Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

KRITIK DAN ESAI


Disusun untuk memenuhi tugas
Mata Pelajaran Bahasa Indonesia
Guru : Zullia Harun, SPd

Disusun Oleh :
1. Diana Ragil Safitri
2. Anisa Septi
3. Dhia Faiza
4. Timothy Joshua
5. Emiariadin

KELAS XII MIPA 2


SMA NEGERI 18 BEKASI
A. PENGERTIAN KRITIK DAN ESAI
a.) Pengertian Kritik
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdikbud, 1997 :
531 ), disebutkan kritik adalah kecaman atau tanggapan, kadang-kadang
disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap sesuatu hasil karya,
pendapat, dan sebagainya. Selain itu, menurut Sutopo (2011) kritik
merupakan analisis secara langsung dengan mempertimbangkan baik
buruknya suatu karya, penerangan, dan penghakiman karya.
b.) Pengertian Esai
Esai adalah jenis tulisan prosa yang menguraikan masalah dalam
bidang kesusastraan, kesenian, kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan
filsafat berdasarkan pengamatan, pengupasan, penafsiran dengan
mengemukakan gagasan dan wawasan pengarangnya sendiri. Dalam
esai pengarang melontarkan suatu sudut pandangan tertentu, sikap
pribadi membawakan penemuannya sendiri dan mendekati bahan subjek
dengan sistematika urian yang teratur. Esai merupakan ungkapan pribadi
penulis terhadap suatu fakta.

B. JENIS JENIS KRITIK DAN ESAI


 Jenis-Jenis Kritik Berdasarkan Penerapannya
1)      Kritik induktif adalah kritik dengan memperhatikan unsur-unsur yang
ada di dalam karya.
2)      Kritik judisial adalah kritik kritik yang menganalisis dan menerangkan
efek-efek karya berdasarkan permasalahannya, oraganisasinya, teknik,
serta gaya kepenulisannya. Kritik ini atas dasar standar umum tentang
kehebatan dan kebiasaan.
3)      Kritik Impresionik adalah kritik yang berusaha menggambarkan sifat
khusus dalam sebuah karya serta mengekspresikan tanggapan kritikus
yang
ditimbulkan secara langsung oleh karya tersebut.
 Jenis-Jenis Esai
Ada enam tipe esai menurut Sugianti (2011), yaitu:
1)      Esai deskriptif.
Esai jenis ini dapat meluliskan subjek atau objek apa saja yang
dapat menarik perhatian pengarang. Ia bisa mendeskripsikan sebuah
rumah, sepatu, tempat rekreasi dan sebagainya.
2)      Esai tajuk.
Esai jenis ini dapat dilihat dalam surat kabar dan majalah. Esai ini
mempunyai satu fungsi khusus, yaitu menggambarkan pandangan dan
sikap surat kabar/majalah tersebut terhadap satu topik dan isyu dalam
masyarakat. Dengan Esai tajuk, surat kabar tersebut membentuk opini
pembaca. Tajuk surat kabar tidak perlu disertai dengan nama penulis.
3)      Esai cukilan watak.
Esai ini memperbolehkan seorang penulis membeberkan beberapa
segi dari kehidupan individual seseorang kepada para pembaca. Lewat
cukilan watak itu pembaca dapat mengetahui sikap penulis terhadap tipe
pribadi yang dibeberkan. Disini penulis tidak menuliskan biografi. Ia hanya
memilih bagian-bagian yang utama dari kehidupan dan watak pribadi
tersebut.
4)      Esai pribadi.
Esai pribadi, hampir sama dengan esai cukilan watak. Akan tetapi
esai pribadi ditulis sendiri oleh pribadi tersebut tentang dirinya sendiri.
Penulis akan menyatakan “Saya adalah saya. Saya akan menceritakan
kepada saudara hidup saya dan pandangan saya tentang hidup”. Ia
membuka tabir tentang dirinya sendiri.
5)      Esai reflektif.
Esai reflektif ditulis secara formal dengan nada serius. Penulis
mengungkapkan dengan dalam, sungguh-sungguh, dan hati-hati
beberapa topik yang penting berhubungan dengan hidup, misalnya
kematian, politik, pendidikan, dan hakikat manusiawi. Esai ini ditujukan
kepada para cendekiawan.
6)      Esai kritik.
Dalam esai kritik penulis memusatkan diri pada uraian tentang seni,
misalnya, lukisan, tarian, pahat, patung, teater, kesusasteraan. Esai kritik
bisa ditulis tentang seni tradisional, pekerjaan seorang seniman pada
masa lampau, tentang seni kontemporer. Esai ini membangkitkan
kesadaran pembaca tentang pikiran dan perasaan penulis tentang karya
seni. Kritik yang menyangkut karya sastra disebut kritik sastra.

C. CIRI-CIRI KRITIK DAN ESAI


 Ciri Ciri Kritik
1. Berisi tanggapan atau evaluasi terhadap suatu karya
2. Memberikan pertimbangan mutu karya terkait baik dan buruknya
3. Memberikan saran perbaikan
4. Walau ditulis subjektif tetapi harus berdasarkan penilaian yang
jelas, tidak berpihak kepada siapapun
5. Gaya penulisan baku

 Ciri Ciri Essay


1. Tulisan yang membahas masalah umum atau fenomena umum
2. Karangan prosa
3. Ditulis dengan singkat
4. Objektif walau ada sudut pandang, harus ada sumber relevan untuk
mendukung pernyataan
5. Gaya penulisan baku pada esai ilmiah, gaya penulisan santai pada
esai popular
6. Bersifat tidak utuh atau hanya membahas satu pokok masalah

D. SISTEMATIKA DAN KEBAHASAAN KRITIK DAN ESAI


1. Sistematika Kritik dan Esai
Kritik dan Esai termasuk dalam teks eksposisi, karena bertujuan
untuk menyampaikan pendapat. Oleh karena itu, struktur kritik dan esai
sama seperti struktur dalam teks eksposisi, yaitu pernyataan pendapat
(tesis), argument,dan penegasan ulang.
a. Pernyataan Pendapat (Tesis)
Pernyataan pendapat merupakan bagian teks yang
menguraikan pernyataan pendapat awal (tesis) sang penulis atau
prediksi penulis tentang sebuah perasalahan yang berdasarkan
fakta. Bagian ini juga biasa disebut sebagai bagian pembuka.
Dalam teks kritik, pendapat/ tesis yang disampaikan adalah hasil
penilaian terhadap sebuah karya. Sedangkan dalam teks esai,
pendapta/tesis yang disampaikan adalah pandangan penulis
terhadap objek atau fenomena yang disorotinya.

b. Argumen
Argumen merupakan bagian yang memaparkan beragam
alasan dan fakta yang dapat memperkuat argument atau pendapat
penulis, baik itu untuk memperkuat ataupun menolak suatu
gagasan. Argument yang disajikan dalam teks kritik berupa data-
data objektif dalam karya serta alasan yang logis. Sedangkan
argument yang disajikan dalam teks esai berupa alasan logis yang
subjektif.

c. Penegasan Ulang (Reiteration)


Penegasan ulang pendapat atau reiteration adalah bagian
yang berisi penguatan kembali atas pendapat yang telah ditunjang
oleh fakta-fakta dalam bagian argumentasi. Penegasan ulang baik
dalam teks kritik maupun esai dapat berupa ringkasan atau
pengulangan kembali tesis dalam kalimat yang berbeda.
2. Kebahasaan Kritik dan Esai
Kritik dan esai mempunyai ciri kebahasaan yang khas. Berikut
unsur kebahasaan yang digunakan dalam teks kritik dan esai.
1) Menggunakan Pernyataan Persuasif
Kalimat Persuasif adalah sebuah kalimat yang berisi
imbauan secara halus agar si pembaca lebih yakin dengan apa
yang disampaikan oleh penulis kalimat tersebut. Biasanya kalimat
persuasif terdapat di dalam sebuah paragraf yang berisikan fakta
agar lebih menyakinkan pembaca. Kalimat persuasif juga dapat
berbentuk paragraf, paragraf persuasif ialah bentuk karangan atau
paragraf yang memiliki tujuan untuk menyakinkan orang lain baik
pendengar maupun pembacanya untuk melakukan sesuatu yang di
kehendaki oleh penulis dengan cara memberikan alasan yang baik.

2) Menggunakan Istilah Teknis


Istilah adalah kata atau gabungan kata yang dengan cermat
mengungkapkan konsep, proses, keadaan, atau sifat yang khas
dalam bidang tertentu, sebutan; nama; kata atau ungkapan khusus.
Istilah dalam Bahasa Indonesia terbagi menjadi dua jenis, yaitu
istilah khusus dan umum. Istilah khusus adalah suatu kata yang
penggunaan serta maknanya terbatas hanya untuk bidang tertentu.
Sedangkan istilah umum adalah suatu kata yang sudah menjadi
unsur Bahasa umum. Penggunaan istilah teknis dalam teks kritik
dan esai harus berkaitan dengan topik yang dibahasnya. Misalnya
dalam teks kritik membahasa puisi, maka istilah yang digunakan
pun berkaitan dengan puisi, seperti antologi, apresiasi, parafrasa,
musikalisasi, dan sebagainya.

3) Menggunakan Kata Kerja Mental


Kata kerja mental adalah kata kerja ini terdiri atas kata kerja yang
menerangkan persepsi, afeksi, dan kognisi
 Kata kerja persepsi adalah kata kerja yang berkaitan dengan
pancaindera, misalnya melihat, mencium,mendengar
 Kata kerja afeksi adalah kata kerja yang berkaitan dengan
perasaan psikologis seseorang, seperti marah,sedih,khawatir, dan
senang
 Kata kerja kognisi adalah kata kerja yang berkaitan dengan proses
memahammi sesuatu, seperti berpikir, mengerti, dan memahami
Kata kerja mental yang sering digunakan dalam teks kritik dan esai,
antara lain mengandalkan, mengindentifikasi, menegaskan,
mengagumkan, diharapkan, menduga, berpendapat,
menyimpulkan, berasumsi, dan sebagainya.

E. PERBEDAAN KRITIK DAN ESAI


Unsur Kritik Esai

Objek Karya sastra Masalah umum


Penulisan Terstruktur Bebas
Gaya Bahasa Baku Santai
Sifat Objektif Subjektif
Saran Perbaikan Harus ada Tidak harus ada

1. Objek yang dinilai


Perbedaan utama antara kritik sastra dan esai terletak pada objek yang
dinilai. Pada kritik sastra, objek yang dinilai hanya meliputi lingkup karya
sastra semata, seperti novel, puisi, prosa, dan lain sebagainya.
Sementara pada esai, objek yang dinilai adalah segala masalah umum
yang terdapat dalam kehidupan nyata.
2. Penulisan
Struktur penulisan kritik dan esai juga berbeda. Kritik harus ditulis
dengan struktur yang telah ditentukan agar lebih mudah dipahami oleh
penulis karya sastra yang dinilai maupun oleh pembaca karya sastra.
Adapun pada esai, penulisan dapat dibuat secara bebas tanpa struktur
baku, asalkan memuat bagian pendahuluan, tubuh (isi) serta penutup
sehingga tetap bisa dipahami dan menarik untuk dinikmati.
3. Gaya Bahasa
Pada kritik gaya Bahasa yang digunakan cenderung baku,
sedangkan esai baku dan santai. Esai sendiri memiliki banyak jenis. Jika
esay ilmiah maka gaya Bahasa yang digunakan adalah baku, sedangkan
esai santai atau popular menggunakan Bahasa yang santai.
4. Sifat
Meskipun sama-sama berisi pandangan seseorang terhadap suatu
permasalahan, namun sifat kritik dan esai ternyata berbeda. Pembuat
kritik atau kritikus harus menuliskan kritiknya secara objektif. Tanggapan,
pertimbangan baik dan buruk, serta perbaikan-perbaikan yang
disampaikan harus bersumber pada keadaan faktual. Meski begitu, kesan
pribadi pembuat kritik tetap bisa dimasukan pada bagian lain yang tidak
menjadi bagian inti dari pembahasan. Adapun pada esai, pembahasannya
sering kali dibuat secara subjektif. Penilaian pribadi terhadap sebuah
permasalahan menjadi ciri khas yang terdapat dalam pembahasan esai.
5. Saran perbaikan
Pada kritik sastra, saran perbaikan bagi pembuat karya sastra
adalah bagian penting yang harus selalu ada. Saran perbaikan ini dapat
menjadi bekal bagi pembuat karya sastra untuk memperbaiki bagian-
bagian yang dirasa kurang pada karya sastranya. Sementara pada esai,
saran perbaikan atas suatu permasalahan yang dibahas tidak selalu ada.
Kerap kali esai hanya berisi pembahasan seputar subjek atau objek yang
menurut esaisnya menarik untuk diulik.

F. MENYUSUN KRITIK DAN ESAI


1. Menyusun Kritik Sastra
Kritik berasal dari bahasa Yunani krinien atau krites, yang berarti
menghakimi. Dalam perkembangannya, kritik sastra ditujukan untuk
mengomentari atau menanggapi karya sastra. Tanggapan tersebut dapat
dilengkapi dengan kelemahan dan kelebihan. Langkah-langkah menyusun
kritik sastra antara lain:
• Memilih karya sastra Sebelum menulis kritik sastra, terlebih dulu
kita menentukan karya mana yang akan dibahas. Menentukan pengarang,
jenis karya sastra (puisi, prosa, atau drama), menentukan tema, dan
memilih judul. Sebisa mungkin, pilih karya yang memiliki kedekatan
dengan kehidupan pribadi kita. Hal ini berguna agar tanggapan kita dalam
kritik sastra semakin valid.
• Melakukan interpretasi
Pada langkah ini, penulis kritik sastra menafsirkan makna yang ia
dapat setelah membaca sebuah karya sastra. Menurut Dina Gasong
dalam Bahan Ajar Mata Kuliah Kritik Sastra (2018), interpretasi adalah
usaha untuk memperjelas karya sastra melalui analisis, parafrasa, dan
komentar. Menafsirkan makna dapat dilihat berdasarkan unsur-unsur yang
membangun karya sastra tersebut. Mulai dari unsur intrinsik sampai
ekstrinsik.
• Analisis
Tahap analisis adalah penguraian bagian-bagian atau norma-
norma karya sastra. Analisis karya dilakukan dengan menelaah mana
yang menjadi kelemahan dan kelebihannya. Analisis harus dilakukan
berdasarkan data yang terdapat dalam karya sastra yang kita baca.
2. Menyusun Esai
Membuat esai membantu kita melatih kemampuan menulis. Esai
adalah karangan yang memuat pemikiran dan pendapat seseorang
dengan tertata. Jos Daniel Parera dalam Menulis Tertib dan Sistematik
Edisi Kedua (1993) menerangkan, esai adalah sebuah karangan atau
tulisan dalam bentuk prosa tentang apa saja. Meski demikian terdapat
langkah-langkah menyusun esai:
• Menentukan topik
Dalam menentukan topik, kita bisa melihat isu-isu di sekitar. Seperti
isu yang sedang terjadi, paling sering dibicarakan, terbaru, atau yang
paling dekat dengan kehidupan pribadi kita. Pilih topik yang dekat atau
bersinggungan agar kita mudah menuliskannya.
• Riset
Riset adalah tindakan meneliti, menggali, menyelidiki, atau
menafsirkan suatu topik pembahasan. Dalam esai, biasanya dilakukan
riset pustaka. Tahap ini penting untuk memperkaya informasi dalam esai.
Informasi tersebut dapat menjadi sumber referensi dari tulisan esai kita.
Riset juga berguna untuk menghindari plagiarisme.
• Membuat kerangka
Membuat kerangka tulisan berguna agar pembahasan tidak
melebar. Penulis esai harus fokus pada satu topik tertentu. Kerangka esai
sederhana dapat berupa:
Pendahuluan : Berisi latar belakang, informasi, atau identifikasi dari
subyek atau obyek yang akan dibahas.
Tubuh esai : Narasikan gagasan yang hendak disampaikan. Narasi
dapat disampaikan melalui sub topik atau penjelasan.
Kesimpulan : Sebutkan ulang topik yang ingin disampaikan dengan
ringkas dilengkapi dengan hasil observasi, penilaian, atau sudut pandang
penulis.
• Menulis dan menyunting Tahap akhir adalah menuliskan esai.
Sebelum disodorkan pada publik, sebaiknya menyunting esai agar tidak
terjadi kekeliruan, serta meminimalisir kesalahan ketik.
3. Hal hal yang harus diperhatikan dalam menulis kritik dan esai suatu
karya sastra sebagai berikut.
a) Setiap kritikus yang cakap harus memperhatikan berbagai hal yang
terdapat dalam karya sastra.
b) Kecermatan dalam mengungkapkan berbagai hal yang terdapat
dalam karya sastra tergantung pada tingkat ketajaman perasaan
kritikus.
c) Agar kritikus dapat menangkap kepribadian karya sastra maka
harus melalui rekreasi artistic.
d) Setiap kritikus hendaknya menggunakan kajian teori yang relevan
untuk mendukung penilaiannya.
e) Kritikus harus mengetahui Bahasa yang digunakan sastrawan atau
harus akrab dengan berbagai jenis gaya Bahasa/idiom,
komposisi,serta latar belakang kebudayaan.

G. CONTOH KRITIK DAN ESAI


 Contoh Kritik

Menimbang Ayat-Ayat Cinta

Tesis (Pernyataan Pendapat)


Karya sastra yang baik juga bisa menggambarkan hubungan
antarmanusia, manusia dengan lingkungan dan manusia dengan
Tuhan. Ini karena dalam karya sastra seharusnya terdapat ajaran
moral, sosial sekaligus ketepatan dalam pengungkapan karya
sastra.

Begitu pula yang ingin disampaikan oleh Habiburrachman El


Shirazy dalam novelnya yang berjudul Ayat-ayat Cinta. Novel yang
kemudian menjadi fenomena tersendiri dalam perjalanan karya
sastra Indonesia, terutama yang beraliran islami, karena
penjualannya mampu mengalahkan buku-buku yang digandrungi,
seperti Harry Potter ini mengusung tema cinta islami yang dihiasi
dengan konfl ik-konfl ik yang disusun dengan apik oleh penulisnya.

Novel ini mengisahkan perjalanan cinta antara 2 anak


manusia, Fahri sebagai pelajar Indonesia yang belajar di Mesir, dan
Aisha, seorang gadis Turki. Meskipun mengusung tema cinta tidak
lantas membuat novel ini membahas cinta erotis antara laki-laki
dan wanita. Banyak cinta lain yang masih bisa digambarkan,
seperti cinta pada sahabat, kekasih hidup, dan tentu saja pada
cinta sejati, Allah Swt. Perjalanan cinta yang tidak biasa
digambarkan oleh Habiburrachman.
Rangkaian Argumen
Nilai dan budaya Islam sangat kental dirasakan oleh
pembaca pada setiap bagiannya. Bahkan, hampir di tiap paragraf
kita akan menemukan pesan dan amanah. Ya, katakan saja
paragraf yang sarat dengan amanah. Namun, dengan bentuk yang
seperti itu tidak kemudian membuat novel ini menjadi
membosankan untuk dibaca karena penulis tetap menggunakan
kata-kata sederhana yang mudah dipahami dan tidak terkesan
menggurui. Gaya penulis untuk mengungkapkan setiap pesan
justru menyadarkan kita bahwa sedikit sekali yang baru kita ketahui
tentang Islam.

Hal lain yang pantas untuk diunggulkan dalam novel ini


adalah kemampuan Habiburrachman untuk melukiskan latar dari
tiap peristiwa, baik itu tempat kejadian, waktu, maupun
suasananya. Ia dapat begitu fasih untuk menggambarkan tiap lekuk
bagian tempat yang ia jadikan latar dalam novel tersebut ditambah
dengan gambaran suasana yang mendukung sehingga seakan-
akan mengajak pembaca untuk berwisata dan menikmati suasana
Mesir di Timur Tengah lewat karya tulisannya.

Bukan hal yang aneh kemudian ketika memang ’Kang Abik’,


begitu penulis sering dipanggil, mampu untuk menggambarkan
latar yang bisa dikatakan sempurna itu. Ia memang beberapa tahun
hidup di Mesir karena tuntutan belajar. Akan tetapi, tidak menjadi
mudah juga untuk mengungkapkan setiap tempat yang dijadikan
latar. Bahkan oleh orang Mesir sendiri memang tidak memiliki
sarana bahasa yang tepat untuk mengungkapkan apa yang ingin ia
sampaikan.

Alur cerita juga dirangkai dengan begitu baik. Meskipun


banyak menggunakan alur maju, cerita berjalan tidak monoton.
Banyak peristiwa yang tidak terduga menjadi kejutan. Konfl ik yang
dibangun juga membuat novel ini layak menjadi novel kebangkitan
bagi sastra islami setelah merebaknya novelnovel teenlit. Banyak
kejutan, banyak inspirasi yang kemudian bisa hadir dalam benak
pembaca. Bahkan bisa menjadi semacam media perenungan atas
berbagai masalah kehidupan.

Satu hal yang ditemukan terlihat janggal dalam novel ini


adalah karakter tokoh, yaitu Fahri yang digambarkan begitu
sempurna dalam novel tersebut. Maksud penulis di sini, mungkin ia
ingin menggambarkan sosok manusia yang benar-benar
mencitrakan Islam dengan segala kebaikan dan kelembutan
hatinya. Hal yang menjadi janggal jika sosok yang digambarkan
begitu sempurna sehingga sulit atau bahkan tidak ditemukan
kesalahan sedikit pun padanya.

Jika dibandingkan dengan karya sastra lama milik Tulis


Sutan Sati, mungkin akan ditemukan kesamaan dengan karakter
tokoh Midun dalam Roman Sengsara Membawa Nikmat yang
berpasangan dengan Halimah sebagai tokoh wanitanya. Dalam
roman tersebut, Midun juga digambarkan sebagai sosok pemuda
yang sempurna dengan segala bentuk fi sik dan kebaikan hatinya.
Hanya saja, di sini penggambarannya tidak menggunakan bahasa-
bahasa yang langsung menunjukkan kesempurnaan tersebut
sehingga tidak terlalu kentara. Ini di luar bahasa karya sastra lama
yang cenderung suka melebih-lebihkan (hiperbola). Perbedaan
yang lain adalah tidak banyak digunakannya istilahistilah islami
dalam roman tersebut daripada novel Ayat-ayat Cinta.

Penegasan Ulang
Pembaca yang merasakan hal ini pasti akan bertanya-tanya,
adakah sosok yang memang bisa sesempurna tokoh Fahri
tersebut. Meskipun penggambaran karakter tokoh diserahkan
sepenuhnya pada diri penulis, tetapi akan lebih baik jika karakter
tokoh yang dimunculkan tetap memiliki keseimbangan. Dalam arti,
jika tokoh yang dimunculkan memang berkarakter baik, maka
paling tidak ada sisi lain yang dimunculkan. Akan tetapi, tentu saja
dengan porsi yang lebih kecil atau bisa diminimalisasikan. Jangan
sampai karakter ini dihilangkan karena pada kenyataannya tidak
ada sosok yang sempurna, selain Rasulullah.

 Contoh Esai

Gerr
(oleh Gunawan Muhamad)

Tesis (Pernyataan Pendapat)


Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku kata
yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau dua suku kata
yang mengejutkan dan membingungkan: ”Aduh”, ”Anu”. Di depan
kita: panggung Teater Mandiri.

Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah riwayat


yang tak mudah, seperti hampir semua grup teater di Indonesia. Ia
bagian dari sejarah Indonesia yang sebenarnya penting sebagai
bagian dari cerita pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak
lelap tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater ini,
melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”—dengan cara yang
sederhana. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan
tersendiri kepada kata.

Rangkaian Argumen
Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah materi
yang punya volume di sebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan
imaji, sesuatu yang fi sik yang menggebrak persepsi kita. Ia tak
mengklaim satu makna. Ia tak berarti: tak punya isi kognitif atau tak
punya manfaat yang besar.

Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat Teater


Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik teater sebagai
peristiwa, di mana sosok dan benda yang tak berarti dihadirkan.
Mungkin sosok itu (umumnya tak bernama) si sakit yang tak jelas
sakitnya. Mungkin benda itu sekaleng kecil balsem. Atau selimut—
hal-hal yang dalam kisah-kisah besar dianggap sepele. Dalam
teater Putu Wijaya, justru itu bisa jadi fokus.

Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian


yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski. Bukan karena ia
hanya bercerita tentang kalangan miskin. Putu Wijaya tak tertarik
untuk berbicara tentang lapisanlapisan sosial. Teater Mandiri
adalah ”teater miskin” karena ia, sebagaimana yang kemudian
dijadikan semboyan kreatif Putu Wijaya, ”bertolak dari yang ada”.

Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya


memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur majalah
Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua bertingkat dua
dengan lantai yang goyang di Jalan Senen Raya 83, Jakarta. Siang
hari ia akan bertugas sebagai wartawan. Malam hari, ketika kantor
sepi, ia akan menggunakan ruangan yang terbatas dan sudah aus
itu untuk latihan teater. Dan ia akan mengajak siapa saja: seorang
tukang kayu muda yang di waktu siang memperbaiki bangunan
kantor, seorang gelandangan tua yang tiap malam istirahat di pojok
jalan itu, seorang calon fotograf yang gagap. Ia tak menuntut
mereka untuk berakting dan mengucapkan dialog yang cakap. Ia
membuat mereka jadi bagian teater sebagai peristiwa, bukan hanya
cerita.

Dari sini memang kemudian berkembang gaya Putu Wijaya:


sebuah teater yang dibangun dari dialektik antara ”peristiwa” dan
”cerita”, antara kehadiran aktor dan orang-orang yang hanya
bagian komposisi panggung, antara kata sebagai alat komunikasi
dan kata sebagai benda tersendiri. Juga teater yang hidup dari
tarik-menarik antara patos dan humor, antara suasana yang
terbangun utuh dan disintegrasi yang segera mengubah keutuhan
itu.

Orang memang bisa ragu, apa sebenarnya yang dibangun


(dan dibangunkan) oleh teater Putu Wijaya. Keraguan ini bisa
dimengerti. Indonesia didirikan dan diatur oleh sebuah lapisan elite
yang berpandangan bahwa yang dibangun haruslah sebuah
”bangunan”, sebuah tata, bahkan tata yang permanen. Elite itu juga
menganggap bahwa kebangunan adalah kebangkitan dari
ketidaksadaran. Ketika Putu Wijaya memilih kata ”teror” dalam
hubungan dengan karya kreatifnya, bagi saya ia menampik
pandangan seperti itu. Pentasnya menunjukkan bahwa pada tiap
tata selalu tersembunyi chaos, dan pada tiap ucapan yang
transparan selalu tersembunyi ketidaksadaran.

Penegasan Ulang
Sartre pernah mengatakan, salah satu motif menciptakan
seni adalah ”memperkenalkan tata di mana ia semula tak ada,
memasangkan kesatuan pikiran dalam keragaman hal-ihwal”. Saya
kira ia salah. Ia mungkin berpikir tentang keindahan dalam
pengertian klasik, di mana tata amat penting. Bagi saya Teater
Mandiri justru menunjukkan bahwa di sebuah negeri di mana tradisi
dan antitradisi berbenturan (tapi juga sering berkelindan), bukan
pengertian klasik itu yang berlaku.

Pernah pula Sartre mengatakan, seraya meremehkan puisi,


bahwa ”kata adalah aksi”. Prosa, menurut Sartre, ”terlibat” dalam
pembebasan manusia karena memakai kata sebagai alat
mengomunikasikan ide, sedangkan puisi tidak. Namun, di sini pun
Sartre salah. Ia tak melihat, prosa dan puisi bisa bertaut—dan itu
bertaut dengan hidup dalam teater Putu Wijaya. Puisi dalam teater
ini muncul ketika keharusan berkomunikasi dipatahkan.
Sebagaimana dalam puisi, dalam sajak Chairil Anwar apalagi
dalam sajak Sutardji Calzoum Bachri, yang hadir dalam pentas
Teater Mandiri adalah imaji-imaji, bayangan dan bunyi, bukan
pesan, apalagi khotbah. Hal ini penting, di zaman ketika komunikasi
hanya dibangun oleh pesan verbal yang itu-itu saja, yang tak lagi
akrab dengan diri, hanya hasil kesepakatan orang lain yang kian
asing.
Sartre kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia
mengakui bahwa bahasa bukan alat yang siap. Bahasa tak bisa
mengungkapkan apa yang ada di bawah sadar, tak bisa
mengartikulasikan hidup yang dijalani, le vecu. Ia tentu belum
pernah menyaksikan pentas Teater Mandiri, tapi ia pasti melihat
bahwa pelbagai ekspresi teater dan kesusastraan punya daya
”teror” ketika, seperti Teater Mandiri, menunjukkan hal-hal yang tak
terkomunikasikan dalam hidup.

Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari
sana kreativitas yang sejati bertolak.

Anda mungkin juga menyukai