sinaps pada dorsal horn. Impuls-impuls nyeri menyeberangi

sum-sum belakang pada interneuron-interneuron dan bersambung dengan jalur

spinal asendens, yaitu spinothalamic tract (STT) dan spinoreticuler tract (SRT).

STT merupakan sistem yang diskriminatif dan membawa informasi mengenai


32

sifat dan lokasi dari stimulus kepada thalamus kemudian ke korteks serebri untuk

diinterpretasikan sebagai nyeri. Nyeri bisa merangsang susunan syaraf otonom

mengaktifasi norepinephrin, saraf simpatis terangsang untuk mengaktifasi RAS di

hipothalamus mengaktifkan kerja organ tubuh sehingga REM menurun

menyebabkan gangguan tidur. Akibat nyeri menimbulkan keterbatasan gerak

(imobilisasi) disebabkan nyeri bertambah bila digerakkan dan nyeri juga

menyebabkan sulit untuk bergerak termasuk toiletening, menyebabkan

penumpukan faeses dalam colon. Colon mereabsorpsi cairan faeses sehingga

faeses menjadi kering dan keras dan timbul konstipasi. Imobilisasi sendiri

mengakibatkan berbagai masalah, salah satunya dekubitus, yaitu luka pada kulit

akibat penekanan yang terlalu lama pada daerah bone promenence. Perubahan

struktur yang terjadi pada tubuh dan perasaan ancaman akan integritas kulit,

merupakan stressor psikologis yang bisa menyebabkan kecemasan. Terputusnya

kontinuitas jaringan sendi atau tulang dapat mengakibatkan cedera neuro vaskuler

sehingga mengakibatkan oedema juga mengakibatkan perubahan pada membran

alveolar (kapiler) sehingga terjadi pembesaran paru kemudian terjadi kerusakan

pada pertukaran gas, sehingga timbul sesak nafas sebagai kompensasi tubuh untk

memenuhi kebutuhan oksigen.


33

Woc fraktur

Trauma langsung Trauma tidak Kondisi patologis


langsung

Fraktur tertutup Fraktur terbuka

Merangsang
Perdarahan pada Perubahan jaringan reseptor sekitar
area fraktur sekitar untuk
mengeluarkan
histamin
bradikinin dan
Hematoma
Kerusakan pada prostaglandin
kulit

Penekanan pada
serabut saraf Mikroorganisme Merangsang
mausk ke dalam serabut A-delta
luka
Menghantarkan
Nyeri saraf nyeri ke
Resiko infeksri sumsum tulang
belakang

Gangguan Rasa Merangsang saraf


Nyaman Nyeri Gangguan fungsi
lemak otonom

Gangguan REM
mobilisasi fisik

Stimulus thalamus Gangguan


pola tidur

Korteks serebral

Gangguan rasa nyaman nyeri


(Brunner & Suddart, 2002).
34

L. OPEN REDUCTION EKSTERNAL FIKSASI (OREF)

1. Pengertian

OREF adalah reduksi terbuka dengan fiksasi eksternal di mana prinsipnya

tulang ditransfiksasikan di atas dan di bawah fraktur , sekrup atau kawat

ditransfiksi di bagian proksimal dan distal kemudian dihubungkan satu sama lain

dengan suatu batang lain

             Fiksasi eksternal digunakan untuk mengobati fraktur terbuka dengan

kerusakan jaringan lunak . Alat ini memberikan dukungan yang stabil untuk

fraktur kominutif ( hancur atau remuk ) . Pin yang telah terpasang dijaga agar

tetap terjaga posisinya , kemudian dikaitkan pada kerangkanya. Fiksasi ini

memberikan rasa nyaman  bagi pasien yang mengalami kerusakan fragmen

tulang.

2. Tujuan OREF (Open Reduction Eksternal Fixation)

1. Untuk menghilangkan rasa nyeri.


35

Nyeri yang timbul pada fraktur bukan karena frakturnya sendiri, namun

karena terluka jaringan disekitar tulang yang patah tersebut.

2. Untuk menghasilkan dan mempertahankan posisi yang ideal dari fraktur.

3. Agar terjadi penyatuan tulang kembali

Biasanya tulang yang patah akan mulai menyatu dalam waktu 4 minggu

dan akan menyatu dengan sempurna dalam waktu 6 bulan. Namun

terkadang terdapat gangguan dalam penyatuan tulang, sehingga

dibutuhkan graft tulang.

4. Untuk mengembalikan fungsi seperti semula

Imobilisasi yang lama dapat mengakibatkan mengecilnya otot dan

kakunya sendi. Maka dari itu diperlukan upaya mobilisasi secepat

mungkin

3. Indikasi dan Kontraindikasi OREF (Open Reduction Eksternal Fixation)

1. Indikasi tindakan pembedahan ORIF:

a. Fraktur terbuka grade II (Seperti grade I dengan memar kulit dan

otot ) dan III (Luka sebesar 6-8 cm dengan kerusakan pembuluh

darah, syaraf  otot dan kulit )

b. Fraktur terbuka yang disertai hilangnya jaringan atau tulang yang

parah.

c. Fraktur yang sangat  kominutif ( remuk ) dan tidak stabil.

d. Fraktur yang disertai dengan kerusakan pembuluh darah dan saraf.

e. Fraktur pelvis yang tidak bisa diatasi dengan cara lain.

f. Fraktur yang terinfeksi di mana fiksasi internal mungkin tidak cocok.


36

Misal :  infeksi pseudoartrosis ( sendi palsu ).

g. Non union yang memerlukan kompresi dan perpanjangan.

Kadang – kadang pada fraktur tungkai bawah diabetes melitus

2. Keuntungan dan Komplikasi OREF

a. Keuntungan eksternal fiksasi adalah :

Fiksator ini memberikan kenyamanan bagi pasien , mobilisasi awal

dan latihan awal untuk sendi di sekitarnya sehingga komplikasi karena

imobilisasi dapat diminimalkan

b. Sedangkan komplikasinya adalah :.

Infeksi di tempat pen ( osteomyelitis ).

Kekakuan pembuluh darah dan saraf.

Kerusakan periostium yang parah sehingga terjadi delayed union atau

non  union, emboli lemak, overdistraksi fragmen.

c. Hal – hal yang Harus Diperhatikan pada Klien dengan Pemasangan

Eksternal Fiksasi Persiapan psikologis

Penting sekali mempersiapkan pasien secara psikologis sebelum

dipasang fiksator eksternal Alat ini sangat mengerikan dan terlihat

asing bagi pasien. Harus diyakinkan bahwa ketidaknyamanan karena

alat ini sangat ringan dan bahwa mobilisasi awal dapat diantisipasi

untuk menambah penerimaan alat ini, begitu juga keterlibatan pasien

pada perawatan terhadap perawatan fiksator ini.

M. OPEN REDUCTION INTERNAL FIKSASI (ORIF)

1. Pengertian
37

Pasien yang memiliki masalah di bagian musculoskeletal memerlukan

tindakan pembedahan yang bertujuan untuk memperbaiki fungsi dengan

mengembalikan gerahan, stabilisasi, mengurangi nyeri, dan mencegah bertambah

parahnya gangguan musculoskeletal. Salah satu prosedur pembedahan yang sering

dilakukan yaitu dengan fiksasi interna atau disebut juga dengan pembedahan

ORIF (Open Reduction Internal Fixation).

Open Reduction Internal Fixation (ORIF) adalah suatu jenis operasi dengan

pemasangan internal fiksasi yang dilakukan ketika fraktur tersebut tidak dapat

direduksi secara cukup dengan close reduction, untuk mempertahankan posisi

yang tepat pada fragmen fraktur (John C. Adams, 1992 dalam Potter & Perry,

2005). Fungsi ORIF untuk mempertahankan posisi fragmen tulang agar tetap

menyatu dan tidak mengalami pergerakan. Internal fiksasi ini berupa intra

medullary nail, biasanya digunakan untuk fraktur tulang panjang dengan tipe

fraktur transvers.

Open Reduction Internal Fixation (ORIF) adalah sebuah prosedur bedah

medis, yang tindakannya mengacu pada operasi terbuka untuk mengatur tulang,

seperti yang diperlukan untuk beberapa patah tulang, fiksasi internal mengacu

pada fiksasi sekrup dan piring untuk mengaktifkan atau memfasilitasi

penyembuhan (Brunner & Suddart, 2003).

2. Tujuan ORIF (Open Reduction Internal Fixation)

Ada beberapa tujuan dilakukannya pembedahan Orif, antara lain:

1. Memperbaiki fungsi dengan mengembalikan gerakan dan stabilitas

2. Mengurangi nyeri
38

3. Klien dapat melakukan ADL dengan bantuan yang minimal dan dalam

lingkup keterbatasan klien.

4. Sirkulasi yang adekuat dipertahankan pada ekstremitas yang terkena

5. Tidak ada kerusakan kulit

3. Indikasi dan Kontraindikasi ORIF (Open Reduction Internal Fixation)

1. Indikasi tindakan pembedahan ORIF:

a. Fraktur yang tidak stabil dan jenis fraktur yang apabila ditangani

dengan metode terapi lain, terbukti tidak memberi hasil yang

memuaskan.

b. Fraktur leher femoralis, fraktur lengan bawah distal, dan fraktur

intraartikular disertai pergeseran.

c. Fraktur avulsi mayor yang disertai oleh gangguan signifikan pada

struktur otot tendon

2. Kontraindikasi tindakan pembedahan ORIF:

a. Tulang osteoporotik terlalu rapuh menerima implan

b. Jaringan lunak diatasnya berkualitas buruk

c. Terdapat infeksi

d. Adanya fraktur comminuted yang parah yang

menghambat rekonstruksi.

e. Pasien dengan penurunan kesadaran

f. Pasien dengan fraktur yang parah dan belum ada penyatuan tulang

g. Pasien yang mengalami kelemahan (malaise)

4. Keuntungan dan Kerugian ORIF (Open Reduction Internal Fixation)


39

1. Keuntungan dilakukan tindakan pembedahan ORIF:

a. Mobilisasi dini tanpa fiksasi luar

b. Ketelitian reposisi fragmen-fragmen fraktur.

c. Kesempatan untuk memeriksa pembuluh darah dan saraf di sekitarnya.

d. Stabilitas fiksasi yang cukup memadai dapat dicapai

e. Perawatan di RS yang relatif singkat pada kasus tanpa komplikasi.

f. Potensi untuk mempertahankan fungsi sendi yang mendekati normal

serta kekuatan otot selama perawatan fraktur.

2. Kerugian dilakukan tindakan pembedahan ORIF:

a. Setiap anastesi dan operasi mempunyai resiko komplikasi bahkan

kematian akibat dari tindakan tersebut.

b. Penanganan operatif memperbesar kemungkinan infeksi dibandingkan

pemasangan gips atau traksi.

c. Penggunaan stabilisasi logam interna memungkinkan kegagalan alat itu

sendiri.

d. Pembedahan itu sendiri merupakan trauma pada jaringan lunak,

danstruktur yang sebelumnya tak mengalami cedera mungkin akan

terpotong atau mengalami kerusakan selama tindakan operasi.

5. Perawatan Post Operasi ORIF (Open Reduction Internal Fixation)

Dilakukan utnuk meningkatkan kembali fungsi dan kekuatan pada bagian yang

sakit. Dapat dilakukan dengan cara:

1. Mempertahankan reduksi dan imobilisasi.

2. Meninggikan bagian yang sakit untuk meminimalkan pembengkak.


40

3. Mengontrol kecemasan dan nyeri (biasanya orang yang tingkat kecemasannya

tinggi, akan merespon nyeri dengan berlebihan)

4. Latihan otot

5. Pergerakan harus tetap dilakukan selama masa imobilisasi tulang, tujuannya

agar otot tidak kaku dan terhindar dari pengecilan massa otot akibat latihan

yang kurang.

6. Memotivasi klien untuk melakukan aktivitas secara bertahap dan

menyarankan keluarga untuk selalu memberikan dukungan kepada klien

N. Plebitis

1. Definisi

Plebitis adalah proses inflamasi yanf terjadi pada tunika intima pada dinding vena

bagian dalam yang terdiri dari jaringan endotel akibat dari insersi IV kateter.

Pemasanan akses vena perifer kateter merupakan prosedur pemasangan yang biasa

dilakukan di unit pelayanan kesehatan, tindakan ini dapat menimbulkan resiko

infeksi di pembuluh darah dikarenakan kateter yang masuk menembus kulit

memungkinkan bakteri dan patogen lainnya masuk ke aliran darah, faktor

kesterilan selama pemasangan kateter infus dapat meningkatkan kemungkinan

infeksi.

2. Tanda dan gejala plebitis

Meskipun tidak ada kesepakan dalam komunitas ilmiah, secara fisik plebitis

ditanda dengan :

 Kenerahan lokal

 Pembengkakan
41

 Nyeri

 Panas

 Terjadi penebalan pada vena area yang terjadi plebitis

3. Klasifikasi Plebitis

berdasarkan penyebabnya adalah

1. Mekanik : hal ini terkait dengan material dari keteter infus yang tidak baik,

penanganan yang tidak tepat saat kateter digunakan

2. Kimia : disebabkan oleh zat – zat yang dimasukkan ke dalam infus seperti

beberapa antibiotik yang bersifat erosif pada dinding indotel

3. Bakteri : bila ada kolonisasi microba karena kurangnya teknik aseptik dan

antiseptik, baik dari nakes atau dari pasien

4. Setelah dipasang infus : antara 48 jam sampai dengan 96 hari setelah infus

dilepas masih ada resiko terjadinya plebitis

4. Derajat Plebitis

Pada beberapa negara seperti Amerika dan Inggris penggunakan Visual

Infusion Phlebitis (VIP) untuk menentukan derajat plebitis, skala ini ditentukan

dengan melakukan observasi area insersi, skornya berkisar antara 0 sampai

dengan 5 dengan atau tanpa ada gejala.

Perawat melakukan observasi terhadap area insersi vena kateter perifer

Grad 0 : menunjukkan insersi yang baik, tidak ada terjadinya inflamasi namun

tetap dalam pengawasan


42

Grad 1 : terdapat 1 dari beberapa gejala, nyeri saat disentuh atau kemerahan

disekitar insersi, tidak direkomendasikan untuk melepas/memindahkan

infus namun tetap dilakukan obser

Grad 2 : bila terdapat 2 dari tanda dan gejala nyeri area insersi,adanya eritema dan

adanya pembengkakan,tahap awal flebitis telah terjadi,pelepasan dan

pemindahan area insersi harus dilakukan.

Grad 3 : ketika terdapat gejala – gejala nyeri diarea jalur akses vena, eritema dan

indurasi dikatakan plebitis diperlukan tindakan pelepasan akses vena

tersebut, dilakukan pemindahan pada area yang lain dan dilakukan

intervensi untuk mengobati area yang plebitis

Grad 4 : dimana terdapat semua gejala dan meluas (nyeri sepanjang jalur insersi,

eritema, indurasi dan penebalan vena saat dipalpasi, hal ini disebut

plebitis tahap lanjut, atau tahap awal tromboplebitis untuk penanganan

tahap ini sama dengan yang dilakukan pada plebitis tahap 3.

Grad 5 : adanya tromboplebitis stadium lanjut, dan semua gejala yang diatas

muncul dan meluas dan terjadi demam, untuk penanganan sama dengan

yang dilakukan pada grad 3.

O. Asuhan Keperawatan Teoritis Fraktur Tibia Fibula

1. Pengkajian

a. Biodata Klien

Identitas klien meliputi : nama, umur, jenis kelamin perlu dikaji karena

biasanya laki-laki lebih rentan terhadap terjadinya fraktur akibat

kecelakaan bermotor, pendidikan, pekerjaan, agama, suku/bangsa,


43

tanggal masuk rumah sakit, tanggal pengkajian, diagnosa medis, nomor

medrek dan alamat. Identitas penanggung jawab meliputi : nama, umur,

pekerjaan, agama, pendidikan, suku/bangsa, alamat, hubungan dengan

klien.

b. Keluhan utama

Nyeri yang diraskan terus menerus, hilangnya fungsi dari bagian yang

fraktur, adanya deformitas, pemendekan ekstremitas yang fraktur, adanya

krepitasi, pembangkakan local dan adanya perubahan warna adalah yang

menjadi keluhan utama pasien masuk ke rumah sakit.

c. Riwayat Kesehatan Sekarang

Merupakan penjelasan dari permulaan klien merasakan keluhan sampai

dengan dibawa ke rumah sakit dan pengembangan dari keluhan utama

dengan menggunakan PQRST.

P (Provokative/Palliative) : apa yang menyebabkan gejala bertambah

berat dan apa yang dapat mengurangi gejala.

Q (Quality/Quantity) : bagaimana gejala dirasakan klien dan sejauh mana

gejala dirasakan.

R (Region/Radiation) : dimana gejala dirasakan ? apakah menyebar? apa

yang dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan gejala tersebut ?

S (Saferity/Scale) : seberapa tingkat keparahan gejala dirasakan? Pada

skala berapa?

T (Timing) : berapa lama gejala dirasakan ? kapan tepatnya gejala mulai

dirasakan.
44

Data Riwayat penyakit pasien yang menjelaskan mulai dari pasien

mengalami gangguan karena penyakit yang diderita

d. Riwayat Kesehatan Dahulu

Tanyakan mengenai masalah-masalah seperti adanya riwayat trauma,

riwayat penyakit tulang seperti osteoporosis, osteomalacia, osteomielitis,

gout ataupun penyakit metabolisme yang berhubungan dengan tulang

seperti diabetes mellitus (lapar terus-menerus, haus dan kencing terus–

menerus), gangguan tiroid dan paratiroid.

e. Riwayat Kesehatan Keluarga

Hal yang perlu dikaji adalah apakah dalam keluarga klien terdapat

penyakit keturunan ataupun penyakit menular dan penyakit - penyakit

yang karena lingkungan yang kurang sehat yang berdampak negatif pada

kesehatan anggota keluarga termasuk klien.

f. Riwayat psikososial spiritual

Merupakan respon emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan

peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau

pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari baik dalam

keluarga/masyarakat.

g. Pola persepsi dan konsep diri

Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketakutan akan

kecemasan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk

melakukan aktivitas secara optimal, dan pandanga terhadap dirinya yang

salah.
45

h. Pola Aktivitas Sehari-hari

1) Pola Nutrisi

Kebiasaan makan klien sehari-hari dan kebiasaan makan-makanan

yang mengandung kalsium yang sangat berpengaruh dalam proses

penyembuhan tulang dan kebiasaan minum klien sehari-hari,

meliputi frekwensi, jenis, jumlah dan masalah yang dirasakan.

2) Pola Eliminasi

Kebiasaan BAB dan BAK klien, apakah berpengaruh terhadap

perubahan sistem tubuhnya yang disebabkan oleh fraktur.

3) Pola Istirahat Tidur

Kebiasaan klien tidur sehari-hari, apakah terjadi perubahan setelah

mengalami fraktur. Semua pasien fraktur mengalami rasa nyeri,

keterbatasan gerak,sehingga hal ini dapat menganggu tidur pasien.

4) Personal Hygiene

Kebiasaan mandi, cuci rambut, gosok gigi dan memotong kuku perlu

dkaji sebelum klien sakit dan setelah klien dirawat dirumah sakit.

5) Pola Aktivitas

Sejauh mana klien mampu beraktivitas dengan kondisinya saat ini

dan kebiasaan klien berolah raga sewaktu masih sehat.

i. Pemeriksaan fisik

Dilakukan dengan menggunakan teknik inspeksi, palpasi, perkusi dan

auskultasi terhadap berbagai sistem tubuh.

1) Keadaan Umum
46

Klien yang mengalami immobilisasi perlu dilihat dalam hal

penampilan, postur tubuh, kesadaran, gaya berjalan, kelemahan,

kebersihan dirinya dan berat badannya

2) Sistem Pernafasan

Bentuk hidung, ada atau tidaknya sekret, PCH (Pernafasan Cuping

Hidung), kesimetrisan dada dan pernafasan, suara nafas dan

frekwensi nafas. Pengaturan pergerakan pernafasan akan

mengakibatkan adanya retraksi dada akibat kehilangan koordinasi

otot. Ekspansi dada menjadi terbatas karena posisi berbaring

akibatnya ventilas paru menurun sehingga dapat menimbulkan

atelektasis. Akumulasi sekret pada saluran pernafasan

mengakibatkan terjadinya penurunan efisiensi siliaris yang dapat

menyebabkan pembersihan jalan nafas yang tidak efektif.

Kelemahan pada otot pernafasan akan menimbulkan mekanisme

batuk tidak efektif.

3) Sistem Kardiovaskuler

Warna konjungtiva pada fraktur, terutama fraktur terbuka akan

terlihat pucat dikarenakan banyaknya perdarahan yang keluar dari

luka, terjadi peningkatan denyut nadi karena pengaruh metabolik,

endokrin dan mekanisme keadaaan yang menghasilkan adrenergik

sereta selain itu peningkatan denyut jantung dapat diakibatkan pada

klien immobilisasi. Orthostatik hipotensi biasa terjadi pada klien

immobilisasi karena kemampuan sistem syaraf otonom untuk


47

mengatur jumlah darah kurang. Rasa pusing saat bangun bahkan

dapat terjadi pingsan, terdapat kelemahan otot. Ada tidaknya

peningkatan JVP (Jugular Vena Pressure), bunyi jantung serta

pengukuran tekanan darah. Pada daerah perifer ada tidaknya oedema

dan warna pucat atau sianosis

4) Sistem Pencernaan

Keadaan mulut, gigi, bibir, lidah, kemampuan menelan, peristaltik

usus dan nafsu makan. Pada klien fraktur dan dislokasi biasanya

diindikasikan untuk mengurangi pergerakan (immobilisasi) terutama

pada daerah yang mengalami dislokasi hal ini dapat mengakibatkan

klien mengalami konstipasi.

5) Sistem Genitourinaria

Ada tidaknya pembengkakan dan nyeri daerah pinggang, palpasi

vesika urinaria untuk mengetahui penuh atau tidaknya, kaji alat

genitourinaria bagian luar ada tidaknya benjolan, lancar tidaknya

pada saat klien miksi serta warna urine. Pada klien fraktur dan

dislokasi biasanya untuk sementara waktu jangan dulu turun dari

tempat tidur, dimana hal ini dapat mengakibatkan klien harus BAK

ditempat tidur memaskai pispot sehingga hal ini menambah

terjadinya susah BAK karena klien tidak terbiasa dengan hal

tersebut.

6) Sistem Muskuloskeletal

Derajat Range Of Motion pergerakan sendi dari kepala sampai


48

anggota gerak bawah, ketidaknyamanan atau nyeri ketika bergerak,

toleransi klien waktu bergerak dan observasi adanya luka pada otot

akibat fraktur terbuka, tonus otot dan kekuatan otot. Pada klien

fraktur dan dislokasi dikaji ada tidaknya penurunan kekuatan, masa

otot dan atropi pada otot. Selain itu dapat juga ditemukan kontraktur

dan kekakuan pada persendian.

7) Sistem Integumen

Keadaan kulit, rambut dan kuku. Pemeriksaan kulit meliputi tekstur,

kelembaban, turgor, warna dan fungsi perabaan. Pada klien fraktur

dan dislokasi yang immobilisasi dapat terjadi iskemik dan nekrosis

pada jaringan yang tertekan, hal ini dikarenakan aliran darah

terhambat sehingga penyediaan nutrisi dan oksigen menurun.

8) Sistem Persyarafan

Mengkaji fungsi serebral, fungsi syaraf cranial, fungsi sensorik dan

motorik sertsa fungsi refleks.

2. Diagnosa Keperawatan

a. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan agen injuri fisik

(fraktur)

b. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan integritas

struktur tulang

c. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan gesekan fragmen tulang

d. Gangguan pola tidur berhubungan dengan hambatan lingkungan


49
BAB III
TINJAUAN KASUS

A. PENGKAJIAN

1. Identitas Pasien
Nama Pasien : Tn. Adun Tri Putra
Tanggal Lahir : 13/10/1975
Usia : 46 tahun
Jenis Kelamin : Laki – laki
Alamat : Cibogo RT 03/06 Leuwigajah
Cimahi Selatan Kota Cimahi
Pekerjaan : Buruh
Agama : Islam
Pendidikan : SMU
Status marital : Menikah
Nomor RM : 0001979434
Diagnosa Medis : Open fraktur at tungkai tibia fibula
Tanggal Pengkajian : 9/11/2021
Tanggal Masuk RS : 20/10/2021

2. Identitas Penanggung Jawab Pasien


Nama : Ny. Imas
Jenis Kelamin : Perempuan
Pendidikan : SMU
Hubungan dengan Pasien : Istri
Alamat : Cibogo RT 03/06 Leuwigajah
Cimahi Selatan Kota Cimahi.

3. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan Utama : Pasien mengeluh badan terasa
panas
b. Riwayat Kesehatan Sekarang :
Tanggal 13/10/2021 pasien mengalami kecelakaan sehingga
mengalami faktur terbuka pada tulang tibia dan fibula dextra
sehingga harus dilakukan pemasangan OREF pada hari berikutnya di
rumah sakit Boromeus, seminggu kemudian pasien dirujuk ke RSHS
untuk dilakukan ORIF, pada tanggal 27/10/2021 pasien dilakukan
ORIF di RSHS.
Pada saat dikaji pasien mengeluh demam yang terjadi sejak 3 hari
yang lalu, pasien mengeluh badan terasa panas, sebelumnya
menggigil, terasa hilang timbul terutama muncul saat malam dan
51

pagi hari, kembali ke suhu normal setelah pasien minum obat.


Demam yang dirasakan membuat pasien bed rest.

c. Riwayat Kesehatan Dahulu :


Pasien tidak punya riwayat alergi, tidak pernah dilakukan operasi
sebelumnya, tidak mempunyai riwayat osteoporosisn

d. Riwayat Kesehatan Keluarga :


Keluarga pasien tidak ada yang memiliki penyakit hipertensi,
diabetes melitus, dan penyakit menular lainnya, pasien tidak perna
mengalami jatuh sebelumnya

4. Data psikologis, sosial dan spiritual


a. Data Psikologis :
Pasien mengetahui kakinya yang kanan parah ditulang kering dan
terpasang plat besi untuk menyambungkan. Pasien mengetahu
dirinya akan dilakukan operasi penambalan jaringan (STSG) dan
dilakukan pembersihan jaringan yang sudah mati pada sisi dalam
kaki kanan. Pasien tidak memiliki perasaan tidak puas terhadap
anggota tubuhnya, bangga terhadap identitas dirinya sebagai laki –
laki, walaupun perannya sebagai kepala rumah tangga terganggu
dengan sakitnya namun pasien mengatakan untuk kehidupan
ekonomi keluarganya namun keuangan keluarganya dibantu sama
warung yang dijalankan oleh istrinya, pasien tamoak menerima sakit
yang dialaminya sebagai sebuah takdir

b. Data Sosial :
Selain menjadi buruh pabrik pasien bekerja sebagai ojek online,
sehingga pasien jarang bersosialisasi dengan tetangganya, pasien
dirawat dengan menggunakan BPJS karena untuk jasa raharja
plafonnya sudah habis

c. Data Spiritual

√ Agama : √ Baligh √ Ibadah : dibantu


Islam
x Penggunaan kerudung √ Kegiatan ibadah lain
√ Besuci : Tayamum
√ Melaksanakan sholat : tidak sholat √ Kemampuan sholat :
Duduk
√ Kendala tidak sholat : malas
√ Makna sakit : Ujian
√ Harapan sembuh : ya
√ Penerimaan tentang penyakit : menerima
√ Dukungan komunitas spiritual : baik
√ Yang paling mendukung : keluarga
52

Uraian persepsi pasien terhadao konsep ketuhanan, makna hidup ,


sumber harapan : Pasien mengatakan sakitnya adalah ujian dari Allah
SWT, pasien mengatakan pasrah dalam mengahadapi penyakitnya saat
sehat, makna hidup bagi pasien adalah membahagiakan keluarganya, pasien
rajin sholat 5 waktu, jarang menjalankan sholat sunah, selalu menjalankan
puasa ramadhan, jarang menjalankan puasa sunah, saat sakit pasien tidak
pernah sholat walaupun sudah diingatkan oleh istrinya dan dijelaskan kalau
sholat bisa dilakukan dengan cara apa saja sesuai kemampuan pasien, pasien
tidak mengetahui caranya tayamum

5. POLA AKTIVITAS HIDUP SEHARI-HARI ( ACTIVITY DAILY


LIVING)

No Kebiasaan di rumah di rumah sakit


1 Nutrisi
Makan
 Jenis  Nasi  Bubur
 Frekuensi  3x1  3x1
 Porsi  1 porsi  1/3-1/2 porsi
 Keluhan  Tidak ada  Mual
Minum
 Jenis  Air putih  Air putih dan
susu
 Frekuensi  6-7 gelas  5-6 gelas
 Jumlah (cc)  2 literan  2 liter
 Keluhan  Tidak ada  Tidak ada
2 Eliminasi
BAB
 Frekuensi  2-3 x/hari  2 x/hari
 Warna  Kuning  kuning
 Konsistensi  Lembek  lembek
 Keluhan  Tidak ada  tidak ada
BAK
 Frekuensi  4 x/hari  Sering
 Warna  Kuning  Kuning
 Jumlah (cc)  Tidak tahu  Tidak tau
 Keluhan  Tidak ada  Tidak ada
53

3 Istirahat dan tidur


 Waktu tidur
o Malam, pukul  21.00  Tidak menentu
o Siang, pukul  Tidak  Tidak menentu
pernah
 Lamanya  Tidak pasti  Tidak pasti
lamanya lamanya
 Keluhan  Tidak ada  Tidak ada
4 Kebiasaan diri
 Mandi  2x/hari  1x/hari
 Perawatan  2hari sekali  Tidak pernah
rambut
 Perawatan  3 minggu  Tidak pernah
kuku sekali
 Perawatan gigi  2 kali sehari  Tidak pernah
 Tingkat  Tidak ada  Selalu dibantu
Ketergantungan istri atau
anaknya
 Kebiasaan  ada  ada
merokok
 Kebiasaan  jarang  jarang
olahraga

6. DATA PEMERIKSAAN FISIK

a. Status Kesehatan Umum


Penampilan umum :
Kesadaran : Compos mentis
GCS 15 (E 4 M 6 V 5)
Tanda-tanda vital : TD = 130/80 mmHg
HR = 120 kali/menit
RR = 34 kali/menit
S = 39 OC
Status Antopometri : BB = 50 kg
TB = 160 cm
IMT = 23,4

b. Hasil Pemeriksaan Sistem :


1) Kepala dan leher
Bentuk bulat simetris, rambut bersih, tidak ada benjolan dan
tidak ada nyeri tekan, mata konjungtiva tidak anemis, sklera
54

tidak ikterik, pupil isokor, pendengaran baik, tidak ada serumen,


tidak ada nyeri tekan, pernafsan cuping hidung tidak ada, leher
tidak ada benjolan, pembesaran kelenjar, pembesaran tyroid, JVP
5+2, trache ada ditengah
2) Dada anterior
Bentuk simetris, pengembangan dada simetris, retraksi dinding
dada ada, pergerakan simetris, suara nafas vesikuler, iktus cordis
tidak terlihat, suara jantung S1 dan S2, perkusi sonor

3) Dada posterior
Bentuk simetris, ridak ada benjolan, pengembangan dada
simetris, vokal premitus ada, suara nafas vesikuler perkusi sonor
4) Abdomen
Bentuk datar, warna coklat, tidak ada nyeri tekan, perkusi
terdengan timpani, bising usus 17x/menit

5) Genital
Kondisi genital pasien utuh, tampak bersih
6) Ekstremitas atas
a) Tangan kanan tidak ada kelainan, tidak ada benjolan, tidak
ada nyeri tekan kekuatan otot 5
b) Tangan kiri terpasang infus, tidak ada benjolan, ada nyeri
tekan, tampak merah dan bengkak daerah insersi infus,
kekuatan otot 5
7) Ekstremitas bawah
a) Kaki kiri bentuk simetris, jari lengkap, tidak ada benjoan,
tidak ada benfolan dan tidak ada nyeri tekan, kekuatan otot 5
b) Terdapat luka post pemasangan ORIF di kaki kanan, ada
nyeri tekan pada luka post ORIF skala nyeri 3/10, kekuatan
otot 3, Kondisi luka post ORIF (REEDA) : Terdapat
kemerahan disekitar luka post ORIF, adanya edema di sekitar
luka post ORIF, tidak ada ekimosis pada area sekitar luka,
terdapat pus pada luka post pemasangan ORIF, dan luka
tampak membuka
55

7. DATA PENUNJANG DIAGNOSTIK


a. Pemeriksaan Thorak foto
Tanggal pemeriksaan : 28 November 2021
Kesan :
Fraktur kominutif 1/3 distal os tibia kanan, terpasang plate and screw
posisi baik
Fraktur komplit pada 1/3 distal os fibula kanan
Fraktur komplit pada 1/3 medial os fibula kanan disertai
displacement dan shortering
Belum tampak pembentukan callus
Tidak tampak osteomielitis

Pemeriksaan Laboratorium :

No Jenis Nilai rujukan Hasil pemeriksaan


Tgl :7/11/2021 Tgl: 5/11/21
pemeriksaan normal
1 Hb 14-17,4 9,9 9,2
2 Ht 41,5-50,4 30, 2 27,8
3 Leu 4.400-11.300 18,76 13,37
4 Trombosit 150 rb-450 rb 192.000 307.000
5 Albumin 3,4-5 1,91

b. Program Terapi

Nama obat Cara pemberian Dosis Jam pemberian


08.00 – 16.00 –
Nacl 0 IV 1500 cc/24 Jam
20.00
Ceftriaxone IV 2x1 gr 08.00 – 20.00
56

Omeprazole IV 2 x 40 mg 08.00 – 20.00


Parasetamol PO 3 x 1 gr 08 – 16 – 18

B. ANALISA DATA

No. Data Etiologi Problem/Masalah


1. DS : Agen infeksius (bakteri, virus & Hipertermia
Pasien mengatakan badan jamur)
terasa panas, pasien Mediator inflamasi
mengatakan sejak 3 hari
yang lalu pasien Monosit/makrofag
mengeluh badan terasa
panas, sebelumnya Sitokin pyrogen
menggigil, terasa hilang
timbul terutama muncul Mempengaruhi hypothalamus
saat malam dan pagi hari anterior (serabut eferen)
DO :
Pasien terlihat menggigil, Demam
badan terasa panas, S 39
C Peningkatan suhu

Hipertermi
2. DS : Trauma langsung Resiko infeksi
DO :
Terdapat luka post Fraktur terbuka
pemasangan ORIF di
kaki kanan, terdapat Perubahan jaringan sekitar
kemerahan di sekitar
insersi infus, bengkak Kerusakan pada kulit
ada, nyeri tekan ada
Kondisi luka post ORIF Mikroorganisme masuk ke dalam
(REEDA) : luka
Terdapat kemerahan
disekitar luka post ORIF, Resiko infeksi
adanya edema di sekitar
luka post ORIF, tidak ada
ekimosis pada area
sekitar luka, terdapat pus
pada luka post
pemasangan ORIF, dan
luka tampak membuka
Hb : 9,9
Albumin : 1,91
57

3 DS : Trauma langsung Nyeri akut


Pasien mengeluh nyeri
pada area pemasangan Fraktur terbuka
infus, pasien mengatakan
nyeri pada luka post Merangsang reseptor sekitar
pemasangan ORIF, skala untuk mengeluarkan histamin,
nyeri 3/10 bradykinin dan prostaglandin
DO :
Pasien tampak meringis Merangsang serabut A delta
saat dipegang pada area
pamasangan infus, area Merangsang saraf otonom
pemasangan infus tampak
merah dan bengkak Stimulus thalamus

Korteks serebral

Nyeri akut
4 DS : Trauma langsung Gangguan mobilisasi
pasien mengatakan nyeri fisik
pada luka post Fraktur terbuka
pemasangan ORIF, skala
nyeri 3/10 Perubahan jaringan sekitar
DO :
Terdapat luka post Kerusakan pada kulit
pemasangan ORIF di
kaki kanan, kekuatan otot Mikroorganisme masuk ke dalam
kaki kanan 3 luka

Resiko infeksi

Gangguan fungsi lemak

Gangguan mobilisasi fisik


5 DS : Trauma langsung Hambatan
Pasien mengatakan religiusitas
selama dirawat tidak Fraktur terbuka
pernah sholat, pasien
mengatakan tidak tau Perubahan jaringan sekitar
cara tayamum
DO : Kerusakan pada kulit
Pasien terlihat tidak
sholat dhuhur Mikroorganisme masuk ke dalam
luka

Resiko infeksi

Gangguan fungsi lemak

Gangguan mobilisasi fisik


58

Pasien malas melakukan kegiatan


ibadah

C. DIAGNOSA KEPERAWATAN BERDASARKAN PRIORITAS

1) Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit

2) Resiko infeksi dibuktikan dengan efek prosedur invasif

3) Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik

4) Gangguan mobilisasi fisik berhubungan dengan kerusakan integritas


struktur tulang

5) Hambatan religiusitas berhubungan dengan dukungan yang tidak


efektif
59

D. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN

No. Diagnosa Tujuan Intervensi Rasional


DX Keperawatan

1. Hipertermia Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1x8 jam Manajemen Hipertermia


berhubungan diharapkan suhu tubuh tetap berada pada rentang Observasi:
dengan proses normal dengan kriteria hasil : 1. Identifikasi penyebab Untuk mengetahui apakah infeksi
penyakit ditandai 1. Menggigil tidak ada hipertermia (mis. terjadi karena luka post ORIF afau
dengan : 2. Suhu tubuh 35,5 – 37 0 dehidrasi, terpapar flebitis
DS : 3. Intake outpun seimbang lingkungan panas,
Pasien penggunaan inkubator)
mengatakan 2. Monitor suhu tubuh/4
badan terasa jam Mengetahuai danya peningkayan suhu
panas, pasien tubuh
mengatakan 3. Monitor kadar Na & Kadar kalsium yang rendah dan suhu
sejak 3 hari yang Kalium serum /24 jam tubuh tinggi perlu diwaspadai adanya
lalu pasien kejang
mengeluh badan 4. Monitor intake Urin yang pekat dengan haluan yang
terasa panas, output/8 jam sedikit merupakan indikasi pasien
sebelumnya dehidrasi
menggigil, terasa 5. Monitor adanya Kejang merupakan komplikasi yang
hilang timbul kejang dan tanda – serius dari pasien yang mengalami
terutama muncul tanda dehidrasi hipertermi
saat malam dan Terapeutik: Lingkungan yang dingin dapat
pagi hari 1. Sediakan lingkungan mempengaruhi penurunan suhu tubuh
DO : yang dingin pasien melalui proses radiasi
Pasien terlihat Pelepasan baju memungkinkan untuk
menggigil, badan 2. Longgarkan atau panas tubuh menguap ke udara
60

terasa panas, S lepaskan pakaian sehingga diharapkan suhu tubuh


39 C menjadi turun
Dengan memanfaatkan proses
3. Berikan kompres konduksi dan radiasi diharapkan
hangat pada ketiak dan panas tubuh akan turun
dahi Menghindari dehidrasi akubat proses
evaporasi dari suhu tubuh yang
meningkat
4. Berikan cairan 1500 – Antipiretik menyebabkan turunnya
3000 cc/24 jam produksi interleukin pada hipotalamus
sehingga menginduksi suhu tubuh
5. Berikan oksigen, jika Kompres NaCl 0,9 lebih efektif
perlu menurunkan nyeri pada area plebitis
6. Lakukan kompres dibandingkan dengan kompres
dengan NaCl 0,9% dengan alkohol ((Suryadi,
pada area phlebitis Evangeline & Sunarya 2015)
Menurunkan metabolisme sehingga
Edukasi pasien tidak kelelahan
1. Anjurkan tirah baring Pemberian cairan dan elektrolit perlu
Kolaborasi dipertimbangkan bila ada tanda –
1. Kolaborasi pemberian tanda dehidrasi
terapi anti piretik :
parasetamol 1 gr

2. Resiko infeksi Setelah dilakukan tindakan keperawatan 2x24 jam Pencegahan infeksi
dibuktikan derajat infeksi menurun Observasi:
dengan efek Dengan kriteri hasil : 1. Monitor tanda
prosedur invasif 1. Kemerahan berkurang gejala infeksi lokal Mendeteksi adanya infeksi terutama
ditandai dengan : 2. Nyeri skor 0 dan sistemik infeksi sistemik
61

DS : 3. Leukosit 4.400 – 11.300 Terapeutik


DO : 1. Berikan perawatan
Terdapat luka kulit pada daerah Mempercepat proses penyembuhan
post pemasangan edema luka
ORIF di kaki 2. Cuci tangan
kanan, terdapat sebelum dan sesudah Mencegah infeksi nasokomial
kemerahan di kontak dengan pasien
sekitar insersi dan lingkungan pasien
infus, bengkak 3. Pertahankan teknik
ada, nyeri tekan aseptik pada pasien Mencegah terjadinya infeksi
ada berisiko tinggi nasokomial
Edukasi
1. Jelaskan tanda dan
gejala infeksi Meningkatkan pengethuan pasien
tentang tanda dan gejala infeksi
2. Ajarkan cara
Meningkatkan pengetahuan cara
memeriksa luka
pemeriksaan luka dengan benar
3. Anjurkan
Meningkatkan imun pasien
meningkatkan asupan
cairan da nutrisi
Kolaborasi
1. Pemberian albumin
Memperbaiki permeabilitas vaskuler
25%
sehingga pemberian antibiotic efektif
3. Nyeri akut Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam Manajemen Nyeri
berhubungan diharapkan tingkat nyeri menurun dengan kriteria Observasi:
dengan agen hasil : 1. Monitor nyeri secara Dapat memntukan tindakan dan atau
pencedera fisik 1. Keluhan nyeri cukup menurun komprehensi (pqrst) pengobatan apa yang harus dilakukan
ditandai dengan : 2. Meringis cukup menurun setiap 8 jam untuk mengatasi nyeri
DS : 3. Gelisah cukup menurun 2. Monitoring TTV setiap Mengetahui tingkat keparahan nyeri
Pasien mengeluh 4. Tidur cukup 8 jam
62

nyeri pada area Terapeutik:


pemasangan 1. Berikan teknik Melihat tingkat nyeri yang tidak
infus, pasien nonfarmakologi untuk didapat secara verbal
mengatakan mengurangi rasa nyeri :
nyeri pada luka Teknik nafas dalam
post pemasangan 2. Kontrol lingkungan Menghindari sara nyeri pasien
ORIF, skala yang nyaman : ganti
nyeri 3/10 linen
DO : 3. Fasilitasi istirahat Mengetahui tingkat pengetahuan
Pasien tampak dan tidur pasien tentang nyeri
meringis saat
dipegang pada 4. Pertimbangkan Mengetahui sejauh mana nyeri dapat
area pamasangan jenis dan sumber nyeri mempengaruhi aktifitas pasien
infus, area dalam pemilihan
pemasangan infus strategi meredakan
tampak merah nyeri
dan bengkak Edukasi
1. Ajarkan teknik
Untuk skala nyeri ringan dan sedang
Teknik nafas dalam
sangat bermanfaat untuk menurunkan
nyeri
Kolaborasi
1. Kolaborasi
Dapat menurunkan rasa nyeri pasien
pemberian ketorolac 30
yang tidak dapat dilakukan oleh terapi
mg + pethidine 100 mg
nonfarmakologis
drip dalam NaCL 0,9%
dalam 24 jam

4. Gangguan Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam Dukungan mobilisasi


mobilisasi fisik diharapkan mobilitas fisik meningkat dengan Observasi:
berhubungan kriteria hasil : 1. Identifikasi adanya Rasa nyeri dapat berakibat seseorang
63

dengan kerusakan 1. Kebutuhan ADL pasien terpenuhi nyeri atau keluhan fisik malan bergerak
integritas struktur 2. Tonus otot tetap baik lainnya
tulang ditandai 3. Nyeri berkurang ( skala 1-3) 2. Identifikasi Mengetahui batas kemampuan gerak
dengan : 4. Kaku sendi tidak ada toleransi fisik pasien
DS : 5. Tidak terjadi decubitus melakukan pergerakan
Pasien 3. Monitor frekuensi Mengetahui efek dari melakukan
mengatakan jantung dan tekanan aktifitas fisik
nyeri pada luka darah sebelum memulai
post pemasangan mobilisasi
ORIF, skala 4. Monitor kondisi Mengetahui efek dari melakukan
nyeri 3/10 umum selama aktifitas fisik
melakukan mobilisasi
DO : Terapeutik:
Terdapat luka 1. Bantu adl pasien Kebutuhan pasien terpenuhi dengan
post pemasangan baik
ORIF di kaki Untuk meningkatkan kemampuan
2. ROM pasif pada
kanan, kekuatan aktifitas pasien
area fraktur
otot kaki kanan 3
3. Libatkan keluarga
Meningkatkan partisipasi keluarga
untuk membantu pasien
dalam merawat pasien
dalam meningkatkan
pergerakan

Edukasi
1. Adukasi nutrisi
penyembuhan tulang Keluarga dan pasien mengerti
2x pertemuan sehingga diharapkan dapat berperan
serta mendukung proses pengobatan
2. Anjurkan pasien
melakukan mobilisasi Meningkatkan kemampuan mobilisasi
dini pasien secara perlahan sehingga tidak
64

terjadi komplikasi pada pasien


3. Ajarkan mobilisasi Dapat menurunkan nyeri tekan dan
sederhana yang harus nyeri gerak, meningkatkan LGS, dan
dilakukan (mis. Duduk meningktakan kemampuan fungsional
di tempat tidur)
Kolaborasi :
1. Kolaborasi dengan Mencegah kontraktur dari ekstremitas
fisioterapi dan memperbaiki kekuatan otot
ekstremitas

Hambatan Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam Dukungan perkembangan


religiusitas terjadi peningkatan terhadap dukungan spiritual. Spititual
ditandai dengan Dengan kriteria hasil : Terapeutik:
dukungan yang 1. Klien mampu mematuhi keyakinan agamanya 1. Identifikasi masalah Menemukan masalah spiritual pasien
tidak efektif 2. Klien mampu mengikuti dan mematuhi rituan spiritual
Ditandai dengan agamanya 2. Lakukan bimbingan Memfasilitasi dukungan yang bisa
DS : doa, tayamum dan didapat dari luar
Pasien sholat bila perlu
mengatakan Edukasi
selama dirawat 1. Anjurkan klien untuk Kegiatan keagamaan merupakan
tidak pernah menjalankan ritual upaya untuk meningkatkan
sholat, pasien keagamaannya religiusitas
mengatakan tidak 2. Motivasi klien untuk
tau cara mengikuti ritual
tayamum keagamaannya Ritual keagamaan dapat menambah
DO : 3. Motivasi keluarga keyakinan dalam beragama
Pasien terlihat untuk memberikan
tidak sholat dukungan pada klien Dukungan kelurga dapat
dhuhur untuk menjalankan meningkatkan motivasi klien untuk
rituak keagamaannya menjalankan ritual keagamaannya
Kolaborasi
65

1. Kolaborasi dengan ahli


keagamman dalam
memberikan dukungan Dukungan dari ahli keagamaan dapat
terhadap aktifitas meningkatkan pengetahuan dan
keagamaan klien motifasi klien dalam menjalankan
ritual keagamaan klien

E. IMPLEMENTASI DAN EVALUASI (Form 1)

Nama Pasien : Tn. Adun Tri Putra Ruangan : Kana


No. Medrek : 0001979434 Diagnosa Medis : Open fraktur at tungkai tibia fibula dextra
66

HARI/ WAKT DX IMPLEMENTASI DAN CATATAN Evaluasi Nama dan


TANGGAL U PERKEMBANGAN paraf
Selasa 07.30 6 Melakukan salam terapeutik Jam 14 .00 Ttd
9/11/2021 R : mengucapkan salam, pasien dan istri DX 1. Asep
membalas ucapan salam S : Pasien mengatakan badan sudah tidak
07.45 1 Mengukur tanda tanda vital panas
TD 130/75 RR 22 x/menit N 110 x/menit O : S 36,5 C
santurasi 97% tanpa O2 bantuan S : 37,5, A : Hipertermia teratasi
pasien terlihat mengigil P : Hentikan intervensi manajemen
07.45 1 Mengidentifikasi penyebab demam hipertermi
Akses infus terlihat merah dan bengkak
R : saat dilakukan plapasi psasien mengatakan DX 2
nyeri S:
08.00 4 Melepas infus
O : Terdapat luka post pemasangan ORIF di
R : pasien meringir kesakitan
kaki kanan, terdapat kemerahan di sekitar
08.10 2 Memasang infus baru
insersi infus, bengkak ada, nyeri tekan ada
R : pasien mengikuti intruksi tarik nafas saat
A : Resiko infeksi
ditusuk abbocath
P : lanjutkan intervensi pencegahan infeksi
08.15 3 Memberikan kompres NaCl 0,9% pada area
infus yang plebitis (Suryadi, Evangeline &
Sunarya 2015) DX 3
R : pasien mengatakan terasa dingin S : Pasien mengeluh nyeri pada area
08.15 5 Memonitor porsi makan pagi pasien pemasangan infus, pasien mengatakan
R : pasien makan ½ porsi (mual) nyeri pada luka post pemasangan ORIF,
08.30 4 Mengganti alat tenun skala nyeri 2/10
R : pasien mampu miring kanan dan kiri saat
ganti alat tenun O : Pasien tampak meringis saat dipegang pada
08.45 4 Memberikan terapi Ceftriaxone 1 gram IV area pamasangan infus, area pemasangan
Obat di drip dalam NaCl 0,9% habis dalam 3 infus tampak merah dan bengkak
jam A : Nyeri akut
67

08.45 5 Memberikan terapi omeprazole 40 mg IV P : Lanjutkan intervensi Manajemen nyeri


Bolus secara perlahan, larutkan dg Aqua
bedes 10 cc DX 4
08.45 1 Memberikan terapi parasetamol 1 gr PO S : Pasien mengatakan nyeri pada luka post
R : pasien mampu memakan obat semuanya pemasangan ORIF, skala nyeri 2/10
11.00 2 Mendampingi pasien untuk melakukan ROM
O : Terdapat luka post pemasangan ORIF di
aktif
kaki kanan, kekuatan otot kaki kanan 3
R : pasien mengikuti apa yang diperintahkan
A : Gangguan mobilisasi fisik
perawat
P : lanjutkan intervensi Dukungan mobilisasi
12.00 1 Memonitor suhu pasien
R : Suhu 38,9 C
DX 5
12.30 Mengidentifikasi porsi makan siang pasien
S : istri pasien mengatakan pasien tidak mau
R : porsi makan pasien ½ porsi
sholat
13.00 1 Memberikan terapi parasetamol 1 gr PO
R : pasien memakan obat semuanya O : Pasien terlihat tidak sholat dhuhur
13.15 5 Memotivasi pasien untuk sholat A : resiko distres spiritual
R : pasien hanya tersenyum saat diberi P : Lanjurkan intervensi dukungan spiritual
motivasi untuk sholat

10/11/21 15.15 4 Menjemput pasien di OK lt 4 Jam 19 .00 Ttd


Pasien telah dilakukan tindakan ND, STSG, Asep
Flap Local di kaki kanan DX 2
15.20 2 Mengukur TTV S:
TD 130/80 N 90x/menit RR 17x/menit S : 36,8
O : Terdapat luka post pemasangan ORIF di
15.20 3 Mengkaji ulang nyeri
kaki kanan, Leu 11.620, pasien diperiksa
R : pasien mengeluh nyeri pada luka post
pus gram kultur dan resistensi
operasi, skala 3/10
A : Resiko infeksi
15.25 3 Melanjutkan pain program
P : lanjutkan intervensi pencegahan infeksi
RL + pethidin 100 mg + ketorolak 30 mg
habis dalam 12 jam
68

Mengambil darah untuk sampel laboratorium


Memeriksa hematologi post operasi DX 3
17.00 5 Mengobservasi bising usus S : Pasien mengatakan nyeri pada luka post
R : bising usus 12 x/menit meminta pasien necrotomi debridemen dan STSG, skala
untuk mobilisasi miring kanan kiri dan mulai nyeri 5/10
minum air dl sedikit sedikit
R : pasien dan keluarga menjawab iya O : Pasien tampak meringis
A : Nyeri akut
18.00 6 Menanyakan apakah pasien sudah sholat
P : Lanjutkan intervensi Manajemen nyeri
magrib
R : pasien dan sitrinya menjawab sudah sholat
DX 4
19.00 5 Memberikan terapi omeprazole 40 mg IV
S : Pasien mengatakan nyeri pada luka post
Bolus secara perlahan, larutkan dg Aqua
pemasangan ORIF, skala nyeri 5/10
bedes 10 cc
19.00 4 Memberikan terapi Ceftriaxone 1 gram IV O : Terdapat luka post pemasangan ORIF di
Obat di drip dalam NaCl 0,9% habis dalam 3 kaki kanan, kekuatan otot kaki kanan 3
jam A : Gangguan mobilisasi fisik
P : lanjutkan intervensi Dukungan mobilisasi

DX 5
S : istri pasien dan pasien mengatakan tidak
sholat magrib
O:
A : resiko distres spiritual
P : Lanjurkan intervensi dukungan spiritual

Kamis 15.00 2 Mengukur tanda tanda vital Jam 19 .00 Ttd


11/11/2021 TD 125/76 mmHg N : 78 x/menit RR Asep
18x/menit DX 2
15.15 2 Mengidentifikasi keluhan nyeri S:
69

R : pasien mengatakan nyeri masih ada skala O : Terdapat luka post pemasangan ORIF di
3/10, nyeri seperti ditusuk tusuk, hilang kaki kanan, bengkak ada, leukosit 11.620
timbul, bertambah terasa jika kaki kanan A : Resiko infeksi
digerakkan P : lanjutkan intervensi pencegahan infeksi
16.00 6 Menanyakan apakan pasien sdh sholat ashar
R : pasien mengatakan sudah solat DX 3
17.00 3 Melanjutkan pemberian pain program S : Pasien mengatakan nyeri pada luka post
RL + pethidine 100mg + ketorolak 30 mg necrotomi debridemen dan STSG, skala
18.00 5 Menanyakan keluhan mual nyeri 3/10
R : mual sudah tidak ada, makan siang habis 1
O : Pasien tampak meringis
porsi
A : Nyeri akut
18.15 5 Memonitor diet makan sore pasien
P : Lanjutkan intervensi Manajemen nyeri
R : makan sore tinggal menyisakan daging
saja
DX 4
19.00 5 Memberikan terapi omeprazole 40 mg IV S : Pasien mengatakan nyeri pada luka post
Bolus secara perlahan, larutkan dg Aqua pemasangan ORIF, skala nyeri 3/10
bedes 10 cc
19.00 4 Memberikan terapi Ampicilin sulbactam 1,5 gr O : Terdapat luka post pemasangan ORIF di
gram IV kaki kanan, kekuatan otot kaki kanan 3
Obat di drip dalam NaCl 0,9% habis dalam 3 A : Gangguan mobilisasi fisik
jam P : lanjutkan intervensi Dukungan mobilisasi

DX 5
S : istri pasien dan pasien mengatakan sudah
sholat magrib
O:
A : resiko distres spiritual
P : Lanjurkan intervensi dukungan spiritual
70

Kamis 15.00 2 Mengukur tanda tanda vital Jam 19 .00 Ttd


12/11/2021 TD 125/76 mmHg N : 78 x/menit RR Asep
18x/menit DX 2
15.15 2 Mengidentifikasi keluhan nyeri S:
R : pasien mengatakan nyeri masih ada skala
2/10, nyeri seperti ditusuk tusuk, hilang O : Terdapat luka post pemasangan ORIF di
timbul, bertambah terasa jika kaki kanan kaki kanan, bengkak ada, leukosit 11.620
digerakkan A : Resiko infeksi
P : lanjutkan intervensi pencegahan infeksi
16.00 6 Menanyakan apakan pasien sdh sholat ashar
R : pasien hanya tersenyum
DX 3
18.00 5 Menanyakan keluhan mual
S : Pasien mengatakan nyeri pada luka post
R : mual masih ada, makan siang habis 1 porsi
necrotomi debridemen dan STSG, skala
18.15 5 Memonitor diet makan sore pasien
nyeri 2/10
R : makan sore tinggal menyisakan daging
saja O : Pasien tampak meringis
19.00 5 Memberikan terapi omeprazole 40 mg IV A : Nyeri akut
Bolus secara perlahan, larutkan dg Aqua P : Lanjutkan intervensi Manajemen nyeri
bedes 10 cc
19.00 4 Memberikan terapi Ampicilin sulbactam 1,5 gr DX 4
gram IV S : Pasien mengatakan nyeri pada luka post
Obat di drip dalam NaCl 0,9% habis dalam 3 pemasangan ORIF, skala nyeri 2/10
jam
O : Terdapat luka post pemasangan ORIF di
kaki kanan, kekuatan otot kaki kanan 3
A : Gangguan mobilisasi fisik
P : lanjutkan intervensi Dukungan mobilisasi

DX 5
S : pasien mengatakan tidak sholat ashar dan
magrib
71

O:
A : resiko distres spiritual
P : Lanjurkan intervensi dukungan spiritual
BAB IV
PEMBAHASAN

A. Analisis Masalah Keperawatan dengan Konsep Teori

Asuhan keperawatan yag dilakukan pada Tn. Adung dengan diagnosa medis

Open fraktur at tungkai tibia fibula dextra yang telah dilakukan operasi tanggal 14

Oktober 2021 di rumah sakit Boromeus, karena alasan tindakan selanjutnya pasien

pindah ke RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung dan tanggal 24 dilakukan tindakan

pemasangan ORIF.

Masalah keperawatan pertama yaitu Hipertermi berhubungan dengan proses

penyakit, dari hasil pengkajian didapatkan keluhan utama pasien badan terasa

panas, suhu 39 C, menggigil, pada area insersi infus nampak kemerahan, bengkak

dan adanya nyeri tekan sehingga ini merupakan tanda dan gejala tromboplebitis

(Ventura, Freitas and Lindo, 2021), hal ini dapat diakibatkan penggunaan antibiotik

yang diberikan melalui akses vena perifer tersebut, pemberian Albumin 25% yang

harus diberikan karena pasien hipoalbumin (Ventura, Freitas and Lindo, 2021).

Penulis tertarik untuk memberikan kompres NaCl 0,9% dalam menurunkan derajat

plebitis pasien karena NaCl merupakan larutan isotonis yang tidak menimbulkan

iritasi dan menjaga pertumbuhan jaringan tetap lembab pada daerah luka dan

membantu dalam proses penyembuhan, selain itu NaCl juga dapat mengurangi

edema dan eritema dengan cara menarik keluar cairan luka dengan proses osmosis,

memiliki reaksi mencegah tanda inflamasi berupa menurunkan gejala nyeri dan

kemerahan pada luka serta melancarkan sirkulasi darah pada lokasi luka sehingga

proses penyembuhan luka lebih cepat (Evangeline et al, 2015; Nurjanah, 2011)
73

Masalah keperawatan yang kedua adalah mobilisasi fisik berhubungan dengan

kerusakan integritas struktur tulang dimana pasien tidak mampu menggerakan kaki

kanannya sehingga aktifitas pasien dibantu oleh keluarga dan perawat. Manifestasi

klinis pada fraktur tulang adalah pemendekan pada ekstremitas yang mengalami

patah, deformitas, pembengkakan lokal, sehingga sulit untuk digerakkan dan

berfungsi dengan baik karena fungsi otot tergantung pada integritas tulang serta

adanya nyeri yang menjadi masalah keperawatan ketiga yang dialami pasien

(Brunner and Suddart, 2002).

Adanya trauma akibat ditabrak motor yang mengakibatkan terjadinya fraktur

terbuka sehingga terjadi kerusakan pada daerah sekitar organ yang mengalami

fraktur, hal ini mengakibatkan mikroorganisme masuk ke dalam luka sehingga

dapat menjadi akses masuk mikroorganisme dan rentan mengalami resiko infeksi

yang menjadi masalah keperawatan ketiga yang ditemukan penulis (Brunner and

Suddart, 2002). Proses inflamasi yang terjadi saat pasien mengalami infeksi

khususnya sepsis dapat memicu pelepasan dan pendistribusian secara sistemik

beberapa sitokin yang memiliki sifat pro-inflamasi (interleukin (IL)-1, IL-6,

interferon dan tumor necrosis factor (TNF)-α (Hotchkiss et al, 2016). Hal ini

menyebabkan terjadinya peningkatan permeabilitas lapisan endotel yang terdapat

pada membran pembuluh darah, dimana salah satu fungsinya adalah mempertahan

kan albumin dan zat terlarut lainnya agar tetap berada pada pembuluh darah.

Glycocalyx merupakan lapisan tipis yang menyerupai gel dengan ketebalan 0,2-0,5

mm, merupakan salah satu komponen yang menentukan kemampuan lapisan

endotel dalam menghalangi perpindahan albumin dan zat terlarut lainnya (Ince et
74

al., 2016). Pada kondisi sepsis, pelepasan TNF- α menjadi salah satu penyebab

berkurangnya glycocalyx yang pada akhirnya berdampak pada perpindahan

albumin dari dalam pembuluh darah menuju ke daerah interstitial (Chellazzi et al.,

2015; Ince et al., 2016; Koeppen & Stanton, 2013).


BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Fraktur adalah putusnya kontinuitas struktur tulang baik komplit maupun tidak

terdiri dari beberapa tipe dan keparahan. Fraktur terjadi ketika tulang mendapatkan

tekanan yang sangat besar melebihi kemampuan tulang tersebut. Fraktur bisa

disebabkan oleh trauma, gerakan melintir kencang dan tiba – tiba, dan kontraksi

otot yang ekstrim (Smeltzer, 2010).

Diagnosa keperawatan pada pasien Tn. Adun dengan post operasi ORIF dd

fraktur tibia fibula dextra adalah :

1) Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit

2) Resiko infeksi dibuktikan dengan efek prosedur invasif

3) Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik

4) Gangguan mobilisasi fisik berhubungan dengan kerusakan integritas


struktur tulang

5) Resiko distres spiritual dibuktikan dengan perubahan dalam ritual


agama

Dari implementasi yang telah diberikan pada Tn. Adun selama 4 hari
hipertermi dapat teratasi dalam 1 hari dengan menunjukkan derajat plebitis dari 4
menjadi 1, gangguan mobilitas fisik pasien belum teratasi walaupun nyeri
berkurang terutama setelah dilakukan debridemen dan STSG karena infeksi masih
berlangsung sehingga defisit nutrisi belum teratasi. Pasien masih belum rutin
menjalankan kewajiban sholat 5 waktunya, mengakibatkan resiko terjadinya
distres spiritual.
76

B. Saran
1) Rumah Sakit
Diharapkan pihak rumah sakit dapat memfasilitasi pembuatan SOP
pemberian kompres NaCl 0,9% untuk pasien dengan plebitis, karena saat ini
pihak rumah sakit belum menyediakan
2) Perawat
Resiko terjadinya plebitis pada pasien terpasang akses vena perifer maupun
sentral sangat mungkin terjadi sehingga diharapkan perawat lebih aware lagi
dalam melakukan perawatan akses infus tersebut sehingga terhindar dari
terjadinya plebitis
DAFTAR PUSTAKA

Ayu, anisa. 2021. Asuhan Keperawatan Pasien Fraktur dalam Pemenuhan


Kebutuhan Rasa Aman Nyaman Nyeri. Program Studi D3 Keperawatan
Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Kusuma Husada Surakarta 2021.
Diakses 15 November 2021 dari http://eprints.ukh.ac.id/id/eprint/1770/1/ayu
%20widiasih_naskah%20publikasi.pdf.

Brunner & Suddarth. (2002). Buku ajar keperawatan medikal bedah (Ed 8,
vol2).Jakarta: EGC

Brunner dan Suddarth. (2007). Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC

Brunner & Suddart. Jakarta: EGC. Smeltzer, S.C., Bare, B.G., Hincle, J.I., &
Cheever, K.H. (2008).Textbook of medical surgical nursing; brunner &
suddarth's (Ed 11).

Chelazzi, C., Villa, G., Mancinelli, P., de Gaudio, A.R., & Adembri, C.
(2015). Glycocalyx and sepsis- indiced alterations in vascular permeability.
Critical Care, 19, 26.

Evangeline,H.,Supriadi,Dsunarya,W.,Tengah,T.,& trenggono,A. (2015). Perbedaan


kompres nacl 0,9% dengan kompres alkohol terhadap penurunan intensitas
nyeri pada pasien flebitis rekomendasi dari infosion standards of practise
Jurnal Kedokteran Dan Kesehatan,2(3),245-251.

Gatta, A., Verardo, A., & Bolognesi, M. (2012). Hypoalbuminemia. Internal


and Emergency Medicine, 7(Suppl 3), S193-S199.

Hotchkiss, R.S., Moldawer, L.L., Opal, S.M., Reinhart, K., Turnbull, I.R., &
Vincent, J.L. (2016). Sepsis and septic shock. Nature Reviews Disease
Primers, 2, 16045

Ince, C., Mayeux, P.R., Nguyen, T., Gomez, H., Kellum, J.A., Ospina-Tascon,
G.A., et al. The endothelium in sepsis. Shock, 45(3), 259-270.

Ismiarto, yoyos. 2014. Fraktur Diafisis Tibia dan Fibula. Departemen / SMF
Orthopaedi dan Traumatologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung. Diakses 15 November 2021 dari
http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2015/08/fraktur-diafisis-tibia-
dan-fibula.pdf

ii
Koeppen, B.M., & Stanton, B.A. (2013). Physiology of body fluid. In: Renal
physiology (5th ed). Philadelphia: Mosby, Inc.

Lukman & Ningsih ( 2009 ), Asuhan Keperawatan pada Klien Dengan


Gangguan Sistem Muskuloskeletal. Jakarta : Selemba Medika

Muttaqin, Arif. (2008). Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem


Pernafasan. Jakarta: Salemba Medika

Nova Et Al. 2018. Proses Penyembuhan Luka Ditinjau Dari Aspek Mekanisme
Seluler Dan Molekuler. Qanun Medika Vol. 3 No. 1 Januari 2019. Diakses
17 November 2021. Http://Journal.Um-Surabaya.Ac.Id/Index.Php/
Qanunmedika/ Article/View/2198

Nurjanah, N (2011). Studi komparasi efektivitas kompres normal salin dan air
hangat terhadap derajat flebitis pada anak yang dilakukan pemasangan infus
di RSUP dr. Hasan Sadikin Bandung http://www.stikesayani.ac.id, diperoleh
tanggal 21 Januari 2014. Nursing Times 13.09.11 /Vol107 No36/

Pratiwi, Agustina. 2020 . Asuhan Keperawatan pada Klien Fraktur Femur dengan
Nyeri di Ruang Melati RSUD Bangil Pasuruan. Karya Tulis Ilmiah
Program Studi Diploma III Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
Insan Cendekia Medika Jombang. Diakses 15 November 2021 dari
https://repo.stikesicme-jbg.ac.id/3772/7/kti%20agustina%20eka.pdf

Purwanto, Hadi. 2016. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah II. Badan
Pengembangan Dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kemenkes RI.
Diakses 15 November 2021 dari
http://bppsdmk.kemkes.go.id/pusdiksdmk/wp-
content/uploads/2017/08/kmb-2-komprehensif.pdf.

Sjamsuhidajat R, Wim De Jong ( 2005). Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC
Siswantinah. (2011). Pengaruh Terapi Murottal Terhadap Kecemasan Pasien
Gagal Ginjal Kronik yang Dilakukan Tindakan Hemodialisa di RSUD Kraton
Kabupaten Pekalongan. Skripsi. Universitas Muhammadiyah Semarang.

Smeltzer, s.c. & bare, b.g. 2013. Buku Ajar Keperawatan Medikal edisi 8.
Jakarta : egc

Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (2016). Definisi dan Indikator


Diagnostik. Indonesia Persatuan Perawat Indonesia Edition Jakarta Selatan.

Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (2016). Definisi dan Indikator


Diagnostik. Indonesia Persatuan Perawat Indonesia Edition Jakarta Selatan.

Standar Luaran Keperawatan Indonesia (2016). Definisi dan Indikator

iii
Diagnostik. Indonesia Persatuan Perawat Indonesia Edition Jakarta Selatan.

Ventura, D. R. P., Freitas, J. A. S., & Lindo, J. F. F. (2021). Reliability study of


Visual Infusion Phlebitis Score Portuguese European version

Wong, Donna L. (2004). Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik Edisi 4. Jakarta:


EGC

iv

Anda mungkin juga menyukai