Anda di halaman 1dari 3

Beliaulah Seyyed Hossein Nasr, sang intelektual muslim terkemuka abad ini.

Ia lahir di Kota Teheran,


Iran pada 17 april 1933. Mengawali pendidikan dasar di Teheran, Nasr kemudian dikirim oleh
Ayahnya ke Qum untuk bekerja bersama ulama besar Iran, termasuk at-Thabtaba’i demi mendalami
filsafat, tasawwuf, ilmu kalam, menghafal Al-Quran serta syair-syair klasif Persia. Lahir dari ulama
terkenal, gelar Seyyed yang disematkan kepadanya merupakan anugerah dari raja Syah Reza Pahlevi
kepada keluarganya.

Mengarungi masa pendidikannya di Iran, Nasr melihat realitas dimana terjadi ketegangan antara
barat dan timur. Kebudayaan modern barat dengan ragam coraknya terus mencoba membawa arus
dan masuk dalam budaya negara-negara muslim yang cenderung tradisional.

Semangat belajar telah membawa Nasr kecil berangkat ke Barat di usia 13 tahun demi melanjutkan
studi sekolah tingkat atas, selanjutnya melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi. Ie belajar di
jurusan matematika dan fisika di Massachussets tepat dibawah bimbingan seorang guru terkenal,
yakni Betrand Russel. Selepas itu, Nasr melanjutkan pendidikannya ke Universitas Harvard pada
tahun 1954. Mengawali belajarnya di jurusan geologi dan geofisika, ia kemudain beralih disiplin ilmu
dan mendalami ilmu tradisioonal serta menekuni bidang filsafat dan ilmu pengetahuan yang
berfokus pada Islam dan Filsafat. Menjalani masa pendidikannya, Seyyed Hossein Nasr telah
seringkali dipengaruhi tokoh-tokoh pemikir Islam tradisional seperti Massiogon, Henry Corbin, F.
Schoun dan tokoh-tokoh lainnya.

Kritik sains Modern

Nasr bisa dikata tergolong sebagai pemikir yang sangat tajam dalam mengkritisi pemikiran sains
barat modern, beliau mengkritik sains modern sebab; pertama,  pandangan sekuler tentang alam
semesta yang melihat tidak ada jejak Tuhan di dalam keteraturan alam. Alam sudah dianggap
sebagai suatu entitas yang berdiri sendiri. Kedua, alam digambarkan secara mekanistik seperti mesin
yang bisa ditentukan dan diprediksi secara mutlak, yang memunculkan masyarakat industri modern
dan kapitalisme. Ketiga, rasinalisme dan empirisme. Keempat, warisan dualisme Descartes yang
mengandaikan pemisahan antara subjek yang mengetahui dan yang diketahui. Kelima, eksploitasi
alam sebagai sumber kekuatan dan dominasi. (Seyyed, 1990).

Pada intinya, sains modern telah mereduksi banyak hal dalam kehidupan manusia, selanjutnya
Hossein Nasr memberikan idiom “nesatapa manusia modern”. Modernisme telah membawa
kehampaan dan ketidakermaknaan hidup bagi manusia. Atas kebebalan rasionalisme modern,
manusia telah menyangsikan Tuhan dan spiritualitas lalu merindukannya kembali. Bukan hanya itu,
seluruh krisis lingkungan kerusakan ekologi merupakan wujud dari peran tunggal manusia sebagai
raja di muka bumi (antroposentrisme), alam lalu tidak menjadi seimbang justru sebab arogansi
manusia dengan ilmu pengetahuan, mereka merasa mampu mengola alam dengan bekal rasio-
empirik belaka, celakanya manusia justru menjadi menjadikan alam sebagai pelacur, dikeruk
kemudian tanpa pertanggungjawaban untuk tetap terawat dan seimbang. Dalam keadaan
demikianlah, maka Syed Hossein Nase mengusulkan Scientia Sacra sebagai basis pengetahuan
manusia yang diilhami oleh wahyu Tuhan.
Scientia Sacra

Pengetahuan Nasr mengenai metafisika yang selanjutnya ia sebut sebagai Scientia Sacra berangkat
dari kekecewaannya kepada metafisika yang berkembang di barat. Nasr berpandangan metafisika
telah direduksi menjadi filsafat yang rasionalistik dan filsafat ini secara perlahan-lahan sekadar
dijadikan sebagai tambahan bagi sains-sains alam dan matematis, ini menyebabkan beberapa
sekolah modern hanya menganggap filsafat berperan sebagai pengurai metode dan pengklasifikasi
konsistensi logis sains (Arif, 2014). Sains modern dalam pandangan Seyyed Hossein Nasr, terutama
yang berkembang di Barat, sejak renaissance telah meciptakan paradigma baru yang merupakan
manifesatasi pemikiran rasionalis dan antroposentris serta sekularisasi kosmos (Nasr, 2001). Nasr
tampak masih mempertahankan kata “sains” sebagai gagasannya, sepertinya beliau ingin
menegaskan bahwa telah terjadi degradasi dan reduksi besar-besaran dalam dunia ilmu
pengetahuan. Pada faktanya memang, manusia zaman ini nyaris mengidentikkan secara sempit ilmu
pengetahuan sebagai inivasi teknologi dan informasi, ilmu pengetahuan seakan-akan dipisahkan dari
aspek kearifannya sebagai “jembatan emas” menuju hakikat kemanusiaan dan bertemu dengan
hakikat tertinggi dari pengetahuan itu sendiri.

Ada dua sumber scientia sacra, yaitu sumber wahyu dan inteleksi atau intuisi intelektual yang
menyelimuti iluminasi (cahaya) hati dan pikiran manusia, sehingga dimungkinkan hadirnya
pengetahuan yang bersifat langsung,dapat dirasakan dan dialami, atau dalam tradisi Islam disebut
dengan al-ilmu al- hudluri (ilmu yang hadir) . Scentia sacra akan diperoleh ketika tiap manusia
adalah seorang Nabi dan ketika intelek berfungsi dalam diri manusia secara natural, maka ia akan
melihat segala sesuatu in divinis dan memiliki pengetahuan langsung tentang karakter suci
sepanjang masa. Pusat pengetahuan adalah hati. Hati ibarat matahari, sedangkan pikiran ibarat
bulan. Bulan memancarkan sinarnya dari pantulansinar matahari. (Nasr, 2001)

Ketika pengetahuan manusia modern berpijak pada pemahaman bahwa ilmu pengetahuan sebatas
realitas empirik, Nasr memandang pengetahuan dalam keseluruhan dan perpaduan realitas
eksternal hingga pada yang paling internal. Maka Nasr mengajukan pemaknaan tauhid la ilaha ilia
Allah (tiada Tuhan selain Allah) sebagai konsep dasar Islam yang didalamnya terkandung makna
bawa sesungguhnya tiada realitas atau wujud selain daripada wujud Tuhan. Maka Scientia sacra
sesungguhnya berbicara persoalan pengetahuan tentang realitas (ma’rifah) sekaligus pembimbing
manusia pada yang sakral melalui realisasi kebenaran (tahaqquq), proses penyatuan penahu tentang
yang diketahui (ittihad ‘aqil bi al-ma’qul) yang membuat gerak subtansial (harakat jauhariyah).
Sehingga ‘mengetahui’ bermakna mengada. Dengan kata lain pengetahuan manusia menyatu
dengan manusia itu sendiri, mewujud.

Scientia Sacra sebuah gagasan unik ala Syed Hossein Nasr yang secara konseptual masih terikat
dengan wahyu ilahi. Dari alasan itulah, maka tujuan akhir dari segala pengetahuan sesungguhnya
ialah pengagungan kepada Tuhan sebagai seumber pengetahuan.
*Kepala Madrasah Digital Yogyakarta

Referensi Bacaan

Arif, S. (2014). Keseimbangan Alam Dalam Perspektif Scientia Sacra Seyyed Hossein Nasr. Refleksi.

Nasr, S. H. (2001). Pengetahuan dan Kesucian. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Seyyed, H. N. (1990). Mand and Nature: the Spiritual Crisis of Modern Man. London: Unwin
Paperbacks.

Anda mungkin juga menyukai