Anda di halaman 1dari 36

Nama : Muhammad Setio Widodo

NIM : 6130018016

Hidung dan Sinus Paranasal


Anatomi dan fisiologi hidung

Hidung merupakan salah satu organ penting yang berfungsi dalam proses

respirasi. Hidung dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu hidung luar dan hidung

dalam. Hidung berbentuk piramid dan dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang

rawan. Hidung terletak menonjol pada garis tengah di antara pipi dengan bibir

atas. Bagian puncak hidung disebut juga dengan apeks nasi. Ujung atasnya yang

sempit bertemu dengan dahi di glabela dan disebut dengan radiks nasi. Kedua

lubang hidung disebut nares dan dipisahkan oleh sekat tulang rawan kulit yang

disebut kolumela. Titik pertemuan antara kolumela dengan bibir atas dikenal

sebagai dasar hidung. Bagian bibir atas membentuk cekungan dangkal memanjang

dari atas ke bawah yang disebut filtrum. Permukaan lateral berakhir membulat di

bawah membentuk ala nasi (Ballenger, 2003).

Rangka hidung bagian luar dibentuk dari dua os nasal, prosesus frontal os

maksila, sepasang kartilago lateralis inferior atau kartilago alar mayor, kartilago

lateralis superior dan tepi anterior kartilago septum nasi. Pada tulang tengkorak,

bentuk hidung yang menyerupai buah pir dibentuk oleh apertura piriformis, di

garis tengahnya ada penonjolan yang disebut spina nasalis anterior. Tepi superior

dan lateral apertura piriformis dibentuk oleh os nasal dan prosesus frontal os

7
8

maksila serta bagian dasarnya dibentuk oleh prosesus alveolaris maksila

(Ballenger, 2003).

Hidung bagian dalam terdiri dari septum nasi membagi kavum nasi

menjadi dua bagian. Septum dibentuk oleh penampang sagital yang terdiri dari

bagian tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh mukosa respiratori. Mukosa

septum menghubungkan kolumela dengan katilago kuadrangular. Bagian superior

dan posterior dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid. Bagian anterior

dibentuk oleh kartilago septum kuadrilateral, premaksila dan kolumela

membranosa. Bagian inferior dibentuk oleh os vomer, krista maksila dan os

palatina serta bagian posteriornya dibentuk oleh krista sphenoid. Dasar hidung

dibentuk oleh prosesus palatina os maksila dan prosesus horizontal os palatum.

Atap hidung dibentuk oleh kartilago lateralis inferior, os nasal, prosesus nasalis os

frontal, korpus os etmoid dan korpus os sphenoid. Sebagian besar atap rongga

hidung dibentuk oleh lamina kribrosa (Ballenger, 2003).

Dinding lateral hidung dibentuk oleh permukaan dalam maksila, os

lakrimalis, konka superior dan media, konka inferior dan medial pterigoideus. Di

antara konka-konka tersebut terdapat celah sempit yang disebut meatus yaitu

meatus inferior, media dan superior dimana merupakan tempat bermuaranya sinus

paranasalis. Kadang-kadang didapatkan konka ke empat yang disebut konka

suprema (Ballenger, 2003; Leung, 2014).

Sumber perdarahan untuk hidung secara garis besar berasal dari a.etmiod

anterior dan posterior yang merupakan percabangan dari a.oftalmika dari a.karotis

interna dan a.sfenopalatina yang merupakan percabangan dari a.maksilaris interna


dari a.karotis eksterna. Bagian anterior dan superior septum serta dinding lateral

hidung mendapatkan perdarahan dari a.etmoid anterior (Ballenger, 2003).

a b

Gambar 2.1 Anatomi Hidung (Ballenger, 2003)

a. Potongan dorsal hidung

b. Potongan koronal hidung

Persarafan pada hidung berasal dari n.oftalmikus dan n.maksila yang

merupakan percabangan dari n.trigeminus. Saraf sensoris bagian depan dan atas

rongga hidung berasal dari n.etmoidalis anterior cabang dari n.nasosiliaris yang

berasal dari n.oftalmikus. Dinding lateral kavum nasi mendapat serabut saraf dari

cabang nasalis n.palatina, n.etmoidalis dan sebuah cabang nasal yang kecil berasal

dari n.alveolaris superior. Septum nasi dipersarafi oleh n.etmoidalis cabang dari

n.oftalmikus dan n.nasopalati cabang dari n.maksilaris yang merupakan cabang

dari n.trigeminus (Ballenger, 2003).

Hidung memiliki tiga fungsi utama yaitu sebagai organ yang berperan

dalam proses penciuman/penghidu, pernapasan dan perlindungan. Ketiga fungsi

tersebut dibantu oleh struktur anatomi yang rumit di dalam rongga hidung yang

membentuk suatu permukaan yang luas. Lipatan mukosa, silia, dan kelembaban di

dalam rongga hidung akan terlibat dalam proses pernapasan untuk menyaring
kotoran yang masuk bersama udara pernapasan dan akan meningkatkan

kemampuannya dalam hal proteksi sebelum udara pernapasan tersebut masuk ke

dalam saluran napas bagian bawah (Leung dkk., 2014).

Banyaknya pembuluh darah di bawah epitel dan sistem sekresi rongga

hidung dan sinus paranasalis berperan dalam proses pengaturan suhu dan

kelembaban di dalam rongga hidung sebelum udara pernapasan tersebut dialirkan

ke saluran napas bagian bawah. Suhu udara yang melalui hidung diatur berkisar

37oC (Leung dkk., 2014).

Singkatnya, pusat penghidu berada diantara traktus sinonasal. Secara

anatomi, neuroepitelium penghidu tersebar di sepanjang bagian superior rongga

hidung, berlokasi diantara septum dan permukaan medial konka superior.

Neuroepitelium penghidu juga terdapat di bagian anterior yaitu di sebelah atas

konka media dan di bagian inferior di sebelah bawah lamina kribiformis. Daerah

ini disebut juga sebagai olfactory cleft. Partikel bau dapat mencapai daerah ini

dapat melalui hidung atau dari retronasal. Stimulasi pada hidung tercetus sebagai

akibat peranan indera penghidu, ketika stimulasi retronasal memainkan peranan

pada sensasi rasa selama mengunyah makanan. Sehingga fungsi hidung adalah

juga untuk membantu indera pengecap membedakan rasa (Leung dkk., 2014).

Secara normal mukosa sinonasal tersusun dari lapisan epithelial, lamina

propria, submukosa dan periostium. Pada sel epithelial hidung terdapat silia, sel

kolumnar dengan berbagai ukuran sel goblet. Sebuah lapisan tipis tidak

mengandung sel terdiri dari membrana basalis dipisahkan oleh lapisan epithelial

dari lamina propria yang tebal. Di bawah epithelium terdapat limfosit, sel plasma,
dan makrofag. Partikel debu, virus, bakteri dan jamur yang terhirup bersama udara

akan disaring di hidung oleh rambut yang terdapat di vestibulum nasi, silia, palut

lendir. Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir dan partikel yang besar

akan dikeluarkan dengan refleks bersin (Leung dkk., 2014).

2.1.2 Anatomi dan fisiologi sinus paranasal

Sinus paranasal merupakan rongga berisi udara yang berbatasan langsung

dengan rongga hidung. Sinus paranasalis dibagi menjadi dua kelompok yaitu

anterior dan posterior. Sinus maksila, sinus frontal dan sinus etmoid anterior

merupakan kelompok anterior dan ostium dari sinus-sinus ini terletak di dalam

meatus media. Sedangkan sinus etmoid posterior dan sinus sphenoid merupakan

kelompok posterior dan ostium dari sinus-sinusnya terletak di dalam meatus

superior (Ballenger, 2003).

Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Dinding anterior

terbentuk dari permukaan maksila. Dinding posterior berbatasan dengan fossa

pterigopalatina. Dinding medial merupakan dinding lateral dari kavum nasi,

lantai sinus adalah prosesus alveolaris dan dinding superior sebagai lantai orbita.

Nervus infraorbital melewati lantai orbita keluar ke bagian anterior maksila

melalui formen infraorbita (Leung dkk., 2014)

Proses terbentuknya sinus maksila berasal dari ekspansi infundibulum

etmoid ke dalam maksila hingga membuat suatu massa. Ukuran standar volume

sinus maksila pada orang dewasa adalah sekitar 15 mL dan secara kasar

bentuknya menyerupai piramid. Ostium sinus maksila berada di sebelah superior


dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum

etmoid (Ballenger, 2003; Leung dkk., 2014).

Sinus etmoid merupakan sinus yang pertama kali terbentuk dengan

sempurna. Sinus ini merupakan struktur dibagian tengah hidung dengan anatomi

yang kompleks. Sinus etmoid terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon,

yang terdapat di dalam massa bagian lateral tulang etmoid, yang terletak di antara

konka media dan dinding medial orbita. Berdasarkan letaknya, sinus etmoid

dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus medius dan sinus

etmoid posterior yang bermuara di meatus superior (Ballenger, 2003; Leung dkk.,

2014).

Bagian depan sinus etmoid anterior terdapat bagian yang sempit disebut

infundibulum. Terdapat pula bula etmoid yang merupakan sel etmoid terbesar.

Atap sinus etmoid disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina kribrosa.

Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan membatasi

sinus etmoid dari rongga orbita (Ballenger, 2003).

Sinus sfenoid merupakan sinus paranasal yang terletak paling posterior,

yaitu di dalam tulang sfenoid di belakang sinus etmoid posterior. Pneumatisasi

tulang sfeniod terjadi selama usia anak-anak dan prosesnya berlangsung cepat

setelah usia 7 tahun dan berhenti terbentuk pada usia 12 hingga 15 tahun. Sinus

sfenoid memiliki banyak hubungan penting dalam hal neurovaskular. Saat sinus

berkembang, pembuluh darah dan nervus di bagian lateral tulang sphenoid akan

menjadi sangat berdekatan dengan rongga sinus dan tampak sebagai indentasi

pada dinding sinus sfenoid. Sebelah superior terdapat fosa serebri media dan
kelenjar hipofisa. Bagian inferior adalah atap nasofaring. Bagian lateral

berbatasan dengan sinus kavernosus dan arteri karotis interna. Sebelah

posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons (Ballenger,

2003; Leung dkk., 2014).

Sinus frontal jarang terbentuk sebelum tahun ke dua kehidupan. Pada saat

ini, sinus frontal sangat lambat menginvasi os frontal dan sinus ini memiliki

bentuk serta ukuran yang bervariasi. Dinding anterior sinus frontal terdiri dua

buah tulang dan dinding posteriornya terdiri dari sebuah lempeng tulang yang

kompak. Sinus frontal berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di resesus

frontal yang berhubungan dengan infudibulum etmoid (Ballenger, 2003).

Fungsi sinus paranasal yaitu sebagai pertahanan tubuh terhadap

kontaminasi sinus dari infeksi akibat paparan dengan lingkungan luar melalui tiga

mekanisme yaitu, terbukanya kompleks ostiomeatal, transport mukosilia dan

produksi mukus yang normal (Pranitasari, 2015).

Gambar 2.2 Gambaran kompleks ostiomeatal (Ballenger, 2003)

Kompleks ostiomeatal merupakan suatu unit yang menghubungkan antara

meatus media dan kelompok sinus bagian anterior. Jika terjadi deformitas anatomi
atau proses penyakit, hal tersebut akan menyebabkan terjadinya obstruksi ostium sinus,

stasis silia dan infeksi sinus (Ballenger, 2003).

A. Penyakit – penyakit pada Hidung


1. Rinosinusitis
• Rinosinusitis adalah inflamasi pada hidung dan sinus-sinus paranasal yang
ditandai dengan adanya dua atau lebih gejala, dimana salah satunya termasuk
hidung tersumbat/ obstruksi/ kongesti atau keluarnya cairan dari hidung (sekret
hidung yang jatuh ke anterior/ posterior hidung):
± nyeri wajah/ nyeri tekan pada wajah
± penurunan/ hilangnya fungsi penghidu
• dan salah satu dari:
a. temuan nasoendoskopi:
- polip dan/ atau
- sekret mukopurulen dari meatus medius dan/ atau
- edema/ obstruksi mukosa di meatus medius
b. dan atau gambaran tomografi komputer:
- perubahan mukosa di kompleks osteomeatal dan/atau sinus

Rinosinusitis akut (ARS) didefinisikan sebagai gejala berlangsung kurang


dari 12 minggu dengan resolusi komplit dan dapat dibagi menjadi:
• Common cold / rinosinusitis viral akut (didefinisikan dengan durasi gejala
kurang dari 10 hari, dan
• Rinosinusitis viral non-akut (didefinisikan dengan peningkatan gejala setelah
lima hari atau gejala-gejala menetap (persisten) setelah 10 hari dengan durasi
kurang dari 12 minggu)

Rinosinusitis kronis (dengan atau tanpa polip nasal) adalah didefinisikan


dengan gejala-gejala yang berlangsung lebih dari 12 minggu tanpa disertai gejala
resolusi komplit/penyembuhan (termasuk rinosinusitis kronis eksaserbasi akut)
dan dapat dibagi menjadi:
• rinosinusitis kronik dengan polip nasal dan
• rinosinusitis kronik tanpa polip nasal;

Patofisiologi:
Rinosinusitis merupakan suatu proses peradangan yang mempengaruhi
mukosa hidung dan sinus yang sering dikaitkan dengan gangguan mukosiliar,
infeksi (bakteri), alergi, atau yang jarang seperti obstruksi hidung atau variasi
anatomi.
Rinosinusitis Akut non-virus (ARS) didefinisikan sebagai:
• Peningkatan gejala setelah 5 hari atau
• Gejala-gejala yang menetap/persisten setelah 10 hari dari onset mendadak
dari 2 atau lebih gejala:
- Sumbatan/ kongesti hidung
- Sekret yang jatuh baik di Anterior atau Posterior Nasal
- Nyeri wajah pada saat ditekan
- Dan/atau adanya penurunan/kehilangan kemampuan menghidu.
Pemeriksaan
a. Rinoskopi anterior
Pemeriksaan Rinoskopi anterior dapat melewatkan polip nasal yang kecil
namun perlu dilakukan untuk semua pasien dengan penyakit hidung kronik.
Jika terdapat keraguan diagnostik pasien dapat dirujuk untuk pemeriksaan
endoskopi hidung.
b. Radiologi
Pemeriksaan radiologi tidak direkomendasikan untuk pemeriksaan rutin
penegakan diagnosis dan penatalaksanaan rhinosinusitis dikarenakan foto
polos sinus dapat memberikan hasil positif palsu dan positif negatif.
Pemeriksaan CT scan, modalitas radiologi sebaiknya dilakukan bila tanda
dan gejala bersifat unilateral atau memberikan tanda kondisi yang lebih
serius.

Penatalaksanaan
a. Antiinflamasi steroid intranasal (topikal) terutama yang Rinosinusitis Akut
b. Boleh atau tidak dikombinasi dengan antibiotik sistemik.
c. Boleh atau tidak dikombinasi dengan antiinflamasi steroid sistemik.
d. Terapi tambahan seperti Dekongestan untuk obstruksi nasi, Antihistamin
untuk rinosinusitis alergi,

2. Rinitis Alergi
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada
pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitasi dengan allergen yang sama serta
dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan
allergen spesifik tersebut. Definisi menurut WHO ARIA adalah kelainan pada
hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah
mukosa hidung terpapar allergen yang diperantarai oleh Ig E.

Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas:


a. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernapasan, misalnya
tungau debu rumah, kecoa, serpihan epitel kulit binatang (kucing, anjing),
rerumputan serta jamur.
b. Alergen ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya
susu sapi, telur, coklat, ikan laut, udang, kepiting, cumi dan kacang-
kacangan.
c. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya
penicillin dan sengatan lebah.
d. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa,
misalnya bahan kosmetik, perhiasan.

Klasifikasi Rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari ARIA (Allergic Rhinitis


and its Impact on Atshma) WHO berdasarkan sifat berangsungnya dibagi
menjadi:
a. Intermitten (Kadang-kadang): bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau
kurang dari 4 minggu.
b. Persisten (menetap) bila gejala lebih dari 4 hari per minggu dan lebih dari 4
minggu.

Diagnosis
Diagnosis Rnitis alergi ditegakkan berdasarkan:
a. Anamnesis
b. Pemeriksaan Fisik
c. Pemeriksaan Penunjang

Penatalaksanaan
a. Menghindari kontak dengan allergen penyebabnya (Avoidance) dan
eliminasi
b. Medikamentosa dengan menggunakan antihistamin baik oral maupun
antihistamin topikal (intra nasal). Juga dapat digunakan decongestan untuk
obstruksi nasi, Anti inflamasi steroid intranasal dan preparat antikolinergik
topikal untuk mengatasi Rinore.
c. Operatif dengan melakukan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka
inferior), konkoplasty.
d. Imunoterapi
Komplikasi
a. Polip hidung
b. Otitis media efusi yang sering residif, terutama pada anak-anak
c. Sinusitis paranasal

3. Sinusitis Paranasalis
Sinusitis didefinisikan sebagai proses inflamasi mukosa sinus paranasal.
Umumnya disertai atau dipicu oleh rhinitis sehingga sering disebut rinosinusitis.
Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis sedangkan bila mengenai
semua sinus paranasal disebut pansinusitis.

Etiologi
Berbagai faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA alibat virus, bermacam
rhinitis terutama riitis alergi, rhinitis hormonal pada wanita hamil, polip hidung,
kelainan anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi konka, sumbatan
kompleks ostio-meatal (KOM), infeksi tonsil, infeksi gigi (sinusitis dentogen),
kelainan imunologik, diskinesia silia seperti pada sindroma Kartagener dan di
luar negeri adalah penyakit fibrosis kistik. Hipertrofi adenoid pada anak.

Patofisiologi
Adanya Gangguan pada patensi ostium-ostium sinus dan lancarnya klirens
mukosiliar di dalam KOM. Bila terjadi sumbatan pada ostium-ostium sinus maka
akan terjadi tekanan negative di dalam rongga sinus yang menyebabkan
transudasi, mula-mula serous namun bila keadaan ini menetap, sekret yang
berkumpul dalam sinus merupakan media baik untuk pertumbuhan dan
multiplikasi bakteri. Sekret menjadi purulen dan perlu terapi antibiotic. Jika terapi
tidak berhasil inflmasi berlanjut terjadi hipoksia dan bakteri anaerob berkembang.
Mukosa makin membengkak dan ini merupakan rantai siklus yang terus berputar
sampai akhirnya perubahan mukosa menjadi kronik yaitu hipertrofi, polipoid atau
pembentukan polip dan kista. Pada keadaan ini mungkin diperlukan tindakan
operasi.
Klasifikasi dan Mikrobiologi
Menurut Konsensus tahun 2004 Sinusitis berdasarkan perlangsungan dibagi
menjadi akut (< 4 minggu), Sub akut (> 4 minggu - < 3 bulan) dan kronik (>3
bulan)
Menurut berbagai penelitian, bakteri utama yang ditemukan pada sinusitis akut
adalah Streptococcus pneumonia (30-50%), Hemophylus influenza (20-40%) dan
Moraxella catarrhalis (4%). Pada anak, M. catarrhalis lebih banyak ditemukan.

Gejala Sinusitis
Keluhan Utama yang akut adalah Hidung tersumbat disertai nyeri atau rasa
tekanan pada wajah dan ingus purulen yang sering kali turun ke tenggorok (post
nasal drip), dapat disertai gejala sistemik seperti demam dan lesu. Keluhan nyeri
pipi menandakan sinusitis maxilla, nyeri di antara atau di belakang kedua bola
mata menandakan sinusitis ethmoid, nyeri di dahi atau seluruh kepala
menandakan sinusitis frontal. Pada sinusitis sphenoid nyeri dirasakan di vertex,
oksipital, belakang bola mata dan daerah mastoid.
Gejala lain adalah sakit kepala, hiposmia/anosmia, halitosis, post nasal drip yang
menyebabkan batuk dan sesak pada anak. Keluhan sinusitis kronik tidak khas
sehingga sulit didagnosis. Kadang-kadang hanya 1 atau 2 dari gejala-gejala di
bawah ini yaitu sakit kepala kronik, post nasal drip, batuk kronik, gangguan
tenggorok, gangguan telinga akibat sumbatan kronik muara tuba eustachius,
gangguan ke paru seperti bronchitis, bronkiektasis dan yang penting adalah
serangan asma yang meningkat dan sulit diobati. Pada anak, mukopus yang
tertelan dapat menyebabkan gastroenteritis.

Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang. Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior dan posterior,
pemeriksaan dengan nasoendoskopi sangat dianjurkan untuk diagnosis yang lebih
tepat dan dini. Tanda khas adalah adanya pus di meatus medius (pada sinusitis
maxilla, ethmoid anterior dan frontal) atau di meatus superior (pada sinusitis
ethmoid posterior dan sphenoid). Pada rinosinusitis akut, mukosa edema dan
hiperemis. Pada anak sering ada pembengkakan dan kemerahan di daerah kantus
medius.
Pemeriksaan penunjang yag penting adalah Foto polos atau CT Scan. Foto polos
posisi waters, PA dan lateral, umumnya hanya mampu menilai kondisi sinus-
sinus besar seperti sinus maksilla dan frontal. Kelainan akan terlihat
perselubungan, batas udara-cairan (air fluid level) atau penebalan mukosa.
CT Scan sinus merupakan gold standard diagnosis sinusitis karena mampu
menilai anatomi hidung dan sinus, adanya penyakit dalam hidung dan sinus
secara keseluruhan dan perluasannya.
Pemeriksaan Mikrobiologik dan tes resistensi dilakukan dengan mengambil
sekret dari meatus medius/superior, untuk mendapat antibiotik yang tepat guna.

Penatalaksanaan
Tujuan terapi sinusitis ialah:
a. Mempercepat penyembuhan
b. Mencegah komplikasi
c. Mencegah perubahan menjadi kronik.
Prinsip pengobatan ialah membuka sumbatan di KOM sehingga drenase dan
ventilasi sinus-sinus pulih secara alami.
Antibiotik dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada sinusitis akut
bacterial. Antibiotic diberikan selama 10-14 hari meskipun gejala klinik sudah
hilang.
Selain dekongestan oral dan topikal, terapi lain dapat diberikan jika diperlukan
seperti analgetik, mukolitik, steroid oral/topikal, nasal doughing dengan NaCl,
anti histamine tidak rutin diberikan, imunoterapi dapat dipertimbangkan jika
pasien menderita kelainan alergi yang berat. Bila sinusitis kronik yang tidak
mengalami perbaikan dengan terapi adekuat makan dapat dilakukan tindakan
Operasi (Bedah Sinus Endoskopi Fungsional).

Komplikasi
Komplikasi yang biasa terjadi adalah:
a. Komplikasi Orbita edema palpebra, selulitis orbita, abses subperiosteal,
abses orbita dan selanjutnya dapat terjadi thrombosis sinus kavernosus.
b. Komplikasi Intrakranial  Meningitis, abses ekstradural atau subdural, abses
otak dan thrombosis sinus kavernosus.
21

2.1 Rinosinusitis Kronis

2.1.1 Definisi

Menurut Johnson dan Ferguson (1998) seperti yang dikutip oleh Selvianti

(2008) bahwa inflamasi yang terjadi pada kavum nasi biasanya berhubungan

dengan inflamasi pada sinus paranasalis. Hal ini disebabkan karena mukosa

kavum nasi dan sinus paranasalis saling berhubungan sebagai satu kesatuan dan

memiliki kesamaan secara histologi. Sehingga terminologi rinosinusitis lebih

diterima sebagai istilah bagi suatu proses inflamasi yang melibatkan mukosa

hidung dan sinus paranasalis.

Hingga saat ini telah banyak dikemukakan definisi rinosinusitis kronis.

Menurut Konsensus terbaru dalam European Position Paper on Rhinosinusitis

and Nasal Polyps (EPOS) tahun 2012 rinosinusitis kronis adalah inflamasi hidung

dan sinus paranasal yang ditandai dengan adanya dua atau lebih gejala dengan

salah satu gejala harus mencakup hidung tersumbat, obstruksi, kongesti atau

adanya sekret hidung (anterior/posterior nasal drip), ± nyeri wajah/ tekanan

daerah sinus, ± penurunan atau hilangnya daya penghidu. Dan salah satu temuan

endoskopi: polip dan atau sekret mukopurulent terutama berasal dari meatus

medius dan atau edema/ obstruksi mukosa terutama pada meatus medius dan atau

pada gambaran tomografi computer terdapat perubahan mukosa pada daerah


kompleks osteomeatal dan atau sinus, dengan perlangsungan ≥ 12 minggu

(Selvianti, 2008; Punagi dan Ade, 2009; Fokkens dkk., 2012).

2.1.2 Etiologi

Seperti yang telah dituliskan pada latar belakang bahwa rinosinusitis

kronis disebabkan oleh multifaktorial dan dapat dikelompokkan menjadi tiga

faktor yaitu faktor genetik/fisiologi, faktor lingkungan dan faktor struktural

(Selvianti, 2008).

2.2.2.1 Faktor genetik/fisiologi

Asma merupakan salah satu kondisi yang ditandai dengan adanya riwayat

atopi dan hiperaktivitas pada saluran napas. Hal tersebut dapat menjadi faktor

yang berperan untuk terjadinya rinosinusitis kronis serta pada 88% kasus,

penderita asma memiliki gambaran radiologis mukosa sinus yang abnormal

(Selvianti, 2008; Fokkens dkk., 2012). Pada beberapa penyakit bawaan lainnya

seperti diskinesia silia primer ataupun sindroma kartagener juga dapat menjadi

faktor terjadinya rinosinusitis kronis karena bersihan mukosiliar yang abnormal,

dimana silia merupakan struktur yang sangat penting yang terdapat di dalam

kavum nasi dan sinus paranasal untuk sistem proteksi pada traktus respiratorius

yang melindunginya dari paparan debu dan udara lingkungan luar (Selvianti,

2008; Gupta dkk., 2010; Fokkens dkk.,2012).

2.2.2.2 Faktor lingkungan

Rinosinusitis kronis juga dikaitkan dengan alergi. Hal ini diduga pada

alergi terjadi inflamasi di mukosa hidung yang akan menyebabkan udem mukosa

dan akhirnya akan mengakibatkan gangguan ventilasi serta penyumbatan ostium


sinus (Balenger, 2003; Selvianti, 2008). Beberapa kondisi seperti adanya suatu

infeksi baik oleh virus, bakteri ataupun jamur akan dapat menghambat siklus

metachronous silia dan sistem transport mukosilia yang efesien (Ballenger, 2003).

Pada rinosinusitis kronis kuman yang paling sering menginfeksi adalah anaerob

dimana hal tersebut diakibatkan oleh stasisnya mukus, obstruksi ostium sinus dan

hipoksia di dalam kavum sinus (Selvianti, 2008). Pada penelitian yang dilakukan

oleh Ponikau dkk. (1999) seperti yang dikutip oleh Selvianti (2008) mendapatkan

sekitar 96% kultur jamur positif pada 210 pasien rinosinusitis kronis dan pada

kasus rinosinusitis kronis karena jamur didapatkan peningkatan kadar IL-8

(Elmorsy dkk., 2010).

2.2.2.3 Faktor Struktural

Variasi anatomi yang terdapat pada hidung baik itu berupa deviasi septum

nasi, konka bulosa dapat menjadi faktor predisposisi rinosinusitis kronis karena

kondisi tersebut dapat menyebabkan obstruksi ostium sinus sehingga drainase

sinus terganggu (Selvianti, 2008).

2.1.3 Patofisiologi

Faktor utama yang sangat berperan dalam patofisiologi rinosinusitis adalah

kegagalan transport mukus dan menurunnya ventilasi sinus. Kasus rinosinusitis

sebagian besar disebabkan karena adanya inflamasi akibat infeksi virus ataupun

alergi yang mengakibatkan edema mukosa dengan tingkat keparahan yang

berbeda. Selain itu infeksi virus juga dapat menimbulkan gangguan epitel,

peningkatan jumlah sel goblet dan penurunan silia. Edema mukosa dan semua
perubahan yang terjadi akan berdampak pada obstruksi ostium sinus sehingga

drainase sekret menjadi terganggu (Kentjono, 2004; Cervin dkk., 2007).

Proses inflamasi yang terjadi pada rinosinusitis kronis diakibatkan karena

epitel saluran napas atas memproduksi berbagai sitokin diantaranya adalah IL-1,

TNF-α (Tumor necrosing factor alpha), GM-CSF (Granulocyte-macrophage-

colony stimulating factor), ICAM-1 (Intracellular adhesion molecule 1), IL-8, dan

lain-lain (Selvianti, 2008; Kentjono, 2004). Pada awal reaksi inflamasi dan untuk

mempertahankan respon inflamasi kronis sitokin sangat diperlukan. Pada proses

inflamasi, adhesi antara leukosit dan sel endotel sangat meningkat. Makrofag yang

menemukan mikroba akan melepaskan sitokin seperti TNF-α dan IL-1 di tempat

infeksi. Sitokin tersebut akan mengaktifkan sel endotel sekitar venul untuk

memproduksi selektin yang berperan dalam penguliran neutrofil di endotel dan

juga meningkatkan ICAM-1. Selain itu, ICAM-1 juga terdapat di sel endotel

vaskuler dan terlibat dalam perpindahan eosinofil dari pembuluh darah ke jaringan

dimana hal ini terjadi pada rinosinusitis kronis dengan polip (Duda, 2015). Sel

endotel yang dirangsang juga melepaskan peptida (IL-8) yang bersifat kemotaktik

untuk neutrofil dan leukosit serta IL-8 ini mengaktifkan neutrofil di tempat infeksi

(Baratawidjaja dan Iris, 2009).

Iritasi mukosa merupakan hal yang terjadi pada fase inisial dimana sel

epitel mukosa mengenali mikroba dengan mensekresi IL-8. Interleukin-8 di dalam

cairan sinus akan menginisiasi eksudasi neutrofil dan menyebabkan neutrofil pada

cairan sinus untuk memproduksi IL-8. Interleukin- 8 yang baru terbentuk akan

merangsang migrasi neutrofil keluar dari mukosa menuju cairan sinus. Protease
dan superoxidase yang dikeluarkan neutrofil akan memicu perusakan fungsi

mukosiliar yang diikuti dengan retensi cairan sinus sehingga secara keseluruhan

proses inflamasi akan berlangsung lama (Yoon dkk., 2010).

Pada keadaan dimana terjadi gangguan pada fungsi mukosiliar sehingga

mengakibatkan retensi mukus maka hal tersebut akan memudahkan kolonisasi

bakteri dan inflamasi akan terus berlangsung. Gangguan ventilasi dapat

menyebabkan penurunan pH dalam sinus dimana kondisi ini akan berdampak

pada penurunan frekuensi gerak silia dan lendir yang dihasilkan menjadi lebih

kental sehingga menjadi media yang baik untuk tumbuhnya kuman patogen. Pada

keadaan dimana mukosa hidung mengalami inflamasi akan terjadi perubahan

kadar pH mukosa hidung menjadi 5,5-6,5 dan hal ini menyebabkan penurunan

fungsi transpor mukosiliar. Frekuensi gerak silia hanya dapat bekerja dengan

optimal pada pH normal yaitu 7-9 (Kentjono, 2004; Sofyan dan Dyan, 2017).

Pada kondisi ini jika pasien berespon terhadap terapi yang diberikan maka

ventilasi dan drainase sinus akan dapat kembali normal. Jika kondisi tersebut tidak

teratasi oleh karena kegagalan terapi ataupun keterlambatan pengobatan maka

akan terjadi akumulasi sekret di dalam kavum sinus yang merupakan media yang

sangat baik untuk kolonisasi bakteri dan proses infeksi serta inflamasi akan terus

berlanjut (Kentjono, 2004; Cervin dkk., 2007).

2.1.4 Gejala klinis dan diagnosis

Keluhan subyektif yang dapat menjadi dasar rinosinusitis kronis menurut

EPOS 2012 yaitu obstruksi nasi atau kongesti, sekret dapat ke arah anterior

ataupun posterior yang disebut dengan post nasal drip, nyeri tekan pada daerah
wajah, sakit kepala, berkurangnya penciuman. Selain itu juga ada gejala lainnya

seperti iritasi pada faring ataupun laring yang sebabkan nyeri tenggorok, suara

serak ataupun batuk dan dapat pula disertai gejala berupa demam dan lemas

(Fokkens dkk., 2012, Konig dkk., 2017).

Diagnosis rinosinusitis kronis ditegakkan berdasarkan anamnesis yang

cermat, pemeriksaan fisik dan penunjang. Dari anamnesis diperlukan informasi

mengenai keluhan utama pasien dan keluhan penyertanya, kemudian riwayat

penyakit lainnya. Selain itu perlu ditanyakan mengenai faktor-faktor yang

memperberat dan memperingan kondisi pasien serta riwayat pengobatannya.

Pemeriksaan yang dapat dilakukan yaitu meliputi pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan antara lain

rinoskopi anterior dengan menggunakan cahaya lampu kepala yang terang dan

spekulum hidung untuk menilai kondisi rongga hidung dengan mengevaluasi

kelainan yang berkaitan dengan rinosinusitis kronis seperti hipertrofi konka

inferior, deviasi septum, hiperemi pada konka dan sekret. Selain itu diperiksa juga

sekret yang terdapat pada tenggorok (post nasal drip) (Fokkens dkk., 2012).

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain nasoendoskopi

untuk melihat struktur yang terdapat di rongga hidung dengan lebih baik

dibandingkan rinoskopi anterior karena dapat menilai semua kondisi di dalam

rongga hidung lebih jelas hingga ke nasofaring. Selain itu dapat dilakukan

pemeriksaan radiologi yang merupakan pemeriksaan tambahan yang umum

dilakukan yaitu X-ray posisi Water’s, CT-Scan ataupun MRI. Pemeriksaan

radiologi diindikasikan untuk menilai anatomi sekaligus proses patologis pada


hidung dan sinus paranasalis serta untuk evaluasi lanjut jika terapi medikamentosa

yang diberikan tidak memberikan respon (Selvianti, 2008; Fokkens dkk., 2012).

Pemeriksaan penunjang lain yang juga dapat dilakukan yaitu pemeriksaan

sitologi, biopsi, bakteriologi, tes alergi, tes fungsi mukosiliar, penilaian aliran

udara nasal (peak nasal inspiratory flow), pemeriksaan ELISA (Enzyme-linked

immunosorbent assay) untuk memeriksa sitokin dalam hal ini IL-8 yang terdapat

dalan cairan sinus pasien dengan rinosinusitis kronis (Fokkens dkk., 2012).

2.1.5 Komplikasi

Komplikasi rinosinusitis kronis dapat meliputi komplikasi ke orbita, tulang

dan intrakranial. Sebelum era antibiotik, komplikasi rinosinusitis sering terjadi

dan membahayakan kondisi penderita. Seiring dengan perkembangan teknologi

untuk diagnostik dan antibiotika, hal tersebut dapat diatasi. Menurut Chandler

dkk., komplikasi orbita dikelompokkan menjadi 5 yaitu selulitis preseptal, selulitis

orbita, abses subperiosteal, abses orbita dan thrombosis sinus kavernosus. Infeksi

pada sinus etmoid dapat secara langsung merusak lamina papirasea dan

menginfeksi orbita (Balenger, 2003).

Komplikasi intrakranial lebih jarang terjadi dibandingkan komplikasi

orbita. Komplikasi intrakranial pada rinosinusitis lebih sering disebabkan karena

infeksi dari sinus frontal walaupun juga dapat terjadi karena infeksi sinus lainnya.

Infeksi menyebar melalui tromboplebitis secara retrograde pada posterior frontal

sinus yang berhubungan secara langsung dengan vena pada dura. Pott puffy tumor

merupakan komplikasi rinosinusitis ke tulang dalam hal ini terjadi karena sinusitis

frontal yang menyebabkan osteomielitis pada os frontal. Komplikasi ini dapat


berdiri sendiri ataupun disertai komplikasi intrakranial lainnya seperti abses

epidural (Balenger, 2003).

2.1.6 Penatalaksanaan

Pada umumnya penatalaksanaan rinosinusitis kronis meliputi terapi

medikamentosa dan pembedahan. Terapi medikamentosa meliputi pemberian

antibiotik spektrum luas seperti amoksisilin+asam klavulanat, sefalosforin,

flourokuinolon ataupun makrolid untuk mengurangi jumlah bakteri dan mengobati

eksaserbasi akut. Saat ini terapi antibiotik dengan makrolid untuk rinosinusitis

kronis telah banyak digunakan karena selain memiliki efek antimikroba makrolid

juga memiliki efek antiinflamasi atau imunomodulator termasuk menghambat

sitokin proinflamasi seperti IL-8 dan TNF-α (tumor necrosis factor-α) (Ballenger,

2003; Modul Utama THT, 2015; Oakley dkk., 2017 ).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Oliveira dkk., 2016 bahwa

penggunaan azithromycin 500 mg selama 3x/minggu selama 8 minggu dapat

secara signifikan memperbaiki kualitas hidup pasien rinosinusitis kronis dengan

polip. Makrolid merupakan antibiotik yang memiliki konsentrasi tinggi mencapai

intraseluler dan efektif untuk bakteri gram positif serta jamur seperti Chlamydia

dan mycoplasma (Cervin, 2007). Dari penelitian didapatkan bahwa konsentrasi

azithromycin secara signifikan meningkat di mukosa sinus dan cairan sinus

dibandingkan di dalam plasma dan masih dapat terdeteksi di jaringan sinus dalam

waktu kurang lebih 6 hari (Oakley dkk., 2017).

Menurut EPOS 2012, penggunaan antibiotik dengan low-dose dalam

waktu yang lama seperti azithromycin, clarithromicin dan roxithromicin pada


pasien dengan rinosinusitis kronis dinyatakan aman. Pada penelitian yang

dilakukan oleh Videler dkk. (2011) seperti yang tertulis dalam EPOS 2012 bahwa

penggunaan azitrhromycin dengan dosis 500 mg/minggu selama 12 minggu

dinyatakan aman, akan tetapi terdapat beberapa sampel memiliki hasil kultur

resisten terhadap azithromycin. Walaupun dinyatakan aman, penggunaan makrolid

tetap memerlukan perhatian khusus pada interaksi beberapa obat dengan golongan

ini seperti dicumarol, obat antiepilepsi, obat antidepresan, terphendine dan

methotrexate oleh karena obat akan dimetabolisme di hati dengan bantuan sistem

sitokrom P-450 dan hal ini akan memudahkan interaksi diantaranya untuk

mencegah efek samping. Berbeda halnya dengan obat makrolid lainnya,

azitrhomycin tidak memiliki interaksi dengan sitokrom P-450 (Fokkens dkk.,

2012; Oakley dkk., 2017).

Adapun beberapa efek samping makrolid yang dapat terjadi antara lain

gangguan kardiovaskular khususnya aritmia, gangguan gastrointestinal dan

sensorineural hearing loss, akan tetapi sangat jarang adanya pelaporan mengenai

hal ini. Selain itu untuk terapi makrolid jangka panjang dapat dilakukan

monitoring adanya resistensi bakteri dengan pemeriksaan kultur apusan hidung

setiap 3 bulan selama terapi (Fokkens dkk., 2012; Oakley dkk., 2017).

Antiiflamasi dengan pemberian kortikosteroid topikal ataupun sistemik sangat

efektif untuk mengurangi edema pada mukosa hidung dan sinus paranasal

sehingga mengurangi keluhan hidung tersumbat dan juga membantu mengurangi

dengan cepat rasa tertekan pada wajah (Suh dan David, 2011).
Terapi suportif lainnya seperti mukolitik dapat membantu mengencerkan

sekret sehingga membantu fungsi drainase, dekongestan baik topikal atau oral

dapat membantu mengurangi keluhan hidung tersumbat melalui efek simpatis

yang menyebabkan vasokontriksi dimana dekongestan merupakan agonis α-

adrenergic yang menginduksi pelepasan norepinefrin. Penggunaan dekongestan

topical seperti oxymetazoline tidak dapat digunakan lebih dari 3 hari untuk

menghindari terjadinya efek rinitis medikamentosa dan rebound vasodilatation

(Suh dan David, 2011). Selain itu juga dilakukan cuci hidung dengan larutan

garam fisiologis untuk mengurangi sekret yang menumpuk di rongga hidung

(Ballenger, 2003; Modul Utama THT, 2015; Oakley dkk., 2017 ).

Terapi pembedahan pada rinosinusitis kronis meliputi tindakan yang

sederhana sampai dengan teknik menggunakan alat endoskopi. Prinsip

pembedahan dilakukan dengan tujuan membuat drainase sinus yang terkena

infeksi menjadi terbuka dan berfungsi normal kembali dengan seminimal mungkin

merusak mukosa sinus yang normal. Adapun terapi pembedahan pada

rinosinusitis kronis yaitu antrostomi atau irigasi sinus maksilaris, Calwell Luc atau

FESS (functional endoscopic sinus surgery) (Ballenger, 2003; Fokkens dkk.,

2012; Modul Utama THT, 2015).

2.2 Interleukin 8 pada rinosinusitis kronis

Interleukin-8 merupakan sitokin yang termasuk dalam golongan peptida

dengan berat molekul rendah dan mempunyai sifat sangat poten serta kemotaktik

untuk leukosit dan neutrofil sehingga dikenal juga dengan Neutrofil Chemotactic
Factor (NCF). Interleukin-8 ini diproduksi dengan jumlah yang banyak oleh sel

epitelial sebagai respon akibat adanya berbagai macam stimuli seperti bakteri,

virus, jamur termasuk sitokin proinflamasi yaitu interleukin-1 dan TNF-α. Selain

itu interleukin-8 juga meningkatkan adhesi leukosit pada sel endotel vaskular dan

mempercepat rekrutmen leukosit ke tempat inflamasi (Baratawidjaja dan Iris,

2009).

Interleukin-8 teraktifasi dengan afinitas dua reseptor yaitu CXCR1 dan

CXCR2 dimana keduanya terikat pada molekul yang terdiri dari tujuh

transmembran dan berpasangan dengan protein G. Proses desensitisasi dan

internalisasi CXCR2 lebih cepat dan dapat terjadi pada konsentrasi interleukin-8

lebih rendah, sehingga dipercayai subtipe ini lebih dominan untuk peradangan

pada tempat yang jaraknya jauh sedangkan CXCR1 bekerja efisien di tempat yang

mengalami inflamasi (Zeilhofer dkk., 2000).

Inflamasi mukosa pada rinosinusitis kronis dapat menyebabkan terjadinya

remodeling mukosa yang dikarakteristikan dengan gambaran fibrosis, proliferasi

epitel, hiperplasia sel goblet, penebalan lapisan membran basalis, infiltrasi sel-sel

inflamasi. Proses remodeling pada saluran nafas atas, TGF-β (tumor growth

factor-β) memegang peranan yang penting melalui atraksi dan induksi proliferasi

fibroblas dan regulasi sintesis matriks ekstraseluler. Kerusakan matriks

ekstraseluler dipengaruhi oleh Matrix Metalloproteinase (MMP) dan inhibitornya

yaitu Tissue Inhibitor of Metalloproteinase (TIMP). Stimulasi dan sekresi MMP

dipengaruhi oleh IL-8. Pada rinosinusitis kronis tanpa polip terjadi peningkatan

MMP-9 dan inhibitornya, dimana aktivasi MMP yang meningkat menandakan


adanya kerusakan jaringan yang bersifat irreversible pada jaringan yang cedera

oleh karena inflamasi (Tomassen dkk., 2011).

Telah dijelaskan oleh banyak peneliti bahwa IL-8 memiliki aktivitas

kemotaktik untuk neutrofil. Interleukin-8 diketahui banyak terdapat pada sekret

nasal pasien dengan rinosinusitis kronis sehingga dikatakan IL-8 merupakan

faktor kemotaktik neutrofil termasuk dalam hal ini IL-8 yang berasal dari sel

kelenjar nasal dan sel epitel mukosa nasal yang mengaktifkan neutrofil bermigrasi

keluar dari pembuluh darah menuju permukaan lumen dan akhirnya terakumulasi

di dalam cairan sinus. Neutrofil yang keluar dan terakumulasi di dalam cairan

sinus akan menghasilkan IL-8 dan hal ini terjadi pada rinosinusitis kronis

(Elmorsy dkk., 2010).

Gambar 2.3 Migrasi neutrofil dan Interleukin-8 sebagai chemoatractan untuk

neutrofil pada rinosinusitis kronis (Kentjono, 2004)

Rinosinusitis kronis tanpa polip dengan penyebab infeksi bakteri akan

didapatkan peningkatan IL-8. Staphylococcus epidermidis ditemukan pada kultur

sel epitel rinosinusitis kronis dan memicu produksi IL-8 yang akan meningkatkan
kemotaksis neutrofil. Bakteri dan komponen bakteri akan merangsang neutrofil,

sel kelenjar nasal dan sel epitel untuk memproduksi IL-8. Neutrofil yang

terakumulasi dalam cairan sinus tersebut akan memungkinkan pelepasan

superoksida dan protease yang dapat merusak fungsi mukosiliar pada epithelium

paranasal, sehingga hal ini menyebabkan retensi cairan sinus. sebagai hasil

akhirnya keseluruhan proses berjalan dalam waktu yang lama dan inflamasi kronis

akan tetap berlangsung (Kentjono, 2004; Yoon dkk., 2010; Tomasen dkk., 2011).

Selain sebagai chemoatractan untuk neutrofil, interleukin-8 juga

dilaporkan sebagai chemoatractan untuk eosinofil pada pasien dengan alergi dan

rinosinusitis kronis dengan polip. Beberapa studi juga melaporkan bahwa

eosinofil didapatkan dalam jumlah yang banyak pada mukosa pasien dengan

rinosinusitis kronis (Min dan Kang, 2000). Suzuki dkk. (1996) seperti yang

dikutip oleh Rhyoo dkk. (1999) menyatakan bahwa walaupun neutrofil

merupakan sel yang dominan didapatkan pada sekret hidung pasien dengan

rinosinusitis kronis, eosinofil juga banyak ditemukan pada jaringan sinus pasien

dengan rinosinusitis kronis. Kepustakaan yang menjelaskan tentang interleukin-8

sebagai chemoatractan untuk eosinofil sangat terbatas, dimana fungsi tersebut

dapat ditemukan pada pasien dengan alergi (Rhyoo dkk., 1999).

Pada rinosinusitis kronis dengan polip, berbagai hipotesa menyebutkan

bahwa terdapat beberapa mekanisme yang menyebabkan hal tersebut terjadi

diantaranya adalah infeksi kronis, alergi, faktor aerodinamik ataupun gangguan

pada sistem imun. Secara histologi, polip nasi dikarakteristikan dengan kerusakan

lapisan epitel, penipisan membran basalis, pelepasan sel-sel inflamasi seperti


eosinofil, sel mast, makrofag, limfosit dan neutrofil. Mekanisme yang mendasari

aktivasi dan rekrutmen eosinofil terjadi melalui interaksi yang kompleks dari

berbagai sel inflamasi. Peningkatan sintesis berbagai sitokin dan kemokin

diantaranya IL-1, IL-3, IL-5, IL-6, IFNα, IL-8, eotaxin, dan RANTES (Duda,

2015) memiliki peranan penting sebagai mediator dalam hal aktivasi eosinofil.

Seperti yang telah dijelaskan bahwa IL-8 memiliki peranan penting dalam

mekanisme inflamasi yang terjadi pada polip nasi, dimana IL-8 memiliki efek

kemotaktik pada eosinofil dan menariknya ke tempat inflamasi. Berdasarkan

penelitian terbaru, IL-8 tersebut ditemukan meningkat pada jaringan dan juga

dapat ditemukan meningkat pada sekret hidung pasien rinosinusitis kronis karena

alergi. Hal inilah yang menunjukkan bahwa IL-8 memberikan sinyal pada

terjadinya influx selektif untuk eosinofil (Indah dkk., 2014; Duda, 2015).

Pada rinosinusitis kronis karena alergi, paparan alergen akan menyebabkan

terjadinya respon inflamasi yang memicu berbagai rangkaian respon yang berefek

pada pelepasan mediator inflamasi dan mengaktifkan sel inflamasi. Terjadi

pengaktifan pada limfosit T-helper 2 (Th-2) serta pelepasan sejumlah sitokin yang

berefek pada aktivasi sel B, sel mastosit, dan eosinofil. Pematangan dan

pengaktifan eosinofil di jaringan dirangsang oleh IL-3 dan IL-5. Kemudian sama

halnya dengan neutrofil, eosinofil juga akan ditarik menuju permukaan endotel

oleh kerja selektin dan berikatan kuat dengan molekul kuat golongan integrin.

Selanjutnya sel tersebut menyusup diantara sel endotelium dan menembus

dinding kapiler. Pada proses migrasi tersebut, eosinofil dan limfosit dibantu oleh

VCAM-1 dan C-C chemokines. Sama halnya dengan neutrofil, eosinofil juga
melepaskan berbagai macam sitokin dan kemokin yang mengakibatkan reaksi

radang (Kentjono, 2004; Setiadi, 2009). Inflamasi tersebut berhubungan dengan

terjadinya penebalan mukosa sinus, edema mukosa dan obstruksi ostium sinus.

Rangkaian reaksi alergi ini akan membentuk lingkungan yang kondusif untuk

pertumbuhan bakteri. Inflamasi semacam ini disebut inflamasi non infeksius oleh

karena didominasi oleh eosinofil dan sel mononuklear sedangkan neutrofil

jumlahnya relatif lebih sedikit. Rangkaian peristiwa tersebut dapat menyebabkan

terjadinya akumulasi neutrofil dan IL-8 pada rinosinusitis kronis akibat alergi

(Kentjono, 2004).

2.3 Cairan cuci hidung isotonis dan hipertonis pada rinosinusitis kronis

Penggunaan cairan pencuci hidung dengan salin isotonis maupun

hipertonis pada pasien rinosinusitis kronis sebagai terapi tambahan dapat

membantu mempercepat proses perbaikan klinis karena dengan melakukan

tindakan pencucian hidung dapat membantu memperbaiki fungsi mukosiliar

hidung, menurunkan mediator inflamasi, membersihkan sekret dan mengurangi

edema mukosa (Van den Berg dkk., 2014). Sejak ribuan tahun yang lalu cuci

hidung ini telah dipraktekkan sebagai bagian dari Hatha Yoga dimana saat itu para

ahli yoga melakukan pembersihan hidung sebagai bagian dari pembersihan diri

untuk meditasi yang lebih baik. Pada tahun 1931, Proetz pertama kali menjelaskan

metode dan larutan cuci hidung dalam sebuah buku dan ditahun yang sama, ahli

otolaringologi merekomendasikan cuci hidung untuk mengatasi nyeri kepala


hingga saat ini cuci hidung digunakan untuk mengatasi berbagai keluhan

sinonasal (Heatley dkk, 2011).

Bertumpuknya sekret di hidung dan kavum sinus merupakan komponen

utama dari patofisiologi rinosinusitis kronis. Infeksi virus maupun bakteri dapat

menimbulkan gangguan pada waktu transpor mukosiliar akan tetapi kejadian ini

akan menjadi normal kembali setelah 3 minggu, oleh karena kandungan lisosim

yang terdapat pada palut lendir yang memiliki kemampuan melakukan disrupsi

beberapa bakteri. Jika jumlah sekret yang menumpuk dalam rongga hidung dan

kavum sinus terlalu banyak maka akan dapat menjadi faktor risiko untuk

terjadinya rinosinusitis kronis (Marhayati dan Irwan, 2010; Barham dan Richard,

2015). Pencucian hidung dengan larutan salin dapat membersihkan hidung dari

sekret yang bertumpuk, krusta dan komponen iritan sehingga memperbaiki

bersihan mukosiliar. Pada beberapa penelitian yang telah dilakukan bahwa

tindakan pencucian hidung dengan larutan salin ini ditoleransi baik oleh pasien

tanpa adanya efek samping yang menyakitkan dan membantu memperbaiki

kualitas hidup pasien dengan rinosinusitis kronis (Suh dan David, 2011).

Berbagai laporan menunjukkan bahwa irigasi nasal hipertonis lebih baik

dibandingkan dengan larutan isotonis pada kasus akut. Talbot dkk. (1997) dan

Hauptman dan Ryan (2007) seperti yang dikutip oleh Suh dan David (2011)

membandingkan larutan salin hipertonis dengan salin isotonis kemudian

dilakukan pemeriksaan transpor mukosiliar dengan uji sakarin dan didapatkan

hasil bahwa larutan hipertonis secara signifikan lebih efektif dalam meningkatkan
transpor mukosiliar serta memiliki efek yang lebih baik dalam mengurangi

keluhan hidung tersumbat.

Walaupun dalam beberapa penelitian menyatakan bahwa larutan hipertonis

lebih baik dalam memperbaiki transpor mukosiliar akan tetapi menurut

Hendarwati dkk. (2016) pemberian larutan hipertonis sebagai terapi tambahan

pada penderita rinosinusitis kronis sebaiknya mempertimbangkan perbaikan gejala

klinis dan efek sampingnya. Lama pemberian larutan hipertonis masih

kontroversi. Dikatakan masih perlu juga dilakukan penelitian lebih lanjut

mengenai efek samping akibat penggunaan larutan salin hipertonis mengingat

pada beberapa literatur menyebutkan timbul rasa terbakar, kering dan perih

sehingga tidak nyaman di hidung pasien serta berpotensi juga untuk kerusakan

seluler, dimana keluhan yang dirasakan pasien tersebut dapat dikaitkan dengan

tonisitas yang lebih tinggi pada larutan salin hipertonis. (Hendarwati dkk., 2016;

Resmi dkk., 2017).

Gambar 2.4 Persiapan dan cara pencucian hidung dengan Salin isotonis
Efek fisiologis salin hipertonis pada mukosa respiratori sepenuhnya belum

dapat dijelaskan. Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa pada rinosinusitis

kronis terjadi perubahan secara morfologi pada mukosa respiratori dimana terjadi

berkurangnya sel-sel silia, metaplasia dan penekanan sel-sel epitel yang

menandakan adanya suatu siliogenesis (Berjis, 2011). Hiperosmolaritas cairan

diketahui dapat membantu meningkatnya pelepasan Ca2+ dari dalam

sel/interseluler dan peningkatan Ca2+ tersebut diduga dapat menstimulasi frekuensi

gerak silia pada permukaan sel. Selain itu peningkatan Ca2+ juga diduga

dipengaruhi oleh adanya pengaturan dari Adenosin Tri-Phosphat (ATP) oleh

aksonema silia. (Kumar dkk., 2013).

Salin isotonis tidak memberikan efek transport aktif ke dalam sel karena

larutan salin isotonis merupakan larutan yang mempunyai konsentrasi zat terlarut

sama dengan zat pelarut. Larutan garam isotonis memiliki mekanisme kerja

sebagai pembilas zat-zat iritan dan alergen yang berada di dalam rongga hidung

dan dikatakan juga sebagai larutan yang paling fisiologis terhadap morfologi

seluler epitel hidung sehingga aman dan nyaman digunakan oleh pasien. Larutan

salin isotonis memiliki kandungan NaCl 0,9% dengan komposisi natrium 3500

mg/L dan klorida 5500 mg/L dengan pH berkisar antara 4,5-7 (Heatley dkk.,

2011; Hendrawati dkk., 2016). Pada beberapa penelitian mengatakan bahwa

tindakan cuci hidung terbukti meningkatkan frekuensi gerak silia sehingga dapat

memperbaiki transpor mukosiliar hidung dengan meningkatkan pH mukosa

hidung dan menjaga pH tetap di kondisi optimal yaitu pH 7-9. Pada pH yang

terlalu asam dapat merusak mukosa hidung dan menurunkan transpor mukosiliar,
dimana pada orang-orang yang sering terpapar oleh zat-zat iritan atau polusi udara

akan terjadi perubahan pH mukosa hidung menjadi 5,5-6,5 akibat inflamasi dan

sebagai upaya untuk mencegah infeksi (Sofyan dan Dyan, 2017). Cuci hidung

juga dapat membantu menghilangkan mediator inflamasi yang terdapat pada

mukus di hidung (Resmi dkk., 2017).

Gerak silia yang baik akan dapat mendorong mukus dengan gerakan

menyapunya ke arah nasofaring sehingga tidak bertumpuk di kavum nasi dan

inflamasi tidak terjadi (Resmi dkk., 2017). Chodankar seperti yang dikutip oleh

Resmi dkk. (2017) bahwa tindakan cuci hidung yang dilakukan selama 10 hari

dinyatakan aman dan efektif untuk memperbaiki transpor mukosiliar pada pasien

rinosinusitis kronis. Pada penelitian yang dilakukan oleh Resmi dkk. (2017)

dikatakan bahwa waktu cuci hidung yang dilakukan selama 2 minggu dengan

larutan salin isotonis NaCl 0,9% secara signifikan dapat memperbaiki waktu

transpor mukosiliar. Hernandez dkk. (2007) seperti yang dikutip oleh Hendradewi

(2016) bahwa waktu yang ideal untuk melakukan cuci hidung sehingga dapat

memberikan perbaikan terhadap waktu transpor mukosiliar pada pasien

rinosinusitis kronis adalah 4-12 minggu. Beragamnya hasil penelitian yang

dilakukan untuk mengetahui waktu optimal pemberian cuci hidung tersebut maka

masih perlu dilakukan penelitian lanjut mengenai hal ini, sehingga dapat

memberikan perbaikan transpor mukosiliar secara bermakna.


1.5 Kualitas hidup pasien rinosinusitis kronis

Rinosinusitis kronis merupakan salah satu penyakit dengan angka kejadian

yang cukup tinggi serta berdampak pada penurunan produktivitas dan kualitas

hidup penderitanya (Aghdas dkk., 2018). Jika dibandingkan dengan pasien tanpa

rinosinusitis kronis, pasien rinosinusitis kronis memiliki kecenderungan untuk

lebih sering mengunjungi pelayanan kesehatan dan lebih banyak menghabiskan

waktu untuk beristirahat di tempat tidur serta tidak jarang dari mereka yang

mencari pengobatan alternatif bahkan mengunjungi ahli kesehatan jiwa

(Marambaia dkk., 2013). Dihubungkan dengan gangguan kualitas hidup maka hal

tersebut tidak lepas akibat dari gejala-gejala yang dialami oleh pasien rinosinusitis

kronis. Berdasarkan beberapa penelitian dilaporkan bahwa gejala yang paling

banyak menyebabkan gangguan pada pasien rinosinusitis kronis meliputi

sumbatan hidung dan sekresi hidung, nyeri kepala, gangguan tidur, serta

berkurang hingga hilangnya kemampuan menghidu. Walaupun keseluruhan gejala

tersebut bukan merupakan suatu kondisi yang mengancam jiwa akan tetapi pada

akhirnya akan sangat mempengaruhi produktivitas atau aktifitas keseharian

penderitanya (Harowi dkk., 2011; Schalek, 2011; Coriat dkk., 2013).

Gejala gangguan tidur dan gangguan penghidu merupakan beberapa gejala

yang timbul akibat rinosinusitis kronis. Pada beberapa penelitian dikatakan bahwa

hidung tersumbat sebagai penyebab utama dari gangguan tidur pada pasien dan

hubungan antara gangguan tidur serta kelelahan dapat dengan jelas terlihat karena

kurangnya kualitas tidur yang baik pasti akan menyebabkan penderita mengalami

lemas atau keletihan (Schalek, 2011). Gangguan penghidu akibat rinosinusitis


kronis juga dapat mempengaruhi kualitas hidup penderitanya. Gangguan penghidu

ini berhubungan dengan faktor gangguan konduksi aliran udara yang disebabkan

karena mukosa nasal kongesti atau hipertrofi sehingga menghalangi bau untuk

mencapai olfactory cleft dan juga adanya gangguan sensorineural akibat

kerusakan epitel olfaktori (Caroline, 2011; Coriat, 2013).

Dalam beberapa dekade terakhir, kualitas hidup dapat menunjukkan

perkembangan penilaian status kesehatan pasien dan peningkatan hasil terapi yang

secara signifikan dirasakan oleh para tenaga medis dan peneliti (Coriat dkk.,

2013). Penilaian mengenai kualitas hidup pasien rinosinusitis kronis ini sangat

penting dilakukan untuk menilai tingkat keparahan penyakit, mengevaluasi

perbaikan klinis dan kualitas pengobatan pasien (Marambaia dkk., 2013). Alat

ukur tervalidasi yang digunakan untuk menilai kualitas hidup telah banyak

dikembangkan antara lain Rhinosinusitis Outcome Measure (RSOM-31), nasal

symptom questionnare, Sino-Nasal Outcome Test-16 (SNOT-16), Sino-Nasal

Outcome Test-20 (SNOT-20), Chronic Sinusitis Survey (CSS), Rhinosinusitis

Disability Index (RSDI), Rhinosinusitis Symptom Inventory (RSI), Rhinosinusitis

Quality of Life Survey (RhinoQoL) dan Sino-Nasal Outcome Test-22 (SNOT-22)

(Harowi dkk., 2011; Schalek, 2011).

Pada tahun 1995, Piccirillo dkk. mengembangkan dan memvalidasi

kuesioner untuk menilai kualitas hidup pasien rinosinusitis yaitu Rhinosinusitis

Outcome Measure (RSOM-31) yang dimodifikasi menjadi Sino-Nasal Outcome

Test-20 (SNOT-20). SNOT-20 mengandung penyataan yang berkaitan dengan 20

gejala pada pasien dengan rinosinusitis yang dikelompokkan menjadi lima


kelompok yaitu gejala hidung, gejala paranasal, gejala yang berhubungan dengan

tidur, keterbatasan sosial dan emosional (Baumann, 2010).

SNOT-22 merupakan modifikasi dari SNOT-20 dan sebagai salah satu

instrumen yang digunakan untuk menilai kualitas hidup penderita rinosinusitis

yang terkait dengan fungsi sinonasal (Poirrier, 2012). Pada SNOT-22 terdapat

penambahan dua pernyataan yaitu hidung tersumbat dan berkurangnya

kemampuan menghidu sehingga terdapat 22 pernyataan yang terbagi menjadi 4

kategori utama yaitu gejala yang berhubungan dengan hidung, telinga dan wajah,

kualitas tidur dan perubahan psikologis (Poirrier, 2012; Kennedy dkk., 2013;

Juanda dkk., 2017). Skor SNOT-22 dihitung sebagai nilai total dari keseluruhan

pertanyaan dengan nilai berkisar antara 0-110 dimana masing-masing pernyataan

dengan skor 0-5. Semakin tinggi skor yang ditunjukkan maka akan menunjukkan

kualitas hidup pasien yang semakin rendah dan sebaliknya, dengan demikian

SNOT-22 juga telah terbukti dapat digunakan sebagai alat ukur yang paling sesuai

untuk menilai kualitas hidup pasien rinosinusitis (Poirrier, 2012; Kennedy dkk,

2013).

Anda mungkin juga menyukai