Anda di halaman 1dari 22

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Eksistensi Peradilan Tata Usaha Negara secara filosofis dalam konstruksi negara hukum adalah
untuk memberikan perlindungan hukum terhadap hak-hak perseorangan ataupun hak-hak
masyarakat umum sehingga tercapainya keserasian, keselarasan, keseimbangan, serta
dinamisasi dan harmonisasi hubungan antara warga negara dan negara yang dalam hal ini
pejabat tata usaha negara.1

Peradilan Tata Usaha Negara secara normatif diatur dalam UU 51 tahun 2009 dimana
sebelumnya diatur dalam UU No 9 tahun 2004 yang merupakan perubahan pertama dari
undang – undang sebelumnya, yaitu UU No 5 Tahun 1986. Dalam perkembangannya, dengan
lahirnya UU No 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan memperluas objek sengketa
yang dapat diuji PTUN dimana tidak hanya keputusan tata usaha negara, tetapi juga tindakan
aktual pemerintah dan berbagai sengketa khusus lainnya. 2

Dinamika masyarakat yang terjadi dalam berbagai aspek kehidupan dan peran aktif negara yang
semakin luas dalam aspek – aspek tersebut menjadikan eksistensi PTUN sangatlah
fundamental. Hal ini karena gesekan – gesekan yang terjadi antara negara dan warga negara
yang dalam hal ini adalah pejabat tata usaha negara pasti merupakan sesuatu hal yang tidak
dapat dihindarkan lagi dan membutuhkan suatu wadah penyelesaian yang adil.
Putusan hakim atau lazim disebut dengan putusan pengadilan merupakan sesuatu yang sangat
diinginkan atau yang dinanti-nantikan oleh pihak yang berperkara guna menyelesaikan
sengketa diantara mereka dengan sebaik-baiknya. Sebab dengan putusan hakim tersebut pihak-
pihak yang bersengketa mengharapkan adanya kepastian hukum dan keadilan dalam perkara
yang mereka hadapi. Menurut Sudikno Mertokusumo, putusan hakim merupakan suatu
pernyatan yang oleh hakim, sebagai pejabat yang diberi wewenang itu, diucapkan di
1
Anonim, n.d., Pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Pekanbaru Berdasarkan Undang – Undang
Nomor 51 tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha, http://repository.uinsuska.ac.id/14612/6/6.%20BAB
%20I__201886IH.pdf, diakses pada 24 Oktober 2021, hlm. 3
2
Ibid, hlm. 2
persidangan dan bertujuan mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau suatu sengketa
antara para pihak. Dipandang dari isinya, putusan dapat dikualifikasikan kepada putusan
declaratoir, putusan constitutief, dan putusan condemnatoir. Putusan declaratoir berisi
pernyataan terhadap keadaan hukum yang sudah ada dan tidak menimbulkan keadaan hukum
baru. Putusan yang bersifat constitutief adalah putusan yang menimbulkan keadaan hukum
baru atau meniadakan keadaan hukum lama, begitu putusan berkekuatan hukum tetap maka
sudah tejadi keadaan hukum baru. Putusan condemnatoir adalah putusan yang berisi
penghukuman atau kewajiban melaksanakan sesuatu.3

Hal yang tak kalah penting dari suatu putusan adalah pelaksanaan dari putusan tersebut.
Pelaksanaan putusan dapat diartikan juga sebagai eksekusi. Eksekusi dapat dilaksanakan jika
sudah ada suatu putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap atau pasti. Keberhasilan
pelaksanaan (eksekusi) putusan Peradilan Tata Usaha Negara merupakan indikator utama
untuk menegakan tegaknya kewibawaan pengadilan dan berhasilnya upaya pencari keadilan. 4
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah adalah sebagai berikut.
1.2.1 Apa pengertian putusan PTUN ?
1.2.2 Bagaimana susunan putusan PTUN ?
1.2.3 Apa isi dari putusan PTUN ?
1.2.4 Bagaimana pelaksanaan putusan PTUN ?
1.2.5 Bagaimana pengawasan pelaksanaan putusan PTUN ?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah adalah sebagai berikut.
1.3.1 Menjelaskan pengertian putusan PTUN
1.3.2 Menjelaskan susunan putusan PTUN
1.3.3 Menjelaskan isi dari putusan PTUN
1.3.4 Menjelaskan pelaksanaan putusan PTUN
3
BL Syahrir, 2017, Bab III Pelaksanaan Putusan Tata Usaha Negara oleh Pejabat Tata Usaha Negara,
http://repository.unpas.ac.id/28633/5/H.%20BAB%203.pdf, diakses pada 24 oktober 2021 hlm. 71-72
4
Tessya Putri Permata Sari, n.d., Pelaksanaan Putusan Tata Usaha Negara, https://osf.io/gcasx/download, diakses
pada 24 Oktober 2021, hlm. 2
1.3.5 Menjelaskan pengawasan pelaksanaan putusan PTUN

Bab 2
Pembahasan
2.1 Pengertian Putusan PTUN
Putusan pengadilan adalah sikap pengadilan dalam penyelesaian sengketa tata usaha negara
yang diterima dan diperiksanya melalui prosedur dan mekanisme sesuai dengan ketentuan
yang berlaku. Sikap pengadilan tersebut diambil setelah membaca dan menilai gugatan dan
jawaban gugatan, replik dan duplik, mendengar penjelasan kedua belah pihak,
menganalisis/menilai secara cermat dan kritis semua alat bukti yang diajukan oleh masing
masing pihak, termasuk kesimpulan akhir yang disampaikan pihak--pihak yang bersengketa. 5

Putusan pengadilan dilihat dari sifatnya dapat dibagi dalam dua macam:
1. Eind vonnis, yaitu putusan akhir yang menyelesaikan sengketa/perkara antara pihak pihak
yang bersengketa. Putusan seperti ini hanya dapat diperiksa kembali dengan menggunakan
upaya hukum (banding dan kasasi).
2. Tussenvonnis, yaitu putusan sela yang dinyatakan oleh hakim sebelum dinyatakannya
putusan akhir. Maksud dari putusan sela (tussenvonnis) ini adalah untuk memudahkan
jalannya pemeriksaan sengketa/perkara selanjutnya. Putusan sela terbagi dalam dua jenis,
yaitu:
a. praeperatoir, yaitu putusan sela untuk mempermudah pemeriksaan selanjutnya, misalnya
putusan untuk menggabungkan dua perkara menjadi satu, putusan tentang tenggang waktu
mengajukan jawaban, replik, duplik, kesimpulan.
b. interlocutoir, yaitu putusan sela yang memungkinkan suatu tindakan dalam rangka
memperkuat dalil dalil yang dikemukakan oleh salah satu pihak, misalnya putusan sela tentang
pemeriksaan di tempat/sidang ditempat, perintah kepada salah satu pihak untuk membuktikan
sesuatu/beban pembuktian yang diperintahkan kepadanya.
Perbedaan antara putusan praeperatoir dan interlocutoir terletak pada pengaruhnya terhadap
putusan akhir. Putusan praeperatoir tidak mempengaruhi putusan akhir, sedangkan putusan
interlocutoir dapat mempengaruhi putusan akhir. 6

5
Marshaal, Sri Suatmiati, Angga Saputra, 2018, Hukum Acara Tata Usaha Negara,Palembang : Tunas Gemilang
Press, hlm. 253
6
Marshaal, Sri Suatmiati, Angga Saputra, 2018, Hukum Acara Tata Usaha Negara,Palembang : Tunas Gemilang
Press, hlm. 264
Disisi lain putusan pengadilan dapat juga dilihat dari segi amar/diktum putusannya yang dapat
dibagi dalam tiga macam, yaitu:
1. Putusan condemnatoir, yaitu putusan yang mengandung hukuman terhadap pihak yang
dikalahkan, misalnya kepada tergugat dihukum untuk mengosongkan dan menyerahkan
bangunan yang dijadikan objek sengketa kepada pihak yang menang atau Badan/Pejabat Tata
Usaha Negara dihukum untuk mencabut Keputusan Tata Usaha Negara yang menjadi objek
sengketa.7
2. Putusan declaratoir, yaitu putusan yang hanya memperkuat suatu kondisi yang ada, misalnya
putusan tergugat dinyatakan benar menurut hukum.
3. Putusan constitutief, yaitu putusan dimana amar/ diktumnya
menimbulkan suatu
kondisi/hubungan hukum baru atau meniadakan suatu kondisi/hubungan hukum yang telah
ada. 8

Apabila suatu putusan pengadilan sebagaimana yang diuraikan diatas melalui tenggang waktu
tertentu (14 hari) dari sejak diumumkan atau diberitahukan kepada pihak yang bersengketa,
dan selama tenggang waktu tersebut tidak diajukan upaya hukum, maka putusan tersebut akan
memperoleh kekuatan hukum tetap (kracht van de gewijsde). Terhadap putusan pengadilan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dapat dimintakan oleh pihak yang dimenangkan
untuk dilaksanakan atau dieksekusi. Dengan kata lain, bahwa putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap yang dapat dilaksanakan atau dieksekusi. Secara
substansial, suatu putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap memiliki
tiga kualitas kekuatan sebagai berikut:
1. kekuatan yang mengikat (bindende kracht)
Maksud kekuatan mengikat putusan pengadilan adalah berhubungan dengan asas kepastian
hukum yang berlaku bagi para ahli waris kedua belah pihak dan orang orang yang mendapatkan
hak daripadanya.
7
Marshaal, Sri Suatmiati, Angga Saputra, 2018, Hukum Acara Tata Usaha Negara,Palembang : Tunas Gemilang
Press, hlm. 264
8
Marshaal, Sri Suatmiati, Angga Saputra, 2018, Hukum Acara Tata Usaha Negara,Palembang : Tunas Gemilang
Press, hlm. 265
2. kekuatan bukti (bewijzende kracht)
Maksud kekuatan bukti dari suatu putusan pengadilan adalah kekuatan bukti terhadap pihak
ketiga di samping bagi kedua belah pihak yang berperkara/bersengketa termasuk ahli warisnya
dan orang orang yang mendapat hak daripadanya.
3. kekuatan eksekutorial (executariale kracht)
Kekuatan eksekutorial putusan pengadilan ialah bahwa putusan tersebut dapat dijalankan
(dieksekusi) secara paksa melalui alat alat negara dengan prosedur/mekanisme sebagaimana
yang ditentukan dalam peraturan perundang undangan. 9

Disamping tiga kekuatan yang diuraikan di atas, ada juga pendapat yang mengatakan bahwa
putusan pengadilan itu mempunyai kekuatan formal dan kekuatan materiel. Suatu putusan
pengadilan akan memperoleh kekuatan formal, manakala atas putusan pengadilan tersebut
tidak dapat dilakukan lagi perlawanan dengan upaya hukum biasa baik banding atau kasasi,
sedangkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan materiel, bilamana putusan
pengadilan tersebut berada dalam posisi/kondisi yang tidak dapat berubah lagi dan secara
yuridis putusan tersebut dapat bekerja serta mempunyai akibat hukum sebagaimana yang
ditentukan oleh peraturan perundang undangan yang berlaku. 10

Menurut pendapat Sudikno Mertokusumo, putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh
hakim, sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan
bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antar para pihak.
Kemudian Syahrani menyatakan putusan adalah pernyataan hakim yang diucapkan pada sidang
pengadilan yang terbuka untuk umum untuk menyelesaikan atau mengakhiri perkara perdata
Putusan dapat berarti pernyataan hakim di sidang pengadilan yang berisi pertimbangan
menurut kenyataan, pertimbangan hukum. Berdasarkan pengertian tentang putusan di atas,
dapat diketahui unsur-unsur penting yang menjadi syarat untuk dapat disebut sebagai putusan.
1. putusan diucapkan oleh pejabat negara yang diberi kewenangan oleh peraturan perundang-
9
Marshaal, Sri Suatmiati, Angga Saputra, 2018, Hukum Acara Tata Usaha Negara,Palembang : Tunas Gemilang
Press, hlm. 265
10
Marshaal, Sri Suatmiati, Angga Saputra, 2018, Hukum Acara Tata Usaha Negara,Palembang : Tunas Gemilang
Press, hlm. 266
undangan;
2. putusan diucapkan dalam persidangan perkara yang terbuka untuk umum;
3. putusan yang dijatuhkan sudah melalui proses dan prosedural hukum;
4. putusan dibuat dalam bentuk yang tertulis;
5. putusan bertujuan untuk menyelesaikan atau mengakhiri suatu perkara.
Dalam literatur bahasa Belanda dikenal vonnis dan gewijsde. Pada prinsipnya antara vonnis dan
gewijsde dibedakan satu sama lain. Vonnis adalah putusan yang mempunyai kekuatan hukum
yang yang pasti, sehingga masih tersedia upaya hukum biasa. Gewijsde adalah putusan yang
sudah mempunyai kekuatan hukum yang pasti sehingga hanya tersedia upaya hukum Khusus. 11

Pengadilan Tata Usaha Negara dalam menentukan sikap (putusannya) terhadap sengketa yang
bersangkutan pada prinsipnya dilakukan dengan musyawarah.12 Dalam musyawarah yang
dipimpin Hakim Ketua Sidang, putusan merupakan hasil permufakatan bulat, kecuali setelah
diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai mufakat bulat, putusan dapat diambil
dengan suara terbanyak. Seandainya dalam musyawarah pertama tidak dapat menghasilkan
suatu putusan, maka musyawarah dapat ditunda pada musyawarah berikutnya. Apabila dalam
musyawarah kedua ini tidak juga diperoleh putusan melalui suara terbanyak, maka suara Hakim
Ketua Sidang yang akan menentukan (Pasal 97 UU PTUN). Putusan Pengadilan harus diucapkan
dalam sidang yang dinyatakan terbuka untuk umum. Apabila salah satu pihak atau kedua belah
pihak tidak hadir pada waktu putusan diucapkan, atas perintah Hakim Ketua Sidang salinan
putusan itu disampaikan dengan surat tercatat kepada yang bersangkutan. Bila putusan
Pengadilan itu tidak diucapkan dalam sidang yang dinyatakan terbuka untuk umum, maka
putusan itu menjadi tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum (Pasal 108 UPTUN). 13

Sehubungan dengan pengucapan putusan PTUN ini perlu diperhatikan hal hal sebagai berikut:
1. Pengucapan putusan PTUN harus diberitahukan kepada para pihak yang bersangkutan

11
Fence M. Wantu, 2014, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Gorontalo : Reviva Cendekia, hlm. 77-78
12
Marshaal, Sri Suatmiati, Angga Saputra, 2018, Hukum Acara Tata Usaha Negara,Palembang : Tunas Gemilang
Press, hlm. 253
13
Tim Penyusun MA RI, 2011, Perkembangan Peradilan Tata Usaha Negara dan Pokok – Pokok Hukum Tata Usaha
Negara Dilihat dari Beberapa Sudut Pandang, Jakarta : MA RI, hlm.381
mengenai hari, tanggal dan tempatnya (bila PTUN memiliki lebih dari satu ruang/tempat
sidang) termasuk manakala sidang diskorsing sebentar untuk majelis bermusyarawah untuk
menetapkan putusan atau bila sidang diundur pada hari tanggal lain.
2. Putusan Pengadilan harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
3. Putusan Pengadilan yang bukan putusan akhir diucapkan bersama sama putusan akhir (tidak
dibuat sebagai putusan tersendiri melainkan hanya dicantumkan dalam berita acara sidang).
4. Salinan putusan resmi hanya dapat diberikan kepada pihak yang berkepentingan langsung.
5. Salinan putusan resmi Pengadilan dapat diberikan bilamana putusan Pengadilan tersebut
telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
6. Salinan putusan resmi Pengadilan yang belum memperoleh kekuatan hukum tetap dapat
diberikan kepada pihak yang berkepentingan langsung dengan dibubuhi keterangan “belum
memperoleh kekuatan hukum tetap”.
7. Putusan yang tidak diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum merupakan putusan
pengadilan yang tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum.
8. Putusan Pengadilan yang tidak memenuhi format putusan sebagaimana ditetapkan pasal 109
ayat (1) UU. No. 5 Tahun 1986 dapat menyebabkan putusan pengadilan tersebut batal.
9. Setiap putusan pengadilan harus ditandatangani oleh Hakim Ketua Sidang, Hakim Anggota
Majelis dan Panitera yang turut bersidang.14

Syarat syarat putusan PTUN adalah sebagai berikut.


1. Tidak boleh mengandung kontradiksi dalam tubuh diktum atau amar putusan.
2. Tiap bagian didasarkan pada pertimbangan pertimbangan hukum.
3. Tidak mengandung hal hal yang sifatnya kabur sehingga dalam pelaksanaan putusan dapat
menimbulkan persoalan baru.
4. Tidak boleh melebihi apa yang diminta dalam gugatan 15

2.2 Susunan Putusan PTUN


14
Marshaal, Sri Suatmiati, Angga Saputra, 2018, Hukum Acara Tata Usaha Negara,Palembang : Tunas Gemilang
Press, hlm. 258
15
Marshaal, Sri Suatmiati, Angga Saputra, 2018, Hukum Acara Tata Usaha Negara,Palembang : Tunas Gemilang
Press, hlm. 262-263
Pada dasarnya susunan dan isi suatu putusan hakim terdiri dari 4 (empat) bagian yakni:
1) Kepala putusan. Setiap putusan pengadialan haruslah mempunyai kepala putusan bagian
atas putusan yang berbunyi “ Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Apabila tidak ada kalimat itu maka hakim tidak dapat melaksanakan putusan tersebut.
2) Identitas para pihak yang berperkara. Suatu perkara atau gugatan harus ada suekurang-
kurangnya dua pihak yaitu penggugat dan tergugat, lalu dimuat dimuat identitas diri.
3) Pertimbangan (alasan). Suatu putusan pengadilan harus memuat pertimbangan-
pertimbangan yang lazim. Hal ini penting dalam rangka pertanggungjawaban kepada
masyarakat sehingga dapat bernilai obyektif.
4) Amar atau diktum putusan. Berisi tentang jawaban atas petitum dari gugatan sehingga amar
juga merupakan tanggapan atas petitum itu sendiri. Hakim wajib mengadili semua bagian
dari tuntutan yang diajukan pihak pengguagat dan dilarang menjatuhkan putusan atas
perkara yang tidak dituntut atau mengabulkan lebih dari yang dituntut 16

Adapun susunan dan muatan putusan PTUN sesuai dengan pasal 109 UU. No. 5 Tahun 1986
adalah sebagai berikut:
1. Kepala putusan yang berbunyi “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA
ESA”
Setiap putusan harus mempunyai kepala atau bagian atas putusan yang berbunyi: “DEMI
KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MALIA ESA” (Pasal 4 ayat I Undang Undang No. 14
Tahun 1970, sekarang berlaku UU. No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang
tercantum dalam pasal 4). Kepala putusan ini mempunyai kekuatan eksekutorial, karena kalau
tidak dicantumkan maka putusan tersebut tidak dapat dilaksanakan bahkan lebih jauh diancam
dengan pembatalan.17
2. Putusan harus memuat: nama, jabatan, kewarganegaraan, tempat kediaman, atau tempat
kedudukan para pihak yang bersengketa.
Para pihak harus didengar “audi alteram partem”. Hal ini berarti sekurang--kurangnya ada dua

16
Fence M. Wantu, 2014, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Gorontalo : Reviva Cendekia, hlm. 78
17
Marshaal, Sri Suatmiati, Angga Saputra, 2018, Hukum Acara Tata Usaha Negara,Palembang : Tunas Gemilang
Press, hlm. 259
pihak dalam suatu perkara. Di dalam putusan harus dimuat identitas para pihak itu yang
menyangkut nama, kewarganegaraan, tempat tinggal, pekerjaan, atau tempat kedudukan. Bila
hal itu tidak dimuat dapat menyebabkan putusan batal.18
3. Ringkasan gugatan dan jawaban tergugat secara jelas.
Harus dibuat secara jelas ringkasan gugatan dan jawaban, apabila tidak maka putusan dapat
batal.19
4. Pertimbangan dan penilaian setiap bukti yang diajukan dan hal yang terjadi dalam
persidangan selama sengketa itu diperiksa.
Pertimbangan atau lazim juga dikatakan konsiderans merupakan dasar dari setiap putusan
pengadilan. Pertimbangan dalam putusan dapat juga pertimbangan tentang duduknya perkara
dan pertimbangan tentang hukumnya. Walaupun para pihak harus mengemukakan duduk
perkaranya. Akan tetapi, oleh karena hakim tata usaha negara itu pada prinsipnya aktif
disarankan agar dapat pula hakim menyempurnakannya, sedangkan soal hukumnya adalah
semata mata urusan hakim. Dalam pertimbangan putusan/penetapan hakim, harus dimuat
alasan--alasan dan dasar hukum yang tepat dan benar, tepat dan rinci, termasuk ke dalamnya
penilaian secara yuridis terhadap setiap bukti yang diajukan dan hal hal yang terjadi dalam
persidangan selama proses perkara itu diperiksa. Ikhwal tersebut merupakan
pertanggungjawaban dalam menyelesaikan tugas dan pula pertanggungjawabannya kepada
masyarakat (pasal 197A UU. No. 5 Tahun 1986 jo UU. No. 51 Tahun 2009). Oleh karena itu,
putusan harus objektif. Dengan demikian, pertimbangan harus memuat alasan alasan dan dasar
dari putusan hakim. Alasan sebagai dasar dari putusan yang menyebabkan putusan nilai
objektif serta membawa wibawa. Oleh karena itu, disarankan bahwa hakim tata usaha negara
melengkapi segala alasan hukum yang tidak dikemukakan oleh para pihak. Sehingga dengan
demikian, putusan harus dilengkapi dan cukup dipertimbangkan dengan cermat dan seksama.
Apabila sebaliknya, dapat dijadikan alasan untuk kasasi dan diancam pembatalan. 20

18
Marshaal, Sri Suatmiati, Angga Saputra, 2018, Hukum Acara Tata Usaha Negara,Palembang : Tunas Gemilang
Press, hlm. 260
19
Marshaal, Sri Suatmiati, Angga Saputra, 2018, Hukum Acara Tata Usaha Negara,Palembang : Tunas Gemilang
Press, hlm. 260
20
Marshaal, Sri Suatmiati, Angga Saputra, 2018, Hukum Acara Tata Usaha Negara,Palembang : Tunas Gemilang
Press, hlm. 261
5. Alasan hukum yang menjadi dasar putusan.
Alasan harus bersifat yuridis dan menjadi dasar putusan. Berdasarkan pasal 23 ayat 1 Undang
Undang No. 14 Tahun 1970 jo pasal 25 ayat (1) UU. No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman, maka dalam putusan harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan,
memuat pasal pasal tertentu dari peraturan peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum
tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. Bilamana sebaliknya, maka dapat
menyebabkan putusan batal. Akan tetapi, apabila tidak disebutkan dengan tegas peraturan
yang dijadikan dasar, maka menurut Mahkamah Agung tidak mcngakibatkan batalnya putusan (
Putusan Mahkamah Agung No. 80/K/Sip/ 1968 tertanggal 20/6/ 1970. 21
6. Amar putusan tentang sengketa dan biaya perkara.
Amar atau diktum putusan merupakan jawaban terhadap petitum daripada gugatan. Hal ini
berarti hakim wajib mengadili semua bagian daripada tuntutan dan juga akhimya ditetapkan
jumlah dan kepada siapa biaya harus dibebankan. Lazimnya, pihak yang dikalahkan dihukum
harus membayar biaya perkara baik sebagian ataupun seluruhnya. Dalam pasal 111 UU No 5
Tahun 1986 disebutkan bahwa biaya perkara mencakup : biaya kepaniteraan dan biaya materai,
biaya saksi, ahli, dan alih bahasa dengan catatan bahwa pihak yang meminta pemeriksaan lebih
dari lima orang saksi harus membayar biaya untuk saksi yang lebih itu, meskipun pihak tersebut
dimenangkan, dan biaya pemeriksaan di tempat lain dari ruangan sidang dan biaya lain yang
diperlukan bagi pemutusan sengketa atas perintah hakim ketua sidang. 22
7. Hari, tanggal putusan, nama hakim yang memutus, nama Panitera, serta keterangan tentang
hadir atau tidak hadirnya para pihak.
Dalam putusan itu dimuat pula mengenai hari, tanggal, nama (majelis) hakim yang memutuskan
perkara tersebut, dan nama Panitera. Sedangkan yang dimaksudkan dengan keterangan lain,
yaitu disebutkan mengenai kehadiran atau tidak para pihak di persidangan. Hakim yang
memeriksa dan memutuskan perkara itu dan paniteranya yang ikut bersidang harus
menandatangani putusan itu. Apabila ada hakim anggota majelis yang berhalangan

21
Marshaal, Sri Suatmiati, Angga Saputra, 2018, Hukum Acara Tata Usaha Negara,Palembang : Tunas Gemilang
Press, hlm. 261
22
Marshaal, Sri Suatmiati, Angga Saputra, 2018, Hukum Acara Tata Usaha Negara,Palembang : Tunas Gemilang
Press, hlm. 262
menandatangani putusan, maka hakim ketua sidang/majelis menandatanganinya dengan
menyatakan, bahwa ia berhalangan.23

Apabila suatu putusan Pengadilan Tata Usaha Negara tidak memuat hal hal yang disebutkan
diatas, maka dapat menyebabkan batalnya putusan yang bersangkutan karena tidak memenuhi
format putusan sebagaimana yang telah ditentukan oleh undang undang. Perlu juga
diperhatikan, bahwa setiap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang telah memenuhi
format diatas harus diucapkan dalam sidang yang dinyatakan terbuka untuk umum. Apabila
putusan itu tidak diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum, maka putusan tersebut
berakibat tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum/batal demi hukum.
Penandatanganan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara harus dilakukan selambat lambatnya
30 (tiga puluh) harl sejak diucapkannya putusan tersebut oleh Hakim yang memutus
sengketa/perkara yang bersangkutan dan Panitera yang turut bersidang. Apabila Hakim Ketua
Majelis atau Hakim Ketua Sidang dalam pemeriksaan dengan acara cepat berhalangan
menandatangani putusan, maka putusan tersebut ditandatangani oleh Ketua Pengadilan Tata
Usaha Negara dan apabila Hakim Anggota Majelis berhalangan untuk menandatangani putusan,
maka putusan tersebut ditangani oleh Hakim Ketua Majelis yang memimpin pemeriksaan
sengketa tata usaha yang bersangkutan.24

2.3 Isi dari Putusan PTUN


Dari pasal 97 ayat 7 UU No 5 tahun 1986, dapat diketahui bahwa isi putusan pengadilan TUN
dapat berupa :
a. Gugatan Ditolak
Putusan yang berupa gugatan ditolak adalah putusan yang menyatakan bahwa
Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN yang menimbulkan sengketa Tata Usaha Negara

23
Marshaal, Sri Suatmiati, Angga Saputra, 2018, Hukum Acara Tata Usaha Negara,Palembang : Tunas Gemilang
Press, hlm. 262
24
Marshaal, Sri Suatmiati, Angga Saputra, 2018, Hukum Acara Tata Usaha Negara,Palembang : Tunas Gemilang
Press, hlm. 263
(TUN) adalah Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang dinyatakan sah atau
dinyatakan tidak batal.25
b. Gugatan Tidak Diterima
Putusan yang berupa gugatan tidak diterima adalah putusan yang menyatakan bahwa
syarat-syarat yang telah ditentukan tidak dipenuhi oleh gugatan yang diajukan oleh
penggugat26
c. Gugatan Gugur
Putusan yang berupa gugatan gugur adalah putusan yang dijatuhkan hakim karena
penggugat tidak hadir dalam beberapa kali sidang, meskipun telah dipanggil dengan
patut atau penggugat telah meninggal dunia.27
d. Gugatan DIkabulkan
Putusan yang berupa gugatan dikabulkan adalah putusan yang menyatakan bahwa
Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang menimbulkan sengketa Tata Usaha Negara
(TUN) adalah Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang dinyatakan tidak sah atau
dinyatakan batal. Dalam hal gugatan dikabulkan, maka dalam putusan Pengadilan Tata
Usaha Negara dapat ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara, yakni
berupa:
(a) Pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan; atau 28
(b) Pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dan menerbitkan
Keputusan Tata Usaha Negara yang baru; atau
(c) Penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara dalam hal gugatan didasarkan pada Pasal
3. 29

Adapun bunyi ketentuan Pasal 3 Undang-Undang No 5 tahun 1986 tentang Pengadilan


Tata Usaha Negara Berbunyi sebagai berikut:

25
Fence M. Wantu, 2014, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Gorontalo : Reviva Cendekia, hlm. 79
26
Fence M. Wantu, 2014, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Gorontalo : Reviva Cendekia, hlm. 81
27
Fence M. Wantu, 2014, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Gorontalo : Reviva Cendekia, hlm. 81
28
Fence M. Wantu, 2014, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Gorontalo : Reviva Cendekia, hlm. 79
29
Fence M. Wantu, 2014, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Gorontalo : Reviva Cendekia, hlm. 80
(1) Apabila Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan,
sedangkan hal itu menjadi kewajibannya,maka hal tersebut disamakan dengan
Keputusan Tata Usaha Negara.
(2) Jika suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan
yang dimohon, sedangkan jangka waktu sebagaimana ditentukan data peraturan
perundangundangan dimaksud telah lewat,maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan yang dimaksud.
(3) Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak
menentukan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka setelah lewat
jangka waktu empat bulan sejak di terimanya permohonan,Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan. 30

Berkaitan dengan gugatan dikabulkan, maka dalam ketentuan Pasal 97 ayat (10)
dinyatakan bahwa kewajiban yang dilakukan oleh Tergugat tersebut dapat disertai
pembebanan ganti kerugian. Pengertian ganti rugi sendiri adalah pembayaran sejumlah
uang kepada orang atau badan hukum perdata atas beban Badan Tata Usaha Negara
berdasarkan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara karena adanya kerugian materiil
yang diderita oleh penggugat. Besarnya ganti rugi harus dihitung berdasarkan hal-hal
yang nyata diderita oleh Penggugat, dan segala sesuatu lainnya yang dianggap patut dan
layak menurut pertimbangan Hakim PTUN. Dengan demikian, pembayaran ganti rugi
ditujukan terhadap hal-hal yang bersifat kebendaan yang pada hakikatnya dapat dinilai
dengan uang atau dengan perkataan lain ganti rugi secara materiel saja. Besarnya ganti
rugi beserta tata cara pelaksanaan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 43 Tahun 1991 tentang Ganti Rugi dan Tata Cara Pelaksanaannya pada Peradilan
Tata Usaha Negara. Tuntutan ganti rugi ini dapat dikabulkan atau tidak oleh Pengadilan
dan besarnya ganti rugi yang dapat diberikan kepada Penggugat paling sedikit
Rp.250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) dan paling banyak Rp.5.000.000,00
(lima juta rupiah) dengan memperhatikan keadaan yang nyata. 31

30
Fence M. Wantu, 2014, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Gorontalo : Reviva Cendekia, hlm. 80
Salinan putusan pengadilan yang berisi kewajiban membayar ganti rugi dikirimkan
kepada Penggugat dan Tergugat dalam waktu tiga hari setelah putusan pengadilan
memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 120 Ayat 1 UU No. 5 Tahun 1986). Salinan
putusan pengadilan tersebut oleh pengadilan juga dikirimkan kepada Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara yang dibebani dengan kewajiban ganti rugi tersebut dalam
jangka waktu yang sama (Pasal 120 Ayat 2 UU No. 5 Tahun 1986). Ganti rugi yang telah
ditetapkan dalam putusan Pengadilan Tata Usaha Negara jumlahnya tetap dan tidak
berubah, sekalipun ada tenggang waktu antara tanggal ditetapkannya putusan tersebut
dan waktu pembayaran ganti rugi (Pasal 3 Ayat 2). Ketentuan ini mengandung arti
bahwa terdapat tenggang waktu antara saat ditetapkannya Putusan Pengadilan Tata
Usaha Negara dan pelaksanaan pembayaran ganti rugi yang telah diputuskan oleh
pengadilan. 32

Dengan demikian, terhadap jumlah ganti rugi tersebut tidak dimungkinkan untuk
dimintakan bunga sebagai tambahan atas nilai ganti rugi. Ganti rugi yang menjadi
tanggung jawab Badan Tata Usaha Negara dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN), sedangkan ganti rugi yang menjadi tanggung jawab Badan Tata
Usaha Daerah dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBN)
(Pasal 2 Ayat 1 dan 2). Sedang pada Ayat (3)-nya ditentukan bahwa ganti rugi yang
menjadi tanggung jawab Badan Tata Usaha Negara di luar ketentuan Ayat (1) dan (2),
menjadi beban keuangan yang dikelola oleh badan itu sendiri. Tata cara pelaksanaan
ganti rugi yang menjadi tanggung jawab Badan Tata Usaha Negara Pusat diatur lebih
lanjut oleh Menteri Keuangan, dan yang menjadi tanggung jawab Badan Tata Usaha
Negara Daerah diatur lebih lanjut oleh Menteri Dalam Negeri. Pelaksanaan pembayaran
ganti rugi yang menjadi tanggung jawab Badan Tata Usaha Negara yang beban
keuangannya dikelola oleh badan itu sendiri dilakukan oleh pimpinan badan yang
bersangkutan. Apabila pembayaran ganti rugi tidak dapat dilaksanakan oleh Badan Tata
31
Tim Penyusun MA RI, 2011, Perkembangan Peradilan Tata Usaha Negara dan Pokok – Pokok Hukum Tata Usaha
Negara Dilihat dari Beberapa Sudut Pandang, Jakarta : MA RI, hlm. 190
32
Tim Penyusun MA RI, 2011, Perkembangan Peradilan Tata Usaha Negara dan Pokok – Pokok Hukum Tata Usaha
Negara Dilihat dari Beberapa Sudut Pandang, Jakarta : MA RI, hlm. 191
Usaha Negara dalam tahun anggaran yang sedang berjalan, maka pembayaran ganti rugi
dimasukan dan dilaksanakan dalam tahun anggaran berikutnya. Dalam hal ini, Hakim
pada Pengadilan Tata Usaha Negara dalam putusannya dapat menetapkan ganti rugi
pada pihak yang dirugikan (Penggugat) dengan tanpa si Penggugat mengajukan lagi
kepada Pengadilan Perdata. Dengan demikian, dapatlah terlaksana peradilan yang
sederhana, cepat, dan berbiaya ringan.33

Selain itu dalam Pasal 97 ayat (11) dinyatakan pembebanan ganti kerugian terhadap
gugatan dikabulkan berkenaan dengan kepegawaian dapat juga disertai rehabilitasi atau
kompensasi.34 Arti rehabilitasi adalah memulihkan hak penggugat dalam kemampuan
dan kedudukan, harkat dan martabatnya sebagai pegawai negeri seperti semula
sebelum ada putusan mengenai KTUN yang disengketakan. Pemulihan hak tersebut
termasuk juga pemulihan hak-haknya yang ditimbulkan oleh kemampuan kedudukan,
dan harkatnya sebagai pegawai negeri. Merehabilitasi Penggugat, tidak hanya semata-
mata dalam bidang kepegawaian saja, tetapi dapat juga dalam bidang lain dalam rangka
hubungan dinas publik. Dalam hal haknya menyangkut suatu jabatan dan pada waktu
putusan pengadilan jabatan tersebut ternyata telah diisi oleh pejabat lain, maka yang
bersangkutan dapat diangkat dalam jabatan lain yang setingkat dengan jabatan semula.
Akan tetapi, apabila hal itu tidak mungkin, maka yang bersangkutan akan diangkat
kembali pada kesempatan pertama setelah ada formasi pada jabatan yang setingkat
atau dapat mengajukan kompensasi apabila Tergugat tidak dapat atau tidak dengan
sempurna melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan tetap. 35

Dengan demikian, rehabilitasi menyangkut hal status (sosial) prestise dan hal-hal lain
yang pada umumnya tidak bersifat kebendaan atau bukan materiel. Salinan putusan
pengadilan yang berisi kewajiban tentang rehabilitasi dikirimkan kepada Penggugat dan

33
Tim Penyusun MA RI, 2011, Perkembangan Peradilan Tata Usaha Negara dan Pokok – Pokok Hukum Tata Usaha
Negara Dilihat dari Beberapa Sudut Pandang, Jakarta : MA RI, hlm. 192
34
Fence M. Wantu, 2014, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Gorontalo : Reviva Cendekia, hlm. 80
35
Tim Penyusun MA RI, 2011, Perkembangan Peradilan Tata Usaha Negara dan Pokok – Pokok Hukum Tata Usaha
Negara Dilihat dari Beberapa Sudut Pandang, Jakarta : MA RI, hlm. 192
Tergugat dalam waktu tiga hari setelah putusan itu memperoleh kekuatan hukum
tetap.36

Kompensasi adalah pembayaran sejumlah uang berdasarkan keputusan Pengadilan Tata


Usaha Negara akibat dari rehabilitasi tidak dapat atau tidak sempurna dijalankan oleh
Badan Tata Usaha Negara.37 Ketentuannya adalah bilamana Putusan Pengadilan Tata
Usaha Negara yang menyangkut rehabilitasi tidak dapat dengan sempurna dilaksanakan,
maka Badan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dalam tenggang waktu 30 (tiga
puluh) hari sejak diterimanya putusan pengadilan memberitahukan perihal tersebut
kepada Pengadilan Tata Usaha Negara yang memutuskan di tingkat pertama dengan
tembusan kepada Penggugat (Pasal 9 PP No. 43 Tahun 1991). Dalam waktu 30 hari
setelah menerima pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Penggugat
dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara agar
Tergugat dibebani kewajiban untuk membayar kompensasi. 38

Ketua Pengadilan setelah menerima permohonan sebagaimana dimaksud di atas


memerintahkan untuk memanggil kedua belah pihak untuk mengusahakan tercapainya
persetujuan tentang jumlah uang atau kompensasi lain yang harus dibebankan kepada
Tergugat. Apabila dalam usaha untuk mencapai persetujuan tidak diperoleh kata
sepakat mengenai jumlah uang atau kompensasi lain tersebut, Ketua Pengadilan dengan
penetapannya yang disertai pertimbangan yang cukup, menentukan jumlah uang atau
kompensasi lain yang dimaksud. Apabila salah satu pihak atau para pihak tidak dapat
menyetujui besarnya kompensasi yang ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Tata Usaha
Negara, maka dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya ketetapan tersebut

36
Tim Penyusun MA RI, 2011, Perkembangan Peradilan Tata Usaha Negara dan Pokok – Pokok Hukum Tata Usaha
Negara Dilihat dari Beberapa Sudut Pandang, Jakarta : MA RI, hlm. 192
37
Fence M. Wantu, 2014, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Gorontalo : Reviva Cendekia, hlm. 80
38
Tim Penyusun MA RI, 2011, Perkembangan Peradilan Tata Usaha Negara dan Pokok – Pokok Hukum Tata Usaha
Negara Dilihat dari Beberapa Sudut Pandang, Jakarta : MA RI, hlm. 193
pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan kepada Mahkamah Agung agar
besarnya kompensasi ditetapkan kembali. 39

Segera setelah menerima Ketetapan Mahkamah Agung tentang besarnya kompensasi,


maka Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara meminta secara tertulis agar Badan Tata
Usaha Negara yang bersangkutan melaksanakan pembayaran kompensasi tersebut.
Tembusan surat permintaan tersebut juga disampaikan diberitahukan kepada
Penggugat. Ketentuan tentang prosedur kompensasi dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 43 Tahun 1991 adalah bersifat menegaskan dan memperjelas penggarisan Pasal
117 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986. Besar kompensasi adalah paling sedikit Rp
100.000,00 (seratus ribu rupiah) dan paling banyak adalah Rp 2.000.000,00 (dua juta
rupiah) dengan memperhatikan keadaan yang nyata. Besarnya kompensasi yang telah
ditetapkan oleh Ketua Pengadilan atau Mahkamah Agung jumlahnya tetap dan tidak
berubah, sekalipun ada tenggang waktu antara tanggal ditetapkannya ketetapan
tersebut dan waktu pembayaran kompensasi. Apabila pembayaran kompensasi tidak
dapat dilaksanakan oleh Badan Tata Usaha Negara dalam tahun anggaran yang sedang
berjalan, maka pembayaran kompensasi dimasukkan dan dilaksanakan dalam tahun
anggaran berikutnya.40
2.4 Pelaksanaan Putusan PTUN
2.5 Pengawasan Pelaksanaan Putusan PTUN
Berdasarkan Pasal 119 UU. No. 5 Tahun 1986, pengawasan pelaksaan putusan PTUN
dilaksanakan oleh Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara itu sendiri. Pasal 119 No. 5 Tahun 1986
menetapkan sebagai berikut: “Ketua Pengadilan wajib mengawasi pelaksanaan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”. 41

39
Tim Penyusun MA RI, 2011, Perkembangan Peradilan Tata Usaha Negara dan Pokok – Pokok Hukum Tata Usaha
Negara Dilihat dari Beberapa Sudut Pandang, Jakarta : MA RI, hlm. 193
40
Tim Penyusun MA RI, 2011, Perkembangan Peradilan Tata Usaha Negara dan Pokok – Pokok Hukum Tata Usaha
Negara Dilihat dari Beberapa Sudut Pandang, Jakarta : MA RI, hlm. 194
41
Marshaal, Sri Suatmiati, Angga Saputra, 2018, Hukum Acara Tata Usaha Negara,Palembang : Tunas Gemilang
Press, hlm. 282
Sikap Ketua PTUN dalam pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan dapat dilakukan dengan
2 (dua) cara, yaitu sikap pasif dan sikap aktif.
1. Sikap Pasif.
Sikap pengawasan pasif adalah sikap yang hanya menunggu saja dan yakin
dengan prasangka baik bahwa tergugat yang dibebani kewajiban oleh pengadilan dalam
sengketa TUN akan melaksanakan putusan pengadilan tersebut sesuai dengan apa yang
diharapkan oleh orang pada umum, termasuk pengadilan. PTUN telah memutus sengketa
tersebut dan telah menyampaikan putusan tersebut kepada kedua belah pihak yang
bersengketa sesuai dengan kewajiban pengadilan dan sesuai dengan prosedur yang ditentukan
oleh undang-undang yang berlaku. Dalam sikap pasif pengadilan ini, maka pengadilan baru akan
mengetahui, bahwa putusan pengadilan itu tidak dilaksanakan oleh pihak tergugat bilamana
ada laporan secara tertulis dari pihak yang berpekentingan (khususnya laporan pihak
penggugat). Jadi sepanjang tidak ada laporan dari pihak yang berkepentingan (pihak
penggugat), maka pengadilan menganggap putusan tersebut telah dilaksanakan oleh pihak
42
tergugat.
2. Sikap Aktif.
Sikap pengawasan aktif adalah sikap yang betul-betul direncanakan dan dikoordinasikan
dengan tujuan untuk memantau putusan pengadilan itu dilaksanakan atau tidak oleh pihak
tergugat (pejabat yang bersangkutan). Sikap aktif pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan
ini akan dimuat dalam suatu rencana perencanaan pengawasan yang paling tidak menyangkut
hal-hal sebagai berikut:
a. adanya daftar yang pasti tentang putusan pengadilan tentang sengketa TUN.
b. adanya daftar yang pasti berapa jumlah putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap.
c. adanya daftar yang pasti berapa jumlah putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap yang telah dikirim kepada pihak tergugat dan pihak penggugat.
d. Dalam struktur organisasi PTUN seyogianya ada unit tersendiri dengan pegawai yang cukup

42
Marshaal, Sri Suatmiati, Angga Saputra, 2018, Hukum Acara Tata Usaha Negara, Palembang : Tunas Gemilang
Press, hlm. 283
untuk mengelola dan bertugas memantau (memineg) pelaksanaan putusan pengadilan.
e. adanya koordinasi antara unit pengelola pelakasanaan putusan pengadilan dengan pihak
yang terkait untuk mengetahui putusan yang dilaksanakan dan putusan yang sudah
dilaksanakan.
f. Segala kegiatan unit ini secara berkala dilaporkan kepada Ketua Pengadilan.
g. Berdasarkan data dan evaluasi yang bersumber dari unit tersebut, ketua pengadilan dapat
menentukan langkahlangkah berikutnya berlandaskan kepada peraturan perundangan yang
berlaku. 43

Kesulitan dalam melaksanakan pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan saat ini di


Indonesia adalah disebabkan antara lain sebagai berikut.
1. Luas wilayah hukum PTUN (aspek wilayah) Luas wilayah Indonesia2 adalah 3.257.357 km2
dan dengan jumlah penduduk sasat lebih kurang 250 juta orang hanya dilayani oleh 26 PTUN
dan 4 PT.TUN dari Sabang sampai Merauke.
2. Belum adanya aturan (aturan pelaksanaan) yang khusus, yang mengatur bagaimana aplikasi
pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah diatur oleh UU. PTUN, yaitu UU.
No. 5 Tahun 1986 jounc UU. No. 9 Tahun 2004 dan UU. No. 51 Tahun 2009 (aspek legislasi)
3. Untuk memantau dan melakukan pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan TUN (sistem
dan peralatan) tentu memerlukan dukungan dana yang memadai (aspek budgeter).
4. Sikap tergugat (pejabat) yang tidak mau patuh kepada putusan pengadilan sebagai hukum
yang harus ditaati (aspek moral).44

43
Marshaal, Sri Suatmiati, Angga Saputra, 2018, Hukum Acara Tata Usaha Negara ,Palembang : Tunas Gemilang
Press, hlm. 283
44
Marshaal, Sri Suatmiati, Angga Saputra,2018, Hukum Acara Tata Usaha Negara,Palembang : Tunas Gemilang
Press, hlm. 285
Bab 3
Penutup
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
Daftar Pustaka

Anda mungkin juga menyukai