Anda di halaman 1dari 5

Dalam konteks Islam di Nusantara, salah satu bentuk ilmu hikmat adalah tradisi debus, yaitu warisan

budaya keagamaan khas Banten yang resmi dijadikan identitas pada zaman Sultan Ageng Tirtayasa
(Banten).

Debus bisa diterapkan melalui sarana latihan fisik dan rohani. Tradisi debus diambil dari Tarikat al-
Rifa'iyah , sehingga debus dikenal pula dengan sebutan Rifa’i, atau al-Madad (dalam permainan disebut
kata al-Madad/ penolong).

Debus merupakan permainan yang mengandalkan kekebalan tubuh dari benda tajam dan panas api. Hal
itu tentunya tidak bisa dilepaskan dari praktek-praktek magisme yang dilakukan oleh para pelakunya.

Praktek magise dalam permainan debus merupakan campuran eklektik dari agama Islam, khususnya dari
tradisi tarekat, dan dari tradisi yang telah berkembang di masyarakat pra-Islam di Banten. Kekebalan
dan kesaktian sejak masa pra-Islam memang dipentingkan dan dicari orang banyak di Nusantara.

Bentuk kesenian debus tercermin dari kegiatan masyarakat sehari-hari, yang didasari atas ucapan dan
doa yang dipanjatkan kepada Tuhan YME agar selalu diberikan pertolongan, perlindungan, serta
keselamatan didalam menjalani kehidupan.

Debus di sini dijadikan sebagai simbol masyarakat Banten yang pada intinya dalam setiap tindakan yang
kita jalani harus selalu berdoa kepada Tuhan YME agar dalam setiap langkah mendapat keberkahan dan
dijauhkan dari perbuatan yang tidak baik.

Seiring dengan perkembangan zaman, kesenian debus saat ini sudah mengalami akulturasi dengan
tradisi lokal lainnya yang ada di Banten dan unsur-unsur lokal dari Pra-Islam. Sehingga dengan proses
akulturasi tersebut, maka terkadang sulit untuk membedakan secara tegas antara ritual tarekat di satu
sisi dan ritual debus hasil adopsi tradisi lokal di sisi lain.

Dengan mengalami akulturasi, kesenian debus dengan tradisi lokal bahkan teknologi modern, maka
secara tanpa disengaja, kesenian ini pun mengalami penyusutan kemurniannya, atau dengan kata lain,
debus sudah mengalami pergeseran.
Namun, adaptasi Islam dengan budaya lokal yang terdapat pada debus tersebut sebagai sesuatu yang
tak terhindarkan agar Islam diterima mayoritas penduduk lokal, namun adaptasi tersebut sering
menimbulkan ketegangan-ketegangan antara keharusan untuk mempertahankan ontentisitas Islam
dengan kebutuhan-kebutuhan praktis dan populer yang telah dianut secara luas oleh masyarakat lokal di
Indonesia. Khususnya tanpa menghilangkan beberapa pengecualian tentang proses penyebaran Islam di
Indonesia, namun secara umum proses Islamisasi di Indonsia berlangsung secara damai.

Karena itu, masyarakat Indonesia merupakan satu dari sedikit wilayah di dunia yang mengalami proses
Islamisasi penduduknya tanpa kekuatan militer. Islam menyebar ke sejumlah wilayah di Nusantara
melalui jalur perdagangan dan jaringan tarekat yang sangat akomodatif terhadap budaya-budaya lokal.
Para penyebar sufi-pedagang mempergunakan simbol-simbol budaya dan pranata sosial lokal yang telah
ada untuk menghadirkan Islam di tengah kehidupan masyarakat Nusantara.

Dalam legenda para wali sering diceritakan bahwa kemenangan Islam sering dihubungkan dengan
keunggulan zikir dan wirid para wali Islam atas jampi atau mantra Hindu-Budha atau animisme. Karena
itu banyak orang yang berasumsi bahwa pesatnya perkembangan Islam pada masa-masa awal di
Nusantara melalui jalur tarekat, karena ajarannya yang dekat dengan budaya masyarakat Nusantara.

Banyak orang yang masuk tarekat bukan karena untuk meningkatkan kesadaran spiritual mereka dengan
mensucikan jiwanya, tetapi mereka mengharapkan mendapat “ilmu” yang kuat, yakni kesaktian dan
kedigjayaan. Selama ini memang ada beberapa tarekat yang dikenal secara luas oleh masyarakat seperti:
Qodiriyah, Rifaiyah dan Sammaniyah, yang mengajarkan amalan atau wirid tertentu untuk praktek-
praktek kekebalan tubuh dari benda tajam dan api kepada para muridnya.

Seni tradisional debus dilakukan melalui berbagai macam atraksi, seperti memecahkan buah kelapa
dengan cara dibenturkan ke kepala sendiri, menggoreng telur dan kerupuk di atas kepala, menyayat
tubuh dengan senjata tajam, hingga membakar tubuh dengan minyak tanah. Selain itu, kesenian debus
dikenal sebagai tradisi yang mengandung unsur mistis dan syarat dengan ajaran spiritual agama.

Hal itu tercermin pada saat sebelum permainan dilakukan, terlebih dahulu dimulai dengan berbagai
ritual atau doa, dengan maksud meminta perlindungan dan keselamatan kepada Allāh SWT.

Dalam sejarahnya, tradisi debus tidak bisa dipisahkan dengan ilmu tarekat yang berkembang di Banten,
karena tradisi ini ditengarai bersumber dari ajaran beberapa tarekat. Sultan Hasanudin sebagai orang
yang pertama kali memperkenalkan kesenian ini adalah penganut ajaran Tarikat al-Rifa'iyah
sebagaimana juga dianut oleh mayoritas para penyebar agama Islam di Banten.

Keeratan debus dengan tarekat bisa dilihat pada saat akan dimulainya pertunjukan, selalu dimulai
dengan membaca shalawat Nabi, doa-doa, dzikir, serta diikuti ritual tertentu yang hampir serupa dengan
tradisi tarekat-tarekat yang berkembang di Banten. Diajarkannya wiridan (baca: zikir) yang berasal dari
tarekat tertentu dimaksudkan untuk memudahkan hati murid-murid untuk mendapatkan hidayah dari
Allāh SWT.

Melalui zikir itu, murid-murid diharapkan bisa sampai kepada tingkatan manusia yang bertaqwa. Apabila
seorang murid mampu mengamalkan zikir itu secara istiqamah, dan ia dianggap telah menjadi orang
yang bertaqwa, maka murid itu akan memperoleh keajaiban-keajaiban yang secara logika bisa dianggap
irrasional, namun secara empirik mengandung fakta yang valid. Apa yang diperoleh oleh seorang murid
tersebut dalam istilah tasawuf dikenal dengan karamah.

Dalam perkembangannya, debus sebagai suatu kesenian tradisional khas Banten menjadi tradisi
kesenian keagamaan yang begitu pesat, dan banyak dimainkan oleh masyarakat Banten, bahkan hingga
mutakhir ini. Di samping itu, tradisi debus dikenal tidak hanya di provinsi Banten semata, melainkan juga
dikenal di banyak daerah di Indonesia.

Dalam sejarah penyebaran Islam di Nusantara, kesenian debus digunakan sebagai media penyebaran
Islam di kalangan masyarakat Nusantara. Konon, kesenian ini masih ada hubungannya dengan Tarikat al-
Rifa'iyah yang dibawa oleh Nuruddin Ar-Raniry ke Aceh pada abad ke 16. Artinya, debus tidak bisa
dipisahkan dengan tarekat dan fakta itu juga menunjukkan bahwa debus syarat dengan ajaran-ajaran
mistis agama.

Kita tahu, Islam datang dan menyebar di Indonesia banyak dipengaruhi oleh ajaran mistik, yakni Islam
Sufi (tasawuf/tarikat). Di samping itu, Islam juga diwarnai oleh berbagai aliran, baik dalam bidang
aqidah ataupun fiqhiyah. Pengaruh aliran itu sampai sekarang pun masih sangat kental, terutama di
Banten.

Corak Islam Nusantara itu tak lepas dari pengaruh intelektual muslim nusantara yang belajar ke Tanah
Arab. Sekalipun pada saat itu pengawasan kolonial begitu ketat, namun tidak sedikit ulama-ulama
Indonesia, termasuk ulama Banten yang menempuh pendidikan di Tanah Arab. Seperti halnya Syekh
Muhammad Nawawi bin Umar Tanara, putra asli Banten yang belajar dan mengajar di kota suci,
Makkah.

Pemikiran Islam khas Nusantara, khususnya di Banten saat itu berkiblat kepada pemikiran Ki Nawawi
(sebutan akrab Syekh Muhammad Nawawi), baik pemikiran tafsir, fikih, maupun tasawuf. Karena
dianggap sebagai ulama intelektual yang memiliki keluasan dan kedalam ilmu agama, Syekh Nawawi
memperoleh gelar Al-'Allamah (Orang yang sangat mendalam pengetahuannya tentang agama).

Kitab-kitab yang telah ditulis dan diterbitkan Syekh Nawawi kurang lebih sekitar 150 kitab yang berisi
pokok-pokok pikirannya dalam berbagai disiplin ilmu. Ketika Syekh Nawawi berkunjung ke Mesir, ia
memperoleh gelar Sayyid 'Ulama al-Hijaz (tokoh/penghulu ulama Hijaz) yang diberikan langsung oleh
ulama-ulama Mesir. Meskipun Ki Nawawi telah meninggal dunia, setiap tahun pada tanggal 25 Syawal,
kewafatannya selalu diperingati oleh keluarga dan masyarakat Banten di tempat kelahirannya, Tanara.

Selain Kiai Nawawi, ulama Banten yang juga memiliki keluasan intelektual adalah Kiai Abdul-Karim
(Paman Kiai Nawawi), yang dikenal sebagai ulama yang mengembangkan tarikat Qadiriyah -
Naqsyabandiyah di Banten. Ia telah melahirkan banyak murid-murid yang bertebaran di Banten, dan
tidak sedikit para muridnya menjadi ahli tarikat yang mengembangkan ilmu hikmat melalui tradisi
debus.

Pengaruh tarekat juga merambah dalam dunia politik, di mana ketika meletus perang Cilegon pada
tahun 1888, yang pelopori oleh K.H.Wasyid dkk, semangat perang itu dijiwai oleh ajaran tarikat yang
dikembangkan oleh Kiai Abdul-Karim . Hanya bermodal parang dan golok yang diberi sugesti melalui
amalan-amalan, serta wirid oleh ahli tarikat yang mengembangkan ilmu hikmah, mereka mampu
melawan Belanda yang pada saat itu sudah mempunyai peralatan modern yang canggih seperti tank,
bedil dan mesin. Meskipun demikian, perlawan Kiai Wasyid mampu dipukul mundur oleh kompeni.

Dalam kesenian debus saat ini banyak sekali pergeseran, tidak hanya terjadi pada pergeseran dari segi
ritual, pertunjukan atau perekrutan saja, pergeseran itu juga terjadi pada segi tujuan permainan debus.
Pergeseran ini adalah sebuah kelanjutan dari adanya pergeseran-pergeseran debus di atas.

Kesenian debus saat ini sudah mengalami pergeseran dari segi tujuannya dengan debus tempo dulu.
Sekarang, meskipun padepokan debus tumbuh menjamur di mana-mana— baik itu di sekitar Banten
sendiri maupun luar Banten—akan tetapi semuanya lebih menekankan pada orientasi hiburan daripada
tarekat murni Hubungan antara tarekat dan debus saat ini sudah renggang bahkan bisa dikatakan cerai
atau terputus karena debus sudah beralih orientasi menjadi hiburan yang mendatangkan uang dan aset
pariwisata yang layak jual

Anda mungkin juga menyukai