NIM : 6130018016
Hidung merupakan salah satu organ penting yang berfungsi dalam proses
respirasi. Hidung dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu hidung luar dan hidung
dalam. Hidung berbentuk piramid dan dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang
rawan. Hidung terletak menonjol pada garis tengah di antara pipi dengan bibir
atas. Bagian puncak hidung disebut juga dengan apeks nasi. Ujung atasnya yang
sempit bertemu dengan dahi di glabela dan disebut dengan radiks nasi. Kedua
lubang hidung disebut nares dan dipisahkan oleh sekat tulang rawan kulit yang
disebut kolumela. Titik pertemuan antara kolumela dengan bibir atas dikenal
sebagai dasar hidung. Bagian bibir atas membentuk cekungan dangkal memanjang
dari atas ke bawah yang disebut filtrum. Permukaan lateral berakhir membulat di
Rangka hidung bagian luar dibentuk dari dua os nasal, prosesus frontal os
maksila, sepasang kartilago lateralis inferior atau kartilago alar mayor, kartilago
lateralis superior dan tepi anterior kartilago septum nasi. Pada tulang tengkorak,
bentuk hidung yang menyerupai buah pir dibentuk oleh apertura piriformis, di
garis tengahnya ada penonjolan yang disebut spina nasalis anterior. Tepi superior
dan lateral apertura piriformis dibentuk oleh os nasal dan prosesus frontal os
7
8
(Ballenger, 2003).
Hidung bagian dalam terdiri dari septum nasi membagi kavum nasi
menjadi dua bagian. Septum dibentuk oleh penampang sagital yang terdiri dari
bagian tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh mukosa respiratori. Mukosa
palatina serta bagian posteriornya dibentuk oleh krista sphenoid. Dasar hidung
Atap hidung dibentuk oleh kartilago lateralis inferior, os nasal, prosesus nasalis os
frontal, korpus os etmoid dan korpus os sphenoid. Sebagian besar atap rongga
lakrimalis, konka superior dan media, konka inferior dan medial pterigoideus. Di
antara konka-konka tersebut terdapat celah sempit yang disebut meatus yaitu
meatus inferior, media dan superior dimana merupakan tempat bermuaranya sinus
Sumber perdarahan untuk hidung secara garis besar berasal dari a.etmiod
anterior dan posterior yang merupakan percabangan dari a.oftalmika dari a.karotis
a b
merupakan percabangan dari n.trigeminus. Saraf sensoris bagian depan dan atas
rongga hidung berasal dari n.etmoidalis anterior cabang dari n.nasosiliaris yang
berasal dari n.oftalmikus. Dinding lateral kavum nasi mendapat serabut saraf dari
cabang nasalis n.palatina, n.etmoidalis dan sebuah cabang nasal yang kecil berasal
dari n.alveolaris superior. Septum nasi dipersarafi oleh n.etmoidalis cabang dari
Hidung memiliki tiga fungsi utama yaitu sebagai organ yang berperan
tersebut dibantu oleh struktur anatomi yang rumit di dalam rongga hidung yang
membentuk suatu permukaan yang luas. Lipatan mukosa, silia, dan kelembaban di
dalam rongga hidung akan terlibat dalam proses pernapasan untuk menyaring
kotoran yang masuk bersama udara pernapasan dan akan meningkatkan
hidung dan sinus paranasalis berperan dalam proses pengaturan suhu dan
ke saluran napas bagian bawah. Suhu udara yang melalui hidung diatur berkisar
konka media dan di bagian inferior di sebelah bawah lamina kribiformis. Daerah
ini disebut juga sebagai olfactory cleft. Partikel bau dapat mencapai daerah ini
dapat melalui hidung atau dari retronasal. Stimulasi pada hidung tercetus sebagai
pada sensasi rasa selama mengunyah makanan. Sehingga fungsi hidung adalah
juga untuk membantu indera pengecap membedakan rasa (Leung dkk., 2014).
propria, submukosa dan periostium. Pada sel epithelial hidung terdapat silia, sel
kolumnar dengan berbagai ukuran sel goblet. Sebuah lapisan tipis tidak
mengandung sel terdiri dari membrana basalis dipisahkan oleh lapisan epithelial
dari lamina propria yang tebal. Di bawah epithelium terdapat limfosit, sel plasma,
dan makrofag. Partikel debu, virus, bakteri dan jamur yang terhirup bersama udara
akan disaring di hidung oleh rambut yang terdapat di vestibulum nasi, silia, palut
lendir. Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir dan partikel yang besar
dengan rongga hidung. Sinus paranasalis dibagi menjadi dua kelompok yaitu
anterior dan posterior. Sinus maksila, sinus frontal dan sinus etmoid anterior
merupakan kelompok anterior dan ostium dari sinus-sinus ini terletak di dalam
meatus media. Sedangkan sinus etmoid posterior dan sinus sphenoid merupakan
lantai sinus adalah prosesus alveolaris dan dinding superior sebagai lantai orbita.
etmoid ke dalam maksila hingga membuat suatu massa. Ukuran standar volume
sinus maksila pada orang dewasa adalah sekitar 15 mL dan secara kasar
sempurna. Sinus ini merupakan struktur dibagian tengah hidung dengan anatomi
yang kompleks. Sinus etmoid terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon,
yang terdapat di dalam massa bagian lateral tulang etmoid, yang terletak di antara
konka media dan dinding medial orbita. Berdasarkan letaknya, sinus etmoid
dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus medius dan sinus
etmoid posterior yang bermuara di meatus superior (Ballenger, 2003; Leung dkk.,
2014).
Bagian depan sinus etmoid anterior terdapat bagian yang sempit disebut
infundibulum. Terdapat pula bula etmoid yang merupakan sel etmoid terbesar.
Atap sinus etmoid disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina kribrosa.
Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan membatasi
tulang sfeniod terjadi selama usia anak-anak dan prosesnya berlangsung cepat
setelah usia 7 tahun dan berhenti terbentuk pada usia 12 hingga 15 tahun. Sinus
sfenoid memiliki banyak hubungan penting dalam hal neurovaskular. Saat sinus
berkembang, pembuluh darah dan nervus di bagian lateral tulang sphenoid akan
menjadi sangat berdekatan dengan rongga sinus dan tampak sebagai indentasi
pada dinding sinus sfenoid. Sebelah superior terdapat fosa serebri media dan
kelenjar hipofisa. Bagian inferior adalah atap nasofaring. Bagian lateral
Sinus frontal jarang terbentuk sebelum tahun ke dua kehidupan. Pada saat
ini, sinus frontal sangat lambat menginvasi os frontal dan sinus ini memiliki
bentuk serta ukuran yang bervariasi. Dinding anterior sinus frontal terdiri dua
buah tulang dan dinding posteriornya terdiri dari sebuah lempeng tulang yang
kontaminasi sinus dari infeksi akibat paparan dengan lingkungan luar melalui tiga
meatus media dan kelompok sinus bagian anterior. Jika terjadi deformitas anatomi
atau proses penyakit, hal tersebut akan menyebabkan terjadinya obstruksi ostium sinus,
Patofisiologi:
Rinosinusitis merupakan suatu proses peradangan yang mempengaruhi
mukosa hidung dan sinus yang sering dikaitkan dengan gangguan mukosiliar,
infeksi (bakteri), alergi, atau yang jarang seperti obstruksi hidung atau variasi
anatomi.
Rinosinusitis Akut non-virus (ARS) didefinisikan sebagai:
• Peningkatan gejala setelah 5 hari atau
• Gejala-gejala yang menetap/persisten setelah 10 hari dari onset mendadak
dari 2 atau lebih gejala:
- Sumbatan/ kongesti hidung
- Sekret yang jatuh baik di Anterior atau Posterior Nasal
- Nyeri wajah pada saat ditekan
- Dan/atau adanya penurunan/kehilangan kemampuan menghidu.
Pemeriksaan
a. Rinoskopi anterior
Pemeriksaan Rinoskopi anterior dapat melewatkan polip nasal yang kecil
namun perlu dilakukan untuk semua pasien dengan penyakit hidung kronik.
Jika terdapat keraguan diagnostik pasien dapat dirujuk untuk pemeriksaan
endoskopi hidung.
b. Radiologi
Pemeriksaan radiologi tidak direkomendasikan untuk pemeriksaan rutin
penegakan diagnosis dan penatalaksanaan rhinosinusitis dikarenakan foto
polos sinus dapat memberikan hasil positif palsu dan positif negatif.
Pemeriksaan CT scan, modalitas radiologi sebaiknya dilakukan bila tanda
dan gejala bersifat unilateral atau memberikan tanda kondisi yang lebih
serius.
Penatalaksanaan
a. Antiinflamasi steroid intranasal (topikal) terutama yang Rinosinusitis Akut
b. Boleh atau tidak dikombinasi dengan antibiotik sistemik.
c. Boleh atau tidak dikombinasi dengan antiinflamasi steroid sistemik.
d. Terapi tambahan seperti Dekongestan untuk obstruksi nasi, Antihistamin
untuk rinosinusitis alergi,
2. Rinitis Alergi
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada
pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitasi dengan allergen yang sama serta
dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan
allergen spesifik tersebut. Definisi menurut WHO ARIA adalah kelainan pada
hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah
mukosa hidung terpapar allergen yang diperantarai oleh Ig E.
Diagnosis
Diagnosis Rnitis alergi ditegakkan berdasarkan:
a. Anamnesis
b. Pemeriksaan Fisik
c. Pemeriksaan Penunjang
Penatalaksanaan
a. Menghindari kontak dengan allergen penyebabnya (Avoidance) dan
eliminasi
b. Medikamentosa dengan menggunakan antihistamin baik oral maupun
antihistamin topikal (intra nasal). Juga dapat digunakan decongestan untuk
obstruksi nasi, Anti inflamasi steroid intranasal dan preparat antikolinergik
topikal untuk mengatasi Rinore.
c. Operatif dengan melakukan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka
inferior), konkoplasty.
d. Imunoterapi
Komplikasi
a. Polip hidung
b. Otitis media efusi yang sering residif, terutama pada anak-anak
c. Sinusitis paranasal
3. Sinusitis Paranasalis
Sinusitis didefinisikan sebagai proses inflamasi mukosa sinus paranasal.
Umumnya disertai atau dipicu oleh rhinitis sehingga sering disebut rinosinusitis.
Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis sedangkan bila mengenai
semua sinus paranasal disebut pansinusitis.
Etiologi
Berbagai faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA alibat virus, bermacam
rhinitis terutama riitis alergi, rhinitis hormonal pada wanita hamil, polip hidung,
kelainan anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi konka, sumbatan
kompleks ostio-meatal (KOM), infeksi tonsil, infeksi gigi (sinusitis dentogen),
kelainan imunologik, diskinesia silia seperti pada sindroma Kartagener dan di
luar negeri adalah penyakit fibrosis kistik. Hipertrofi adenoid pada anak.
Patofisiologi
Adanya Gangguan pada patensi ostium-ostium sinus dan lancarnya klirens
mukosiliar di dalam KOM. Bila terjadi sumbatan pada ostium-ostium sinus maka
akan terjadi tekanan negative di dalam rongga sinus yang menyebabkan
transudasi, mula-mula serous namun bila keadaan ini menetap, sekret yang
berkumpul dalam sinus merupakan media baik untuk pertumbuhan dan
multiplikasi bakteri. Sekret menjadi purulen dan perlu terapi antibiotic. Jika terapi
tidak berhasil inflmasi berlanjut terjadi hipoksia dan bakteri anaerob berkembang.
Mukosa makin membengkak dan ini merupakan rantai siklus yang terus berputar
sampai akhirnya perubahan mukosa menjadi kronik yaitu hipertrofi, polipoid atau
pembentukan polip dan kista. Pada keadaan ini mungkin diperlukan tindakan
operasi.
Klasifikasi dan Mikrobiologi
Menurut Konsensus tahun 2004 Sinusitis berdasarkan perlangsungan dibagi
menjadi akut (< 4 minggu), Sub akut (> 4 minggu - < 3 bulan) dan kronik (>3
bulan)
Menurut berbagai penelitian, bakteri utama yang ditemukan pada sinusitis akut
adalah Streptococcus pneumonia (30-50%), Hemophylus influenza (20-40%) dan
Moraxella catarrhalis (4%). Pada anak, M. catarrhalis lebih banyak ditemukan.
Gejala Sinusitis
Keluhan Utama yang akut adalah Hidung tersumbat disertai nyeri atau rasa
tekanan pada wajah dan ingus purulen yang sering kali turun ke tenggorok (post
nasal drip), dapat disertai gejala sistemik seperti demam dan lesu. Keluhan nyeri
pipi menandakan sinusitis maxilla, nyeri di antara atau di belakang kedua bola
mata menandakan sinusitis ethmoid, nyeri di dahi atau seluruh kepala
menandakan sinusitis frontal. Pada sinusitis sphenoid nyeri dirasakan di vertex,
oksipital, belakang bola mata dan daerah mastoid.
Gejala lain adalah sakit kepala, hiposmia/anosmia, halitosis, post nasal drip yang
menyebabkan batuk dan sesak pada anak. Keluhan sinusitis kronik tidak khas
sehingga sulit didagnosis. Kadang-kadang hanya 1 atau 2 dari gejala-gejala di
bawah ini yaitu sakit kepala kronik, post nasal drip, batuk kronik, gangguan
tenggorok, gangguan telinga akibat sumbatan kronik muara tuba eustachius,
gangguan ke paru seperti bronchitis, bronkiektasis dan yang penting adalah
serangan asma yang meningkat dan sulit diobati. Pada anak, mukopus yang
tertelan dapat menyebabkan gastroenteritis.
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang. Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior dan posterior,
pemeriksaan dengan nasoendoskopi sangat dianjurkan untuk diagnosis yang lebih
tepat dan dini. Tanda khas adalah adanya pus di meatus medius (pada sinusitis
maxilla, ethmoid anterior dan frontal) atau di meatus superior (pada sinusitis
ethmoid posterior dan sphenoid). Pada rinosinusitis akut, mukosa edema dan
hiperemis. Pada anak sering ada pembengkakan dan kemerahan di daerah kantus
medius.
Pemeriksaan penunjang yag penting adalah Foto polos atau CT Scan. Foto polos
posisi waters, PA dan lateral, umumnya hanya mampu menilai kondisi sinus-
sinus besar seperti sinus maksilla dan frontal. Kelainan akan terlihat
perselubungan, batas udara-cairan (air fluid level) atau penebalan mukosa.
CT Scan sinus merupakan gold standard diagnosis sinusitis karena mampu
menilai anatomi hidung dan sinus, adanya penyakit dalam hidung dan sinus
secara keseluruhan dan perluasannya.
Pemeriksaan Mikrobiologik dan tes resistensi dilakukan dengan mengambil
sekret dari meatus medius/superior, untuk mendapat antibiotik yang tepat guna.
Penatalaksanaan
Tujuan terapi sinusitis ialah:
a. Mempercepat penyembuhan
b. Mencegah komplikasi
c. Mencegah perubahan menjadi kronik.
Prinsip pengobatan ialah membuka sumbatan di KOM sehingga drenase dan
ventilasi sinus-sinus pulih secara alami.
Antibiotik dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada sinusitis akut
bacterial. Antibiotic diberikan selama 10-14 hari meskipun gejala klinik sudah
hilang.
Selain dekongestan oral dan topikal, terapi lain dapat diberikan jika diperlukan
seperti analgetik, mukolitik, steroid oral/topikal, nasal doughing dengan NaCl,
anti histamine tidak rutin diberikan, imunoterapi dapat dipertimbangkan jika
pasien menderita kelainan alergi yang berat. Bila sinusitis kronik yang tidak
mengalami perbaikan dengan terapi adekuat makan dapat dilakukan tindakan
Operasi (Bedah Sinus Endoskopi Fungsional).
Komplikasi
Komplikasi yang biasa terjadi adalah:
a. Komplikasi Orbita edema palpebra, selulitis orbita, abses subperiosteal,
abses orbita dan selanjutnya dapat terjadi thrombosis sinus kavernosus.
b. Komplikasi Intrakranial Meningitis, abses ekstradural atau subdural, abses
otak dan thrombosis sinus kavernosus.
21
2.1.1 Definisi
Menurut Johnson dan Ferguson (1998) seperti yang dikutip oleh Selvianti
(2008) bahwa inflamasi yang terjadi pada kavum nasi biasanya berhubungan
dengan inflamasi pada sinus paranasalis. Hal ini disebabkan karena mukosa
kavum nasi dan sinus paranasalis saling berhubungan sebagai satu kesatuan dan
diterima sebagai istilah bagi suatu proses inflamasi yang melibatkan mukosa
and Nasal Polyps (EPOS) tahun 2012 rinosinusitis kronis adalah inflamasi hidung
dan sinus paranasal yang ditandai dengan adanya dua atau lebih gejala dengan
salah satu gejala harus mencakup hidung tersumbat, obstruksi, kongesti atau
daerah sinus, ± penurunan atau hilangnya daya penghidu. Dan salah satu temuan
endoskopi: polip dan atau sekret mukopurulent terutama berasal dari meatus
medius dan atau edema/ obstruksi mukosa terutama pada meatus medius dan atau
2.1.2 Etiologi
(Selvianti, 2008).
Asma merupakan salah satu kondisi yang ditandai dengan adanya riwayat
atopi dan hiperaktivitas pada saluran napas. Hal tersebut dapat menjadi faktor
yang berperan untuk terjadinya rinosinusitis kronis serta pada 88% kasus,
(Selvianti, 2008; Fokkens dkk., 2012). Pada beberapa penyakit bawaan lainnya
seperti diskinesia silia primer ataupun sindroma kartagener juga dapat menjadi
dimana silia merupakan struktur yang sangat penting yang terdapat di dalam
kavum nasi dan sinus paranasal untuk sistem proteksi pada traktus respiratorius
yang melindunginya dari paparan debu dan udara lingkungan luar (Selvianti,
Rinosinusitis kronis juga dikaitkan dengan alergi. Hal ini diduga pada
alergi terjadi inflamasi di mukosa hidung yang akan menyebabkan udem mukosa
infeksi baik oleh virus, bakteri ataupun jamur akan dapat menghambat siklus
metachronous silia dan sistem transport mukosilia yang efesien (Ballenger, 2003).
Pada rinosinusitis kronis kuman yang paling sering menginfeksi adalah anaerob
dimana hal tersebut diakibatkan oleh stasisnya mukus, obstruksi ostium sinus dan
hipoksia di dalam kavum sinus (Selvianti, 2008). Pada penelitian yang dilakukan
oleh Ponikau dkk. (1999) seperti yang dikutip oleh Selvianti (2008) mendapatkan
sekitar 96% kultur jamur positif pada 210 pasien rinosinusitis kronis dan pada
Variasi anatomi yang terdapat pada hidung baik itu berupa deviasi septum
nasi, konka bulosa dapat menjadi faktor predisposisi rinosinusitis kronis karena
2.1.3 Patofisiologi
sebagian besar disebabkan karena adanya inflamasi akibat infeksi virus ataupun
berbeda. Selain itu infeksi virus juga dapat menimbulkan gangguan epitel,
peningkatan jumlah sel goblet dan penurunan silia. Edema mukosa dan semua
perubahan yang terjadi akan berdampak pada obstruksi ostium sinus sehingga
epitel saluran napas atas memproduksi berbagai sitokin diantaranya adalah IL-1,
colony stimulating factor), ICAM-1 (Intracellular adhesion molecule 1), IL-8, dan
lain-lain (Selvianti, 2008; Kentjono, 2004). Pada awal reaksi inflamasi dan untuk
inflamasi, adhesi antara leukosit dan sel endotel sangat meningkat. Makrofag yang
menemukan mikroba akan melepaskan sitokin seperti TNF-α dan IL-1 di tempat
infeksi. Sitokin tersebut akan mengaktifkan sel endotel sekitar venul untuk
juga meningkatkan ICAM-1. Selain itu, ICAM-1 juga terdapat di sel endotel
vaskuler dan terlibat dalam perpindahan eosinofil dari pembuluh darah ke jaringan
dimana hal ini terjadi pada rinosinusitis kronis dengan polip (Duda, 2015). Sel
endotel yang dirangsang juga melepaskan peptida (IL-8) yang bersifat kemotaktik
untuk neutrofil dan leukosit serta IL-8 ini mengaktifkan neutrofil di tempat infeksi
Iritasi mukosa merupakan hal yang terjadi pada fase inisial dimana sel
cairan sinus akan menginisiasi eksudasi neutrofil dan menyebabkan neutrofil pada
cairan sinus untuk memproduksi IL-8. Interleukin- 8 yang baru terbentuk akan
merangsang migrasi neutrofil keluar dari mukosa menuju cairan sinus. Protease
dan superoxidase yang dikeluarkan neutrofil akan memicu perusakan fungsi
mukosiliar yang diikuti dengan retensi cairan sinus sehingga secara keseluruhan
pada penurunan frekuensi gerak silia dan lendir yang dihasilkan menjadi lebih
kental sehingga menjadi media yang baik untuk tumbuhnya kuman patogen. Pada
kadar pH mukosa hidung menjadi 5,5-6,5 dan hal ini menyebabkan penurunan
fungsi transpor mukosiliar. Frekuensi gerak silia hanya dapat bekerja dengan
optimal pada pH normal yaitu 7-9 (Kentjono, 2004; Sofyan dan Dyan, 2017).
Pada kondisi ini jika pasien berespon terhadap terapi yang diberikan maka
ventilasi dan drainase sinus akan dapat kembali normal. Jika kondisi tersebut tidak
akan terjadi akumulasi sekret di dalam kavum sinus yang merupakan media yang
sangat baik untuk kolonisasi bakteri dan proses infeksi serta inflamasi akan terus
EPOS 2012 yaitu obstruksi nasi atau kongesti, sekret dapat ke arah anterior
ataupun posterior yang disebut dengan post nasal drip, nyeri tekan pada daerah
wajah, sakit kepala, berkurangnya penciuman. Selain itu juga ada gejala lainnya
seperti iritasi pada faring ataupun laring yang sebabkan nyeri tenggorok, suara
serak ataupun batuk dan dapat pula disertai gejala berupa demam dan lemas
rinoskopi anterior dengan menggunakan cahaya lampu kepala yang terang dan
inferior, deviasi septum, hiperemi pada konka dan sekret. Selain itu diperiksa juga
sekret yang terdapat pada tenggorok (post nasal drip) (Fokkens dkk., 2012).
untuk melihat struktur yang terdapat di rongga hidung dengan lebih baik
rongga hidung lebih jelas hingga ke nasofaring. Selain itu dapat dilakukan
yang diberikan tidak memberikan respon (Selvianti, 2008; Fokkens dkk., 2012).
sitologi, biopsi, bakteriologi, tes alergi, tes fungsi mukosiliar, penilaian aliran
immunosorbent assay) untuk memeriksa sitokin dalam hal ini IL-8 yang terdapat
dalan cairan sinus pasien dengan rinosinusitis kronis (Fokkens dkk., 2012).
2.1.5 Komplikasi
untuk diagnostik dan antibiotika, hal tersebut dapat diatasi. Menurut Chandler
orbita, abses subperiosteal, abses orbita dan thrombosis sinus kavernosus. Infeksi
pada sinus etmoid dapat secara langsung merusak lamina papirasea dan
infeksi dari sinus frontal walaupun juga dapat terjadi karena infeksi sinus lainnya.
sinus yang berhubungan secara langsung dengan vena pada dura. Pott puffy tumor
merupakan komplikasi rinosinusitis ke tulang dalam hal ini terjadi karena sinusitis
2.1.6 Penatalaksanaan
eksaserbasi akut. Saat ini terapi antibiotik dengan makrolid untuk rinosinusitis
kronis telah banyak digunakan karena selain memiliki efek antimikroba makrolid
sitokin proinflamasi seperti IL-8 dan TNF-α (tumor necrosis factor-α) (Ballenger,
intraseluler dan efektif untuk bakteri gram positif serta jamur seperti Chlamydia
dibandingkan di dalam plasma dan masih dapat terdeteksi di jaringan sinus dalam
dilakukan oleh Videler dkk. (2011) seperti yang tertulis dalam EPOS 2012 bahwa
dinyatakan aman, akan tetapi terdapat beberapa sampel memiliki hasil kultur
tetap memerlukan perhatian khusus pada interaksi beberapa obat dengan golongan
methotrexate oleh karena obat akan dimetabolisme di hati dengan bantuan sistem
sitokrom P-450 dan hal ini akan memudahkan interaksi diantaranya untuk
Adapun beberapa efek samping makrolid yang dapat terjadi antara lain
sensorineural hearing loss, akan tetapi sangat jarang adanya pelaporan mengenai
hal ini. Selain itu untuk terapi makrolid jangka panjang dapat dilakukan
setiap 3 bulan selama terapi (Fokkens dkk., 2012; Oakley dkk., 2017).
efektif untuk mengurangi edema pada mukosa hidung dan sinus paranasal
dengan cepat rasa tertekan pada wajah (Suh dan David, 2011).
Terapi suportif lainnya seperti mukolitik dapat membantu mengencerkan
sekret sehingga membantu fungsi drainase, dekongestan baik topikal atau oral
topical seperti oxymetazoline tidak dapat digunakan lebih dari 3 hari untuk
(Suh dan David, 2011). Selain itu juga dilakukan cuci hidung dengan larutan
infeksi menjadi terbuka dan berfungsi normal kembali dengan seminimal mungkin
rinosinusitis kronis yaitu antrostomi atau irigasi sinus maksilaris, Calwell Luc atau
dengan berat molekul rendah dan mempunyai sifat sangat poten serta kemotaktik
untuk leukosit dan neutrofil sehingga dikenal juga dengan Neutrofil Chemotactic
Factor (NCF). Interleukin-8 ini diproduksi dengan jumlah yang banyak oleh sel
epitelial sebagai respon akibat adanya berbagai macam stimuli seperti bakteri,
virus, jamur termasuk sitokin proinflamasi yaitu interleukin-1 dan TNF-α. Selain
itu interleukin-8 juga meningkatkan adhesi leukosit pada sel endotel vaskular dan
2009).
CXCR2 dimana keduanya terikat pada molekul yang terdiri dari tujuh
internalisasi CXCR2 lebih cepat dan dapat terjadi pada konsentrasi interleukin-8
lebih rendah, sehingga dipercayai subtipe ini lebih dominan untuk peradangan
pada tempat yang jaraknya jauh sedangkan CXCR1 bekerja efisien di tempat yang
epitel, hiperplasia sel goblet, penebalan lapisan membran basalis, infiltrasi sel-sel
inflamasi. Proses remodeling pada saluran nafas atas, TGF-β (tumor growth
factor-β) memegang peranan yang penting melalui atraksi dan induksi proliferasi
dipengaruhi oleh IL-8. Pada rinosinusitis kronis tanpa polip terjadi peningkatan
faktor kemotaktik neutrofil termasuk dalam hal ini IL-8 yang berasal dari sel
kelenjar nasal dan sel epitel mukosa nasal yang mengaktifkan neutrofil bermigrasi
keluar dari pembuluh darah menuju permukaan lumen dan akhirnya terakumulasi
di dalam cairan sinus. Neutrofil yang keluar dan terakumulasi di dalam cairan
sinus akan menghasilkan IL-8 dan hal ini terjadi pada rinosinusitis kronis
sel epitel rinosinusitis kronis dan memicu produksi IL-8 yang akan meningkatkan
kemotaksis neutrofil. Bakteri dan komponen bakteri akan merangsang neutrofil,
sel kelenjar nasal dan sel epitel untuk memproduksi IL-8. Neutrofil yang
superoksida dan protease yang dapat merusak fungsi mukosiliar pada epithelium
paranasal, sehingga hal ini menyebabkan retensi cairan sinus. sebagai hasil
akhirnya keseluruhan proses berjalan dalam waktu yang lama dan inflamasi kronis
akan tetap berlangsung (Kentjono, 2004; Yoon dkk., 2010; Tomasen dkk., 2011).
dilaporkan sebagai chemoatractan untuk eosinofil pada pasien dengan alergi dan
eosinofil didapatkan dalam jumlah yang banyak pada mukosa pasien dengan
rinosinusitis kronis (Min dan Kang, 2000). Suzuki dkk. (1996) seperti yang
merupakan sel yang dominan didapatkan pada sekret hidung pasien dengan
rinosinusitis kronis, eosinofil juga banyak ditemukan pada jaringan sinus pasien
pada sistem imun. Secara histologi, polip nasi dikarakteristikan dengan kerusakan
aktivasi dan rekrutmen eosinofil terjadi melalui interaksi yang kompleks dari
diantaranya IL-1, IL-3, IL-5, IL-6, IFNα, IL-8, eotaxin, dan RANTES (Duda,
2015) memiliki peranan penting sebagai mediator dalam hal aktivasi eosinofil.
Seperti yang telah dijelaskan bahwa IL-8 memiliki peranan penting dalam
mekanisme inflamasi yang terjadi pada polip nasi, dimana IL-8 memiliki efek
penelitian terbaru, IL-8 tersebut ditemukan meningkat pada jaringan dan juga
dapat ditemukan meningkat pada sekret hidung pasien rinosinusitis kronis karena
alergi. Hal inilah yang menunjukkan bahwa IL-8 memberikan sinyal pada
terjadinya influx selektif untuk eosinofil (Indah dkk., 2014; Duda, 2015).
terjadinya respon inflamasi yang memicu berbagai rangkaian respon yang berefek
pengaktifan pada limfosit T-helper 2 (Th-2) serta pelepasan sejumlah sitokin yang
berefek pada aktivasi sel B, sel mastosit, dan eosinofil. Pematangan dan
pengaktifan eosinofil di jaringan dirangsang oleh IL-3 dan IL-5. Kemudian sama
halnya dengan neutrofil, eosinofil juga akan ditarik menuju permukaan endotel
oleh kerja selektin dan berikatan kuat dengan molekul kuat golongan integrin.
dinding kapiler. Pada proses migrasi tersebut, eosinofil dan limfosit dibantu oleh
VCAM-1 dan C-C chemokines. Sama halnya dengan neutrofil, eosinofil juga
melepaskan berbagai macam sitokin dan kemokin yang mengakibatkan reaksi
terjadinya penebalan mukosa sinus, edema mukosa dan obstruksi ostium sinus.
Rangkaian reaksi alergi ini akan membentuk lingkungan yang kondusif untuk
pertumbuhan bakteri. Inflamasi semacam ini disebut inflamasi non infeksius oleh
terjadinya akumulasi neutrofil dan IL-8 pada rinosinusitis kronis akibat alergi
(Kentjono, 2004).
2.3 Cairan cuci hidung isotonis dan hipertonis pada rinosinusitis kronis
edema mukosa (Van den Berg dkk., 2014). Sejak ribuan tahun yang lalu cuci
hidung ini telah dipraktekkan sebagai bagian dari Hatha Yoga dimana saat itu para
ahli yoga melakukan pembersihan hidung sebagai bagian dari pembersihan diri
untuk meditasi yang lebih baik. Pada tahun 1931, Proetz pertama kali menjelaskan
metode dan larutan cuci hidung dalam sebuah buku dan ditahun yang sama, ahli
utama dari patofisiologi rinosinusitis kronis. Infeksi virus maupun bakteri dapat
menimbulkan gangguan pada waktu transpor mukosiliar akan tetapi kejadian ini
akan menjadi normal kembali setelah 3 minggu, oleh karena kandungan lisosim
yang terdapat pada palut lendir yang memiliki kemampuan melakukan disrupsi
beberapa bakteri. Jika jumlah sekret yang menumpuk dalam rongga hidung dan
kavum sinus terlalu banyak maka akan dapat menjadi faktor risiko untuk
terjadinya rinosinusitis kronis (Marhayati dan Irwan, 2010; Barham dan Richard,
2015). Pencucian hidung dengan larutan salin dapat membersihkan hidung dari
tindakan pencucian hidung dengan larutan salin ini ditoleransi baik oleh pasien
kualitas hidup pasien dengan rinosinusitis kronis (Suh dan David, 2011).
dibandingkan dengan larutan isotonis pada kasus akut. Talbot dkk. (1997) dan
Hauptman dan Ryan (2007) seperti yang dikutip oleh Suh dan David (2011)
hasil bahwa larutan hipertonis secara signifikan lebih efektif dalam meningkatkan
transpor mukosiliar serta memiliki efek yang lebih baik dalam mengurangi
pada beberapa literatur menyebutkan timbul rasa terbakar, kering dan perih
sehingga tidak nyaman di hidung pasien serta berpotensi juga untuk kerusakan
seluler, dimana keluhan yang dirasakan pasien tersebut dapat dikaitkan dengan
tonisitas yang lebih tinggi pada larutan salin hipertonis. (Hendarwati dkk., 2016;
Gambar 2.4 Persiapan dan cara pencucian hidung dengan Salin isotonis
Efek fisiologis salin hipertonis pada mukosa respiratori sepenuhnya belum
dapat dijelaskan. Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa pada rinosinusitis
kronis terjadi perubahan secara morfologi pada mukosa respiratori dimana terjadi
gerak silia pada permukaan sel. Selain itu peningkatan Ca2+ juga diduga
Salin isotonis tidak memberikan efek transport aktif ke dalam sel karena
larutan salin isotonis merupakan larutan yang mempunyai konsentrasi zat terlarut
sama dengan zat pelarut. Larutan garam isotonis memiliki mekanisme kerja
sebagai pembilas zat-zat iritan dan alergen yang berada di dalam rongga hidung
dan dikatakan juga sebagai larutan yang paling fisiologis terhadap morfologi
seluler epitel hidung sehingga aman dan nyaman digunakan oleh pasien. Larutan
salin isotonis memiliki kandungan NaCl 0,9% dengan komposisi natrium 3500
mg/L dan klorida 5500 mg/L dengan pH berkisar antara 4,5-7 (Heatley dkk.,
tindakan cuci hidung terbukti meningkatkan frekuensi gerak silia sehingga dapat
hidung dan menjaga pH tetap di kondisi optimal yaitu pH 7-9. Pada pH yang
terlalu asam dapat merusak mukosa hidung dan menurunkan transpor mukosiliar,
dimana pada orang-orang yang sering terpapar oleh zat-zat iritan atau polusi udara
akan terjadi perubahan pH mukosa hidung menjadi 5,5-6,5 akibat inflamasi dan
sebagai upaya untuk mencegah infeksi (Sofyan dan Dyan, 2017). Cuci hidung
Gerak silia yang baik akan dapat mendorong mukus dengan gerakan
inflamasi tidak terjadi (Resmi dkk., 2017). Chodankar seperti yang dikutip oleh
Resmi dkk. (2017) bahwa tindakan cuci hidung yang dilakukan selama 10 hari
dinyatakan aman dan efektif untuk memperbaiki transpor mukosiliar pada pasien
rinosinusitis kronis. Pada penelitian yang dilakukan oleh Resmi dkk. (2017)
dikatakan bahwa waktu cuci hidung yang dilakukan selama 2 minggu dengan
larutan salin isotonis NaCl 0,9% secara signifikan dapat memperbaiki waktu
transpor mukosiliar. Hernandez dkk. (2007) seperti yang dikutip oleh Hendradewi
(2016) bahwa waktu yang ideal untuk melakukan cuci hidung sehingga dapat
dilakukan untuk mengetahui waktu optimal pemberian cuci hidung tersebut maka
masih perlu dilakukan penelitian lanjut mengenai hal ini, sehingga dapat
yang cukup tinggi serta berdampak pada penurunan produktivitas dan kualitas
hidup penderitanya (Aghdas dkk., 2018). Jika dibandingkan dengan pasien tanpa
waktu untuk beristirahat di tempat tidur serta tidak jarang dari mereka yang
(Marambaia dkk., 2013). Dihubungkan dengan gangguan kualitas hidup maka hal
tersebut tidak lepas akibat dari gejala-gejala yang dialami oleh pasien rinosinusitis
sumbatan hidung dan sekresi hidung, nyeri kepala, gangguan tidur, serta
tersebut bukan merupakan suatu kondisi yang mengancam jiwa akan tetapi pada
yang timbul akibat rinosinusitis kronis. Pada beberapa penelitian dikatakan bahwa
hidung tersumbat sebagai penyebab utama dari gangguan tidur pada pasien dan
hubungan antara gangguan tidur serta kelelahan dapat dengan jelas terlihat karena
kurangnya kualitas tidur yang baik pasti akan menyebabkan penderita mengalami
ini berhubungan dengan faktor gangguan konduksi aliran udara yang disebabkan
karena mukosa nasal kongesti atau hipertrofi sehingga menghalangi bau untuk
perkembangan penilaian status kesehatan pasien dan peningkatan hasil terapi yang
secara signifikan dirasakan oleh para tenaga medis dan peneliti (Coriat dkk.,
2013). Penilaian mengenai kualitas hidup pasien rinosinusitis kronis ini sangat
perbaikan klinis dan kualitas pengobatan pasien (Marambaia dkk., 2013). Alat
ukur tervalidasi yang digunakan untuk menilai kualitas hidup telah banyak
yang terkait dengan fungsi sinonasal (Poirrier, 2012). Pada SNOT-22 terdapat
kategori utama yaitu gejala yang berhubungan dengan hidung, telinga dan wajah,
kualitas tidur dan perubahan psikologis (Poirrier, 2012; Kennedy dkk., 2013;
Juanda dkk., 2017). Skor SNOT-22 dihitung sebagai nilai total dari keseluruhan
dengan skor 0-5. Semakin tinggi skor yang ditunjukkan maka akan menunjukkan
kualitas hidup pasien yang semakin rendah dan sebaliknya, dengan demikian
SNOT-22 juga telah terbukti dapat digunakan sebagai alat ukur yang paling sesuai
untuk menilai kualitas hidup pasien rinosinusitis (Poirrier, 2012; Kennedy dkk,
2013).